Anda di halaman 1dari 4

Avatar dan Sejauh Mana Film Ini Relevan Dengan Dunia Kita

Oleh: Lisa Aditia Putra

Film Avatar kembali tayang di bioskop Indonesia. Film besutan James Cameron
(2009) ini tayang mulai tanggal 23 September 2022, menyongsong sekuel keduanya
Avatar: The Way of Water, yang direncanakan rilis akhir tahun ini. Tidak ada
pengurangan atau penambahan cerita dari film ini, kecuali kualitas resolusinya yang
naik menjadi 4K High Dinamyc Range. Teknis, versi ini akan menawarkan
pengalaman menonton yang lebih memukau.
Meski film ini sudah berusia 13 tahun dan merupakan film fiksi ilmiah, cerita dan
narasi film ini sangat relevan dengan kondisi kita saat ini. Gambaran perjuangan
Suku Na’vi menghadapi percobaan kolonialisasi “makhluk langit” – istilah yang
disematkan oleh Bangsa Na’vi kepada umat manusia yang ingin menguasai planet
Pandora, karena keberadaan mineral langka bernama “unobtanium” – masih kita
temui sampai saat ini di berbagai belahan dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Dalam beberapa dekade terakhir di Indonesia dapat kita temui berbagai macam
peristiwa ketidakharmonisan dan konflik tajam yang melibatkan masyarakat asli
dengan korporasi, yang mencoba untuk mengeksploitasi lingkungan hidup mereka.
Beberapa konflik tercatat sudah terjadi bahkan puluhan tahun lalu, misalnya konflik
antara PT. Freeport Indonesia (PTFI) dengan Suku Amungme, yang sudah terjadi
sejak tahun 1967, dan masih berlangsung sampai sekarang.
Sebagaimana yang digambarkan dalam film, keberadaan korporasi ini didasarkan
pada keberadaan mineral-mineral mahal atau langka – emas, batu bara, gas/minyak
bumi – yang hanya bisa ditemui di wilayah-wilayah tertentu saja, dan sering kali di
wilayah-wilayah yang dikuasai masyarakat/suku lokal.
Pada beberapa kasus, konflik tajam yang melibatkan korporasi dan
masyarakat/suku lokal juga diakibatkan oleh potensi wilayah sebagai penopang
ekonomi non-tambang. Seperti perkebunan, pembangunan kawasan food estate,
pembangunan infrastruktur (jalan, bandara, dsb.), sampai pembangunan kawasan
wisata.
Film Avatar ini juga memberikan gambaran kepada kita bagaimana pola kerja
korporasi dalam menjalankan misinya untuk mendapatkan apa yang mereka
inginkan. Awalnya tidak serta merta tampak buruk, bahkan samar-samar kita bisa
menilai kerja-kerja tersebut sebagai bentuk kepedulian dan ekspansi nilai
kemanusiaan.
Sebagaimana yang dilakukan Dr. Grace Augustine, ia terlibat dalam misi
penjelajahan ini sebagai seorang kepala ilmuan Resources Development
Administration (RDA) yang memiliki ketertarikan dan kepedulian terhadap ilmu
pengetahuan di Pandora, melakukan penelitian tentang botani, terlebih pada satu
pohon roh yang dipercaya Suku Na’vi sebagai rumah Eywa, yang terkoneksi secara
spiritual dengan seluruh makhluk hidup di Pandora. Ia juga mengajarkan anak-anak
Suku Na’vi Bahasa Inggris, dengan harapan bisa menjembatani negosiasi antara
RDA dengan Suku Na’vi.
Namun, ini bukanlah tujuan utama mereka. Bagaimana pun tujuan awal korporasi
ini adalah apa yang terkandung dalam kawasan tersebut. Segera, setelah
pendekatan manusiawi tidak membuahkan hasil, maka jalan kekerasan akan
ditempuh. Kekerasan diyakini sebagai jalan pintas untuk mendapatkan apa yang
diinginkan.
Keterlibatan Militer/Polisi
Hampir separuh adegan yang tampil dalam film Avatar ini dipenuhi dengan scene
tantara dengan persenjataan lengkap. Prajurit-prajurit berbadan kekar dengan
senjata otomatis terkalung di bahunya, robot-robot besar yang dikendalikan oleh
manusia di dalamnya – seperti yang tampak dalam film Pacific Rim (2013), hanya
ukurannya lebih kecil, barangkali diciptakan untuk mengimbangi besar Suku Na’vi,
yang tingginya hampir 2 kali manusia biasa – berjajar siap menerima perintah untuk
menyerang, tatkala negosiasi tidak berhasil.
Potret keterlibatan militer/polisi juga lekat kita temui dalam kasus-kasus konflik
korporasi dengan masyarakat/suku lokal di dunia nyata. Misalnya pada penerjunan
militer operasi Intan Jaya – berdasarkan kajian cepat YLBHI, WALHI Eksekutif
Nasional, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM,
Greenpeace Indonesia, Trend Asia, bersama #BersihkanIndonesia tahun 2021,
dianggap sebagai operasi ilegal karena tidak berbekal izin presiden yang disetujui
DPR RI – yang diyakini bermuatan ekonomi-politik dan melibatkan PTFI dan
beberapa perusahaan lain di Papua.
Kasus lain yang melibatkan militer/polisi baru-baru ini juga terjadi di Kepulauan
Sangihe 13 Juni 2021 lalu. Konflik ini melibatkan masyarakat lokal dengan PT.
Tambang Emas Sangihe (PTTMS). Robison Saul, salah seorang masyarakat yang
terlibat dalam demonstrasi penolakan tersebut, dikriminalisasi dan ditetapkan
sebagai tersangka oleh Polres Kepulauan Sangihe, atas dasar kepemilikan senjata
tajam.
Kontras dengan penampakan dalam film Avatar, keterlibatan militer/polisi tidak
selalu muncul dalam bentuk benturan fisik yang mengakibatkan korban jiwa –
sebagaimana yang terjadi di Papua. Keterlibatan militer/polisi juga mewujud dalam
bentuk intimidasi, diskriminasi maupun kriminalisasi yang melemahkan gerakan
masyarakat, termasuk kepada aktivis-aktivis demokrasi yang kontra dengan
keberadaan korporasi.
Narasi Terbelakang dan Primitif
Dalam beberapa scene film Avatar ini, ada beberapa narasi yang dibagun oleh
RDA yang mendiskreditkan posisi Suku Na’vi sebagai suku primitif dan terbelakang
yang perlu sentuhan manusia. Ungkapan ini misalnya muncul dari mulut Parker
Selfridge, tokoh antagonis yang merupakan kepala Administrasi RDA:
“Look, Sully. Sully. Just find out what the blue monkeys want. You know,
I mean, we try to give them medicine, education, road. But no, no, they like
mud. And that wouldn’t bother me, it’s just like that they’re…”, (49:24-50:17).
Narasi semacam ini merupakan bentuk arogansi RDA terhadap keberadaan Suku
Na’vi yang dianggap tidak beradab. Jelas, narasi semacam ini hanya menjadi
pembenaran bagi RDA untuk melakukan eksploitasi alam di Pandora. Selfridge dan
rekan-rekannya jelas menafikan keberadaan pengetahuan lokal yang telah turun-
temurun di wariskan. Misanya dalam pengobatan, Suku Na’vi memiliki caranya
sendiri untuk mengobati seseorang. Terlihat dalam scene ketika mereka mencoba
menyelamatkan Dr. Agustine, akibat luka tembak yang ia dapatkan dari Kolonel
Miles.
Selfridge juga menafikan tekhnologi komunikasi dan jaringan yang berkembang di
Pandora. Misalnya bagaimana mereka membangun komunikasi dengan hewan
tunggangannya, atau bagaimana keterkaitan antara pohon roh dengan seluruh
makhluk hidup yang ada di Pandora, yang dijelaskan Dr. Agustine sebagai sebuah
komunikasi elektrokimia, layaknya syaraf-syaraf otak manusia.
Lalu, apakah hal serupa terjadi dalam dunia nyata?. Jelas. Narasi semacam ini
mengingatkan kita pada kolonialisme Hindia-Belanda, yang memandang rendah
penduduk pribumi. Atau sistem pembagian warna kulit di Afrika ((apartheid) pada
awal abad 20, yang mengklaim orang kulit putih lebih pintar dan beradab ketimbang
kulit hitam, menjadi dasar pengebirian hak asasi mereka. Atau fanatisme Adolf Hitler
terhadap Ras Arya, yang berakibat pada pembantaian orang Yahudi.
Dalam film ini, konsespsi terbelakang dan primitif adalah ketika suatu kelompok
atau masyarakat tidak bisa atau enggan mengikuti perkembangan yang terjadi.
Konsepsi ini dilatar belakangi oleh adanya kepentingan terhadap kelompok yang
dicap sebagai primitif atau terbelakang. Di mana kepentingan tersebut akan berjalan
dengan lancar, jika mereka mampu mentransfer perspektif mereka tentang masa
depan dan kemajuan sebagaimana yang mereka inginkan. Sederhananya,
terbelakang dan primitif diasosiasikan pada mereka yang menolak pembangunan.
Tidak Ada Kata Akhir
Seberapa pun film ini relevan dengan kondisi kita saat ini, tetap ada banyak hal
yang tidak bisa atau sulit terjadi dalam kehidupan kita. Film Avatar diakhiri dengan
kemenangan Suku Na’vi terhadap “manusia langit” yang mencoba mengeksploitasi
wilayahnya. Sekalipun kemenangan mereka harus dibayar mahal. Hometree, yang
merupakan rumah mereka tumbang dan luluh lantah, akibat serangan rudal pasukan
Kolonel Miles.
Sementara dalam dunia kita, sering kali perjuangan masyarakat/suku lokal
berhenti, menggantung atau bahkan gagal. Sekalipun sudah dilakukan berpuluh-
puluh tahun lamanya. Bagaimanapun juga korporasi merupakan mesin kapitalisme
yang tidak mudah untuk ditumbangkan. Terlebih dengan dukungan militer/polisi, dan
struktur regulasi yang tidak memihak masyarakat. Namun demikian, tidak ada kata
akhir dalam perjuangan.

Anda mungkin juga menyukai