Kepailitan:
Pembelajaran dari Krisis 2008
Dosen pengampu :
Disusun Oleh:
Dian Islamiati Haris
Meidah Khumaeni
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak
kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
Penyusun
Daftar Isi
BAB I
Pendahuluan
1.1Latar Belakang
Pada tahun 2008 terjadi krisis global dan berlanjut pada krisis nilai tukar. Krisis ekonomi
2008 disebabkan karena adanya resesi ekonomi yang melanda Amerika Serikat. Hal ini
pasar yang besar bagi negara-negara lain termasuk Indonesia. Penurunan daya beli
masyarakat di Amerika menyebabkan penurunan permintaan impor dari Indonesia.
Dengan demikian ekspor Indonesia pun menurun. Inilah yang menyebabkan terjadinya
keseluruhan NPI mencatatkan defisit sebesar USD 2,2 miliar pada tahun 2008. Krisis
ekonomi global tahun 2008 terjadi karena Subprime Mortgage (over- supply akan
perumahan, Mark-up harga perumahan, dan gaya hidup orang Amerika), pada 1997-an di
ataupun lembaga pembiayaan yang berinvestasi dibidang properti sehingga lambat laun
menurun, kredit perumahan banyak melanda masyarakat kelas bawah dengan melalui
kredit pada lembaga pembiayaan ataupun melalui free money. Krisis keuangan global
2008 membawa dampak signifikan pada berbagai aspek ekonomi, termasuk proses
mengajukan permohonan kepailitan. Hal ini menyebabkan beban kerja yang berlebihan
bagi sistem peradilan dan memperlambat proses penyelesaian kasus. Sistem peradilan di
banyak negara tidak siap menghadapi lonjakan kasus kepailitan. Hal ini menyebabkan
kekurangan hakim, staf, dan sumber daya keuangan untuk menangani kasus-kasus
tersebut secara efektif. Kasus kepailitan yang terkait dengan krisis keuangan seringkali
lebih kompleks daripada kasus biasa. Hal ini membutuhkan waktu dan sumber daya yang
lembaga keuangan fokus pada upaya stabilisasi ekonomi. Hal ini dapat mengalihkan
perhatian dari reformasi sistem kepailitan yang diperlukan untuk menangani dampak
krisis. Sistem kepailitan yang efektif sangat penting untuk memfasilitasi restrukturisasi
dan pemulihan ekonomi. Hal ini membutuhkan sumber daya yang memadai, hakim dan
staf yang terlatih, serta prosedur yang efisien. Krisis keuangan global menunjukkan
pentingnya koordinasi internasional dalam menangani kasus kepailitan lintas batas. Hal
ini dapat membantu memastikan penyelesaian yang adil dan efisien bagi semua pihak
yang terlibat. Penyelesaian sengketa alternatif (ADR) seperti mediasi dan arbitrase dapat
membantu menyelesaikan kasus kepailitan dengan lebih cepat dan hemat biaya. Krisis
dan kelemahan yang terungkap selama krisis. Krisis keuangan global 2008 memberikan
sistem kepailitan yang lebih efektif dan tangguh yang dapat membantu memitigasi
berikut:
1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang diatas dapat disimpulkan tujuan penulisan ini sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui apa saja yang terjadi ketika krisis keuangan 2008 dan apa itu krisis
keuangan 2008
BAB II
PEMBAHASAN
dikatakan sebagai salah satu krisis besar yang terjadi dalam sejarah setelah The Great
mengalami resesi. Bahkan dibeberapa negara, hingga 2010 dampak krisis tersebut
belum benar-benar dapat terselesaikan. Dalam bab ini akan dipaparkan tentang
melebihi persediaan (supply) dari uang itu sendiri (Web Finance Inc., 2017).
Likuiditas kemudian menguap karena uang ditarik oleh pemilik uang tersebut.
Bank akan secara terpaksa menjual aset lain untuk terus memiliki persediaan uang
Dalam sejarah, krisis keuangan sudah sering terjadi. Contoh paling awal
yang dapat ditemui adalah Tulip Mania yang terjadi di Belanda tahun 1637. Pada
saat itu kemunculan bunga tulip membuat para spekulan melakukan spekulasi
pada tingkat yang ekstrim, dan seiring berjalannya waktu hal tersebut berubah
menjadi sebuah gelembung ekonomi (Detzer & Herr, 2014). Harga bunga tulip
terus meningkat, hingga ketika gelembung ekonomi tersebut akhirnya pecah dan
membuat harga tulip terus turun, para spekulan terbebani hutang yang sangat
tinggi.
Kelima krisis tersebut adalah the credit crisis yang terjadi pada tahun 1772, the
great depression di tahun 1929 – 1939, OPEC oil price shock 1973, the Asian
crisis 1997, dan terakhir adalah krisis keuangan 2007-2008 yang dikenal dengan
nama The Global Financial Crisis (GFC) (Bondarenko, 2017). Akan tetapi meski
sudah sering terjadi, belum ada satu teori yang dapat menjawab secara general
tentang krisis keuangan. Hal ini dikarenakan oleh penyebab dari krisis yang
berbeda-beda. Kelima krisis keuangan terbesar yang telah disebutkan di atas juga
memiliki penyebab yang berbeda-beda Krisis kredit yang terjadi di tahun 1772
koloni, sayangnya peminjaman tersebut tidak disertai data tentang rekam jejak
hutang peminjam modal. Sehingga pada saat 2 bank di Inggris gagal, kredit mulai
berhenti (Narron &Skeie, 2014). Sedangkan pada The Great Depression yang
terjadi di tahun 1929 – 1939, permasalahan dimulai karena jatuhnya pasar saham.
pemicu krisis. Karl Marx berpendapat bahwa sistem kredit menjadi penyebab
pada perlambatan. Sistem finansial yang ada lah yang sebenarnya menyebabkan
perlambatan ekonomi karena menghendaki adanya ekspansi berlebihan dan juga
adanya integrasi dalam sistem ekonomi internasional, maka dampak krisis akan
depresi. Resesi ditandai dengan tingginya pengangguran, upah yang stagnan, dan
jatuhnya penjualan ritel Sedangkan depresi adalah titik terendah dalam ekonomi
Kriris memiliki arti yang cukup luas, salah satu pengertian krisis menurut
titik awal gerak kegiatan ekonomi yang menurun/down-turn atau the upper
turning point” (Estey, 1960). Begitu juga dengan Mitchell mengartikan krisis
adalah suatu kondisi ekonomi yang sudah mengalami atau dengan kata lain agak
resesi (rather than recession) (Teguh, 2009). Sedangkan Menurut ahli ekonomi
secara sederhana krisis itu terjadi karena harga-harga melonjak tinggi dari
menyimpan uang di bank (Nur 2020). Maka dari itu menurut (Tarmidi, 1998)
langkah yang harus segera mungkin dilakukan untuk menanggulangi suatu krisis
ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri, melakukan
rakyat di dalam negeri maupun di luar negeri dalam hal kapasitas ekonomi
sesungguhnya dan yang juga sangat relevan yaitu menstabilkan kembali sosial
dan politik. Lain halnya dengan (Nezky, 2013) yang mengaitkan suatu krisis
terjadi karena sejumlah hal-hal yang penting. Pertama, karena adanya kerugian di
maupun resesi, keempat jatuhnya nilai mata uang dan bursa saham. Jadi pada
mengatakan bahwa krisis yang pertama kali terjadi di Meksiko pada tahun tahun
1973-1982. Kemudian Flood dan Garber (1984) dan Krugman (2007) kemudian
dan fiskal tetapi juga lemahnya kondisi makro ekonomi. Krisis kedua atau biasa
(1994) serta Cole dan Keho (1996) menyebutnya krisis kedua ini terjadi di Eropa
pada tahun 1992 hingga 1993 yang melanda sistem keuangan karena pemerintah
ingin menerapkan sistem nilai tukar terhadap ekspansi moneter. Sementara krisis
generasi ketiga Menurut Krugman adalah gabungan krisis generasi pertama dan
kedua sehingga disebutnya dengan krisis kembar (Nezky, 2013). Sejak era
Kemajuan dalam hal teknologi informasi menjadi salah satu alasan terjadinya
negara bahkan ke daerah sekalipun. Dalam dua puluh tahun terakhir sudah terjadi
krisis keuangan yang terbilang besar di beberapa negara yaitu yang pertama
Krisis Keuangan Asia Timur 1997 dan kedua Krisis Keuangan Global 2008. Jika
dikaitkan dengan teknlogi informasi dalam hal ini (Timur et al., 2012)
menyatakan bahwa system keuangan dunia dapat menjalar lebih mudah dan lebih
dengan antarnegara di dunia. Percaya atau tidak percaya krisis keuangan ini akan
terulang lagi karena seperti pernyataan Grant (1998), seorang pengamat pasar
modal yang melakukan riset dalam sejarah keuangan menulis dalam bukunya
“The Trouble with Prosperity”, bahwa keuangan memiliki siklus masa makmur
yang kemudian selalu akan diikuti dengan masa suram, atau sebaliknya.(Njoo,
2008) Konsekuensi dari krisis keuangan selalu dikaitkan dengan indikator makro
Timur jatuh dari wilayah dengan pertumbuhan tercepat di dunia menjadi wilayah
negatif pada tahun 1998 seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Korea Selatan,
Filipina dan Thailand (Timur et al., 2012). Hal tersebut juga dikemukakan oleh
penghambatan kredit yang imbasnya pada krisis yang lebih rumit. Menurutnya
wujud dari krisis yang terjadi sangat berformasi, mulaidari runtuhnya pasar saham
dan nilai mata uang yang mengalami kesulitan sampai banyak nasabah yang
uangnya kembali, hal itu biasa disebut dengan banking rush, bukan hanya itu
Namun Krisis Asia Timur pada tahun 1997 menunjukkan angka yang cukup besar
dibanding dummy Krisis Keuangan Global pada tahun 2008. Hal ini searah
dengan keinginan sebab Krisis Asia Timur 1997 terjadi di wilayah Asia Timur
dan merupakan hasil dari akar internal wilayah tersebut, termasuk yang pertama
2012). (Nezky, 2013) menyebutkrisis Asia Timur 1997 dengan sebutan krisis
ekonomi tidak hanya satu faktor saja, bahkan bisa saja dua faktor yaitu faktor
kunci utama ekonomi makro, kedua strukturekonomi yang tidak seimbang, ketiga
perdagangan luar negeri masih lemah dalam hal mengembangkan ekspor. Adapun
ekonomi berasal dari melonjaknya harga minyak dunia. Hal itu tentunya akan
pangan menjadi etanol dan biosel. Tidak jauh berbeda dengan (Teguh, 2009) yang
mengatakan Amerika Serikat telah masuk pada tahap bahaya resesi, yang menjadi
(5) Lemahnya daya beli konsumen. Krisis keuangan global yang terjadi
saat ini sangat berkaitan erat dengan kondisi perekonomian Amerika yang
memburuk. Krisis keuangan yang semula hanya dialami oleh Amerika kini
secara global. Hal ini tentunya menjadi masalah yang serius. Hambatan yang
terjadi pada negara adikuasa tersebut dipastikan telah memberikan dampak yang
suatu negara untuk mengarah dan mempengaruhi negara lainnya. (Njoo, 2008)
dan mortgage dari aset aset yang dianggap terlalu tinggi dan pada akhirnya
utang hipotek ini juga menghasilkan biaya bunga. Dalam artian peminjam tidak
hanya bertanggung jawab membayar utang pokoknya tetapi juga harus membayar
bunganya. Seperti yang diketahui PDB Amerika Serikat itu berada pada angka US
$ 13,1 Triliun, angka tersebut cukup besar setara 20% dari PDB dunia pada tahun
2007. Namun hal itu ternyata tidak bisa menopang ekonominya sehingga dampak
krisis kredit dalam pasar mortgage senilai US $ 1,8 Triliun. Negara super power
itu dihadapkan pada penurunan ekonomi yang menghadapi para pesaing baru
China dan India. Namun hal itu tetap saja masih berpengaruh kuat pada
pada tahun 2006-2007, terjadilah kenaikan suku bunga kredit, dari sanalah awal
perumahan itu disekuritisasi dan banyak dipegang bahkan dibeli oleh lembaga
finansial dan pada akhirnya lembaga keuangan tersebut banyak kehilangan nilai
asetnya akibat sekuritisasi aset tersebut turun harganya, dampaknya adalah
dunia. Kemudian pada tahun 2008 tepatnya dibulan Agustus gelombang ekonomi
subprime mortgage yang terjadi tahun lalu. Ancaman dari krisis ini adalah depresi
(Hidayat, 2008) bahwa subprime mortgage ini terjadi karena dalam beberapa
tahun terkahir cukup banyak kredit perumahan di Amerika Serikat yang sangat
beresiko, dalam artian kredit perumahan tersebut diberikan kepada rumah tangga
yang berpenghasilan rendah dan juga tanpa uang muka yang lebih parahnya lagi
Secara teori kemungkinan bisa ada lebih dari satu faktor yang secara bersamaan menyebabkan
krisis tersebut terjadi. Misalnya, tingkat atau laju inflasi yang tinggi; apakah ini disebabkan oleh
harga-harga dari produkproduk impor yang melonjak tinggi akibat depresiasi nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS, atau karena jumlah uang yang beredar di Masyarakat (M1) lebih besar
daripada penawaran agregat (kemampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pasar di dalam
1) Faktor-faktor Internal
a) Laju Pertumbuhan
Laju pertumbuhan PDB adalah salah satu indikator utama ekonomi makro yang sering digunakan
dalam menganalisis kinerja ekonomi sebuah Negara. PDB (Produk domestik Bruto) merupakan
alat pengukur dari pertumbuhan ekonomi. PDB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah
yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu atau merupakan jumlah nilai
barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDB atas dasar harga berlaku
dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedangkan harga konstan
b) Struktur Ekonomi
Kelemahan fundamental ekonomi makro dalam hal stuktur ekonomi juga bisa merupakan salah
satu penyebab, mungkin bukan yang membuat terjadinya krisis tetapi yang mengakibarkan krisis
tersebut terus berlangsung dan semakain parah. Pada dasarnya struktur ekonomi yang lemah
dan tidak adanya “sektor kuci” (walaupun sektor tersebut dominan di dalam sturktur ekonomi
dengan suatu kinerja yang baik di pihak lain. Sektor-sektor ekonomi tidak menunjukkan kinerja
yang sama, misalnya dalam hal tingkat produktivitas, efisiensi atau profitabilitas, atau kontibusi
Berdasarkan suatu laporan dari WTO (1996), struktur perdagangan dunia menunjukkan bahwa
pada tahun 1995 Indonesia tidak termasuk dalam 25 besar Negara-negara pengespor produk-
produk manufaktur. Masih lemahnya Indonesia dalam mengembangkan ekspor bernilai tambah
tinggi, sementara masih sangat tergantung pada impor produkproduk bernilai tambah tinggi
dapat dianggap sebagai penyebab utama kurangnya cadangan devisa (khususnya dolar AS) yang
dimilik Indonesia, untuk mempertahankan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sehingga rupiah
melemah terus dan akhirnya tidak hanya menyebabkan tetapi juga memperparah krisis ekonomi.
Dalam fundamentall ekonomi Indonesia pada tingkat meso, ada dua sektor penting yang turut
juga bertanggungjawab atas terjadinya atau terus berlangsungnya krisis ekonomi di Indonesia
hingga saat ini, yakni sektor industri manufaktur dan sektor perbankan. Perkembangan sektor
industri
manufaktur di Indonesia yang tidak sehat selama periode Orde Baru, dalam arti tingkat
produktivitas, efisiensi dan daya saing yang rendah, serta ketergantungan yang tinggi terhadap
impor dan modal asing, juga merupakan salah satu penyebab lemahnya fundamental ekonomi
Indonesia.
1) Faktor Eksternal
Selain faktor-faktor internal, menurut Fischer (1998), krisis ekonomi di Asia juga diakibatkan
oleh perkembangan perekonomian negara-negara maju dan pasar keuangan global yang
pertumbuhan ekonomi mengalami kesulitan dan kebijaksanaan moneter tidak berubah serta
tingkat suku bunga sangat rendah. Semua ini membuat kedua wilayah itu menjadi kurang
menarik bagi investasi. Dengan perkataan lain, dana berlimpah ruah tetapi proyekproyek yang
menarik untuk investasi berkurang. Faktor eksternal lainnya adalah disebabkan oleh daya saing
Indonesia di Asia yang lemah. Tingkat nilai tukar mata uang-mata uang dari Negara-Negara Asia
terhadap dolar AS yang terlalu kuat (Over valued). Selain faktor-faktor ekonomi, krisis di Asia
itu juga disebabkan oleh faktor-faktor nonekonomi, seperti sosial, budaya, kultur dan politik.
Dan faktor psikologis juga sangat berperan, paling tidak membuat krisis rupiah itu menjadi suatu
krisis ekonomi besar. Dampak psikologis muncul dari krisis di Indonesia adalah merebaknya
para pemilik modal internasional memindahkan modal mereka dari Indonesia secara tiba-tiba
dalam jumlah yang sangat besar. Kepanikan ini, kemudian diikuti oleh warga Negara di
Indonesia dengan melakukan hal yang sama, hal serupa juga terjadi di Thailan dan Korea selatan.
Dalam Deklarasi Para Pemimpin G20 tersebut, anggota G20 didorong untuk mengambil inisiatif
1. Penerapan prinsip-prinsip respon makro terhadap krisis dan koordinasi kebijakan makro G20.
Krisis yang berawal di memburuknya balance sheet sektor perbankan Amerika Serikat akibat
kejatuhan subprime mortgage menyebabkan masalah likuiditas yang menyebar ke seluruh dunia
dalam bentuk global repricing of risk. Hal ini menyebabkan terjadinya situasi credit crunch yang
memukul sisi konsumsi dan investasi yang mendorong kontraksi ekonomi di banyak negara.
Apabila hal ini dibiarkan terjadi, maka G20 mengkhawatirkan akan terjadi output loss permanen
yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi global jangka panjang. Karenanya, G20
melihat perlunya respon makro melalui stimulus fiskal yang didukung dengan kebijakan moneter
sesuai dengan kondisi masing-masing negara untuk menstabilisasi gejolak di sistem keuangan
melalui rekapitalisasi dan perbaikan balance sheet institusi keuangan, serta injeksi likuiditas
Krisis 2008 menyadarkan G20 akan kelemahan struktural di sistem keuangan global. Rendahnya
tingkat suku bunga global di sepanjang tahun 2000-an mengakibatkan berlimpahnya likuiditas di
pasar keuangan yang mendorong situasi over-confidence dan kecenderungan meremehkan risiko
di sektor keuangan. Ketersediaan dana murah yang berlimpah mendorong maraknya inovasi
produk keuangan. Produk-produk ini umumnya tidak didukung oleh regulatory safeguards yang
memadai. Salah satu contoh produk yang tidak memiliki kerangka regulasi yang memadai adalah
model produk sekuritas mortgage kompleks “originate and distribute” di pasar subprime
mortgage AS yang pada akhirnya disinyalir sebagai salah satu pemicu kejatuhan sistem
keuangan AS. Karenanya, salah satu agenda urgen G20 terkait krisis global adalah mengkaji dan
G20 melihat bahwa sistem keuangan yang berlaku masih menyediakan ruang bagi terbentuknya
moral hazard di kalangan para pelaku dan manajer keuangan. Secara khusus, G20 menyoroti
praktek kompensasi yang berlaku di institusi keuangan yang terkait erat dengan terjadinya
kecenderungan melakukan risk taking dan inovasi produk keuangan secara eksesif. Karenanya
G20 menargetkan untuk menyusun code of conduct terkait skema insentif di lingkungan industri
keuangan yang harus memiliki batasan yang jelas untuk mencegah excessive risk taking.
4. Perkuatan integritas pasar keuangan global. Perilaku sebagian institusi keuangan
mengakibatkan terjadinya krisis kepercayaan yang parah terhadap keseluruhan sistem. Dampak
sector ekonomi riil. Untuk memperbaiki hal itu, G20 mengupayakan peningkatan perlindungan
bagi investor dan nasabah, pencegahan conflict of interests di system keuangan, manipulasi pasar
dan kegiatan ilegal di sistem keuangan, fraudulent dan abuse, serta perlindungan risiko finansial
konsumen internasional dari juridiksi yang tidak kooperatif. Untuk mencapainya, G20
mendorong mekanisme kerja sama untuk meningkatkan sharing informasi khususnya dalam hal
transparansi dan pengelolaan prinsip kerahasiaan perbankan secara lebih bertanggung jawab.
5. Perkuatan kerja sama internasional dalam hal aktivitas keuangan lintas batas.
G20 melihat bahwa di era globalisasi ini, interaksi sistem keuangan internasional sangat intens
dan harus diimbangi dengan kerja sama antar regulator nasional dalam melakukan perumusan
kebijakan secara konsisten dengan prinsipprinsip internasional, serta meningkatkan kerja sama
dan koordinasi di semua segmen pasar keuangan (termasuk cross-border capital flows). Prioritas
utama G20 adalah pada peningkatan kerja sama terkait pencegahan, pengelolaan, dan
penanggulanga krisis. Mengingat bahwa saat ini terjadi pergeseran konstelasi keuangan
tersebut (khususnya yang menjadi anggota G20) perlu diikutsertakan dalam governance sistem
keuangan global dengan melibatkan mereka pada keanggotaan Financial Stability Forum (saat
ini berubah menjadi Financial Stability Board), dan standard setting bodies lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Teguh, Sihono. 2009. “Dampak Krisis Finansial Amerika Serikat Terhadap Perekonomian
Timur, Asia et al. 2012. “Krisis Keuangan Global Dan Pertumbuhan Ekonomi : Analisa Dari
Blanchard O. 2009. "Where Are We in the Global Crisis?" Carnegie Endowment. Thursday.