Anda di halaman 1dari 3

Kemandekan Ekonomi

Muhamad Chatib Basri ; Senior Fellow Harvard Kennedy School

KOMPAS, 05 Oktober 2015

Ekonomi adalah ilmu yang sedih. Itu sebabnya, ia disebut dismal science. Ia memprediksi lebih banyak
krisis ketimbang kemakmuran. Dengan kata lain, ekonomi adalah ilmu yang muram dan kerap kali
cemas. Salah satunya, kecemasan terhadap perlambatan ekonomi dunia.

Kita mencatat, dalam sepuluh tahun terakhir pertumbuhan ekonomi riil di negara maju berada di bawah
2 persen. Aneh, inflasi rendah, tingkat bunga rendah, tetapi pertumbuhan ekonomi juga rendah.
Ekonom dari Harvard Kennedy School dan mantan Menteri Keuangan Amerika Serikat Larry Summers
menyebut fenomena ini sebagai the Secular Stagnation (kemandekan ekonomi yang panjang). Inilah
yang menjadi debat hangat di kalangan pembuat kebijakan di dunia akhir-akhir ini. Saya kira penting
sekali bagi kita untuk memahaminya. Mungkin dengan itu, kita tahu dunia macam apa yang kita hadapi.

Memburuk atau perlambatan sementara

Summers menuding permintaan yang rendahlah yang menjadi penyebab pertumbuhan ekonomi yang
mandek. Ia mengatakan, saat ini, tabungan lebih besar dari investasi-karena kurangnya permintaan.
Seharusnya, jika tabungan lebih besar dari investasi, dana melimpah. Implikasinya, tingkat bunga harus
turun. Masalahnya, tingkat bunga saat ini sudah mendekati nol persen. Tingkat bunga tak bisa turun lagi.
Lalu Summers bicara mengenai tingkat bunga riil yang negatif (di mana tingkat bunga nominal lebih kecil
dari inflasi). Solusinya, menurut Summers, permintaan harus didorong dengan ekspansi fiskal. Jika tidak,
pertumbuhan rendah ini akan terus berkepanjangan.

Dalam kondisi ini, prospek ekonomi dunia menjadi amat muram. Apabila Summers benar, ekonomi
Indonesia akan menghadapi dunia yang tak lagi cerah. Ben Bernanke, Distinguished Fellow dari
Brookings Institution dan mantan Chairman The Fed, punya pandangan lain. Ia menyangkal terjadinya
secular stagnation. Ia menuding global savings glut (arus modal global yang masuk ke AS karena surplus
di emerging market, khususnya Tiongkok, membuat tabungan di AS meningkat) sebagai penyebabnya.
Karena itu, kata Bernanke, jangan khawatir. Jika prospek investasi di luar AS baik dan arus modal
dibiarkan bergerak bebas, modal akan mengalir ke negara berkembang. Karena itu, masalah ini hanya
sementara.

Bernanke juga mengkritik Summers mengenai tingkat bunga negatif. Ia mengatakan tingkat bunga
negatif tak akan terjadi berkepanjangan. Bayangkan jika tingkat bunga nol persen, proyek apa pun-
selama memberikan imbal lebih dari nol persen-akan layak. Bisa dibayangkan bahwa investasi yang tak
efisien akan menjamur, akhirnya akan terjadi gelembung ekonomi.

Perdebatan menjadi semakin tajam ketika peraih Nobel Ekonomi Paul Krugman dari Universitas
Princeton memberikan argumen yang mendukung Summers, ia merujuk Jepang sebagai contoh secular
stagnation. Selama 20 tahun ekonomi Jepang mandek. Sementara itu, di sisi lain, ekonom dari
Universitas Harvard, Kenneth Rogoff, datang dengan argumen, perlambatan ekonomi dunia ini hanya
sementara. Ia mengkritik Summers dan mengatakan bahwa debt supercyle (siklus utang jangka
panjang)-lah-dan bukan secular stagnation-yang membuat perekonomian dunia lambat.
Ia menunjukkan siklus utang membebani pertumbuhan ekonomi. Jika beban utang dikurangi,
pertumbuhan ekonomi akan kembali. Dalam diskusi informal dengan Rogoff, beberapa waktu lalu, ia
mengatakan kemandekan ini hanya sementara. Ia mengingatkan saya bahwa inovasi akan terjadi,
teknologi akan berubah. Ia menganjurkan saya untuk melihat perkembangan inovasi dan teknologi di
laboratorium media di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Rogoff mengatakan, teknologi dan
inovasi akan membuat ekonomi kembali bergerak.

Faktor Tiongkok

Terus terang, saya tak terlalu pandai menyimpulkan siapa yang benar. Harian Wall Street Journal
menyebut Bernanke punya argumen teori yang kuat, tetapi Summers didukung bukti yang memadai.
Lepas dari siapa yang benar, satu hal jelas, pertumbuhan ekonomi dunia tak akan kembali dalam waktu
dekat. Situasi menjadi semakin buruk lagi karena berakhirnya boom komoditas dan melemahnya
pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan negara berkembang lain, termasuk Indonesia.

Inilah yang menjadi kekhawatiran saat ini. Dalam pertemuan tahunan Bruegel yang diorganisasikan
Jean-Claude Trichet, mantan Presiden Bank Sentral Eropa (ECB), di Brussels, beberapa minggu lalu, saya
diminta bicara mengenai emerging market. Di sana saya bisa merasakan bagaimana kekhawatiran
terhadap Tiongkok.

Kemal Dervis, dari Brooking Institute, misalnya, menyampaikan keraguannya terhadap angka
pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Harian The Financial Times (17/9/2015) juga menulis artikel yang
isinya menunjukkan bahwa investor meragukan statistik pertumbuhan ekonomi di Tiongkok. Angka
resmi dari pemerintah adalah 7 persen di triwulan kedua, tetapi pasar percaya bahwa pertumbuhan
yang sesungguhnya adalah 5 persen.

Masalahnya, tak ada yang tahu persis bagaimana kondisi Tiongkok yang sesungguhnya. Di sini
persoalannya. Semua cemas karena ketidaktahuan. Jika dalam hal kenaikan bunga The Fed, pasar sudah
dapat mengantisipasi dan memperhitungkan risikonya. Namun, dalam hal ekonomi Tiongkok, pasar tak
tahu apa yang benar-benar terjadi di sana. Karena itu, reaksinya bisa sangat ekstrem dan berlebihan
(overshoot). Inilah yang menjelaskan mengapa devaluasi yuan yang relatif kecil pada bulan lalu
direspons pasar secara ekstrem.

Kebijakan kontra-siklus

Kita tak paham Tiongkok, padahal Tiongkok adalah pemain penting. Bank Dunia (2015) menunjukkan
bahwa permintaan terbesar untuk metal dan energi-terutama batubara-berasal dari Tiongkok.
Perlambatan ekonomi Tiongkok membawa dampak kepada harga energi yang rendah. Harga energi yang
rendah akan mendorong nilai ekspor komoditas menurun. Implikasinya, ekspor Indonesia, pertumbuhan
ekonomi, serta penerimaan pajak nonmigas dan migas terpukul secara signifikan. Dalam kondisi ini,
ekspor terpukul, sementara ruang dari kebijakan fiskal untuk ekspansi menjadi amat terbatas. Di sinilah
kesulitan kita. Di satu sisi, kondisi eksternal yang kita hadapi sulit; di sisi lain, ruang untuk ekspansi fiskal,
apalagi ekspansi moneter, amat terbatas.

Lalu apa yang bisa dilakukan? Kita tahu, saat ekonomi melambat, kita butuh kebijakan kontrasiklus.
Pertanyaannya, dengan penerimaan pajak migas dan nonmigas yang terpukul tajam akibat pelambatan
ekonomi dan penurunan harga komoditas, bagaimana ekspansi fiskal harus dilakukan? Saya teringat
triple three (TTT) yang disebut Larry Summers tahun 2008. Ekspansi fiskal harus memenuhi TTT
(targeted, temporary, timely).

Apa terjemahannya bagi Indonesia? Fokuslah kepada kelompok yang bisa memberikan daya ganda
(multiplier) ekonomi paling tinggi bagi perekonomian, fokuslah kepada apa yang bisa dilakukan segera
dan sifatnya sementara. Yang memenuhi kriteria ini adalah-seperti saya pernah tulis sebelumnya-
program cash transfer bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah atau miskin. Karena
penghasilannya rendah, jika mereka dapat tambahan pendapatan, akan dibelanjakan.

Mendorong program dana desa tentu sangat baik, tetapi butuh waktu. Saya agak khawatir, program
dana desa akan memakan waktu agak panjang. Alasannya, prosedur yang rumit dan belum terlatihnya
kepala desa dalam soal tata kelola keuangan dan perencanaan. Saya bisa memahami apabila para kepala
desa dan aparat birokrasi takut ditangkap jika ada kesalahan pengelolaan. Sebenarnya untuk mengatasi
ini, infrastruktur desa bisa dibangun lewat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, yang tata
kelolanya sudah relatif mapan. Sayangnya, program ini sudah tidak lagi dilanjutkan.

Dalam jangka menengah, solusi untuk menarik arus modal asing (PMA) amat penting. Dengan sumber
pembiayaan domestik yang terbatas, ekspansi pertumbuhan ekonomi akan menimbulkan defisit dalam
transaksi berjalan. Dan, kita tahu, setiap kali defisit transaksi berjalan membengkak, pasar cemas, lalu
modal mengalir keluar. Karena itu, cara efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa perlu
mencemaskan defisit transaksi berjalan adalah menarik PMA. Modal tak mudah lari walau defisit
transaksi berjalan meningkat. Dalam kaitan ini, saya kira kita harus menyambut positif paket deregulasi
yang dikeluarkan pemerintah.

Resep klasik untuk mengurangi intervensi pemerintah dalam hal aturan dan perizinan, serta
membiarkan pasar lebih mudah bergerak, adalah langkah yang amat tepat. Masalahnya, jika dulu
sebagian besar izin ada di pemerintah pusat, kini sebagian besar izin ada di daerah. Bisakah deregulasi
ini terjadi di tingkat pemerintah daerah, padahal wewenang pemerintah pusat tak lagi menjangkau
mereka? Jika ini bisa dilakukan, proses investasi akan menjadi jauh lebih cepat. Kita tak perlu selamanya
muram atau cemas seperti ilmu ekonomi. Economics is the dismal science.

Anda mungkin juga menyukai