Anda di halaman 1dari 20

PAPER OF IMMISERIZING GROWTH

INTERNATIONAL ECONOMICS II

By :

BAGAS PRADITYA C1G016012


OLLYVIA RINDHA INTAN P C1G016028
ELMI ZAKIYAH C1G016032

UNIVERSITY OF JENDERAL SOEDIRMAN

FACULTY OF ECONOMIC AND BUSINESS

PURWOKERTO

2018

1
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
limpahan Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini
dengan baik dan benar, serta tepat pada waktunya. Dalam makalah ini kami akan
membahas mengenai “Immiserizing Growth”.

Makalah ini telah dibuat dengan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk
membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah
ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah
ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta
kritik yang dapat membangun makalah kami. Kritik konstruktif dari pembaca
sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Purwokerto, 6 April 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ 1

KATA PENGANTAR ..................................................................................... 2

DAFTAR ISI .................................................................................................... 3

BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 4

1.1 Latar Belakang................................................................................. 4


1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 5
1.3 Tujuan .............................................................................................. 5

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 7

2.1 Pengertian Immiserizing Growth .................................................... 7


2.2 Penyebab Immiserizing Growth ...................................................... 8
2.3 Solusi Immiserizing Growth............................................................ 11
2.4 Kasus Immiserizing Growth ............................................................ 16

BAB III PENUTUP ......................................................................................... 19

3.1 Kesimpulan ...................................................................................... 19

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 20

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi sering digadang-gadang sebagai senjata ampuh untuk


meningkatkan kesejahteraan, termasuk menghapuskan kemiskinan. Tak
mengherankan, bila pemimpin daerah dari propinsi hingga kabupaten kota di
seluruh negeri ini umumnya fasih dengan istilah laju pertumbuhan ekonomi
(LPE). Inilah jargon ekonomi yang begitu populer di daerah. Kesuksesan
pembangunan daerah umumnya diukur dengan pencapaian LPE yang tinggi.

Hal ini, kalau dipikir dengan cermat, sebenarnya cukup mengkhawatirkan. Di


era demokrasi, pemimpin daerah dipilih oleh mayoritas penduduk. Dengan
kata lain konstituen mereka adalah “orang kebanyakan” di daerah tersebut.
Kepentingan masyarakat yang seharusnya diperjuangkan.

Masalahnya, pertumbuhan ekonomi tidak selalu selaras dengan kepentingan


“orang kebanyakan” karena dua hal berikut. Pertama, pertumbuhan ekonomi
tinggi mencerminkan tumbuhnya balas jasa faktor produksi yang tidak
mengenal lokasi. Misalnya, tingginya balas jasa kepemilikan hotel dan
restoran di Kota Bandung belum tentu mengalir ke penduduk kota Bandung.
Kedua, pertumbuhan ekonomi adalah indikator rata-rata, bukan indikator
kebanyakan. Artinya, kenaikan pendapatan segelintir orang secara ekstrim
walaupun merugikan orang kebanyakan akan tetap meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Jadi jelas, kecenderungan pemimipin daerah yang
terlalu bernafsu menggenjot semata-mata pertumbuhan ekonomi adalah
bentuk pengkhianatan amanat politik terhadap konstituen-nya.

Memang, argumen yang menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi


diperlukan untuk mengurangi kemiskinan didukung oleh banyak bukti
empiris. Tapi, ada dua hal yang sering dilupakan. Pertama, kecenderungan
tersebut tidak selalu berlaku. Sangat mungkin terjadi pertumbuhan ekonomi
tapi dibarengi dengan peningkatan angka kemiskinan. Ini yang disebut dalam

4
literatur sebagai ciri pertumbuhan yang menyengsarakan (immiserizing
growth). Kedua, kekuatan hubungan diantara keduanya sangat bervariasi. Ada
yang hubungannya kuat, ada yang tidak. Banyak faktor lain yang bermain.

Di dekade 2000an, di Indonesia, terdapat cukup banyak kasus pertumbuhan


ekonomi positif yang dibarengi dengan peningkatan kemiskinan. Dengan kata
lain, terjadi pertumbuhan yang menyengsarakan. Hal ini umumnya terjadi di
daerah perkotaan yang justru banyak mengalami pertumbuhan ekonomi
sangat tinggi. Sepanjang 2002-2012, misalnya, sepertiga kota di Indonesia
mengalami kenaikan tingkat kemiskinan, walaupun perekonomiannya
tumbuh positif. Analisis statistik periode yg sama untuk seluruh Indonesia
menemukan bahwa hipotesis adanya korelasi antara pertumbuhan ekonomi
dan penurunan kemiskinan tidak terbukti untuk sampel daerah perkotaan.

Para ahli ekonomi pembangunan sepakat bahwa efektivitas pertumbuhan


ekonomi dalam mengurangi kemiskinan sangat dipengaruhi oleh kondisi awal
dari ketimpangan. François Bourguignon, ekonom Perancis yang banyak
dirujuk dalam literatur ketimpangan, menyarikannya dalam konsep growth-
poverty-inequality triangle. Pertumbuhan ekonomi pada perekonomian
dengan distribusi pendapatan yang lebih merata akan lebih efektif
menurunkan kemiskinan dibandingkan pada perekonomian yang lebih
timpang. Karena itu, dengan menggenjot pertumbuhan ekonomi tanpa
memprioritaskan pengurangan ketimpangan, kita beresiko terjebak kepada
pertumbuhan ekonomi yang menyengsarakan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari immiserizing growth?


2. Apa saja penyebab terjadinya immiserizing growth?
3. Bagaimana solusi untuk menghindari immiserizing growth?
4. Bagaimana kasus immiserizing growth?

1.3 Tujuan

1. Menjelaskan pengertian dari immiserizing growth.

5
2. Memahami apa saja penyebab terjadinya immiserizing growth.
3. Mengetahui solusi untuk menghindari immiserizing growth.
4. Mengetahui bagaimana kasus immiserizing growth.

6
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Immiserizing Growth

Konsep ini pertama kalinya diperkenalkan oleh Jagdish Bhagwati.


Immiserizing growth / pertumbuhan ekonomi yang hanya mengharapkan
ekspor komoditi tertentu adalah suatu situasi dimana usaha untuk
meningkatkna pertumbuhan ekonomi potensial dari suatu negara yang sedang
berkembang melalaui ekspor, dalam kenyataannya mengalami kemorosotan.
Hal ini adalah suatu pengecualian yang hanya ada dalam teori dimana suatu
negara hanya khusus mengekspor komoditi seperti hasil tambang atau hasil
pertanian yang memiliki pangsa yang sangat besar di perdagangan dunia.
Negara tersebut membutuhkan ekspor yang lebih besar untuk mendapatkan
valuta asing yang diperlukan untuk membiayai impor barang modal guna
mendorong pertumbuhan domestik. Jika semua usaha ekspor
dikonsentrasikan pada barang-barng khas yang dimilikinya, hal ini dapat
mengakibatkan persediaan yang berlebihan dari produk tersebut dan
selanjutnya mengakibatkan kemorosotan dari syarat perdagangan dari negara
tersebut. Immiserizing pertumbuhan tidak bisa terjadi jika sebuah negara
mengikuti kebijakan perdagangan yang optimal.

Ketika pertumbuhan terjadi, negara selalu dapat meningkatkan tarif impor


(Atau pajak ekspor) sehingga meninggalkan penawaran dagang negara itu
tidak berubah pada harga lama. Maka akan ada kemerosotan dalam hal
perdagangan kerugian kesejahteraan.Kegagalan untuk memiliki kebijakan
perdagangan yang optimal adalah distorsi dalam arti tertentu, dan inilah
distorsi yang mengarah ke kemungkinan immiserizing pertumbuhan. Ada
jenis lain dari distorsi yang juga dapat mengakibatkan kerugian kesejahteraan
dari pertumbuhan.

Kemungkinan terjadinya pertumbuhan yang memiskinkan akan lebih besar


apabila :

7
1. Pertumbuhan tersebut cenderung melonjakkan ekspor berdasarkan nilai
tukar perdagangan yang konstan.
2. Negara 1 sedemikian besar, sehingga setiap lonjakan ekspor akan
menimbulkan dampak negatif terhadap nilai tukar perdagangannya.
3. Elastisitas pendapatan permintaan negara 2 terhadap negara 1 begitu
rendah sehingga nilai tukar perdagangan mudah merosot.
4. Negara 1 begitu tergantung pada perdagangan internasional sehingga
setiap kemerosotan nilai tukar perdagangannya yang cukup parah
langsung menurunkan kesejahteraannya.

2.2 Penyebab Terjadinya Immiserizing Growth

Indonesia mengalami ketimpangan kesejahteraan yang semakin lebar karena


pertumbuhan ekonomi tidak cukup pesat. Struktur ekonomi ekonomi
Indonesia yang masih dalam tahap awal masuk ke ambang negara
berpendapatan menengah membuat pertumbuhan ekonomi tahunan sekitar
5% tidak semestinya dibanggakan karena pertumbuhan sebesar itu belum
cukup untuk mendorong perbaikan kesejahteraan. Untuk menyerap seluruh
tenaga kerja baru setiap tahun, ekonomi Indonesia setidaknya harus tumbuh
7%. Yang terjadi, fenomena middle income trap semakin jelas tampak di
Indonesia.

Selain tidak cukup cepat, pertumbuhan ekonomi yang muncul bukanlah


pertumbuhan yang berkualitas. Di semakin banyak daerah, terjadi
pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan semakin dalamnya tingkat
kemiskinan.Pada gilirannya, ketimpangan menjadi semakin dalam. Ini adalah
immiserizing growth (pertumbuhan yang menyengsarakan).

Immizerising growth tercipta karena berbagai sebab. Antara lain:

1. Kesalahan kebijakan struktural yang berlangsung sejak lama membuat


ekonomi Indonesia mengalami de-industrialisasi. Ekspor Indonesia relatif
masih bergantung pada beberapa komoditas, kalau tak boleh dibilang
hanya dua: sawit dan batu bara. Distribusi nilai tambah di sektor ini

8
terpusat pada pemilik modal dengan daya ungkit yang kecil bagi
masyarakat sekitar.
2. Kekeliruan kebijakan ini terjadi karena tidak ada konsistensi kebijakan
yang baik dan benar dalam jangka panjang. Harus diakui, kebijakan
restrukturisasi ekonomi yang baik dan perlu efeknya baru terasa pada
jangka panjang. Yang selalu terjadi di Indonesia, sebelum efek ini terasa,
sudah ada pergantian kebijakan karena perubahan pemerintahan maupun
karena tekanan kelompok-kelompok kepentingan, apakah itu kepentingan
politik dan ideologis maupun kepentingan ekonomi kroni.
3. Sementara itu, pertumbuhan di sektor agrikultur tertinggal. Padahal di
sinilah sebagian besar masyarakat bekerja. Data terakhir menunjukkan
31.86% pekerja atau 39,68 juta orang mencari nafkah di sektor
pertanian.Kemudian disusul oleh sektor perdagangan, sektor jasa
kemasyarakatan, dan sektor industri yang masing-masing sebesar
23,37%,16,82% dan 13,31%. Dalam tiga tahun terakhir, situasi menjadi
semakin parah karena kebijakan yang keliru di sektor pertanian berfokus
pada pemenuhan swasembada yang tidak masuk akal sehat secara
ekonomi serta tidak efisien. Harga pangan tetap tinggi sementara nilai
tukar petani justru stagnan kalau tak bisa dibilang menurun.
4. Ekonomi Indonesia juga langsung melompat ke sektor jasa yang nilai
tambahnya lebih banyak mengalir ke kelompok menengah atas. Investasi
besar tidak lagi masuk ke manufaktur yang lebih besar rantai pasokan
maupun leverage-nya, sehingga lebih berkualitas. Pekerja di sektor jasa
menikmati upah lebih baik, namun mereka harus berpendidikan.
Sedangkan peluang untuk kelas buruh, yang berpendidikan rendah, tidak
banyak karena lapangan kerja di bidang industri semakin sempit. Karena
kelompok yang bawah tidak mendapat peluang yang cukup, pertumbuhan
cepat di sektor jasa memperlebar kesenjangan karena yang lebih
menikmati nilai tambah kelompok menengah atas.
5. Sektor jasa di Indonesia sangat terproteksi dan membuat pengusaha lebih
terdorong berinvestasi di sana. Ada excess demand yang besar sehingga
sensitifitas permintaan terhadap harga sangat kecil yang juga berarti

9
potensi keuntungan yang besar. Sektor jasa umumnya juga bersifat non-
tradeable sehingga pertumbuhan yang muncul tidak menciptakan gain
from trade. Selama ini, negara-negara yang menikmati pertumbuhan
kesejahteraan sangat pesat adalah negara yang dapat menikmati nilai
tambah dari perdagangan internasional yang besar. Sayangnya ekonomi
Indonesia justru semakin tertutup dan semakin terjerat semangat
nasionalisme sempit.
6. Regulasi ketenagakerjaan memperburuk situasi karena pasar tenaga kerja
menjadi tidak efisien. Situasi sekarang adalah situasi lose-lose, baik buruh
maupun pengusaha sama-sama tidak senang dan merasa dirugikan.
Penciptaan lapangan kerja terhambat karena regulasi yang sangat kaku
membuat penguasa enggan melakukan rekrutmen. Proteksi yang
berlebihan pada buruh yang sudah bekerja membuat tenaga kerja baru
yang belum bekerja menjadi tersandera. Sementara, ketiadaan lapangan
kerja adalah salah satu sebab utama kemiskinan.
7. Pada saat yang sama peran ekonomi kroni justru semakin besar. Ekonomi
kroni semakin memusatkan distribusi nilai tambah pada sekelompok kecil
orang yang dekat dengan penguasa. Posisi Indonesia memburuk
berdasarkan indeks ekonomi kroni yang dibuat The Economist. Ekonomi
kroni adalah kegiatan usaha yang bergantung pada perizinan dan konsesi
dari penguasa seperti pertambangan, perkebunan besar, properti,
perdagangan dengan tata niaga, dsb.
8. Pemerintah juga semakin memusatkan kegiatan ekonomi pada BUMN
yang semakin dominan. Bahkan BUMN juga merambah ke bidang-bidang
usaha yang semestinya tidak perlu dimasuki negara. Kesempatan bagi
dunia usaha swasta semakin sempit. Kebijakan ini juga semakin
memusatkan distribusi pendapatan pada kelompok tertentu, yang tak lepas
dari praktek kroni.
9. Data juga menunjukkan betapa pengeluaran sosial Pemerintah masih kecil
secara relatif terhadap PDB. Bahkan dibandingkan dengan negara-negara
ASEAN, pengeluaran untuk program-program sosial di Indonesia jauh
lebih kecil.

10
10. Selain jumlahnya kecil, masih banyak pengeluaran sosial yang tidak tepat
sasaran. Subsidi pupuk misalnya, yang hanya sebagian kecil menyentuh
petani miskin. Atau dana desa yang secara proporsional sangat tidak adil
bagi orang miskin yang tinggal di kawasan padat Jawa.

Pertumbuhan yang mengancam kemungkinan besar terjadi ketika:

1. Pembayaran impor suatu negara menurun relatif terhadap pendapatan


ekspornya.
2. Peningkatan populasi melebihi peningkatan pendapatan nasional suatu
negara.
3. Manfaat pertumbuhan ekonomi tidak dibagi secara merata oleh semua
penduduk negara.
4. Pertumbuhan ekonomi mengarah pada kemunduran ketentuan
perdagangan suatu negara

2.3 Solusi Untuk Menghindari Immiserizing Growth

Besarnya jumlah keluarga yang masuk kelompok rentan membuat upaya


pemberantasan kemiskinan sangat sulit. Terjadi mutasi keluar-masuk yang
cepat, ada yang lepas dari kemiskinan dan pada saat yang sama ada pula
keluar yang turun kembali menjadi miskin. Oleh karena itu upaya
pengentasan kemiskinan harus melibatkan semua warga negara. Semua orang
punya peran.

Ada beberapa perilaku kunci yang harus benar-benar memasyarakat.


Menyekolahkan anak, pemberian ASI ekslusif, imunisasi adalah langkah-
langkah dasar untuk memutus rantai kemiskinan agar tidak diturunkan.
Prioritas pengeluaran rumah tangga harus lebih terarah pada perbaikan gizi
untuk mengatasi masalah stunting yang membuat kemiskinan berlanjut ke
generasi berikut.

Untuk mengatasi kemiskinan agar tidak berkembang menjadi proses


pemiskinan yang berkelanjutan pemerintah harus melakukan serangkaian

11
koreksi kebijakan jangka secara struktural. Dampaknya baru terasa pada
jangka menengah panjang, tapi jika tidak dilaksanakan sejak sekarang proses
pertumbuhan yang menyengsarakan akan terus berlanjut. Serangkaian
perubahan struktural itu:

1. Segera merumuskan langkah-langkah untuk mengurangi ketergantungan


pada ekspor komoditas sebagai motor pertumbuhan.
2. Menyusun serangkaian kebijakan lintas kementerian dan sektor untuk
kembali membangkitkan industrialisasi.
3. Mengembangkan akuakultur dan perikanan sebagai andalan utama sektor
pertanian karena kondisi geografis Indonesia yang sangat mendukung.
4. Segera memulai perubahan regulasi ketenagakerjaan untuk
merestrukturisasi pasar tenaga kerja agar lebih efisien. Tanpa perubahan
regulasi yang mendasar, ketimpangan pasar tenaga kerja akan semakin
dalam dan memperparah ketimpangan kesejahteraan secara keseluruhan.

Selain perubahan struktural jangka menengah panjang, ada banyak koreksi


kebijakan yang bisa segera berjalan untuk mengurangi kemiskinan dan
ketimpangan kesejahteraan. Beberapa kebijakan yang dapat memberikan hasil
dalam jangka pendek itu:

1. Menghilangkan tata niaga yang tidak efisien. Harga pangan harus


terkendali karena sangat menentukan nasib mereka yang miskin dan
rentan. Namun cara mengendalikannya tidak bisa menggunakan cara
komando. Bukan pula dengan pendekatan menakut-nakuti memakai
Bareskrim atau BIN. Pengendalian harga bahan pokok harus berlangsung
melalui mekanisme tata niaga yang paling efisien dan menciptakan harga
paling rendah bukan untuk kepentingan kroni atau pemegang konsesi yang
mengatasnamakan petani, peternak, atau produsen lokal. Fokus utama
kebijakan harga adalah mengangkat keluarga miskin, bukan memberi
proteksi bagi pengusaha lokal.
2. Sentimen anti impor demi swasembada harus segera berakhir. Tidak ada
negara yang dapat hidup tanpa impor. Harus ada kebijakan yang lebih

12
berbasis pada akal sehat, bukan nasionalisme asal swasembada yang justru
menciptakan inefisiensi dan menjadi tunggangan para kroni untuk
memburu rente.
3. Pengkajian kembali model pembangunan infrastruktur. Indonesia
mengalami defisit infrastruktur, maka harus ada upaya percepatan
pembangunannya. Tapi, membangun infrastruktur membutuhkan dana
besar dan dampaknya baru terasa dalam jangka panjang. Oleh karenanya
proyek infrastruktur tidak fleksibel. Sekali dimulai, implementasinya harus
konsisten sampai selesai. Ini memerlukan tata kelola yang optimal, sejak
perencanaan, pelaksanaan, hingga kelaikan operasionalnya dalam jangka
panjang. Pada akhirnya tujuan utama pembangunan infrastruktur adalah
menurunkan sebesar mungkin biaya logistik sehingga ekonomi menjadi
lebih efisien dengan ongkos seoptimal mungkin. Maka pilihan
infrastruktur apa yang akan dibangun juga amatlah penting. Partisipasi
swasta sedapat mungkin diperbesar agar pemerintah lebih leluasa
mengalokasikan bujet yang lebih besar pada pengeluaran sosial. Jika
syarat-syarat itu tak terpenuhi, pemerintah harus berani melakukan
pengkajian ulang. Sudah ada gelagat bahwa berbagai pembangunan
infrastruktur yang tengah berlangsung tidak tepat sasaran dan bahkan
berpotensi mangkrak menjadi monumen kesia-siaan.
4. Perbaikan mekanisme pembuatan keputusan. Harus ada perbaikan pada
proses tata kelola pemerintahan di tingkat tertinggi (Presiden) untuk
mencegah kekeliruan pengambilan keputusan. Pembuatan kebijakan harus
berdasarkan perencanaan yang baik dan komprehensif serta data seakurat
mungkin, bukan temuan-temuan ad hoc yang belum teruji kebenarannya.
Gap antara knowledge maker (lembaga-lembaga think tank, akademisi,
atau kementerian dan lembaga pemerintah yang melakukan riset dan
menguasai data) dengan pembuat kebijakan harus dipersempit. Kebijakan
harus realistis dan lebih berbasis akal sehat dan bukan dengan mantra
“Pokoknya” yang terlihat hebat dalam konteks pencitraan tapi justru pada
akhirnya banyak menimbulkan persoalan saat implementasi. Buruknya

13
kebijakan pangan dan pembangunan infrastruktur hanya sekadar contoh
dari banyaknya kekeliruan kebijakan yang terjadi.
5. Optimalisasi belanja dan implementasi program sosial. Secara rasio
terhadap PDB, belanja pemerintah untuk program-program sosial masih
termasuk rendah. Dana untuk program-program bantuan langsung
seyogyanya diperbesar disertai perbaikan implementasi program untuk
menjamin efektifitas dan efisiensinya. Ada banyak contoh tentang
buruknya implementasi yang pada akhirnya membuat program bantuan
sosial menjadi tidak efektif dan tepat sasaran. Perubahan metode
pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin) misalnya, justru berujung
pada pola tidak lebih baik karena kepentingan bank-bank milik negara dan
juga Bulog. Keinginan memodernisasi penyaluran bantuan tidak berhasil,
kalah oleh pertimbangan politis.
6. Perbaikan kualitas pelayanan dasar. Warga miskin di Indonesia mengalami
ketimpangan akses, ketimpangan fasilitas, dan ketimpangan layanan dasar.
Mengatasi ketimpangan akses dan fasilitas lebih membutuhkan waktu dan
anggaran. Sedangkan perbaikan kualitas layanan dasar relatif lebih mudah
diupayakan dan dicapai. Pemerintah semestinya bisa memperbaiki kualitas
layanan dasar dengan mendorong profesionalisme dan kualitas aparatur
negara serta memperbaiki pengawasan sembari menerapkan merit system.
Pemerintah seharusnya melaksanakan konsep open government agar
pelayanan publik lebih baik. Pemerintah dapat mendorong peran serta
publik secara luas untuk turut mengawasi kualitas layanan dasar. Program
Lapor oleh UKP4 yang dulu pernah berjalan dengan baik harus di
hidupkan kembali. Perbaikan kualitas layanan dasar bisa berjalan tanpa
memerlukan anggaran besar dan daoat segera berjalan. Yang diperlukan
hanyalah komitmen untuk melayani publik sejalan dengan perbaikan
kesejahteraan aparatur negara yang kini semakin baik.
7. Memperbaiki kredibilitas anggaran dengan menetapkan target-target yang
lebih realistis. Rasio penerimaan pemerintah dari pajak dibandingkan
dengan PDB Indonesia (tax ratio) masih rendah, bahkan termasuk yang
paling rendah di ASEAN. Artinya, masih ada ruang yang luas bagi

14
Pemerintah RI untuk menaikkan penerimaan pajak. Tapi, bukan berarti
pemerintah dapat dengan serta-merta menaikkan target penerimaan pajak
begitu saja. Terlebih lagi ketika siklus dunia usaha sedang lesu karena
imbas penurunan harga komoditas dan melesunya ekonomi global. Dalam
situasi seperti ini, pemerintahan Presiden Joko Widodo justru menaikkan
target penerimaan pajak dengan sangat agresif. Akibatnya muncul defisit
yang besar. Target penerimaan yang sangat tinggi dan tidak realistis itu
juga mendorong pemerintah merencanaan berbagai pengeluaran yang pada
gilirannya tidak mungkin terealisir karena penerimaan tidak tercapai.
Masalah lain yang berikutnya muncul adalah membesarnya defisit
anggaran yang membuat kredibilitas anggaran memburuk yang berdampak
pada baiknya bunga surat utang Pemerintah. Biaya bunga yang lebih besar
membuat kemampuan belanja pemerintah untuk program sosial menurun.
Kesimpulannya penetapan target yang tidak realistis justru menimbulkan
beban yang cukup besar pada keuangan negara. Akibat lainnya adalah
peringkat kredit Indonesia tidak membaik. Biaya bubga utang luar negerk
korporasi juga ikut naik, dan akhirnya membuat ekonomi Indonesia
menjadi tidak efisien karena terbebani biaya tinggi.
8. Perbaikan program-program pemerintah untuk mengatasi ketimpangan.
Masih ada banyak kelemahan pada Kebijakan Ekonomi Berkeadilan yang
menjadi andalan pemerintah untuk mengatasi ketimpangan. Program
Reforma Agraria yang menjadi andalan pemerintah, misalnya, masih
memerlukan program lain sebagai pendamping agar program ini benar-
benar dapat membantu petani miskin. Sayangnya, program what next ini
belum ada.. Memiliki tanah tak akan bahyak membantu jika warga miskin
yabg mendapat tanah tidak memiliki ketrampilan dan modal untuk
mengolah tanah itu. Belum lagi ada mismatch antara lokasi warga yang
memerlukan bantuan dengan lokasi tanah yang tersedia. Data tanah yang
dapat dibagikan juga masih tidak jelas dan simpang siur. Reforma Agraria
juga menimbulkan ketidak pastian pada pengusaha karena ada redistribusi
aset yang mengesankan akan ada upaya nasionalisasi. Padahal, sektor

15
perkebunan sawit merupakan penghasil ekpor utama yang menjadi motor
pertumbuhan.

2.4 Kasus Immiserizing Growth

Proses pertumbuhan ekonomi dapat menyebabkan peningkatan tingkat output


dalam pertumbuhan ekonomi dan efek kekayaan bahkan mungkin positif
tetapi penurunan dalam hal perdagangannya mungkin begitu besar sehingga
lebih dari mengimbangi efek kekayaan positif. Dalam situasi seperti itu, bisa
ada penurunan bersih dalam kesejahteraan bangsa. Dengan kata lain, itu
menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Proses pertumbuhan dan perdagangan,
yang mengakibatkan negara ini menjadi lebih miskin dalam hal
kesejahteraan, telah disebut sebagai 'pertumbuhan yang lebih menarik' oleh
Jagdish Bhagwati.

Asumsi:

Kemungkinan pertumbuhan immiserising dapat didiskusikan di bawah


serangkaian asumsi berikut:

1) Ada dua negara, negara asal A dan negara asing B.


2) Negara asal mengalami pertumbuhan sedangkan negara lain tidak
mengalami pertumbuhan adalah hasil nyata.
3) Ada dua komoditas X dan Y.
4) Komoditas X adalah komoditas ekspor negara A sedangkan Y adalah
komoditas impornya.
5) Ada pekerjaan atau sumber daya penuh.
6) Kemajuan teknis adalah netral.
7) Pertumbuhan menghasilkan ekspansi dalam pasokan faktor berlimpah,
katakanlah tenaga kerja.
8) Faktor-faktor produktif bersifat mobile antara kedua negara.

Kasus pertumbuhan immiserising dapat dijelaskan berdasarkan asumsi di atas


dengan bantuan Gambar

16
Pada Gambar. 11.7, AA1 adalah kurva kemungkinan produksi asli dan T1
adalah syarat-syarat jalur perdagangan. Keseimbangan produksi ditentukan
pada B. Keseimbangan konsumsi terjadi pada C1 di mana T1 bersinggungan
dengan kurva indiferensi komunitas I2. Negara A mengekspor kuantitas BP X
dan mengimpor kuantitas Y komoditas C1P. Ketika pertumbuhan terjadi dan
pasokan tenaga kerja meningkat, kurva kemungkinan produksi bergeser ke
AA2.

Harga komoditas X padat karya turun relatif terhadap komoditas Y sehingga


kemiringan ketentuan garis perdagangan T2 menurun. Produksi terjadi di B1
dan konsumsi terjadi di C2 di mana syarat-syarat jalur perdagangan T2
menjadi bersinggungan dengan kurva indiferen I1. Jadi setelah pertumbuhan
terjadi, jumlah B1P1 X diekspor dan kuantitas C2P1 Y diimpor.

Ada peningkatan produksi komoditas impor karena pertumbuhan dan harga


relatif yang lebih tinggi. Di sisi lain, konsumsi komoditas impor menurun
karena kenaikan harga relatif. Tidak diragukan lagi, ada peningkatan produksi
tetapi ketentuan perdagangan untuk negara asal menjadi semakin buruk
sehingga titik konsumsi bergeser dari kurva indiferensi yang lebih tinggi ke
kurva indiferen yang lebih rendah. Akibatnya, tingkat kesejahteraan
menyusut setelah pertumbuhan. Ini menandakan pertumbuhan yang
menggembirakan.

17
Salvatore telah menyebutkan berbagai situasi di mana negara A tertentu,
dapat mengalami pertumbuhan yang menakutkan. Pertama, pertumbuhan
imiserising dapat terjadi, ketika ekspor negara tertentu A cenderung
berkembang secara substansial dengan persyaratan perdagangan yang
konstan. Kedua, pertumbuhan imiserising dapat terjadi ketika negara A
sangat besar sehingga upaya untuk memperluas ekspornya menghasilkan
kondisi perdagangan yang memburuk untuknya.

Ketiga, ketentuan perdagangan negara A dapat memburuk, jika elastisitas


pendapatan permintaan negara B untuk ekspor negara A sangat rendah.
Keempat, dalam kasus negara berkembang kecil, fenomena ini dapat terjadi
karena distorsi seperti perdagangan monopoli dan tarif. Kelima, kondisi
pertumbuhan imiserisasi untuk negara A dapat muncul, jika sangat
bergantung pada perdagangan sehingga perburukan substansial dalam
ketentuan perdagangannya menghasilkan penurunan kesejahteraan
nasionalnya.

Fenomena ini mungkin berlaku di negara-negara berkembang besar yang


memiliki permintaan tidak elastis untuk ekspor mereka di negara-negara
asing. Seandainya mereka menghasilkan panen yang melimpah, harga
internasional cenderung ambruk dan ketentuan perdagangan mereka menjadi
tidak menguntungkan. Itu melibatkan mereka dalam pertumbuhan yang
menakutkan.

Namun, fenomena ini tampaknya tidak lazim di dunia nyata. Sekalipun diakui
bahwa telah terjadi kemunduran sekuler dari ketentuan-ketentuan
perdagangan untuk negara-negara berkembang, yang telah dikompensasi oleh
peningkatan produksi yang substansial dan peningkatan pendapatan dan
kesejahteraan per kapita yang nyata. Peningkatan pendapatan riil per kapita
akan jauh lebih besar, jika pertumbuhan populasi terjadi pada tingkat yang
relatif lebih rendah.

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Immiserizing growth / pertumbuhan ekonomi yang hanya mengharapkan


ekspor komoditi tertentu adalah suatu situasi dimana usaha untuk
meningkatkna pertumbuhan ekonomi potensial dari suatu negara yang sedang
berkembang melalaui ekspor, dalam kenyataannya mengalami kemorosotan.
Pertumbuhan yang mengancam kemungkinan besar terjadi ketika:

1. Pembayaran impor suatu negara menurun relatif terhadap pendapatan


ekspornya.
2. Peningkatan populasi melebihi peningkatan pendapatan nasional suatu
negara.
3. Manfaat pertumbuhan ekonomi tidak dibagi secara merata oleh semua
penduduk negara.
4. Pertumbuhan ekonomi mengarah pada kemunduran ketentuan
perdagangan suatu negara.

19
DAFTAR PUSTAKA

http://sdgcenter.unpad.ac.id/ketimpangan-dan-pertumbuhan-yang-
menyengsarakan/

http://risnarizal.blogspot.com/2015/05/teori-kemiskinan.html?m=1

https://contohdanfungsi.blogspot.com/2013/03/pertumbuhan-dan-
perdagangan.html?m=1

https://faisalbasri.com/2017/05/12/rangkuman-diskusi-ketimpangan-ekonomi/

https://www.chegg.com/homework-help/questions-and-answers/immiserizing-
growth-likely-occur-import-payments-country-decline-relative-export-earnings--
q27950957

http://www.economicsdiscussion.net/economic-growth/theories-economic-
growth/theory-of-immiserising-growth-economics/30879

20

Anda mungkin juga menyukai