Anda di halaman 1dari 2

ABIMA, ADA KUPU-KUPU YANG KELUAR DARI BIBIRMU.

Abima, bagaimana kalau ada kepak kupu-kupu yang keluar dari bibirmu?

Terkadang hijau. Sebentar-sebentar merah. Tidak jarang jadi kuning bergradasi. Saya cuma bisa diam begitu sayapnya mulai lakukan transisi.
Tiba-tiba takut berkedip. Tiba-tiba enggan berkutik. Bagaimana kalau tiap-tiap kepaknya diam-diam punya taktik untuk menarik saya masuk
ke dimensi penuh erotik?

Abimantrana, ayo tanya saya. Bagaimana si Hijau punya interpretasi? Pertama-tama, tolong jangan kaget sampai bikin macam-macam
asumsi. Kedua, saya bukan pujangga yang cinta hipokrisi. Namun ketiga, saya bisa bilang bahwa si Hijau muncul setiap bibirmu mulai
menyadur buku-buku puisi. Sapardi Djoko Damono, Joko Pinurbo, Remy Silado─kamu tidak kenal nama-nama itu. Tapi tuturmu lebih dari
sekadar prosa bisu. Tidak, tidak begitu. Bukan berarti saya memaknai para pujangga nan mulia sebagai pengarak syair-syair palsu. Ah,
bagaimana mengatakannya, Abimantrana? Terkadang saya berpikir bahwa sebagian hati saya telah habis diisap oleh moncong kupu-kupumu.

Lalu, merah. Orang bilang merah adalah pertanda akan datangnya mara bahaya. Yah, mereka tidak salah. Dunia saya sekarang penuh akan
ancaman. Sedangkan dunia yang dahulu saya kenal adalah dunia yang hanya berisikan gelak para teman dan persulangan soda-soda
kalengan. Sedangkan dunia yang dahulu saya kenal adalah dunia yang sama dengan peta semesta yang semua orang tua hadirkan untuk
buah hati mereka, “Ini awan, tempat kamu menggantung impian dan harapan. Ini tanah, tempat kamu merayu ampun kepada
Tuhan.” Saya masih tanamkan semua itu. Permisi, Awan. Bukan pengharapan, kali ini saja biarkan saya sampaikan pengaduan. Bantu aku,
Tuhan. Beri tahu anakmu yang satu itu. Dia bertamu bersama regu kupu-kupu yang mengecoh kewarasanku. Tidak bisa jauh dari dia, Tuhan.
Atau jam dinding di dalam kepalaku akan terus berpacu dengan rindu. Aku coba cabut baterainya. Yang mati malah detak jantungku.


Terakhir, kepak kuning. Abimantrana, kamu orang sinting. Beraninya buat saya terumbang-ambing. Mentang-mentang kupu-kupu kuningmu
mampu bermetamorfosis jadi tukang sihir, kamu sengaja ulur saya sampai terus terkilir. Sebentar-sebentar bikin sengar-sengir, kemudian
mengelak saat ditagih tanggung jawab dan malah lari kocar-kacir. Anjir! Berhenti menggeser kaki saya dari pijakan! Kamu sudah rampas yang
namanya kewarasan, jangan pula kamu obrak-abrik saya punya kesadaran! Dasar setan.

Diam, Abimantrana. Jangan senyum. Saya malu. Para kupu-kupu di sana kini sibuk menertawakan saya. Seolah-olah mengatakan, “Memang
enak jadi korban tipu daya!” Mereka suruhanmu? Kalau iya, bilang jangan datang lagi. Jangan datang lagi kecuali Abimantrana sudah punya
kantung-kantung kasih yang siap dibagi.

Anda mungkin juga menyukai