Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kita ketahui bersama bahwa manusia itu tidak mungkin hidup sendiri oleh
karena itu terjadilah sekelompok manusia yang hidup dalam suatu tempat tertentu.
Pengelompokkan manusia yang seperti ini biasanya disebut dengan masyarakat,
dimana dalam kehidupan masyarakat ini terdiri dari berbagai corak kepentingan,
pertentangan serta hal-hal lainnya yang timbul diakibatkan oleh keberadaan
masyarakat itu sendiri.
Masyarakat sebagaimana yang dikatakan yang terdiri dari individu
merupakan subjek hukum, dimana sebagai subjek hukum maka individu dapat
bertindak didalam hukum terutama untuk kepentingkan sendiri. Selain individu
masih dikenal subjek hukum lainnya yaitu suatu badan hukum. Suatu badan hukum
dianggap atau dipersamakan dengan manusia sehinga dengan akibat tersebut maka
suatu badan hukum juga dapat bertindak di bidang hukum.
Mengenai tentang hukum ada yang mengatur tentang piutang-piutang yang
diistimewakan yaitu adalah suatu hak istimewa yang oleh undang-undang diberikan
kepada seseorang berpiutang sehingga ditingkatkan lebih tinggi dari pada orang
yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya. Sedangkan
pand (gadai) dan hipotek adalah lebih tinggi dari pada hak istemewa itu, kecuali
dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya.
Sebenarnya Privilege mempunyai sifat-sifat yang menyerupai pand atau
hipotek, tetapi kita belum dapat menamakannya suatu hak kebendaan, karena
Privilege itu barulah timbul apabila suatu kekayaan yang telah disita ternyata tidak
cukup untuk melunasi semua hutang dan karena privilege itu tidak memberikan
suatu kekuasaan terhadap suatu benda yang mana sebuah istilah umum yaitu,
bahwa seorang debitur bertanggung jawab dengan seluruh kekayaan baik yang
sekarang sudah ada, maupun yang masih akan ada dikemudian hari, untuk
perutangan-perutangannya.
B. Rumusan Masalah

1
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalahnya adalah:
1. Siapa Perumus Pertama Ekonomi Syariah ?
2. Siapa Pengagas dan Aktivis Ekonomi Syariah ?
3. Bagaimana Pemikiran dan Aktivitas Ekonomi Syariah di Indonesia ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka tujuan penulisannya adalah:
1. Untuk mengetahui Perumus Pertama Ekonomi Syariah
2. Untuk mengetahui Pengagas dan Aktivis Ekonomi Syariah
3. Untuk mengetahui Pemikiran dan Aktivitas Ekonomi Syariah di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN

1.3. Macam piutang-piutang yang diberikan privilege

2
1.4. Hak-hak istemewa yang ada pada pajak dan lain yang timbul dari dalam hukum
public.
Diantara hak-hak istemewa yang kedudukannya penting ialah hak-hak istimewa yang
kedudukannya penting ialah hak-hak istimewa dari perbendaharaan kerajaan, didalam
mana terutama termasuk hak-hak istemewa pajak, itu tidak dapat dalam berbagai
undang-undang pajak. Dan undang-undang tersebut yang penting kita ikhtisarkan
sekedarnya.
Berbagai undang-undang dimana hak-hak istimewa (atau: privilege, hak utama) telah
ditanamkan untuk kepentingan perbendaharaan kerajaan diantaralain sebagai berikut:
1. Undang-undang 1845 atas pemungutan pajak-pajak kerajaan yang langsug. Undang-
undang yang (di Nederland! red), sangat terkenal ini memberikan dalam pasal 12
kepada negera suatu hak istimewa bagi pajak-tanah dan bagi pajak-pajak lansugn
selebihnya.
2. Yang disebut undang-undang umum tahun 1822 memberikan dalam pasal 290 kepada
penerima cukai (=accijns) atau hak istimewa, hal mana menurut hoge raad (23 Maret
1931) bersama-sama dengan hak istimewa yang disebut dalam sub 1 mempunyai derajat
yang sama.
3. Undang-undang “successie” memberikan kepada Negara hak istimewa atas semua
benda bergerak dan tak bergerak yang diwaris atau diberoleh karena meninggalnya
seseorang.
4. Yang disebut undang-undang kewenangan tahun 1920 mengatur wewenang subak-
subak (daerah pengairan) dan sebagainya untuk membuat peraturan-peraturan dan
memberikan kepada badan-badan itu suatu hak istimewa bagi bagian-bagian yang harus
dipikul dan beban-beban lain (p. 25 dan 25a)
5. Undang-undang invaliditas (“invaliditeit” = cacat badan) (p. 210) menyatakan
piutang dari bank pertanggungan kerajaan sebagai piutang yang ber-hak-istemewa.

1.5. Hak istemewa orang yang menyewakan.


Menurut pasal 1185 sub 2 orang yang menyewakan (dipersamakan dengan orang yang
menyewakan ialah orang yang memberikan hak usaha). Adalah berhak istemewa untuk

3
semua apa saja yang harus ia pungut berupa uang sewa, biaya-biaya perbaikan yang
wajib dilakukan oleh penyewa dan semua apa selebihnya yang behubungan dengan
pemenuhan perjanjian sewa.
Berdasarkan kata-kata penutup dari pasal 1186 ayat 1 tidaklah penting apakah benda-
benda adalah milik si penyewa ataupun bukan. Hak istimewa itu dengan demikian
adalah agak aneh, yaitu, bahwa hak itu juga mengenai benda-benda pihak ketiga dimana
dalam pada itu dapat saja diterima, bahwa benda-benda yang hilang atau dicuri dari
tangan pemiliknya benda-benda mana ada diantara barang-barang yang berikat pada
orang-orang yang menyewakan-tetap menikmati perlindungan pasal 2014 ayat terakhir
selam 3 tahun. Maksud perluasan hak istimewa sampai kebarang-barang orang-orang
ketiga ialah, agar dapat menggagalkan kongkalikong antara penyewa dan pihak ketiga
untuk mengurangi hak-hak dari orang yang menyewakan, suatu keadaan yang tidak
terdapat ada terhadap barang-barang yang hilang atau yang dicuri.

1.6. Biaya exekusi


Golongan pertama dalam pasal 1185 mengenai biaya-biaya yang timbul karena
penghukuman untuk melelang suatu benda. (disingkat: biaya-biaya ekskusi), yang pada
umumnya memperboleh urutang yang lebih tinggi. Hal itu atas dasar, bahwa
“uitwinning”, hal mana dimaksudkan pensitaan dan/atau penjualan dengan paksa
sesuatu benda untuk melunasi suatu piutang, seringkali (uitwinning tersebut! Red.)
maksud untuk tidak kehilangan sesuatu benda yang menjadi sasaran pertanggungan
jawab, juga untuk kepentingan kreditur-kreditur yang lain-lain. Sebab, dengan tindakan
dari kreditur yang menuntut dicegahlah, bahwa debitur memindah tangankan bendanya
sendiri dan menghindarkan diri dari pengeksekusian oleh pengadilan. Privilege tersebut

4
mempunyai urutan yang tinggi, sebab itu kedudukannya ada diatas gadai dan hipotik,
juga di atas hak-hak istemewa mengenai per-pajak-an. Perlu diperjelas lagi bahwa hak-
hak istemewa yang menurut KUHPerdata tertanam atas benda-benda tertentu.

BAB III
KESIMPULAN

Menurut pasal 1131 KUHPerdata., semua benda dari seseorang menjadi tanggungan
untuk semua hutang-hutangnya, dan menurut pasal 1132 bahwa pendapatan penjualan
benda-benda itu harus dibagi diantara para penagih menurut penimbangan jumlah
piutang masing-masing, kecuali jika diantara mereka itu ada sementara yang oleh
undang-undang telah diberikan hak untuk mengambil pelunasan lebih dahulukan dari
pada penagih-penagih lainnya.

Menurut undang-undang dua macam privilege :


1. Privilege yang diberikan terhadap suatu benda tertentu (pasal 1139 KUHPer).
2. Privilege yang diberikan terhadap semua kekayaan orang yang berhutang (pasal 1149
KUHPer).

DAFTAR PUSTAKA

Tutik triwulan tutik, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia (Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher, 2006), 168

Sri Soedewi Masjchen sofwan, hukum perdata hukum benda, (Yogyakarta: Liberty)

H.F.A. Vollmar pengantar studi hukum perdata jlid 1 (Jakarta: CV. Rajawali, 1983)

5
Subekti, Tjitrosudibio Kitab undang-undang hukum perdata (Jakarta: PT. Pradnya
Paramita,2006)

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2003)

D. Latar Belakang
Konsep pembangunan dalam Islam menjadi pertanyaan yang intens dikaji dan
menimbulkan reaksi yang beragam. Hal inilah setidaknya yang memunculkan
diskursus sekitar sistem perekonomian yang Islami, politik kekhilafahan, ideologi
dan sebagainya. Ideologi ini berawal dari hasil kajian kebanyakan mahasiswa
muslim dari alam lingkungan peradaban Barat. “limaza taakharu Islam wa
taqaddamu ghairuh” dan kalimat inilah yang menyulut adanya inspirasi dan
semangat berfikir dalam menjawab berbagai masalah seputar pembangunan
ekonomi negara-negara muslim. Dan hal ini terwujud dalam salah satu sistem yang
saat ini masih beranjak dewasa, yaitu sistem ekonomi Islam melalui berbagai
piranti moneternya yang saat ini telah dipraktekkan di negara Indonesia.
Umat Islam sebenarnya sejak dahulu kala telah memiliki peradaban
intelektualitas yang tak tertandingi bahkan karya-karya cendekiawan terdahulu
(ulama salaf) banyak menjadi referensi bagi kalangan barat. Sebut saja, Ibnu Sina,
Alkhawarizmi, Ibnu Khaldun, dan Alghazali. Di Indonesia salah satunya adalah
Muhammad Dawam Rahardjo dikenal sebagai sosok yang multidimensi. Tak hanya
dikenal sebagai cendekiawan Muslim ahli ekonomi, ia juga aktivis sosial,
budayawan, pemikir Islam, cerpenis, bahkan sebagai penafsir Alquran.
E. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka rumusan masalahnya adalah:
1. Apa itu piutang-piutang yang diberikan keistimewaan (Privilege)?
2. Apa saja macam-macam piutang-piutang yang diberikan privilege?
3. Bagaimana Pemikiran dan Aktivitas Ekonomi Syariah di Indonesia ?
F. Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka tujuan penulisannya adalah:
1. Untuk mengetahui Piutang-Piutang yang diberikan keistimewaan (Privilege)

6
2. Untuk mengetahui macam-macam piutang-piutang yang diberikan privilege
3. Untuk mengetahui Pemikiran dan Aktivitas Ekonomi Syariah di Indonesia

BAB II
PEMBAHASAN
A. Piutang-Piutang yang diberikan keistimewaan (Privilege)

Menurut pasal 1131 KUHPerdata., semua benda dari seseorang menjadi


tanggungan untuk semua hutang-hutangnya, dan menurut pasal 1132 bahwa
pendapatan penjualan benda-benda itu harus dibagi diantara para penagih menurut
penimbangan jumlah piutang masing-masing, kecuali jika diantara mereka itu ada
sementara yang oleh undang-undang telah diberikan hak untuk mengambil
pelunasan lebih dahulukan dari pada penagih-penagih lainnya.
Pasal 1133 menyatakan bahwa mereka ini ialah penagih-penagih yang
mempunyai hak-hak yang timbul dari “privilege”, pand atau hipotek.
Privilege menurut pasal 1134 yaitu adalah suatu hak istemewa yang oleh
undang-undang diberikan kepada seseorang berpiutang sehingga ditingkatkan lebih
tinggi dari pada orang yang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat
piutangnya. Sedangkan pand (gadai) dan hipotek adalah lebih tinggi dari pada hak
istemewa itu, kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan
sebaliknya.
Selanjutnya mengenai privilege menurut Sri Soedawi, bahwa dalam privilege
ada matigingsrecht dari pada hakim. Yaitu adanya kemajuan dari pada hakim untuk
untuk mentukan jumlah yang sepatutnya, mengurangi sampai jumlah yang pantas,
mengingat kepentingan kedua belah pihak, menjaga agar kedua belah pihak tidak
bertindak semaunya sendiri untuk mencari keuntungan.
Pand dan hipotek tidak pernah bertentangan satu sama yang lain, karena pand
hanya dapat diberikan atas barang-barang yang bergerak, sedangkan hipotek
sebaliknya hanya mungkin atas benda-benda yang tak bergerak.
Meskipun Privilege mempunyai sifat-sifat yang menyerupai pand atau
hipotek, tetapi kita belum dapat menamakannya suatu hak kebendaan, karena
Privilege itu barulah timbul apabila suatu kekayaan yang telah disita ternyata tidak

7
cukup untuk melunasi semua hutang dan karena privilege itu tidak memberikan
suatu kekuasaan terhadap suatu benda yang mana sebuah istilah umum yaitu,
bahwa seorang debitur bertanggung jawab dengan seluruh kekayaan baik yang
sekarang sudah ada, maupun yang masih akan ada dikemudian hari, untuk
perutangan-perutangannya.
Perbedaan pokok antara hak kebendaan dan privilege adalah, bahwa hak
kebendaan itu adalah hak atas suatu benda, sedangkan privilege adalah hak
terhadap benda yaitu terhadap benda debitur.
Penghukuman untuk melakukan pembayaran karena itu senantiasa dapat
dibebankan pada kekayaan milik debitur, bahkan hanya dapat dibebankan atas
kekayaan tersebut saja.
Jadi, disini halnya mengenai ketentuan-ketentuan tentang yang dapat disebut
“hukum eksekusi materiil”, kreditur dapat melakukan eksekusi atas segala barang-
barang yang dimiliki oleh debitur dengan jalan bagaimana hal itu dilakukan, hal itu
diatur dalam buku ke dua Rv. Title-titel II, III dan IV dalam hasil penjualan adalah
cukup (guna melunasi hutangnya), disitu akan tiada kesulitan dan kreditur akan
menerima apa yang menjadi haknya dari hasi penjulan tersebut.
Dalam pada itu, apabila hasil tidak mencukupi, itu lantas dikurangkan dari
piutangnya dan selanjutnya kreditur tetap akan mempunyai piutang untuk jumlah
selebihnya.
Pada ekskusi oleh beberapa orang kreditur belakulah azaz (sebagaimana
tertera dalam pasal 1178), bahwa, apabila hasil dari barang-barang yang diekskusi
tidaklah cukup, hasil itu lantas dibagi menurut pertimbangan piutang masing-
masing, sekedar tidak ada hak dilebih dahulukan.
1.2. Piutang-piutang yang diistemewakan dalam arti sempit
Pengistemewaan dalam arti sempit ini telah dijelaskan pada pasal 1180, yaitu:
tak sah adalah suatu pembukuan hipotik yang dilakukan pada suatu saat dimana,
oleh karena milik atas bendanya telah berpindah kepada seorang pihak ketiga,
siberhutang telah kehilangan hakmiliknya. Jadi hal itu tidak dapat diadakan dengan
jalan perjanjian dan perjanjian-perjajian yang disitu diluar undang-undang
dinamakan privilege.

8
Kreditur-kreditur yang mempunyai piutang-piutang yang di istimewakan
disebut kreditur-kreditur yang di istemewakan atau kreditur-kreditur yang perferen,
berlawanan dengan kreditur-kreditur yang konkuren. Pengistemewaan menurut
undang-undang memperoleh dasarnya didalam pertimbangan keadilan. Diambil
dari sifat hutang-hutangnya privilege, demikian Hoge Raad (Ares 15 Juni 1917),
adalah bukan bagian dari hak yang ditentukan menurut kehendak sendiri dengan
jalan mengadakan perjanjian antara pihak tetapi itu adalah suatu akibat hukum yang
diletakkan oleh undang-undang untuk kepentingan umum pada perbuatan-
perbuatan hukum tertentu yang dilakukan oleh pihak-pihak terhadap hak-hak, hal
mana yang diperkenankan terhadap pihak-pihak ketiga.
B. Pengagas dan Aktivis Ekonomi Syariah
Menurut undang-undang ada dua macam privilege. Pertama, yang diberikan
terhadap suatu benda tertentu (pasal 1139 KUHPer). Kedua, yang diberikan
terhadap semua kekayaan orang yang berhutang (pasal 1149 KUHPer). Privilege
semacam yang pertama itu, mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pada yang
diberikan terhadap semua kekayaan orang yang berhutang.
1. Piutang-piutang yang diberikan privilege terhadap barang-barang tertentu ialah :
a. Biaya-biaya perkara yang teleh dikeluarkan untuk penyitaan dan penjualan
suatu benda atau yang dinamakan biaya-biaya ekskusi; harus diambil
dahulukan dari pada privilege lain-lainya, bahkan terlebih dahulu pula dari
pada pand dan hypotheek.
b. Uang-uang sewa dari benda-benda yang tak bergerak (rumah atau persil)
beserta ongkos-ongkos perbaikan yang telah dilakukan si pemilik rumah atau
persil, tetapi seharusnya dipikul oleh si penyewa, penagihan uang sewa dan
ongkos perbaikan ini mempunyai privilege terhadap barang-barang perabot
rumah (meubilair) yang berada dalam rumah atau diatas persil tersebut.
c. Harga barang-barang bergerak yang belum dibayar oleh sipembeli jikalau
disita, sipenjual barang mendapat privilege atas hasil penjualan barang itu.
d. Biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan suatu benda, dapat
diambilkan telebih dahulu dari hasil penjualan benda tersebut, apabila benda
itu disita dan dijual.

9
e. Biaya-biaya pembikinan suatu benda yang belum dibayar, sipembikin barang
ini mendapat privilege atas pendapatan penjualan barang itu, apabila barang
itu disita dan dijual.
2. Piutang-piutang yang diberikan privilege terhadap semua kekeyaan orang yang
berhutang, ialah:
a. Biaya ekskusi dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan
kekayaan yang telah disita itu.
b. Ongkos penguburan dan ongkos pengobatan sakit yang mengakibatkan
matinya orang yang berhutang.
c. Penagihan-penagihan karena pembelian bahan-bahan makanan untuk
keperluan orang yang berhutang beserta keluarganya, selama enam bulan
yang paling akhir.
d. Penagihan-penagihan dan “kostschuo lhouders” untuk tahun yang terakhir.

C. Pemikiran dan Aktivitas Ekonomi Syariah di Indonesia


Jika kita lacak akar sejarah pemikiran dan aktivitas ekonomi Islam Indonesia
tak bisa lepas dari awal sejarah masuknya Islam di negeri ini. Bahkan aktivitas
ekonomi syariah di tanah air tak terpisahkan dari konsepsi lingua franca. Menurut
para pakar, mengapa bahasa Melayu menjadi bahasa Nusantara, ialah karena bahasa
Melayu adalah bahasa yang populer dan digunakan dalam berbagai transaksi
perdagangan di kawasan ini. Para pelaku ekonomi pun didominasi oleh orang
Melayu yang identik dengan orang Islam. Bahasa Melayu memiliki banyak kosa
kata yang berasal dari bahasa Arab. Ini berarti banyak dipengaruhi oleh konsep-
konsep Islam dalam kegiatan ekonomi. Maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas
ekonomi syariah tidak dalam bentuk formal melainkan telah berdifusi dengan
kebudayaan Melayu sebagaimana tercermin dalam bahasanya. Namun demikian,
penelitian khusus tentang institusi dan pemikiran ekonomi syariah nampaknya
belum ada yang meminatinya secara khusus dan serius. Oleh karena itu, nampak
kepada kita adalah upaya dan gerakan yang dominan untuk penegakan syariah
Islam dalam kontek kehidupan politik dan hukum. Walaupun pernah lahir Piagam

10
Jakarta dan gagal dilaksanakan, akan tetapi upaya Islamisasi dalam pengertian
penegakan syariat Islam di Indonesia tak pernah surut.
Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di Indonesia akhir abad ke-20 lebih
diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan perbankan syariah. Salah satu
pilihannya adalah gerakan koperasi yang dianggap sejalan atau tidak bertentangan
dengan syariah Islam. Oleh karena itu, gerakan koperasi mendapat sambutan baik
oleh kalangan santri dan pondok pesantren. Keberadaan gerakan koperasi di
kalangan pesantren sebenarnya bukanlah cerita baru, sebab pendiri koperasi
pertama di Bumi Nusantara adalah Patih Wiriatmaja, seorang muslim yang sadar
dan menggunakan dana masjid untuk menggerakan usaha simpan pinjam dalam
menolong jama’ah yang membutuhkan dana.1
Gerakan koperasi yang tergolong sukses disusul dengan pendirian bank
syariah, Walaupun lahirnya bank syariah lebih dulu oleh negara Philipina,
Denmark, Luxemburg dan Amerika Serikat dan kemudian Bank Islam pertama di
Indonesia lahir dengan nama Bank Mu’amalat tahun 1992. Kelahiran bank Islam di
Indonesia hari demi hari semakin kuat karena beberapa faktor:
1. Adanya kepastian hukum perbankan yang melindunginya.
2. Tumbuhnya minat masyarakat akan manfaat dari lembaga keuangan dan
perbankan syariah.
3. Dukungan politik atau political will dari pemerintah.
Maraknya perbankan syariah di tanah air tidak diimbangi dengan lembaga
pendidikan yang memadai. Akibatnya, perbankan syariah di Indonesia baru pada
Islamisasi nama kelembagaanya. Belum Islamisasi para pelakunya secara
individual dan secara material. Maka tidak heran jika transaksi perbankan syariah
tidak terlalu beda dengan transaksi bank konvensional hanya saja ada konkordansi
antara nilai suku bunga dengan nisbah bagi hasil. Bahkan terkadang para pejabat
bank tidak mau tahu jika nasabahnya mengalami kerugian atau menurunnya
keuntungan. Mereka “mematok” bagi hasil dengan rate yang benar-benar
menguntungkan bagi pihak bank secara sepihak. Di lain pihak, kadangkala ada

1
Azra Azyumardi, Pesantren, Kontinuitas dan Perubahan, Dalam Bilik-Bilik Pesantren, (Yogyakarta: Teras,
2011) hal. 18-19

11
nasabah yang bersedia mendepositokan dananya di bank syariah dengan syarat
meminta bagi hasilnya minimal sama dengan bank konvensional milik pemerintah.
Terlepas dari kekurangan dan kelebihan perbankan syariah, yang pasti dan
factual adalah bahwa ia telah memberikan konstribusi yang berarti dan meaningfull
bagi pergerakan roda perekonomian Indonesia dan mengatasi krisis moneter.
Kehadiran perbankan syariah atau bank syariah memang menjadi simbol
kebangkitan ekonomi Islam. Pada abad ke-21, persepsi mengenai kebangkitan
ekonomi Islam bisa dibilang naik signifikan. Hal itu dipicu minat dan rasa ingin
tahu yang besar di negara-negara Barat. Hanya saja, ada dilema dalam
perkembangan industri keuangan syariah. Di antaranya adalah kebutuhan modal,
karena sumber permodalan kebanyakan berasal dari modal asing atau non-Muslim.
Selain itu, bank syariah juga cenderung mengadopsi teknik perbankan
konvensional, dan melonggarkan prinsip dasar hukum syariah. Ini dilakukan
lantaran untuk berdaya saing, bank syariah harus melirik proyek-proyek besar yang
tinggi risiko. Untuk itu, sistem ekonomi Islam idealnya dikembangkan dengan
epistemologi ekonomi kelembagaan. Dengan epistemologi, konsep ekonomi Islam
yang operasional tidak lagi hanya terbatas di sektor keuangan.
Al-Qur’an menggambarkan bahwa lembaga riba harus digantikan dengan
lembaga zakat dan tijarah. Sedangkan Hadits juga mengatur adanya lembaga wakaf
yang langsung berkaitan dengan sektor riil. Menurut Dawam, zakat dan wakaf
sebenarnya merupakan instrumen untuk memecahkan masalah kemiskinan. Sayang,
praktik ekonomi Islam masih terbatas pada sektor keuangan, sehingga hakikat
ekonomi Islam sebagai ekonomi kelembagaan masih belum tercapai.2
Selain mendorong pengembangan lembaga zakat dan wakaf, Dawam juga
menilai koperasi menjadi solusi yang cocok untuk mewujudkan misi ekonomi
Islam. Koperasi dianggap mampu memberantas kemiskinan dan membangun
ekonomi rakyat yang mandiri atas dasar swadaya. Bagi Dawam, wacana ekonomi
Islam sangat memungkinkan untuk terwujud di negara-negara demokrasi seperti
Indonesia. Dikembangkannya lembaga pengumpul zakat, infak, sedekah, dan wakaf
dan koperasi bisa menjadi modal penting menuju penguatan ekonomi Islam.

2
M. Dawam Rahardjo, Arsitektur Ekonomi Islam, (Jakarta: Mizan, 2015) hal. 5

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ditinjau dari berbagai penjelasan yang Penulis paparkan di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa pengertian siapa Perumus Pertama Ekonomi Syariah
adalah Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa Sallam juga seorang pemikir dan
aktivis pertama ekonomi syariah, bahkan sebelum ia diangkat sebagai Nabi dan
Rasul. Pada zamanya telah dikenal pula transaksi jual beli serta perikatan atau
kontrak.
Dan setelah Rasulullah beberapa penggagas dasar ilmu ekonomi syariah yang
melambangkan perkembangan pemikiran ekonomi syariah adalah Zaid bin Ali, Abu
Hanifah, Abu Hamid al-Ghazali, Tusi, Ibnu Taymiyyah dan Ibn Khaldun.
Pemikiran dan aktivitas ekonomi syariah di Indonesia akhir abad ke-20 lebih
diorientasikan pada pendirian lembaga keuangan dan perbankan syariah. Salah satu
pilihannya adalah gerakan koperasi yang dianggap sejalan atau tidak bertentangan
dengan syariah Islam.

B. Saran
Demikian makalah ini Penulis selesaikan sebagai salah satu tugas perkuliahan
pada semester dua ini. Namun penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam
menyusun makalah ini, Penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.

13
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Hanafi, 1991, Pengantar Filsafat Islam, Cet.V; Jakarta: Bulan Bintang.

M. Dawam Rahardjo, 2015, Arsitektur Ekonomi Islam, Jakarta: Mizan.

Azra Azyumardi, 2011, Pesantren, Kontinuitas dan Perubahan, Dalam Bilik-Bilik


Pesantren, Yogyakarta: Teras.

14

Anda mungkin juga menyukai