Anda di halaman 1dari 81

ISI HATI

Jilan marizka indy fariz abi

kami pelajar sekolah menengah

pergi subuh pulang magrib

tidur pun jam 3 pagi

demi mengejar perguruan tinggi

lepas sma jadi mahasiswa

hidup mandiri tanpa orangtua

mie instan jadi menu sarapan

untuk menghemat uang kiriman

lulus 4 tahun menjadi pengangguran

cari kerja apa saja yang penting makan

keliling kota menebar lamaran

bermimpi jadi orang kantoran

enam belas tahun hidup kami belajar

berjuta juta uang kami hamburkan

demi mendapat gelar pada nama

agar dikagumi disebut sarjana

angin bawalah aku pergi

ke masa depan yang kunanti

hidup santai tidak perlu kerja rodi

lepas status budak korporasi


PATIKAN KEBO
Cutkay, Tiara, Andien, Omar Jordie

Kubiarkan diriku rapuh perlahan


Hinaan dan cacian terpaksa kutelan
Kau biarkan diriku meringkuk dalam kesendirian
Menyisakan diriku dengan rasa kehilangan

Ketika diriku meraih sepuluh


Tetapi kalian membuatku mulai dari nol
Mereka berkata ku tak pantas
Mereka berkata ku tak layak
Dan aku hanya dapat bertanya

Mengapa?
Keringat dan darah kusimbahkan
Menit dan waktu kukorbankan
Hanya untuk sebuah pengakuan
Lantas apa lagi yang harus kurelakan?

Aku sadar bahwa aku berada di puncak kemenangan


Dimana angin berhembus kencang
Dan mentari bersinar terang
Tapi katamu bagaikan gravitasi
Pusat pikiranku berotasi
Salah langkah dan aku akan terjatuh
Berakhir lebih rendah dari yang pernah kurasa

Ini jeritan hati orang yang tersakiti


Yang kau injak bagaikan patikan kebo
Kapan kalian sadar bahwa aku lebih dari sekadar dekorasi
Semoga kalian mengerti
Aku hanya ingin dihargai, bukan dimaki

Kalian kadang terlalu sibuk mendikte cara untuk bahagia


Dan terlalu terburu-buru menyematkan kata
"Kasihan ya"
Padahal aku hidup untuk diriku sendiri
Hanya aku yang tau bagaimana aku harus hidup
Aku lebih dari sekadar patikan kebo
Syukurmu Pada Air

Karya Athala Zia

Kemarau menerjang bumi


Menanduskan lahan menggersangkan tanah
Harapan hadirnya curahan air dari langit
Seperti mengharap datangnya anugerah dari Tuhan

Rintik hujan menyapa bumi


Memanggil tunas - tunas untuk tumbuh dengan kehijauannya
Mengundang sang bunga untuk mekar dari kelayuannya
Air melukis pelangi lewat bias matahari

Manusia bersorak mengucap syukur


Sembahyang penuh doa telah terkabulkan
Dengan asa yang dititipkan lewat air yang mencurah

Lalu, bagaimana syukurmu atas nikmat ini?

Sungai terus mengalir mengikuti hilir

dari hulu sumber berasal


Kau bersyukur dengan sambah yang kau buang
Dengan kotoran yang kau lempar
Dengan pohon yang kau tebang,

Tanah kian gersang


Sungai kian dangkal
Lalu banjir menyapamu,

Siapa yang kau salahkan?


Tuhan dan Alam

Padahal tanganmulah yang mencemar kehidupan


Mencerabut harapan kesejukan
Menyirnakan resapan resapan tempat mengalir

Bagaimana kau bersyukur atas air yang kau nikmati?


menjaganya atau..........

Menhabisinya?

Anggota kelompok :

Kayla Shazia

Salsabila Alyanitazahra

Nadina Syifa

Athala Zia

Farrel Zidane
DAKU bermimpi

-Adli rayhan -Malya khansa


-Rayhan filardhi -Fidella anindya
-Naya alisha -Alif ilmanysah

Hiruk piruk keramaian di sekeliling


kertas bertebaran berisi acehan belaka
setetes kopi tersisa di cangkir
menemaniku membangun masa depan
Fana pikiranku
bertumpuk-tumpuk pertanyaan didepanku
jawaban harus kutorehkan
mengorbankan akal sehatku
Apa berani masa depanku hanya dibatasi sebaris angka?
Terjerat hitam putih di luar jeruji tak jarang ketemu
masih sempatkah aku bermimpi?
Aku sekarang sendiri
dengan pikiranku menyelalai realita dan fatamorgana
banyak akal yang terbang tak terganti
aku masih tak mengerti

Kabut-kabut menyeruhkan pikiranku


Tak lagi akal ini diniku jernih
kalian semua merusak!
Berpikir sendiri bukan lagi keyakinan akan diri
namun pilihan cara mati dengan kepala tak berisi
mereka pikir kita hanya mesin tak berjiwa
kami juga punya hati!
Kami juga punya jiwa!
BIARKAN KAMI BERMIMPI

Selepas Institusi
Karya : Azkha dan Mikail

Kulihat mereka
Menggoreskan penanya
Jangan sampai ditumpahkan tinta merah ke buku itu
Buku yang menghantui nama-nama di dalamnya

Padahal apa?
Itu hanyalah sebuah angka
Hanya demi muka cerah semata
Hanya akan hilang termakan usia

Selepas institusi
Angka itu terbuang sia-sia
Jutaan karya masih terhambat
Akibat rasa penasaran tak tersalurkan

Selepas institusi
Angka itu hanya menjadi angka
Tak ada yang peduli
Tak ada yang menanyakannya lagi

Akademik memang utama


Tapi bukan menutup jalur lainnya
Kreativitas bagai dikelilingi pagar
Hanya menyisakan ambisi tak terkejar

Sampai saat ini aku masih tidak tahu


Apa rahasia orang-orang hebat itu?
Yakin karena angka-angka itu?
Sepertinya belum tentu

Mereka Bilang Reformasi


Karya : Pemuda Bangsa

Mereka bilang reformasi


Anak-anak tidur di bawah bintang
Tanpa atap yang melindungi
Makanan mereka tangisi
Tanpa orangtua yang menemani

Mereka bilang reformasi


Orangtua dibuang oleh anak sendiri
Mereka tiada mengasihani
Tiada rasa berterima kasih
Seakan tak butuh mereka lagi

Mereka bilang reformasi


Pencuri kayu mereka adili
Pencuri makanan mereka hakimi
Para pengajar di balik jeruji
Tapi mereka biarkan lari para tikus berdasi

Mereka bilang reformasi


Banyak fitnah disana dan disini
Memunculkan konflik setiap hari
Bukan hanya suku, ras, dan agama
Tetapi juga merasuki kehidupan budaya

Mereka bilang reformasi


Tapi kebohongan sudah mengambil alih
Merusak para penerus bangsa ini
Saling mencaci, menghina, dan memaki
Tiada toleransi yang mengiringi

Mereka bilang reformasi


Perundang-undangan mereka eksploitasi
Pasar-pasar mereka monopoli
Aparat negara mereka kuasai
Tanpa memikirkan satu sama lain
Demi kepentingan mereka pribadi
Mereka bilang kami ini demokrasi
Selalu dibanggakan dan selalu dipegang
Menjadi prinsip pembangunan bangsa
Dilantangkan dalam tiap langkah
Demi menjaga sebuah persatuan

Paranoia yang telah mekar


Apakah tangisan kami terdegar?
Apakah karung ini terlalu tebal?
Atau suaraku telah diheningkan

Kalian digigit kenyataan yang fana


Maka mengapa kami yang berdarah?
Tiada memberi ruang bagi kami tuk memberi keluh kesah
AARGHH! Mana hal yang kalian janjikan?
Sebuah kesejahteraan dan keadilan
Yang selalu kalian sebut dalam kampanye pemilihan

Jalanan yang penuh suara


Suara yang menangiskan perubahan
Benar kami dapat perubahan
Sayangnya kami yang menderita

Kami meminta jawaban dari semua ini


Semua hal yang terjadi di tanah ini
Kami bertanya setiap hari
Dan kalian semua menjawab
“ Ini, reformasi”

Anggota kelompok:
1. Exell Ibrahim
2. Fadel Bryan S.
3. Farhan Algani P.
4. Hanggaprabaswara A.
5. Nala Anindita W.
6. Rizqa Adinda S.
Tentang Pengungsi

1. Adriel Putra Hermawan


2. Jihan Faraditya Kasmali
3. Princessfa Ayra A.
4. Rakhan Yusuf Rivesa
5. Rifdi Gadiantwan P.
6. Wilma Irvina R.

Kemarin seorang ibu berkata


Tak kan kuletakkan anakku dalam perahu pengungsi di tengah gelombang laut
Kalau bukan karena di lautan pun masih kebih aman dari pada daratan negeri nya
Mari kupeluk anakku
Tadi malam kulihat seorang anak
Mengambil pena menuliskan derita nya menjadi anak pengungsi
Ternyata sang pena menangis lebih dulu
Sebelum mata sang anak berair mata
Pagi ini aku mendengar
Anak- anak di pengungsian rindu sekolah
Mereka tidak tahu teroris, mereka cuma lapar
Mereka cuma ingin pulang, tapi kemana?
Siang ini guruku mengajar
Bahkan Einstein pun seorang pengungsi
Yang manis cuma janji para pemimpin
Ini tentang siapa yang peduli dan pergi
Malam ini ibuku bercerita
Jika derita mereka ditumpahkan pada lautan
Akan sanggupkah laut menampungnya?
Rasanya ingin kupetik bulan di lautan untuk mereka

Esok pagi akan kudengar seorang ibu berkata


"Anakku, ayo kita mengungsi ke negeri dongeng penuh kasih"
Biarlah kita percaya para pemimpin dunia membual
Berbulan, bertahun, berwindu...
Siang hari akan kulihat di televisi
Derita mereka tak sebercanda pidato para pemimpin
Menyerah pada kedalaman air mata di pipi
Kalau cuma kata, semua juga bisa memimpin
Malam hari akan kusaksikan
Mereka masih punya harapan dari langit

Lelah diusir dari gemerlap pembangunan


Kecewa cuma luka sekejap yang menggigit
Esok pagi ku bernyanyi
Kalah hanya untuk mereka yang mengeluh bila jatuh
Walau aku percaya cinta yang sunyi
Hal ini bukanlah untuk dikenang
Malam hari aku yakin
Hidup mereka sudah cukup banyak rintangan
Pengalaman yang terasa pahit
Hidup ini harus maju kedepan
Memori Sebuah Kursi

1. M. Farrel Rayyan P.
2. Dustin Bonaventura
3. Alyrafi Firmansyah D.
4. Kalisha Putri S.
5. Salma Salsabila

Libur tiba
Hari penting untuk Indonesia
Istana juga senayan
Sedang jadi incaran

Libur tiba
Lebaran terasa
Perantau kembali ke desa
Kembali ke pelukan keluarga

Aku kami dan kita,


Semua mata
Tertuju pada kubus bergambar bersuara

Kepada angka-angka
Tertitip doa dan harapan
Akan Indonesia ke depan

Aku di dekat ibu kota


Penopang katanya
Dalam rumah putih tak baru lagi tak tua
Bersemayam pada kursi lama

Kursi tua yang nyaman,


Ditemani sepoi-sepoi kipas angin,
Aku menatapnya lalu berfikir

Kursi lama kayu jati

Asam garam kehidupan ia lebih mengerti


Kursi lama kayu jati
Jikalau ia wni,
Terhitung sudah aspirasi

Kursi lama kayu jati


Menghadapi hari ini tuk kesekian kali
Puluhan tahun menyimak rupa berdasi berpeci

Kursi lama kayu jati


Sejak lama di depan tv,
Dari jaman habibie hingga jokowi
Ia sudah hapal pasti

Kursi lama kayu jati


Meski pemimpin silih berganti
Ia yang hanya diam
Tetaplah sama
KELUH KESAH PUTIH ABU-ABU

1. Andhika Putra D.
2. Kean Nafis S.
3. M. Satria Aditama
4. Tasykira Khairunnisa
5. Velika Freesia U.

5 hari terlepas
5 hari menerpih

menerpa sang pelajar yang takkan pernah berhenti


tak ada yang pernah bertanya,
“apakah ia lelah?”
“apakah ia lesu?”
entahlah
tak ada yang tahu
bisikan orang-orang
tuturan gelap
“jadilah insinyur,
belajarlah yang giat!”
dokter, dokter, dokter
bisnis, bisnis, bisnis
heran jika ada yang bertanya
“itu sajakah pekerjaan di indonesia?”
sekolah-sekolah terbaik
diduduki sang pencela
tak ada yang bertanya
karena itu sudah menjadi kenyataannya
yang miskin ditelantarkan,
terpujilah yang berkoneksi
kerabatlah faktor yang paling penting
dalam sektor bisnis ini
bagaimana yang tak sanggup?
tak ada yang menanyakan nasib mereka?
sulit untuk diprihatinkan,
mereka sedang sibuk mencari kerja
Kulihat masa lalu
Pendidikan jarang tertemu
Pemuda berjuang keras

Untuk mencari ilmu


Apakah karena pengaruh evolusi
Pendidikan seharusnya mudah tertemu
Namun tetap sulit mencari informasi
Banyak yang tak bisa menggapai ilmu
Ada emas ada hasil
Tak punya beras hanyalah batil
Apakah masa depan bangsa
Bila tak punya pemuda
Harapan Dalam Sebuah Tatapan

1. Diva Fadhila
2. Axel Matthew Nathaniel Sihite
3. Freya Suryadarma
4. Maritza Catriona B.
5. Nafi Maheswara P.

Di awal tak ada niat ku mengagum


Namun namamu pun tersebut
Terasa bagaimana ada di antaramu
Selama beberapa saat saja

Bahagia rasanya diperhatikan


Setiap ku coba melihat ke sana
Kutangkap tatapmu yang singkat
Sebelum kau mengalihkannya

Cobalah katakan perasaan


Hanya melalui sebuah tatapan
Buatku mengingatkan
Kala dulu yang sedang ku lupakan

Andai saja tahu ku


Apa isi dari hatimu
Masih terlalu dalam, untuk dilalu
Bagaimana kalau pikirmu?
Apakah pernah ada aku?

Andai kamu yang tahu


Kiraku matamu berbicara
Tentang isi dari hatimu
Terasa begitu nyata
Namun hanya sesaat

Coba untuk berkata jujur


Di setiap lirik matamu
Agar tidak salah
Jalan rasaku

Berilah aku petunjuk dan arah


Untuk menemukan arti tatapmu
Yang perlahan pudar
Seiring jalannya waktu

Haruskah aku peduli?


Haruskah aku terima
Matamu bukan untukku saja
Aku hanya salah satunya

Mungkin selama ini memang tak ada


Pesan tersirat dari pandangmu
Terlalu cepat aku menanggap
Namun sulit membantah harap
Mungkin takkan pernah ada kesempatan
Untukku mendapatkqn jawaban
Tentang semua tatap
Yang mungkin tak kau anggap
Kala itu

Tiara A Talitha
Nasya Fitria A.
R. R. Candrika
Nafiis W
Figo A.
Farrel F

38 purnama kulewati tanpa kehadiranmu


Tetes air bening sesekali mencium pipiku
Namun apa daya?
Kini kau hanyalah sosok fana yang menghantui pikiranku

Tak lagi nyata


Tak lagi menjadi fakta
Kita
Kala perasaan tak lagi diutarakan

Lautan tak berujung


Langitpun tak tersentuh
Derita semakin terasa
Keluhan jiwa terus membara

Secangkir kopi hitam terhidang


Kuhirup udara hangat di pagi itu
Burung-burung berkicau
Kala itu ku terpana

Ku seruput lagi minumanku


Tanpa sadar telah menyisakan ampas
Kala itu ku menghampirimu
Kulihat kau tersenyum malu

Kala ada dirimu


Warna hidupku kian merekah
Terhias dengan indah
Terjalin dan tak mati oleh waktu

Tersesatku di adiwarnamu
Kasmaran yang tak berujung
Hati yang luluh akan sebuah tatapan
Kian terukir

Separuh jalan pernah dilewati


Kala itu ku tak menyangka
Meski kecewa membekas di hati
Terbuka ruang untuk cinta yang lain

Kala itu api amarah masih berkobar


Tak sudi melepasmu
Kau yang merasa tak bersalah
Kini ku harus meninggalkanmu

Sampai akhirnya ku,


Sudah terbiasa akan ketiadaanmu
Sehingga kehadiranmu
Tak lagi dibutuhkan
Keluh-kesah

1. Dhia Rana N.
2. Hugo Sulaiman S.
3. Nazira Abyan H.
4. Rafifah Najla A.
5. Shafwa Aishah R.

Ku jinjing tasku
Ke bangunan krem itu

Berlari sambil mengeluh


Sembari mengelap peluh

Memburu sang harapan


Bersama teman-teman seperjuangan

Dihadang oleh tugas sang guru


Yang kami kerjakan dengan terburu-buru

Walau badanku lesu


Dan ku hanya bisa membisu

Ku tau ini akan berlalu


Karena mereka akan selalu membantu

Berkali-kali ku menyerah
Tapi ku ingat perkataan sang baret merah

“wahai para penerus bangsa,


Jadilah generasi yang haus akan cita-cita”

Hari dimulai gelap gulita


Kembali pun serasa tutup mata

Jangan merasa menderita


Jadikan ini sebagai cerita
tema: ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah
Oleh:
Nasywaa Tiara, Nazira Aydin, Jovina Nareswari, Najmi Anasya, Marshella Rahma, M
Rafi Mularoka P
X MIPA 3
Makanan Orang Besar

Indonesia negara khatulistiwa


kaya akan suku, kaya akan budaya
hasil tambang melimpah
menambah rasa cinta pada negeri

dilihat ombak menyapu pantai


burung-burung bernyanyi
rumput-rumput bergoyang
dilihat pulau seluas langit memandang
inilah indonesiaku

tampaknya semakin kemari, ada yang meresahkan


ibu pertiwi tengah bersedih
bersusah payah hatinya
melihat indonesia dirusak oleh orang tak bertanggung jawab

dilihatnya keadaan jalan-jalan sekitar


hiruk pikuk tak beraturan
orang kecil dijalanan minum keringat
orang besar di mobil makan pangkat

sejengkal tanah dipajak


Tersisa duka larah
Orang-orang kecil kau injak
Harus dengan apa lagi kami meminta

Uang rakyat habis dimakan para tikus kantor


Sda melimpah, imporpun bertambah
Gedung-gedung dibangun
Hutang negara malah bertambah
Mau jadi apa lagi negeri ini
Wakil rakyat tak mendengar suara kami
Bagaikan angin yang berhembus
Lewat begitu saja tanpa meninggalkan jejak

Kami tak butuh kepintaranmu


Kami tak butuh jabatanmu
Tapi yang kami butuhkan secuil nasi
Untuk hidup layak kami

Negeri ini tak butuh lagi orang pintar


Tapi yang kami butuhkan orang jujur
Pembawa maju bangsa
Menjadikan negeri mercusuar dunia

Kami ingin merasakan ibu pertiwi kembali tersenyum


Cita-cita bangsa ada didepan mata
Gapailah setinggi langit
Jangan khawatir jatuh
Jikalau kau jatuh, kau jatuh diantara bintang-bintang
Nama: Shana, Jena, Nadien , Khalisha, Javan, Reza
Kelas: X MIPA-3
Tema: Kerusakan Alam

CEMAR LINGKUNGAN

Manusia tolonglah dengar,


tangisan pohon di hutan
Sadarkah kalian,
telah membunuh para penghidup bumi

Bumi ini milik kita,


bumi tidak pelit memberi
Namun mengapa kami manusia,
merasa tidak perlu membalas budi

Gunung-gunung menangis,
menahan sakitnya dikikis
Laut juga menangis
menahan sakitnya ditusuk

Di langit
Para birokrat berduduk selonjor
Sedang di Bumu
Rakyat merayap mengais rezeki

Lautan berubah coklat kehitaman


Tercemar limbah kemanusiaan
Kematian pun datang dengan tergesa-gesa

Tanah ini murni sejak jaman dahulu kala


Dipenuhi dengan kehidupan dalam balutan mahkota
Sekarang menjadi gersang dan berkehidupan

apakah kamu tahu, karena kita


ibu pertiwi sedang berjuang untuk bernafas
tapi kami belum menyadarinya
segera kita yang akan berjuang hanya untuk bernafas

Saya dulu bermain dekat sungai biru dekat rumah saya


itu seperti aliran kemurnian tanpa akhir
tapi sekarang diselimuti oleh plastik
tapi sekarang, aliran murni itu hanya ada di ingatanku

Mata melihat alam dihempaskan


Telinga mendengar tangisan-tangisan pohon di hutan
Namun sadarkah kita?
Tangan kita sendiri yang merusak dunia ini

Alam kita kini sudah rusak


Akibat manusia yang dibutakan harta
Alam kita yang dulu begitu indahnya
Apakah ada cara untuk mengembalikannya?
Kami
Karya: Salsabila Ardisa, Nayla Amira, M. Nezzar, Zydo Prima, Verrel Raditya, Azka
Hidayat (X MIPA 3)

Waktu demi waktu


Hanya mengejar dan mengejar
Siul demi siul
Hanya berlari dan berlari

Emosi adalah musuh terbesar kami


Malas dan sedih selalu didepan mata
Bagai buah yang dijatuhkan
Bagai kancil yang ditinggal kawanannya

Usaha adalah komitmen untuk maju


Kemauan untuk mencapai cita-cita
Gapailah bintangmu
Terbanglah setinggi langit

Impian yang telah direncanakan


Kami mengejar kenyataan
Demi melihat pelangi yang indah
Dengan burung-burung berwarna emas

Rencana bagai titik di depan mata


Yang perlahan semakin terlihat
Terlihat jelas dan bersinar terang
Bersinar terang dengan satu tujuan

Mendaki gunung yang agung


Bebatuan yang menjadi rintangan
Terik matahari yang menyengat
Berusaha menggapai namun terjatuh

Rasa ingin menancapkan bendera keberhasilan


Semangat kembali membara
Bagaikan bara yang dipanaskan
Panasnya mengalir ke seluruh tubuh

Jiwa dan raga bangkit kembali


Bagai burung yang tak pernah menyerah untuk terbang
Meski jatuh berkali-kali
Semangat tetap ada di hati

Bendera keberhasilan segera kami tancapkan


Keberhasilan segera di depan mata
Awan keberhasilan telah dekat
Hanya setetes langkah menuju keberhasilan

Meski rintangan menghadang


Kami takkan menyerah
Semangat kami dalam meraih cita-cita
Terus ada dalam diri kami
Kelas : X MIPA 3
Anggota : 1. Ananda Ari / 1
2. Naila Anindita Y. / 17
3. Putri Sarah W. S. / 22
4. Rafli Asyraf O. S. / 23
5. Sasikirana Dania P. /26
6. Shreshta Adyaksa H./ 27

Pulau kita
Buah karya penyair muda

Apakah kau ingat


Janji manis yang kita ucapkan
Janji yang tidak akan kita diingkarkan
Janji yang slalu terapung didalam benak

Kita ini bagaikan bulan di angkasa yang penuh bintang


Tak dapat dipisahkan mesti dihadang pegunungan
Semua telah kita lewatkan..
Tanpa terkecuali..

Masa - masa indah berlarian di pesisir pantai


Dimana hanya ada kita berdua
Bersama suara angin menghembus
Dan hentakan gelombang samudra

Kenangan - kenangan yang slalu mengalir di benakku ini


Segala bencana dan fenomena telah kami lewatkan

Sungguh Indahnya memori itu


Memori yang kita bangun bersama
Tapi semua itu pasti akan berakhir
Hanyalah waktu yang dapat menjawab

Kata-kata dari mulutmu membakar sumbu dalam diriku


dan kemudian, aku pun meledak
merobohkan semua yang kita bangun
mengeringkan sungai yang kita arungi
meletuskan gunung yang begitu damainya

langit menjadi kelabu


air menghitam
gemuruh petir mengguncangkan bumi
pulau kita yang begitu indah telah sirna
tapi tidak ada rasa bersalah dalam hatiku

Lihatlah apa yang tersisa


Hanya butiran kenangan menyiksa
Beribu senja yang kau buat penuh rasa
Hari-hari itu tak lebih dari sekedar rekayasa

Lalu senja tersebut menyajakkan kesepian


Tanpa hati kau meninggalkan aku sendirian
Potret mu yang dulu aku kagumi
Sekarang sudah tak berarti ditelan bumi

Bernostalgia terhadap kebohongan dan berharap kepada yang tidak mungkin


Disinlah aku mengutuk perbuatanmu
Dengarlah suara pulau yang lesap ini
Suara yang menggema ke angkasa

Tindakan ini sepenuhnya konsekuensiku


Aku si hamba penuh dusta dan penyesalan
Kebencian telah menutup penglihatanku
Memungut suaraku
Mengambil pendengaranku
Merenggut jiwaku dan meninggalkanku di neraka ini
Neraka yang dulu kita capai bersama sama
Neraka yang dulu kita katakan surga
dan Neraka yang telah membara ini

Mentari yang terbit tidaklah berhenti


Bangunan disekitarku tidak lagi berarti
Dibawah pohonlah aku bersandar
Menatap pulau ku yang mulai pudar
Hening, sunyi
Hanya terdengar suara burung kecil bernyanyi

Mengambil kuas, ku berdiri sendiri


Warna warni diatas bangunan ku beri
Pulau ini tidak akan sama
Tidak akan terdengar lagi tawa kita bersama
Waktu tidak akan kembali
Tapi ku akan melangkah ke depan tanpa memori yang ku sesali
Kelas : X MIPA 3
Anggota : 1. Audra Nadine K. / 2
2. Davina Azzahra A. / 5
3. Fadhil Rafi A. / 6
4. Farrel Rheza T. / 7
5. Nadine Alya P. / 16
6. Tiara Nafisa A. / 29

Lukisan Sang pencipta

Saat aku membuka mataku


Ku tak percaya bahwa itu nyata
Aku masih berpikir bahwa aku masih bermimpi
Tetapi aku sadar bahwa keindahan itu benar-benar ada di depanku

Keindahan dunia
Aku mempertaruhkan nyawa
Bertahan diri di atas gunung
Demi melihat keindahan alam
Keindahan ciptaan Tuhan

Andai aku bisa melayang di udara


Aku ingin menjadi sinarnya yang memelitakan malam
Dan sinarnya yang menemani siang

Ketika mataku terbuka


Matahari pun tersenyum mengintip jendela
Bunga-bunga menari menggodaku
Hingga kubuka tabir
Dan menghirup angin yang lembut
Esok Hari
Karya : Penyapa Mentari

Pernahkah kau memikirkan tentang esok hari?


Esok hari tanpa ada kata pasti
Keyakinan teguh akan perubahan

Apakah mentari terus memancarkan sinarnya?


Apakah bintang masih menampilkan pesonanya?

Apakah awan masih menangis?


Apakah bumi masih mengembuskan nafasnya?

Jauh disana berdirilah si hijau


Sendiri termenung dan bertanya
"Kemanakah teman-temanku?"
Nasib malang menanti dirinya

Tidakkah ia tahu? Sebentar lagi dirinya pun sirna

Air? Air kah itu?


Samar-samar namun pasti
Tolong katakan padaku,
Fatamorgana tidak memanipulasi mataku

Terbaring hewan tak bersalah


Bukan karena mereka tidur sementara
Tak bergerak tampaknya,
Mereka tidur untuk selamanya

Manusia bedebah tak tahu diri


Setelah mimpi buruk beruntun menimpa
"Salah siapa?!" katanya
Mahluk tabu tak ingin mengakui kesalahan

Mencari kambing hitam untuk dikorbankan


Apakah menyenangkan?
Melihat satu jiwa melayang
Berganti dengan besi baja yang bisu
Siapa lagi yang akan bersaksi?

Apakah ini yang kau inginkan?


Menikmati kopi panas pagi harimu
Ditemani mawar palsu
Tak akan pernah mati

(Akiela Halimadanti, Azka Belliza, Ikra Bhaktiananda, M. Rayyan Maulana, Nabila


Hasna, Najwan Haikal)
Perusak Dari Masa Lalu
Karya : Manusia Lampau

Seorang yang jenius


Berteriak sampai haus
Bahwa jerih payah dilampaui
Membawa berita baik

Musim mangga selanjutnya


Puji - puji didapatnya
Disebut penyelamat dunia
Pada setiap hati manusia

Karna jasanya
Semuanya dapar digenggam
Semuanya dalam satu ketukan
Serba instan

Musim ceri selanjutnya


Harapan ditentang fakta
Ekspektasi ditentang realita
Pembantu katanya
Perusak nyatanya

Tak ada yang menyangka


Tak ada yang disangka
Dampak merangkak luas
Perlahan menggerogoti otak
Lama - lama merusak kota

Manusia tak lagi sama


Dimodifikasi sempurna
Dan tanpa sadar
Takkan mau sadar

Tapi ini sudah keluar batas wajar


Bukan penyakit yang mudah pudar

Seorang yang jenius


Berteriak sampai haus
Di makamnya yang tertimbun aspal
Ia sangat menyesal
Akibat yang dibuatnya kini
Merusak bumi

Tapi ini diluar batas wajar


Bukan penyakit yang gampang pudar
Kecuali
Otak sehat bekerja sehat
Hidup tak berjarak

Berpegangan erat
Melepas penat
Duniaku duniamu
Ku harap kau setuju padaku
Bukan begitu?
(A. Vanesha Aji, Danendra Herdiansyah, M. Rezky Sofyan, Nabila Danastri, Neva
Dittya, Raniya Hananvy)
Derita Tanahku
Karya : Penyair Muda

Aku duduk termangu


Memandang bentang langit negeriku
Angin begitu halus membelaiku
Dingin sekujur tubuhku

Tanah Indonesia, indah katanya


Negeri elok amat kucinta
Walau rakyatnya beratus-ratus juta
Bersatu nusa, bangsa, dan bahasa

Cahaya redup lampu taman


Sayu-sayu dedaunan pohon rindang
Untuk sesaat, jiwaku merasa tenang
Seakan dipeluk nyaman

Namun angin berontak


Pohon-pohon menggila

Alam kecewa,
Mengamati tingkah manusia

Wahai pendiri negeri


Tidakkah engkau tahu?
Kini negeri kami
Sudah tidak seperti dulu

Aku dan kawanku mencari jawaban


Salah siapa negeriku hancur begini?
Etika dan moral hilang makna
Hanya sebatas kata saja

Berbusana jas rapi dan sepatu mengkilat


Melayani kamilah tugas mereka seharusnya
Namun, bagaikan tikus got yang membabi buta
Sepanjang hari menyantap uang rakyat

Hukum takkan lagi tajam keatas


Adil, tak memilah uang kertas

Anak-anak bangsa di pedalaman sana


Buku pelajaran saja tidak tersedia
Bukan bermaksud pesimis apalagi nelangsa
Namun, tidakkah wajar bila mereka gentar untuk bercita-cita?

Secarik kertas dipenuhi aksara untuk Indonesia


Berisikan doa dan harapan anak bangsa
Demi terciptanya Indonesia yang satu
Penuh keadilan dan kesejahteraan

(Allefka Naufal, Kalma Sadiya, Khalishah P. Amadea, M. Alif Ismady, Rasheesa


Maharani)
Pemimpin
Karya : manusia biasa

Pemimpin, engkau harus gagah


Engkaulah panutan kami
Laksamana pembimbing kami

Setiap hari kau tegaskan


Maka baiklah pribadi kami

Kau korbankan ragamu,


Juga pikiranmu
Untuk manusia yang kau pimpin
Tanpa lelah tak kenal waktu

Tak peduli sebobrok apa kami


Kau tetap sabar dalam membimbing kami
Membimbing kami agar menjadi manusia berbudi pekerti

Janganlah engkau ragu


Janganlah engkau putus asa
Kami hanyalah manusia lemah yang butuh kau
Sebagai otak dari raga yang kau pimpin ini

Jasamu selalu kami ukir


Dalam catatan hati kami
Dengan tinta yang tak pernah luntur
Melekat abadi selamanya

Tak peduli engkau dihina


Tak peduli engkau di caci maki
Kau tetap berdiri tegar
Bak pilar gedung cakrawala

Engkau sosok idola


Sosok yang menjadi contoh
Bagi kami yang memujamu
Bagi kami yang tak ada apa-apanya ini

Kau tak pernah buatku bosan akan sosokmu


Menginspirasi setiap pundi-pundi kehidupan kami

Dirimu lah pemimpin sejati


Pemimpin yang senantiasa mengayomi kami dirimu adalah sosok yang amanah
Dan bukan serakah

Kata-kata ini bukan semata terima kasih ku padamu


Tapi juga kekagumanku padamu,
Wahai pemimpinku

(Ananta Z. Dhanio, Fakhril Ramadhan, Kalia Najwa, Keitaro Wildan, Made Zanvika,
Rizki A. Muhammad)
Sang Pahlawan Perjuangan
Karya : Pengabdi Muda

Karenamu sang pahlawanku


Damai sudah negeri ini
Tanpa kerja rodi
Tanpa jeritan rakyat terluka

Kemarin kulihat
Negara ini merdeka
Bukan oleh seribu pemuda pintar tapi peragu
Tapi cukup oleh segelintir pemuda pemberani

Pagi ini kulihat


Ternyata negeri ini punya seribu pemuda cerdas tapi tak peduli
Ah.. ternyata
Indonesiaku cuma perlu segelintir pemuda yang punya empati

Siang ini kulihat


Ternyata negeri ini tidak dibangun oleh seribu pemuda dengan sederet gelar
Tapi cuma asik dalam kesendirian menikmati kesuksesan
Bangsaku dibangun oleh segelintir pemuda yang mau berbuat

Sore ini kulihat


Bukan seribu pemuda
Kata Bung Karno dia cuma perlu satu
Untuk mengguncang dunia

Malam ini kulihat


Bukan seribu pemuda pemakai narkoba
Tapi segelintir pemuda beriman dan berilmu tinggi
Yang mengharumkan nama bangsa

Esok pagi kelak kulihat


Sang Merah Putih di barisan bangsa-bangsa ternama
Bukan oleh seribu pemuda manja yang cuma bisa mengeluh
Tapi justru oleh segelintir pemuda tangguh

Kuucapkan terima kasih


Untuk setiap doa
Dan setiap hitam terbang ke langit
Doa yang tiada henti-hentinya kalian tasbih
Untuk kami, Indonesia datang

Kuucapkan terima kasih


Tanah yang kami injak
Air yang kami minum
Adalah darah dan nyawa
Yang dulu melayang

Kuucapkan terima kasih


Sekali lagi, kuucapkan terima kasih
Untuk kalian yang sekarang sudah di surga
Sang Pahlawanku
(Kayra Safitri, M. Farrel Danendra, M. Hifzi Bahwal, Nadine Khansa, Nicholas Ilham,
Sayyid Sabil Pasha)
Pesan Untukmu
Karya : Perindu Malam

Selamat pagi, Kasih


Apa kabarmu?
Di sini ku masih menunggu

Rasanya bagiku kau tak pernah pergi


Tak ada hari di mana kau tak di sini
Di tumpukan buku
Dan kopi bubuk favoritmu
Kaset tua
Serta radio lama itu

Tapi tetap
Kian hari kian lama
Rumah ini sekadar bangun
Barangmu sekadar kenangan
Waktu sekadar lewat

Telah lintas musim lalu


Dan semi kembali bertemu
Walau bagiku dingin ini terus membeku

Lalu tanpa sadar


Dewa siang pun pergi
Meninggalkanku sendiri
Kegelapan menyelimuti
Rasa hampa
Sudah biasa

Lalu dibalik bukit ia pun terbit


Menemani di antara bintang
Terangi langit sejernih jiwa
Jiwa si dewi malam

Bergulir lagi bergulir


Sepi ini jalan tak berakhir
Dan sejuta kilo telah kutempuh
Dengan sakit yang kutahan
Darah dan nanah di kaki
Kunang-kunang kehausan

Masih tak bisa kulepas


Yang telah dan
Yang diingat
Karena tahun yang kita punya
Meninggal kenang dan waktu sia

Harapku putus
Tapi ku tak bisa berhenti
Hati ini rindu bertemu
Karena semua pun tahu
Ku belum berhenti mencintaimu
Mungkin memang
Ku harus berpaling
Tapi tak lantas dan enggan
Karena mana bisa aku
Bila kenangan ini
Nyawa terakhirmu

Jadi padamu di sisi sana


Tunggulah aku
Tunggu di mana tiada lagi sakit
Tiada lagi sepi
Tiada lagi kegelapan
Bagi kami
Berbaring di padang
Di tengah ilalang
Kututup mataku
Ditemani dua malaikat
Kubuka pintu
Dunia kekal menanti

(Ammat Rasyad, Arya Daniswara, Ghania Farah Aqila, M. Raffi Wahyu, Yasmin
Hanifah)
Siapa Aku?

Siapa aku?
Pertanyaan yang selalu aku tanyakan seumur hidupku
Pertanyaan yang mungkin tidak akan aku temukan
Tetapi selalu ku renungkan

Cahaya dari masa depanku perlahan meredup


Racun dari ambisiku mulai menyakitiku
Merasakan tajamnya kenyataan tiap hari
Berharap atas keajaiban dalam kenyataan

Aku tertawa lebih dari sebelumnya


Seseorang berkata “berlarilah”
Seorang lagi berkata “berhentilah”
Yang ini berkata “lihatlah hutan itu”, dan
Yang itu berkata “lihatlah bunga liar itu”

Bayanganku, aku tulis dan kusebut keraguan


Ia tetap muncul dibawah cahaya
Tetap menatapku seperti gelombang panas
Menghantui, dikala fajar hingga senja

Seseorang sepertiku tak layak untuk bahagia


Seseorang sepertiku tak layak untuk sebuah kebenaran
Seseorang sepertiku tak layak mendapatkan kasih sayang
Seseorang sepertiku tak layak untuk direnungkan

Berbagai kekuranganku yang terlihat


Tetapi hanya itu yang kumiliki
Banyak penyesalan yang menghampiri
Hingga membuatku terbiasa

Diriku yang aku ingat dan orang-orang tahu


Yang diciptakan dari bayangan masa lampau
Mungkin aku telah menipu diri sendiri
Tipuan yang masih kuyakini
Terkadang aku bersikap munafik
Ini adalah batasan yang ingin kusimpan
Diriku yang terkadang bersedih
Diriku yang selalu ada hingga kini

Kuingat indahnya langit malam


Yang bergelimang bintang
Dan bulan bersinar terang

Sinar, mimpi, dan senyuman


Biarkan aku hidupkan malam ini
Biarkan aku bersinar dengan caraku sendiri
Dengan diriku yang apa adanya

Kelompok 1:
- Alifya Muthia Zahra (2)
- Anisa Salsabila Prihandono (3)
- Mukti Subagja (18)
- Mya Naja Zahra (19)
- Nadira Putri Utami (23)
- Reyaska Marcel Adinata (31)
Pergi Tanpa Pamit

Kubuka mata
Menatap mentari, yang menyinari hari
Kudengar langkah kaki
Anak-anak yang sedang berlari

Tertawa gembira
Dengan wajah ceria
Belum kenal rasa duka
Hidup masih bahagia

Mereka penuh kasih sayang


Tak sedikitpun
Luput dari perhatian

Bahkan masalah pun


Dianggap angin lewat saja
Aku rasa Tuhan terlalu sempurna
buat rencana

Semuanya berkumpul lengkap di sisiku


Terlalu sempurna dirasa
Buatku sedikit curiga

Lalu, yang kupertanyakan datang juga


Secepat mata berkedip
Rampas bahagia
Sisakan lara

Pergi dengan pamit yang tak disadari


Meninggalkan kenangan yang tak terulang lagi
Beberapa hal masih kuingat jelas
Menarik kembali diriku dari kenyataan yang keras

Setidaknya kami bersama


Walau diliputi rasa duka
Berpura.- pura tertawa
Sedangkan hati masih hambar terasa

Setidaknya kami bersama


Lewati berbagai peristiwa
Belajar menerima dengan lapang dada
Hingga waktu meredakan rasa
Kini kami tetap bersama
Bedanya, kami bisa ikhlas tertawa
Kami bisa menerima segalanya
Dan bedanya, kami sudah bahagia

Kelompok 2

• Ing Wening Prasetijo (10)


• Marchia Pradnya Zanah (14)
• Muhammad Hafizh Hasyim (16)
• Nabiel Azka Ramarkan (21)
• Nabil Syauki Iqbal (22)
• Naila Hasna Sasikirana (25)
TOPENG IBU PERTIWI

Demokrasi?

Apa itu Demokrasi?

Apa arti sesungguhnya dari kata Demokrasi?

Kata mereka, rakyatlah yang memegang kendali,


Kata mereka rakyatlah yang didengar.
Namun, apakah benar, suara kami terdengar sampai jauh disana?

Hak kami untuk bersuara,


Hak kami tuk mengubah,
Akan tetapi, benarkah suara kami di dengar?

Nyatanya tidak.

Nyatanya, mereka
egois, Mereka tak
peduli, Mereka serakah.

Suara kami tak mereka hiraukan,


Suara kami mereka pendam.

Suara kami mereka bungkam.

Dan ku kan berkata.

Bahwa suara mu lah yang terdengar di dunia.

Ibu pertiwi tunduk pada kata kata mu.


Merah putih mengikuti perintah mu.
Tanah air takluk kepada syair-syair mu.

Tapi apa daya kami yang dibawah,


Yang kata kalian memiliki hak.
Apa daya kami yang kalian bungkam dari dunia,
Yang kalian diamkan, tak dihiraukan.
Benarkah ini demokrasi?

Bila ini demokrasi, Ku


tak mau mengikuti.
Dan ku tahu ini bukanlah demokrasi.

Dan ini, tak akan kuterima.

Hitam, kelam, suram,


Takkah kau geram?
Kehancuran dan kekacuan sejauh pandangan mata.
Adalah apa yang kan terlihat.

Apabila topeng sang pertiwi runtuh.

Syair-syair kebohongan, kebodohan.

Dinyanyikan, menggema keseluruh penjuru tanah air.

Dan Janji serta panji, terukir.


Bukan di atas batu, namun pasir.

Namun, kalian tak melihat semua ini


Kalian tak melihat wajah asli sang pertiwi.
Karena kalian telah dibutakan oleh ilusi demokrasi
Sekarang, kita semua telah tahu.

Muka asli Ibu Pertiwi di bawah topeng demokrasi.

Sekarang, kalian sadar betapa butanya kalian


Terhadap sekitar kalian.

Betapa banyak untaian kebohongan.

Yang telah kita dengar dari mereka yang diatas.

Dan walau saat ini masih bisa kita hidup dalam penyangkalan, Berapa
lama lagi sampai kita berani mengakui realita kondisi negara kita ini?

Berapa lama lagi kita akan diam

Berapa lama lagi kita harus menunggu?

Sementara kebebasan kita diiris sedikit demi sedikit atas nama hukum yang tidak
adil?
Berapa lama lagi kita harus memalingkan muka

Dari kebenaran yang ada di depan kita wahai anak bangsa?

Sekali lagi, berapa lama lagi kalian harus menunggu,


Menunggu untuk akhirnya membuka mata,
Membuka telinga dan menerima pahit kenyataan?

Dan bila waktu itu datang, apa yang akan kalian lakukan?

Kelompok 3
• Erlangga
• Karisa
• Eca
• Syifa
• Rakha
HARAPAN SEMU

Dari tubuh puisi kami berucap


Melukis segala kekacauan
Datang para manusia berdasi
Melabuhkan senyuman di televisi

Turun dengan selimut


Dari kuda berkaki merah
Dituntun bak para tetua
Menunjukkan senyum tanpa henti
Hingga tak tampak gigi taring

Bernyanyi tiada henti


Memasang fondasi untuk negeri
Gagah berani punya solusi
Pikirnya sudah berhasil
Tikus-tikus pengais sampah

Merayap tanpa suara

Tak sadar dibuatnya para manusia


Tikus berpostur kapitalis Kelicikkan
yang tak kunjung sirna Duduk atas
kesejahteraan
Padahal wujudnyalah kehancuran

Saat itu kematian telah dimulai Hitam


hatinya
Keras tabiatnya Mengaku kepala
daerah Namun memperpecah
Mengaku wakil rakyat Namun
menindas rakyat
Inikah sang penyelamat itu?

Kepada ibu pertiwi Dari kami penerus


bangsa
Hitam sudah negeri ini

Dipenuhi tangan-tangan kotor si


pelacur angka Saling tikam merebut
mahkota

Kami bermimpi tentang hari-hari indah


Tentang hari kami
Menyematkan gemilang dalam dada
Menata mimpi-mimpi baru
Tapi mungkinkah semua itu?

Rajamu hanya bisa mendongeng


Bercuap indah tak pandang masa
Berkedok kepalsuan yang fana
Menutupi ketidaksempurnaan

Kami butuh negeri yang bisa


mendengar Dengan nurani merasa
Membaca suara-suara
Menyimak bahasa-bahasa

Kami tidak akan mati Dihadapanmu


kan kami unjuk bukti Langkah-
langkah luas di daratan ini
Menghunuskan pedang kami
Ke dalam jantung para penghancur
negeri

Keompok 4

- Aqila Maritsa R.
- Alifah Nur
- Felicia Ulima
- Muhammad Rasya F.
- Nafil Trisarjono
- Ramzy Izza
DERITA SANG RAKYAT JELATA

Jerih payah yang tidak berarti sama sekali


Keringat yang terbuang sia-sia
Kesana kemari mengais rezeki
Derita sang rakyat jelata

Anak raja bermandikan air susu


Menghambur-hamburkan harta
Buta akan sekitar
Sungguh tidak adil hidup ini

Seiring waktu meningkatnya orang dijalanan


Membawa suatu tempat penampung uang
Menempuh malam dan pagi
Menunggu harapan yang tak pasti

Harapan itu telah dimakan


Oleh para tikus besar
Yang dibutakan oleh kekuatan
Dan tutup mata dari keadilan

Pengemudi negara sembunyi tangan


Mengambil yang bukan haknya
Hamburkan saja pajak kami
Biar masyarakat kecil semakin gaduh

Ada seorang anak mengemis untuk makan


Tak mampu bertahan hidup
Kemana janji indah yang kau berikan
Ataukah itu hanya citra belaka?

Selimut berbanding kardus


Atap berbanding langit
Kekayaan yang membutakan mata
Kemiskinan yang membukakan mata
Si rakyat jelata bertanya
"Besok bagaimana kita makan?"
"Mau bayar dengan apa?"
"Kapan bisa berpendidikan?"

Si anak raja bertanya


"Besok mau makan apa?"
"Mau dibayar berapa?"
"Kapan saya berhenti belajar?"

Keangkuhan yang menciptakan dinding


Antara kesengsaraan dan kemewahan
Apakah ini keadilan sosial negara kita?
Apa hanya kesengsaraan belaka?

Kelompok 5

• Aurel Pranandhia S.
• Saskia Kirana A.
• Kayla Adyapratista S.
• Arkhan Muhammad S.D
• Kayla Adzka A. B.
• Haryo Singgih I. S.
Lentera Menuju Senja

Pergilah ke ujung samudra penuh badai,


Ia bilang,
Aku tersenyum walau berandai andai,
Untuk apa aku melanglang

Aku tetap berkelana


Membawa sebuah lentera harapan
Setidaknya berharap kau akan menemuiku disana
Di ujung samudra gelap berisi kecemasan sendiri penuh percakapan

Pergilah ke bagian hampa di angkasa,


Ia bilang,
Aku tetap tersenyum
Memegang erat lentera milikku

Melewati angkasa aku bertemu dia,


Sang bintang yang sedang tertawa miris
Ia bilang,
Yang kau tunggu takkan datang

Lentera yang mulai redup


Namun aku tetap bertanya pada sang bintang,
Mengapa,
Sang bintang memutuskan untuk diam

Pergilah ke puncak bukit tak berpenghuni


Ia berkata,
Aku tersenyum kecut dan bertanya
Mengapa berusaha membuatku berkelana

Aku bisa pergi sendiri,


Kau tak perlu bersusah payah
Gelagatmu sudah ketara
Robek saja kertas
sandiwara Aku sudah
sampai disini saja
Lenteraku sudah hampir sirna dibanding senja

Tapi kau memilih untuk berkata


Nyalakan lagi lenteramu
Aku akan menunggu
Di semua tujuan mu berkelana

Bodohnya gadis yang sarapan hanya dengan seonggok bualan


cinta, Lentera milikku,
Samar - samar mengeluarkan cahaya

Kita coba sekali lagi


Menyalakan lentera ini
selamanya ;

Kutunggu kau di puncak bukit tak


berpenghuni Diterjang badai kecemasan
Dan hanya ditemani cahaya
Dari lentera yang kian
meredup

Seperti biasanya kau tak datang


Sibuk menyalakan lentera milik yang
lain
Meninggalkan cahaya lenteraku yang perlahan
sirna Dan aku tersungkur dalam kebodohan
hati,

di puncak gunung tak berpenghuni,

Kelompok 6
• Rozan Amin(32),
• Syafiqo (34),
• Reiza Athiya (30),
• Ranggi Rembang (29),
• Raissa Rafa (27)
Hina

Ibu, Aku ingin istirahat


Namun ketika terbangun kekecewaan mendekap seluruh dinding tubuhku Bekas-bekas
kecupnya menggerayangi
Membuatku jengah untuk terlelap kembali

Ibu, aku akan kembali kabur kala subuh berkumandang


Dengan selimut putih masih membungkus sekujur diriku
Berjingkat-jingkat perlahan menuju perjalanan berliku-liku
Dengan menenteng malu dan noda yang tak akan hilang

Ibu, diriku tak luput dari tatapan menelisik Seolah ingin tahu apa yang terjadi tadi malam
hingga berisik
Aku kembali berjalan dengan langkah tertahan
Mencari diriku dan kehormatanku yang telah hilang perlahan

Ibu, jangan pikir aku tak butuh pertolongan


Kata minta tolong pernah sampai pada kerongkongan
Namun seketika pikiranku runyam akan diriku yang telah tak berdaya
Beserta seisi tubuhku yang sudah tak pernah dan tak ada harganya

Ibu, Orang-orang seakan enggan denganku Terus menerus menunjuk seraya menjauhiku
Yang bisa kulakukan hanya bersembunyi dan mencari uluran tangan
Ternyata, tak juga tersedia walaupun satu pelukan selamat datang

Ibu, Aku pergi menelusuri padatnya kota Ingin aku mencari secercah pembelaan
Kala aku dilempari cercaan dan cemoohan
Mereka pikir aku memang jalang yang tak merana

Ibu, mengapa kau memalingkan wajah?


Padahal badan anakmu seenaknya dijamah
Sedang aku sibuk menyelami rasa hina dan lelah
Tidak sedikitpun di dirimu terselip rasa marah

Ibu, seperti inikah sepatutnya menjadi wanita?


Diperbudak dengan beralasan cinta
Aku juga ingin punya cita-cita
Namun sekarang semua hidupku bahkan sudah disita

Ibu, kini aku penuh dengan dosa


Terhina dan terbuang dari gemerlap asa
Lenyap semua kehidupan yang dulu dipuja-puja
Sejak aku hanya menjadi pemuas nafsu belaka

Bu, Aku hilang dan tak ditemukan


Beserta dengan kehormatan milikku yang tak lagi bisa di kembalikan

oleh kelompok:
Nadira A. , Alma Putri , Hisaan R. , Aryo W. , Dandy R. , Demi N.
Sebatas Kenangan

Saat itu aku merasakan kehampaan


Hampaku yang sunyi layaknya angina
Ku merenung
Apakah persahabatan berakhir dengan penghianatan

Kau menghiburku disaat sedih


Disaat beban hidup terasa menindih
Kau taburkan canda disaat sedih
DIsaat rasa galu tiba berlebih

Tak pernah kukira kamu kan begini


Begitu tega dan mudahnya kamu khianati
Begitu mudahnya matamu buta sebab materi
Hingga kamu hancurkan persahabatan sejati

Kebaikanmu ternyata hanya sandiwara belaka


Senyum tulusmu ternyata hanya sebuah topeng
Diam-diam kau mempermainkan diriku layaknya seseorang yang bodoh
Tersenyum senang saat melihatku menderita

Semua hilang tak bersisa


Terhempas sebuah kekhianatan
Kenangan indah menghantui
Dalam menghadapi hari esok

Apalah arti semua ini


Hari hari yang telah kita lewati
Suka dan duka yang pernah kita hadapi

Kini langit penuh bintang


Namun semua serasa hilang
Memori kita saat bersenang senang
Hanya bisa ku kenang

Bagai duri dalam daging


Menusuk seluruh jiwaku
Kini ku mengerti
Saat nya tuk membuka lembaran baru dalam hidupku

Masih ingatkah kawan


Saat kita belum berpisah
Bersatu dan berpadu pada angan
Dunia serasa hanya milik kita

Cerah langit mudah berubah


Mendung datang mengiris hati
Yakin esok matahari kan terbit
Bersama persahabatan baru

Oleh:
Abitama Ramadhan, Alysa Audriani, Inayah Romzy, Gavril Dhiren, Khansa Archika, Raissa
Andaratri

Dosa Sang Mikail

Jatuh lututku di panasnya Nevada


Moncong pistol mengecup kepalaku
Kulihat suatu berwujud seperti sebuah kota
Ada cahaya di ujungnya, Paris namanya

Kulihat itu sebelum semuanya gelap


Muncul bayangan kehidupanku dalam sekejap
Di tanah yang fana dimana
Sebagai "Pembawa Keajaiban" ku dikenal

Apa yang kulakukan adalah hal yang hina,


Mereka bilang
Benar kata mereka
Pada akhirnya aku hilang

Aku bisa membuat orang-orang


Merasakan apapun yang mereka mau
Mungkin mereka ingin menjadi senang
Apalah yang mereka mau

Itu semua hanyalah sementara


Ada efek lain yang tidak menyenangkan
Mungkin malah menegangkan
Bagai buronan yang dicari tentara

Aku yang membawa mereka keajaiban


Tetapi keajaiban yang kubawa
Berasal dari mereka yang berwibawa
Mereka yang memberikanku beban

Aku tidak dipaksa


Tapi hanya tidak menyangka
Bagaimana aku bisa sampai disini
Ada yang tidak benar, kuyakini

Berkerja dengan mereka,


Menjadi Mikail mereka,
Menurunkan hujan ke mereka yang di bawah,
Dalam proses tidak boleh ada yang salah

Kesalahanku membawaku kesini


Dibakar oleh panas
Tempat selanjutnya akan lebih panas
Tidak ku sia-siakan waktuku disini

Kuucap segala macam pujaan


Bagi Ia yang berada di atas sana
Di atas menembus awan, berharap
Berharap untuk dituntun di lembah kekelaman

Harusnya sudah kulakukan dari dulu


Untuk mengurangi rasa pilu
Dari dosa-dosa
Yang harus kutebus

Oleh:
Adinda Rahmania A., Muhammad Nadhif Al- Ghifari, Nadya Argyanti M., R.A. Imtam
Chaniani S., Ratnamaya Keisha R.

Senja Terakhir

Aku merenung dibawah bayang lembayung senja


Menghempas tubuh dihampar permadani hijau nan selesa
Meratapi nasib kesendirian yang penuh lara
Dibalik keramaian dunia penuh cengkrama

Aku diam tak bersuara


Tapi bukan berarti aku tak punya
Lisanku dirantai omongan mereka
Yang terus melolong memekak telinga

Aku berkelana mengarungi masa tak berdosa


Rengkuhan fana sosok kelambu bagi yang nyata
Membenang sambung bagi pelangi kecil mewarna
Menyelam kisah untuk lalu yang bermakna

Akulah kambing hitam yang tersiksa


Terbelenggu dalam perangkap ancaman jiwa
Tak henti kuberlari dari kenyataan yang hampa
Sebatas tarikan nafaslah yang terus kuandalkan

Buta, jiwa ini akan damai


Buta, hati ini akan cinta
Rindu, raga ini akan hangat
Senja, tak ada lagi tenang yang tercipta
Kegelisahan ini menjadi suatu ringkasan
Angan melayang terbayang mata terpejam
Sebuah teror pikiran ini renungkan
Nasib tiap insan tanpa kebebasan

Bila sinar datang dan gelap memudar


Serasa lemah tanpa bisa tegar
Bila putih mencekah dan hitam melayu
Seperti hilang tempatku tuju

Kemana arah sebuah arus


Terbawalah aku ikut terhembus
Memendam dengki pada siapa yang tiada pahitnya
Kelam dalam tiap detak jantungku begitu terasa

Tanah berpijak tandai langkah


Awan gelap penuhi hati yang sendu
Entah apa yang kan menjadi alasan
Bagi kaki ini tuk terus melaju

Kalbu berteriak merintih kesakitan


Hati berpeluh mencari kedamaian
Bila gelap kan menerkamku erat
Kan ku raih cahaya menembusnya

Selanjutnya kini telah kutetapkan


Pelangi kan muncul kala tinggalkan kenyataan
Akhir sajak jiwa merintih kupersembahkan
Sebelum membuka pintu tanda kekekalan

Oleh:
Achmad Raihan Lucky Athallah, Audira Nabila Raditianti, Caitlyn Calista Tiarazeva Arianto,
Farras Abyan Tejakusuma, Hasna Ghassani Nafla Perkasa, Pijar Sang Matahari Lubis

Dibawah Bayang Bayang Sang Iblis

Engkau adalah seorang iblis


yang kukenal dengan nama
‘papa’

Aku yang kecil pernah mendambakan


tanganmu mengelus pipiku
tapi yang kudapatkan hanya
tamparan keras darimu
Aku yang kecil menginginkan
tangan besarmu
menggenggam tangan kecilku
membawaku pergi menikmati senja
tapi tak juga kudapat

Justru tangan besarmulah


yang menghukumku dengan
sebilah rotan
dan sebuah ikat pinggang kulit
hanya karena kau tak suka
dengan sikapku yang melindungi mama

Ketika aku melihat teman-teman


dan ayah mereka
melihat kepala mereka yang diusap lembut
aku hanya bisa terdiam miris
aku takkan bisa mendapatkannya

Apa salah untuk mengharapkan


kasih sayang darinya?
apa salah untuk sekedar menginginkan
kehangatan peluknya?
apa salah untuk merasakan
kasih sayangmu walau hanya sehari?
apa salah untuk mendambakan kehadiranmu
dirumah?

Hatiku sakit
selama ini aku menyayanginya
selama ini aku ingin
mendengar tawanya
ketika kami bercanda
aku hanya ingin keluarga
apa salah?

Tuhan, dosa apa yang


kami perbuat hingga ia
begitu membenci kami?
bukankah papa seharusnya adalah
sosok terhebat dan anugerah
dari Tuhan untukku?
bukankan papa seharusnya
menjadi pelindungku?
bukankan papa seharusnya
membantuku saat aku jatuh
hilang harapan?
Ada sesak didada yang
tak bisa kutahan saat
rindu tak terbalaskan
ingin rasanya dicintai papa
walau hanya sebentar

Aku hanya ingin


membuatmu bahagia, pa
meski yang terjadi
tak selalu sejalan dengan
apa yang aku harapkan

Oleh:
alma indira s.p, keyza larasati k., m. dhirham, nafisa sivira a., rio sidqi, sarah shafiqa l.
Kamu dan Pergi
Ku melihat dirimu berjalan sendirian
Entah kemana arah yang kau tuju
Tapi berhasil membuat mataku mengikutimu
Semakin menjauh, semakin menghilang dari pandanganku
Ingin ku bertanya
Mau kemana dirimu?
Kemarilah….
Aku ingin bicara

Kamu adalah seseorang yang selalu aku cari


Namun kemanakah dirimu pergi?
Maaf, memang bukan hak ku menanyakan itu
Aku hanya khawatir
Rindu rasanya ku melihat dirimu
Walaupun aku bukan siapa-siapa

Dirimu seperti hujan


Kadang ada
Dan kadang tidak
Mengapa dirimu tak seperti awan
Selalu ada siang maupun malam
Agar aku terus bisa bersamamu

Kamu dan aku


Bagaikan kutub magnet yang sama
Sekuat apapun aku mendekat
Dirimu akan menolak

Tidak melebih – lebihkan


Jika aku bilang
Isak tangisanku padamu
Bisa mencapai ujung samudera

Memang kata orang aku kuat


Tapi semua orang pasti punya kelemahan
Karna satu satunya kelemahan ku
hanya jika ku di dekatmu

Kehadiranmu di hidupku
Sangat penting..
Bahkan jika kamu mau tau
Kehadiranmu lebih penting dari diriku sendiri

Tak bisa aku menahan rasa rindu yang begitu berat


bantu aku untuk tidak lagi menahannya
Karna ku tak bisa merindukanmu sendiri
Temani ku jika memang kamu mau…

Maaf aku terlalu banyak meminta


Aku sadar kalau aku tidak penting bagimu
Tapi aku pikir…
Tidak susah, kamu memberikan senyumman manismu itu

Terima kasih kamu sudah hadir di duniaku


Walaupun kita tak saling memiliki
Tapi setidaknya
Aku tau kalau bidadari itu nyata

Andi Kintanya, Carissa Rafa, Favian L.Tobing, Nayla Hanifa, Rangga Balang
KELUARGA

Di sini ada cinta Di sini


ada kasih sayang Di sini
ada tawa bahagia Di
sini pula ada air mata

Tempatku belajar menderita


Memperhatikan suasana
bercerita Tak pernah paham
tentang rindu Tapi di sini
hidupku bukan sendu

Kekuatan di saat aku rapuh


Dorongan di saat aku ingin berhenti
Tempat aku pulang saat lusuh Dan
tempatku kembali pulang

Berada disini aku tumbuh Berada disini aku tegar


Berada disini aku percaya Bahwa keluarga adalah harta
yang tak ternilai harganya

Meski lelah, kalian tetap tersenyum Meski


aku sering berbuat salah Kalian tetap
memberikan senyum dan cinta Dan tidak
pernah sedikit pun meminta balasan

Kemudian aku berpaling Kepada


riuhnya kehidupan Bahwa
penyesalan akan datang Tapi aku
tak tau apa aku bisa pulang

Tersesat di banyak rintangan Dimana


aku tenggelam dalam kesulitan Dan
merasakan pahitnya kehidupan

Maka kini aku kembali Apa


kalian masih mau menerima?

Keluarga adalah anugerah dalam


hidupku Harapan dalam impianku Kini
aku kembali kedalam pelukanmu

Di sini ada cinta Di sini


ada kasih sayang Di sini
ada tawa bahagia Di sini
pula ada air mata Tapi
yang tak bisa aku lupa Di
sini aku selalu diterima

Adeva Bima, Muhammad Diaz, Haiqa Matahati, Keisha Ayu, Tania Annisa.
Hidup Itu Perubahan
Katanya hidup itu seperti
mengendarai sepeda. Kita harus
terus bergerak untuk tetap menjaga
keseimbangan agar tidak terjatuh.

Hidup itu berlalu Waktu juga


berlalu Jika saatnya tiba sedih
akan menjadi tawa Perih akan
menjadi cerita Kenangan akan
menjadi buruk

Tidak ada yang abadi Baik bahagia maupun luka Suatu saat kita
akan tiba di titik menertawakan rasa yang dulu sakit Atau mengisi
rasa yang dulu indah

Hidup harus terus berlanjut. Tidak peduli seberapa


menyakitkan atau membahagiakan, biar waktu yg menjadi
obat.

Ketika kamu mendapatkan sedikit, kamu


menginginkan lebih Ketika kamu
mendapatkan lebih, kamu menginginkan
yang lebih banyak lagi

Pandang keluar sana Disana, masih banyak yang jauh lebih


menderita dari dirimu Lihat mereka, dan contohlah mereka
Selalu bersyukur dengan semua yang ada

Tidak semua yang kita inginkan


harus terjadi seketika Kita tidak
hidup di dunia dongeng

Semua tantangan yang akan kita lewati akan mudah karena


pengalaman membuat kita percaya diri Berani berjalan
Berani bertanggung jawab

Kehidupan kita terdiri dari banyak


pilihan Jangan larut dalam penyesalan
Perubahan itu pasti datang pelan-pelan
Jangan terlalu memaksa untuk sebuah keadaan
Jalani saja dengan penuh kepasrahan Menapaki
kehidupan selangkah demi selangkah Sambil
bersyukur mengharap sebuah berkah
Amalia Rahmani, Astari Fathiya, Aydin
Aryasatya, Ilham Aulia, Zahra Muriel
HEWAN
LIAR
Bahkan baju baja takan bisa
menghadang Sayatan dosa yang kau
perbuat Linangan sendu kian di
tuang Sang putri tenggelam dalam
banjir kehinaan

Sanggupkah engkau
bayangkan Harta sakral bagi
seorang perempuan Direnggut
paksa di tengah jalan Hanya
satu jari yang dibutuhkan Oleh
orang2 gila kerasukan

Meraung raung penuh


derita Masa depan depan
mata Mama papa ku tak
lagi berharga

Hatinya sehitam aspalt yg jadi


saksi Kejadian semalam yang
tak akan mati Kan kian
menghantui mimpi sang putri
Yang mahkotanya dihempas
pergi

Wahai engkau para


pelaku Tak punyakah
kau seorang ibu Wanita
yang punya harga diri
Sama seperti yang kau
lukai

Tak sadarkah kau akan dosa


Amat besar dilakukan tanpa
sesal Di dunia bukannya kemas
bekal Mau kau tanggung pakai
apa itu dosa?

Tak peduli kah kau akan sekelilingmu


Keindahan alam yang mempesona
Rahmat tuhan yang bisa dinikmati
kapan saja Kenapa masih renggut hak
manusia lainnya?
Begitu tega kau bantai
mahkota putri Yang harusnya
kau lindungi Mahkota sang
penampung Penampung para
penerus bangsa

Tak
habis
pikir
Apa yang terlintas di
anganmu itu

Dimanakah letak hati


nuranimu Dimanakah
akal sehatmu Tak ada
rasa apapun Saat melihat
mata kosong putri

Karena telah kau petik cahaya dalam


matanya

Masih kau tersenyum


setelahnya Merasa yang
tangguh perkasa Kita lihat
saja nanti Habis mati siapa
yang sengsara

Marva Ramelan, Ravenska Maulana, Najla Rizka, Razaan Rachbini, Kinara Anindhita
SUARA DARA

Aku dan kau


Dikisahkan dalam cerita kuno
Bahwa aku terbuat dari tulang rusukmu
Faktanya engkau yang terlahir dari perutku

Aku benci ketika seorang berkata


Pria itu superior, pejuang dan pemimpin
Wanita itu lebih rendah, penurut dan jarum
Anak laki suka biru
Dan anak perempuan suka nila

Engkau ada dan hadir di bumi ini karena keberadaanku


Demikian pula denganku
Kita ada karena adanya hubungan yang harmoni diantara
kita berdua tanpa ada pihak yang menindas atau tertindas

Sifat maskulinmu adalah bentuk perlindunganmu kepadaku


Sedangkan sifat femininku adalah perwujudan rasa
sayangku pada diriku sendiri

Kami para wanita yang bertahan


Ditengah-tengah binasa
Menyerukan kelayakan
Tanpa olok-olok rakyat

Perempuan kerap dianggap lemah kerap dileceh


Pendam derita dalam diam
Perempuan kerap mengatasinya dengan karya

Perempuan mampu rebut kesempatan bersiap dengan


luapan
Menolak paksaan perempuan membuat terobosan makin
berkiprah dan lincah

Dunia menegaskan bahwa engkaulah yang berhak


memimpin
Faktanya tidak aku, tidak pula engkau yang dominan
Tetapi kita berdualah yang harus diutamakan

Kalau engkau adalah sang raja dimuka bumi ini


Maka aku adalah sang ratu pembuat kehidupan di muka
bumi ini

Dengarlah aksara ini berucap


Tentang segala perasaan
Yang mewakilkan suara dara
Suara yang selama ini bisu
Perempuan bisa.

Jasmine Idris, Karina Dyah, Gadis Anatolia, Riza Arya, Darian Adiputra
Yang Ku Kagumi
Aku terkagum,
pada sorot matanya
yang tak pandai
untuk mendua

Aku terkagum,
pada tutur katanya
yang tak biasa
untuk mendusta

Aku terkagum,
pada tiap langkahnya
yang tak bisa jauh
dari usaha

Suatu ketika aku pernah menyatakan,


bahwa aku tidak ingin lagi
membuka hati untuk seseorang
selain dia

Aku juga tidak ingin lagi


mencari kebahagiaan yang baru
karena segalanya sudah ada
pada dirinya

Tetapi sudahlah, hatinya sudah terlalu dingin


bahkan beku
Untuk kembali terjatuh kepadamu

Sudahlah, ia tidak akan menyapamu kembali


Hidupnya sudah dipenuhi dengan bahagia
yang ia cari selama ini

Sudahlah, sebaiknya engkau segera berhenti berharap


Kau tidak lagi berarti untuknya
Kejarlah bahagiamu
Yang baru

Sudahlah, menangis saja sepuasnya


Lalu berlari kencang setelahnya
Jika ia bisa bahagia tanpamu
Maka kau pun bisa

Walaupun butuh proses yang cukup kuat


untuk bisa meyakinkan diri
bahwa ada rencana yang lebih indah
setelah itu
Raissa Adelia, Naufal Harits, Gavin Muhammad, Afifah Khalishah, Daisy Aurelia
MONYET BERHATI SEMUT
Aku pikir

Manusia hanya hidup di satu dunia

Tapi saatku bangun

Kakiku memijak 2 dunia berbeda

Dunia pertama

Hidup bagai dongeng

Keramahan dan kepedulian

Bertebaran bagai daun gugur

Namunku sadar

Aku berbicara pada topeng

Topeng pesta nan indah

Dilengkapi senyuman hangat

Di balik itu

Aku melihat suatu sosok

Dendam menguasai mata

Mulut siap menikam

Mangsanya tak berdaya

Telinganya tuli

Jika dengar kebaikan orang

Kulitnya hanya merasakan

Kesengsaraan orang lain

Tangan bersimbah darah


Dengan darah pedih

Dari mangsa

Yang memlirih lara

Harti berbunga bunga

Seperti bunga musim semi

Saat duka

Menguasai hati orang lain

Sedangkan di dunia kedua

Makhluk buruk rupa memimpin dunia

Kejahatan merupakan makanan pokok mereka

Langin digelapi

Oleh hati yang bengis

Banyak orang tak tahu

Bahwa makhluk tersebut

Awalnya makhluk yang elok parasnya

Dan senang bermain dengan manusia

Namun biadab datang

Melukai makhluk

Dengan penghinaan

Dan kutukan busuk

Lewat luka-luka

Terbentuk tanah sakit hati


Tumbuh tunas dendam

Yang menjulang menjadi murka

Meski diapit kedua dunia

Kukuatkan hati hadapi kekejian

Kuisi simpati hatiku

Dan hati lain

Edelyn Gloria, Faris Zaidan, Oscardion, Rashamalika, Netanya Mahadewi


datang suatu senja ( rima)
hampa akan warna
hanya kelabu yang ada
seakan angkasa sedang berduka

inikah pertanda hujan


kapan engkau datang
karena sang mentari
telah hilang dari pandang

gumpalan awan berkuasa


di atas sana mereka berdansa
gemuruh terdengar memecah langit
tampakkan kilat terlihat gesit

satu persatu
terasa tetes air menikam
kelam dan sendu
namun gelisah sedikit meredam

gemericik mulai terdengar


sunyikan ingar bingar
turun bak air mata
mengubah suasana cita

rintik jatuh tanpa jeda


angin datang menerpa
membuat air menari
bersatu merangkai melodi

tiba malam datang purnama


dingin hujan menusuk sukma
rintik menghujam lama
pikirku hanyut terbawa irama

deras, pelan, berhenti


ritme hujan seolah menerka hati
andaikan ia terus mengiringi
lelapnya diri ini

hujan
terus alunkan nada
kau tenangkan jiwa
kau larutkan duka
hujan, tak disangka
menyimpan banyak rahasia
temani aku saat gembira
hibur diriku dalam lara

20:06 chitra Kelompok : Chitra, Zahra, Shafira , Nasywa, Reza


20:06 chitra retak
karya penyair muda

dasar keparat, aku mencintaimu dengan sangat


engkau pergi tanpa peduli bahwa hatiku tak ingin ditinggal sendiri
kamu tak menetap, tapi kamu benar benar meninggalkan retak

katanya, cinta itu nyata, tapi mengapa kamu begitu fana?


ingin rasanya aku kembali ke alam mimpi
karena di situ satu satu nya tempat dimana kita bersatu

kenapa kamu mendekat jika tak mau menetap?


cinta mu ku sorak, cinta ku kau jarak
aku ingin mencintai mu tapi rasanya seperti mengoyak sanubari

tetes air kesedihan jatuh dari mataku


sedih sedih rasanya
semua kesedihan ku tertuang dalam dupa sendu

tuhan ku mohon
sirnakan rasa retak di hatiku
rasa retak yang membuat hatiku berkecamuk

kau menaklukan hatiku seperti sang rimba menaklukan hutan

namun pada akhirnya aku patah


tak seperti ranting pohon yang tumbuh , perasaan ini terus menetap di cangkang yang retak
ini

niskala

cinta...
coba kau katakan apa itu cinta
seorang pujangga pun tidak akan bisa
sebab cinta itu niskala!

berpendar di ruang hampa


cinta itu niskala
tidak ada gunanya engkau berkorban untuk sesuatu yang tidak ada, bukan?

untuk apa kau mengerahkan segalanya


demi sesuatu yang tak pasti wujudnya
untuk apa kau membiarkan
hatimu dikoyak demi hal abstrak yang tak patut diperjuangkan

sejatinya, cinta itu niskala


tak selalu membuat bahagia
tak selamanya menyenangkan hati
dan tak mempunyai standar yang pasti

kala kau mencinta


bisa jadi kau diterbangkan ke awan di detik pertama
tetapi kemudian dihempaskan ke bumi pada detik selanjutnya
sungguh, tak ada yang dapat menerka

karenanya
jangan biarkan dirimu terbawa
oleh suatu hal fana
yang dinamakan cinta

lagipula mencinta itu bukan harus


namun banyak yang terbawa arus
hingga mendengarkan omongan yang tak serius
setelah itu hanya tersisa harapan yang pupus

lebih baik sendiri


daripada disakiti berulang kali
dan aku menyadari,
asmara yang hilang tak patut ditangisi
pun tiada yang pantas 'tuk mendapatkan hati ini

cinta itu niskala


tak sepantasnya dijadikan prioritas utama
karena tak ada gunanya berjuang sekuat tenaga
hanya untuk mengais afeksi yang tak nyata

laksana menampung tetes hujan


dalam satu tangan
cinta ialah hal yang sia sia
sebab cinta itu niskala
Jawaban Terindah
Kepadamu yang terindah
Sang pembawa kebahagiaan
Laksana secawan air
Pelepas dahaga musyafir

Kutatap matamu yang menawan


Memantul seberkas cerah
Terlihat ketulusan di sana
Kurengguh manis senyuman itu

Dunia mungkin telah membenciku


Zaman mungkin terus menghardikku
Orang-orang mungkin terus menghinaku
Tapi kau selalu ada disisiku

Kau katakan padaku


Untuk selalu percaya
Tentang hakikat cinta
Bahwa ia tetap berkuasa

Tahukah kau?
Cintamu tak seperti bintang
Yang hanya bersinar di malam hari
Cintamu seperti sungai
Yang mengalir untukku selamanya

Apakah kau sadar?


Cintamu tak seperti bunga
Yang berhenti mekar kala musim berganti
Cintamu seperti udara
Yang membuatku hidup selamanya

Di saat hatiku mulai rapuh


Kau segarkan jiwaku yang layu
Teruntukmu ku ucapkan
Kata pujian dan terima kasih

Tak mampu lagi ku berucap


Bibirku telah tersumbat kagumku
Karenamu, kini aku tetap hidup
Berpikir dan menulis

Ku ingin sisa hidupku


Dihabiskan bersamamu
Ku ingin pula akhir hidupku
Ada di pelukanmu

Betapa banyak mimpi menghampiriku


Begitu banyak harapan kusampaikan
Hingga aku dipertemukan dengan dirimu
Jawaban terindah dari Tuhan untukku

Daffa Syahreza (09)


Nadya Hardianti (22)
Naura Arshamira (24)
Rafli P.D. (29)
Vajra Larasati (36)

suatu senja di metropolitan.

ketika waktu mulai memasuki malam,


rasa kegelisahan pun beranjak tuk menyelimuti para awam,
manik mata kadang terlelap,
dengan jiwa yang penuh harap.

cecunguk-cecunguk tua mulai berlarian,


lelah, letih melewati rintangan,
mungkinkah mereka selamat sampai tujuan?
entah,
yang terpenting kehadiran mereka di depan para pecinta.

sore selalu mengulang kenangan


tanpa terpikirkan sesungguhnya,
apa yang akan terjadi saat purnama datang sebentar lagi?
rasanya pembatas waktu terang menuju gelap terlalu singkat untuk mengakhiri.

tumpukan kertas itu menjadi saksi betapa banyak yang harus dilalui,
suara-suara serak tak bertuan memenuhi pikiran,
“kenapa tak kau selesaikan saja di tempat mu?”
mungkin, tetapi itu terlalu mudah untukmu, sayang.

sang pendosa kesayanganmu ini hampir saja mengangkat tangannya,


hampir menutup kedua matanya,
hampir!

tadinya harapanku putus melayang,


akankah aku bertahan?
tenanglah, sayang.
langkah kaki ini selalu menuju padamu,
benteng tinggi hanyalah halangan kecil.

euforia dunia gemerlap malam tidak memancingku memasukinya,


jiwaku yang lemah tidak tergoda, pastinya
beberapa jalan setapak pun memperlihatkan wujudnya,
tetapi ke arah yang berbeda.

sampai terkadang aku berpikir,


“jika kau datang atas nama cinta,
apakah kau akan pergi juga atas nama cinta?”
percayalah,
bayangan-bayangan tentang racun jingga selalu ada di benak pikiran,
yaitu wajahmu
maafkan telah membuat bulan lelap tidur di hatimu,
yang sekarang berdinding kelam dan kedinginan.

aku pasti akan kembali dalam satu purnama,


walaupun untuk waktu yang lama.
bukan untuk siapa
tapi untukku dan kamu.

selamat malam, maukah kau membukakan pintunya?


ketika bel berbunyi tiga kali,
agar aku bisa menyelesaikan kalimat yang belum diselesaikan,
sudah lama, [dinda ] ,
aku kembali.
Nurhalimah
Adinda peermatasari
Nadhifa eriana
Athar valdi
Danis rafi
Gibran al

Anda mungkin juga menyukai