Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

EKONOMI MONETER
“KRISIS KEUANGAN TAHUN 2008”

Oleh:

KELOMPOK IIV

1. Nurohman
2. Yudistira
3. Asep Sulaeman

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI


PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
STIE BUDI PERTIWI
2024

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Krisis ekonomi global awalnya karena subprime mortage atau kredit macet
sektor perumahan di AS yang akhirnya membuat ambruknya pasar modal AS
dengan anjloknya indeks saham di Bursa Efek New York dan diperparah
melambungnya harga minyak dunia hingga menyentuh harga 105 dolar AS per
barel yang memberi kontribusi terhadap tekanan terhadap perekonomian AS.
Kondisi internal dan eksternal AS yang kurang kondusif menggiring melemahnya
nilai tukar dolar AS terhadap euro dan yen sehingga memicu kenaikan harga
komoditas internasional seperti minyak, batu bara, gas alam dan emas.
Ketergantungan industri AS akan minyak masih dominan sehingga menambah
deret keterpurukan ekonomi AS. Konsekuensi dari peristiwa tersebut berdampak
pada stagflasi dimana akan terjadi percepatan laju inflasi global yang mendorong
perlambatan ekonomi. Akibatnya tingkat permintaan di seluruh dunia melemah
tanpa kecuali. Negara industri maju mengalami derita resesi yang parah. Repotnya,
derita itu ditularkan dan dirasakan pula pada kita Indonesia. Jalur perdagangan
(ekspor-impor) dan jalur keuangan (arus modal) adalah pintu masuk mrambatnya
krisis global pada ekonomi domestik. Akibat yang dirasakan adalah ke sektor riil.
Apabila dunia bisnis semakin melemah, nantinya akan menyentuh pada
pengangguran dan kemiskinan. Inilah yang menjadi ancaman terberat bagi sektor
riil di Indonesia. Pada tahun 2008, angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) telah
meningkat. Pada November saja, tercatat sebanyak 66.000 orang yang terkena
PHK. Jumlah yang di-PHK ini diperkirakan terus meningkat pada 2009. Belum lagi
krisis juga menghantam organisasi non profit atau Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), dikarenakan sumber-sumber pendanaan LSM-LSM di negara selatan
berasal dari lembaga donor di negara-negara utara yang sedang mengalami krisis
keuangan. Adanya krisis keuangan yang melanda negara-negara utara tentu saja
akan mengurangi penggalangan dana yang dilakukan oleh lembaga-lembaga donor

2
dari negara tersebut. Biasanya lembaga-lembaga donor dari negara-negara utara
menggalang dana dari pajak atau sumbangan sukarela warga negaranya. Hasil dari
penggalangan dana itu kemudian disalurkan ke LSM-LSM di negara-negara
selatan. Sementara di Indonesia, sebagian besar LSM menerima dana dari lembaga
donor yang berasal dari negara Amerika Serikat dan Eropa. Kelesuan kegiatan
ekonomi di kedua kawasan itu tentu saja mempengaruhi kelancaran pendanaan bagi
LSM-LSM di Indonesia. Krisis juga mengakibatkan merosotnya nilai tukar rupiah,
kemerosotan yang tajam atas Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek
Indonesia (BEI) yg mengakibatkan pr investor menarik dana mrka smua Sektor
properti juga terkena imbasnya, krn perbankan menyetop sementara untuk
pemberian kredit sektor properti. Bagi industri properti pendanaan dari perbankan
adlh kebutuhan dana yang vital di samping mereka mengalokasikan dana internal.
Apalagi suku bunga kredit pemilikan rumah yang naik akibat ditetapkannya suku
bunga acuan atau BI rate yg naik juga. Jadi intinya krisis global membawa dampak
yang luar biasa besar bagi Indonesia bhkn ekonomi pembanguan pd umumnya. Tapi
dibalik krisis global tersebut masih ada faktor-faktor ekonomi yang dianggap
“penyelamat bangsa”. Mereka adalah para pelaku ekonomi yang telah terbukti
selama ini memiliki daya tahan yang tinggi. Mereka tersebar luas di seluruh penjuru
nusantara dalam peranannya sebagai petani, nelayan, peternak, pengusaha UMKM
dan pelaku ekonomi daerah. Merekalah sebenarnya “kantung penyelamat bangsa”.
Saat krisis melanda Indonesia, dimana ekonomi tertekan dengan berat, usaha
mereka masih tumbuh pada kisaran 3-4%.

2.1 RUMUSAN MASALAH


1. Apa penyebab krisis global?
2. Bagaimana asal mula krisis subprime mortgage di amerika serikat (as)?
3. Apa hubungan subprime mortgage dengan bangkrutnya investment
banking seperti lehman brothers?
4. Siapa saja aktor yang berperan dalam krisis finansial di amerika serikat?

3
5. Bagaimana dampak krisis subprime mortgage amerika serikat (as) pada
negara - negara di dunia?
6. Apa kebijakan bank sentral amerika serikat untuk mengatasi krisis
subprime mortgage?
7. Bagaimana dampak krisis amerika serikat terhadap ekonomi berbagai
negara?
8. Bagaimana dampak krisis amerika serikat terhadap ekonomi indonesia?
9. Bagaimana krisis di Indonesia?
10. Bagaimana cara pemerintah Indonesia mengatasi krisis global?
11. Apa saja langkah indonesia dalam menghadapi krisis global?

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENYEBAB KRISIS GLOBAL

Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara- negara yang ada di bumi ini tengah
menghadapi suatu krisis keuangan secara global. Diakui ataupun tidak, krisis yang
sedang dihadapi hampir semua negara yang ada ini merupakan imbas dari krisis
finansial yang terjadi di negara adidaya, Amerika serikat. Krisis ekonomi yang
terjadi di Amerika Serikat menghenyakan banyak orang. Banyak yang terkejut
mengapa negara sebesar Amerika Serikat bisa mengalami krisis ekonomi atau
moneter yang merontokan pasar saham dan keuangan di Amerika Serikat dan
bahkan di dunia.

Ada beberapa kasus yang dianggap sebagai penyebab terjadinya krisis AS saat ini,
antara lain:

1. Penumpukan hutang nasional hingga mencapai 8.98 trilyun dollar AS sedangkan


PDB hanya 13 trilyun dollar AS

2. Terdapat progam pengurangan pajak korporasi sebesar 1.35 trilyun dollar


(akibatnya pendapatan AS berkurang)

3. Pembengkakan biaya Perang Irak dan Afganistan (hasilnya Irak tidak aman dan
Osama Bin Laden tidak tertangkap juga) setelah membiayai perang Korea dan
Vietnam.

4. CFTC (Commodity Futures Trading Commision) sebuah lembaga pengawas


keuangan tidak mengawasi ICE (Inter Continental Exchange) sebuah badan yang
melakukan aktifitas perdagangan berjangka.Dimana ECE juga turut berperan
mengdongkrak harga minyak hingga lebih dari USD 100/barel.

5. Subprime Mortgage: Kerugian surat berharga property sehingga


membangkrutkan Merryl Lynch, Goldman Sachs, Northern Rock,UBS, Mitsubishi
UFJ.

6. Keputusan suku bunga murah dapat mendorong spekulasi.

5
Namun dari ke-6 alasan munculnya krisis AS saat ini, penyebab poin ke-5 lah yang
dianggap paling berperan. Berikut ini saya sampaikan asal mula krisis Subprime
Mortage.

2.2 ASAL MULA KRISIS SUBPRIME MORTGAGE DI AMERIKA


SERIKAT (AS)

Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus berkembang
di semua sektor. Terutama sector laba. Kalau bisa, laba sebuah perusahaan publik
terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Caranya bagaimana, hal itu
merupakan urusan kiat para CEO dan direkturnya.

Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau tahu lagi
apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka mau tahu adalah
dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus terus naik dan labanya harus
terus meningkat.

Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu orang, sehingga
mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan mereka.

Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau para
pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih tinggi dibanding
waktu mereka beli dulu (untung).

Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin menjual
saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang kian banyak.

Mengenai cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan baik,
terserah pada CEO-nya. Mau memakai cara kucing hitam atau cara kucing putih.
Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja para CEO tersebut: hukum
perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, hukum perburuhan, dan seterusnya.

6
Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa tertekan dan
stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa untung, tapi kadang
juga bisa rugi?

Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa disuruh
pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya. Mengapa? Pertama, agar
dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar dia mendapat bonus
superbesar yang biasanya dihitung sekian persen dari laba dan pertumbuhan yang
dicapai. Gaji dan bonus yang diterima para CEO perusahaan besar di AS bisa 100
kali lebih besar dari gaji Presiden George Bush. Mana bisa dengan gaji sebesar itu
masih stres?

Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti
tumbu ketemu tutup. Maka, semua perusahaan dipaksa untuk terus-menerus
berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain. Kalau
jalan lain tidak ditemukan, buat jalan baru. Kalau membuat jalan baru ternyata sulit,
ambil saja jalannya orang lain. Kalau tidak boleh diambil? Beli! Kalau tidak dijual?
Beli dengan cara yang licik -dan kasar! Istilah populernya hostile take over.

Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk bikinkan
berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat jalan.

Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang senang. CEO dan para
direkturnya senang karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar setahun.

Para pemilik saham juga senang karena kekayaannya terus naik. Pemerintah senang
karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi senang karena dapat
dukungan atau sumber dana.

Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan kesejahteraan


rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli kebutuhan hidupnya.
Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya. Semakin banyak yang bisa
membeli barang, ekonomi semakin maju lagi.

7
Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Kalau tidak bisa membuat sendiri, maka
barang tersebut didatangkan dari Tiongkok atau Indonesia atau negara lainnya.
Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa saja ke AS yang bisa
membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar di dunia (USD 2 triliun).

Sudah lebih dari 60 tahun cara ''membesarkan' ' perusahaan seperti itu dilakukan di
AS dengan sukses. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. AS dengan kemakmuran
dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa dunia.

Tapi, itu belum cukup. Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet
otomatis dianggap tidak cukup lagi, toiletnya harus computerized. Bonus yang
sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus meningkat harus terus
mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah sebesar gajah harus dibuat lebih
jumbo.

Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi perusahaan
yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus meningkat, dicarilah jalan
agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan dalam jumlah yang kian banyak. Kalau
orangnya sudah punya rumah, harus diciptakan agar kucing atau anjingnya juga
punya rumah. Demikian juga mobilnya. Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya
rumah, siapa lagi yang akan membeli rumah?

Kalau tidak ada lagi yang membeli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih besar?
Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan alat-alat
bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa lebih besar? Bagaimana notaris
bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan penjual kloset bisa lebih besar? Padahal,
doktrinnya, semua perusahaan harus semakin besar?

Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada 1980,
pemerintah membuat keputusan yang disebut ''Deregulasi Kontrol Moneter''.
Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan real-estat diperbolehkan menggunakan
variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan bunga tambahan dari bunga yang
sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan baru itu berlaku dua tahun kemudian.

8
Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan, asuransi,
broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang dimanfaatkan perbankan
secara nyata.

Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam undang-


undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan memenuhi syarat
tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti KPR,meski tidak sama).

Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil mortgage
untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya ringan karena mortgage
itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen setahun.

Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yang


terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di Dubai naik
55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam menetapkan syarat orang yang
bisa mendapat mortgage.

Dengan keluarnya ''jalan baru'' pada 1980 itu, terbuka peluang untuk menaikkan
bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. Bank bisa dapat
peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. Juga para broker dan bisnis
lain yang terkait.

Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan. Maka, ada
lagi ''jalan baru'' yang dibuat pemerintah enam tahun kemudian. Yakni, tahun 1986.
Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu isinya: pembeli
rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga berlaku bagi pembelian rumah
satu lagi. Artinya, meski sudah punya rumah, kalau mau beli rumah satu lagi, masih
bisa dimasukkan dalam fasilitas itu.

Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang luar


biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di Swedia atau
Denmark , gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen. Imbalannya, semua keperluan
hidup seperti sekolah dan pengobatan gratis. Hari tua juga terjamin.

9
Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis menjelang
1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. Kredit yang disebut mortgage
yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun langsung menjadi dua kali lipat pada
tahun berikutnya. Tahun-tahun berikutnya terus meningkat lagi. Pada 2004
mencapai hampir USD 700 miliar setahun.

Kata ''mortgage'' berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. Artinya: matinya
sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah. Dalam mortgage, Anda mendapat
kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah itu Anda serahkan kepada pihak yang
memberi kredit. Anda boleh menempatinya selama cicilan Anda belum lunas.

Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet, rumah
itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa itu bukan rumah
Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar cicilan, ikrar itu dianggap
mati. Dengan demikian, Anda harus langsung pergi dari rumah tersebut.

2.3 HUBUNGAN SUBPRIME MORTGAGE DENGAN BANGKRUTNYA


INVESTMENT BANKING SEPERTI LEHMAN BROTHERS

Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya karena
fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh ''para pelaku bisnis keuangan''
sebagai peluang untuk membesarkan perusahaan dan meningkatkan laba.

Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas mortgage. Jor-
joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli rumah. Harga rumah dan
tanah naik terus melebihi bunga bank.

Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para pemilik
rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage- kan lagi untuk membeli rumah
berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun bisa mendapatkan kredit

10
dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. Kalau toh suatu saat ada yang tidak
bisa bayar, bank masih untung. Jadi, tidak ada kata takut dalam memberi kredit
rumah.

Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam undang-
undang perbankan yang keras.

Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan. Jalan baru itu adalah bank bisa
bekerja sama dengan ''bank jenis lain'' yang disebut investment banking. Sebuah
perusahaan keuangan yang ''hanya mirip'' bank. Ia lebih bebas daripada bank. Ia
tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak hal seperti: menerima macam-
macam ''deposito'' dari para pemilik uang, meminjamkan uang, meminjam uang,
membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin, membeli rumah, menjual
rumah, private placeman, dan apa pun yang orang bisa lakukan. Bahkan, bisa
melakukan apa yang orang tidak pernah memikirkan! Lehman Brothers, Bear Stern,
dan banyak lagi adalah jenis investment banking itu.

Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi pinjaman tanpa
ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan dan menjualnya kapan
saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam kepada siapa saja:kepada bank lain
atau kepada sesama investment banking. Atau, juga kepada orang-orang kaya yang
punya banyak uang dengan istilah ''personal banking''.

Pada dasarnya investment banking tidak menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman
untuk memutar cash-flow. Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga
kalau dulu hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage,
tapi sekarang yang kurang memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk
minta mortgage.

Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan oleh besar
kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup seseorang. Orang yang disebut
prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. Setiap tahun orang bisa memperkirakan
sendiri, ratingnya naik atau turun.

11
Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah lewat
mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa dengan terus
bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan penghematan pengeluaran.

Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi, pasar pun
digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari mortgage. Toh
kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita, bisa dijual dengan harga
yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak pernah dipikirkan jangka panjangnya.

Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang dari 10
tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang disita sangat
banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang jual rumah,
kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai jaminan rumah itu kian tidak
cocok dengan nilai pinjaman. Itu berarti kian banyak yang gagal bayar.

Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula menjaminkan
rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang lain. Yang lain itu
menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu menjaminkan ke yang berikutnya
lagi. Satu ambruk, membuat yang lain ambruk. Seperti kartu domino yang didirikan
berjajar. Satu roboh menimpa kartu lain. Roboh semua.

Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? Belum ada
data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 triliun dolar.

Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana APBN USD 700 miliar,
memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana itu tidak menyelesaikan masalah,
apa harus menambah USD 700 miliar lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?

Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau menyetujui
rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan sebanyak USD 700 miliar
itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa dan negara Indonesia dijadikan
satu.

12
Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan rakyat
AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan orang Indonesia
yang ''menabung'' - kan uangnya di lembaga-lembaga investment banking yang kini
sedang dalam kesulitan tersebut.

Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya tidak


banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada Singapura,
Hongkong, atau Tiongkok.

Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi salah
satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. Sedangkan Tiongkok
akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan sangat menurun,yang berarti
banyak barang buatan Tiongkok yang tidak bisa dikirim secara besar-besaran ke
sana .

2.4 AKTOR - AKTOR YANG BERPERAN DALAM KRISIS FINANSIAL DI


AMERIKA SERIKAT

BBC menyebutkan aktor-aktor yang berperan dalam krisis ini antara lain adalah :

Kreditor Perumahan Murah

Banyak perusahaan di AS yang memiliki spesialisasi memberikan kredit


perumahan bagi orang-orang yang sebenarnya tidak layak di beri kredit subprime
lenders. Para perusahaan tersebut berani memberikan kredit karena kalau terjadi
gagal bayar, perusahaan tinggal menyita dan menjual kembali rumah yang
dikreditkan.Untuk membiayai kredit ini para perusahaan ini umumnya juga
meminjam dari pihak lain dengan jangka waktu kredit yang pendek sekitar 1-2
tahun, padahal kredit yang dibiayai merupakan kredit perumahan jangka panjang
sampai 20 tahun. Sehingga terjadi ketimpangan (mismatch) kredit.

13
Akibat gagal bayar terhadap kredit perumahan tersebut, membuat banyak
perusahaan kredit perumahan iini tidak mampu membayar kembali utangnya yang
berujung pada bangkrutnya beberapa perusahaan tersebut. Saham perusahaan lain
yang tidak mengalami kebangkrutan juga turunt terimbas sentimen negatif dan
membuat takut investor.

Selain pinjaman dari pihak ketiga, para perusahaan pembiayaan kredit rumah ini
juga menerbitkan semacam efek beragun aset (EBA) yang dijual ke perbankan dan
investor baik institusi maupun individu ke berbagai negara. EBA ini juga
merupakan instrumen untuk membagi risiko. Namun yang terjadi justru sebaliknya,
kekhawatiran terhadap kemungkinan gagal bayar para debitor yang tidak layak
tersebut justru berdampak pada investor secara global baik yang memiliki EBA
tersebut maupun investor yang hanya terimbas sentimen negatif.

Perusahaan Pemeringkat

Perusahaan pemeringkat seperti Moody’s dan Standard and Poor’s diduga ikut
ambil bagian dalam krisis subprime mortgage ini. Perusahaan - perusahaan
pemeringkat ini dinilai terlalu lamban mengantisipasi bahaya gagal bayar utang
kredit perumahan itu. Padahal tugas lembaga pemeringkat adalah mengevaluasi
obligasi atau instrumen utang lainnya dan memberikan rating yang mencerminkan
risiko instrumen utang tersebut.

Investment Banks (Bank Investasi)

Investment Banks seperti Goldmas Sachs, Bear Strearns dan Morgan Stanley juga
ikut terlibat dalam terjadi krisis subprime mortgage ini. Karena mereka memiliki
spesialisasi mengembangkan instrumen investasi seperti EBA yang dijual ke
perbankan dan institusi keuangan. Investment Banks ini juga terkena imbas dan
merugi dibeberapa dana investasinya yang terkait dengan utang berisiko
tinggi.Sementara bank sentral dan private equity fund dicatat sebagai pihak yang
paling besar terimbas dampak krisis ini. Private equity fund adalah manajer
investasi yang merancang pembelian dan penjualan perusahaan. Mereka umumnya

14
meminjam uang dengan bunga rendah yang digunakan untuk membeli saham di
bursa. Saham yang dibeli umumnya dijaga performanya agar menarik minat
investor lain untuk membeli. Saham tersebut akan dijual setelah harganya tingginya
dalam waktu yang tidak lama.

Sedangkan bank sentral dunia seperti Bank of England (BoE), US Federal Reserve
(The Fed) dan European Central Bank (ECB) sebagai pihak yang merancang tingkat
suku bunga demi mengontrol inflasi dan menjaga pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan tingkat bunga rendah itulah yang memicu pasar untuk melakukan
investasi besar di perumahan. Namun kini bank sentral harus menggelontorkan
banyak dana ke pasar untuk menyuplai kebutuhan dana kas yang besar.

2.5 DAMPAK KRISIS SUBPRIME MORTGAGE AMERIKA SERIKAT (AS)


PADA NEGARA - NEGARA DI DUNIA

Pemilik surat utang Subprime Mortgage bukan hanya perbankan di Amerika


Serikat, tapi juga perbankan di Australia, Cina, India, Taiwan, dan negara-negara
lainnya. Dampaknya, harga saham perbankan di seluruh dunia jatuh. Hal ini pun
menyulut kekhawatiran para pelaku pasar, karena bermasalahnya bank akan
berdampak pada melemahnya kegiatan perekonomian.

Peraturan Bank Indonesia tidak memungkinkan perbankan membeli surat utang


berperingkat rendah sehingga perbankan Indonesia tidak memiliki surat utang
subprime mortgage. Akan tetapi, karena harga saham perbankan di negara tetangga
jatuh, investor asing juga menjual saham perbankan dan nonperbankan di
Indonesia. Investor lokal akhirnya juga ikut melakukan aksi jual. Apalagi harga
saham dan harga obligasi di Indonesia sudah naik banyak, maka investor pun
melakukan aksi ambil untung. Inilah yang menyebabkan harga saham turun, imbal

15
hasil obligasi naik (harga turun) dan kurs rupiah melemah, bahkan minat terhadap
penawaran saham BNI juga sempat terganggu.

Sterilnya perbankan dan korporasi Indonesia dari kepemilikan subprime mortgage


menyebabkan dampak krisis pada pasar keuangan domestik berupa pelepasan surat
berharga domestik terutama SUN dan SBI oleh investor asing. Pada bulan Juli dan
Agustus 2007 terjadi penurunan kepemilikan asing pada SUN dan SBI yang cukup
signifikan. Investor asing diperkirakan equity friendly dan cenderung mengalihkan
penanaman dari SUN pada equity atau risk free treasury bill. Hal ini terkait dengan
tingginya supply risk SUN atas potensi penurunan SUN valas akibat kenaikan
premi resiko dan peningkatan SUN rupiah. (Neraca Pembayaran Indonesia 2007)

Pada bulan Agustus 2007, harga-harga saham di BEJ (Bursa Efek Jakarta)
mengalami koreksi, akibat masih berlanjutnya tekanan di bursa Wall Street dan
regional, menyusul meluasnya dampak krisis subprime mortgage di dunia.
Banyaknya koreksi mengaibatkan IHSG turun 89,112 poin atau 4,11 % pada satu
jam pertama perdagangan tanggal 15 Agustus 2007.

Turunnya IHSG memicu melemahnya nilai tukar rupiah saat itu, dari Rp 9000
menjadi Rp 9400. Dow Jones Industrial Average juga kehilangan 207,61 poin atau
turun 1,57 %. Masih dalam periode waktu yang sama, indeks Nikkei mengalami
kemerosotan 267,22 poin. Penurunan drastis ini dapat dilihat dalam grafik
perkembangan pasar modal di Asia Pasifik dan pasar modal di Barat dan Jepang.

Koreksi besar-besaran yang terjadi akibat krisis subprime mortgage ini juga
merambat ke sektor-sektor lainnya. Kepanikan antara Februari – Maret 2007
menyebabkan saham-saham dari sektor mortgage (hipotek) -19%, sektor finansial
-10%, dan semua bidang -6%. Kemudian pada Juni-Juli 2007 saham-saham
mortgage turun lagi hingga -41%, dan saham-saham keuangan -18%.

Dampak subprime mortgage Amerika Serikat di Indonesia memang sebesar


dampaknya pada negara-negara lain, karena adanya peraturan BI yang tidak

16
memungkinkan perbankan membeli surat utang berperingkat rendah. Namun,
sebenarnya dampak krisis finansial ini masih tersisa di dunia.

Pada 3 Maret 2008, tempointeraktif. com menyebutkan bahwa pasar saham Asia
jatuh setelah UBS AG memprediksikan bahwa perusahaan keuangan global
kemungkinan akan kehilangan sekitar US$ 600 miliar karena kredit macet hipotek
perumahan subprime mortgage di Amerika Serikat. Westpac Banking Corp. merugi
3,3 persen sedangkan Macquarie Group Ltd. kembali tergelincir di hari ketiga.
Pemasukan uang dalam perdagangan Amerika menurun 4,7 persen dari penutupan
saham di Tokyo 29 Februari 2008, dimana Sony Corp. rugi 3,6 persen, setelah Yen
menguat terhadap dolar, sehingga mengurangi pendapatan di luar negeri. Index
Australia anjlok S&P/ASX 200 hingga 2,9 persen menjadi 5,410.90 pada pukul
10.12 di Sydney. Index New Zealand’s NZX 50, yang menjadi patokan Asia untuk
memulai perdagangan, turun 1,1 persen menjadi 3,542.16 di Wellington.

2.6 KEBIJAKAN BANK SENTRAL AMERIKA SERIKAT UNTUK


MENGATASI KRISIS SUBPRIME MORTGAGE

Krisis Subprime Mortgage yang terjadi di Amerika Serikat menginfeksi bursa


saham di seluruh dunia dan mengancam stabilitas banyak mata uang di dunia.
Selain USD yang menjadi labil, sejumlah mata uang lain seperti rupiah pun sempat
jatuh. Diperlukan intervensi kebijakan dari bank sentral Amerika (The Fed) untuk
menstabilkan pasar. Karena The Fed bertanggung jawab menjaga kinerja ekonomi
AS jangka panjang dan kestabilan harga-harga di AS.

Untuk mengatasi kekurangan likuiditas di pasar modal, bank sentral negara-negara


maju yang bursanya terkait dengan industri subprime mortgage menggelontorkan
dana ke pasar uang (open market operations) dengan memasuki transaksi Repo
(Repurchase Agreement). Ini untuk menjaga stabilitas nilai tukar mereka dan
menumbuhkan sentimen positif akan bursanya. Diawali pada 9 Agustus 2007, The
Fed mengeluarkan USD 30 miliar untuk menjaga likuiditas investor subprime

17
mortgage yang merugi. Pada 10 Agustus, The Fed menambahnya USD 36 miliar.
Penambahan ini terus berlangsung hingga 16 Agustus 2007, dan mencapai jumlah
USD 29 miliar.

Untuk memulihkan stabilitas, The Fed juga menyuntikkan dana ke sistem


perbankan dan keuangannya. Pada 9-10 Agustus, The Fed menyuntikkan USD 24
dan 68 miliar. Di Eropa, pada 10 Agustus 2007 The European Central Bank (ECB)
menyuntikkan dana USD 61 miliar. Pada 13 Agustus, ECB menambah lagi USD
47,67 miliar, dan di Jepang, The Bank of Japan (BoJ) menyuntikkan dana 600 miliar
Yen.

Selain itu, mengingat pemicu utama kredit macet subprime mortgage adalah bunga
yang tinggi, maka pada 17 Agustus 2007 The Fed menurunkan suku bunga diskonto
hingga 50 basis poin menjadi 5,75%. Langkah ini lalu diikuti penyesuaian praktek
discount window biasa untuk memfasilitasi persyaratan terkait periode pemberian
pinjaman selama 30 hari yang dapat diperbarui oleh nasabah peminjam.

Dengan diturunkannya suku bunga, maka akan ada kelonggaran bagi peminjam
subrime mortgage untuk melunasi utangnya kepada pemberi pinjaman. Itu juga
berarti, surat utang berbasis subprime mortgage yang kini banyak dipegang investor
seluruh dunia kembali memperoleh jaminannya dan kembali bernilai.

Langkah ini mampu menahan kejatuhan banyak bursa saham di Dunia. Bagi bursa
saham Indonesia, kebijakan The Fed ini juga bermanfaat untuk memulihkan
sentimen positif. Karena, setelah merebaknya krisis subprime mortgage, para
pelaku pasar mulai mengkhawatirkan risiko berinvestasi di negara berimbal hasil
tinggi khususnya di negara berkembang.

Inilah yang dulu menyebabkan pelaku pasar menarik investasinya, baik yang
berupa saham maupun valas dari negara-negara berkembang. Dengan
diturunkannya suku bunga The Fed, maka Indeks Dow Jones kembali stabil dan
pasar mulai tenang. Selain itu, langkah ini pun diikuti intervensi dari pemerintah-
pemerint ah negara seluruh dunia.

18
Akan tetapi risiko masih ada. Para analis pasar merasa tetap perlu melihat kinerja
perusahaan-perusahaan sekuritas dan bank investasi yang terkait dengan subprime
mortgage. Itulah sebabnya, pada 6 September 2008, pasar saham kembali jatuh.
Karena ternyata imbasnya terhadap perusahaan-perusahaan keuangan sedemikian
besar. Vice President Head of Management Fund Trimegah Securities, Fajar
Hidayat, menyebut subprime mortgage ini sebagai kanker yang tidak diketahui
kapan akan berhenti dan sejauh mana reaksi yang ditimbulkannya.

2.7 DAMPAK KRISIS AMERIKA SERIKAT TERHADAP EKONOMI


BERBAGAI NEGARA

Krisis ekonomi Amerika Serikat (AS) sangat berdampak terhadap masyarakat


khususnya tenaga kerja. Departemen Tenaga Kerja AS baru saja mengumumkan
jumlah pengangguran mencapai 6,1 persen jauh lebih tinggi dari prediksi yang
diakibatkan krisis AS. Jumlah ini meningkat menyusul Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK) ribuan tenaga kerja akibat krisis ekonomi.

Perubahan tingkat strategi kebijakan DPR AS terhadap paket kebijakan


penyelamatan ekonomi atau RUU Bailout dengan dana sebesar US$ 700 miliar
ternyata belum mendongkrak kepercayaan pasar. Fase persetujuan DPR atas RUU
Bailout, harga saham- saham di pasar New York justru melemah, pasar belum yakin
RUU Bailout mampu mencegah terjadinya krisis.

Kalangan investor masih meragukan resolusi RUU Bailout bisa menggairahkan


industri keuangan dan visa kredit. Reaksi negatif muncul umumnya disebabkan
meningkatnya angka pengangguran.

Sebelumnya DPR AS sempat menolak RUU yang sama dengan alasan pasar uang
yang harus menyelesaikan krisis financial ini. Gagalnya RUU Bailout di tangan
DPR AS mengakibatkan Indeks Dow Jones mengalami penurunan 777 poin,
penurunan ini menurut data pasar uang AS adalah penurunan terbesar dalam waktu

19
1 hari, untuk itulah Presiden Bush langsung menenangkan pasar dengan
menekankan bahwa pintu penyelamatan ekonomi AS tertutup.

Hingga akhirnya DPR AS menyetujui RUU Bailout tersebut. Senator Barack


Obama yang kini menjadi calon presiden dari Partai Demokrat adalah salah satu
senator yang menyetujui RUU tersebut. Persetujuan Senat tersebut disertai
beberapa perubahan mencapai kelonggaran pada gaji perorangan dan usaha kecil
serta menaikkan batas tabungan masyarakat yang dijamin pemerintah dari 100 ribu
dolar menjadi 250 ribu dolar. Dan perubahan ini pun menghasilkan dukungan lintas
partai di DPR.

Begitu juga dengan negara Eropa seperti Prancis langsung memompa dana lebih
dari 8,5 miliar dolar, dan pemerintah Irlandia juga menempatkan jaminan tanpa
batas.

Pengamat Ekonomi Iwan Jaya Agus memperkirakan efek domino kritis financial
AS akan lebih terasa dibanding merosotnya ekonomi AS setelah serangan 2001 dan
ekonomi Eropa akan lebih rentan terkena imbas. Menurutnya, krisis ekonomi Asia
tidak akan separah Eropa karena kredit macetnya tidak sebesar AS maupun Eropa.
Jepang misalnya hanya memiliki kredit macet sebesar US$ 8 miliar jauh lebih kecil
dibanding AS yang kredit macetnya sebesar US$ 1,3 triliun tahun 2007.

“Kredit macet di negara Asia jauh lebih kecil dari negara Eropa dan AS namun
demikian negara Asia belum bisa bernapas lega, karena sejak tahun 1997 yakni
sejak krisis Asia, perusahaan keuangan Asia beralih ke tangan AS maupun Eropa
sehingga dengan terpuruknya perekonomian AS maka dengan sendirinya
perusahaan AS di Asia akan terkena imbasnya.

Pengamat ekonomi Aviliani justru lebih mengingatkan pasar untuk tetap waspada,
menyusul kemungkinan perusahaan- perusahaan AS akan melakukan politik
banting harga dan hal ini akan menghambat ekspor Indonesia. Untuk itu pemerintah
harus melakukan langkah supaya tidak terjadi doble ekonomi dengan
penggelembungan.

20
Ketua Umum Kadin Indonesia MS Hidayat memperkirakan 2 sampai 3 tahun ke
depan AS harus kerja keras untuk mengatasi krisis perekonomiannya. Menurutnya,
dunia usaha dan pemerintah Indonesia harus segera mencari pasar alternatif,
sehingga produk ekspor tidak terganggu.

“Saya kira kinerja ekspor kita akan terpengaruh, akan menurun meski pun AS
bukan tujuan ekspor terbesar tetapi ekspor utama kita seperti tekstil dan garmen,
produk-produk pertanian yang menjadi koridor intensif industri padat karya, tentu
akan berpengaruh dan harus ditanggulangi dengan cara klasifikasi market,”
katanya.

Sementara Ekonom UGM Sri Adiningsih menilai sampai sejauh ini pemerintah
Indonesia belum mempunyai langkah strategis untuk mengantisipasi dampak krisis
financial AS, padahal jika krisis financial AS tidak segera teratasi maka dampaknya
terhadap perekonomian Indonesia bisa lebih buruk dibanding krisis ekonomi tahun
1998.

“Pemerintah Indonesia harus melihat dampaknya yang bisa lebih serius. Saya
kuatir, karena pasar keuangan kita yang beberapa tahun terakhir ini banyak
didukung oleh dana jangka pendek sementara kita tau bahwa dana jangka pendek
internasional menurut pengamatan saya itu di atas US$ 50 miliar sehingga kalau
tidak hati-hati terhadap arus balik tentunya dampaknya akan merusak sekali,” kata
Sri.

2.8 DAMPAK KRISIS AMERIKA SERIKAT TERHADAP EKONOMI


INDONESIA

Ada beberapa hal yang bisa dibaca sebagai dampak atas krisis global ini terhadap
perekonomian Indonesia. Berikut ini saya paparkan dampak resesi global ini
terhadap perekonomian Indonesia.

21
Melemahnya nilai tukar Rupiah. Nilai tukar Rupiah pada tanggal 10 Oktober
sempat menembus Rp 9.860 per USD. Di pasar antarbank, rupiah bahkan sempat
menembus Rp 10.000 per USD.

Investor dunia panik parah. Akibatnya bursa saham Indonesia turun sebanyak 41%
(sebelum kegiatannya dihentikan untuk sementara mulai Rabu, 8 Oktober 2008).
Harga saham benar- benar turun drastis.

Krisis perbankan global bisa mempengaruhi sektor riil ekonomi dunia, termasuk
Indonesia. Karena sektor perbankan AS sedang terpuruk, kekurangan modal, dan
(melihat banyaknya lembaga keuangan yang bangkrut) enggan meminjamkan
dolarnya, termasuk ke bank-bank internasional di Eropa dan Asia. Akibatnya,
perbankan internasional kekurangan dolar untuk memberi pinjaman ke para
pengusaha dunia, yang membutuhkan dolar untuk investasinya (untuk impor mesin,
bahan baku, dan sebagainya), termasuk di Indonesia.

Dampak resesi ekonomi AS dan Eropa terhadap Indonesia tentunya negatif, tetapi
karena net-ekspor (ekspor dikurang impor) hanya menggerakkan sekitar 8% dari
produk domestik bruto (PDB) Indonesia, maka dampaknya relatif kecil
dibandingkan dengan negara tetangga yang ketergantungan ekspornya ke AS besar,
misalnya Hong Kong, Singapura, dan Malaysia. Pada Negara berjumlah penduduk
banyak seperti Indonesia belanja masyarakatnya merupakan motor penggerak
ekonomi yang kuat. Untuk ekonomi Indonesia, dampak negatif kenaikan harga
bahan bakar minyak sebesar 125% pada 2005 jelas lebih besar dari pada dampak
resesi ekonomi AS.

Krisis finansial global dan lumpuhnya sistem perbankan global yang berlarut akan
berdampak sangat negatif terhadap Indonesia, karena pembiayaan kegiatan
investasi di Indonesia (baik oleh pengusaha dalam maupun luar negeri) akan terus
menciut, penyerapan tenaga kerja melambat dan akibatnya daya beli masyarakat
turun-yang akhirnya akan menurunkan pertumbuhan ekonomi.Dalam situasi seperti
ini tentunya yang biasa dilakukan adalah efisiensi. Bisa jadi itu dilakukan dengan

22
melakukan pemutusan hubungan kerja atau PHK. Itu sudah menjadi konsekuensi
kalau daya saing produk kita terus berkurang sementara biaya produksi meningkat.

2.9 KONDISI KRISIS DI INDONESIA

Sebagai salah satu pelaku pasar dunia, Indonesia tentu juga tak luput dari
hantaman krisis. Indikasi krisis di Indonesia ditunjukkan oleh berbagai indikator
yaitu:

1 Pasar SUN mengalami tekanan hebat tercermin dari penurunan harga


SUN atau kenaikan yield SUN secara tajam yakni dari rata-rata sekitar
10% sebelum krisismenjadi 17,1% pada tanggal 20 November 2008;
(catatan: setiap 1% kenaikan yield SUN akan menambah beban biaya
bunga SUN sebesar Rp1,4 Triliun di APBN)

2 Credit Default Swap (CDS) Indonesia mengalami peningkatan secara


tajam yakni dari sekitar 250 bps awal tahun 2008 menjadi diatas 980 bps
pada bulan November 2008. Hal ini menunjukkan bahwa pasar
menilai country risk Indonesia yang tinggi pada saat

itu;
Grafik 1. Grafik Credit Default Swaps (CDS)
3 Terdapat gangguan likuiditas di pasar karena peningkatan liquidity
premium akibat pelebaran bid-ask spread dalam perdagangan di pasar
saham, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadi capital
23
flight;Cadangan Devisa mengalami penurunan 13% dari USD 59.45
milyar per Juni 2008 menjadi 51.64 milyar per Desember 2008 yang
mengindikasikan terjadi capital flight;

4 Rupiah terdepresiasi 30.9% dari Rp 9.840 per Jan 2008 menjadi Rp


12.100 per Nopember 2008 dengan volatilitas yang tinggi;
5 Banking Pressure Index (dikeluarkan oleh Danareksa Research
Institute) dan Financial Stability Index (dikeluarkan oleh BI) yang
sudah memasuki dalam ambang batas kritis. Banking Pressure
Index per Oktober 2008 sebesar 0,9 atau lebih tinggi dari ambang normal
0,5. Sementara itu, Financial Stability Index per November 2008 sebesar
2,43 atau di atas angka indikatif maksimum 2,0. Ini menunjukkan bahwa
sistem perbankan dan sistem keuangan domestik dalam keadaan genting.
Semakin tinggi nilai BPI (positif), semakin vulnerable sistem perbankan
negara yang bersangkutan :

Grafik 2. Banking Pressure Index Indonesia


(Sumber: Danareksa Institute)

24
Grafik 3. Financial Stability Index
(Sumber: Bank Indonesia)
6 Terdapat potensi terjadi capital flight yang lebih besar lagi dari para
deposan bank karena tidak adanya sistem penjaminan penuh (full
guarantee) di Indonesia seperti yang sudah diterapkan di Australia,
Singapura, Malaysia, Thailand, Hong Kong, Taiwan dan Korea, disamping
Uni Eropa.

Gambaran dan fakta-fakta tersebut di atas, sejak pertengahan tahun 2008,


ketegangan dan kecemasan terjadi di mana-mana, investor besar di pasar modal
seperti Dana Pensiun, Asuransi, dan Reksa Dana termasuk masyarakat biasa.
Psikologis pasar saat itu menusuk dan menekan karena nilai investasi terkuras
tajam hampir rata-rata 40 %. Lebih dasyat lagi, pinjaman antar Bank telah

berhenti sama sekali dan dapat dikatakan likuiditas di pasar perbankan


tidak ada sama sekali. Keadaan ini mendorong Pemerintah melakukan
penyesuaian kebijakan secara cepat dan tepat waktu dengan melakukan
perubahan-perubahan penilaian aktiva. Masih dalam ingatan kita semua bahwa
hampir semua industri dan para pengamat termasuk perseorangan baik dalam
negri maupun luar negeri menyambut respon Pemerintah tersebut.
Melihat perkembangan kondisi makro ekonomi pada saat itu, satu bulan sebelum
Bank Cetury masuk ke KSSK, Drajad Wibowo sempat menanggapi ancaman
krisis global.

"Pemerintah harus menentukan manuver-manuver politiknya dan segera


melakukan tindakan untuk meredam krisis yang sedang melanda Indonesia.
Pemerintah sebaiknya mengambil langkah nyata selagi Indonesia belum
merasakan benar jalaran badai krisis AS. Kita bisa ambil contoh
bagaimana negara bagian Florida bergerak cepat mengungsikan warganya
ketika badai Katarina menerjang daerah tersebut”

25
2.10 CARA MENGATASI KRISIS EKONOMI GLOBAL OLEH
PEMERINTAH INDONESIA

Presiden menegaskan 10 langkah yang harus ditempuh semua pihak untuk


menghadapi krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat (AS), sehingga tidak
berdampak buruk terhadap pembangunan nasional.
• Pertama, Presiden mengajak semua pihak dalam menghadapi krisis global harus
terus memupuk rasa optimisme dan saling bekerjasama sehingga bisa tetap
menjagar kepercayaan masyarakat.

• Kedua, pertumbuhan ekonomi sebesar enam persen harus terus dipertahankan


antara lain dengan terus mencari peluang ekspor dan investasi serta
mengembangkan perekonomian domestik.
• Ketiga adalah optimalisasi APBN 2009 untuk terus memacu pertumbuhan
dengan tetap memperhatikan `social safety net` dengan sejumlah hal yang harus
diperhatikan yaitu infrastruktur, alokasi penanganan kemiskinan, ketersediaan
listrik serta pangan dan BBM. Untuk itu perlu dilakukan efisiensi penggunaan
anggaran APBN maupunAPBD khususnya untuk peruntukan konsumtif.
• Keempat, ajakan pada kalangan dunia usaha untuk tetap mendorong sektor riil
dapat bergerak. Bila itu dapat dilakukan maka pajak dan penerimaan negara bisa
terjaga dan juga tenaga kerja dapat terjaga. Sementara Bank Indonesia dan
perbankan nasional harus membangun sistem agar kredit bisa mendorong sektor
riil. Di samping itu, masih menurut Kepala Negara, pemerintah akan
menjalankan kewajibannya untuk memberikan insentif dan kemudahan secara
proporsional.
• Kelima, semua pihak lebih kreatif menangkap peluang di masa krisis antara lain
dengan mengembangkan pasar di negara-negara tetangga di kawasan Asia yang
tidak secara langsung terkena pengaruh krisis keuangan AS.
• Keenam, menggalakkan kembali penggunaan produk dalam negeri sehingga
pasar domestik akan bertambah kuat.
• Ketujuh, perlunya penguatan kerjasama lintas sektor antara pemerintah, Bank
Indonesia, dunia perbankan serta sektor swasta.
• Kedelapan, semua kalangan diharapkan untuk menghindari sikap ego- sentris
dan memandang remeh masalah yang dihadapi.

26
• Kesembilan, mengingat tahun 2009 merupakan tahun politik dan tahun pemilu,
kaitannya dengan upaya menghadapi krisis keuangan AS adalah memiliki
pandangan politik yang non partisan, serta mengedepankan

• kepentingan rakyat di atas kepentingan golongan maupun pribadi termasuk


dalam kebijakan-kebijakan politik.
• Kesepuluh, Presiden meminta semua pihak melakukan komunikasi yang tepat dan
baik pada masyarakat. Tak hanya pemerintah dan kalangan pengusaha, serta
perbankan, Kepala Negara juga memandang peran pers dalam hal ini sangat
penting karena memiliki akses informasi pada masyarakat.

2.11 LANGKAH- LANGKAH INDONESIA DALAM MENGHADAPI


KRISIS GLOBAL

Karena capital inflow melalui pasar modal berkurang, diharapkan bisa


terkompensasi dari aliran dana lainnya. Di antaranya, menggenjot ekspor yang
mendongkrak neraca perdagangan dan penanaman modal asing langsung (FDI).

Keinginan tersebut akan dipenuhi dengan sejumlah langkah. Langkah konvensional


dilakukan dengan memberikan insentif kepada dunia usaha. Di sini, PP No 1/2007
tentang insentif pajak bagi usaha dan daerah tertentu akan diimplementasikan.
Paket kebijakan ekonomi lawas melalui Inpres 5/2008 juga terus dijalankan.

Kebijakan nonkonvensional juga dilakukan melalui pemangkasan defisit APBN.


Sebab, pembiayaan melalui penerbitan surat utang makin sulit dilakukan. Selain
situasi masih tak menentu, likuditas di pasar global akan mengering. Apalagi,
setelah pemerintah AS menganggarkan dana program penyelamatan darurat senilai
USD 700 miliar (sekitar Rp 6.440 triliun). Selain dari pajak yang dibayar rakyat
AS, dana tersebut bakal dicarikan dari penerbitan obligasi di pasar. (jiban)

27
BAB III

KESIMPULAN

Krisis ekonomi global berawal dari subprime mortage atau kredit macet
sektor perumahan di AS yang akhirnya membuat ambruknya pasar modal AS
dengan anjloknya indeks saham di Bursa Efek New York dan diperparah dengan
melambungnya harga minyak dunia hingga menyentuh harga 105 dolar AS per
barel yang memberi kontribusi terhadap tekanan terhadap perekonomian AS.

Dampak yang di timbulkan oleh krisis ini bukan hanya di AS sendiri namun hampir
seluruh dunia terkena dampak dari krisis ini. Di Indonesia sendiri, dampak resesi
yang ditimbulkan oleh krisis ini antara lain adalah:

➢ Melemahnya nilai tukar Rupiah, hingga mencapai Rp 9.860 per USD


➢ Investor dunia panik parah. Akibatnya bursa saham Indonesia turun 41%,dan
sebagainya.

Namun, dampak resesi ekonomi AS dan Eropa terhadap Indonesia tentunya


negatif, tetapi karena net-ekspor (ekspor dikurang impor) hanya menggerakkan
sekitar 8% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

28
DAFTAR PUSTAKA

http://heto-heto.blogspot.com/2008/10/dampak-krisis-global-terhadap.html

http://jianibnuzab.blogspot.com/2008/11/krisis-global-tahun-2008.html

http://tuanx.blogspot.com/2011/06/makalah-krisis-ekonomi.html

29

Anda mungkin juga menyukai