Anda di halaman 1dari 14

Machine Translated by Google

Tersedia online di www.sciencedirect.com

Sains Langsung

Procedia Ilmu Lingkungan 33 ( 2016 ) 239 – 252

Simposium Internasional ke-2 Satelit LAPAN-IPB untuk Ketahanan Pangan dan Lingkungan
Pemantauan 2015, LISAT-FSEM 2015

Pemetaan Kerentanan Kebakaran Hutan di Taman Nasional Way Kambas

Putri Amalina*, Lilik Budi Prasetyo, Siti Badriyah Rushayati


Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Darmaga,
Bogor 16680, Indonesia

Abstrak

Di daerah tropis, khususnya Pulau Sumatera, perladangan berpindah merupakan sistem pertanian yang dominan. Petani biasa
menggunakan api pada saat persiapan lahan sebagai strategi untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja. Kebakaran hutan mendapat
perhatian khusus karena dampaknya terhadap lingkungan. Ini sumber emisi gas rumah kaca, degradasi ekosistem, dan kepunahan satwa
liar. Kebakaran hutan yang terjadi terutama di kawasan sensitif sangat sulit untuk dihentikan. Dalam situasi seperti ini, tindakan preventif akan lebih dilakuka
efektif. Mitigasi dan tindakan melalui sistem peringatan dini kebakaran hutan diperlukan di Taman Nasional Way Kambas (TNWK).
Untuk mendukung hal tersebut, sistem informasi geografis dan penginderaan jauh dapat diterapkan untuk mengembangkan peta kerentanan
kebakaran. Tujuan penelitian adalah untuk mengembangkan peta kerentanan kebakaran berdasarkan faktor biofisik dan gangguan manusia. Peta
tersebut didasarkan pada kondisi biofisik setempat, yaitu tutupan lahan, indeks vegetasi, indeks kelembaban, dan suhu permukaan lahan.
Gangguan manusia ditentukan berdasarkan jarak yaitu pusat kegiatan masyarakat dan jarak terhadap aksesibilitas. Setelah variabel-variabel
tersebut diberi skor dan diberi bobot, peta yang dilapis tersebut menyajikan lokasi-lokasi dengan kelas kerentanan tinggi, sedang, dan rendah.
Validasi model dilakukan dengan menggunakan data titik kejadian kebakaran hutan.
© 2016
2016 Para Penulis.
Penulis. Diterbitkan
Diterbitkan oleh Elsevier
oleh Elsevier BV © artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-NC-ND Tinjauan
BV Ini adalah
sejawat di bawah tanggung jawab panitia penyelenggara LISAT-FSEM2015. (http://
creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/).
Tinjauan sejawat di bawah tanggung jawab panitia penyelenggara LISAT-FSEM2015
Kata Kunci: kebakaran hutan; sistem informasi geografis; penginderaan jauh; kerentanan; Taman Nasional Way Kambas

* Penulis yang sesuai. Telp: +62-857-152-55119.


Alamat email: amalina264@yahoo.com.

1878-0296 © 2016 Para Penulis. Diterbitkan oleh Elsevier BV Ini adalah artikel akses terbuka di bawah lisensi CC BY-NC-
ND (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/).
Tinjauan sejawat di bawah tanggung jawab panitia penyelenggara LISAT-FSEM2015
doi: 10.1016/j.proenv.2016.03.075
Machine Translated by Google

240 Putri Amalina dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 33 ( 2016 ) 239 – 252

1. Perkenalan

Taman Nasional Way Kambas merupakan perwakilan hutan dataran rendah terluas di Pulau Sumatera [1, 2]. Lima jenis satwa liar
prioritas konservasi hidup di TNWK, yaitu Harimau Sumatera, Badak Sumatera, Gajah Sumatera, Tapir, dan Beruang Madu. Masih
banyak lagi satwa liar penting lainnya seperti Bebek Sayap Putih, Burung Pegar, Argus Besar, Siamang, Monyet Daun Sumatera,
sedangkan contoh floranya adalah Gaharu, Mahang, Nepenthes, dan lain-lain.
Selain memiliki potensi unggulan yang ada, berdasarkan pendekatan analisis SWOT yang dilakukan pengelola taman nasional,
TNWK juga menghadapi berbagai ancaman. Salah satu ancaman yang dihadapi taman nasional adalah terkait dengan kondisi biofisik
taman nasional, yaitu kebakaran hutan akibat lahan kering dan tingginya tingkat pencemaran air [3]. Kebakaran hutan terjadi setiap
tahun di taman ini. Kebakaran hutan terjadi dengan intensitas lebih tinggi pada musim kemarau [4, 5, 6]. Kebakaran hutan menyebabkan
kerusakan hutan; oleh karena itu diperlukan kegiatan mitigasi dan adaptasi. Hal ini juga terkait dengan kebijakan pemerintah yang
memprioritaskan isu kebakaran hutan [7].
Sistem informasi geografis dan penginderaan jauh telah lama diterapkan untuk membuat peta kerentanan kebakaran hutan.
Peta kerentanan kebakaran hutan merupakan model spasial yang digunakan untuk menggambarkan kondisi lapangan yang berkaitan dengan risiko kebakaran hutan [5].
Melalui peta ini, kegiatan pemantauan dan pencegahan kebakaran hutan dapat dilakukan sedini mungkin. Peta kerentanan kebakaran
hutan dibuat dengan merumuskan faktor-faktor kebakaran hutan. Beberapa metode telah dirumuskan untuk mengetahui tingkat
kerentanan kebakaran hutan. Namun, ketika diterapkan pada lokasi yang berbeda, keakuratannya dipertanyakan karena kondisi lokal
yang berbeda. Oleh karena itu, perlu adanya penelitian mengenai pemetaan tingkat kerentanan kebakaran hutan di TNWK berdasarkan
rumusan yang sesuai dengan kondisi lokal di TNWK.

2. Data dan Metode

Daerah penelitian terletak di Provinsi Lampung dan mencakup area seluas 125.621,3 ha (Gambar 1). Sebagai taman nasional,
TNWK terbagi menjadi 12 resor pengelolaan. Setiap resor dikelilingi oleh batas bio-fisik. Secara keseluruhan TNWK dikelilingi oleh laut,
sungai, dan kanal. Terdapat pemukiman, perkebunan besar, dan lahan pertanian di sekitar taman nasional.

Gambar 1. Lokasi penelitian.


Machine Translated by Google

Putri Amalina dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 33 ( 2016 ) 239 – 252 241

Data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dari interpretasi citra Landsat 8 dan dilengkapi dengan pengecekan lapangan dan data
sekunder. Landsat yang digunakan dalam penelitian ini diakuisisi pada bulan Oktober 2013, dan pengecekan lapangan dilakukan pada bulan Januari-
Maret 2015. Berdasarkan hasil observasi lapangan dan wawancara, diketahui faktor-faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan di wilayah penelitian.

Faktor-faktor yang dijadikan variabel antara lain tutupan lahan, indeks vegetasi, indeks kelembaban, suhu permukaan, jarak dari jalan raya, jarak
dari sungai, jarak dari pemukiman, jarak dari sawah, jarak dari lahan pertanian, dan jarak dari perkebunan. Cara penentuan api ini mengacu pada
konsep segitiga api seperti yang dijelaskan dalam Adinugroho dkk. [8] bahwa proses pembakaran terjadi karena adanya sumber panas (api) sebagai
penyala, tersedia bahan bakar, dan oksigen secara bersamaan. Faktor-faktor yang digunakan dalam penelitian ini sebagai variabel untuk menentukan
rumus kerentanan kebakaran hutan adalah representasi segitiga api.

Analisis masing-masing variabel dilakukan dengan menggunakan software ArcGIS dan Erdas Imagine. Setelah data dianalisis dan dihasilkan
peta tematik dari masing-masing variabel. Skor diberikan kepada masing-masing variabel yang diklasifikasikan ke dalam masing-masing karakteristik
berdasarkan tinjauan literatur. Tabel 1 menyajikan penilaian variabel.
Dalam penelitian ini diasumsikan bahwa beberapa variabel mempunyai pengaruh yang lebih tinggi terhadap kebakaran hutan dibandingkan
variabel lainnya. Dapat dilihat pada Tabel 2 yang menyajikan karakteristik masing-masing variabel pada titik kejadian kebakaran hutan di TNWK.
Titik api dikumpulkan pengelola taman nasional dari Firecast tahun 2011-2014 dengan total 522 titik. Variabel yang berpengaruh terhadap pemicu
kebakaran hutan adalah kategori faktor biofisik yaitu tutupan lahan, NDVI, dan NDMI. Hal itu menjadi dasar untuk memberikan bobot yang tinggi
terhadap variabel-variabel tersebut untuk menentukan tingkat kerentanan kebakaran hutan.
Di situs lain Rianawati [13], Itoyo [14], dan Akbar dkk. [15] telah melakukan penelitian dan hasilnya faktor terbesar pemicu kebakaran hutan di
Indonesia adalah aktivitas manusia. Jadi dua studi kasus pembobotan yang berbeda telah dilakukan.
Persamaan 1 memberikan bobot yang tinggi (0,9) pada faktor manusia dan 0,1 untuk faktor alam, dan sebaliknya Persamaan 2 menggunakan bobot
0,1 untuk faktor manusia dan 0,9 untuk faktor alam.

ÿÿ (1)
ÿÿ ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
ÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿÿ
(2)

Perkataan:
kamu = Skor kerentanan kebakaran hutan
x1 = Tutupan lahan
x2 = Suhu permukaan
x3 = Indeks vegetasi perbedaan normal (NDVI)
x4 = Indeks kelembaban perbedaan yang dinormalisasi (NDMI)
x5 = Jarak dari jalan raya
x6 = Jarak dari sungai
x7 = Jarak dari pemukiman
x8 = Jarak dari perkebunan
x9 = Jarak dari lahan pertanian kering
x10 = Jarak dari sawah

Variabel-variabel ditumpangkan untuk menentukan kerentanan terhadap tingkat kebakaran hutan di wilayah tersebut. Kawasan hutan
diklasifikasikan ke dalam kelas kerentanan kebakaran: tingkat kerentanan tinggi, sedang, dan rendah berdasarkan skor total (Tabel 3). Kemudian
masing-masing peta kerentanan kebakaran dibandingkan dengan luas sebenarnya yang terganggu oleh kebakaran yang ditunjukkan oleh titik
terjadinya kebakaran hutan. Kesesuaian antara prediksi wilayah dengan tingkat kerawanan tinggi terhadap kebakaran hutan dengan luas wilayah
yang sebenarnya terbakar diasumsikan sebagai uji validasi.
Machine Translated by Google

242 Putri Amalina dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 33 ( 2016 ) 239 – 252

Tabel 1. Skor masing-masing variabel.

Variabel Ciri Skor Tingkat kerentanan literatur

Rumput alang-alang (kering) 5 Paling rentan

Hutan (hampir kering) 4 Rentan

Hutan rawa (lembab) 3 Sedang


Tutupan lahan Erten dkk .[9]
Mangrove (lembab) 3 Sedang

Rawa (hampir basah) 2 Tidak rentan

Badan air (basah) 1 Paling tidak rentan


NDVI>0,35 5 Paling rentan
0,25<NDVI 0,35 4 Rentan Nurdiana dan
NDVI
0,15<NDVI 0,25 3 Sedang Risdiyanto [10]
NDVI 0,15 2 Tidak rentan
NDMI 0,15 5 Paling rentan
0,15<NDMI 0,25 4 Rentan Nurdiana dan
NDMI
0,25<NDMI 0,35 3 Sedang Risdiyanto [10]
NDMI>0,35 2 Tidak rentan

Suhu>35 C 5 Paling rentan

30<Suhu35 C 4 Rentan
Suhu permukaan tanah Setyawan [11]
25<Suhu30 C 3 Sedang

20<Suhu 25 C 2 Tidak rentan

Suhu20 C 1 Paling tidak rentan


Jarak 100m 5 Paling rentan
100m < Jarak 200m 4 Rentan
Jarak dari jalan raya
200m < Jarak 300m 3 Sedang Jaiswal dkk.[12]
300m < Jarak 400m 2 Tidak rentan
Jarak > 400m 1 Paling tidak rentan
Jarak 100m 5 Paling rentan
100m < Jarak 200m 4 Rentan
Jarak dari sungai 200m < Jarak 300m 3 Sedang Jaiswal dkk.[12]
300m < Jarak 400m 2 Tidak rentan
Jarak > 400m 1 Paling tidak rentan
Jarak 1000m 5 Paling rentan
1000m < Jarak 2000m 4 Rentan
Jarak dari lahan pertanian Erten dkk .[9]
2000m < Jarak 3000m 3 Sedang
Jarak > 3000m 2 Tidak rentan
Jarak 1000m 5 Paling rentan

Jarak dari perkebunan 1000m < Jarak 2000m 4 Rentan


Erten dkk.[9]
2000m < Jarak 3000m 3 Sedang
Jarak > 3000m 2 Tidak rentan
Jarak 1000m 5 Paling rentan
1000m < Jarak 2000m 4 Rentan
Erten dkk.[9]
2000m < Jarak 3000m 3 Sedang
Jarak dari sawah
Jarak > 3000m 2 Tidak rentan
Jarak 1000m 5 Paling rentan

Jarak dari pemukiman 1000m < Jarak 2000m 4 Rentan


Erten dkk.[9]
2000m < Jarak 3000m 3 Sedang
Jarak > 3000m 2 Tidak rentan
Machine Translated by Google

Putri Amalina dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 33 ( 2016 ) 239 – 252 243

Tabel 2. Karakteristik variabel titik api.

Faktor manusia Faktor Biofisik

Variabel Total Titik Api Variabel Total Titik Api

Jarak dari Jalan Tutupan Lahan

100m 65 Padang rumput alang-alang 361

100m - 200m 83 Hutan lahan kering 81

200m - 300m 28 Hutan rawa 21

300m - 400m 72 Rawa 37

Jarak dari Sungai Suhu Permukaan Tanah

100m 0 20-25 334

100m - 200m 1 <20 166

200m - 300m 2 NDVI

300m - 400m 2 0,15 215

Jarak dari Pemukiman 0,15 - 0,25 241

1000m 3 0,25 - 0,35 43

1000m - 2000m 29 > 0,35 1

2000m - 3000m 40 NDMI

> 3000m 450 > 0,35 330

Jarak dari Sawah 0,25 - 0,35 114

1000m 5 0,15 - 0,25 56

1000m - 2000m 43

2000m - 3000m 43

> 3000m 431

Jarak dari Perkebunan

1000m 4

1000m - 2000m 9

2000m - 3000m 13

> 3000m 496

Jarak dari Lahan Tanaman Kering

1000m 5

1000m - 2000m 17

2000m - 3000m 22

> 3000m 478

Tabel 3. Tingkat Kerentanan Kebakaran Hutan.

y Skor Tingkat Kerentanan

ymin y < (ÿÿ - ½SD) Tinggi

ÿ) - ½SD) y < (ÿ+ ½SD) Sedang

Rendah
y (ÿÿ+ ½SD)
Machine Translated by Google

244 Putri Amalina dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 33 ( 2016 ) 239 – 252

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Tutupan lahan TNWK

Jenis tutupan lahan menyajikan bahan bakar yang tersedia untuk kebakaran [16]. Kelas tutupan lahan dibedakan berdasarkan
tingkat kekeringan penyusun vegetasi yang mengacu pada Erten dkk. [9] yaitu rumput alang-alang, hutan, hutan rawa, hutan bakau,
rawa dan badan air. Klasifikasi dilakukan dengan menggunakan klasifikasi terbimbing dengan metode klasifikasi kemungkinan
maksimum. Klasifikasi tersebut menghasilkan kelas piksel tidak terklasifikasi, awan, dan bayangan awan. Ini membuat lubang di
peta. Kelas ini juga digunakan pada peta lain (suhu permukaan tanah, NDVI, dan NDMI), sehingga tidak dianalisis. Nilai akurasi
klasifikasi keseluruhan dari klasifikasi tersebut adalah 95,17% yang berarti klasifikasi dapat diterima [17].

Tutupan lahan di TNWK didominasi oleh hutan lahan kering (Gambar 2). Sejak tahun 1996 tutupan hutan di TNWK mempunyai
proporsi tertinggi, namun luasnya semakin berkurang [18]. Hal ini disebabkan oleh perubahan tutupan lahan di TNWK yang
mencapai 51.657,3 ha pada tahun 2002-2010 [18]. Menurunnya luas tutupan hutan diikuti dengan bertambahnya luas padang
rumput alang-alang. Dari hasil klasifikasi tersebut hutan menutupi 45% kawasan TNWK dan padang alang-alang 33%. Ketika hutan
rusak maka akan tumbuh padang rumput alang-alang untuk menggantikannya.

Gambar 2. Presentasi tutupan lahan Taman Nasional Way Kambas.

3.2. Suhu permukaan tanah di TNWK

Suhu permukaan tanah merupakan indikator yang baik terkait dengan kandungan air suatu bahan bakar [10]. Suhu permukaan
TNWK berkisar antara 1626°C dan sebagian besar di bawah 25°C (Gbr. 3.). Sebarannya dipengaruhi oleh kondisi topografi yang
cukup datar. Vlassova dkk. [20] menyatakan bahwa suhu permukaan dipengaruhi oleh topografi yang menentukan sudut penyinaran
matahari.
Machine Translated by Google

Putri Amalina dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 33 ( 2016 ) 239 – 252 245

Gambar 3. Sebaran suhu permukaan di Taman Nasional Way Kambas.

3.3. Indeks Vegetasi Beda Ternormalisasi (NDVI) TNWK

Indeks vegetasi merupakan representasi tingkat kehijauan vegetasi dan serasah [21]. Nilai NDVI berkisar antara -1 dan 1. Kondisi indeks
vegetasi yang rendah menyebabkan terjadinya kebakaran [22]. Berdasarkan analisis citra, kawasan TNWK mempunyai nilai NDVI tertinggi
yaitu 0,56. Sebagian besar kawasan TNWK memiliki nilai NDVI di atas 0,35 (Gambar 4.).

3.4. Normalized Difference Moisture Index (NDMI) TNWK

Indeks kelembaban yang dinormalisasi menunjukkan tingkat kelembaban vegetasi [23]. Jin dkk. al [24] menggunakannya untuk mendeteksi
tipe hutan dan gangguan intensitas pada bioma. Menurut hasil penelitian Sahu (2011) nilai NDMI yang tinggi menunjukkan adanya kelembaban
tanah yang lebih banyak dan sebaliknya nilai NDMI yang rendah menunjukkan kelembaban tanah yang rendah. Nilai NDMI adalah sekitar -
1 hingga 1. Nilai negatif menunjukkan kelembaban non-vegetasi. Nilai NDMI TNWK tertinggi adalah 0,4 (Gambar 5).

3.5. Jarak dari akses dan pusat kegiatan masyarakat

Risiko terjadinya kebakaran hutan berbanding lurus dengan intensitas aktivitas manusia di dalam dan sekitar kawasan hutan [16].
Semakin dekat hutan dengan kawasan yang padat aktivitas manusia, maka semakin besar pula rawan terjadinya kebakaran hutan. Erten dkk. [9] juga
menjelaskan bahwa hutan di dekat pemukiman rawan terhadap kebakaran.
Jarak dari aksesibilitas meliputi jarak dari jalan raya dan jarak dari sungai. Batas yang dijadikan jarak terjauh menuju akses adalah 400 m.
Untuk jarak dari pusat aktivitas manusia (pemukiman, persawahan, perkebunan, dan lahan kering) dibatasi 3 000 m. Penentuan batasan
tersebut dilakukan dengan mengacu pada Erten et al. [9] dan disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Sebagian besar kawasan TNWK
termasuk dalam kategori jauh dari aksesibilitas dan pusat kegiatan manusia (Gambar 6.).
Machine Translated by Google

246 Putri Amalina dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 33 ( 2016 ) 239 – 252

Gambar 4. Sebaran nilai indeks vegetasi di Taman Nasional Way Kambas.

Gambar 5. Sebaran nilai indeks kelembaban di Taman Nasional Way Kambas.


Machine Translated by Google

Putri Amalina dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 33 ( 2016 ) 239 – 252 247

Gambar 6. Jarak dari akses dan pusat kegiatan masyarakat: (a) jalan raya, (b) sungai, (c) lahan pertanian kering, (d) sawah, (e) perkebunan, (f)
pemukiman.

Akses jalan dalam penelitian ini meliputi jalan di luar taman, jalan utama taman, dan jalan patroli serta jalur lain yang digunakan oleh pelaku
kegiatan ilegal. Menurut sejarahnya, pada tahun 1999 sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, kawasan ini telah ditetapkan sebagai kawasan
konservasi alam sejak zaman penjajahan Belanda. Namun pada kurun waktu 19741968 kawasan tersebut mengalami kerusakan yang cukup parah
akibat dibukanya kawasan tersebut untuk hak pengusahaan hutan (HPH). Terdapat tiga konsesi besar yang telah menyelesaikan izinnya pada tahun
1972, namun operasinya masih berlanjut secara ilegal.
Kegiatan konsesi tersebut menyebabkan kawasan tersebut dalam kondisi gundul sehingga mudah tertutup oleh padang rumput alang-alang dan juga
jaringan jalan. Jaringan jalan tersebut kemudian digunakan oleh patroli polisi hutan dan mitra taman nasional.
Selain itu juga dimanfaatkan oleh pelaku kegiatan ilegal.
Akses sungai merupakan sungai-sungai besar yang ada di dalam taman nasional dan merupakan sungai-sungai yang berbatasan dengan desa-
desa penyangga taman nasional. Ketiga sungai tersebut bermuara di Laut Jawa sehingga tidak hanya dimanfaatkan oleh warga taman nasional dan
masyarakat desa penyangga taman nasional, namun juga oleh nelayan dari daerah lain yang singgah di taman nasional. Secara historis, sungai-
sungai besar (khususnya Sungai Way Pegadungan) tidak hanya dimanfaatkan oleh para nelayan tetapi juga oleh masyarakat yang mengangkut kayu-
kayu ilegal.
Pada saat perambahan hutan masih dilakukan oleh perusahaan pengusahaan hutan, taman nasional juga pernah dirambah oleh masyarakat
adat setempat yang mengklaim kawasan tersebut sebagai tanah adat mereka. Masyarakat setempat mendirikan pemukiman dengan jumlah penduduk
lebih dari 2.000 jiwa di kawasan taman. Warga membangun rumah dan peternakan hingga membentuk sebuah desa, dan akhirnya ditranslokasi pada
tahun 1984. Namun upaya untuk membersihkan kawasan tersebut dari populasi manusia memerlukan proses yang panjang hingga tahun 2000.
Bahkan untuk pemukiman nelayan di pesisir pantai, Pembongkaran tersebut baru selesai pada akhir tahun 2010. Bahkan pemukiman nelayan hingga
saat ini masih dibangun kembali meski sempat terbakar.
Machine Translated by Google

248 Putri Amalina dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 33 ( 2016 ) 239 – 252

2010. Permukiman nelayan ini selanjutnya dimasukkan dalam penilaian faktor jarak dengan permukiman selain permukiman masyarakat di 37
desa penyangga.
Di sekitar pemukiman manusia terdapat sawah, lahan kering, dan perkebunan. Perkebunan tersebut antara lain PT Nusantara Tropical Fruit
di perbatasan taman nasional dan kebun masyarakat setempat yang umumnya ditumbuhi tanaman karet. Selain pemukiman, sawah, lahan kering,
dan perkebunan juga menjadi pusat aktivitas masyarakat karena sebagian besar penduduk desa adalah petani.

3.6. Kerentanan kebakaran hutan di TNWK

Hasil analisis dengan menggunakan Persamaan 1 yang memberi bobot tinggi pada faktor gangguan manusia menunjukkan bahwa 5.024,9
ha kawasan TNWK (4%) mempunyai tingkat kerentanan kebakaran hutan tinggi, 8.793,5 ha (7%) tingkat kerentanan sedang, dan 8.793,5 ha (7%)
tingkat kerentanan sedang, dan 111.803 ha (89%) rendah (Gbr. 7.). Hasil validasi menunjukkan bahwa sebanyak 470 titik berada pada kelas
kerentanan rendah (90%), 33 titik berada pada kelas kerentanan sedang (6%) dan hanya 19 titik (4%) yang berada pada kelas kerentanan tinggi.

Gambar 7. Peta kerawanan kebakaran hutan berdasarkan Persamaan 1.

Hasil pemetaan kerentanan kebakaran hutan dengan menggunakan Persamaan 1 dan Persamaan 2 menunjukkan hasil yang kontras. Hasil
analisis dengan menggunakan Persamaan 2 yang menggunakan bobot tinggi untuk faktor biofisik menunjukkan bahwa kawasan TNWK seluas
42.711,2 ha (34%) mempunyai tingkat kerentanan tinggi terhadap kebakaran hutan, 65.323,1 ha (52%) sedang, dan 16.330,8 ha ( 13%) rendah (Gbr.
8.). Hasil validasi menunjukkan bahwa 381 titik api berada pada tingkat kerawanan kebakaran tinggi (73%), 95 titik api sedang (18%) dan 46 titik
terendah berada pada lokasi yang tingkat kerawanannya rendah (9 %).
Berdasarkan peta menggunakan Persamaan 2, TNWK memiliki tingkat kerentanan terhadap kebakaran hutan tinggi hingga sedang. Terdapat
5 resor dengan kerentanan tinggi yaitu Umbul Salam, Rantau Jaya, Totoprojo, dan Susukan Baru. Bobot tinggi yang digunakan pada Persamaan
2 menggambarkan tingginya pengaruh faktor biofisik terhadap kebakaran hutan. Tabel 4 menyajikan karakteristik biofisik yang dominan pada
masing-masing resor.
Machine Translated by Google

Putri Amalina dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 33 ( 2016 ) 239 – 252 249

Gambar 8. Peta kerawanan kebakaran hutan berdasarkan Persamaan 2.

Tabel 4. Karakteristik resor di TNWK.

Resor Tingkat Kerentanan Ciri Biofisika yang Dominan

SPTN I Way Kanan

Wako Sedang Hutan lahan kering, suhu permukaan 20-25 C, NDMI 0,25-0,35, NDVI >0,35

Cara Kanan Sedang Hutan lahan kering, suhu permukaan <20C, NDMI 0,25-0,35, NDVI >0,35
Rawa Bunder Sedang Hutan lahan kering, suhu permukaan <20C, NDMI 0,25-0,35, NDVI >0,35
Susukan Baru Tinggi Padang rumput alang-alang, suhu permukaan <20C, NDMI <0.15, NDVI 0.25-0.35

SPTN II Bungur

Cabang Sedang Hutan rawa, suhu permukaan 20-25 C, NDMI 0.25-0.35, NDVI >0.35
Umbul Salam Tinggi Padang alang-alang, suhu permukaan 20-25 C, NDMI 0,15, NDVI >0,35

Rantau Jaya Tinggi Padang rumput alang-alang, suhu permukaan 20-25 C, NDMI 0,15, NDVI >0,35

Totoprojo Tinggi Padang rumput alang-alang, suhu permukaan 20-25 C, NDMI 0,15, NDVI >0,35
SPTN III Kuala Penet

Sekapuk Sedang Hutan lahan kering, suhu permukaan 20-25 C, NDMI 0,25-0,35, NDVI >0,35
Kuala Kambas Sedang Hutan lahan kering, suhu permukaan <20C , NDMI 0,25-0,35, NDVI >0,35

Kuala Penet Sedang Rawa, suhu permukaan 20-25 C , NDMI 0,15-0,25, NDVI >0,35

Margahayu Sedang Hutan lahan kering, suhu permukaan <20C , NDMI 0,25-0,35, NDVI >0,35

Semua resor dengan kerentanan tinggi terhadap kebakaran hutan mendominasi dengan tutupan lahan padang rumput alang-alang. Hasil
penelitian Saharjo dan Watanabe (1997) sebagaimana disampaikan dalam Septicorini [26] menunjukkan bahwa alang-alang merupakan bahan
bakar dengan kandungan abu bebas silika paling rendah. Artinya padang rumput alang-alang merupakan bahan bakar yang sangat mudah
terbakar dibandingkan dengan bahan bakar lain seperti semak dan jenis pohon.
Machine Translated by Google

250 Putri Amalina dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 33 ( 2016 ) 239 – 252

Padang rumput alang-alang juga tumbuh di lahan yang sebelumnya terbuka dan terdapat jaringan jalan. Jaringan jalan tersebut
memudahkan pelaku kegiatan ilegal di TNWK untuk beroperasi dan memicu kebakaran yang didukung oleh kondisi padang rumput alang-
alang yang sangat mudah terbakar. Seperti yang diungkapkan oleh Schindler dkk. (1989) dalam FWI [27] bahwa hutan bekas penebangan,
yang terdegradasi dan ditumbuhi semak belukar, jauh lebih rentan terhadap kebakaran dibandingkan hutan hujan tropis alami. Hal ini juga
terlihat dari laporan patroli polisi hutan di TNWK bahwa pemburu liar membakar padang rumput alang-alang untuk menarik satwa liar (terutama
rusa dan kelinci). Pembakaran padang rumput alang-alang nantinya akan memicu tumbuhnya vegetasi baru yang disukai oleh satwa liar,
sehingga satwa liar tersebut akan datang untuk memakan tunas-tunas mudanya. Hal ini akan memudahkan para pemburu untuk memburu
satwa liar tersebut.
Suhu permukaan, NDVI dan NDMI belum terlalu spesifik. Hasil penelitian Vlassova dkk. [20] menunjukkan bahwa semua kategori tingkat
keparahan kebakaran mempunyai suhu permukaan rata-rata 30°C, tingkat keparahan kebakaran lebih tinggi terjadi pada suhu permukaan
tinggi dan NDVI rendah. Variabel-variabel ini dipengaruhi oleh kondisi citra dan juga dipengaruhi oleh faktor iklim. Citra Landsat yang digunakan
dalam penelitian ini diperoleh pada bulan Oktober 2013, yang dikategorikan sebagai bulan basah berdasarkan data curah hujan (Gambar 9).

Namun meskipun gangguan atmosfer sedikit, validasi klasifikasi kerentanan menggunakan Persamaan 2 sudah baik (73%). Hal ini tidak
berpengaruh seperti yang dikemukakan oleh Syaufina dan Sukmana (2011) bahwa kondisi klimatologi hanya memberikan pengaruh yang kecil
terhadap terjadinya kebakaran. Suhu permukaan merupakan faktor iklim yang dianalisis dari gambar. Bahkan dengan menggunakan data iklim
lain, seperti intensitas curah hujan per bulan, faktor-faktor tersebut tidak menunjukkan pengaruh yang besar.
Ada prediksi jika semakin baik citra yang diperoleh pada bulan kemarau maka akan semakin baik pula klasifikasi kerentanan kebakaran hutan
di TNWK.

Gambar 9. Curah hujan bulanan Taman Nasional Way Kambas tahun 2013.

4. Kesimpulan

Hingga saat ini penyebab kebakaran hutan masih menjadi perdebatan [15]. Strategi pencegahan kebakaran hutan bersifat unik dan
memerlukan kajian wilayah terlebih dahulu [30]. Untuk TNWK, untuk memetakan tingkat kerentanan kebakaran hutan dapat digunakan Persamaan 2.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa di TNWK faktor alam (ketersediaan bahan bakar) mempunyai peranan penting dalam memicu
terjadinya kebakaran hutan yang disebabkan oleh ulah manusia khususnya pada musim kemarau. Ketersediaan akses mendorong masyarakat
melakukan aktivitas ilegal di kawasan TNWK. Tak sedikit dari aktivitas ilegal tersebut yang akhirnya memicu kebakaran hutan. Pengelolaan
bahan bakar di TNWK perlu ditingkatkan untuk mencegah terjadinya kebakaran, terutama pada wilayah yang mempunyai tingkat kerentanan
terhadap kebakaran yang tinggi.
Machine Translated by Google

Putri Amalina dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 33 ( 2016 ) 239 – 252 251

Ucapan Terima Kasih

Kami mengucapkan terima kasih kepada Pengelola Taman Nasional Way Kambas dan Mitranya (RPU, PKHS, AleRT, SRS) yang telah memberikan
kesempatan melakukan penelitian dan memfasilitasi segala kebutuhan. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada anggota Laboratorium Analisis
Lingkungan dan Pemodelan Spasial atas dukungan, tutorial, dan persahabatannya yang luar biasa.

Referensi

1. Partono S, Haryanto A, Akitashi K, Anugrah N, Risman A, Dwijayanto S, Sya'bani B, Rahmawati N, Widianti E. Taman Nasional di Indonesia.
Bogor: Pusat Informasi Konservasi Alam; 2010. Dalam Bahasa.
2. Balai Taman Nasional Way Kambas. Laporan tahunan Taman Nasional Way Kambas: Balai Taman Nasional Way Kambas; 2013. Dalam Bahasa.
3. Balai Taman Nasional Way Kambas. Rencana Strategis 2010-2014. Lampung: Balai Taman Nasional Way Kambas; 2009. Dalam Bahasa Indonesia.
4. Gollberg GE, Neuenschwander LF, Ryan KC. Pendahuluan: mengintegrasikan teknologi spasial dan prinsip-prinsip ekologi untuk era baru kebakaran
pengelolaan. Jurnal Internasional Kebakaran Hutan Liar 2001; 10: 263-5.
5. Jawad A, Nurdjali B, Widiastuti T. Zonasi daerah rawan kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Kubu Raya Provinsi Kalimantan Barat.
Jurnal Hutan Lestari 2015; 3(1): 88-97. Dalam bahasa Indonesia.
6. Taufik M, Setiawan IB, Prasetyo LB, Pandjaitan NH, Suwarso. Peluang untuk mengurangi bahaya kebakaran di HTI lahan basah: model
pendekatan pengelolaan udara. J. Hidrosfir Indonesia 2010; 5(2): 55-62. Dalam bahasa Indonesia.
7. Tacconi L. Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, biaya dan penerapan kebijakan. Bogor: Pusat Kajian Kehutanan Internasional; 2003. Di
Bahasa.

8. Adinugroho WC, Suryadiputra INN, Saharjo BH, Siboro L. Panduan pengendalian kebakaran hutan dan lahan gambut. Bogor: Lahan Basah
InternationalIndonesia Program dan Wildlife Habitat Kanada; 2005. Dalam Bahasa Indonesia.
9. Erten E, Kurgun V, Musaoglu N. 2004. Pemetaan risiko kebakaran hutan dari citra satelit dan GIS: studi kasus [Diakses pada Desember 2014
1]. http://www.isprs.org/proceedings/XXXV/congress/yf/papers/927.pdf.
10. Nurdiana A, Risdiyanto I. Indikator penentuan kerentanan kebakaran hutan dan lahan menggunakan data Landsat-5 TM (studi kasus: Provinsi Jambi).
Ilmu Procedia Env 2015; 24: 141-151.
11. Setyawan D. Pemodelan Spasial arah penyebaran kebakaran hutan dengan menggunakan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis di Taman Nasional Baluran Kabupaten
Situbondo Provinsi Jawa Timur Bulan Oktober Tahun 2014 [disertasi]. Solo: Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2015. Dalam Bahasa Indonesia.

12. Jaiswal RK, Mukherjee S, Raju KD, Saxena R. Pemetaan zona risiko kebakaran hutan dari citra satelit dan GIS. Jurnal Internasional Terapan
Observasi Bumi dan Geoinformasi 2002; 4:1–10.
13. Rianawati F. Kajian faktor penyebab dan upaya pengendalian kebakaran lahan gambut oleh masyarakat di Desa Salat Makmur Kalimantan Selatan. Jurnal Hutan Tropis Kalimantan
2005; 17: 51–59. Dalam bahasa Indonesia.
14. Itoyo I. 2006. Kebakaran hutan. Warta Konservasi Taman Nasional Way Kambas. Edisi ke-4 .. Dalam Bahasa.
15. Akbar A, Sumardi, Hadi R, Purwanto, Sabarudin S. Studi sumber penyebab terjadinya kebakaran dan respon masyarakat dalam rangka pengendalian kebakaran hutan gambut di
areal Mawas Kalimantan Tengah. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 2011; 8(5): 287–300. Dalam bahasa Indonesia.

16. Chuvieco E, Congalton RG. Penerapan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis pada pemetaan bahaya kebakaran hutan. Sensor Jarak Jauh
Lingkungan 1989; 29: 147–159.
17. Lillesand TM, Kiefer RW, Chipman J. Penginderaan jauh dan interpretasi gambar. New York (AS): John Wiley & Sons; 2014.
18. Maullana DA, Darmawan A. Perubahan penutupan lahan di Taman Nasional Way Kambas. Jurnal Sylva Lestari 2014; 2(1): 87–94. Dalam bahasa Indonesia.
19. Pudjiharta A, Widyati E, Adalina Y, Syarifudin. Teknik rehabilitasi lahan padang alang-alang. Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi
Alam; 2008. Dalam Bahasa Indonesia.

20. Vlassova L, Cabello FP, Mimbrero MR, Lloveria RM, Martin AG. Analisis hubungan antara suhu permukaan tanah dan tingkat keparahan satwa liar dalam serangkaian citra Landsat.
Sensor Jarak Jauh 2014;6:6136–62.
21. Thoha AS. Penilaian bahaya kebakaran hutan dengan menggunakan indeks kekeringan Keetch Byram (Keetch Byram Drought Index) di RPH
Sumberkima Provinsi Bali. Bogor: Institut Pertanian Bogor; 1998. Dalam Bahasa Indonesia.
22. Sudiana D, Diasmara E. 2008. Analisis indeks vegetasi menggunakan data satelit NOAA/ AVHRR dan TERRA/ AQUA-MODIS. Seminar Teknologi Cerdas dan Penerapannya. Depok
(ID): Universitas Indonesia. Dalam bahasa Indonesia.
23. Esri Landsat (Kelembaban
Perumpamaan. [Diakses
2014. 8
http://www.arcgis.com/home/item.html?id=c308ac98a67b4a188b4b200c0549d43e.
Indeks). pada 2014 Desember 1].

24. Jin S, Steven A, Sader. Perbandingan kebasahan topi rumbai secara runtun waktu dan indeks kelembaban perbedaan yang dinormalisasi dalam mendeteksi gangguan hutan.
Penginderaan Jauh Lingkungan Hidup 2005; 94(3):364-372.
25. Sahu AS. Identifikasi dan pemetaan daerah genangan air di Purba Medinipur bagian DAS Keleghai, India: metode RS dan GIS.
Jurnal Internasional Geosains Lanjutan 2014; 2(2):59-65.
26. Saharjo BH, Watanabe H. Pengaruh kebakaran terhadap perkecambahan Acacia mangium di perkebunan di Sumatera Selatan Indonesia. Di dalam: Septikorini.
Studi penentuan tingkat kerawanan kebakaran hutan di Kabupaten Ogan Komering Ilir Propinsi Sumatera Selatan [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor; 2006. Dalam Bahasa
Indonesia.
Machine Translated by Google

252 Putri Amalina dkk. / Procedia Ilmu Lingkungan 33 ( 2016 ) 239 – 252

27. Schindler L, Thoma W, Panzer K. Kebakaran hutan Kalimantan tahun 1982-3 di Kalimantan Timur. Dalam: Pengawas Hutan Indonesia. Keadaan Hutan
Indonesia. Bogor: Pengawas Hutan Indonesia; 2001. Dalam Bahasa Indonesia.
28. Setyawan K. Way Kambas tenggelam dalam balutan ilalang. Naviri 2013; 1(1): 1–6. Dalam bahasa Indonesia.
29. Syaufina L, Sukmana A. Tinjauan penyebab utama kebakaran hutan di Daerah Tangkapan Air Danau Toba. Jakarta: Proyek ITTO, CFNCRD;
2008. Penyebab Utama Kebakaran Hutan
30. Colfer CJP, Resosudarmo IAP. Ke Depan Yang Mana?: Masyarakat, Hutan, dan Pembuatan Kebijakan di Indonesia. Washington DC (AS): Sumber daya untuk
masa depan; 2002.

Anda mungkin juga menyukai