Anda di halaman 1dari 22

Dampak Krisis Keuangan Global Terhadap Penyelesaian Perselisihan

Kepailitan:
Pembelajaran dari Krisis 2008

Dosen pengampu :

Disusun Oleh:
Dian Islamiati Haris
Meidah Khumaeni

UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR


FAKULTAS HUKUM
Kata Pengantar

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini

dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap

bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran

maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan

dan pengalaman bagi pembaca. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak

kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman

Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca

demi kesempurnaan makalah ini.

Bogor, 16 Maret 2024

Penyusun
Daftar Isi
BAB I
Pendahuluan

1.1Latar Belakang

Pada tahun 2008 terjadi krisis global dan berlanjut pada krisis nilai tukar. Krisis ekonomi

2008 disebabkan karena adanya resesi ekonomi yang melanda Amerika Serikat. Hal ini

sangat mempengaruhi negara-negara lain karena Amerika Serikat merupakan pangsa

pasar yang besar bagi negara-negara lain termasuk Indonesia. Penurunan daya beli
masyarakat di Amerika menyebabkan penurunan permintaan impor dari Indonesia.

Dengan demikian ekspor Indonesia pun menurun. Inilah yang menyebabkan terjadinya

defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Bank Indonesia memperkirakan secara

keseluruhan NPI mencatatkan defisit sebesar USD 2,2 miliar pada tahun 2008. Krisis

ekonomi global tahun 2008 terjadi karena Subprime Mortgage (over- supply akan

perumahan, Mark-up harga perumahan, dan gaya hidup orang Amerika), pada 1997-an di

Amerika sedang ramai-ramainya bidang properti. Sehingga, banyak lembaga keuangan

ataupun lembaga pembiayaan yang berinvestasi dibidang properti sehingga lambat laun

terjadi over-supply dan menurunnya harga perumahan. Setelah harga perumahan

menurun, kredit perumahan banyak melanda masyarakat kelas bawah dengan melalui

kredit pada lembaga pembiayaan ataupun melalui free money. Krisis keuangan global

2008 membawa dampak signifikan pada berbagai aspek ekonomi, termasuk proses

penyelesaian perselisihan kepailitan. Krisis ini menyebabkan lonjakan jumlah kasus

kepailitan di seluruh dunia, membebani sistem peradilan dan menghambat pemulihan

ekonomi. Krisis menyebabkan banyak perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan

mengajukan permohonan kepailitan. Hal ini menyebabkan beban kerja yang berlebihan

bagi sistem peradilan dan memperlambat proses penyelesaian kasus. Sistem peradilan di

banyak negara tidak siap menghadapi lonjakan kasus kepailitan. Hal ini menyebabkan

kekurangan hakim, staf, dan sumber daya keuangan untuk menangani kasus-kasus

tersebut secara efektif. Kasus kepailitan yang terkait dengan krisis keuangan seringkali

lebih kompleks daripada kasus biasa. Hal ini membutuhkan waktu dan sumber daya yang

lebih banyak untuk menyelesaikannya, Krisis keuangan menyebabkan pemerintah dan

lembaga keuangan fokus pada upaya stabilisasi ekonomi. Hal ini dapat mengalihkan
perhatian dari reformasi sistem kepailitan yang diperlukan untuk menangani dampak

krisis. Sistem kepailitan yang efektif sangat penting untuk memfasilitasi restrukturisasi

dan pemulihan ekonomi. Hal ini membutuhkan sumber daya yang memadai, hakim dan

staf yang terlatih, serta prosedur yang efisien. Krisis keuangan global menunjukkan

pentingnya koordinasi internasional dalam menangani kasus kepailitan lintas batas. Hal

ini dapat membantu memastikan penyelesaian yang adil dan efisien bagi semua pihak

yang terlibat. Penyelesaian sengketa alternatif (ADR) seperti mediasi dan arbitrase dapat

membantu menyelesaikan kasus kepailitan dengan lebih cepat dan hemat biaya. Krisis

2008 menunjukkan perlunya reformasi hukum kepailitan untuk mengatasi kesenjangan

dan kelemahan yang terungkap selama krisis. Krisis keuangan global 2008 memberikan

pelajaran penting tentang bagaimana meningkatkan penyelesaian perselisihan kepailitan

di masa depan. Dengan menerapkan pelajaran ini, negara-negara dapat membangun

sistem kepailitan yang lebih efektif dan tangguh yang dapat membantu memitigasi

dampak krisis ekonomi di masa depan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat disimpulkan rumusan masalahnya sebagai

berikut:

a. Krisis keuangan 2008


b. Dampak global krisis keuangan 2008

c. Penyelesaian krisis keuangan 2008

1.3 Tujuan

Berdasarkan latar belakang diatas dapat disimpulkan tujuan penulisan ini sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui apa saja yang terjadi ketika krisis keuangan 2008 dan apa itu krisis

keuangan 2008

b. Untuk mengetahui dampak global krisis keuangan 2008

c. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian krisis keuangan 2008

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Krisis keuangan global 2008


Krisis keuangan global adalah krisis yang terjadi pada kisaran tahun-2008. Krisis ini

dikatakan sebagai salah satu krisis besar yang terjadi dalam sejarah setelah The Great

Depression di tahun 1930an. Krisis keuangan global menyebabkan banyak negara

mengalami resesi. Bahkan dibeberapa negara, hingga 2010 dampak krisis tersebut

belum benar-benar dapat terselesaikan. Dalam bab ini akan dipaparkan tentang

definisi krisis keuangan, penyebab krisis keuangan global, dampaknya terhadap

negara-negara didunia termasuk Australia, dan bagaimana krisis tersebut

mempengaruhi ekonomi Australia

a. Definisi Krisis Keuangan

Krisis keuangan adalah keadaan dimana permintaan (demand) untuk uang

melebihi persediaan (supply) dari uang itu sendiri (Web Finance Inc., 2017).

Likuiditas kemudian menguap karena uang ditarik oleh pemilik uang tersebut.

Bank akan secara terpaksa menjual aset lain untuk terus memiliki persediaan uang

atau dengan terpaksa bank akan bangkrut.

Dalam sejarah, krisis keuangan sudah sering terjadi. Contoh paling awal

yang dapat ditemui adalah Tulip Mania yang terjadi di Belanda tahun 1637. Pada

saat itu kemunculan bunga tulip membuat para spekulan melakukan spekulasi

pada tingkat yang ekstrim, dan seiring berjalannya waktu hal tersebut berubah

menjadi sebuah gelembung ekonomi (Detzer & Herr, 2014). Harga bunga tulip

terus meningkat, hingga ketika gelembung ekonomi tersebut akhirnya pecah dan
membuat harga tulip terus turun, para spekulan terbebani hutang yang sangat

tinggi.

Terdapat 5 krisis keuangan besar yang pernah terjadi sepanjang sejarah.

Kelima krisis tersebut adalah the credit crisis yang terjadi pada tahun 1772, the

great depression di tahun 1929 – 1939, OPEC oil price shock 1973, the Asian

crisis 1997, dan terakhir adalah krisis keuangan 2007-2008 yang dikenal dengan

nama The Global Financial Crisis (GFC) (Bondarenko, 2017). Akan tetapi meski

sudah sering terjadi, belum ada satu teori yang dapat menjawab secara general

tentang krisis keuangan. Hal ini dikarenakan oleh penyebab dari krisis yang

berbeda-beda. Kelima krisis keuangan terbesar yang telah disebutkan di atas juga

memiliki penyebab yang berbeda-beda Krisis kredit yang terjadi di tahun 1772

dimulai ketika kreditor Inggris meminjamkan modal pada pebisnis di tanah

koloni, sayangnya peminjaman tersebut tidak disertai data tentang rekam jejak

hutang peminjam modal. Sehingga pada saat 2 bank di Inggris gagal, kredit mulai

berhenti (Narron &Skeie, 2014). Sedangkan pada The Great Depression yang

terjadi di tahun 1929 – 1939, permasalahan dimulai karena jatuhnya pasar saham.

Para pemikir politik ekonomi memiliki pandangan berbeda-beda mengenai

pemicu krisis. Karl Marx berpendapat bahwa sistem kredit menjadi penyebab

utama. Adanya sebuah ledakan ekonomi atau bertambahnya aktivitas ekonomi

yang disebabkan oleh meningkatnya produksi, meningkatnya tenaga kerja dan

juga meningkatnya pembayaran bunga tidak akan menghantarkan perekonomian

pada perlambatan. Sistem finansial yang ada lah yang sebenarnya menyebabkan
perlambatan ekonomi karena menghendaki adanya ekspansi berlebihan dan juga

mengijinkan utang pada sebuah spekulasi (Dodig & Herr)

Krisis keuangan menyebar ke berbagai negara dikarenakan oleh tiga faktor

yaitu perdagangan, investasi langsung dan investasi tidak langsung. Dengan

adanya integrasi dalam sistem ekonomi internasional, maka dampak krisis akan

menyebar dengan cepat. Dampak yang berupa economy shock akan

mengantarkan perekonomian sebuah negara pada keadaan krisis. Krisis ekonomi

tersebut ditandai dengan beberapa indikator seperti GDP turun, likuiditas

mengering, dan naik/turunnya harga dikarenakan inflasi/deflasi Krisis keuangan

yang terjadi di negara-negara terkena dampak dapat berupa resesi ataupun

depresi. Resesi ditandai dengan tingginya pengangguran, upah yang stagnan, dan

jatuhnya penjualan ritel Sedangkan depresi adalah titik terendah dalam ekonomi

yang ditandai dengan 6 indikator; Hilangnya kemampuan untuk membeli,

pengangguran dalam jumlah yang besar, kelebihan pada penawaran (supply)

disbanding permintaan (demand), harga barang-barang yang terjatuh, upah tenaga

kerja yang jatuh, dan hilangnya kepercayaan konsumen untuk melakukan

transaksi ekonomi di masa depan.

b. Penyebab krisis keuangan global

Kriris memiliki arti yang cukup luas, salah satu pengertian krisis menurut

Harberler yaitu “Penyimpangan kegiatan ekonomi yang menyolok dan merupakan

titik awal gerak kegiatan ekonomi yang menurun/down-turn atau the upper
turning point” (Estey, 1960). Begitu juga dengan Mitchell mengartikan krisis

adalah suatu kondisi ekonomi yang sudah mengalami atau dengan kata lain agak

resesi (rather than recession) (Teguh, 2009). Sedangkan Menurut ahli ekonomi

secara sederhana krisis itu terjadi karena harga-harga melonjak tinggi dari

sebelumnya dan tidak adanya lagi kepercayaan masyarakat kepada pemerintah,

terkhususnya masalah finansial dimana masyarakat tersebut tidak mau lagi

menyimpan uang di bank (Nur 2020). Maka dari itu menurut (Tarmidi, 1998)

langkah yang harus segera mungkin dilakukan untuk menanggulangi suatu krisis

ekonomi ini adalah pemecahan masalah utang swasta luar negeri, melakukan

pembenahan kapasitas perbankan nasional dan tak lupa mengembalikan harapan

rakyat di dalam negeri maupun di luar negeri dalam hal kapasitas ekonomi

Indonesia yang dapat menstabilkan nilai tukar rupiah di tingkat yang

sesungguhnya dan yang juga sangat relevan yaitu menstabilkan kembali sosial

dan politik. Lain halnya dengan (Nezky, 2013) yang mengaitkan suatu krisis

terjadi karena sejumlah hal-hal yang penting. Pertama, karena adanya kerugian di

pasar keuangan, kedua, posisi dimana suatu lembaga moneter kehilangan

setengah kekayaannya, ketiga, ketakutan perbankan akan lenyapnya default kredit

maupun resesi, keempat jatuhnya nilai mata uang dan bursa saham. Jadi pada

intinya efek perusahaan yang telah terdaftar sangat berhubungan dengan

pembelian maupun penjualan yang menjadi akar utama penanaman modal

eksternal perusahaan maupun pemerintah. Secara umum beberapa peneliti

mengkategorikan menjadi beberapa jenis krisis: sebut saja (Kaminsky, 2003)

mengatakan bahwa krisis yang pertama kali terjadi di Meksiko pada tahun tahun
1973-1982. Kemudian Flood dan Garber (1984) dan Krugman (2007) kemudian

melanjutkan krisis generasi pertama bukan hanya permasalahan krisis moneter

dan fiskal tetapi juga lemahnya kondisi makro ekonomi. Krisis kedua atau biasa

disebut dengan Second Generation Crisis awalnya disampaikan oleh Obstfeld

(1994) serta Cole dan Keho (1996) menyebutnya krisis kedua ini terjadi di Eropa

pada tahun 1992 hingga 1993 yang melanda sistem keuangan karena pemerintah

ingin menerapkan sistem nilai tukar terhadap ekspansi moneter. Sementara krisis

generasi ketiga Menurut Krugman adalah gabungan krisis generasi pertama dan

kedua sehingga disebutnya dengan krisis kembar (Nezky, 2013). Sejak era

globalisasi, krisis keuangan menjadi lebih sering terjadi daripada sebelumnya.

Kemajuan dalam hal teknologi informasi menjadi salah satu alasan terjadinya

krisis karena dapat memperbesar dan mempercepat penyebaran informasi dari

negara bahkan ke daerah sekalipun. Dalam dua puluh tahun terakhir sudah terjadi

krisis keuangan yang terbilang besar di beberapa negara yaitu yang pertama

Krisis Keuangan Asia Timur 1997 dan kedua Krisis Keuangan Global 2008. Jika

dikaitkan dengan teknlogi informasi dalam hal ini (Timur et al., 2012)

menyatakan bahwa system keuangan dunia dapat menjalar lebih mudah dan lebih

cepat karena didukung oleh perkembangan teknologi informasi yang telah

memperkuat integrasi keuangan perekonomian dengan hal ini sangat berkaitan

dengan antarnegara di dunia. Percaya atau tidak percaya krisis keuangan ini akan

terulang lagi karena seperti pernyataan Grant (1998), seorang pengamat pasar

modal yang melakukan riset dalam sejarah keuangan menulis dalam bukunya

“The Trouble with Prosperity”, bahwa keuangan memiliki siklus masa makmur
yang kemudian selalu akan diikuti dengan masa suram, atau sebaliknya.(Njoo,

2008) Konsekuensi dari krisis keuangan selalu dikaitkan dengan indikator makro

ekonomi, khususnya pertumbuhan ekonomi. Hal ini membuktikan bahwa sumber

krisisdapat bervariasi seperti halnya Asia Timur, pertumbuhan ekonomi Asia

Timur jatuh dari wilayah dengan pertumbuhan tercepat di dunia menjadi wilayah

yang beberapa negara anggotanya mencatat pertumbuhan pendapatan yang

negatif pada tahun 1998 seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Korea Selatan,

Filipina dan Thailand (Timur et al., 2012). Hal tersebut juga dikemukakan oleh

(Faiz, 2010) bahwa makro ekonomi sudah seringkali menimbulkan terjadinya

penghambatan kredit yang imbasnya pada krisis yang lebih rumit. Menurutnya

wujud dari krisis yang terjadi sangat berformasi, mulaidari runtuhnya pasar saham

dan nilai mata uang yang mengalami kesulitan sampai banyak nasabah yang

menyimpan uangnya kemudian nasabah tersebut memutuskan untuk menarik

uangnya kembali, hal itu biasa disebut dengan banking rush, bukan hanya itu

krisis ini juga menyebabkan pemerintah mengalami kegagalan pelunasan utang.

Namun Krisis Asia Timur pada tahun 1997 menunjukkan angka yang cukup besar

dibanding dummy Krisis Keuangan Global pada tahun 2008. Hal ini searah

dengan keinginan sebab Krisis Asia Timur 1997 terjadi di wilayah Asia Timur

dan merupakan hasil dari akar internal wilayah tersebut, termasuk yang pertama

kurangnya kredibilitas kebijakan dan kedua infrastruktur keuangan yang tidak

terpenuhi sehingga secara bersamaan terjadi proses pencabutan (Timur et al.,

2012). (Nezky, 2013) menyebutkrisis Asia Timur 1997 dengan sebutan krisis

kembar. Krisis kembar ini disebabkan karena kondisi perbankan mengalami


penyusutan dan tingginya nilai tukar. (Nur, 2020) menyimpulkan bahwa krisis

ekonomi tidak hanya satu faktor saja, bahkan bisa saja dua faktor yaitu faktor

internal maupun eksternal. Faktor internalnya yaitu pertumbuhan yang merupakan

kunci utama ekonomi makro, kedua strukturekonomi yang tidak seimbang, ketiga

perdagangan luar negeri masih lemah dalam hal mengembangkan ekspor. Adapun

faktor eksternalnya salah satunya yaitu adanya ketidakseimbangan global di

negara-negara maju dan pasar keuangan global. Penyebab krisis juga

dikemukakan oleh (Hidayat, 2008), ia mengatakan bahwa di tahun 2008 resesi

ekonomi berasal dari melonjaknya harga minyak dunia. Hal itu tentunya akan

mendorong tingginya harga bahan pangan, mengingat keduanya sangat

berpengaruh sebagai energi alternatif pengganti minyak maka diubahlah bahan

pangan menjadi etanol dan biosel. Tidak jauh berbeda dengan (Teguh, 2009) yang

mengatakan Amerika Serikat telah masuk pada tahap bahaya resesi, yang menjadi

dasar pokoknya yaitu

(1) Keuangan yang rapuh,

(2) Pasar tetap lemah,

(3) Adanya ketidakjelasan bankbank besar terkena dampak krisis kredit,

(4) hingga tingginya harga minyak, dan

(5) Lemahnya daya beli konsumen. Krisis keuangan global yang terjadi

saat ini sangat berkaitan erat dengan kondisi perekonomian Amerika yang

memburuk. Krisis keuangan yang semula hanya dialami oleh Amerika kini

merambak hingga ke negara-negara lainnya yang membuat ekonomi melambat

secara global. Hal ini tentunya menjadi masalah yang serius. Hambatan yang
terjadi pada negara adikuasa tersebut dipastikan telah memberikan dampak yang

sangat besar terhadap perekonomian dunia. Gejolak perekonomian yang terjadi di

Amerika Serikat telah mempengaruhi stabilitas ekonomi global di beberapa

kawasan. Keterbukaan ekonomi antar negara memungkinkan terjadinya resesi di

suatu negara untuk mengarah dan mempengaruhi negara lainnya. (Njoo, 2008)

berpendapat bahwa krisis keuangan global merupakan “made in America” dalam

arti Amerika telah mengekspor surat-surat berharga berdasarkan hutang nasabah

dan mortgage dari aset aset yang dianggap terlalu tinggi dan pada akhirnya

menimbulkan kebangkrutan sistem keuangan dunia. Seperti yang diketahui jika

seseorang mengkredit barang-barang tentunya memiliki bunga. Begitupun dengan

utang hipotek ini juga menghasilkan biaya bunga. Dalam artian peminjam tidak

hanya bertanggung jawab membayar utang pokoknya tetapi juga harus membayar

bunganya. Seperti yang diketahui PDB Amerika Serikat itu berada pada angka US

$ 13,1 Triliun, angka tersebut cukup besar setara 20% dari PDB dunia pada tahun

2007. Namun hal itu ternyata tidak bisa menopang ekonominya sehingga dampak

krisis kredit dalam pasar mortgage senilai US $ 1,8 Triliun. Negara super power

itu dihadapkan pada penurunan ekonomi yang menghadapi para pesaing baru

China dan India. Namun hal itu tetap saja masih berpengaruh kuat pada

percaturan ekonomi dunia(Teguh, 2009). (Hidayat, 2008) menyatakan bahwa

pada tahun 2006-2007, terjadilah kenaikan suku bunga kredit, dari sanalah awal

mula permasalahan kredit perumahan tersebut menyebar dimana kredit

perumahan itu disekuritisasi dan banyak dipegang bahkan dibeli oleh lembaga

finansial dan pada akhirnya lembaga keuangan tersebut banyak kehilangan nilai
asetnya akibat sekuritisasi aset tersebut turun harganya, dampaknya adalah

ambruknya sisi permodalan dari banyak perbankan dan pemerintahan Amerika

Serikat memberitahu lembaga keuangannya untuk mengetatkan kredit di seluruh

dunia. Kemudian pada tahun 2008 tepatnya dibulan Agustus gelombang ekonomi

kembali meledak di pasar perumahan Amerika Serikat sebagai akhir dari

subprime mortgage yang terjadi tahun lalu. Ancaman dari krisis ini adalah depresi

ekonomi yang universal (Hadi, 2008). Sebagaimana yang dinyatakan oleh

(Hidayat, 2008) bahwa subprime mortgage ini terjadi karena dalam beberapa

tahun terkahir cukup banyak kredit perumahan di Amerika Serikat yang sangat

beresiko, dalam artian kredit perumahan tersebut diberikan kepada rumah tangga

yang berpenghasilan rendah dan juga tanpa uang muka yang lebih parahnya lagi

rumah tangga tersebut mempunyai catatan kredit bermasalah.

2.2 Dampak global krisis keuangan 2008

Secara teori kemungkinan bisa ada lebih dari satu faktor yang secara bersamaan menyebabkan

krisis tersebut terjadi. Misalnya, tingkat atau laju inflasi yang tinggi; apakah ini disebabkan oleh

harga-harga dari produkproduk impor yang melonjak tinggi akibat depresiasi nilai tukar rupiah

terhadap dolar AS, atau karena jumlah uang yang beredar di Masyarakat (M1) lebih besar

daripada penawaran agregat (kemampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan pasar di dalam

Negeri). Menurut Fischer, Adapun faktor-faktor penyebab krisis antara lain

1) Faktor-faktor Internal
a) Laju Pertumbuhan

Laju pertumbuhan PDB adalah salah satu indikator utama ekonomi makro yang sering digunakan

dalam menganalisis kinerja ekonomi sebuah Negara. PDB (Produk domestik Bruto) merupakan

alat pengukur dari pertumbuhan ekonomi. PDB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah

yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu atau merupakan jumlah nilai

barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDB atas dasar harga berlaku

dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi, sedangkan harga konstan

digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun.

b) Struktur Ekonomi

Kelemahan fundamental ekonomi makro dalam hal stuktur ekonomi juga bisa merupakan salah

satu penyebab, mungkin bukan yang membuat terjadinya krisis tetapi yang mengakibarkan krisis

tersebut terus berlangsung dan semakain parah. Pada dasarnya struktur ekonomi yang lemah

mencerminkan tidak seimbangnya perkembangan dan pertumbuhan antarsektor di satu pihak,

dan tidak adanya “sektor kuci” (walaupun sektor tersebut dominan di dalam sturktur ekonomi

dengan suatu kinerja yang baik di pihak lain. Sektor-sektor ekonomi tidak menunjukkan kinerja

yang sama, misalnya dalam hal tingkat produktivitas, efisiensi atau profitabilitas, atau kontibusi

terhadap pembentukan dan pertumbuhan PDB tidak seimbang antarsektor.

c) Perdagangan Luar Negeri (Ekspor Neto)

Berdasarkan suatu laporan dari WTO (1996), struktur perdagangan dunia menunjukkan bahwa

pada tahun 1995 Indonesia tidak termasuk dalam 25 besar Negara-negara pengespor produk-

produk manufaktur. Masih lemahnya Indonesia dalam mengembangkan ekspor bernilai tambah
tinggi, sementara masih sangat tergantung pada impor produkproduk bernilai tambah tinggi

dapat dianggap sebagai penyebab utama kurangnya cadangan devisa (khususnya dolar AS) yang

dimilik Indonesia, untuk mempertahankan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, sehingga rupiah

melemah terus dan akhirnya tidak hanya menyebabkan tetapi juga memperparah krisis ekonomi.

d) Perkembangan Sektor Industri Manufaktur

Dalam fundamentall ekonomi Indonesia pada tingkat meso, ada dua sektor penting yang turut

juga bertanggungjawab atas terjadinya atau terus berlangsungnya krisis ekonomi di Indonesia

hingga saat ini, yakni sektor industri manufaktur dan sektor perbankan. Perkembangan sektor

industri

manufaktur di Indonesia yang tidak sehat selama periode Orde Baru, dalam arti tingkat

produktivitas, efisiensi dan daya saing yang rendah, serta ketergantungan yang tinggi terhadap

impor dan modal asing, juga merupakan salah satu penyebab lemahnya fundamental ekonomi

Indonesia.

1) Faktor Eksternal

Selain faktor-faktor internal, menurut Fischer (1998), krisis ekonomi di Asia juga diakibatkan

oleh perkembangan perekonomian negara-negara maju dan pasar keuangan global yang

menyebabkan ketidakseimbangan global. Maksudnya, seperti di Jepang dan Eropa Barat,

pertumbuhan ekonomi mengalami kesulitan dan kebijaksanaan moneter tidak berubah serta

tingkat suku bunga sangat rendah. Semua ini membuat kedua wilayah itu menjadi kurang

menarik bagi investasi. Dengan perkataan lain, dana berlimpah ruah tetapi proyekproyek yang

menarik untuk investasi berkurang. Faktor eksternal lainnya adalah disebabkan oleh daya saing
Indonesia di Asia yang lemah. Tingkat nilai tukar mata uang-mata uang dari Negara-Negara Asia

Tenggara, termasuk Indonesia,

terhadap dolar AS yang terlalu kuat (Over valued). Selain faktor-faktor ekonomi, krisis di Asia

itu juga disebabkan oleh faktor-faktor nonekonomi, seperti sosial, budaya, kultur dan politik.

Dan faktor psikologis juga sangat berperan, paling tidak membuat krisis rupiah itu menjadi suatu

krisis ekonomi besar. Dampak psikologis muncul dari krisis di Indonesia adalah merebaknya

fenomena kepanikan di manamana yang melanda masyarakat keuangan internasional, sehingga

para pemilik modal internasional memindahkan modal mereka dari Indonesia secara tiba-tiba

dalam jumlah yang sangat besar. Kepanikan ini, kemudian diikuti oleh warga Negara di

Indonesia dengan melakukan hal yang sama, hal serupa juga terjadi di Thailan dan Korea selatan.

2.3 Penyelesaian krisis keuangan 2008

Dalam Deklarasi Para Pemimpin G20 tersebut, anggota G20 didorong untuk mengambil inisiatif

dalam mengatasi krisis keuangan global melalui 6 prinsip utama yaitu:

1. Penerapan prinsip-prinsip respon makro terhadap krisis dan koordinasi kebijakan makro G20.

Krisis yang berawal di memburuknya balance sheet sektor perbankan Amerika Serikat akibat

kejatuhan subprime mortgage menyebabkan masalah likuiditas yang menyebar ke seluruh dunia

dalam bentuk global repricing of risk. Hal ini menyebabkan terjadinya situasi credit crunch yang

memukul sisi konsumsi dan investasi yang mendorong kontraksi ekonomi di banyak negara.

Apabila hal ini dibiarkan terjadi, maka G20 mengkhawatirkan akan terjadi output loss permanen

yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi global jangka panjang. Karenanya, G20
melihat perlunya respon makro melalui stimulus fiskal yang didukung dengan kebijakan moneter

sesuai dengan kondisi masing-masing negara untuk menstabilisasi gejolak di sistem keuangan

melalui rekapitalisasi dan perbaikan balance sheet institusi keuangan, serta injeksi likuiditas

untuk mengembalikan kemampuan intermediari yang diharapkan dapat mendorong aktivitas

ekonomi. 2. Peningkatan standar regulasi sistem keuangan.

Krisis 2008 menyadarkan G20 akan kelemahan struktural di sistem keuangan global. Rendahnya

tingkat suku bunga global di sepanjang tahun 2000-an mengakibatkan berlimpahnya likuiditas di

pasar keuangan yang mendorong situasi over-confidence dan kecenderungan meremehkan risiko

di sektor keuangan. Ketersediaan dana murah yang berlimpah mendorong maraknya inovasi

produk keuangan. Produk-produk ini umumnya tidak didukung oleh regulatory safeguards yang

memadai. Salah satu contoh produk yang tidak memiliki kerangka regulasi yang memadai adalah

model produk sekuritas mortgage kompleks “originate and distribute” di pasar subprime

mortgage AS yang pada akhirnya disinyalir sebagai salah satu pemicu kejatuhan sistem

keuangan AS. Karenanya, salah satu agenda urgen G20 terkait krisis global adalah mengkaji dan

menyelaraskan standar akunting global yang bertujuan memperkuat regim perundangan,

prudential oversight, dan pengelolaan risiko sesuai standar internasional.

3. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas sistem keuangan global.

G20 melihat bahwa sistem keuangan yang berlaku masih menyediakan ruang bagi terbentuknya

moral hazard di kalangan para pelaku dan manajer keuangan. Secara khusus, G20 menyoroti

praktek kompensasi yang berlaku di institusi keuangan yang terkait erat dengan terjadinya

kecenderungan melakukan risk taking dan inovasi produk keuangan secara eksesif. Karenanya

G20 menargetkan untuk menyusun code of conduct terkait skema insentif di lingkungan industri

keuangan yang harus memiliki batasan yang jelas untuk mencegah excessive risk taking.
4. Perkuatan integritas pasar keuangan global. Perilaku sebagian institusi keuangan

mengakibatkan terjadinya krisis kepercayaan yang parah terhadap keseluruhan sistem. Dampak

langsungnya adalah terganggunya aktivitas intermediari yang dibutuhkan untuk menggerakkan

sector ekonomi riil. Untuk memperbaiki hal itu, G20 mengupayakan peningkatan perlindungan

bagi investor dan nasabah, pencegahan conflict of interests di system keuangan, manipulasi pasar

dan kegiatan ilegal di sistem keuangan, fraudulent dan abuse, serta perlindungan risiko finansial

konsumen internasional dari juridiksi yang tidak kooperatif. Untuk mencapainya, G20

mendorong mekanisme kerja sama untuk meningkatkan sharing informasi khususnya dalam hal

transparansi dan pengelolaan prinsip kerahasiaan perbankan secara lebih bertanggung jawab.

5. Perkuatan kerja sama internasional dalam hal aktivitas keuangan lintas batas.

G20 melihat bahwa di era globalisasi ini, interaksi sistem keuangan internasional sangat intens

dan harus diimbangi dengan kerja sama antar regulator nasional dalam melakukan perumusan

kebijakan secara konsisten dengan prinsipprinsip internasional, serta meningkatkan kerja sama

dan koordinasi di semua segmen pasar keuangan (termasuk cross-border capital flows). Prioritas

utama G20 adalah pada peningkatan kerja sama terkait pencegahan, pengelolaan, dan

penanggulanga krisis. Mengingat bahwa saat ini terjadi pergeseran konstelasi keuangan

internasional khususnya dengan munculnya negara-negara emerging baru, maka negara-negara

tersebut (khususnya yang menjadi anggota G20) perlu diikutsertakan dalam governance sistem

keuangan global dengan melibatkan mereka pada keanggotaan Financial Stability Forum (saat

ini berubah menjadi Financial Stability Board), dan standard setting bodies lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Teguh, Sihono. 2009. “Dampak Krisis Finansial Amerika Serikat Terhadap Perekonomian

AsiA.” Jurnal Ekonomi & Pendidikan 6 nomor 1: 1–20.

Timur, Asia et al. 2012. “Krisis Keuangan Global Dan Pertumbuhan Ekonomi : Analisa Dari

Perekonomian.” Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan 15 NO 2: 37–56.

Blanchard O. 2009. "Where Are We in the Global Crisis?" Carnegie Endowment. Thursday.

April 30, 2009.

Anda mungkin juga menyukai