Anda di halaman 1dari 4

Dalam proses pemulihan ekonomi pascapandemi yang sedang berlangsung, Tiongkok sebenarnya

sama saja seperti negara lain yang sedang menghadapi tantangan, dengan naik turunnya pasar
modal yang lebih sering terlihat dalam beberapa bulan terakhir. https://www.youtube.com/watch?
v=-1RDUoAS-z0 (Durasi: 01.20-01.35)

Hanya saja, bedanya Tiongkok adalah negara ekonomi terbesar kedua di dunia, sehingga sudah tentu
menjadi yang paling disorot oleh berbagai media, terutama media Barat yang ingin memanfaatkan
hal ini untuk menciptakan serangkaian narasi, yang dapat mendiskreditkan negara tersebut.

Misalnya, narasi yang mengklaim bahwa penduduk Tiongkok menjadi terlalu takut untuk
membelanjakan uangnya, bahwa Tiongkok sedang menguras modal asing, narasi bahwa Tiongkok
akan mengalami deflasi, dan narasi bahwa pembuat kebijakan Tiongkok tidak dapat menemukan
solusi. Semua narasi tersebut dibangun sebagai propaganda terhadap Tiongkok.
https://www.youtube.com/watch?v=-1RDUoAS-z0 (Durasi: 06.23-06.38)

Bahkan parahnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden turut memperburuk keadaan, dengan
menyebut perekonomian Tiongkok sebagai “bom waktu” dan memperingatkan bahwa “Tiongkok
sedang berada dalam kesulitan.”

Narasi-narasi semacam ini sekilas tampaknya masuk akal, namun jika ditelisik lebih dalam ternyata
narasi tersebut tidak berdasar secara faktual. Lantas seperti apa fakta yang sebenarnya dari narasi-
narasi yang telah dibangun oleh media-media Barat tersebut? Nah Pemirsa inilah Jurnal Bharata.
https://www.youtube.com/watch?v=-1RDUoAS-z0 (Durasi: 07.40-07.55)

BUMPER

Fakta pertama yaitu terkait deflasi ekonomi. Salah satu klaim dari narasi yang telah terbangun paling
luas, adalah bahwa penduduk Tiongkok menjadi lebih enggan dan "terlalu takut untuk berbelanja,"
yang mengakibatkan deflasi.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20230719160925-4-455650/orang-di-china-malas-belanja-
tapi-rajin-nabung-pertanda-apa (SS paragraf 1 - 3)

Itulah mengapa, cerita seperti "Rumah tangga lebih memilih menabung daripada belanja," atau
"Pembeli di Tiongkok ragu membelanjakan uang saat terjadi deflasi," telah menjadi hal yang lumrah
di beberapa media terkemuka Barat sejak awal tahun ini.

Parahnya, New York Times pada Agustus yang lalu memberikan gambaran yang lebih pesimistis,
dengan mengatakan bahwa konsumen dan pemilik bisnis Tiongkok “merasa dilumpuhkan oleh
keputusasaan,” dan keengganan mereka untuk mengeluarkan uang dan meminjam, memicu apa
yang bisa menjadi “siklus berbahaya.” https://www.nytimes.com/2023/08/21/business/china-
deflation.html Saat Tiongkok Jatuh Kedalam Deflasi, Suasana Menjadi Gelap (SS paragraf “cycle”)

Namun pada kenyataannya, seiring dengan stabilnya pendapatan masyarakat pascapandemi dan
pulihnya kondisi konsumsi offline, keinginan masyarakat Tiongkok untuk melakukan konsumsi juga
meningkat secara bertahap. Buktinya, kita dapat melihat rasio pengeluaran konsumsi rumah tangga
terhadap pendapatan yang dapat dibelanjakan.

Pada kuartal kedua, indikator ini telah meningkat menjadi 68 persen, mempersempit kesenjangan
dengan periode sebelum pandemi sejak 2015-2019, dari 4,5 poin persentase pada kuartal pertama
menjadi 2,8 poin persentase. https://www.globaltimes.cn/page/202310/1300664.shtml
Menghilangkan Kesalahpahaman Tentang Kondisi Perekonomian Tiongkok Saat Ini (SS pragraf “68”)
Sejumlah data juga membuktikan bahwa keinginan warga untuk bepergian dan berbelanja terus
meningkat pada kuartal keempat, sebagian besar disebabkan oleh “Super Golden Week” yang
berlangsung selama delapan hari pada Oktober lalu.

Makanya tidak heran, jika pasar pariwisata domestik di negara ini menghasilkan pendapatan sekitar
753,4 miliar yuan atau USD103,2 miliar selama liburan, mewakili peningkatan secara tahunan
sebesar 129,5 persen, dan kenaikan 1,5 persen dari pendapatan liburan Hari Nasional tahun 2019.
https://indonesian.cri.cn/2023/10/09/ARTIRiFaDN26uapaJEAsyHZF231009.shtml (SS paragraf 1)

Tidak hanya itu, dalam tiga kuartal pertama tahun ini saja total penjualan ritel barang-barang
konsumen Tiongkok meningkat sebesar 6,8 persen secara tahunan. Ini menunjukkan adanya
peningkatan menyeluruh, dengan penjualan ritel di sektor jasa termasuk transportasi, akomodasi,
dan katering yang mengalami peningkatan pertumbuhan secara tahunan sebesar 18,9 persen.

Seorang profesor di Universitas Keuangan dan Ekonomi Tianjin, Cong Yi mengatakan, bahwa
kehebohan mengenai "deflasi Tiongkok" yang berada pada titik tertinggi, sementara indeks
konsumen Tiongkok masih rendah, adalah asumsi yang tidak berdasar.
https://www.globaltimes.cn/page/202310/1300664.shtml (SS paragraf “Cong Yi” dan 1 paragraf
dibawahnya, gak usah judul & gambar)

Menurutnya, perlu diingat bahwa deflasi adalah fenomena ekonomi, yang mengacu pada penurunan
harga barang dan jasa secara terus-menerus dalam suatu perekonomian, sehingga indeks harga
konsumen Tiongkok yang kembali positif pada Agustus lalu, secara efektif sebenarnya telah
menghilangkan prasangka kekeliruan deflasi tersebut.

Oleh karena itu, Cong Yi meyebutkan bahwa deflasi perekonomian Tiongkok berdasarkan data yang
terisolasi, hanyalah semata-mata dimotivasi oleh motif tersembunyi, untuk menimbulkan ketakutan
dan kecemasan serta menakut-nakuti investor global.
https://www.globaltimes.cn/page/202310/1300664.shtml (SS pragraf “peddle”, gausa jdul & gmbr)

Fakta kedua terkait Eksodus industri manufaktur sebagai kegagalan mesin ekspor. Kita mungkin
sudah tidak asing dengan narasi yang menyebutkan bahwa Tiongkok “tidak dapat diinvestasikan” dan
hanya merupakan “pelarian modal asing” ke luar negeri.
https://www.cnbcindonesia.com/market/20231024104809-17-483144/investor-tinggalkan-china-
arus-modal-keluar-cetak-rekor (SS paragraf 1& 2)

Meskipun narasi tersebut tampaknya kredibel, dan didukung oleh sanksi AS terhadap perusahaan
dan industri Tiongkok, bahkan mereka mengklaim bahwa hal ini dapat menyebabkan produsen
Tiongkok terpaksa merelokasi atau kehilangan pembeli, sehingga mengakibatkan penurunan pangsa
ekspor secara terus-menerus.

Namun, pada kenyataannya perekonomian Tiongkok terus mengalami perkembangan yang kuat,
menciptakan permintaan yang luas di berbagai sektor, dan berperan sebagai mesin penting bagi
pertumbuhan ekonomi, sehingga terbukti Tiongkok hingga kini tetap menjadi salah satu tujuan
investasi paling menarik di dunia. https://www.antaranews.com/berita/3728931/pasar-china-masih-
atraktif-untuk-investasi-asing (SS paragraf 1 - 4)

Lihat saja, bagaimana tren peningkatan investasi asing di Tiongkok secara keseluruhan yang masih
tidak berubah. Menurut “Laporan Investasi Dunia tahun 2023” dari Konferensi PBB tentang
Perdagangan dan Pembangunan, Tiongkok terus menjadi penerima investasi asing langsung, terbesar
kedua secara global.
Data Kementerian Perdagangan Tiongkok menunjukkan bahwa dari bulan Januari hingga Agustus
tahun ini, terdapat 33.000 perusahaan baru yang didanai asing, yang didirikan di Tiongkok. Hal itu
menunjukkan peningkatan sebesar 33 persen dibandingkan tahun lalu.
https://www.chinadaily.com.cn/a/202310/25/WS65390fbfa31090682a5eab6a.html Alih-Alih
Menderita, Bisnis Asing akan Mendapatkan Keuntungan dari Revisi Undang-Undang Anti-Spionase
(SS paragraf 6)

Negara-negara Eropa, secara signifikan juga telah meningkatkan investasi mereka di Tiongkok,
dengan investasi aktual dari Inggris, Perancis, Swiss, Belanda, dan Jerman yang terus tumbuh positif.
Bahkan, para eksekutif dari perusahaan multinasional seperti Tesla, Apple, dan Nestlé telah
mengunjungi Tiongkok sejak pembatasan pandemi dicabut.

Tidak hanya itu, upaya peningkatan industri Tiongkok, nyatanya terus membuahkan hasil dengan
industri teknologi tinggi menjadi sarang investasi asing. Lihat saja, bagaimana ekspor produk "tiga
baru" termasuk baterai lithium, kendaraan listrik, dan panel surya, telah mempertahankan
pertumbuhan dua digit selama 14 kuartal berturut-turut.
https://www.antaranews.com/berita/3687975/arus-fdi-china-di-sektor-manufaktur-teknologi-tinggi-
naik-253-persen (SS paragraf 1 - 5)

Administrasi Umum Bea Cukai menunjukkan bahwa salah satu kumpulan data yang diawasi dengan
ketat, adalah angka perdagangan Tiongkok pada September lalu, yang mencatat pertumbuhan secara
bulanan selama dua bulan berturut-turut, dengan volume perdagangan mencapai angka tertinggi
bulanan pada tahun ini, yakni mencapai 3,74 triliun yuan.

Pakar ekonomi di China Everbright Bank, Zhou Maohua mengatakan, bahwa data bulan September
tersebut menunjukkan "stabilitas luar biasa" dalam perdagangan Tiongkok, karena dicapai di tengah
lingkungan permintaan global yang menantang, dan penurunan besar ekspor dari beberapa mitra
dagang utama Tiongkok. https://www.globaltimes.cn/page/202310/1299814.shtml Perdagangan
Luar Negeri Tiongkok pada Bulan September Mencapai Rekor Tertinggi Tahun 2023 (SS paragraf
“Mao” dan 1 paragraf dibawahnya)

Fakta ketiga terkait pemerintah Tiongkok yang kehabisan cara. Setiap kali perekonomian Tiongkok
terpuruk atau menghadapi tantangan, ada kecenderungan bagi beberapa penentang di media AS
untuk mengatakan, bahwa akhirnya kiamat sudah dekat, dan percaya bahwa pembuat kebijakan
sudah kehabisan cara untuk "menyelamatkan" perekonomian dari bencana yang akan datang.
https://www.cnbcindonesia.com/research/20230716082307-128-454655/mirip-jepang-kiamat-baru-
china-karena-warga-malas-belanja (SS paragraf 1 & 2)

Sementara itu banyak juga yang berpendapat bahwa perekonomian Tiongkok, mirip dengan
perekonomian Jepang di masa lalu, dan mungkin menghadapi resesi jangka panjang. Namun mereka
mengabaikan fakta, bahwa Tiongkok memiliki keunggulan dalam hal independensi kebijakan, pasar
domestik yang besar, dan cadangan kebijakan yang besar.

Buktinya, sejak Agustus tahun ini pemerintah Tiongkok telah meningkatkan penerapan kebijakan
makro, terkait keuangan dan mata uang. Pemerintah terus mengoptimalkan insentif pajak, dan
memperkenalkan serangkaian Langkah-langkah praktis baru, untuk mendukung perekonomian riil
dan perusahaan swasta. https://www.antaranews.com/berita/3701856/china-tingkatkan-upaya-
penerapan-kebijakan-fiskal-proaktif (SS paragraf 1 - 5)

Data resmi yang dirilis beberapa pekan lalu, menunjukkan pertumbuhan Tiongkok pada kuartal
ketiga, ternyata jauh lebih kuat dari perkiraan. Ini tentu meningkatkan harapan bahwa negara dengan
ekonomi terbesar kedua di dunia ini, hampir pasti akan melampaui target pertumbuhan tahunan
sekitar 5 persen pada tahun 2023.

Perwakilan Senior IMF untuk Tiongkok, Steven Barnett pada peluncuran IMF World Economic
Outlook 2023 di Beijing awal bulan ini, memproyeksikan bahwa ekonomi Tiongkok akan tumbuh
sebesar 5 persen tahun ini. Hasilnya, Tiongkok akan menyumbang sekitar sepertiga dari total
pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) global.
https://www.globaltimes.cn/page/202310/1299814.shtml (SS paragraf 6, gausa judul & gambar)

Hal ini tentu akan mengecewakan, bagi mereka yang terlalu antusias dengan narasi “keruntuhan
Tiongkok,” karena Tiongkok yang telah menjadi pendorong pertumbuhan global, dengan kecepatan
pertumbuhan yang menakjubkan dalam beberapa dekade terakhir, kemungkinan akan terus
memimpin pada tahun ini, meskipun tantangannya juga semakin besar. Demikian Jurnal Bharata kali
ini, saya Endro dan Tim Redaksi Bharata Online mengucapkan terima kasih, dan sampai jumpa.

Anda mungkin juga menyukai