Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

A. Kebijakan Portugis

Sejak menguasai Malaka pada tahun 1511, bangsa Portugis bermaksud

memonopoli perdagangan di Nusantara. Kehadiran Portugis membawa

pengaruh yang serius dalam bidang ekonomi dan politik kerajaan – kerajaan di

Nusantara. Ada dua pengaruh besar, yaitu monopoli perdagangan rempah-

rempah dan penyebaran agama Kristen. Kedua hal ini, menjadi pemicu

perlawanan bersenjata kerajaan-kerajaan islam terhadap bangsa Portugis.

I. Monopoli perdagangan rempah-rempah

1. Faktor internal berupa kekurangan dana, keterbatasan personel

atau prajurit, serta perilaku koruptif pejabat-pejabat Portugis.

Misalnya, turut berdagang untuk kepentingan pribadinya atau

istilah lainnta terlibat dalam perdagangan partikelir.

2. Faktor eksternal berupa perlawanan yang dilakukan oleh

Kesultanan Johor dan Kesultanan Aceh.

Gabungan faktor internal dan eksternal semakin mempersulit kedudukan

Portugis di Malaka. Karena kedua faktor ini, bangsa Portugis bertahan hanya

sampai November 1511 di Malaka. Pada tahun 1512, banga Portugis melakukan

ekspedisi penyelidikan sumber rempah-rempah ke wilayah Hindia Timur, yaitu

Kepulauan Maluku, di bawah pimpinan Fransisco Serrao. Bangsa Portugis juga

berupaya menjalin persekutuan dengan Kerajaan Sunda Pajajaran. Persekutuan

ini awalnya atas inisiatif Kerajaan Pajajaran. Tujuan utamanya adalah

mendapatkan perlindungan Portugis terhadap ancaman ekspansi Kesultanan

Demak ke Pajajaran. Sebagai imbalannya, Kerajaan Pajajaran memberi


kebebasan kepada bangsa Portugis untuk menereapkan monopoli perdangangan

lada di wilayah kekuasaannya, terutama di Pelabuhan Sunda Kelapa.

Pada masa itu, Pelabuhan Sunda Kelapa yang dikuasai Kerajaan Pajajaran

dan Pelabuhan Banten yang dikuasai Kesultanan Demak merupakan pusat

perdagangan lada yang sangat rama di Jawa. Padroa Sunda Kelapa yang dibuat

pada tahun 1512 kini tersimpan di Museum Nasional, Jakarta, menjadi penanda

adanya perjanjian kerja sama itu. bagi bangsa Portugis, penguasaan Pelabuhan

Sunda Kelapa sangat menunjukkan agama Islam sudah mengakar di Ternate dan

Tidore sebelum kedatangan Portugis.

Hikayat Ternate menyebutkan raja-raja Ternate, Tidore, Bacan, dan

Jailolo adalah keturunan Jafar Shodiq. Nama “Maluku” sendiri berasa; dari

julukan yang diberikan oleh saudagar-saudagar Arab, Jazirat al-Muluk, yang

berarti “negeri para raja”. Alasan yang sama kiranya juga memicu serangan

Demak ke Malaka pada tahun 1526 dan 1527.

Pada masa itu Demak telah menjadi pusar penyebaran agama Islam di

Pulau Jwa. Demak juga bercita-cita menyebarkan agama Islam ke seluruh pulau

itu, termasuk ke wilayah kekuasaan (Sunda) Pajajaran yang bercorak Hindu.

Akan tetapi, cita-cita itu terancam terhambat oleh kehadiran Portugis di

Nusantara, yang memperkenalkan agama Katolik.

Maka, selain karena alasan ekonomi, serangan Demak ke Malaka pada

tahun 1513 dan ke Pajajaran pada tahun 1526 dan 1527 juga dilatarbelakangi

kekhawatiran Demak bahwa bangsa Portugis akan menghambat penyebaran

agama Islam di pualu Jawa.


II. Penyebaran agama Katolik

Isu kontoversial hingga sekarang adalah penyebaran agama

Katolik oleh misionaris Portugis di tengah komunitas Islam yang

telah mengakar seperti di Maluku. Hal tersebut diduga sebagai

pemicu perlawanan dari kesultanan-kesultanan, seperti Ternate

dan Demak.

Salah satu hipotesis menyatakan jika agama menjadi salah

satu pemicu, tentu sejak awal Ternate tidak akan menjalin

persekutuan dengan bangsa Portugis. Sebab, bagaiamanapun

bangsa Portugis memang membawa misi penyebaran agama.

Sementara itu, hipotesis lain menyatakan Ternate baru

menyadari adanya misi keagamaan Portugis dikemudian hari.

Mengingat agama Islam telah mengakar di kedua kesultanan itu,

mungkin saja penyebaran agama Katolik menjadi faktor lain yang

melatarbelakangi perlawanan.

Penyebaran Islam ke Ternate dilakukan oleh saudagar

Arab, India, Melayu, serta siar yang dilakukan Sunan Ampel dari

Surabaya. Saudagar-saudagar Arab, misalnya, sudah berada

Ternate 100 tahun sebelumnya. Sumber lain mengatakan sudah

sejak abad XIII agama Islam dibawa oleh saudagar Bernama Jafar

Shodiq.

Hikayat Ternate menyebutkan raja-raja Ternate, Tidore,

Bacan, dan Jailolo adalah keturunan Jafar Shodiq. Nama “Maluku”

sendiri berasal dari julukan yang diberikan oleh saudagar-

saudagar Arab, Jazirat al-Muluk, yang berarti “negeri para raja”.


Demak juga bercita-cita menyebarkan agama Islam ke

seluruh pulau itu, termasuk ke wilayah kekuasaan (Sunda)

Pajajaran yang bercorak Hindu. Akan tetapi, cita-cita yang

memperkenalkan agama Katolik.

B. Kebijakan VOC dan Pemerintahan Kolonial Belanda

Tampak jelas bawa kehadiran Belanda di Indonesia memang untuk

mengeksploitasi sumber daya alam serta sumber daya manusia Indonesia.

Tujuannya adalah menumpuk kekayaan serta menciptakan kemakmuran bagi

rakyat negeri Belanda. Secara politis, wibawa martabar, budaya, serta struktur

pemerintahan kerajaan-kerajaan pribumi runtuh akibat dipecah bahkan diserap

ke dalam struktur colonial. Sikap Kebijakan Belanda yang memicu perlawanan

itu dapat diringkas dalam enam hal pokok, yaitu monopoli perdagangan,

intervensi terhadap urusan internal kerajaan pribumi, ekspansi wilayah,

arogansi terhadap kerajaan pribumi, diskriminasi terhadap penduduk pribumi,

serta penderitaan rakyat.

Ancaman praktik monopoli serta ambisi Portugis memperluas pengaruh

dan hegemoni di Jawa membuat Kesultanan Demak melakukan serangan

preventif ke Malaka pada tahun 1512 dan 1513 dan ke Sunda Kelapa pada tahun

1526 dan 1527. Kesultanan Demak yang berambisi menguasai seluruh Pulau

Jawa, termasuk Kerajaan Pajajaran, tidak ingin bangsa Portugis memperluas

pengaruh dan dominasi ekonominya di Jawa dengan menjadikan Kerajaan

Pajajaran sebagai pintu masuk.

Serangan Malaka gagal, namun serangan ke wilayah kekuasaan Pajajaran,

yaitu Sunda Kelapa, berhasil mencegah ekspansi Portugis. Portugis-pun

kemudian lebih banyak beroperasi di Maluku. Karena alasan yang sama, yaitu

monopoli perdagangan, kehadiran Portugis di Maluku mendapat perlawanan


dari rakyat dan Kesultanan ternate. Padahal, kedatangan mereka semulai

diterima dengan baik oleh Sultan Ternate, yang pada saat yang sama sedang

mencari sekutu untuk melawan Kesultanan Tidore yang bersekutu dengan

Spanyol. Kesultanan Ternate menganggap kebijakan monopoli bertentangan

dengan praktik perdagangan yang telah berabad-abad berlangsung di Nusantara.

Praktik perdagangan itu berlangsung secara adil dan saling

menguntungkan. Berhadapan dengan praktik monopoli, rakyat Maluku yang

menggantungkan hidupnya pada pasar rempah-rempah sangat dirugikan.

Apalagi, penerapan kebijakan itu disertai sikap arogansi dan kesewenang-

wenangan, yang meruntuhkan harga diri dan martabat Kesultanan Ternate.

a) Monopoli Perdagangan rempah-rempah

b) Campur tangan terhadap masalah internal kerajaan

c) Ekspansi wilayah demi melancarkan kebijakan pintu terbuka

d) Arogansi Belanda terhadap kerajaan pribumi

e) Praktik diskriminasi terhadap penduduk pribumi

f) Penderitaan rakyat akibat sistem tanam paksa, kebijakan pintu

terbuka, serta politik etis

g) Strategi Perlawanan terhadap Penjajahan Bangsa Eropa

C. Perlawanan terhadap bangsa Portugis

Menurut sebagian sejarawan, sebutan “kolonialisme Portugis” untuk

konteks Nusantara tidak tepat karena Portugis hanya mengembang misi dagang,

bukan menduduki sistem politik dan pemerintahan di tempat tersebut.

1) Perlawanan Kesultanan Ternate

Monopoli perdangan, campur tangan terhadap urusan internal

Kesultanan Ternate, serta penyebaran agama Katolik membuat

rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Hairun melakukan


perlawanan terhadap bangsa Portugis. Sayangnya, Sultan Hairun

ditangkap dengan sebuah tipu muslikatdan kemudian dihukum

amati pada tahun 1570.

2) Perlawanan Kesultanan Demak

Penduduk Portugis atas Malak pada tahun 1511 serta

kebijakan monopoli yang diterapkannya membuat aktivitas

perdagangan para saudagar muslim di tempat itu terganggu. Hal

ini memicu solidaritas dari Kesultanan Demak, baik terhadap

Kesultanan Malaka dipimpin oleh Raden Patah. Sudah tercatat, dua

kali Demak menyerang bangsa Portugis di Malaka, yaitu pada

tahun 1512 dan tahun 1513. Malaka dipandang sebagai pusat

perdagangan yang penting untuk dikuasai.

Kerajaan Pajajaran yang bercorak Hindu merasa terancam oleh

ekspansi Demak ke Sunda Kelapa, Pelabuhan utama Pajajaran.

Demak memang berusaha menguasai kerajaan-kerajaan pantai

utara Jawa, seperti Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Maka,

dalam rangka memperkuat pertahanan, Pajajaran menjalin

persekutuan dengan bangsa Portugis diminta untuk membangun

benteng di Sunda Kelapa.

3) Perlawanan Kesultanan Aceh

Sejak Malaka dikuasai bangsa Portugis, saudagar-saudagar muslim

memindahkan aktivitas perdagangannya ke Aceh, yang juga

memiliki Pelabuhan dagang yang besar. Kedatangan mereka

membuat Aceh maju pesat. Kesultanan Aceh melakukan

penyerangan ke Malaka. Hal itu karena Aceh mendapatkan


bantuan dari Turki, Persia, dan India, juga dari kerajaan-kerajaan

Islam di Jawa (Demak) berupa kapal, prajurit, dan makanan.

Sultan Ali Mughayat Syah yang memerintah antara 1514-1530

berhasil mengalahkan kekuasaan Portugis di Aceh. Sultan Alaudin

Riayat al-Qahar (1538-1571) menentang kekuasaan Portugis

dengan bantuan Turki, dan penggantinya, Sultan Alaudin Riayat

Syah, juga menyerang bangsa Portugis di Malaka pada tahun 1573

dan 1575. Perlawanan rakyat Aceh terhadap bangsa Portugis tetap

berlanjut hingga Malaka jatuh ke tangan VOC pada tahun 1641.

D. Perlawanan terhadap Kolonialisme Belanda

Perlawanan bersenjata terhadap VOC dan pemerintah colonial Belanda

dimulai sejak awal abad XVII sampai awal abad XX. Perlawanan pada abad ke-17

antara lain dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram (1613-1645), Sultan

Iskandar Muda dari Aceh (1635), Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Makassar

(1667), Untung Suropati dari Tanah Minang (1680) dan Sultan Ageng Tirtayasa

(1684).

Sementara itu, perlawanan yang dilakukan pada abad XIX sampai awal abad

XX antara lain dilakukan oleh Pattimura dari Maluku (1817), Sultan Badaruddin

dari Palembang (1817), Tuanku Imam Bonjol dari Tanah Minang (1822-1837),

Pangeran Diponegoro dari Jawa (1825-1830), I Gusti Ketut Jelantik dari Bali

(1850), Pangeran Antasari dari Kalimantam (1860), Teuku Umar, Teuku Cik Di

Tiro, Cut Nyak Dien dari Aceh (1873-1904), Anak Agung Made dari Lombok

(1895), dan Raja Sisingamangaraja XII dari Tapanuli (sekitar tahun 1900).

1. Perlawanan pada masa VOC

2. Perlawanan Kesultanan Mataram


3. Perlawanan Kesultanan Gowa atau Makassar

4. Perlawanan pada masa pemerintahan Kolonial Belanda

5. Perlawanan Pattimura di Maluku (1817)

6. Perlawanan Pangeran Diponegoro (1825-1830)

7. Perlawanan Kesultanan Palembang (1804-1821)

8. Perang Padri

9. Perang Aceh (1873-1904)

10. Perlawanan Sisingamaraja XII (1870-1907)

11. Perlawanan Kerajaan-Kerajaan di Bali (1846-1849)

12. Perlawanan Kesultanan Banjar (1859-1905)

Anda mungkin juga menyukai