Serat
CEBOLEK
Alih Aksara
Drs. S U D I B J O Z . H A D I S U T J I P T O
Alih Bahasa
T . W . K . H A D I S U P R A P T A , B.A.
Kata Pendahuluan 7
1. Dandanggula 9, 197
2. Asmaradana 12, 200
3. Pangkur 17, 208
4. Asmaradana 22, 215
5. Sinom 27, 221
6. Mijil 40, 238
7. Kinanti 50, 251
8. Mijil 57, 259
9. Dandanggula, Sarkara 61, 264
10. Asmaradana 66, 270
11. Sinom 71, 277
12. Kinanti 77, 287
13. Dandanggula 86, 299
14. Sinom 93, 309
15. Gambuh 99, 317
16. Dandanggula 102, 320
17. Asmaradana 110. 330
18. Pangkur 112, 332
19. Mijil 118, 339
20. Sinom 122, 344
21. Asmaradana 128, 351
22. Durma 131, 355
23. Asmaradana 134, 359
24. Dandanggula 140, 366
25. Sinom 146, 373
26. Pangkur 153, 382
27. Mijil 158, 388
28. Dandanggula 163, 394
29. Asmaradana 171, 405
30. Sinom 176, 411
31. Dandanggula 186, 423
PNRI
PNRI
KATA PENGANTAR
Jakarta, 1981
PNRI
.
PNRI
KATA PENDAHULUAN
PNRI
PNRI
I. PUPUH (= kelompok puisi lagu) DANDANGGULA
1. Pukul tujuh pagi, hari Jum'at Legi, mangsa (= perhitung-
an musim Jawa) ke Tujuh bertepatan dengan wuku Galungan,
bulan Rabi'ul-awal, tanggal duapupuh tujuh, tahun Je menu-
rut sengkalan (= kalimat yang menunjukkan angka tahun Saka
Jawa) Jawa, Catur jalma manggaleng rat (= empat orang memim-
pin dunia: berarti angka tahun 4 - 1 - 8 - 1 atau tahun Saka 1814
yang bersamaan dengan tahun 1892 Masehi), yang menyusun-
nya dalam bentuk nyanyian, camat Magetan, Raden Panji Jaya-
subrata ketika sedang berada di Semarang.
2. Permulaan cerita ini, yang empunya Kanjeng Raden Adi-
pati, Panji Suryokusumo, yang telah pensiun, sebagai bupati
di Semarang, sekarang dikutip dan digubah, dalam puisi lagu
"macapat" (= susunan lagu dalam puisi dengan langkah empat-
empat, juga dinamakan sekar alit atau tembang cilik), di-
jadikan cerita supaya menjadikan sarana mengingat-ingat un-
tuk kita, segenap kaum ulama (= dapat juga berarti kaum cer-
dik cendekia dalam bidang-bidang umum).
3. Yang giat memperdalam ilmu pengetahuan, janganlah sam-
pai terlanjur-lanjur pada akhirnya, hendaklah teliti penglihat-
annya, dari lahir terus ke dalam hati, yang bersetujuan pen-
dapat dengan yang lain, termasuk selain ulama, yang tentunya
mahlr-mahir, terpandai di Pulau Jawa, tata cara kejawaan baik
dan tertib teliti, teliti pula pemandangannya.
4. Yang menjadi tokoh cerita tersebut di depan ini, ialah ke-
tika beliau itu, Raden Tumenggung yang bernama, Wiryadina-
gara bertempat, di kota Pekalongan, di pesisir tanah Jawa, ada-
pun patiknya, Raden Ngabehi Mertanagara, berbudi baik, ber-
bakti, ahli ilmu pengetahuan, berdisiplin, hingga negara atau
wilayahnya aman dan makmur.
5. Tak seorang pun berlaku jahat, karena semua mereka ta-
kut terhadap kewibawaan, keluhuran budi dan kemurahan hati-
nya, terus-menerus pemberian dananya, Karena itu sangat di-
percaya, oleh Kanjeng Gubermen (= sebutan untuk Pemerintah-
PNRI
an Penjajahan pada waktu itu) dahulu, segenap orang Belanda,
dituruti segala kehendak mereka. Ketika itu tersebutlah, Ki
Penghulu Pekalongan berkata yang sifatnya memperingatkan,
terhadap tumenggung (= gelar atau pangkat kepala daerah)-nya.
6. Kiai Penghulu itu bernama Manganjali, "Ampun tuanku,
hamba mendengar, berita konon dari Batang, tepatnya dari de-
sa Kalisalak, adalah seorang haji yang mengajarkan ilmu, Muha-
mmad Rifa'i namanya. Ia termasyhur, merendahkan atau me-
remehkan segenap ulama, adapun ilmunya itu tiada yang baik,
semuanya menyesatkan."
7. Raden Tumenggung berkata sabar, "Jika demikian keada-
annya, carilah keterangan olehmu. apakah yang menjadi mak-
sudnya, tentang ilmunya itu, sehingga ia mengajarkannya ke-
pada murid-muridnya. "Kiai Penghulu menjawab menyanggu-
pinya, setelah selesai segera mengundurkan diri. Adapun terse-
butlah pula lagi, bahwa Kiai Haji Muhammad Rifa'i itu, yang
berumah di Kalisalak,
8. termasuk wilayah Batang, pada suatu hari, Kiai Rifa'i se-
dang duduk di penghadapan, dihadap oleh murid-muridnya,
besar kecil berada berebutan depan, menunduklah mereka se-
hingga wajahnya laksana tertancap di tanah, karena sangat ta-
kut mereka, murid-murid itu. Haji Rifa'i berkata, "Lihatlah
oleh kalian semua anak-anak muridku, bahwa aku ini ialah,
9. sekarang menjadi khalifah Kanjeng Nabi (Muhammad SAW),
yang menjalankan syarak Rosulullah, di Pulau Jawa ini. Karena
itu, maka semua ulama di Pulau Jawa ini, dan para penghulu
pula, sembahyang mereka itu, belumlah sah berjamaah mere-
ka, termasuk pula, mereka menikahkan itu, semuanya belum
sah juga,
10. Oleh karena itu, para ulama, dan penghulu belum ada
yang Islam, apa lagi pengantin-pengantin itu, sebab mereka be-
lum minta ijin kepadaku." Dengan demikian, masuk Islam me-
reka, ialah murid-murid itu, terkenal ke tempat-tempat sekitar-
nya, maka berebutanlah mereka masuk menjadi murid, baik
dari Pekalongan dan dari Batang.
10
PNRI
11. Baik orang kebanyakan maupun orang terhormat, datang
belajar di Kalisalak, "disaksikan" Islam mereka, serta "ningkah
winangung" (= diulang kembali pernikahan mereka), meskipun
orang telali kakek-kakek dan nenek-nenek, mereka berumah
tangga dengan istri mereka, ubannya telah memutih di kepala,
mereka itu dinikahkan kembali ialah, karena pernikahan .mere-
ka dulu itu, belum dinyatakan sah,
12. karena Kiai Rifa'i belum menyaksikannya. "Sekarang ini
dengarkanlah, segenap murid-muridku ini. Di Pulau Jawa ini, ter-
utama pada saat-saat seperti hari ini, semua ulama itu, kecuali
diriku, ternyata tidak ada yang berlaku adii , hanya akulah yang
benar-benar sempurna adii." Berterima kasihlah murid-murid-
nya.
13. Adalah seseorang yang bernama Jariah, konon ia bekas pe-
mimpin penjaga keamanan wilayah, berguru bersama istrinya,
disaksikan Islam mereka (oleh Kiai Haji Rifa'i), pernikahan me-
reka dibangun kembali. Bagus Kentol (= sebutan kehormatan
untuk tingkatan di bawah menengah dalam masyarakat waktu
itu) Jariah, sangat bersuka hatinya, maka Mas Bagus Kentol Ja-
riah, berkata kepada Kiai Rifa'ilah ia, "Aduhai Kiai, hamba
sangat terpesona. (kasmaran).
(= KASMARAN berarti cinta. Kata ini memberi isyarat kepada
pembaca, bahwa pupuh puisi lagu setelah ini ialah pupuh AS-
MARADANA, jenis puisi lagu yang digunakan untuk menggam-
barkan percintaan).
11
PNRI
II. PUPUH ASMARADANA
12
PNRI
berdatangan, karena tertarik oleh kata-katanya itu, bahwa kelak
mereka mati mendapatkan sorga. Maklumlah orang Jawa, ka-
rena berduyun-duyun siang malam, mereka berdatangan dan
mempersembahkan uang.
9. Ada yang uang tembaga dan perak, rupiah atau bahan ma-
kanan, bermacam-macamlah sedekah mereka. Ki Rifa'i berka-
ta, "Masjid di desa-desa, dan di kota-kota, semua itu, belum
sahiah Jum'atannya,
10. sebab aku belum mengizinkannya. Akibatnya semua yang
mendengarkannya, khawatir hati mereka, sehingga masjid-mas-
jid di desa, kosong semuanya, tiada yang mau sholat di situ,
menjadikan imamnya terheran-heran (akan sebabnya).
11. Adapun sekarang tersebutlah, Raden Yudakusuma, lebih
jelaslah maksudnya, hai Ki Rifa'i dengan segala gerak-geriknya,
sangat berprihatin. Segeralah ia menghadap kepada ki penghu-
lu, dan mereka telah duduk berhadapan.
12. Setelah bersalaman lalu, Ki Penghulu berkata, "Raden,
apakah kehendak tuan, ternyata datang tergopoh-gopoh, apa-
kah ada sesuatu yang patut dikeijakan?" Raden Yudakusuma
berkata, "Sebabnya hamba menghadap kepada tuan,
13. ialah perkara Haji Rifa'i, yang berumah di Kalisalak itu,
kiranya tak dapat didiamkan saja, sebab telah jelas segala ting-
kah lakunya. Sejak awal tengah hingga akhir, segala sesuatunya
dikemukakan, tak satu pun yang keliwatan.
14. Ketika Ki Penghulu mendengarnya, merah padamlah wajah-
nya, dengan suara keras ia berkata, "Raden, jika demikian, ta-
wanlah Ki Rifa'i, orang itu tak tahu adat, dan ia hendak meru-
sak tata-tertib."
15. Ki Penghulu segeralah memanggil, semua khotib dan ula-
ma, termasuk Haji Pinang seketika itu juga. Telah lengkaplah
mereka semua telah menghadap, tentang persoalannya telah di-
kemukakan kepada mereka. Haji Pinang berkatalah, "Jika tuan
berkenan dalam hati,
16. silakanlah Kentol Jariah, sudilah tuan memanggilnya."
13
PNRI
Ki Penghulu segera memerintahkan, untuk memanggil Kentol
Jariah, yang tak lama kemudian telah datang, maka berkata-
lah Ki Penghulu, "Hai, Bagus Kentol Jariah,
17. sebabnya engkau kupanggil, aku ini ingin bertanya, ba-
gaimanakah beritanya, tentang Ki Rifa'i Kalisalak, perihal peng-
ajarannya, kepada murid-muridnya, dalam hal ilmu yang diurai-
kannya."
18. Kentol Jariah menjawabnya, "Ki Penghulu, perkenankan
hamba berkata, sebenarnyalah baik ilmunya itu, ilmu Ki Rifa'i
Kalisalak. Ia seorang mukmin yang benar-benar adil, sekarang
ini sebenarnya, pada saat ini tiadalah
19. ada seorang mukmin yang adil, kecuali Kyai Kaüsalak itu,
yang benar-benar adil. Karena itu sabda-sabdanya, Kyai Kalisa-
lak itu, menjadi tuntunan sembahyang untuk para ulama,
20. atau Jum'atannya itu. Apalagi untuk orang-orang yang me-
nikah, belumlah absahiah semuanya, jika belum mendapat izin,
dari Ki kalisalak. Demikian kuat benar ia, dalam memegang
atau menjalankan syari'at.
21. Pantaslah ia sebagai wakil Kangjeng Nabi, Muhammadinail-
Mustafa, memperteguh syari'at-syari'atnya." Haji Pinang keti-
ka mendengar demikian itu, sangat bangkit amarahnya, wajah-
nya merah padam, dada bergetar panas karena kemarahan.
22. Dengan lantang ia berkata, membentak dengan suara ke-
ras berhawa marah, "Aku mendengarkan kata-katamu itu, apa-
kah kau ini telah gila, berkata tanpa tata kalimat, apakah kau
ini mabuk gadung, Jariah! Pergi kau!
23. Katakanlah kepada gurumu tentang hal ini, si setan dari
Kalisalak itu diaiah si iblis yang tampak, cepat-cepat suruh dia
datang kemari, boleh kukucir sekali (kepalanya), sebab ialah
sebenarnya iblis, si Rifa'i Kalisalak.
24. Sudahlah ia berniat siang dan malam, ia yang mengabdi
kepada setan, si Kaji Rifa'i itulah. Ia kena diikat oleh setan, bah-
kan telah menjadi sejenis setan, sehingga orang-orang besar ter-
bakar semuanya, tiada yang membantah katanya.
14
PNRI
25. Sekarang ini si Rifa'i, memaksa diri melebihinya, terha-
dap para cendekiawan semuanya. Bukankah kewajiban para ula-
ma, untuk menjaga {kemurnian) sarak (= ketentuan-ketentuan
praktis peribadahan), syari'at Kanjeng Rasul, tidak boleh jika
hanya berkira-kira saja."
26. Ki Jariah ketika mendengar, gurunya dicaci maki diper-
buruk-buruk, bangkitlah kemarahannya, bagaikan sipi telinga-
nya, dada bergetar bahna kemarahan, sesaklah hatinya, seke-
tika itu juga minta diri untuk pulang, tergesa-gesa mengundur-
kan diri.
27. Tak terceritakanlah dalam peijalanannya, sesampai ia
di rumah, berkatalah ia kepada istrinya, "Hai, adinda, ten-
tang guruku itu, kata Haji Pinang, ialah tentang kanjeng kyai
guruku itu, bahwa beliau hendak dikucir rambutnya.
28. Tinggallah engkau di rumah, adinda, kakanda hendak per-
gi menghadap, kepada kanjeng kyai guruku itu, akan kukatakan
semua, segala kata-kata si Haji Pinang. "Dhandhang sun unekna
kuntul, kuntul sun unekna dhandhang" (= idiom ini berarti:
yang putih kukatakan hitam atau yang baik kukatakan buruk,
sebaliknya yang hitam kukatakan putih atau yang buruk kuka-
takan baik),
29. Sangatlah sakit hatiku ini, khuususnya terhadap si Haji
Pinang, dan terhadap penghulunya. "Ketika istrinya mendengar-
nya, berkatalah ia kepada suaminya, bersedih hati menitikkan
air mata, perlahan-lahanlah ucapannya,
30. "Jika kakanda menghadap kiai, persembahkanlah sem-
bah baktiku, dan pesanku lagi, hendaklah jangan lama-lama
kakanda di Kalisalak, sebab adinda sangat mengkhawatirkan,
kalau-kalau kakanda diambii jadi menantu, betapalah persaaan
hatiku,
31. siapakah yang akan mengantikannya, adinda lihat orang
senegara ini, mustahil akan didapat seperti kakanda. Karena itu
adinda batasi hanya sehari, jika kakanda tidak datang, wahai
kakanda, adinda pasti akan menyusulmu, sebab adinda tidak
tahan berpisah dari kakanda,
15
PNRI
32. yang bergantung di hati adinda, tak lain hanyalah kakan-
da belaka, sebab bukankah anakmu telah banyak itu? Adapun
Ki Rifa'i itu hukumnya, hanyalah termasuk sebagai sahabat
(= maksudnya yang diikuti pimpinannya)". Ki Jariah berka-
ta perlahan-lahan, "Adinda, janganlah kau khawatir,
33. Semua sudah ditanggung oleh guruku. Kiai sudah ber-
tanya (mendapat aminan) kepada malaikat." Ki Jariah cepat
pergi. Singkat cerita ia telah tiba, di desa Kalisalak, tunduk meng-
hadap kepada gurunya, bersalam dengan mencium tangan guru
itu lalu duduk.
34. Ki Jariah berkata perlahan, tetapi dengan mata terbelalak,
berlarut4arut pengaduannya, ditambah-tambahi keterangan ka-
ta-katanya, yang satu jadi enam puluh, perihal kemarahan Ki
Penghulu, atau Ki Haji Pinang.
35. Ki Rifa'i ketika mendengarnya, sangatlah marahnya, ber-
getarlah jenggotnya karena murka, "Sangat lancang Haji Pinang,
(berani) mencela terhadapku." Ia memanggil muridnya, datang-
lah YUDAKENAKA (yuda = artinya perang, kenaka artinya
kuku, perang dengan kuku berarti menggaruk-garuk, kukur-
kukur. Ini berarti, pupuh puisi lagu setelah ini ialah PANGKUR).
16
PNRI
III. PUPUH PANGKUR
PNRI
"ambeng" (nasi kenduri dengan lauk-pauknya) kami tak mun-
dur sedikit pun?
7. Untuk kelak hamba berhasrat (punagi = pengharapan yang
bersifat sebagai sumpah), ialah jika benar-benar kami memper-
masalahkan ilmu, kalau para ulama sudah takluk, lalu pulang
kami, istri kami yang hitam manis kami "sambut" (= menda-
patkan), kami pegang buah dadanya, sehingga istri kami itu me-
lerok (= memandang dengan sudut mata yang benci-benci te-
tapi sayang)."
8. Murid-murid makin mejadi-jadi, ucapannya dapat dimi-
salkan orang mengigau, menyumpah-nyumpah tidak menentu
arah, sama sekali tidak menempuh jalan, ingat kepada Yang
Maha Agung, tidak menempuh jalan keutamaan, demikianlah
segenap murid itu.
9. Ki Rifa'i mendengar, tutur kata segenap murid itu, bagai-
kan kinilen (= dikilik-kilik bagaikan jangkrik, supaya bangkit
keberaniaannya, maksudnya dipanas-panaskan) hatinya, apa-
lagi ia telali merasa, bahwa dirinya paling tinggi pengetahuan-
nya, tak seorang pun yang menyamainya, ia telah merasa alim
(= pandai dan baik) serta adii.
10. yang juga tak ada samanya. Segeralah ia menulis dua pu-
cu surat, yang sepucuk tertuju kepada tumenggungnya, Har-
ya Wiryadinegara yang berkedudukan, sebagai tumenggung (=
pimpinan setempat di bawah bupati) negeri Pekalongan, de-
ngan isi yang sagat mendalam.
11. Surat yang kedua ditujukan, kepada Penghulu Kentol Ja-
riah, lalu, disertai para murid yang diutus, menyampaikan surat
itu, baik kepada Penghulu maupun kepada Tumenggungnya.
Berangkatlah mereka, tak terceritakan mereka di jalan, tersebut-
lah mereka telah tiba di negeri Pekalongan.
12. Jariah lalu datang menghadap, ke hadapan Ki Tumeng-
gung dengan hormatnya, sebab tumenggung itu diambil menan-
tu, oleh Kanjeng Sultan, dari Sumenep, yang dilantik jadi tu-
menggung, di negeri Pekalongan, pada pelantikan yang kedua.
18
PNRI
13. Jariah mempersembahkan surat, diterima lalu segera dibu-
ka dengan cepat, peringatan dari Ki Rifa'i, "Hamba, dari desa
Kalisalak, perkenankanlah kami mempersembahkan kata, tuan-
ku, bahwa hamba dimurkai, oleh Raden Penghulu sekarang.
14. Termasuk pula Haji Pinang, sangatlah clunthangan (= ting-
kah laku dan tütur kata yang kurang ajar) sekali. Tutur kata-
nya tidak sopan-sama sekali, memberi penentangan terhadap
ulama, yang telah sempurna dan adii benar-benar, hanya kare-
na si Jariah ini, datang berguru kepada hamba.
15. Adapun kesempurnaan Islam, itu, ilmu sarak dijalankan
supaya baik, dan sholat Jum'atnya, supaya menjadi sempurna
juga, untuk itu hamba telah datang memberikan pengajaran, ham-
ba datangi masjid Wanayasa, karena Jariah berkehendak
16. supaya kami disuruh mengesahkan sholat Jum'at di situ.
Akhirnya Gusti Raden Penghulu, dan Haji Pinang itu, berkata
dengan sewenang-wenang, terhadap hamba, seperti tidak ter-
kendali hatimereka, berkata asal membuka mulut, tak sedap
didengarkan telinga.
17. Haji Pinang itu pembicaraannya, sangat sangat mencurigai
terhadap hamba, itu pun tanpa dibicarakan atau diteliti lebih
dahulu. Karena itu hamba segera, mempersembahkan ketiga bu-
ku ini ke hadapan paduka, yang telah hamba terjemahkan, de-
ngan kata-kata dalam bahasa Jawa.
18. Berkenanlah kiranya paduka memberitahukan, ialah
terhadap para ulama Jawa, jika ada perselisihan paham, dari
para ulama itu terhadap hamba, hamba bersedia diadu memper-
masalahkan tentang kebenaran ilmu Demikianlah surat hamba
ini selesai, dari hamba Haji Rifa'i,
19. ulama yang telah sempurna, Juga yang telah ta'ajul - 'ari-
fin (= menguasai berbagai ilmu), ahli tarikat yang sebenarnya,
beriman, adii dan berhati suci, lahir dan batin semuanya telah
tercakup." Setelah membaca surat itu, Ki Tumenggung segera-
lah menunjuk (= menurunkan perintah)
20. orang disuruh memanggil segera, terhadap Penghulu, yang
19
PNRI
tak lama telah datang menghadap, di depan Ki Tumenggung.
Majulah ia dengan memberi penghormatan. Berkatalah Ki Tu-
menggung dengan lemah lembut dan ramah, "Hai, Penghulu,
duduklah engkau." demikianlah setelah Penghulu duduk.
21. Ki Tumenggung setelah duduk kembali seperti semula,
memberikan surat itu kepada Penghulu dengan segera, dan di-
terima oleh Ki Penghulu dengan segala kehormatannya. Peng-
hulu membaca surat itu, dan telah dapat diresapkan dalam ha-
ti segala kata-katanya. "Ki Penghulu berdatang sembah kepada
ki Tumenggung, "Gusti, hamba juga telah menerima
22. Surat dari Haji Rifa'i, yang lebih dari jorok kata-katanya.
Surat itu berbunyi, bahwa masjid di pekalongan itu belum sahiah,
tuanku, hamba sholat Jum'atanya, sebab katanya kurang rukun-
nya. Adapun yang kedua,
23. semuanya yang telah menikah, tidak atau belumiah ab-
sah, sebab katanya kurang adil. Yang menikahkan itu, mereka
(yang menikahkan itu) dinamakan munafik (= telah mengeta-
hui hukumnya tetapi dengan sadar melanggarnya juga), hanya
Haji Rifa'i sendirilah yang telah, adii dan lagi sempurna, sehing-
ga pantas menjadi khalifah Kanjeng Nabi
24. sekarang di Tanah Jawa ini. Tiada yang lainnya kecuali
Haji Rifa'i. "Ki Tumenggung berkata sabar, "Jika seperti yang
demikian itu, sebaiknya Haji Rifa'i itu, panggil olehmu meng-
hadap ke hadapanku, kita suruh memusyawarahkan ilmu
25. dengan para ulama semuanya, kumpulkan mereka, aku
akan memberitahukan, bahwa Haji Rifa' itu, kelirulah ilmu pe-
ngetahuannya, suruhlah mengubah ia meunurut kitab yang ju-
jur, jika memang benar pendapat atau buah pikirannya, baik
juga kita benarkan atau ikuti pendapat itu."
26. Berkatalah Raden Penghulu, "Ya, segala titah hamba jun-
jung, begitu sebaiknya, Gusti, titah Raden Tumenggung itu,
hamba hanya mengikuti belaka, akan segala titah paduka yang
benar itu, ialah mengatur permufakatan perihal ilmu sarak, me-
nurut kehendak paduka adaiah lebih baik.
20
PNRI
27. Dan, hai Jariah, pergilah engkau, bertemulah engkau de-
ngan gurumu Ki Rifa'i, ini menurut kehendak kangjeng tumeng-
gung, bahwa gurumu diperintahkan menghadap, bawalah oleh-
nya semua kitabnya yang masih ketinggalan, sebab hendak
dititahkan bermusyawarah, dengan segenap ulama.
28. Kalau memang gurumu itulah yang benar, para ulama di
perintahkan untuk berguru semuanya, tetapi jikalau keliru pen-
dapatnya, gurumu dikehendaki, supaya ia bertobat dan ia su-
paya mengubah tingkah lakunya, ialah yang telah benar-benar
keliru itu." Pergilah Jariah berjalan.
29. la telah sampai di Kalisalak, dan segera menghadap kepa-
da gurunya, Ki Rifa'i, menyampaikan segala kata-kata dan pe-
rintah datang menghadap, dari Tumenggung Pekalongan, yang
menjadikan gembira. Segeralah ia berpakaian, setelah selesai
segera berangkat, diikuti oleh para muridnya.
30. Sepuluh orang sebagai pemukanya, telah bersedia dan me-
nyediakan susunan jawaban, baik persoalan maupun pembahas-
annya. Mereka mengutipi rafalan-rafalan (= bagian-bagian dari
ayat-ayat Al-Qur'an atau lainnya yang dihafalkan dan diucap-
kan untuk mendapatkan kekuatan gaib daripadanya), sehing-
ga bercarik-carikan kertas-kertas yang dikantonginya, sebagian
lagi ada yang diselipkan di kopiah mereka, sebagian lagi dalam
kantong atau saku-saku baju mereka.
31. Tak terceritakanlah dalam peq'alanan mereka. Mereka te-
lah tiba di Pekalongan, datang menghadap ke hadapannya, Ki
Tumenggung, yang menitahkan, supaya mengatur tempat da-
lam surau (langgar, musholla) sebagai tempatnya, dan disugu-
hi hidangan bermacam-macam, yang baik dan NGASMARANI
(= menarik pesona).
(= kata NGASMARANI mengisyaratkan, bahwa pupuh setelah
ini, adalah pupuh ASMARADANA).
21
PNRI
IV. PUPUH ASMARADANA
22
PNRI
kang copet, dapat juga berarti siswa akademi militer), inginlah
mereka semua melihat, rupa atau warna Ki Rifa'i, betapa sa-
ngat orang itu membanggakan diri, berani memunafikkan pa-
ra ulama."
8. Sebenarnya orang hidup itu, besar dan kecil tidaklah ber-
beda, adapun yang berbeda itu ialah derajatnya. Derajat itu
merupakan anugerah, dipilih oleh Hyang Suksma (Allah), (ummat
manusia) disuruh menerima menurut kadarnya, sehingga me-
nyentosakan kesejahteraan bersama.
9. Adapun Ki Haji Rifa'i itu, terlau menganggap diri berle-
bih-lebihan, itulah yang dinamakan ketamakan. Telah tibalah
saat janji pertemuan itu, ialah pada hari malam Jum'at, pada
pukul sembilan mereka berkumpul, di dalam baiai kabupaten.
10. (Yang berhimpun) para ulama (= ahli atau saijana keilmu-
an, baik agama maupun umum), khotib (= pengkhotbah pada
sholat Jum'at), merbot (= pemukul beduk di masjid), modin,
syarif orang Jawa, juga para santri ikut-ikutan mengeroyok (=
berkumpul), dan segenap pegawai dan menteri kenegerian, du-
duk bergelar di pendapa (= aula, bagian depan bangunan tem-
pat menerima tamu). Semua mereka itu telah berkumpul, Ki
Tumenggung pun telah duduk pula.
11. Semua yang bermaksud menghadap, telah dipersilakan
masuk dan duduk, bertempat di samping kanan sebelah utara,
sedang yang di kiri para pegawai dan menteri kenegerian. Ada-
gun para santri ingin mendapat perhafian, mereka memenuhi
pendapa agung, berkumpul dengan para penjahat dan bangsat.
12. Tidaklah dapat dipisah-pisahkan (dilalui di antara orang-
orang yang duduk itu), orang-orang yang ingin melihat, bagai-
kan mereka menonton teledek (= pertunjukan ronggeng) sa-
ting bertanya tentang berita, bahwa Kangjeng Tumenggung hen-
dak membuka persidangan peradilan itu, memperkarakan
tentang kebenaran atau hakikat syari'at.
13. Ada orang yang sedang menantikan perintah, terkejut ia
lalu sadar diri, segera keluar lalu menonton. Maka telah leng-
23
PNRI
kaplah duduk persidangan itu. Ki Tumenggung berkata, "Hai,
silakan Raden Penghulu, bacakanlah olehmu
14. surat dari kyai Rifa'i, "Segeralah penghulu itu membaca
surat itu, lemah lembut menawan suaranya, menyebabkan ke-
heranan yang mendengarkannya. Kata-kata dalam surat itu,
menyatakan bahwa Ki Rifa'i wataknya, terlalu berani tetapi
kurang perhitungan dan pertimbangan.
15. Ki Tumenggung berkata perlahan sabar, "Hai, segenap
para ulama, coba rasakanlah oleh kalian semuanya, bicarakan-
lah di antara orang banyak, perihal kata-kata yang tertulis da-
lam surat itu" Ki Penghulu berkata dengan hormat, "Jikalau
berkenan dalam perasaan tuan,
16. bukankah lebih baik jika diperintahkan menghadap, akan
Ki Rifa'i itu supaya datang ke hadapan tuan?" Ki Tumenggung
berkata perlahan, "Hai, Khotib, panggillah olehmu Ki Rifa'i
itu dengan cepat, supaya datang menghadap ke hadapanku. Yang
diutus segeralah berangkat.
17. Tidak diceritakan dalam perjalanannya, sesampai ia di su-
rau, menyampaikan perintah menghadap yang dibawanya, dan
Ki Rifa'i segeralah berangkat. Setiba di pendapa katumenggung-
an, ia bersalam dengan suara keras, dijawab, "Wa 'alaikum sa-
lam."
18. Segeralah ia (Ki Rifa'i) disuruh duduk sejajar oleh Mas
Ngabehi Wiratmeja. Ia duduknya yang tertinggi, berhadapan
dengan para ulama, segenap muridnya, berada di belakang du-
duk mengelilinginya, semuanya telah bersatu hati.
19. Ki Tumenggung berkata lemah lembut, "Hai, segenap pa-
ra ulama! Bermufakatlah dengan penuh Jkesabaran, tentang per-
soalan yang kalian rasakan,, baiklah dirasakan dengan sebaik-
baiknya, mungkin terdapat perselisihan pendapat, tentang ma-
salah peribadahan
20. dengan Ki Haji Rifa'i. Untuk itu berpeganganlah pada dalil-
dalil Al-Qur'an, Al-Hadits, Qiyyas dan Ijma'nya." Segeralah
Mas Penghulu Batang, tuan Haji Muhammad, berkata dengan
24
PNRI
halus lemah lembut, merendahkan diri halus bahasanya,
21. "Aduhai tuan Haji Rifa'i! Hamba disuruh mengatakan
persoalan yang dahulu pasal-pasalnya, yang tuan katakan tidak
absah, Jum'atan di masjid Pekalongan, Batang dan di semua
masjid, apakah yang menjadi alasan tuan?
22. Kitab manakah yang menyatakannya, bagaimanakah bu-
nyi lafalnya (kalimat-kalimatnya)? Hendaklah tuan menjelas-
kannya. "Haji Rifa'i menjawab, "Memang ada juga kitabnya,
tetapi hamba agak lupa, sebab telah hamba terjemahkan.
23. Ki Tumenggung telah menerimanya, tentang itu hendak-
lah tuan mengetahuinya." Haji Muhammad berkata, "Hamba
juga telah mengetahuinya, itu hasil rekaan tuan pribadi, coba
manakah kitabnya yang asli", Jawabnya, bahwa tertinggal di
rumahnya.
24. "Sebabnya saya dapat mengatakan, belum absah sholat
Jum'atnya, karena tidak lengkap persyaratannya tentang rukun
sholat Jum'at, kewajiban para imam sholat, dan para ulama itu,
yang harus terlebih dahulu mengajarkan sholat.
25. Yang wajib dipenuhi pada sholat Jum'at pastilah, harus-
lah ada orang empat puluh (sedikitnya), yang telah sempurna
Islamnya." Penghulu Batang menjawab, "Fardhunya orang Jum'-
atan itu, adaiah sebanyak lima belas persoalannya, mengajar
tidaklah wajib hukumnya."
26. Mufakatlah para ulama dan para sayyid semuanya, bahwa
mengajar itu tak tercantum dalam kitab, bahwa mengajar ter-
masuk rukun Jum'atan, sebab fardhu Jum'atan yang limabelas
(tidak termasuk itu). Ki Rifa'i masib. kuat berkeras kepala, ti-
dak mau jika terkalahkan.
27. Lama mereka berdebat perkara ilmu, jika dimisalkan se-
bagai burung puyuh yang sedang berlaga, mereka bergantian me-
nyambar. Ki Rifa'i mendapat peluang pada dirinya, lalu ia di-
pukul dan terkena, jadilah ia bertarung sambil beijongkok (=
menggambarkan bahwa Ki Rifa'i di bawah angin, karena kalah
helahnya), dalam pembicaraannya ia terkalahkan.
25
PNRI
28. Menjawabláh Haji Rifa'i, menyimpang dari persoalannya,
lain, persoalan, lain pula jawabannya, tanpa kedua pihak sama-
sama tersinggung. Kedua pihak berbicara dengan suara keras,
jikalau bertengkar kata itu di luar lingkungan, sebenarnyalah
saling pukul jadinya.
29. Kedua pihak sama-sama marahnya, bagaikan (pertarung-
an) Subali melawan Sugriwa, sama-sama bergetar lidah mere-
ka (lidah tertahan-tahan karena kemarahan). Ki Rifa'i masih
tetap pendiriannya, serba keras keluar kata-katanya, hingga se-
perti mengajak tidak memakai aturan, orang ANOM (= muda)
dipaksa dijadikan utusan atau wakil.
(Dengan kata ANOM diisyaratkan, bahwa pupuh setelah ini
akan menjadi PUPUH SÍNOM).
26
PNRI
V. PUPUH SINOM
27
PNRI
berpukulan berputaran penyampaiannya. Jikalaulah dimisal-
kan sebagai orang berperang, ramai mereka pukul-memukul,
bergulatan berkepanjangan.
6. Mas Haji Pinang dengan keras berkata, "Hai, kau, Haji Ri-
f a i ! Jika engkau tidak mau menarik diri dari, ilmumu yang te-
rang salah itu, pasti kau akan kukuciri, secara Cina kepalamu
itu, termasuk dengan segenap murid-muridmu, sebab kalian itu
keliwat murtad namanya, berani benar kalian mengatakan dan
mengkafirkan sesama Islam."
7. Kemudian apakah jawabanmu, terhadap persoalan Jum'-
atan ini, persoalan yang diajukan oleh penghulu Batang itu?
Menjawablah Haji Rifa'i, "Aku tidak dapat menjawabnya seka-
rang, sebab bukuku tentang itu masih tertinggal, kiranya agak
kelupaan hamba tadi." Haji Pinang berkata dengan suara be-
ngis, "Katamu, kau mengaku telah alim (=ahli ilmu), adi] lagi-
pula sempurna,
8. mengapa bisa lupa akan pengetahuanmu itu? Apakah kau
dibebani hasrat kebendaan atau berkederajatan? Ataukah di-
hambat oleh hasratmu menghasut orang? Ketahuilah, kebiasa-
an orang yang telah paham ilmu dan adii, terhindarlah ia dari
empat perkara, "melik" (= berpamrih kebendaan atau kedu-
dukan), "runtik" (= siat mudah tersinggung), "kwatir" (= kha-
watir kemampuannya diatasi orang). "getun" (= rasa menyesal
orang dapat mengatasinya). Adapun engkau, sebagai yang tam-
pak olehku, tentang yang empat perkara kusebutkan itu, ma-
sihlah padat memenuhi segenap hatimu.
9. Bukan hanya itu, masih lagi bertambah-tambah dengan,
ialah hatimu tertimbun "lali" (= rasa lupa diri karena nafsu)
sebab hatimu itu berkumpul dengan syaitan!" Tertawalah para
Haji, dan segenap yang hadir melihat, bergelak-gelak serentak-
lah orang-orang yang tertawa, bersoraklah mereka bagaikan da-
lam gelanggang aduan, khotib dan modin semua melirik, ke-
pada Ki Rifa'i dan bangkit pula gelak tawa mereka.
10. Para priyayi (= lapisan pegawai dan menengah dalam ma-
syarakat Jawa) semuanya terbawa-bawa, mereka tertawa dengan
28
PNRI
cekikikan. Orang-orang yang berada di belakang, semuanya
tertawa terkekeh-kekeh, sebagian ada yang memegangi perut-
nya, ada pula yang bergulung-gulung di tanah, sebagian ada yang
tertawa berkakakan, dengan mata mendelik ada juga yang ber-
kata, "Jika kulihat rupa Haji Rifa'i itu,
11. lihatlah, bagaikan cantrik (= murid seorang pendeta jaman
dahulu, semacam santri begitulah) berilmu serba tanggung, tam-
paknya menyebalkan berlebihan, kemanisannya agak dibuat-
buat, air mukanya bagaikan seorang bangsat, merasa khawatir
menjadi haji, sebab yang begitu itu pantaslah sebagai kepala ke-
cu (= perampok). atau jika tidak adalah bangsat ajaran, arah
pandangnya ke atas dengan gigi atau mulut meringis." Ki Rifa'i
sangat marah sehingga bercucuranlah keringatnya.
12. Dengan menggerutu terus ia menoleh ke belakang, sangat-
lah malu ia tak salah lagi, mukanya pucat bagaikan secarik ker-
tas, nafasnya serasa menyesak dada, para muridnya menggamit-
nya, "Nah, tuan, berikan jawaban dengan teìak (= segera), kyai,
inilah dasar-dasarnya." Ki Rifa'i berkata dengan suara bengis,
"Percuma, tiada gunanya! Hanya akan ditertawakan orang ba-
nyak!
13. Aku hanya hendak berkata, kepada Raden Tumenggung
sekarang ini, aku hendak mohon diberi waktu selama tiga hari,
untuk mengemukakan jawabanku itu. Sedangkan dalam meng-
uraikan pikiran, dalam mencari dalam dari Kitab itu, aku ter-
ungguli kewibawaanku, di hadapan para priyayi ini, tentu saja
hatiku bagaikan orang yang disambar syaitan."
14. Haji Pinang berkata dengan membentak, "Hai, tuan Haji
Rifa'i!, Senyampang berada di depan bendara (= tuan, majikan)
kita, di sinilah tempat kita beijuang mati-matian! Jawablah oleh-
mu dengan benar, mengapa kau telah berani menyombongkan
diri, dengan tidak mengabsahkan orang menikah, katamu kare-
na tidak bersaksi Islam yang adii. Coba, kata-katamu itu, ber-
bunyi atau ambilan dari Kitab apa?
15. Lagi engkau memaksa diri teiah lancang, telah mengaku
seorang alim yang adil, bahkan menjadi khalifah wakil Kanjeng
29
PNRI
Nabi di dunia! Tampaknya engkau telah takabur!", Ki Rifa'i
menjawabnya, tergagap-gagap, terlongong-longong seenaknya,
tetapi bicaranya bersuara keras, "Hai, Haji Pinang, kau ini, telah
salah mengucap dan usilan (= senang ikut campur urusan orang)
akan urusanku."
16. Mas Haji Pinang mendampratnya, "Karena kau memang
paling aneh! Angkara murka, cendhala (= berhati jahat), dek-
sura (= tak kenal sopan santun), diriya (= membangga-bangga-
kan diri), takabur (= sombong melampaui kodrat ketentuan
Tuhan), kibir (= merasa diri paling besar), supaya banyak yang
berguru kepadamu, menjadi larislah barang daganganmu, de-
ngan caramu menghasut, mengadu domba dan memutar balik-
kan, orang menikah, beribadah dan, orang bersedekah jangan-
lah hendaknya diterima oleh orang lain."
17. Sebab 'orang alim yang adillah yang sah, ialah yang punya
hak menerimanya. Kau memperbodoh orang-orang desa, ter-
nyata kau tak tahu malu, mencari penghasilan dengan menipu,
dengan nekad bertipu muslihat. Yang demikiankah gerangan,
peri laku orang yang alim dan adii? Terhadap murid-muridmu
kau berani berkata (= yang sebenamya salah belaka).
18. Saen (= sifat tak tahu malu, mau melakukan hal-hal yang
bersifat merendahkan harga diri)-mu tujuh onjotan (= ukuran
jumlah jaman dahulu), delap- (= sifat rakus terhadap makan-
an) mu tujuh pal persegi, nyerungus- (= sifat suka mengurusi
yang remeh-remeh tak tahu malu) mu tujuh pal panjangnya,
hanya, sayangnya kau menjadi haji. Andaikata kau bukan haji,
pantasmu hanya mengemis sepanjang kedai-kedai, atau mengha-
dapi penjahat minggat (= melarikan diri), atau yang bara saja
berhasil mencopet!" Ki Rifa'i sangatlah tersinggung dan menja-
wab dengan suara sangat keras.
19. Terjadi lagi perbantahan pembicaraan itu, terulang lagi
saling pukul berlawan kata, tak ada pihak yang mau mengalah,
bergantian saling mencibir mencaci-maki, bersahut-sahutan ka-
ta di antara mereka. Jika dimisalkan bagaikan burung puyuh se-
dang berlaga, majulah Mas Haji Pinang, terpukul terduduk Kiai
30
PNRI
Rifa'i, menoleh-noleh bertanya-tanya kepada muridnya.
20. Bersuka-rialah orang yang menonton, ramai mereka ber-
ganti-ganti menyoraki memanaskan. Rifa'i agaknya terkalah-
kan, Haji Pinang benar-benar tangguh, ucapannya jelas dan
tepat, bicaranya gagrak (= menurut gerak jaman, up to date)
lagi pula pantas, jika mengucapkan lafal (kalimat-kalimat atau
ayat-ayat) dari Kitab, mubtada (= dengan mengerti benar-benaf),
kabar (= terang terdengar umum) dan tepat, dengan memberi-
kan penjelasan secara terperinci tiap maknanya.
21. "Kau mengaku orang alim, mengapa tak mempunyai ma-
lu di bumi ini? Dan terhadap sinar matahari, tidak malu terha-
dap cahaya lembut bulan? Adapun yang tercantum dalam hadits,
mukmin khas (= tertentu dan pasti) yang sebenarnya, sebaik-
baik mustika di dunia. Tidaklah seperti kau ini, bersifat taka-
bur, suka membuat kerusakan terhadap orang lain.
22. Jika kau benar-benar ulama yang alim, faham terhadap
segala ketentuan dunia, tentulah tidak seperti kau ini rupanya.
Mana dengki (= tak senang orang lain senang), jahil (= arti asal-
nya bodoh, di sini berarti tak senang orang lain berkecukup-
an), takabur dan dir (= berbangga diri), apalagi kau mengaku
khalifah Nabi, sungguh-sungguh dusta kata-katamu itu. Kau
tidak berlaku utama, dusta (= berlaku khianat, mencuri), ma-
mak (= bersifat tak pilih-pilih, hantam kromo), cidreng bumi
(= berdosa terhadap dunia) khianat, nekad dan menipu dunia,
menjadikan khawatir orang-orang yang sholat Jum'at.
23. Jika kau ini guru atau pendeta, jika demikian itu tindakan-
mu, kau itu pendeta teijungkir, berwatak kotor serba keliru
pengajarannya, pedas sajalah akibatnya, sebab pengajaran se-
orang pendeta bingung. Coba, mana mungkin ada, orang meng-
aku khalifah Nabi, dengan jalan mengkafirkan sesama orang
Islam?
24. Tidakkah kau teringat riwayat keutamaan (= orang yang
bersifat utama), janganlah banyak menantangkan lidah, dengan
yang demikaian itulah kau harus heran. (Tidak seperti kau).
Membuat kerusakan terhadap sesama, merupakan larangan yang
31
PNRI
sungguh-sungguh, congkaklah itu jika dikatakan orang. Semua
itu, kan bukan kepunyaanmu, takabur, ria dan kibir, semuanya
itu milik Yang Menciptakan Dunia ini (sebagai pertanda kema-
ha-besaranNya).
25. Ki Rifa'i, peringatan saya terhadap tuan, sekarang ini juga
tuan hentikan. Janganlah terlanjur-lanjur berkumpul dengan
syaitan, menggunakan iktikad (= niat yang pasti dilakukan)
iblis. Yang demikian itu, hanya akan berakibat kedurhakaan,
sebab bagaikan orang gila yang didorong-dorong, oleh raja te-
tapi tidak t^hu diri bahwa didorong-dorong. Kau membuat ru-
sak ilmu yang demikian itu menular kepada orang-orang lain-
nya."
26. Semuanya yang mendengarkannya, mereka semuanya me-
muji-muji, terhadap Mas Haji Pinang. Benar-benar tepatlah, Ha-
ji Pinang membuat percontohan itu. Haji Rifa'i sangat terpu-
kul, merasa diri bahwa ia kalah, jawabannya banyak yang ke-
liru, murid-muridnya yang di belakangnya semuanya marah.
27. Mereka menggamit-gamit gurunya, "Tuan, berkenanlah
tuan segera menjawabnya!" Namun Ki Rifa'i tidak mau menja-
wab, tetapi para murid memaksa-maksa menyuruhnya. Ada-
pun Mas Wiratmeja lalu, (sebal terhadap) tingkah laku semua
murid itu, yang tarnpak membangkitkan kebencian dan kema-
rahan. Jika ia tidak takut terhadap tuannya, berniatlah ia bang-
kit memukuli murid-murid itu semuanya.
28. Raden Penghulu berkata, "Hai, lihat, Ki Haji Rifa'i, kumin-
ta bagaimana akhirnya jawabanmu, bagaimanakah yang sebe-
narnya? Sebab para ulama, mengajukan permohonan kepada
Kangjeng Tumenggung, ialah semua kitab-kitab tuan, supaya di-
sita oleh negara, mana-mana yang salah ataukeliru bunyinya se-
baiknya dibakar saja.
29. Hai itu akan membuat kerusakan, orang-orang yang ma-
suk menjadi muridmu, benar-benar mereka menjadi rakus, akan
melarut-larutkan kedurhakaanlah yang pasti. Mereka tak mau
sholat di masjid, akhirnya mereka akan makin tersesat. Kare-
na itu bakarlah, kitab-kitabmu yang tidak benar itu. Ki Rifa'i
32
PNRI
berkata sebagai jawaban bersifat menghinakan.
30. Demikianlah Raden Citradipura, ketika mendengar kata-
kata Rifa'i, sangatlah tersinggung perasaannya. Mulutnya ter-
katup, lidahnya digigit (karena kemarahan), sehingga tampak
sangat menakutkan. Pancaran air mukanya tampak galak 'beri-
ngas, keraslah tersemburnya kata-katanya, bagaikan memancar-
nya bisa yang ampuh, "Hai, Haji Rifa'i, kau jangan menjawab
seenak perutmu begitu.
31. Nah, jawablah yang benar-benar jelas, terhadap kata-kata
Penghulu itu lekaslah, senyampang kita di depan tuan kita,
jangan kau bicara bercampur kejahatan, kata-katamu bercam-
pur kedengkian." Bagaikan hendak lansung menikamnya, ba-
gaikan hendak langsung membabat, sangat beranglah ia kepada
Ki Rifa'i. Ki Rifa'i berkata bahwa terserahlah atas kehendak
mereka.
32. Dengan serba terbata-bata dan gemetaran, majulah ia ber-
kata kepada tuannya (Ki Tumenggung), "Hamba mohon per-
kenan ke hadapan tuan, telah waktu tiga hari lagi, niscaya
akan hamba jawab, tuan, terhadap persoalan yang dikemu-
kakan oleh para penghulu, ataupun oleh Haji Pinang. Kitab-
kitab masih banyak yang tertinggal di rumah. Ki Tumenggung
berkata, "Ya, baiklah."
33. Haji Pinang menyambung kata-kata itu, "Tak usah eng-
kau pulang. Coba, engkau minta kitab apa? Silakan kau menye-
butkannya, apakah tassauf, atau fikih, hadits dan yang lain-
lainnya, sebab bagaikan kantoriah rumahku itu. Haji Rifa'i men-
jawab, "Ya, baiklah, saya meminjam buku kepunyaan tuan,
34. tetapi untuk hari besok." Penghulu Batang berkata sabar,
perlahan lagi pula bersopan santun, "Hai, tuan Haji Rifa'i. Su-
dah mufakatlah para ulama, pendapa tuanlah yang salah, sebab
telah direncanakan atau diganggu oleh syaitan. Kewajibanmu
sekarang ini ialah harus memperbaharui pengucapan kalimat
Syahadat."
35. Ki Rifa'i menyatakan kesangupannya, segeralah ia mem-
baca kalimah Syahadat yang dua itu. Tampak seperti amat sa-
33
PNRI
ngat ketakutannya. Para ulama lalu menyambung, "Untuk hari
Jum'at besok ini, mestilah engkau melakukan sholat, di mas-
jid Pekalongan!" Haji Rifa'i mengiakan, berpaling kepada murid-
muridnya sambii berbisik kepada mereka,
36. "Ya, besok kalian ikutlah aku, sholat Jum'at di masjid
sini, dalam hatiku aku berniat menurut, berbakti kepada Tu-
menggung itu hukumnya wajib, sebab ia merupakan wakil ra-
ja, sehingga wajiblah setiap orang berbakti kepada raja (melalui
wakilnya). Namun batinku masih syak (meragukan), belum
juga aku dapat mengesahkan, sholat Jum'atnya masjid di negeri
Pekalongan."
37. Penghulu Batang dengan keras berkata, "Hai, tuan Haji
Rifa'i! Tuan sudah membaca kalimat Syahadat, tinggallah satu
persoalan lagi, ialah, tuan hendaknya minta maaf atau ampun,
terhadap sesama manusia itu, yang telah tuan jadikan mereka
ragu-ragu, yang mereka tuan katakan, sebagai munafìk dan ka-
fir. (Ki Rifa'i) berkata, "Baiklah".
38. Demikianlah Penghulu Landraad (= Pimpinan Sidang Peng-
adilan pada jaman Penjajahan), yang bernama Mas Sulthoni,
selama perkumpulan persidangan itu, tak putus-putusnya ia
memandang, dan menimbang perkara yang dipersidangkan, yang
menjadi permasalahan perselisihan. Lebih heran dalam hati ia,
ketika melihat Haji Rifa'i, sehingga selalu menggeleng-geleng-
kan kepala, tersenyum dan mengusap dada.
39. Berkatalah ia dalam hatinya, "Benar juga, seperti Haji Ri-
fa'i itu, menurut potongan tubuhnya, serta raut dan sorot mu-
kanya yang dingin, bukan sepantasnyalah ia, jika menjadi ula-
ma yang mahir, namun benar jugalah agaknya, bahwa pekeija-
an yang dilakukannya itu, ialah menghinakan, menipu-nipu
supaya orang tak tenteram.
40. Pantaslah ia selalu mengedikkan diri (= duduk tegak me-
nyombong), mencibirkan bibir sambii menoleh kiri dan kanan
memang demikianlah gerak hatinya, berfìrasat yang tidak baik.
Pendek kata tak ada yang baiklah, hanya pantaslah ia ria dan
takabur. Dalam ilmu tentang firasat (= tanda-tanda lahiriah ma-
34
PNRI
nusia), orang yang demikian perwujudannya itu, laksana iblis
yang tampaklah, bahkan rajanya, na'udzubillah min dzalik (=
semoga Tuhan memberinya peringatan).
41. Tidak dapat dipersanak (= dipercaya, diaku saudara), se-
bab akhirnya akan membawa celaka, jika dimisalkan ayam jan
tan aduan, si Haji Rifa'i itu, terhadap anak mas Haji, Pinang
memang bukan tandingannya, dalam pertaruhan pertandingan
lepas satu lawan empat pun (= jika menang mendapat empat ka-
li lipat hasil taruhannya), tak ada yang mau atau mampu me-
ngalahkannya, (lain dengan) Haji Rifa'i (sebagai) ayam jantan
licik yang tak berguna.
42. Jika anak mas Haji Pinang, itulah ayam jantan sejati yang
patut dipertaruhkan. Meskipun ia masih muda, pukulan kata-
katanya pedas dan tepat, dalam pembicaraannya pandai, fira-
satnya dapat bertanggung jawab, lagi pula ia masih keturunan
ulama, turun-temurun wangsanya dari orang alim, telah terke-
nal sebagai orang terpandai di tanah Pekalongan."
43. Ki Tumenggung berkata, "Besok hari Ahad pagi-pagi, pa-
ra ulama semuanya, hendaknya berkumpul lagi di sini, dengan
Ki Haji Rifa'i, dititahkan datang di hadapanku, untuk melan-
jutkan musyawarah, terhadap jawaban yang akan diberikan oleh
Haji Rifa'i." Pada saat beduk malam ditabuh (- menandakan
hari telah tengah malam) semuanya telah diperkenankan bu-
bar.
44. Bercakap-cakaplah mereka sepanjang jalan, para ulama de-
ngan para priyayi. Semuanya terheran-heran dalam hatinya, ter-
hadap pendapat Ki Rifa'i, yang mengemukakan dengan semba-
rangan dan bernada menghinakan, dalam jawabannya selalu
cula-culu (= tanpa pedoman, sekenanya saja). Banyaklah orang
yang mempercakapkannya. Sementara itu maka Haji Rifa'i,
minta diri dari hadapan tuannya (Ki Tumenggung).
45. Dalam perjalanannya agak ia bersakit hati, sejak turun
dari ruang pendapa, terantuk-antuk kakinya oleh papan, ber-
debum hampir saja jatuh terbanting, tertelungkup di tanah, ter-
tindih oleh murid-muridnya. Segera saja ia dibangkitkan, oleh
35
PNRI
para anak muridnya. Demikianlah malam bergantilah dengan
pagi.
46. Jariah minta diri dari gurunya, ialah hendak pulang ke
rumahnya, hendak sholat Jum'at di Wanayasa. Ki Rifa'i meng-
izinkannya. Tersebutlah berganti yang diceritakan, istri Jariah
yang tinggal di rumah, mendengar berita dari orang-orang kam-
pung, bahwa Jariah telah dikucilkan, dengan gurunya juga, ka-
renanya ia sangat bersedih.
47. Tingkah lakunya kebingungan, bagaikan orang hina dalam
kebingungan, "Lama benar suamiku tidak kunjung datang, se-
bab dulu aku telah beijanji (= dalam arti memperingatkan), ter-
bawa oleh sangat khawatir hatiku, kalau-kalau ia dibelenggu
(dihukum), dipukuli oleh orang banyak, ditempelengi oleh
para Haji, daripada ia mati, lebih baik bapak dan ibunya (yang
mati itu).
48. Carilah ia di segenap desa mustahil ada, yang jelantir (=
tampan, ganteng) seperti suamiku itu. Kalaupun mendapat se-
ganteng dia, belum tentu bisa mengaji Al-Qur'an. Walaupun da-
pat mengaji, belum tentu sekasih sayang dia. Siapakah yang
menyakiti, terhadap suamiku yang tampan tercinta, moga-mo-
ga tidak mendapatkan keselamatan orang itu.
49. Banyaklah yang dapat kukaulkan (= berjanji terhadap se-
suatu yang diharapkan terkabul). Jika si kakanda segera datang."
Ternyata Kentol Jariah, telah tiba di rumahnya saat itu juga,
tampak di pintu luar rumah. Mak Jariah legalah hatinya.ber-
derai, menyongsongnya dengan penuh kerinduan, tersenyum-
senyum menggairah-panaskan hati, maka tergopoh-gopohlah
Jariah menyambut istrinya itu.
50. "Andaikata kau masuk ke lautan api, kakanda, aku tak
mau kau tinggalkan (= aku akan selalu menyertaimu), betapa
lagi karena aku, kakanda, setengah mati mencintai kakanda,
dan aku telah beijanji terhadap diriku sendiri, karena kau per-
gi datang berlarut-larut (= sering meninggalkan pergi), andai-
kata dikau mati, akan kususul pula dengan kematianku, keka-
sihku yang baru saja kita (memperbaharui) nikah kita."
36
PNRI
51. Tersedu-sedulah tangis si istri itu, yang selalu dihibur de-
ngan kata-kata manis, disertai dengan pujian dan bujukan, di-
lanjutkan dengan percumbuan sejati, sebagai kesempurnaan
hidup manusia ini, yang dihidupi oleh Hyang Agung (= Allah
SWT), yang mengatur segala perbuatan, peraturan, pemakaian
apapun di bumi ini, dilimpahi kasih sayang dan tutur kata yang
mendorong dan memberikan harapan.
52. Perbahasaan (= gerak laku yang umum, kebiasaan) dalam
hidup ini akan ada, niatan untuk berbuat kebajikan, tentu
saja kebajikan ukuran keduniawian. Untuk itu yang menyaksi-
kan berupa, pemberian puji terhadap langit dan bumi, pembe-
rian puji terhadap yang menciptakan kemurahan (= Allah), yang
sebenarnya hanyalah anugerah kesakitan dan anugerah kenik-
matan, yang menandakan bahwa Hyang Widdhi (= Allah SWT)
itu, menguasai hidup dengan memberi sakit dan nikmat.
53. Tersebut lagi yang diceritakan, Haji Rifa'i ketika mende-
ngar, bunyi beduk Jum'at ditabuh orang, segera ia mengena-
kan serban terletak indah, mengenakan jubah bergaya Arab.
Berangkatlah ia cepat-cepat ke mesjid, setibanya ia segera mu-
lai sholat, baik yang sunnah maupun yang fardhu dilengkapi-
nya. Tak lama kemudian telah bubaranlah orang-orang yang
sholat Jum'at.
54. Keluarlah Haji Rifa'i itu, dari serambi masjid, para murid-
nya mengiringkan perjalanannya. (Tampaklah) semua orang,
baik besar maupun kecil, baik haji, orang Arab maupun para
santri, semuanya merubung dari depan dan dari belakang, ba-
gaikan orang menonton keanehan onta, mereka mengepung de-
ngan ketat dan rapat, dengan hati penuh amarah orang-orang
seperti hendak memukulinya,
55. Sebagian adalah yang berkata, "Hai, itukah konon si Ha-
ji Rifa'i? Bukankah potongannya tidak seberapa? Kalau dalam
wayang, bagaikan seorang cantrik (= murid pendeta) yang ko-
nyol, yang ketika dipukuli dan dihajar, oleh Arya Baladewa ke-
tika sedang marah, namun mengapa ia berani-berani membuat
gugatan, yang memberikan kegemparan seluruh negeri? Oh,
37
PNRI
orang demikian itu pantaslah jika diikat dan dilelarak (= di-
ikat dan ditarik dibelakang kuda yang dilarikan).
56. Dibuat pangewan-ewan (= disoraki sepanjang jalan dan
dipermalukan), demikian pula murid-muridnya itu, yang ce-
ngar-cengir tanpa otak, terang iblis menjelma mereka gurui.
Huh, dasar martabat iblis, orang nista, goblog lagi pula kebingung-
an!" Berita (tentang Haji Rifa'i) sampai juga kepada para perem-
puan, baik dari kampung, Pecinan (= tempat pemukiman go-
longan Ciña waktu itu), maupun dari loji (= tempat tinggal para
priyayi), ketika mendengar berita itu tergesa-gesa keluar ingin
menyatakannya.
57. Janda-janda, janda-janda muda, gadis-gadis, ada prawan
kencing (= bertingkah genit) bergenit-genit, jeblogan (= gadis
ceroboh bersolek) dan angluran (= gadis berusia lanjut), sambi-
wara (= terkenal baik) dan dedungik (= terkenal buruk, keco-
longan). Prawan sunthi (= gadis yang membangkitkan kegemas-
an) berlagak cantik, yang masih muda prawan kencur (= gadis
belasan tahun dan masih kecil), banyaklah macam-macamnya.
Demikian pula bermacam-macam tingkah para istri, semuanya
bersolek pakaian indah dengan wangi-wangian.
58. Ada yang memakai bunga yang harum baunya, sebagian ada
yang sederhana sekedar berbedak saja, tetapi jika dibicarakan
dengan berbisik, dan dipandang akan menggairahkan hati, men-
jadikan hati terhibur. Harum mereka terbawa aliran angin, be-
rebutan depanlah mereka berjalan, yang di depan mereka dorong-
dorong, demikian juga terhadap laki-laki, namun malah menja-
dikan kegembiraan untuk si laki-laki itu.
59. Karena sangat ingin mengetahui, betapakah rupa Haji Rifa'i,
yang sedang menjadi perhatian negara, berdesak-desak mereka
melihat, berderet-deret di sepanjang tepi jalan, sebagian ada
yang mengintip dari pintu rumah. Para murid (Haji Rifa'i) yang
meLihatnya, berkeluh kesah dengan pura-pura berdikir (= meng-
ucapkan pujian kepada Allah), menggeleng-gelengkan kepala
sedang mata mereka jalang memandang berkeliling sekitarnya
(pendelikan = pandangan liar seperti pandangan pencuri).
38
PNRI
60. Andaikata hai itu bukan di jalan, apalagi banyak orang
yang menyaksikannya, pastilah (gadis-gadis itu) akan mereka
rangkul juga, seketika itu akan mereka cumbui, walaupun ber-
ada di jalan umum sekalipun, tentulah lalu didesak-desakkan
masuk (?), biasa demikianlah para murid itu, menurut ajaran
Haji Rifa'i, mereka menjadi bangkit berahi jika melihat perem-
puan.
61. Gaya berjalannya dibuat-buat, menggamit-gamit perem-
puan di pinggir-pinggir jalan itu, jika dilihat seperti orang gila
sajalah layaknya, bergeleng-geleng dengan mata melotot ke se-
gala arah. Tersebutlah telah tiba hari Ahad pagi. Pada pukul
sembilan saat yang ditentukan, berkumpulah segenap ulama,
para syarif dan orang-orang memenuhi ruangan pendapa.
62. Ki Tumenggung telah duduk sejajar menurut kepangkatan-
nya dalam, bangsal di atas permadani tergelar. Ki Rifa'i tiba
didudukkan di depan, sejajar duduknya dengan priyayi. Ki Tu-
menggung berkata halus, "Hai, para ulama sekaliannya, silakan
kalian melanjutkan musyawarah, sampai sepuas-puas jawaban-
nya, Hai, Ki Rifa'i betapa WIJILing soal? (Dengan kata WIJIL,
pupuh berikut ini ialah pupuh MIJIL)
39
PNRI
VI. PUPUH MIJIL
40
PNRI
nya, Haji Rifa'i membuang muka, alasannya ia ingin menengok
kepada muridnya. Sama-sama marahlah, tersinggunglah kedua
pihaknya, bibir-bibir mereka hingga bergetar, dalam dada
menyalalah api kemarahan.
9. Haji Pinang majulah duduknya, tersinggunglah perasaan-
nya ketika melihat, tepat di depan Rifa'ilah duduknya, berga-
ya bagaikan seorang senapati (= komandan pasukan tempur),
tampak menggetarkan perasaan, bagaikan Khotib Anom Kudus.
10. Menghadapi Ki Haji Rifa'i, berkatalah ia dengan kasar,
"Jika engkap hanya sekedar mengajak berdebat kusir saja, atau
bertele-tele akulah yang akan menandingi. Tetapi jika secara
halus kita bicara cari kebenaran, akulah Penghulu Batang ini.
11. Mulai lagi kedua pihak berbicara tentang persoalannya,
lebih bertele-tele dan kaku, tetapi Haji Pinang tidaklah kehabis-
an jawab menghadapinya, bahkan lebih luas lagi bergerak baik
ke kiri maupun ke kanan. Maka kalahlah Ki Rifa'i, kelihatan-
lah ia bagaikan ngukruk (= duduk menunduk karena kalah).
12. Para muridnya tak dapat mengatakan sesuatu pun, mere-
ka kecewa dan putus harapan, merasa bahwa gurunya salah pen-
dapatnya. Haji Pinang tegak mengedik lagi bertampang berwi-
bawa, sambii mengusap-usap kumisnya, air mukanya tampak
galak berpendirian teguh.
13. "Nah, ayolah sekarang, hai Haji Rifa'i, jangan kau hanya
diam terlongong-longong. Lafal (= persoalan) ini lekaslah kau
jawab atau pecahkan." Ki Rifa'i minta tangguh waktu lagi. Ha-
ji Pinang berkata seru, "Aku tidak membolehkannya!
14. Ki Penghulu Batang menyambung ucapannya, "Aku benar-
benar bertanya, bukankah kemarin tuan melakukan sholat di
masjid sini? Bagaimanakah tekad dalam hatimu, adakah juga kau
anggap sah?" Haji Rifa'i berkata,
15. "Menurut kata-kata Haji Pinang dahulu, (sholat) itu benar-
benar sah." Masih juga jawaban (Rifa'i) bersifat mencela. Ha-
ji Pinang menggeram sambii menggigit lidah sendiri (= pertan-
da menahan kemarahan). Adapun Sayyid Yusuf dengan sabar,
41
PNRI
mengeluarkan kata-katanya.
16. "Janganlah kita terbakar perasaan karena tersinggung, ja-
nganlah seperti anak gembala, coba sabarlah kita membukakan
kitabnya." Berkatalah ia kepada Haji Rifa'i, "Benar tidak di-
nyatakan, bahwa mengajar itu termasuk rukun (= ketentuan
pokok).
17. Pendapatmu itu terdapat dalam kitab apa?" Katanya (Ki
Rifa'i) perlahan, "Memang ada juga dalam kitab lafalnya itu,
tetapi tertinggal di rumahku." Yusuf bertanya terus mendesak,
Haji Rifa'i lalu berkata:
18. "Sebenarnya kudapat dari fatwa yang benar, dati ulama
yang berbeda (= lebih dari ulama umum)." "Ketika dikejar,
siapa konon ulamanya itu." "Hanya menurut fahamku saja,"
Tersenyumlah barang siapa yang mendengarnya, Sayyid Yu-
suf berkata,
18. "Fahammu itu ternyata keliru, bertaubatlah kau cepat-
cepat, ke hadapan Allah, jangan kau pakai lagi (faham) itu!"
Haji Pinang berkata dengan bengisnya, "Nah, hai, Haji Rifa'i,
bagaimanakah kemauanmu?!
19. Apakah kau menerima akan kesalahanmu itu? Katakan
dengan sebenarnya!" Haji Rifa'i dengan menunduk menjawab,
"Saya telah menerima bahwa saya salah, hambajuga (kembali)
mengikuti, Kitab yang Luhur (= Al-Qur'an).
20. Dan hamba mengikuti juga para ulama, hamba mengikuti
segala perintah." Telah keok (= kalah bertarung) lah Haji Rifa'i
dalam pertarungan. Haji Pinang lalu berkata lagi, "Kitab-kitab-
mu itu semua, coba ambillah olehmu.
21. Yang keliru hendak diubah (menjadi benar). "Silakanlah",
jawabnya perlahan, Ki Penghulu Batang perlahanlah berkata,
"La, apakah konon perkaranya, kyai, tidak mengesahkan semua,
orang-orang Islam itu,
22. jika belum engkau saksikan keislamannya, yang katamu
alim dan adilnya berbeda (lain dari yang umum). Ya, tentang
orang menikah yang belum engkau sahkan itu, apakah kitab-
42
PNRI
nya dan bagaimana bunyi lafalnya?" Berkatalah Ki Rifa'i, "Itu
semua dari petuah (fatwa)".
23. Ki Penghulu Batang berkata menyabarkan diri, "Dalam
dalil (= ayat Al-Qur'an sebagai ketentuan hukum) diberitahu-
kan, jika orang sudah mengucapkan dua kalimah Syahadat, de-
ngan itu telah Islamlah orang ini, tidak perlu memakai saksi, se-
kalipun saksi itu ulama agung.
24. Banyaklah ia mengucapkan dalil-dalil, dari kitab-kitab yang
berlainan, perihal persoalan rukun orang memeluk Islam, dan
peribadahan, orang menikah termasuk juga, sehingga tak terse-
butkan dalam tulisan, peri panjangnya percaturan itu.
25. Haji Rifa'i sebenarnya keliru, pendapatnya menyesatkan
(= bersifat menipu), sampai berani menanggung kepastian anu-
gerah sorga, untuk segenap murid-muridnya. Sebenarnyalah
yang demikian itu, pekerti iblislah yang menggoda.
26. Adapun seseorang itu Islam atau kafir, hanya kehendak
Hyang Maha Melihat (= Allah SWT) saja, yang selalu melihat
(= dengan pengertian menilai) terhadap hamba-hambanya. Ti-
dak dapatlah sesama manusia ini, menanggungkan kedurhaka-
an itu, atas sesama manusia (= titah Tuhan).
27. Bergerak dan diamnya segala makhluk ini, adalah anugerah
Hyang Maha Melihat (Hyang Manon). Bagaikan kemudi kapal-
lah umpamanya, yang dilakukan oleh segenap titah Tuhan, (ma-
ri) hidupnya hamba-hamba ini, dari kasih sayang Hyang Maha
Agung.
28. Kehalusan (= zat halus, sukma) yang termuat dalam raga
kita, anugerah dari Hyang Manon. Sir Kasmaya (= himpunan
kehidupan) itu namanya, bertempat permana (= sifat tahu di-
ri) berada di dada sebelah kiri, oleh meluapnya kasih sayang
(Allah), itulah perlindunganNya.
29. Bagaikan ki dalang menggerakkan wayangnya, demikian-
lah Hyang Manon itu. Panggung atau pentasnya dunia ini dan
hamba-hamba seperti kita ini wayangnya. Bergerak jika ki dalang
yang menggera^kannya, segala tingkah segala sesuatu, baik peng-
43
PNRI
lihatan maupun pengucapan.
30. Yang menguasai dan mengatur sukma halus yang sejati
itu, tiada berjaraklah ia bercampur, dalam kehendak sendiri,
perintah dan pekerjaan, sebab sukma agung itu tanpa suara dan
tanpa rupa, bukankah yang berupa itu sudah, terdapat rupa-
nya pada setiap makhluk?
31. Karena itu jika mengucapkan kata-kata yang terlarang (=
tidak sebarang waktu digunakan, karena bernilai agamis luhur),
janganlah berserabutan (tak beraturan). Ambillah suri teladan-
nya, misalkan sesuatu tanpa rupa tapi ada rupa, sebab keseja-
tian pujian itu, kepada kasih-sayangNyalah puji-pujian itu."
32. Haji Rifa'i kelirulah bicaranya, berlawanan lagi pula beng-
kok (= bermaksud tak baik), selalu menunduk ia dan air muka-
nya layu. Ia tidak dapat menggapai pembicaraan, dan tidak
mengerti, jika dimisalkan orang beijalan, sangat jauhlah tem-
pat yang hendak dituju. (= seperti tak tercapai).
33. Bunyi lafal dalam kitab dan inti sari suatu ilmu, banyak
yang berbenturan dan tidak teratur (serabutan), baik tata atur-
an lafalnya maupun bunyi dalil-dalilnya. (Tentang ini) Haji Pi-
nang menguasai dan cendekia, sangat lúas dan tepat, demikian-
lah Penghulu Batang itu.
34. Tidaklah kacau ia mengartikannya, baik yang bersifat
lahir maupun yang batin, berbahasa bebas, indah dan sampai
pada sasarannya memang jarang yang dapat menandinginya,
di kedua negeri itu (Batang dan Pekalongan), akan kelebihan
Haji Muhammad.
35. Haji Pinang segeralah melihatnya, ketika teijemahan diba-
canya, dari kitab yang dimiliki Haji Rifa'i. Pembacaannya de-
ngan suara yang agak dikeraskan, baru saja dua buah kalimat
pembacaan itu, telah diketemukannya yang salah.
36. "Karangan atau pendapatmu, Haji Rifa'i, keliru, kitab-
mu telah menyimpang, meskipun dilanjutkan pembacaannya,
akan ada kesalahan lagi, yang tidak sejalan dengan kitab-kitab
terdahulu. Ini hasil rekaanmu sendiri, yang tidak pantas dan ti-
44
PNRI
dak beraturan (= tidak benar).
37. Ialah yang akan merusak badan (= kehidupan) itu, kau
ini orang yang kebesaran kecongkakan, tidak memakai rakit-
an batin (= tidak mengingat perasaan orang), kau ini dari ter-
kutuk telah kemasukan iblis, syaitan yang membawa bangku
(= diperbudak oleh syaitan), kurang ajar tak tahu aturan.
38. Haji Rifa'i, karena itu sebagai orang hidup hendaknya,
segala sesuatu dipertimbangkan dulu, jika kau belum menge-
tahui betapa pada akhirnya, janganlah seenakmu sendiri mela-
hirkannya, kau permudah menurut kemauanmu, sehingga me-
rusak orang-orang yang mengatakannya (= mempelajarinya).
39. Orang berbicara itu dapat membawa kecelakaan (= mem-
bahayakan), jika dilakukan dengan tergesa-gesa karena terbu-
ru hendak dikemukakan, akan berakibat kerusakan badan atau
diri kita dari bibir kita (= tutur kata). Bibir yang buruk akan
membawa mala petaka, sebaliknya jika bibir yang baik akan
membawa keselamatan dan kesejahteraan.
40. Dan lagi tindak laku yang berbahaya, ialah sebagai kese-
imbangan dari ulah mulut, badan kita ini, kan sekedar mela-
kukannya saja. Yang dinamakan orang itu, jika mulutnya meng-
ucap, hati tentu menyaksikan, keluarnya ucapan dari mulut
itu.
41. (Karena itu) bibir tak terkendalikan benar-benar membaha-
yakan, tergesa-gesa ingin segera berkata, sekena-kenanya dalam
mengucapkan sesuatunya, (ketahuilah, bahwa) syaitan yang
tampak (= orang jahat) tak dapat dipersahabati, ia pasti menu-
lar-nularkan kejahatannya, yang merusakkan.
42. Baiklah segala persoalan dibawakan dengan sabar dan le-
mah lembut, waspadalah atas pertimbangan pedoman, keutama-
an yang teguh dalam hati, tidak tergoyahkan dan yang meng-
asuh kehidupan, niscaya jarang orang mendapat celaka, jika
kewaspadaan kita sedemikian itu.
43. Orang berwibawa yang perwira hatinya (= tahu harga di-
ri), tidak hendak ditonton orang banyak, tertutuplah kekurang-
45
PNRI
artnya, lagi pula tak hendak berkeras kepala, hasrat terpendam
dalam hatinya, selalu disamar-samarkannya (= tidak berterus
terang hasil kemampuannya, melainkan dikiaskan).
44. Adapun riwayat orang yang cendikiawan itu, selalu ber-
serah diri kepada Hyang Maha Melihat. Tubuh ini diumpama-
kan sebagai sarah (= kewadakan, jasmani, tempat belaka,) yang
gerak atau diamnya atas pekerjaan Hyang Suksma (= Allah),
bagaikan sampah hanyut di sungai, hanya mengikuti alunan dan
aliran ombak air belaka.
45. Seumpama orang mengaca haruslah cermin ini, manusia
sejati itu, yang memiliki ialah bayang-bayangnya (= kodrat Ila-
hiah). (Karena itu) hendaklah orang waspada melihatnya, kali-
mat-kalimat yang tertulis (= ayat-ayat Al-Qur'an), hanyalah
kebaikan sajalah yang ada padanya.
46. Yang berada pada orang perseorangan, makhluk cipta-
an Hyang Maha Melihat, itulah dapat dimisalkan sebagai cermin-
nya, tidak berbeda di antara segenap yang diciptakanNya, ab-
di (= manusia) ini hanyalah, merupakan perisai yang sebenar-
nya belaka.
47. Berlandaskan jiwa luhurlah segala tindakan itu, yang te-
lali ditetapkan dalam hati, mohonlah pertolonganNya supaya
dunia ini sejahtera. Dalam sholat itulah hendaknya kita benar-
benar, membulatkan hati berserah diri, tembuskan yang lang-
sung (ke hadiratNya)."
48. Mas Penghulu Pengadilan selalu melirik berarti, kepada
yang sedang bertukar pikiran, tersenyum-senyum sambii
menggeleng-gelengkan kepala, memberikan pujian dalam hati-
nya, "Wah, sungguh berlebih ilmu, Haji Pinang memang cakap-
cerdas.
49. Berpikir dengan cepat memberi alasan jawaban selalu te-
pat dan mapan, lagi pula sempurna berterus-terang, yang pada
akhirnya pantas dan bernas (= berisi padat)." Mas Penghulu
Pengadilan juga ganti melirik, kepada Haji Rifa'i, tersenyum
agak keheranan.
46
PNRI
50. "Huh, tidak seperti Ki Haji Rifa'i ini! Mengapa selalu ter-
longong-longong, sesak pernafasannya dan duduknya pun me-
nunduk ketakutan, bagaikan pesakitan (= orang yang didak-
wa melakukan kejahatan) ketika dipukuli. Namun aku sungguh
heran, yang demikian itu berani ia mengamuk tanpa perhitung-
an."
51. Para ulama semuanya telah bersepakat sebagai kesimpulan,
bahwa Haji Rifa'i berdusta, benar-benar salahlah kitabnya itu.
(Sedang ramai berbincang) terganggu kedatangan tuan Lamres,
berbalasan menghormat, segera saja tuan itu duduk di kursi.
52. Sampai lama juga tuan kontroleur (= kepala daerah yang
hanya dijabat oleh Belanda, bertugas mengawasi bupati), men-
dengarkan perbantahan ilmu itu. Ia lalu berbisik kepada Ki Tu-
menggung, "Haji Rifa'i itu saya telah kenal (hafal wataknya),
dia kan tukang menyimpang dari agama, (ku ketahui) ketika
saya (berdinas) di Lampung."
53. Setelah lama di situ segeralah ia minta diri, tuan Lamres
lalu keluar dari pendapa itu. Haji Pinang lalu membaca lagi, ter-
jemahan kita boleh Haji Rifa'i. Ia menemukan kesalahan lagi,
yang menamakan orang kufur (= bersifat kafir)
54. terhadap priyayi baik yang besar maupun yang kecil, Is-
lam mereka munafik. Haji Pinang berkata keras yang memper-
ingatkan, Ki Rifa'i tampak hanya berkedip-kedip (tak dapat
menjawab), merasa dirilah dalam hati, sehingga sangat takutlah
ia.
55. Haji Rifa'i berkata, "Kanjeng Gusti (= Tuanku), yang ber-
sifat murah hati, hamba padukan mohon pengampunan, dan
pada belakang hari kelak akan hamba menghentikannya (= ti-
dak mengulangi perbuatan yang salah itu lagi)." Ki Tumeng-
gung berkata menjawab, "Bersungguh-sungguhlah kau ini.
56. Hentikanlah tekad perbuatunmu yang tidak benar itu,
jika salah salah kejadiannya, kau pasti akan mendapat hukum-
an yang berat, ialah oleh negara yang berkewajiban menjatuh-
kan hukuman itu, jika kau mengulangi kesalahan itu lagi, ialah
47
PNRI
tingkahmu yang tidak patut itu.
57. Sekarang ini telali terang, bukan kesalahanmu itu?", Ki
Penghulu berkata perlahan, "Mungkin karena sangat kecero-
bohannya (sehingga kebingungan sendiri), ia bersalah sa tu kali,
walaupun terpaksa dua kali bersalah, sebagai tindakan keutama-
an tuanku, berkenan memberi ampun kepada orang bersalah
itu."
58. Ki Tumenggung berkata dengan sabar, "Hai, Haji Rifa'i
cepatlah, semua kitab-kitabmu itu, serahkanlah olehmu kepa-
da Raden Penghulu semuanya, supaya beliau mengubahnya,
lafal atau bunyi dalil-dalilnya yang salah."
59. Mas Penghulu Batang berkata sabar, "Haji Rifa'i, seka-
rang ini, dengarkanlah, inilah lafal, walaupun dibaca akan jelas
terang bunyinya, ialah bab beribadah yang sebenarnya, dan
itikad hati yang baik."
60. Haji Rifa'i berkata dengan sangat ketakutan, "Sekarang
ini (jiwa) ragaku, akan mengikuti segala petunjuk para ulama
semua, dan menuruti ketentuan kitab yang sebenarnya, yang
diperkuat dalil-dalil hadits, menurut kemufakatan para ahli."
61. Tersenyum-senyumlah para ulama semuanya, atau segenap
orang (yang menonton), "Ah, ternyata hanya sepele atau remeh-
remeh saja, kata-kata ucapan Ki Haji Rifa'i, ternyata pula ia
tak berani bertanggung jawab, atas pendapatnya."
62. Para muridnya menjadi kecil hatinya (= takut, kecewa
dan rendah diri), melihat gurunya keok (kalah total) itu, ter-
nyata sangat salahlah pendapat gurunya itu. Mereka memper-
salahkan diri mereka sendiri, karena merasa berguru kepada ib-
lis, sehingga kelirulah itikad (niat baiknya).
63. Hanya kebanyakan dari para ulama itu, masih berang da-
lam batin mereka. belum ada yang lega puas hatinya, melihat
Ki Haji Rifa'i, ada terniat dalam hati, masih ingin meringkus
menundukkannya.
64. Setelah beduk selesai dibunyikan, Kanjeng Tumenggung
memerintahkan, mengambil makanan yang tak lama kemudian
48
PNRI
telah tiba. Segera makanlah para ulama dan priyayi. Setelah
makan bersama itu, segeralah bubaran dan mereka pulang.
65. Sepanjang jalan pulang para ulama dan priyayi itu, me-
reka membicarakan di antara mereka, "Kanjeng Tumenggung
memang berderajat tinggi, telah berhasil membuat terang ten-
tang kekusutan agama, sehingga Ki Haji Rifa'i, telah menda-
pat pelajaran yang benar-benar harus disadarinya.
66. Selama di desanya ia demikian menyombongkan diri, ka-
rena memang belum pernah terbentur, Kanjeng Tumenggung-
lah yang sekarang menghajarnya. Kalau tidak segera langsung
di hajar (= dibenarkan kesalahannya), pastilah akan berlarut-
larut, itikadnya yang salah itu.
67. Jika ia tak hendak menghentikan, kekeliruan tingkah-la-
ku yang dijalankannya itu, pasti ia akan mendapat hukuman
yang berat. Kanjeng Tumenggung telah mengetahui, bahwa per-
buatannya itu tidak benar, ialah membujuk-bujuk orang."
68. Yang sebagian ada yang menjawab, "Menurut tebakan-
ku (= dugaanku), agaknya tidak akan ia memperbaiki tingkah
lakunya, selama ia masih bertempat tinggal di desa itu. Bukan-
kah dahulu sudah pernah teijadi, ia dimurkai oleh pembesar
negeri?
69. Namun demikian tidak juga ia sembuh dari tingkah laku-
nya itu, kecuali mungkin jika tinempong (= langsung dihukum
secara fisik), dan diperintahkan berdiam di riegeri ini (= dalam
kota Batang — Pekalongan), diawasi oleh tangan-tangan Tumeng-
gung disini, agak-agaknya baru akan dapat sembuh, jika KI-
NANTI (= didampingi, diawasi) pembesar. (Dengan kata KITAN-
THI, pupuh selanjutnya berupa PUPUH KINANTI)
49
PNRI
VII. PUPUH KINANTI
50
PNRI
8. tidak disahkan semuanya. Karena itulah Ki Tumenggung
mengumpulkan para ulama, diperintahkan untuk mengadakan
musyawarah, sehingga sekarang ini telah jelas, kekeliruan Haji
Rifa'i itu.
9. Telah banyaklah orang-orang yang berguru, kepada Haji
Rifa'i. Mereka telah berbulat hati, tidak takut kepada para pri-
yayi (= pengemban hukum negeri). Hai itu membangkitkan
kekhawatiran pada negara, kalau-kalau dapat berkembang men-
jadi kraman (= pemberontakan) seperti dahulu itu.
10. Seperti yang terjadi di negeri Kedu, ialah yang berani me-
lawan Bupati, sehingga terjadi pertarungan bersenjata, sampai
bupatinya tewas dalam pertempuran itu, disebabkan hanya ka-
rena ulamanya mengajar, itikad yang tidak benar.
11. Terkejutlah ketika ia mendengar, demikianlah tuan Sekre-
taris itu, tidak memakai pemeriksaan yang seksama, dan Tumeng-
gung tidak dipanggil, segeralah ia menulis sepucuk surat, Ki
Tumenggung diperintahkan (melakukan tugas).
12. Maksud surat itu sangat marah, kepada Haji Rifa'i, Ki Tu-
menggung diperintahkan, disuruh memulangkan sesegera-sege-
ranya, diserahkan kepada Bupati, Batang supaya dijaga (= di-
jadikan tahanan).
13. Tidak diperkenankan bepergian dari situ, dari desa tempat
tinggalnya, tidak diperkenankan mengajar seseorang pun, orang
berguru pun tidak diperbolehkan, polisi disuruh menjaganya,
surat itu segeralah dikirimkannya.
14. Tidaklah diceritakan dalam perjalanan surat itu, Bupati
Pekalongan telah menerimanya, surat itu lalu segera beliau mem-
buat surat kepada Bupati Batang, Ki Harya Puspadiningrat, se-
bagai Bupati Batang.
15. Segeralah disuruh berangkat dengan cepat, ialah Ki Haji
Rifa'i itu, diiringkan oleh utusan Bupati, sepanjang jalan selalu
minta dikasihani, menganggap bahwa itu merupakan murka
dari Hyang Suksma (= Allah), bahwa ia telah berlaku yang ti-
dak benar.
51
PNRI
16. Bahwa ia mengaku seorang alim yang agung, mengaku se-
bagai wakil Kanjeng Nabi, Muhammad pemimpin dunia, di Ja-
wa ini tak ada yang menyamainya. Karena itu tentang orang hi-
dup ini, hendaklah selalu ingat-ingat dan berhati-hati.
17. Janganlah asal dapat berkata keras, meskipun hanya sepa-
tah kata sekalipun, jika tidak patut untuk orang banyak, sebe-
narnyalah hanya akan membawa bencana, sebab semisal makh-
luk itu, semuanya dititahkan oleh Hyang Widdhi (= Allah).
18. Bagaikan samudera dengan alunnya, tampaklah bergulung-
gulung gelombangnya, raga kita ini seumpama sampah, alun
itu Yang Menguasai Kehidupan ini, kenyataannya ialah Hyang
Suksma, dapat dimisalkan sebagai la ut itu.
19. tempat berkumpulnya semua air. Seumpama .nyala api,
kenyataannya Hyang Suksma itu, merupakan ujud cahaya de-
ngan kasih sayangnya, selalu melihat kelenyapan kehidupan ini,
kembali kepada keadaan yang sejati (= asal mula kehidupan).
20. Tak lainlah bahwa Hyang Suksma yang Agung itu, ber-
semayam dengan penuh sifat terpuji, pujikanlah dengan sifat-
sifat Maha Mulia, kemulyaan yang membawa berkah (= faedah),
yang menciptakan sebab-sebab kesejahteraan, menyejahtera-
kan segenap makhluk ciptaanNya.
21. Sepanjang jalan menyalahkan diri sendirilah, Ki Haji Ri-
fa'i tersebut, "Ya, inilah ulah Kentol Jariah, yang membuat ce-
laka diriku, mérusakkan hati dan perasaanku, sehingga Ki Tu-
menggung sangat tersinggung perasaannya.
22. Ki Jariahlah yang menjadi penyebabnya, memuji mema-
naskah hatiku, mengadu-adu dengan jalinan bahasa yang keti-
ka kuturuti malah mencelakakan. Tidak pantaslah ulah si Jariah
itu, kelak pantaslah ia kusurati."
23. Tersebutlah yang mohon belas kasihan (Ki Haji Rifa'i),
datanglah Residen van der Poel, maka Ki Tumenggung itu se-
geralah, menghadap kepada residen, lalu setelah saling membe-
ri hormat, kemudian duduklah mereka di kursi.
24. Segala sesuatunya telah dikemukakannya, perihal tingkah
52
PNRI
laku Haji Rifa'i, sejak awal, tengah sampai akhirnya, lengkap
tidak dikurangi dan tidak pula dilebihkan, terutama tentang si-
fat merasa diri pandai, mencela terhadap sesama.
25. "Itu sebabnya hamba dengan segera, mengumpulkan para
ulama, hamba perintahkan mereka bermusyawarah, menguji-
coba kebenaran melawan Rifa'i, akhirnya memang ternyatalah,
bahwa Haji Rifa'ilah yang salah.
26. Orang yang datang melihat penuh, mereka sangat ingin un-
tuk menontonnya, ulama yang hendak membetulkan itikad,
terhadap orang yang beragama yang sama, ialah Penghulu Ba-
tang, yang memutuskan benar-salahnya perkara itu.
27. Karena dari kewaspadaan hamba, yang ditugaskan meng-
asuh negeri, dimintai pertanggung-jawaban orang senegara, jika-
lau terlanjur-lanjur tidak benar, tentu akan menulari masyara-
kat, terutama hamba tuan orang-orang Jawa.
28. (Yang sifatnya) jika ada orang yang mengaku sebagai ahli,
terpikatlah mereka dengan cepat, ribut mereka merubungnya,
dinyatakannya sebagai sangat luar biasa, dapat mengalahkan
negara, menonjol di Pulau Jawa ini.
29. Yang kedua yang hamba khawatirkan, jika ia membuat
huru-hara dalam negeri, pada akhirnya hanya membuat kere-
sahan dan keributan, terhadap pembesar-pembesar yang meme-
rintah negeri," Tuan residen berkata, "Semuanya itu tidak ada
yang keliru.
30. pendapat Ki tumenggung itu, nyata lurus lagi pula tepat.
Gupernemen (= pemerintah) sangat berterima kasih, bahwa
Tumenggung bertindak sebagai polisi (= sebagai pengaman dan
penertib), (benarlah, bahwa) Ki Tumenggung, instruksi tuan,
menjaga ketenteraman agama pula, sebab
31. segenap penganut agama Islam itu, hendaklah bersungguh-
sungguh menjalankan, syari'at agama Islam itu, jangan dengan
penyimpangan-penyimpangan. Bupatilah yang mempunyai ke-
kuasaan, mengusahakan kesejahteraan segenap bawahannya.
32. Dalam pasal sebelas disebutkan (= dalam wetblad, kitab
53
PNRI
undang-undang), bahwa semua pembesar yang disebut bupati,
hendaknya mengusahakan pengasuhan, jangan sampai terdapat
ada orang, terbujuk atau terkecoh oleh suatu perkumpulan, yang
semuanya itu dilakukan oleh siapapun orangnya.
33. mempunyai arah (= bertendensi) tingkah laku yang tidak
pantas (= tidak benar), misalnya menjual jimat (- benda yang
dianggap mempunyai daya gaib), japa (= do'a-do'a baik tertu-
lis maupun lisan,- yang dianggap berdaya gaib) dan sebagainya,
serta peri laku lain-lainnya, yang mempunyai niatan menipu
untuk mndapatkan hasil (materi, uang), memperoleh imbalan
uang, atau barang lainnya.
34. Jika Bupati mengetahui hai yang demikian itu, atau ada
orang yang berani menjalankannya, melanggar instruksi dari
Kanjeng Raja, Bupati wajib dengan cepat menangkapnya, serah-
kaniah segera kepada residen, disertai laporan yang tertulis.
35. Maka dengan demikian Haji Rifa'i itu, termasuk orang
yang melanggar instruksi, artikel (= fasal dalam undang-undang)
nomor empat belas, sebagai yang disebutkan di depan tadi, ka-
rena itu wajiblah Tumenggung, memeriksa dan mengadilinya
(= menjatuhkan hukuman atasnya)."
36. Ki Tumenggung telah minta diri pulang. Demikianlah yang
diceritakan dalam puisi ini, yang tersebut dalam riwayat, semua
orang memperingati, penobatan Sri Nara Nata (= Sang Raja),
yang mempunyai kewajiban mengatur agama.
37. Ratu wajib berguru atau belajar, kepada para ulama, ke-
pada para mukmin (= orang-orang yang beriman), pengetahu-
an tentang perbuatan utama atau kebaikan, serta pula perbuat-
an yang sirik (= mempersekutukan Tuhan) atau kejahatan. Hen-
daklah benar-benar bersih hatinya, itulah tanggung jawab orang
menjadi Haji.
38. Bukankah sudah dianugerahi keluhuran, oleh Hyang Yang
Menguasai Dunia (= Allah SWT), seibaratnya sebagai raja itu
menjadi khalifah (= wakil mengatur) Hyang Suksma, diserahi
(pengaturan) dunia seisinya. Karena itu wajiblah para pungga
54
PNRI
wa (= pegawai pemerintahan) menjaga dengan sebaik-baiknya,
keselamatan dan kesentosaan Raja (= dalam pengertian nega-
ra seisinya).
55
PNRI
Cerita berbentuk puisi berlagu (tembang) ini meriwayat-
kan kisah Haji Ahmad Muttamakim dengan Khotib Anom Ku-
dus memperbantahkan tentang ILMU KEBENARAN.
56
PNRI
VIII. PUPUH MIJIL
57
PNRI
7. (Janganlah) bagaikan kehendak yang mendahului mem-
buat orang tersinggung, sangat marah memberontak (hatinya),
berani melawan dan kurang ajar tiada kemanisan sedikitpun. ~
Akan terbukalah rahasia diri yang ditandai orang, tidak terpuji
tingkah laku demikian itu, hanya merugikan dan tiada yang
menyetujuinya.
8. Bagaikan halimun (= kabut) yang padat menggelapkan
pandangan (hati), berkepanjangan dan menjauhkan (= bukan
mengakrabkan), membangkitkan bahaya pada kesudahannya,
menderita sengsaralah dunia ini, sebab harus diperlakukan de-
ngan kekerasan. (Tetapi) Keutamaan manusia itu,
9. dapat dimisalkan bunga-bunga bermekaran bagaikan ge-
rimis (= banyak, bersamaan, merata), dijadikan pedoman utama
oleh orang banyak, dengan telaten dan bersungguh-sungguh
dijadikan contoh. Jika telah teguh tersimpulkan (= menjadi
tradisi) dengan teliti, ditekankan secara luas sebagai teladan,
kepada keluhuranlah orang berduyun-duyun.
10. Persoalan pokok pembukaan keagamaan, berkisar karena
terkena kehinaan. Hai itu disebabkan hati menjadi gelisah ter-
gugah, narnun terhadap yang utama bersungguh-sungguh dalam
melakukan hukumnya, iblis pun pergi, tidak tahan menghadapi
yang bersungguh-sungguh itu.
11. Jika penyebab ketersinggungan hati itu diperpanjang (di-
tarik-tarik), akan meratah rata ke segenap hati, tidak dapat di-
selingi (kebaikan) sedikit pun, orang selalu ketakutan, akan
guna-guna, khawatir terkena sihir, beritikad tanpa kebaikan
(kebangkitan), dalam kata-kata ceroboh.
12. Adapun permulaan kehendak yang menuju kebenaran itu,
dikenai keberanian, supaya hasrat hati yang sangat diperkuat
dengan tindakannya, diri yang bersemangat bergairah dan ber-
sungguh-sungguh, disertai ketentuan yang menunjangnya.
13. Jika pokoknya berupa kegairahan yang bertimbun (= sa-
ngat disenangi), ketenteramannya akan tampak, tidak boleh ber-
ubah atau bertambah-tambah ketentuannya, sebab akan ber-
58
PNRI
akibat kegawatan, mengingat, kesalahannya akan menyeluruh,
menjejali, memenuhi dan berkait-kaitan.
14. Jika dibahas hanya berakibat tiada gunanya, akhirnya men-
jemukan, tiada keikhlasan menyakitkan pembalasannya, seum-
pama penyu dalam tekanan kurungan, selalu bersedih hati, ti-
dak dapat digantikan orang lain, hanya dirinyalah yang men-
jadi korban (= dikorbankan demi kesenangan orang).
15. Tersebar meratalah ramai kabut ketidak-tahuan, kegairah-
annya tidak bercampur, sebab telah diliputi lingkungan yang
gawat, yang laras menjadi giras oleh lebatnya gerimis (keke-
liruan), menjadi ribut tiada ketenteraman, sebab terhanyut arus
kesalahan agama (durgama - kepercayaan salah).
16. Kata-katanya berdesih mengandung maksiat (= mengajak
berlaku jahat), peringatan tidak tertampung, sebab telah mem-
bubunglah sifat angkara murkanya, sampai membatalkan sa-
rak yang benar, dengan keberanian tanpa perhitungan walau-
pun terkena akibatnya, campur aduk tidak beraturan.
17. Namun tentang yang benar-benar mengabdi (berbakti)
kepadaNya, dalam hatinya, berani mawas diri tujuannya, lagi-
pula terpengaruh oleh keutamaannya, ialah kewibawaan pimpin-
an pemerintahan dunia, yang berbahasa baik, merupakan pa-
kaian yang indah.
18. Kalahlah (yang buruk itu) terserap dalam kebesaran bumi
ini, tergantung di buinintara (= antara bumi dan langit) memang
berat, tak terkirakan jangkauan dan batasannya, tidak berse-
mangat berdaya upaya, tiada tempat yang menyenanginya, ka-
rena sangat berlaku sombong dan takabur.
19. Kegairahan cinta menunduk menarik hati dan merajuk-
rajuk, selalu berusaha mendampingi (kita). Dalam hati bagai-
kan menyembah di kakinya, menyala bersinar (kegairahan)
itu bagaikan Sang Kadimurti (= Penguasa dunia, Allah), mengua-
sai dan memberi pengertian, kepada segenap orang yang bodoh
dan dungu.
20. Sedangkan berkah dan kebesarannya di bawah langit ini,
59
PNRI
menyebabkan orang tergila-gila (karena hasrat mendapatkan-
nya), tidak ada yang mungkin mengembari karena bernasnya,
unggul, mempesona, menyelamatkan dan dipaparkan secara
kiasan, semuanya itu meliputi menyelimuti, Nabi yang juga
Rasul.
21. Bagaikan mustika di dunia yang sejahtera dan merata, halus
budi pekerti lagi pula berperasaan baik, yang jahat terbendung
oleh keluhuran tabiatnya, kasih sayangnya dibaktikan untuk
agama dan kehidupan, ia berani menanggung dan menghadapi
(kesukaran), yang membebani umatnya.
22. Turun-temurun beredar mengelilingi dunia yang merata,
tutur kata dan pedoman-pedoman tuntunannya, menyeluruh
sampai datang di antaranya, yang teriatuh, yang terakhir, ialah
mengetahui wahyu dan pemberitaan, terhadap kematian tepat-
lah, kemanisannya terpadu.
(Dengan kata ke-MANIS-annya, diisyaratkan bahwa pupuh se-
telah ini ialah PUPUH DANDANGGÜLA, sebab Gula berasa
manis. Hai ini dalam sastra Jawa dinamakan: SASMITA).
60
PNRI
IX. PUPUH DANDANGGULA
61
PNRI
lagi berlagak memamerkan diri karena merasa telah bangkit
(= mampu menguasai), di situlah keguguran gurumu (jatuh nama
baiknya).
5. Lebih lagi syaitan mengiaskan diri melalui saji-sajian, yang
orang baik-baik tak akan menyediakan lampunya (= terang hati,
tidak terpikat), selalu memperingatkan perhimpunannya. Ha-
nya dengan kata-kata yang mengharukan, terangkatlah hati dari
kiasan Qahat) terhindar, teriindung dari desas-desus, yang seolah-
olah laras dan baik, tetapi kehendaknya banyak yang menyim-
pang dari kebenaran. Pada permulaan menuntut ilmu itu, sebaik-
nya ingat-ingatlah, salah-salah dapat menyebabkan kebinasa-
an.
6. Kesesatan itu benar-benar tidak takut-takut tindakannya,
sebab telah tergolong kepada sebelas iblis, yang kata-katanya
tak tahu aturan ataupun sopan santun, hanya kebinasaanlah
yang ditujunya. Adalah cerita yang menjadi berita, seorang ulama
di Tanah Jawa, pada masa (Pemerintahan) Susuhunan Prabu
Amangkurat. Hai itu disebabkan menjadi pertimbangan bahwa
membahayakan, oleh segenap para ulama.
7. Perselisihan dalam permasalahan ilmu, dari ketaklukan
(insan) terhadap kodrat (= ketentuan Allah) dan iradat (= usa-
ha manusia meningkatkan diri), inilah yang menjadi asal-usul
(perselisihan)nya. Telah meluas berlarut-larut, tiada berbatas
itikad yang dikandung dalam hati. Akhirnya saling mencela,
dari mulut ke mulut menyiarkan fitnahan, yang bertempat di
pesisir timur, tanah Tuban, bernama Haji Ahmad Mutamaqim,
yang menjadi iawan orang banyak itu.
8. (Memperlakukan dengan) keras dan kotor akan syariat
Nabi, di Cebolek, suatu desa dalam wilayah Kabupaten Tuban,
ialah yang terkenal menjadi tokoh pelaku (cerita ini), yang dike-
jar-kejar dan dikeroyok, oleh para ulama daerah pesisir, dilarang
merusak ajaran sarak, mendurhaka (= berkhianat) kepada
raja (pemerintah), karena rajalah yang mempunyai wewenang
menyiksa (dengan pengertian menghukum). Bukankah raja itu
sebagai wakil sang penguasa bumi, dalam usaha mengatasi sega-
62
PNRI
la bahaya (kerusakan).
9. Tetapi Haji Mutamaqim itu, tidaklah ia tergoyahkan, de-
ngan menggagahkan diri berkeras kepala, tidak dihiraukannya
kesulitan atasnya, berani ia melawan hukum. (apa saja) Banyak
yang menyerangnya, namun tetap kokoh tidak tergerak, banyak
ulama yang mendatanginya, memberikan petuah dan petunjuk.
la malah mémelihara "serigala" (= mungkin maksudnya anjing
besar atau herder), anjing besar sebanyak dua belas, seekor di an-
taranya, dinamakan Abdulkahar.
10. Empat ekor anjing kiki (Pekingese dogs) kecil-kecil, pe-
mimpin (yang terbaik) di antara anjing kikik itu si Komaruddin
namanya. Sangatlah ia congkak merasa diri lebih dari yang lain,
Haji Ahmad Mutamaqim itu. Telah berulang-ulang para Ulama,
(memperingatkannya), sehingga pantaslah jika dilaporkan,_ kepa-
da Kanjeng Sri Nara Nata (= raja, kepala daerah, bupati), pada
akhirnya, sebab ia telah tidak dapat dinasihati lagi, dapat mem-
bahayakan negara akhirnya.
11. Sepakatlah para ulama daerah pesisir, mendahulukan tin-
dakannya dengan menyebarkan surat pemberitahuan, kepada
semua para ulama, baik ke Pajang, Mataram dan Kedu, ke Ba-
gelen dan wilayah-wilayah luar lainnya, serta pula yang terpen-
cil. Kesimpulan anggapan mereka itu, dengan itikad teguh di-
pertahankan, Ki Cebolek yang mengaku sebagai "Muhammad
yang hakiki", yang berani seandainya terkena hukuman.
12. Pada waktu itu gemparlah seluruh negeri, menjadi gon-
canglah segenap daerah pesisir. Para ulama dikerahkan semua,
dari timur datang Kyai Bungsu, Ki Witana dari Surabaya, de-
ngan Mas Sidasarma, dan Mas Khatib. Anom Kudus, sebagai pe-
mimpin para ulama, sejak dari Pesisir sampai ke Kartasura itu.
Belum lagi sampai saat pembicaraan.
13. terhalang oleh sakitnya Kanjeng Sri Narapati (Raja), Pra-
bu Amangkurat, dan lalu mangkat. Baginda digantikan oleh
putra baginda, Raden Mas Prabayeksa, sebab ia telah bergelar
Pangeran adipati, yang berhak mengantikan kedudukan ayahan-
63
PNRI
danya. Hebatlah penobatannya itu, setelah Susuhunan dima-
kamkan di Laweyan. Dimulai dari depaii lagi dan dilanjutkan
kembali, yang telah disampaikan kepada Sri Narendra (= Ra-
ja) itu.
14. Dikerahkan lagi para ulama daerah pesisir itu, semuanya
tidak ada yang keliwatan, baik dari Pajang, Mataram dan Bage-
len, daerah luar kuasa Kedu. Pemberitahuannya bersifat kilat
dan penting, tidak boleh dibantah. Yang dikerahkan telah ber-
kumpul, di rumah kepatihan Danureja, mereka bermufakat lalu
dipersembahkan kepada Bupati, setelah disetujui oleh para we-
dana.
15. Dari pesisir dan daerah luar kuasa, serta wedana dari kar-
tasura, bersatu padu memberi kata sepakat, telah eukuplah me-
nurut hukumnya (= cukup kuat alasannya untuk diajukan).
Para ulama semuanya telah datang, laksana kayu yang berada di
pelataran, persembahan telah bertumbuk, dan minyak kelapa
bertempayan-tempayan, hampir saja dibakarlah Haji Ahmad
Mutamaqim pada waktu itu.
16. Wedana jero (= wedana urusan dalam istana) yang men-
jadi pemuka, ia masih terhitung nak-sanak (saudara sepupu)
dengan Sang Raja, sebab saudaranya yang perempuan diambil,
dijadikan istri sang Raja, dinamakan Ratu Kencana. Adapun
Raden Demang itu, sangat terpakai (= anak emas) oleh Sang
Raja, pada waktu itu dititahkan menghadap ke dalam istana.
Setelah tiba di hadapan Seri Baginda.
17. bersabda perlahanlah Sri Bupati (maksudnya Sang Raja),
"Hai, kau abdiku, bagaimanakah yang dikatakan oleh uwak
patih? Sudahkah berkumpul semuanya, para ulama dari Tanah
Jawa?" Raden Demang Ngurawan, segerallah menyembah dan
menjawab, "Daulat, baginda, telah datang semuanya, maiali te-
lah dipertemukan dengan baik-baik, diselaraskan yang hendak
dikemukakan (dirasakan).
18. Adapun ilmu yang dirasakan (hendak dikemukakan), oleh
para ulama Tanah Jawa, sehingga dikerahkan mereka untuk
64
PNRI
dipertemukan itu, hanyalah sebanyak seratus empat belas ma-
cam, dengan kelebihan dua macam, itu telah digolongkan yang
terpilih, telah dikelompokkan tersendiri. Yang tergolong ren-
dah dibagi dua bagian, yang sebagian itu yang diutamakan, ber-
jumlah empat puluh empat macam.
19. Empat puluh macam dari padanya dipilihi lagi, terdapat-
lah dua puluh dua yang terpilih. Dipilih menurut keutamaan-
nya (= urgensinya), hanya sebelaslah, paduka, ialah lima ma-
cam berasal dari pesisir, dari ulama tanah Pajang, ada empat
macam, tuanku, dari daerah luar kuasa (= manca negara) ada
sebuah, dari Bagelen itu yang sebuah lagi, inilah yang dapat
membangkitkan pesona. (BRANGTA).
(Dengan kata BRANGTA, yang artinya terpesona, tertarik, as-
mara, diisyaratkan, bahwa pupuh setelah ini ialah PUPUH AS-
MARADANA).
65
PNRI
X, pupuh asmaradana
66
PNRI
perjalanannya, supaya mempercepat kedatangan si gentong umos
(= si tukang sombong, besar mulut, di sini berarti Ahmad Mu-
tamaqim), tuanku, bersama si Ragahita.
8. Sebenarnyalah Haji Mutamaqim itu, tuanku., ketika dalam
peijalanan, ia sendiri telah merasa diri, bahwa akan mendapat
kemurkaan, dari paduka tuanku Raja, namun ia tidak berniat
bergeser serambut pun (dari pendiriannya), katanya dengan
ikhlas hati ia menyerahkan persoalannya."
9. Bersabda lagilah Sang Raja, "Hebat, coba bagaimanakah
ketika ia di jalan, berbicara dengan abdi utusanku, apa saja yang
diperbuatnya di jalan itu." Berdatang sembahlah Raden De-
mang, "Hamba, tuanku, adapun ucapan katanya, bersyukurlah
ia kalau paduka berkenan menghukumnya.
10. (Katanya) "Anakku Ragahita, aku dikeroyok oleh para
ulama. Biarlah, kalau jadi aku ini dibakar, agaknya akan ter-
cium asap pembakaranku itu, sampai ke tanah Arab. Di sana-
lah tempat guruku, Syekh Zen dari negara Yaman."
11. Jika sedang di rumahnya, Tuanku, setelah mereka mela-
kukan sholat Isya', bukan lalu tidur keijanya, melainkan ma-
iali mereka berbincang-bincang bermusyawarah, buku pegang-
annya Serat Bimasuci, yang terdiri dari dua belas laku (= epi-
sode, babak), itu semua dianggap mereka sebagai maduretna
(= dihormati seperti pennata, diagung-agungkan).
12. Dibuat sebagai pedoman pokoknya, disimpannya sebuah
dari laku itu, yang nilainya sama dengan yang sebelas laku. (Ke-
semuanya itu) hendak dijadikan pemuas jiwa, yang katanya ke-
hausan sungguh-sungguh. Bersabdalah Sang Prabu, "Hai, bapang,
bagaimanakah itu?
13. Bukankah itu pembicaraan tentang ilmu yang gaib, menga-
pa menyerupai tata cara Buddha, hai, bapang, apakah ada hasil-
nya, bukankah itu salali, dan benarlah jika tersesat." Menyem-
bah dan berkatalah Raden Demang, "Ampun, tuanku, tidak-
lah kemurkaan (durhaka), (kata mereka) itu adalah intisari ilmu
yang hak (= yang benar).
67
PNRI
14. Semua itu hanyalah dibuat tamsil (= perbandingan), tidak
diimani dan diitikadi. Hanyalah mengambil pengandaiannya
saja. Banyak waliullah, yang terbuka hati dan nalarnya oleh
perumpamaan. Yang dituju pada saatnya itu, ialah Harya Bima
yang menceburkan diri dalam samudera.
15. Dengan (bertapa) mematikan badan ia pergi menean, atas
perintah guru ke pusat samudera, bertekad mati, jika tidak
mendapatkannya. la bersedia mati dalam lautan, jika tidak me-
lihat kesempurnaan. Maka ketika tiba di pusat samudera raya,
ditemukan ia oleh dewa kerdil (bajang).
16. Kecil mungil sebesar burung pipit, menyuruhnya untuk
memasuki, telinga Dewa Ruci (= Dewa kerdil itu). Tentu saja
sangat terkejutlah Sang Bima. Hai itulah yang digunakan, seba-
gai pengingat-ingat kata-kata, oleh si Mutamaqim di jalan tadi."
17. Dengan tersenyum bersabdalah Sang Raja, "Hai, apakah
gerangan ini? Si bapang, dan para wedana semuanya. Runding-
kanlah, lalu lekas tentukan hukumannya, (laksanakan) di alun-
alunku itu. Sebenarnya pada dasarnya aku ini, tidak hendak
mengikutinya (= membenarkannya).
18. Terhadap yang dikatakan uwak patih, dan segenap para
wedana, serta para ulama semuanya. Karena mungkin sajalah,
hai bapang, mempunyai niatan yang akan mengganggu diriku,
oleh ilmu yang sedemikian itu. Kalaupun belum mengajak-ajak
orang
19. menakluk-naklukkan orang kiri dan kanannya, ternyata
orang dari empat penjuru, lima penjuru, enam mata angin, tujuh
arah (- dari segenap daerah), semuanya agaknya telah diajak,
(dengan kata-kata) "Janganlah menggunakan sarak yang tidak
dapat dibawa mati kelak, tetapi tirukanlah ilmuku ini,
14. serta berkewajiban masuk menjadi murid, jika tidak demi-
kian, tidak." (Terhadap yang demikian itu) haruskah aku mem-
beri ampun saja?" Berkatalah Raden Demang, "Benarlah kehen-
dak Baginda Raja." "Hai, bapang, keluarlah kau cepat, dan umum-
kanlah kemurkaanku itu!
68
PNRI
15. Baik kepada si uwak patih, serta para ulama juga, maupun
para wedana semuanya. Lengkapkanlah mereka di Kepatihan,
dalam menerima kemurkaanku itu!" Demang Ngurawan men-
jawab dengan hormat, lalu sekeluar ia dari dalam istana,
16. ia memanggil sepasang gandek (= abdi pesuruh), yang di-
perintahkan untuk berangkat lebih dahulu, ke Kepatihan un-
tuk memberitahukan, bahwa "Sampaikan, aku besok pagi-pagi
akan ke Danurejan (= tempat kediaman patih), kedatanganku
sekitar jam delapan, hendak menjatuhkan (mengumumkan)
perintah dari Sang Raja.
17. Maka harus lengkaplah para adipati, berada di Kepatih-
an semuanya, dan juga para ulama semuanya. "Segera berang-
katlah si gandek memberitahukan, (perintah itu) ke Kepatih-
an. Tidak tersebutlah cerita malam harinya. Pagi-pagi Adipa-
ti Danureja
18. telah menampilkan para adipati selengkapnya, dengan se-
genap para ulama. Mereka telah datang di' rumah, Adipati Da-
nureja, yang duduk di barat para ulama, berkumpul dengan para
kyai dan penghulu, menghadap ke timur semuanya.
19. Yang di timur para Adipati, menghadap ke baratlah me-
reka semuanya. Adipati Danureja di utara, ke selatanlah hadap-
nya, agak ke barat sedikit sebagai penghormatan, kepada ulama-
ulama besar, yang berkedudukan di barat semua.
20. Ketika pukul delapan bersamaan dengan kedatangan Ra-
den Demang Ngurawan, yang duduk turunlah semuanya. Se-
telah Raden Demang duduk, mereka kembali ke tempat masing-
masing. Ki Adipati dengan cekatan, bersama-sama duduknya
21. dengan Raden Demang, cepatlah menjatuhkan perintah
(baginda), (yang mendengarkannya) merah karena marahlah
matanya, hancur kecewalah hati para adipati, dengan para ula-
ma semuanya. Selesai titah dijatuhkan, mereka agak menye-
salkan kemurkaan itu.
22. Selesai (pengumuman) kemurkaan sang raja, hanyalah
dijawab dengan dua patah kata, oleh adipati Danureja. Setelah
69
PNRI
itu ia hanya termangu-mangu, pucatlah wajah para adipati, ke-
semuanya mereka duduk menunduk, termasuk juga para ula-
ma.
23. Suasananya sungguh sangat gawat, menimpa barangsiapa-
pun yang berbuat, para pendukung hanya saling berpandangan,
dengan kemarahan yang terpaksa mereka tahankan, sebab me-
reka merasa dihalang-halangi, sesuatu yang telah mereka andal-
kan, laksana larut tanpa bekas dan tiada guna lagi.
24. Ia (Danureja) menoleh ke kanan dan berpaling ke kiri,
sahabat-sahabatnya para ulama, yan ditoleh itu semuanya tam-
pak menunduk, sampai-sampai para adipati pun, menunduk
pucat semuanya, Mas Khatib Anom Kudus, memperhatikan cin-
cinnya (yang menandakan),
25. bahwa ia sedang marah dalam hatinya, alisnya (menggam-
barkan) keberanian hatinya. Ia mengokohkan letak serbannya,
menyingsingkan lengan bajunya, bergeser majulah dua jengkal
duduknya, Mas Khatib Anom duduknya itu, sehingga menon-
jol ke depan dari yang kebanyakan (teman duduknya).
26. Tingkah lakunya gagah kata-katanya halus perlahan, ba-
gaikan putra Raden Subali (Hanoman = kemanakan Subali),
ketika ia diutus, oleh Prabu Ramawijaya, menuntut kepastian
dariprabu Dasamuka, membuat terheran-heran barangsiapa yang
melihatnya. Apalagi ia tampan dan masih muda (ANOM).
(Dengan kata MUDA yang sinonimnya ANOM, memberi isya-
rat bahwa pupuh setelah ini adalah PUPUH SINOM).
70
PNRI
XI. PUPUH SINOM
71
PNRI
perkara ini, sebabnya Ki Adipati mempersembahkannya,' ka-
rena para ulama ini, semuanya bersama-sama mengatakannya
kepada uwak tuanku, ananda.
6. Sebabnya pula berani mempersembahkannya, uwak tuan-
ku Rekyana Patih itu, karena (permohonan) dari para ulama,
memang benar-benar kuat dalam pemikirannya, kebenaranlah
yang dijadikan pangkal. Hai yang demikian itu mendapat kemur-
kaan Sang Prabu, itu bukankah berarti bahwa hamba-hamba
semuanya ini, sepatutnyalah mendapat kemurkaan Sri Raja?"
7. Tertawa terbahak-bahaklali Raden Demang Ngurawan sam-
bii menghentakkan betisnya, "Nah, legalah hatiku kini, bahwa
ini ada kaum lanji (= pemuka agama yang berlagak pahlawan),
dengan keras berani menempuh kematian. Baru saja bisa ber-
kokok, baru saja belajar bersiasat. Kalau itu misalnya ayam
jantan, ialah wiring galih (= corak ayam jantan kuning berbin-
tik-bintik, menandakan mudah dikalahkan, bertabur putih bulu
lehernnya bagaikan garuda lagaknya.
8. Nah, kalau begitu aku sajalah, yang menjadi wakil Sri Ra-
ja, menumpahkan kemarahannya kepadamu. Nah, apakah sebab-
ny kau ini, membuat kekacauan di bumi ini, membuat Raja
terpaksa mendengarkannya? Kata-katamu yang belum dapat
dipertanggungjawabkan, telah kau kemukakan kepada uwak
patih, apakah kau menginginkan kemarahan para ulama?
9. Inginkah kau didengarkan seluruh negara? Apakah kau
menginginkan derajat di bumi ini? Habis tandaskah kemarahan
raja kau buat!" Mas Khatib Anom berkata perlahan sabar, "Sa-
ngat berterima kasih, tuanku, hamba sunggi (= letakkan di atas
kepala), kemurkaan Raja yang telah dijatuhkan, namun para
hamba paduka semua ini, sama sekali tidak bemiat, tuanku
10. hendak merepotkan terhadap paduka. Jikalau pendapat
itu kebetulan bersamaan, baik lahir maupun batin kami akan
menjaganya, tentu saja menurut kemampuan kami yang beru-
pa kemampuan kecil. Bukankah kewajiban orang hidup itu, men-
jaga keselamatan Rajanya, dengan harapan mudah-mudahan
72
PNRI
keselamatan itu berlangsung abadilah, baginda mengimani ta-
nah Jawa. Kemudian jikalau ada tikah laku yang memalukan
seandainya tampak (akan kami cegah, sebab),
11. kalau seandainya berlarut-larut, pada akhirnya membuat
repot, mungkin berkuranglah kewibawaan negara. Yang demi-
kian itu akhirnyapun akan menular. Bukankah yang begitu itu
tidak pada tempatnya, jika digunakan oleh pribadi-pribadi,
hamba paduka orang Jawa ini? (Kebiasaan manusia), jika men-
dengar suatu ilmu yang "sumbang" (gampang = tidak sah), yang
menjauh dari Sunnatu'l-jama'ah (= yang biasa dilakukan orang
banyak),
12. berbondong-bondong mereka merubungnya, mereka ber-
lari sekencang-kencangnya (mendekatinya). "Adipati Jayaning-
rat, tersenyum sambil dengan perlahan menggamit, kepada Ki
Harya (Patih) dan berkata perlahan pula, "Yang tampil (mung-
kin pula "metoni" maksudnya "Fathoni" nama Mas Khatib
Anom) itu menantumu. Hebat, ia berani membuka bibit pem-
bicaraan, tidak gentar ia melihat, berani ia berhadapan dengan
Raden Demang Ngurawan.
13. Jikalau orang atau manusia Jawa jaman sekarang, musta-
hil mampu berkutik, apabila melihat Raden Demang, yang tam-
paknya bagaikan Malaikat 'Ijra'il. Tanyakan olehmu kepada
orang senegara. "Raden Mlayakusuma itu, tersenyum dan ber-
kata senada, "Memang benar, hamba yang kerap kali beijum-
pa sekalipun, apalagi masih saudara dan juga berpangkat sama
ialah wedana,
14. namun masih juga hamba berdebar-debar, hati hamba jika
bersua, bagaikan melihat seekor harimau, walaupun sedang ber-
ada di balai penghadapan (pancaniti). Jikalau sedang kebetul-
an hari Senin dan Kamis (= saat-saat para hamba diperkenan-
kan menghadap raja), tergelar (menghadap) para punggawa
(= hamba-hamba berstatus pegawai) yang tinggi-tinggi pangkat-
nya, maka lewatlah "kakang mas" itu, segera saja semua terdiam,
tiada belalang menggesek sayapnya layaknya, sampai-sampai
kepada burung-burung dan dahan-dahan pohon semuanya.
73
PNRI
15. Dalam perasaan seakan-akan ikut khawatir, bersedih ke-
takutanlah pohon beringin. Orang itu memang tidak selayak-
nya manusia, derajatnya bahkan melebih, kakanda Pangeran
Mangkubumi. Ketika pada masa dahulunya terpakailah ia be-
keq'a dalam istana, dalam pekeijaan itu ia didatangi, diperiksa
oleh kakanda Raden Demang.
16. Hanya sebentar lagi sambil lalu, sebab masih gemetar ke-
takutan, hatinya masih berdebar-debarlah, kakanda Pangeran
Mangkubumi, tempatku juga didatanginya. Ia berkata-kata mem-
berikan petunjuk-petunjuk. Tampak kekhawatirannya belum
hilang, debaran jantung masih tampak, terbata-bata berkata-
lah ia dengan terputus-putus.
17. Hamba malah memberikan cibiran, kepada kakanda Pange-
ran Mangkubumi, 'Paduka ini seperti hamba saja, terhadap adin-
da paduka sendiri takut. Bukankah mustahil ia hendak, men-
denda (= menghukum) terhadap saudara tuanya." Jawabnya
sambil mengusap dadanya, "Ah, (anak itu) tidak dapat diper-
bantahkan (= di luar dari kebiasaan), adinda, siapakah yang ti-
dak takut terhadap adinda demang.
18. Adinda Malayakusuma, coba, tidak terduga-duga diriku
ini, ketika adinda lurah melakukan pemeriksaan, ke daerah
rah tanggungjawabku, hamba telah tak punya hati (= sangat
ketakutan), hamba mengira tentu akan ada yang dicela oleh-
nya, aduh, adinda hati hamba ini, semua telah berada diluar
(= sangat ketakutan), untunglah hai itu tidak lama, sebab hanya
(kebetulan) lewat saja ia."
19. "Sedangkan itu dalam urutan lebih tua, kakanda Pange-
ran Mangkubumi, bukan pula kerabat atau saudara sembarang-
an, melainkan benar-benar saudara pancer (= pokok keturun-
an), namun kakanda pun sangat ketakutan, terhadap "kakang
mas" itu. Apakah pasti akan mendapat anugerah, suatu derajat
atau pangkat yang berlebihan, hanya itulah (yang kuheran-
kan), bahwa orang Kudus itu berani melawan.
20. (Coba saja lihat) nanti, kalau bukan kemurkaan (yang akan
didapat), Khatib Anom benar-benar orang luwih (= mempu-
74
PNRI
nyai kelebihan dari kebanyakan orang). Ia berani memeluk ha-
rimau namanya." Tersebutlah mereka yang sedang bertukar pi-
kiran, ramailah bergulat saling mendongkel, jebak-menjebak
supaya bertambah, kemahiran mengadu kemampuan. Mas Kho-
tib Anom tidak tergoyahkan, walaupun dibentak-bentak oleh
Raden Demang Ngurawan.
21. Mas Khatib Anom berkata pula, "Ananda, jikalau paduka,
menunduk kepada hamba ini, bahwa hamba tidak menasihati-
nya, kepada Haji Mutamaqim, itulah orangnya, silakan padu-
ka menanyainya, ia di hadapan paduka. Hamba kerap kali men-
datanginya, ia di hadapan paduka. Hamba kerap kali mendata-
nginya, menasihatinya supaya mencegah tingkah laku yang
saru (= kurang ajar, memalukan, kotor, tidak sopan).
22. Kuminta kau menjawabnya, hai, ki Ahmad Mutamaqim,
senyampang kau berada di hadapan tuanmu, mengapakah kau
berani mempertaruhkan nyawa!" Ki Cabolek menjawab seenak-
perutnya sambil mengangguk-angguk karena mengantuk, "Me-
mang benar, anak hamba (Khatib Anom), mendatangi hamba
dan menasihati, tetapi hamba sampai mati pun tidak akan ber-
geming.
23. Mungkin karena sangat bodohnya pamanda hamba ini, ha-
nya wejangan gurulah yang hamba pegang, sebab telah mere-
sap ke dalam segenap jiwa, tidaklah dapat, jika dititahkan supa-
ya hamba surut lagi. Hati hamba haruslah menepatinya." Mas
Khatib Anom membentaknya, "Hah, pikiran apakah itu, mem-
bangkitkan kebencian dan menimbulkan penyakit! Coba, ma-
nakah ada anjing diberi nama Abdulkahar,
24. ananda, anjingnya yang seekor lagi, dinamakannya Koma-
ruddin, setelah yang satunya Abdulkahar!" Tertawa terbahak-
bahaklah yang mendengarnya, sedangkan Demang Ngurawan,
menghentak-hentakkan betis sambil tertawa tergugu. Khatib
Anom berkata dengan lantang, "Kau juga tidaklah baik, datang
dengan menunduk-nunduk sembunyi-sembunyi untuk menja-
di bahan tertawaan negara.
25. Orang yang berdaya upaya supaya terkenal dalam hidupnya,
75
PNRI
kemampuannya haruslah berlebih, jangan tanggung-tanggung
dalam tingkah lakunya. Coba, pindahkanlah gunung Merapi,
setelah itu gunung Prawata, letakkan mereka di atas gunung
Lawu, topanglah itu dengan (kedua) tanganmu. Sebarang keija
itu, janganlah tanggung-tanggung mengabaikan (keselamatan)
jiwa dan ragamu.
26. Bersikap kurang ajar berhadap-hadapan (namanya), jika
anjingnya disamakan namanya, dengan penghulu di Tuban, Ab-
dulkahar, anjingnya lagi, disamakan dengan ñama khotib, si
Komaruddin itu. Yang demikian itu bukanlah orang sesungguh-
nya orang, berlaku kurang ajar membangkitkan kebencian yang
sangat, sebenarnya pekerti demikian itu na'udzubillaahi min
dhalik (semoga dijauhkan Allah dari azab).
27. Ananda, karena itulah hamba, yang bodoh ini memper-
sembahkannya kepada uwak Patih, Adipati Danureja, supaya
kiranya teranglah yang ditemukan, mengenyahkan kekhawa-
tiran. Bukankah juga rajalah namanya, jika baginda hendak meng-
hindari, yang serba menjadi sunnatun Nabi, akan sengsaralah
yang meniadakan pengertian sarak itu.
76
PNRI
XII. PUPUH KINANTI
77
PNRI
si Haji Mutamaqim ini. Jika demikian, tuanlah, ananda, yang
merusak negara ini.
9. Bukankah sudah menjadi kewajiban seorang Raja, bah-
wa ia harus menjaga dan memelihara sunnatun Nabi (= keten-
tuan-ketentuan menurut contoh Nabi Muhammad SAW, Al-
Hadits)? Jika seorang Raja menjauhinya, segala sunnatun Nabi
itu, akan hilanglah kemanisan wajahnya, akan menyuramkan
negara ini.
10. Sebenarnyalah negara akan berbau busuk (= arus = bau
ikan busuk), raja nya tidak berwajah manis, segala sesuatu yang
ditindakkannya, hanyalah akan membangkitkan kebencian."
Sang Raja tersedak tertawa, "Si Kudus akan membahayakan
untuk negara."
11. Yang berdatang sembah belum selesai, terburu tertawa-
lah Sang Raja, "Jika demikian, bapang, marilah kita bersama-
sama menjalankannya! Aku akan ikut keluar sholat Jum'at,
beritahukan kepada si uwak patih.
12. Buatkanlah tempat untukku, tertentu dan khusus dalam
masjid, Jum'at depan ini aku akan keluar." "Menurut kata-kata
si uwak Patih, itu dilahirkan sejak jaman dahulu, ketika mula-
mula ada sholat ke masjid." (= menurut ketentuan sholat jama'-
ah Jum'at, tidak ada kekhususan untuk siapa pun, barangsiapa
datang lebih dahulu, boleh bertempat di barisan depan. Jadi
tidak ada semacam pesan tempat)
13. Bersabda lagilah Sang Prabu, "Hai, bapang, aku mulai ingat,
nanti kupikirkan sekalian. Pada suatu saat dahulu, agaknya ada
orang yang berbincang-bincang, ialah di hadapanku.
14. Si Jayaningrat agaknya yang berkata itu, bersifat senda gu-
rau di hadapanku." "Paduka tuan ini, tuanku, selalu menghen-
daki di depan, tuanku. Hal itu cocok sekali dengan wayang
orang, bahkan kurang satu
15. ialah terbang (= rebana) dari orang, tuanku." Aku terta-
wa dan bertanya perlahan, "Hai, adipati, apakah ada, sebuah
rebana dihiasi secara wayang. Kukira itu tidaklah umum (ka-
78
PNRI
prah = biasa, umum, lumrah)" Berkatalah si adipati,
16. "Daulat, tuanku, ialah hamba paduka Kudus, si Harya
(= gelar patih) bermenantu seorang santri (= siswa suatu pon-
dok pesantren, pendidikan khusus keagamaan Islam), si Kha-
tib Anom nama orangnya. Ialah yang mendirikan rebana itu,
tuanku." Aku terburu tertawa terbahak-bahak, sebab kusangka
sekedar kebohongan belaka.
17. Malah berkatalah kepadaku, Si Adipati Jayaningrat, bah-
wa orangitu dalang sekaligus wayangnya pula, ialah si Khatib
Anom yang menjalaninya. Katanya ia menjadi wong agung me-
nak (= sebutan untuk tokoh Amir Hamzah dalam cerita Serat
Menak, yang meriwayatkan cerita Amir Hamzah pamanda Na-
bi Muhammad SAW, dalam bentu penyajian berupa wayang
golek gaya Jawa), pahlawan perang, yang menjadi pembebas
penindasan di bumi ini.
18. Ialu orangitu akan kuambil (= kutangkap), tetapi si Cakra-
ningrat menghalangi aku, katanya, "Janganlah paduka menjadi-
kan, sebagai barang permainan kesenangan, tuanku, akan kera-
bat Rasulullah. Benar-benar hal itu akan menghilangkan peng-
hormatan (orang kepada paduka),
19. Bukankah hamba paduka ini dahulu, oleh bapak hamba
telah dilarang, memainkan terbang (rebana) lakon menak (ri-
wayat Amir Hamzah). Di Madura itu tidak dibenarkan, hanya-
lah si Ahmad dengan si Mursada, serta si Asmarasupi,
20. Itulah cerita yang dibawakan, oleh rebana Madura, tuan-
ku. Jika hanya dibacakan dari kitab (serat), hal itu tidak dila-
rang, bukankah hamba paduka uwak hamba, mendapat pesan
dari Mataram."
21. Itulah yang menyebabkan batal aku mengambilnya. Dan
sekarang ini Si Kudus itu, berani memperlihatkan keunggulan
pikirannya" Raden Urawan berkata dengan hormat dan halus,
"Benar, meskipun pikiran itu besar namun berlarut-larut!" Ber-
sabdalah Sri Raja,
22. "Memang dasar menonjol agak dapat dibanggakan. Na-
79
PNRI
mun semahir-mahir {buah pikiran) seorang santri, nah, jika
itu menjadi suatu perkara, yang ia berani seorang diri meneri-
ma sanggahan, berkeras kepala mengadu kemahiran, sebenar-
nyalah ia seorang di antara seribu orang pemberani namanya.
23. Tampankah orang itu?" Raden Demang menjawab dengan
hormat, "Daulat, tuanku memang ia tampan lagi gagah, tubuh-
nya indah perkasa dan kekar, laksana putra kerajaan Wirata,
Harya Seta sang senapati.
24. Andaikata ia bukan seorang kaum (= pemimpin agama, da'i)
pantaslah jika ia menjadi panglima barisan, pemimpin dalam
peperangan, pemberantas musuh-musuh tangguh dan sakti. Ji-
ka menurut ilmu firasat, demikian itulah tokoh yang memenuhi
persyaratan.
25. Sebagai Patih Pragalba yang dijadikan agul-agul (= andal-
an), cekatan galak lahirnya dan cekatan galak juga batinnya,
orang yang berkulit kebal dan berhati tebal (= pemberani), ke-
ras hati dan berani berperang berhadapan. Pantas ia digunakan
sebagai pemimpin, dalam gelar peperangan yang diserahi tang-
gung jawab menyelesaikan (sebab ia pastilah berani menghada-
pi),
26. gelar dumuk angun-angun (berhadapan dalam arena luas),
juga gelar braja tikswa lungid (= bagaikan mata tombak run-
cing berbahaya), serta mangkara candrasa (= gelar bagaikan bu-
lan tanggal muda = setengah lingkaran). Walaupun gelar kagapa-
ti (= bagaikan raja garuda melayang), bangun-bangun semacam
itu, semua gelar itu pantaslah ia memimpinnya."
27. Bersabdalah lagi Sang Prabu, "Ya, tentang si Haji Mutama-
qim itu, pantasnya orangnya seperti apa?" Rahaden Demang
menjawab dengan hromat, "Seperti cantrik Wisangkata, yang
dapat bersikap sebagai trenggiling api mati (= bersikap berpura-
pura, membunglon).
28. Ia tidak termasuk dalam percaturan, raut mukanya seke-
dar cukup untuk hidup, potongannya buruk lagi cebol (= ker-
dil, katai), bersimpuh kalau ia duduk, dalam pertemuan orang
80
PNRI
banyak, tampaknya seperti orang kena kutukan.
29. Nam un ada ia mempunyai keteguhan ha ti, hai itu tidak
hamba duga sama sekali. Di antara sesama titah Allah, ternyata
ada saja orang yang terpilih, memang mengherankanlah kehen-
dak Hyang Suksma (= Allah) itu. Demikian juga ia dijadikan
haji,
30. dianugerahi rukun agama yang lengkap, dianugerahi me-
ngetahui tuntunan-tuntunan Nabi. Kanjeng Gusti pemimpin
dunia, andaikata ia tidak menjadi haji, ia hanyalah pantas se-
bagai tengkulak batang padi, atau sekedar penjual ayam."
31. Bersabda ' sambil tersenyumlah Sang Prabu, "Itulah, hai
bapang, yang dinamakan takdir (= kepastian). Orang yang di-
titahkan berupa buruk, terpilih dianugerahi kesucian."
32. Raden Demang menjawab dengan hormat, "Karena itu-
lah tadi. wahai Sang Prabu, (contoh) orang kecil yang sebagai
sesat, kerap kali ditunjuk-tunjuk (karena perbuatannya), seper-
ti si sakit memaksa diri menanjak, dilihatpun sesaklah pernafas-
annya.
33. Bagaikan Harya Baladewa yang sedang murka, murka ten-
tang hal-hal yang remeh-remeh, demikianlah si Mustamaqim
itu, raut mukanya bagaikan cemuris (= pencuri kesiangan,
orang hina), seandainya bertengkar mulut di luar, seperti hal-
nya Ki Cabolek dicabik-cabik orang banyak.
34. Si Khatib Anom dari Kudus, kemarahannya bagai sinipi
(= terkena panah sedikit, sehingga bangkit amarahnya) (me-
rupakan ungkapan untuk menggambarkan kemarahan yang sa-
ngat), hanya karena anjingnya yang seekor, dinamakan si
Komaruddin, dan yang seekor lagi si Abdulkahar. Karena
itu ia menggigit bibirnya (= menahan kemarahan yang sa-
ngat).
35. Makin duduk tersimpuhlah, si Ahmad Mutamaqim itu.
Sang Raja dengan tersenyum bersabda, "Itulah, bapang, yang
menjadi kehendakku. Semua yang menjadi persoalan itu, pe-
rintahkanlah kepada si uwak patih.
81
PNRI
36. Aku batalkan perintahku itu. Jangan lagi ada yang memper-
soalkan suatu perkara! Yang bersalah telah kuampuni, juga ka-
ki (= sebutan untuk orang laki-iaki) Ahmad Mutamaqim! Jika-
lau ia mengulangi lagi tingkah lakunya yang melanggar hukum,
yang tidak terbiasa dalam pergauîan di bumi ini,
37. pada saat itulah ia jadi kuhukum, ya, si Haji Mutamaqim
itu, akan kubuat menjadi bahan tertawaan umum, di gelang-
gang alun-alunku. Sekarang ini pengampunanku, kuminta per-
lakuan yang khusus.
38. Lagi pula perintahku ini, perintahkan kepada si uwak pa-
tih, untuk disampaikan kepada semua orang dalam negara, baik
wedana, kliwon (= pangkat pimpinan peijurit), mantri, serta
semua kerabat kerajaan, ratakanlah pengumumanku ini! (yai-
tu):
39. Jangan ada yang membuka perguruan, tentang ilmu hak
(= kebenaran agama) dalam negeri ini (= ibu kota kerajaan)
mengajarlah di luar lingkungan hukum negeri ini. Jika di sana
aku izinkan. Jika ada yang berani melanggarnya, tentang perin-
tahku ini
40. janganlah mereka menanyakan dosa mereka. Akan kuha-
bisi nyawanya dengan tanganku sendiri, di gelanggang alun-
alun, supaya, menjadi tontonan bagiku, juga untuk orang-orang
Kartasura Hadiningrat. Harus berlakulah perintahku!
41. Dalam pepacuhku (= pengukuhan perintah seorang pengua-
sa), kepada si uwak patih (aku perintahkan), carilah orang-orang
yang bergelar ulama, banyaknya tidak kubatasi, hendaknya di-
dapat seberapa pun adanya! Lalu persiapkanlah untuk semua-
nya itu
42. tempàt mereka bersholat Jum'at. Kemudian sediakanlah
bagi mereka itu sawah! Terserah kepada kebijaksanaan si uwak pa-
tih, memantas-mantas nilai keluasan bumi. Masing-masing ku-
batasi dua puluh lima jung (= ukuran keluasan tanah), untuk
pemimpinnya dan pillhkan tanah yang baik.
43. Kepada bawahannya masing-masing tiga jung, dalam de-
82
PNRI
sa yang baik, bagi yang diperkirakan kuat mengeijakannya, (res-
mikan itu) pada hari Jum'at, jangan ialai. Dan Kedu, Bagelen
dan Mataram, di tanah Pajang kubatasi
44. dapatkanlah orang sebanyak empat puiuh, ulama-ulama
yang baik-baik, dari kiri kanan (= sekitar) negara inijangan jauh-
jauh, kuminta mereka segera datang, beijaga-jaga tiap hari Jum'-
at, dalam ruang persemadianku!
45. Adapun yang dari itu semua, baik dari Kedu, Bagelen dan
Mataram, tidak perlulah dipilih-pilih, syukurlah kalau didapat
yang bangkit (= mempunyai kepandaian, kreatif), sekianlah,
bapang, segeralah kau keluar (mengundangkannya)!" Raden
Demang menjawab dengan hormat.
46. Telah keluarlah ia dari istana. Di geladag (= baiai pengha-
dapan untuk rakyat banyak) ia menunggang kuda ditarikan
dengan gesit, membuat orang-orang khawatir sepanjang jalan.
Mereka menyangka bahwa ada keija berat, sehingga Raden De-
mang hilir mudik itu.
47. Telah sampai ia di rumah patih Danureja, yang setibanya
ia turun dari kenaikannya, Raden Demang Ngurawan itu. Se-
bagai yang menjalankan tugas sebagai duta Raja, telah masuk-
lah ia melalui pintu halaman, maka turun semuanyalah yang se-
dang duduk (di penghadapan kepatihan itu).
48. Setelah Raden Demang duduk, kembalilah mereka ke-
tempat masing-masing semuanya. Dasar orang besar berwibawa
gerakan-gerakannya bagaikan perintah yang menggetarkan,
sedang bertugas menyampaikan perintah, penampilannya
menakutkan.
49. Matanya memandang tajam seperti kemurkaan yang akan
membunuh, rambutnya yang panjang diatur ke belakang, du-
duk seenaknya tangan terkedang. Kulit badannya kemerahan
berwarna tembaga yang digosok, baru saja memandang belum
lagi bertindak, gemetarlah yang akan diperintah itu.
50. Laksana Prabu Tamtanus, Sri Maharaja di Negara Yuna-
ni, ketika membawa surat perintah, orang besar penguasa bumi
83
PNRI
itu, kepada raja negara Khos, yang bertitah kepada Raja Jobin.
51. Ketika diterimanya suratnya itu, pedangnya lalu dihunus-
nya, matanya bergantian menatap berkeliling, memandang ke-
pada yang membaca surat itu, di kanan kirinya tertahan, kare-
na keluasan yang diliriknya.
52. Malam dalam perumpamaan, tentang Raden Ramadayapa-
ti, seperti Raden Hanumanlah itu, mampu menyusup ke dasar
bumi, sebab telah tersebut sebagai duta utama, ketika ia ditun-
juk dahulu.
53. Dengan diarn-diam menyelundup ke negara Alengka, ter-
sebutlah diperintahkan menemui, putri Mantili Direja, yang
bertempat di dalam istana benteng, dalam taman sari Argaso-
ka. Setelah Hamuman dapat menemukannya,
54. berubah tingkah lakunya, dengan tujuan, supaya digoda
diganggu, tetapi bukan ia yang mulai, hanya terdorong oleh
keinginan tahunya, (mampukah ia) memeranginya dan meme-
nangkan peperangan itu, terdorong ingin tahu seberapa kemam-
puan berperang itu, para prajurit raja raksasa itu.
55. Hendak digempurnya dalam perang besar-besaran, bera-
tus-ratus ribu raksasa mati, sedang tak selembar bulupun yang
rontok, pada Raden Ramadayapati (Hanuman). Putra-putra
punggawa banyak yang terkena, lalu ia (Hanuman) bergumam
sendiri dalam ha ti,
56. "Akan kulanjutkan menggempurnya, terhadap prajurit
Alengka ini, namun aku belum bermutu sebagai perwira. Ka-
lau aku dapat mengalahkan peijurit-peijurit itu, niscaya akan
merusak peraturan di dunia ini, sebab mana mungkin ada orang
seorang diri
57. mampu menggempur sebuah negara yang besar. Hai itu
akan menghilangkan peraturan di bumi. Aku pasti akan terkena
kemurkaan batara (= dewa-dewa, penguasa dunia). Baiklah se-
kali ini aku mengalah saja, ya, biarlah diriku diikatnya, dan di-
hadapkan kepada rajanya.
58. Jadi dengan demikian aku dapat bercakap-cakap, dengan
84
PNRI
si raja raksasa nanti." la dipanah lalu terkena, dihadapkan ke-
pada Raja Dasamuka, akhirnya dianiaya, dan ia berkata dalam
hatinya lagi,
59. "Si Rahwana memang terlalu goblok, mengapa aku disaki-
tinya. Sekarang aku jadi memperoleh, dua macam peikara de-
ngannya. Ah, raja ini tolol lagi mamak (= tak tahu diri, rabun,
ngawur), ia harus menjadi musuh rajaku.
60. Jadilah ketika ekornya dibakar, istana Alengka habis ber-
sih (dibakarnya), lenyap karena perbuatannya, Raden Ramada-
yapati. Sedangkan Raden Demang, Ngurawan jikalau ia ditun-
juk (untuk melakukan sesuatu tugas)
61. seketika itu juga bangkitlah kanduhannya (= sifat rendah
dalam hati yang selalu ingin dipamerkan keluar), ia mengang-
gap dirinyalah rajanya. Seperti menjadi besar karena berganti
rupa, benar-benarlah jika menakutkan orang. Tersebutlah dalam
kenyataan perjalanannya, perintah dan titah raja itu keluar
dengan MANIS.
(Dengan kata MANIS, yang merupakan rasa dari GULA,
diisyaratkan bahwa pupuh berikutnya setelah pupuh ini ialah
pupuh Dandanggula)
85
PNRI
XIII. PUPUH DÀNDANG-GU LA
86
PNRI
5. Lalu berdirilah setelah itu Ki. Adipati Danureja berdoa
mohon dikabulkan, gemuruhlah bunyi suara orang rnengami-
ninya. Berganti sekarang Kyai Penghulu, berdiri berdoa telah
bebas dari keprihatinan. Raden Demang berkata, "Hai, Khatib
Anom Kudus, Sang Raja berkenan meminta keteranganmu, se-
adanya sekarang katakanlah kepadaku, akan kupersembahkan
kepada Sang Raja" Rekyana Pa tili mempersilakannya, "Anan-
da, sudilah kiranya ananda bersantap, kalau telah selesai sega-
la titah, kakanda paduka prabu." Raden Demang menjawab-
nya perlahan, "Sekarang ini masih banyak, perintah yang be-
lum dijatuhkan. Perintah khusus untuk paduka, disuruh mem-
buat terancang (= tempat khusus) di dalam masjid, sebab Sang
Raja berkenan turun sholat.
6. Adapun titah yang harus disampaikan kepada uwak patih,
(demikian), "Jika diizinkan oleh si uwak, hari Jum'at depan
ini, benar ada niatanku, untuk turun melakukan sholat di mas-
jid." Adapun Adipati Danureja, tersebutlah ketika mendengar,
terpekiklah karena karuna (= prihatin tetapi tak mampu ber-
buat sesuatu), lalu berdiri berdoa syukur kehadapan Ilahi, di-
perkuat oleh ki Penghulu,
7. serta para ulama membelanya, semua berdiri berdoa bersa-
ma, bergemuruh yang mengamini. GeMsah resah, semua para
tumenggung. Semuanya melirik kepada, segala perbuatan dan
tingkah laku, Mas Khatib Anom Kudus. Ia mengenakan. sarung
hitam berkilat, berkain pinggang kain berbunga-bunga biru ber-
kilat, ditutupi dengan kalengkam (= jenis ikat pinggan dari ku-
lit perhiasan).
8. Mengenakan serban besar kuning berbunga-bunga (= bor-
diran), berpici model tempurung (= pici haji yang bulat putih)
pepat dikenakan cara Arab, agak miring ke depan ujungnya
tersembul. Bajunya berwarna ungu dari kain syalmur (= se-
bangsa sutera), agak pendek jubah yang dikenakannya bagai-
kan potongan jubah sultan, ketat diikat seperti lipan tertindih.
Pemakaian senjata kerisnya, yang berupa sarungnya dari ka-
yu temberau dengan pendok (= hiasan pada hulu keris) dari
87
PNRI
perak, dikenakan cara Banten yang melilit pada sarung keris
itu, ialah tasbih dari merjan.
9. Ia berdiri agak menyimpang arah hadapannya (mengegos),
telapak kakinya yang kiri di depan, sedang yang kanan berada
di belakangnya. Berjarak dua kaki jauhnya, kaki depan dengan
kaki belakang itu. Lagi pula mustahil hai itu disengaja, tetapi
barangsiapa melihatnya (menyangka ada kesengajaan), sehing-
ga para adipati bergumam, "Dasar orang ini sangat pemberani,
semua tingkah lakunya bertanggungjawab.
10. Tampaknya seperti orang sedang mengatur barisan, yang
hendak diajukan ke medan perang, cara berdiri Mas Khatib
Anom itu. Mana tampan orangnya, rapi pakaiannya, tetapi ber-
tanggungjawab, cekatan dan menarik perhatian. "Memang yang
banyak acuh tak acuh sikapnya, berdirinya pun seperti kebiasa-
an. Setelah khatam orang berdoa, duduk kembalilah para ula-
ma dan sang patih. Raden Demang Ngurawan
11. menoleh ke timur dengan kata-katanya perlahan, "Hai,
adinda Malayakusuma, apakah yang digerutukan itu, yang sela-
ma ini ada kudengar?" Adindanya menjawab dengan hormat-
nya, "Kakanda, tidak ada maksud apa-apa, hanya sekedar ber-
gumam daripada menganggur." Raden Demang Ngurawan, ber-
keras mengejar, "Hai, adinda, itu tidaklah baik, engkau ber-
dusta kepada saudara tuamu!"
12. Raden Harya Malayakusuma itu, (terpaksa) lalu tertawa
dan berkata sambil menyembah, "Iya, kakanda, sebenarnya-
lah. Tentang Mas Khatib Anom dari Kudus itu, yang kita per-
bincangkan tadi, bahwa berdirinya berbeda, ketika kami ber-
doa tadi, daripada kebanyakan para ulama itu. Cara berdirinya
seperti orang mengatur barisan, yang akan diajukan ke medan
peperangan.
13. Sepantasnyalah jika ia menjadi bupati, tetapi ia tidak mau,
malah menjadi ulama. "Raden Demang keraslah tertawanya,
menghentakkan betis sambil terguguk-guguk, lalu berkata-
lah ia kepada rekyana patih, "Uwak, si adinda ini, ialah Mala-
yakusuma itu, jalan pikirannya telah terbalik seperti kena ku-
88
PNRI
tuk, menurut perasaannya dibanding dengan ulama lebih baik
bupatinya J a d i tiada benar kalimatnya.
14. Engkau, adinda, baiklah kuberi pengetahuan yang baik.
Bukankah menurut perasaan dirimu, (dibanding) dengan san-
tri lebih baik bupatinya? Perkataan yang sebenarnya ialah me-
mang bupati lebih daripada santri, yang selalu berkeliaran me-
minta belas kasihan, mengemis sepanjang desa-desa, itulah yang
menurutmu baik. Memang sudah pada tempatnyalah ulama
yang sudah bupati, sebagai pegawai Hyang Sukma (= Abdi da-
ri Allah).
15. Coba, tinggi manakah punggawa Hyang Widdhi (= Allah)
dibandingkan dengan punggawa ratu dunia, demikian itulah
adinda, perbandingannya. Seperti itu Mas Khatib Anom dari
Kudus, dasar tampan lagipula menjadi, pegawai Hyang Suksma
seandainya ada sepuluh orang saja, bupati yang berlahir luhur
dengan ulama, dalam batinnya, sebaik-baiknya dunia ini, ialah
para ulama itu.
16. Karena itu, adinda, sebaiknyalah para raja itu, wajib meng-
hormati para ulama, dewa dan pendeta hanya di kirinya saja.
Demikian pula para punggawa semuanya, sebaiknya juga ikut
kasih sayang dan berbakti, kepada para ulama. Bukankah itu per-
lu? Merekalah yang memelihara kebatinan atau rohani kita."
Tersebutlah segenap para ulama melirik, kepada Raden De-
mang,
17. "Inilah corak orang yang pendiriannya berubah-ubah ta-
jam sebagai angin. Kalau andaikata ia menjadi buah-buahan
jadilah ia orang besar yang bersifat sebagai buah duren, ialah
secara lahiriah menakutkan, tubuhnya semuanya menjadi (= pe-
nuh dengan) duri-duri, tetapi jikalau kita benar memecahnya,
di dalamnya ternyata sangat lunak, sangat manis jika dimakan.
Tidak khawatir yang memakannya itu akan terkena duri, lunak
dan licin belaka,
18. tidak takut termengkelan oleh duri.'' Tersebutlah Raden
Demang Ngurawan, memerintahkan lagi lebih lanjut, "Selain
dari itu, uwak patih, yang dititahkan oleh Sang Raja, "Jangan
89
PNRI
ada yang membicarakan, perkara orang berniat menggurui, ten-
tang ilmu yang hebat-hebat, ialah ilmu hak hendak mengajar
mereka dalam negeri, kecuali tentang ilmu sarak,
19. yang boleh diajarkan di dalam negeri (= maksudnya ibu
kota negara waktu itu). Jika hendak mengajar ilmu hak diluar
wilayah negeri (= di daerah-daerah luar ibu kota negara waktu
itu), aku izinkan sekehendaknya. Barang siapa melanggar perin-
tah ketentuanku ini akan kuhabisi sendiri jiwanya dengan tangan-
ku." Rakyana patih menyanggupi. Lagi perintahnya itu, su-
paya semuanya ikut mencarikan, orang-orang ulama meskipun
hanya terukur mampu, dalam ucapan serta maknanya.
20. Lalu kalian sediakanlah sawah, sepatutnya sebagai tem-
pat bersholat Jum'at, masing-masing tiga jung duapuluh lima
yang baiklah sawahnya, yang subur dan yang tidak gersang.
Sebagai permulaan Jum'atan itu, menurut perintah Sang Raja,
di tanah Pajang saja. Pilihlah ulama yang baik-baik, dapatlah
hendaknya sebanyak empat puluh orang.
21. Adapun dari Kedu, Bagelen dan Mataram, janganlah me-
milih ulama yang pandai, uwa patih, sedapatnyalah. Hanya se-
dikit lumayan kemampuannya, meskipun, ya, hanya sekedar
supaya hidup, jikalau mereka dapat lafal dan makna, segeralah
yang itu diambil. Sebabnya tanah Pajang, dipilih yang dekat de-
ngan negeri (ibu kota negara), menurut kehendak Sang Raja.
22. Tiap Jum'at harus berkawal bergiliran, di kamar persema-
dian dalam istana raja, bermusyawarah menurut kehendak ba-
ginda. Bagi yang menghendaki ilmu, harus berada di depan Ra-
ja (= maksudnya mungkin supaya legal). Adipati Anureja, me-
nyatakan sanggup dan menyetujuinya. "Lagi pula, uwa dipe-
rintahkan, supaya Ki Cabolek uwa ambii secara khusus, diga-
duhkan (= dititipkan untuk dipelihara) kepada hamba.
23. Telah selesailah (perintah itu), uwa patih." Lalu Adipati
Danureja, mengerdipkan mata kepada juru (masak) nya, sege-
ralah yang dimintanya didatangkan, berupa, dua ratus ambeng
(= nyiru berisi tumpeng dengan lauk pauknya) yang datang,
tidak ada yang dibedakan, dalam perlengkapan lauk pauknya.
90
PNRI
Masing-masing. sebuah untuk para adipati, sedang para ulama
dibuat secara ambeng untuk bupati. Adipati Jayaningrat
24. mengerdipi para hamba pelayan, supaya cepat, mengeli-
lingkan acar (= lauk dari mentimun bercuka berkuah) kirim-
an dari tempat kediamannya, dan ada pula sisanya, yang berupa
lorodan (= pengunduran makanan setelah raja bersantap) dari
dalam istana, yang tiap pukul sepuluh, konon datangnya. ke
alamat ke-Jayaningratan, kadang-kadang pukul sebelas datang-
nya, selepas Sang Raja bersantap.
25. Panggang ayam dilumuri seperti bulu oleh bumbu kemi-
ri, serta dendeng rusa yang telah dilunakkan dengan dipukul-
pukul. Adapun yang berasal dari rawa, santapan Sang Raja, ada
juga, tinggal sisa-sisa tadi malam, dibawa bersama-sama dengan
acar. Raden demang melihatnya, tersenyum sambil berkata,
"Panggangnya yang di sini, paman adipati, itu hamba menyu-
kainya."
26. Tersenyum berkatalah Sang Adipati, "Silakanlah, ananda,
tinggal ini." Harya Malayakusuma, melihatnya segera berkata
pula, "Kakanda, apakah rahasianya, mengapa dengan saling se-
nyum, ikan yang diambil, dengan paman adipati Jayaningrat?
Kakanda hamba mohon sedikit saja, bagian hadiah dari kakan-
da.
27. Serta hamba belum tahu pesan rahasianya, ikan apakah ko-
non, harus dengan mengerdip mengambilnya?" Raden Demang
tertawa, "Ah, seperti kucing saja adinda ini, tidak dapat disem-
bunyikan. Sekian itu adaiah, tadi malam dari istana, bukankah
itu sisa pengunduran yang diberikan oleh paman adipati, kira-
ku tidak habis itulah sebabnya.
28. Tetapi, adinda, aku tidak salah lihat. Karena berkahku
tadi malam, adinda, gandek Iah yang mengerjakannya, mema-
sak panggang itu, yang menyebabkan akan tak salah lihat. Hai,
paman Adipati, Jayaningrat itu, setiap kali datang pengundur-
an sisa makan dari istana, tentu tidak habis dimakannya sama
sekali." Berkatalah sang Adipati,
91
PNRI
29. "Benarlah, ananda, pemberian pagi tadi, tidak habis, hanya
ikannya, yang hamba sisakan. Bukankah itu dapat untuk petang-
nya, dan yang petang bukankah dapat untuk paginya?" Raden
Malayakusuma, mendatangi dengan cepat-cepat, ke tempat Ra-
den Demang, sehingga tidak sampai pelayan yang melayaninya,
diterimanya sendiri langsung.
30. Sambil berkata ia menerimanya, "O, iniiah jadinya seperti
tanda-tangan, yang berasal dari istana, kan?" Raden Demang
berkata, "Benar, karena itu sebagai orang muda, adinda, sering
bersikap membodohkan, terhadap saudara yang lebih tua." Ra-
mailah mereka makan-makan. Ki Adipati caranya menggunakan
cara pesisir, selama ketika makan-makan itu.
31. Lauk ikan datang terus-menerus berganti-ganti, hangat-
hangat dan bertimbun-timbun. Yang sedang makan semuanya,
menambah-nambah nasinya. Setelah lama dan kenyang semua-
nya, diundurkanlah semua nyiru ambeng itu. Tampaknya seper-
ti hajatan menikahkan, Adipati Danureja itu, begitu ia meng-
hormati orang-orang besar, para ulama, serta bala tentara Sri
NATA.
(Dengan kata Sri NATA, yang merupakan sinonim dari
kata Prabu ANOM, diisyaratkan bahwa pupuh setelah yang ini
adalah PUPUH SINOM).
92
PNRI
XIV. PUPUH SINOM
93
PNRI
ada yang dihukum seorang, ialah karena (dianggap) merusak sya-
ri'at Nabi. Karena itu, atas kemurkaan Sultán Muhammad Ma-
tar am.
7. dihanyutkanlah ia di Tunjungbang (= ñama tempat, arti-
nya Teratai merah). Ada lagi orang dari luar daerah kuasa bagin-
„ da, tepatnya dari desa Wirasaba, dukuh (= bagian berpemerin-
tahan dari suatu desa) Wananerta itulah menantu Kiai Bayi,
dari Wanamarta, tuanku. la berlagu menyanyikan dengan laras,
tentang gustinya Nyai Centini, yang ñama sebenarnya Kyai Syekh
Amongraga."
8. Tertawa terbahak-bahaklah Raden Demang, Ngurawan
dengan menghentakkan betis, demikian pula para adipati. Me-
reka tertawa, sebab pakai, menyebutkan Nyai Centini, suatu
cerita carang dapur (= bangunan cabang dari cerita induk) itu.
Setengahnya ada yang berkata, "Khatib Anom itu benar-benar
lebih dari kebanyakan, bertumpuk-tumpuk ia menyimpan ceri-
ta-cerita,
9. yang dapat membangkitkan suka hati, orang-orang besar
yang sedang duduk berkumpul. "Raden Demang Ngurawan,
tertawa sambil menoleh-noleh, dan yang ditoleh-tolehpun ikut
tertawa cekikikan. Harya Malayakusuma, semuanya bersuka
hati mendengarkan dan melihat, segala tingkah laku dan tutur
kata Khatib Anom, bagaikan mementaskan cerita wayang ja-
belan (= pinjaman).
10. Matanya bersinar terang menebar (seperti telaga lúas), sam-
bil bibirnya bergetar (mengucapkan syukur), dapat dipertang-
gungjawabkan segala tutur kata dan tingkah lakunya, bagaikan
bunga indah harum bermekaran banyak, harum dan sedap di-
pandang. Laksana Syekh Abdullah ibnu, Mubarak, ahli kojah
(= pidato, ceramah, tabligh), tersebut dalam Kitab Nawawi, ke-
tika berumur duapuluh lima tahun terluka dadanya.
11. Mas Khatib Anom berkatalah, "Kanjeng Susuhunan yang
bermakam di Tegal, Hamangkurat Hamangku Buana, belum
pernah ada yang menjalaninya, hanya Haji Mutamaqim. Ia hen-
dak belajar, gemparlah yang mendengarnya, semuanya hendak
94
PNRI
melihatnya. Demikian pula ki Cabolek dipandang oleh orang
banyak."
12. Mas Khatib Anom berkata lagi, "Tersebutlah Pangeran
Panggung pada jaman dahulu. Sebabnya ia dihukum di Demak,
karena sarak olehnya diobrak-abrik (= dikacau-balaukan). Sul-
tan Demak sendiri yang menyaksikan, dengan pergi ke alun-,
alun, dengan segenap para adipati, para wali, para mukmin, ba-
gaikan gunung kayu ketika melawan minyak.
13. Berkobarlah api yang membakarnya, bagaikan hendak men-
capai langit. Ketika Pangeran Panggung diancam, disuruh ter-
jun ke dalam api, ia membuka dua celananya, dilemparkannya
ke dalam api. Anak anjingnya dipetiki jari, ialah si Iman dengan
si Taukhid, keduanya anak anjing itu masuk ke dalam api.
14. Berkejaran mereka di dalam api itu, menggerakkan tubuh-
lah si Iman dan Taukhid itu, ke utara dan ke selatan tampak-
lah mereka itu, bersenda gurau di dalam api itu. Sehelaipun bu-
lunya tiada yang jatuh, tak terbakar oleh api yang menyala.
Setelah lama lalu disiuli, kedua anak anjing itu keluar dari api,
sambil menggigit celana (yang dilemparkan tadi) masing-ma-
sing sebuah.
15. Heranlah orang yang melihatnya, Sultan Demak bersab-
da perlahan, "Hai, paman, yang kurang utama itu, sebenar pa-
man pribadi. Janganlah paman mewakilkan kepada anak anjing,
supaya terjun ke dalam api yang menyala!", Pangeran Panggung
berkata, "Hai, ki jebeng (= panggilan untuk anak laki-laki yang
tanggung tetapi terhormat), kau tak usah khawatir, baik hamba
sendirilah yang akan teijun ke dalam api."
16. Pangeran Panggung seketika itu juga, sambi membawa ker-
tas dan tinta, masuklah ia ke dalam api. Sesampai dalam api,
ia lalu duduk, sambil terus menulis-nulis di dalam api yang
menyala-nyala itu. Agaknya ada sekitar tiga jam. Ketika padam-
lah api itu, selesai pulalah ia mengarang suluk (= karangan ilmu
mistik yang berhubungan dengan agama, semacam tasauf)-
17. Suluk yang dikarangnya ialah Suluk Malang Sumirang,
dikarangnya dalam kobaran api, digubah dalam lagu puisi Dan-
95
PNRI
danggula. Sumirang yang melawan bahaya, menyerang bahaya
mala petaka. Ketika mengarang ia memutuskan kuncung ram-
butnya, keluar dari api, karena Sultán Demak menjemputnya,
saling mengucapkan salam setelah mereka beijabat tangan.
18. Karangan Suluk Malang Sumirang itu, dipersembahkan
kepada Sri Bupati. Pangeran Panggung lalu pergi, dari Negeri
Demak, berkelana sepanjang pantai (pesisir), dengan kedua anak
anjingnya tidak ketinggalan, selalu mengikutinya ke manapun
ia pergi, ialah si Imán dan si Taukhid. Nah itulah yang diarah
(= diinginkan, dituju) Ki Cabolek."
19. Serentak tertawa bergelaklah yang mendengarkannya, raa-
kin bergembiralah orang pada barisan belakang, ramai mereka
bersorak berulang-ulang. Tiada lain tujuan pandangan mereka
hanyalah kepada Haji Mutamaqim, yang menjadi sasaran orang
tertawa. Semula mereka menerka akan teijadilah, penghukum-
an terhadap ki Mutamaqim. Syukurlah batal, sebab raja bukan
berkewajiban
20. menyembuhkan kembali orang gila, menyehatkan lagi orang
sakit. Lalu adalah gandek datang, bergandengan melakukan
kewajibannya (diutus). Mereka membawa dua buah tadahan
(= bungkusan makanan selengkapnya), menuju kepada Raden.
Demang, "Perintah yang dititahkan, oleh kakanda paduka Sang
Raja, sebuah tadahan diberikan kepada Khatib Anom,
21. untuk Ki Cabolek sebuah tadahan. "Raden Demang mem-
bukainya, pada serbetnya diperiksa, ternyata berisi berupa ba-
han pakaian. Dalam tadahan yang satu, yang diperuntukkan
Khatib Anom Kudus, (berisi) antelas dengan kasa, bahan dar-
maleja putih (= semuanya itu nama-nama bahan pakaian terten-
tu), juga kain-kain panjangnya untuk tiap jenisnya sebanyak
empat helai.
22. Berupa kain batik pada mori, sehelai, bercorak "menyan
kobar" (= ñama corak batik tertentu) dan "gringsing" (= ñama
corak batik tertentu), yang sekebar "ceplok padma" (ñama co-
rak batik tertentu), tetapi juga sama "mandala giri" (= ñama
corak batik tertentu). Bahan untuk serban masing-masing dua
96
PNRI
helai, kain kasa yang halus-halus. Adapun yang diberikan kepa-
da, Haji Ahmad Mutamaqim, casting hitam, grim hitam, malyo
sengkelat (= ñama ñama jenis kain tertentu).
23. Yang berwarna hitam sekaligus empat helai, kain panjang-
nya "salobog garit" (= ñama corak batikan tejtentu), berwar-
na dasar hitam sekaligus empat helai pula. Tidak ditingkat-ting-
katkan tinggi rendahnya, dengan pemberian yang diperuntuk-
kan, Mas Khatib Anom dari Kudus. Tidak pula dahulu-menda-
hului, kalau itu dimisalkan pangkat. Titah ketiga, diperintah-
kan masing-masing yang menerima anugerah pemberian
24. keduanya supaya maju ke hadapan. Raden Demang ber-
kata perlahan, "Selamat menerima anugerah Raja!", "Terima
kasih, sangat kami jimjung di atas kepala", jawabnya dengan ce-
katan menerimanya, sambil beijalan dengan beijongkok ketika
mengundurkan diri. Tangannya yang kanan digunakan untuk
bertelekan pada lantai ubin, sedang yang kiri digunakan untuk
menating (= menyangga) tadahan.
25. Bagaikan pengunduran diri sehabis bertanding, dari gelang-
gang tari yang mempesona. Tersenyumlah semua yang melihat-
nya, karena ternyata pujian dari mereka belum selesai, dari se-
mua para adipati itu, terhadap Mas Khatib Anom Kudus. "Apa-
kah ia pernah belajar menari? Ternyata ketrampilannya selalu
susul menyusul." Ki Cabolek bermaksud hendak meniru-niru-
kan,
26. tetapi canggung karena tidak dapat, hampir saja ia teije-
rembab, lalu dihentikannya, akhirnya ia merangkak bagaikan
bengkarung. Bagaikan tersentak para adipati, serta para abdi
yang rendahan, bagaikan bata roboh mereka mentertawakan-
nya. Setelah semuanya duduk tertib kembali, para abdi rendah-
an melirik-lirik, kepada ki Cabolek, agaknya mereka semua ikut-
ikutan,
27. terbawa juga para adipati. Sampai mencucurkan air mata-
lah (mereka mentertawakannya). Raden Malayakusuma, ter-
cekik-cekik tertawanya sambil memegangi kepalanya, "Aduh,
man, Haji Mutamaqim, janganlah kau ini hanya meniru-nirukan
97
PNRI
tanpa pikir begitu. Seumpama (Khatib Anom itu) Baladewa,
kau ini bujang terendahnya yang ikut-ikutan kemana perginya,
tentu saja kau berusaha sekuat tanda menjajari jalannya namun
tidak juga terkejar olehmu.
28. Aku mohon maaf darimu, paman, aku kurang ajar meng-
godamu. Maklumku kepada orang tua sendiri, paman hendak-
nya jangan tersinggung. Si paman ini bagaikan burung kolik (= ge-
mak atau merbah jantan), kecil-kecil namun kaku. Coba, mes-
kipun kecil kalau lemas, (mungkin) ada kecekatannya sedikit,
bukan?" Terbahak-bahak pula (orang tertawa) bagaikan meli-
hat orang BEKSA DADAP.
Dengan kata BEKSA DADAP, yang beraríi tari tak dikenal,
atau ajaran, yang sinonimnya TAMBUH, diisyaratkan bahwa
setelah ini PUPUH GAMBUH.
98
PNRI
' ' . • \
99
PNRI
kenakan orang banyak).
9. Beramah-ramahanlah mereka jika dilihat, Raden Demang
pribadilah yang menjemputnya, di halaman dan digandenglah
tangannya, sambil tertawa-tawa kegelian, sebab Mas Khatib
Anom Kudus berganti pakaiannya.
10. "Hai, tuan pamanda Kudus, jikalau andika (tuan, engkau)
menjadi penganggur, niscaya akan diangkat oleh pejabat sini, (di-
tugaskan supaya) mengasuh Sang Raja, dalam pembicaraan ba-
ginda andika menjadi pedoman.
11. Ia (Mas Khatib Anom) dibawa ke bagian kiri. Sesampai
di ruang persemadian beijumpa sedang duduk, bergegas-gegas-
lah Kyai Haji Mutamaqim, mengetahui bahwa Raden Demang
yang datang, bersama dengan Mas Khatib Anom.
12. Dipersilakan mereka duduk berjajar, dipertemukan sehing-
ga menjadi rukun, Mas Khatib Anom Kudus dengan Ki Haji
Mutamaqim. Telah bersalamanlah keduanya, lalu dengan sege-
ralah, Mas Khatib Anom itu berkata,
13. "Ananda, inilah dia, yang diandal-andalkan oleh Kaki Ca-
bolek, rasa-rasanya ialah Kitab Bimasuci. Hamba membawanya,
tuanku, disinilah marilah kita baca bersama."
14. Raden Demang terlonjak karena terkejut, "Hai, apakah pa-
manda itu mampu, membaca huruf-huruf Jawa, sampai memba-
wa-bawa Bimasuci segala?" Mas Khatib Anom menjawab, 'Ka-
lau hanya kira-kira, hamba tak membutuhkannya" (= ia benar-
benar mampu membacanya).
15. Raden Demang berkata dengan manis, "Coba, manakah
kitabnya hamba ingin mengetahuinya?" Diserahkanlah buku
itu Raden Demang menerimanya. Ketika dibukanya ia terheran-
heran, maka Raden Demang bertanyalah,
16. "Hai pamanda Kudus, bukankah ini belum terjemahan,
masih berbahasa Kawi (= bahasa Jawa lama gaya puisi) asli?
Benarkah pamanda dapat membacakan yang demikian ini?"
Menjawablah sambil tertawa, setelah itu Mas Khatib Anom.
100
PNRI
17. "Aduhai, ananda, terpaksalah hamba memberanikan diri.
Jikalau» ananda menitahkan hamba membacakan kitab ini, akan
kurang ajarlah hamba ini, jika tidak duduk sila tumpang, (= du-
duk bersila gaya pembesar atau dalang, sikap menyombong)
atau dapat juga, kalimat-kalimatnya terlipat-lipat, bunyinya
akhirnya bengkang-bengkok.
18. Terlanjur telah berlarut-larut, kata orang di desa hamba
paman ini dikatakan menang, lalu paman menjadi manja akhir-
nya bahkan agak sombong, sedangkan di negeri paman hanya
menjadi bahan ejekan, bukan?" Raden Demang berkata dengan
suara MANIS dan perlahan,
(Dengan kata MANIS, yang merupakan rasa GULA, di-
isyaratkan bahwa setelah pupuh ini, pupuh berikutnya adalah
PUPUH DANDANGGULA).
101
PNRI
XVI. PUPUH DANDANGGULA
102
PNRI
"Ananda, memang hamba jujug (= dituju langsung) ialah keti-
ka, Raden Harya Bima mencebur ke dalam samudera, meski-
pun tergesa-gesa hamba membacanya. Bagian itulah yang sangat
disukai, oleh Si Kaki Haji Ahmad Mutamaqim, tetapi penang-
kapan pengertiannya agaknya kurang."
5. Ki Cebolek disuruh menteijemahkannya (mengartikan-
nya) mogok, karena tidak dapat, dan sudah terkalahkan, atas
derajat dan kewibawaannya. Mas Khatib Anom berkata, "Anan-
da, sudah keoklah si Mutamaqim itu. Kalau (ilmunya) belum
habis, asal jelas jenis lagunya, untuk berperang catur (= berban-
tahan, berdebat, saresehan mencari kebenaran) dengan ham-
ba, akan hamba tunggu dan hamba minta supaya ia kembali
ke negeri Arab lagi, untuk membawa kemari kitab-kitab ber-
kapal-kapal.
6. Apalagi tentang rasa keindahan irama (= kawi - lagu cerita,
kakawin), Bimasuci itu dengan (Aijuna)-wiwaha (= cerita ten-
tang perkawinan Aijuna dengan Bidadari Supraba), yang sama-
sama banyak kata-kata kiasannya yang mendalam (sasmita),
banyak persamaannya dengan rasa inti sari ilmu, ialah ilmu ta-
sawuf. Ki Cebolek boleh mengangkutnya dengan pedati (= meng-
gambarkan sebanyak-banyaknya), kitab-kitab lama (kawi) dari
tanah Jawa ini kerahkanlah semuanya, akan hamba tunggu be-
berapa hari maunya itu.
7. Hamba, ananda, tidak bermaksud menyombonginya. Ia-
lah yang keterlaluan, sebanarnya sedang memburu (ilmu) syai-
tanlah ia, si Mutamaqim itu, kesalahan syaitanlah yang menje-
ratnya, dengan berdalih palsu bahwa itu ilmu yang muluk-mu-
luk. Namun selembut-lembutnya syaitan, karena si Mutamaqim
itu, belum banyak membaca kitab-kitab, karena itu ia sangat
mudah terpikat godaan iblis, dengan menggunakan cara-cara.
yang menghinakan dirinya sendiri (karena ketololannya).
8. Coba apa maunya, anak anjing dinamakannya Komaru-
ddin, dan anjingnya yang seekor dinamakannya Abdulkahar?
O, tuanku, orang agung di tanah Arab (= Nabi Muhammad SAW),
orang yang menjadi sumber utama (permulaan) ilmu, beliau
103
PNRI
itulah jika dikehendaki untuk menghancurkan sarak Nabi itu,
(kitaiah) yang wajib memeliharanya, sebagai penguat-kuat pe-
laksanaannya, tak lain ialah sarak Rasulullah, yang merupakan
bibit ilmu-ilmu seluruh bumi ini, yang tidak mungkin dapat di-
singkirkan!"
9. Raden Demang berkatalah dengan halus, "Sudahlah, hai
kaki Mutamaqim! Sebaiknya kau menyungkuri (menelungku-
pi) telapak kaki (= - menyembahlah) Mas Khatib Anom Kudus!
Engkau ini orang berdosa pati (= berdosa yang patut dihukum
mati), berkeras kepala menyalahkan kebenaran sarak. Bukan
timbanganmulah, Khatib Anom terhadap engkau itu. Yang ke-
limanya lagipula ia mahir dan bijaksana tentang kawi, jauh me-
lebihi dirimu.
10. Jadi selayaknyalah, pantaslah kalau orang seperti engkau
ini, diceburkan beramai-ramai ke bengawan (= sungai besar),
sebab kau tak becus memaksa diri berlagak pandai, jadinya ma-
lah bingung sendiri dan membuat susah orang lain menjadi-jadi!
Baiknya, coba kau bertarung saja dan bangkitlah menghadapi-
nya!" Gemetarlah segenap tubuhnya, Ki Cabolek ketika melihat,
kemarahan Raden Demang. Segera saja ia menelungkupi (= ber-
sujud, menyembah) terhadap kaki Mas Khatib Anom, sambil
berkata,
11. "Ananda, ilmunya itu memang baik, bahkan langar (= le-
bih dari baik) sehingga kurang wadah (= tempat menyimpan
nya), sampai tipis dinding-dinding peti penyimpanannya (ka-
rena sangat sering dikeluar-masukkan,menghauskan dinding, pe-
ti), lalu datanglah tadahan itu, memberi persalin berupa baju,
kain panjang, dan kuluk kanigara (= topi kerajaan tanda peng-
hormatan)." Sambil berkata halus, "Paman, silakan andika ber-
ganti kopyah, sayang kalau hanya kanigara, sebenarnya, akan
lebih tampan andika mengenakan kopiah Jawa"
12. Berganti kuluk makin tampak tampan bersinar, apalagi
samar-samar hijau bajunya. Lalu ia (Khatib Anom) disuruh me-
neruskan, ialah pembacaan serta, pengartian kitab Bimasuci.
Yang itu ia memulainya dari, pada ketika, Raden Arya Bima
104
PNRI
disuruh supaya masuk ke dalam, tersebutlah ke dalam telinga
Dewaruci, disyairkan dalam lagu puisi sarkara (= Dandanggula)
(Jadi Khatib Anom Kudus menteijemahkan dan mengartikan
kitab Dewaruci itu langsung dalam bentuk tembang).
13. "Nah, ayolah hai Werkodara, lekaslah, engkau masuklah
ke dalam perutku ini!" Arya Sena sangat tekejut heran tak
percaya (kapita) hatinya. Akhirnya ia tertawa, tergugu-gugu me-
remehkan tawanya sambil berkata, "Sedangkan paduka itu ker-
dil, aku ini tinggi besar, berbadan seperti gunung. Dari mana-
kah jalannya aku dapat masuk, kelingkingku pun mustahil cu-
kup masuk."
14. Dewaruci berkata dengan halus, "Coba, besar manakah
kau ini dengan dunia, selengkapnya dengan isinya ini, ya gu-
nungnya, ya samuderanya, ya hutannya semua? Itupun tidaklah
akan sesak jika dimasukan, ke dalam perutku ini, tahu!" Werko-
dara ketika mendengarnya, agak ketakutanlah tampaknya, ter-
tunduk menyanggupinya demikian katanya, lalu memiringkan
kepalalah Sang Dewaruci itu.
15. "Iniiah jalannya, melalui telingaku yang kiri!", Werkoda-
ra masuklah dengan secepat-cepatnya, dan telah sampailah ia
ke dalam perut Dewaruci itu. Di situ ia melihat samudera sangat
luas, seperti tak bertepi sayup-sayup sampai berjajarjajar, men-
jauh hingga akhirnya jauh tak tampak. Dewaruci lalu berseru,
"Hai! Apakah yang tampak olehmu?" Segera berkatalah Sang
Sena, "Benar, jauh tiada yang kelihatan.
16. Awang-awang (angkasa lepas) Iah yang aku jalani, hampa
seluruhnya, jauh, tidak terkira-kirakan. Kemana pun aku me-
langkah, tak kulihat (kuketahui) mana utara, selatan, timur
dan barat pun aku tak mengetahuinya. Demikian pula bawah,
atas juga muka, dengan yang belakang, aku tidak mengetahui-
nya, sehingga sangat bingunglah aku. Berkatalah sang Dewaru-
ci, "Jangan khawatirlah hatimu!"
17. Tiba-tiba dalam sekilatan sinar tampaklah telah mengha-
dap kepada Sang Dewaruci, Werkodara itu. Sang pendeta (= di
sini Dewaruci berpakaian seperti pendeta yang kerdil) diperha-
105
PNRI
kannya, berkilauan tampak sinarnya. Ketika ia menoleh (saat itu
pula) ia mengetahui mana utara mana selatan, timur dan barat pun
telah tampak, demikian pula atas dan bawah. Semuanya itu telah
tampak olehnya, termasuk ia juga melihat matahari. Enaklah hati-
nya (tidak khawatir lagi), bahwa Sang pendeta tampak, dalam
dunia yang walikan (= di balik dunia kenyataan ini).
18. Dewa Suksma Ruci (Dewaruci) berkata lagi, "Janganlah kau
hanya terlongong-longong melihat-lihat saja, apakah yang tampak
olehmu?" Werkodara menjawab, "Yang pertama kali hamba lihat
(= kemudian berubah halus bahasanya, karena menghormatinya),
sinar memancar yang tergantung, tak hamba ketahui akan nama-
nya. Tak lama kemudian lalu lenyaplah itu. Ya, benarlah, lalu ada
lagi yang tampak oleh hamba, ialah warna-warna hitam, merah,
kuning dan putih."
19. Berkatalah Dewa Suksmaruci itu, "Yang dahulu itu, kau
melihat sinar, tergantung tak kau ketahui namanya, itulah "Pan-
camaya". Ialah kesejatian hati yang sebenarnya, menjadi pemuka
atau penuntun badanmu. Artinya hati itu dinamakan hanya sifat-
nya saja, ialah yang menuntun kepada sifat yang baik selalu utama
selalu, itulah sifat sejati.
20. Lalu perhatikanlah dengan setepat-tepatnya! Ketembusan
penglihatan terhadap rupa, janganlah ragu-ragu, kenanya akan
pada penguasaan hatimu sendiri. Sebab, penglihatan hati itu,
menandakan terhadap kesejatian." Enak atau puaslah Sang Wer-
kodara, mendengarkan kata-kata itu, sedang ia menikmati hati
yang bahagia (sumringah = meriah gembira). Adapun warna-warna
yang hitam, merah, kuning, putih itu, itulah durgama (= hawa
nafsu = perbuatan yang tidak baik) dalam hatimu.
21. Bukankáh itu yang melengkapi dunia ini? Ialah hati yang tiga
perkara (= macam) itulah, yang menghambat atau membatalkan
perbuatan, adapun, yang dapat terpisah itu, sebenarnyalah itu bisa
bersatu dengan yang gaib, ialah musuh ahli bertapa. Corak hati
yang tiga macam itu, ialah hitam, merah, kuning, semuanya itu,
menghambat dan membuntu daya pikir dan daya kehendak yang
.menyelamat terus menerus, ialah persatuan sukma yang mulia.
106
PNRI
22. Andaikata tidak dibeliti oleh yang bertiga itu (ialah si hitam,
merah dan kuning), sebenarnyalah sempurna persatuan diri (de-
ngan yang gaib), selamat dan abadi dalam kesatuannya. Karena itu,
awas, waspada dan ingatlah kau, akan durgama yang bertempat
dalam hatimu. Penguasaannya hendaklah kau ketahui, sifat satu-
satu pada mereka itu, ialah yang hitam itu lebih kuat dan tangguh.
Pekerjaannya selalu srengen (marah-marah) terhadap segalanya
tersinggung, selalu menjadi-jadi dan makin meluas jangkauannya.
23. Ialah yang menghalangi hati kita, yang menghambat dan
membuntui kita terhadap kebaikan, kerjanya membatalkan kerja
yang kita lakukan. Adapun yang merah itu, ialah merupakan
petunjuk adanya nafsu yang tidak baik. Terhadap segala sesuatu
selalu ingin. Di luar dari itu, panasten (= sifat dengki, tak senang
jika orang lain mendapat kesenangan) dan penasbaran (= iri, tak
senang jika orang lain lebih dari padanya dan berusaha untuk
mengalahkan atau menjatuhkan). Yang demikian itu membuntui
hati yang selalu teringat, terhadap kewaspadaan.
24. Adapun yang berwarna kuning itu, sifat kekuasaannya nang-
gulang (= bantahan, menghalangi) terhadap segala sesuatu. Buah
pikiran yang baik, pekerjaan supaya tulus (= berhasil dengan
jujur, bersih), hati yang kuninglah yang menghalanginya. Hanya
pekerjaan yang merusak, diterus-teruskan dan digiat-giatkan. Yang
warna putih itu, jelaslah sudah, hati yang tenteram, hanya kesuci-
an yang dikehendaki, bukan yang lain-lain, keperwiraan, kejujuran
dan kesejahteraan, kebahagiaan.
25. la itulah (= yang putih itulah) yang bisa atau mampu mene-
rima, akan isyarat-isyarat kesejatian rupa (= hasrat), dapat mene-
rima anugerah. Adapun yang dapat menjalankan keabadian per-
satuan dengan yang gaib, terang musuhnya ada bertiga, lagipula
musuh itu besar-besar, bala tentaranya tak berbilang. Sedang yang
putih itu tiada berteman, hanya sendirian, karenanya banyak
kemungkinan kalah.
26. Tetapi jikalau kita dapat memenuhi persyaratannya (= mem-
pertanggung-jawabkannya), terhadap kotoran dan kesulitan ketiga
macamnya itu (= yang ditimbulkan oleh ketiga nafsu itu), sem-
107
PNRI
purnalah di situ persatuannya, tidak akan terbakar itu namanya
(= tak dapat dihalangi), akan persatuan antara hamba dengan
tuannya." Werkodara ketika mendengarnya, makin besar pamrih-
nya (= hasrat memilikinya), makin bergairahlah terhadapnya,
terpesona oleh akhir tujuan kehidupan ini, ialah sempurnanya
kesempurnaan kehidupan itu sendiri."
27. Hilanglah yang empat macam (warna) itu, berubah, menjadi
nyala satu delapan macam warnanya. Sang Werkodara bertanya,
"apakah itu namanya, nyala yang satu delapan warnanya? Mana-
kah nyala yang sebenarnya, rupa yang sesungguhnya? Mengapa
ada yang bagaikan perniata tertabur, ada yang samar-samar mem-
beliti, ada yang tersebar merata merah padam?"
28. Dewa Suksma Ruci berkata dengan perlahan, "Ya, itulah
kesejatian tunggal namanya. Semua warna-warna itu artinya,
ialah yang ada pada dirimu. Juga itulah isi bumi ini, yang digam-
barkan badannya, dengan jagad atau dunia raya, jagad cilik (dunia
kecil) (= macrocosmos dan microcosmos) tidaklah berbeda. Meru-
pakan permulaan adanya utara, timur, selatan, barat, atas serta
bawah.
29. Serta hitam, merah, kuning dan putih itu, merupakan kehi-
dupan buana (= dunia, jagad), baik jagad cilik (micro cosmos)
maupun jagad gede (macrocosmos), bukankah sama saja isinya,
dibandingkan dengan isi bumi ini? Jikalau hilang warna-warna
yang memulas, dunia itu semuanya, ialah segala warna itu tiada,
dikumpulkan, maka akan ada rupa yang satu, bukan laki-laki,
bukan pula perempuan."
30 Bagaikan tawon gumana (= lebah dalam bentuk lundi, larva),
itu, yang jika dilihat sebagai anak-anakan gading. 'Nah, itu, lihat-
lah olelimu!" Werkodara lalu melihatnya, "Yang seperti sarang
labah-labah dengan anak-anakan gading itu, yang sinarnya meman-
car berkilauan, bersinar lurus (tumeja) dalam langit lepas, apakah
sebenarnya itu, rupa zat yang dimaksudkan yang harus dicari-
cari? ialah kesejatian rupa?"
31. Dewaruci menjawabnya dengan halus perlahan "Bukan
itulah yang kau maksudkan. Yang mengatasi dunia ini semua
108
PNRI
yang tak mungkin dapat kau melihatnya, tiada berupa dan tiada
berwarna, tiada berbentuk dan tiada tampak, juga tidak dia ber-
tempat tinggal, hanyalah bertempat tinggal pada mereka yang awas
(= yang dikehendaki olehnya). Hanya sebagai isyarat adanya di
dunia ini, diraba atau dipegang pun tiada.
32. Adapun yang kaulihat itu, yang bersarang labah-labah dengan
anak-anakan mutiara, menjulang berkilauan sinarnya. Itulah angka-
ra murka yang sedang menyala, itulah yang dinamakan pramana
(= nafas kehidupan), kehidupan pada tubuhmu. Pramana itu, mes-
kipun bersama-sama bertempat dalam tubuh, tetapi ia tidak suka
ikut bergembira atau ikut berduka cita, meskipun tempatnya
dalam RAGA.
(Dengan kata raga, yang juga berarti berahi atau cinta dengan
sinonim ASMARA, mengisyaratkan bahwa pupuh setelah ini ialah
PUPUH ASMARADANA).
109
PNRI
XVII. PUPUK ASMARADANA
ilo
PNRI
faat (= berdaya-guna) saja yang ada? Saya tak mau keluar, lebih
enak di sini saja, sebab
7. hamba tidak mengantuk dan tidak lapar, bermanfaat bagi
tubuh hamba. Keluar dari sini apakah gunanya." Dewaruci de-
ngan merdu bersabda, "Bukankah itu tidak diperkenankan,
jikalau bukan dengan perantaraan kematian, sebab engkau itu.
masih dinamakan manusia.
8. Tak boleh bersifat kekallah engkau ini. Bukankah itu (ke-
kekalan) yang menjadi tujuan niatanmu, sampai-sampai kau-
belai berani mati? Yang ini baru anugerah yang remeh (= tak
seberapa nilainya). Baru sekedar membersihkan hati nuranimu,
sebab memang baru sampai pada jaman pertolongan. Karena
itu tak bolehlah kau lalu keenakan.
111
PNRI
XVIII. PUPUHPANGKUR
112
PNRI
Mas Khatib Anom berhenti membacakannya itu. Dengan per-
lahan berkatalah ia, "Ananda, hamba serahkan, jikalau ada pi-
lihan yang lainnya. Manakah yang akan tuanku pegang (= jadikan
pegangan), apakah kepada si Haji Muttamaqim?
7. Itulah yang sangat gawat (= sulit dan menakutkan), taruh-
annya seperti sang Dewaruci itulah. Itu menurut yang tersurat.
Barang siapa yang merdeka (= tidak terikat kepada sesuatupun),
jikalau menyimpang dari bunyi yang tersurat, Silakan memper-
tengkarkan bunyi huruf itu, ialah seperti Sang Dewaruci itu.
8. Yang menjadi pepacuh (= taruhan, inti sari ilmunya) belum
diwejangkan, Raden Demang Ngurawan ketika mendengarnya,
menunduk sambil melelehkan airmatanya. Sangatlah ia menye-
sali dirinya, berkatalah dalam hatinya, "Aduh, mengapakah
diriku ini, tidak mengaji ketika aku masih kanak-kanak, akhirnya
hanya akan menewaskanku sendiri.
9. Sungguh sukar orang bertingkah laku, tidak boleh kita
percaya buta kemajuan ilmu, tidak boleh pula kita pura-pura
percaya, Kita tidak boleh ceroboh sembarangan. Mas Khatib
Anom berkata kepada ketiga orang itu, sambil menyodorkan
kitabnya, "Nih, coba andika bertiga lihat.
10. Hai Raden Suranagara, Ki Jagaraga dan kyai Salwarini,
andika bertiga semuanya mahir-mahir, bergelar sebagai pujangga-
pujangga negara. Andika pikir Dewaruci itu pacuhnya (= rahasia
tuntutannya), merupakan rahasia alam dunia ini? Nah, bagai-
manakah yang sebenarnya itu?"
11. Ketiga-tiganya serentak bersama-sama sama jawabannya,
"Kami persilakan terserahlah kepada ananda andika kanjeng
gusti, kami bertiga ini bukankah hanya muridnya, terhadap
ananda andika itu?" Mas Khatib Anom berkata sambil tertawa,
"Baiklah, kanjeng ananda, apakah, di sini merekakah yang mahir
dalam sastera kawi (= puisi)?
12. Rahaden Demang Ngurawan itu, sambil tersenyum ketika
itu menjawabnya, "Pamanda-pamanda itu baru dalam tahap
belajar, bersama-sama saling tuntun, ya, hanya mereka bertiga
113
PNRI
itulah, sekali-sekali berempat orang, dengan kakanda Pangeran
Mangkubumi."
13. Mas Khatib Anom berkata lagi, 'Tidak hamba duga, kan-
jeng ananda orang yang tampan, berlebih-lebih keutamaannya.
Orang yang besar, berpikiran dan berperasaan lúas, pandai me-
mimpin, mahir dalam penguasaan kata-kata. Pantaslah jika men-
jadi kepercayaan, terhadap kakanda ananda Sri Raja.
14. Nah, silakan ananda, inilah dengan bertiga yang juga kyai-
kyai. paman Cabolek belum patut termasuk, sebaiknya ia di-
tanyai, sebab habis kesalahan, helahnya sangat keliru. Ananda
sebaiknya mendengarkannya saja, biarlah kami yang sama-sama
tua ini yang memikirkannya.
15. Coba, andika tetapkan siapakah Dewaruci itu. Silakan
andika tetapkan, apakah ia itu Batara Guru ( = Pemimpin dewa-
dewa), atau, jikalau yang lain pun jadi. Adapun nanti jikalau
terdapat keterangan yang salah, dengan sebenarnya benar, Ki
Aksara (= tulisan kitab inilah) yang akan menengahinya."
16. Kyai Jagaraga berkata, "Pada hemat hamba, nah, siapa
lagi, kecuali Batara Guru." Mas Khatib Anom menjawab, "Andai-
kata jalan pikiran pamanda ini terdapat benar, coba, terdapat
dalam kitab apa, Batara Guru itu menurun?"
17. "Berlandaskan ceritera Bomantaka, dan Ramawiwaha serta
baratayuda itulah, Batara Guru turun ke dunia. Kecuali (mem-
beri petunjuk cara-cara berperang, orang bertapa supaya menang
perangnya, juga memberikan keperwiraan. Itulah pekeijaan
Pramesti (= Batara Guru) (ketika turun)."
18. "Ia itu masih khalifah (= penguasa pemimpin umat di
dunia), belum pernah teijadi Hyang Guru menuruninya, ma-
nusialah yang memohon dengan bersungguh-sungguh, supaya
mendapat kesempurnaan, ilmu yang bertujuan untuk mencapai
keutamaan kematian. Kalau pun Hyang itu mengirimkan utusan,
tentu Hyang Naradalah yang ditunjuknya mewakilinya."
19. Ketiga orang itu bersama-sama bertanya, "Baiklah, menu-
rut andika, siapakah Sang Dewaruci itu?" Mas Khatib Anom
114
PNRI
tertawa (dan menjawab), "Nah, di sinilah ketiada-gunaan murad
(= analisa) Jawa, sebab lálu membela karena dikejar oleh ke-
butuhan hidup kebendaannya, jadinya lalu nguthuh (= nekad,
seenak perut, semau-maunya, ngawur). Adapun itu, menurut
pendapat hamba, adaiah Sang Batara Utipati ( = Yang Maha
Kuasa, Allah).
20. Ialah Sang Batara Suksma Kawekas (= penguasa tempat
padanya semua sukma berakhir atau kembah = Allah), Sang
Hyang Wenang (= penguasa yang berhak menentukan apapun
juga) (= Allah), adapun Sang Dewaruci, jika itu dimisalkan ikan,
hanyalah badar atau udang (= sangat kecil perbandingannya),
ialah isian dalam samudera luas ini. Ialah yang pada saatnya
dijadikan, pensai (= kamuflase) untuk menemuinya (= mene-
mui Werkodara).
21. Dibuat berupa manusia kecil, hanya sebesar burung pipit
yang kecil mungil. Adapun Sang Werkodara, karena diliputi
dengan anugerah, karena itu hilanglah pikiran atau perasaan
keduniaannya, sangat mendapatkan kenikmatan dan keman-
faatan, nah, dia itulah yang dimisalkan para wali itu.
22. Karena itulah mereka itu (para wali) menahan (= menjauhi)
keduniawian, ditambah lagi mereka itu telah diliputi kasih
sayang Ilahi. Silakanlah, ananda paduka, apakah sudah terasa
tepatkan, bahwa demikian itulah hamba paduka ini mentafsir-
kannya (menganalisakannya)?" Berkatalah Raden Demang Ngu-
rawan, "Pamanda, janganlah pamanda mengulangi pekeijaan
yang tak perlu.
23. Aku menyetujuinya saja. Nah, di sini inilah pamanda
Jagaraga dan Salwarini, apakah kalian mengikuti saja seperti
aku?" Keduanya berkata dengan menyembah, "Daulat, ananda
benar, hamba juga lebih-lebih menyetujuinya." Mas Khatib Anom
berkata lagi, "Pepacuh (= kerahasiaan) Dewaruci.
24. Yang menjadi rahasia semesta alam, "Yang demikian itu
janganlah kau anggap mudah... Sebab, jikalau kita mengang-
gapnya mudah atau remeh, pasti kita akan mendapatkan ke-
sia-siaan, ketiada-gunaan, hanya menyiksa badan kita sendiri,
115
PNRI
dan menjadi tidak seberapa (tidak berharga). Mengapa pula kita
ini, yang sudah dapat pimpinan yang sebenarnya
25. namun kita melanggar sehingga hati kita rusak? Nah, si-
lakanlah oleh pamanda yang itu dipertimbangkan!" Raden
Demang Ngurawan menyambung dengan suara merdu, "Pamanda,
silakanlah melanjutkannya, tentang murad yang telah tepat
itu."
26. "Bukankah menurut kabar yang berkepanjangan, kata-
nya ialah Sang Dewaruci itu, artinya bargaswara (= bersuara
besar, jiwa besar). Ialah kabar-kabar yang diceriterakan, yang
disimpan ketika itu di dalam pepacuh (= pencapaian). Jika itu
diartikan secara rumit, bukankah itu berarti Sang Hyang Oti-
pati?
27. Bukankah Dia masih membuat Khalifah? Yang meraha-
siakan ilmu yang rumit, (hanya memerintahkan) sarak ini ja-
lankanlah yang kuat. Sedangkan Bathara Girinata, ia itulah,
ananda, yang diumpamakan sebagai Rasul, menyiksa yang me-
langgar sarak, dan itupun telah diizinkanNya."
28. "Apakah yang dilakukan olehnya (Batara Guru)? Bukan-
kah ia tukang menjagoi (mengadu domba) semua raja-raja di
dunia? Jikalau ada tidak tetap pendirian pimpinannya, orang
(titah) langsung menuju kepada Hyang Suksma Kawekas, mem
buka tabir (kebobrokan), rusaklah suralaya akibatnya. Jika
demikian, mustahil adalah yang menghargai, kepada Hyang Pra-
mesti (= Batara Guru) oleh manusia.
29. Singgah ke situ apakah hasilnya? Aku telah mengetahui
Hyang Otipati, juga apakah pekerjaanNya. Ialah mendirikan
khalifah Sang Hyang Guru yang berkhalifah raja-raja. Sebenar-
nya mustahillah dipertakhtakan, sebab semua raja, yang kalah
di langit?
30. Jikalau ada orang yang menganggap mudah, (dan menga-
takan) dapat mengetahui kepada Sang Hyang Otipati, tentulah
rusak pekerjaan, Sang Hyang Jagad Pratingkah (= pemimpin
yang mengatur tingkah laku kehidupan dalam alam = Allah),
116
PNRI
Sang Hyang Batara Guru itu, nah, lalu apakah pekerjaannya?
Bukankah kehendak Sang Hyang Wenang, sekedar sebagai peri-
sai (= pelindung) di bumi?
31. Kalau ada orang yang menganggap, bahwa Sang Hyang
Guru yang mengakhiri kehidupan ini, dan diumpamakan seba-
gai Hyang Luhur (= Allah), terang murad (= anggapan, tafsiran,
analisa) itu bekakrakan (= kacau-balau, ngawur, sembarangan),
dicari-cari, sebagai keterangan yang tidak tahu pegangan atau
pedoman. Bukankah itu berarti bahwa ia tidak membaca (Ar-
juna) Wiwaha, dengan Bomantaka namanya?
32. Lihatlah, tandanya, bahwa ia (Batara Guru) masih sebagai
sekedar perisai, kahyangannya (Suralaya) bukankah selalu di-
datangi untuk digempur (oleh raja-raja manusia), dan masing-
masing (dewa-dewa itu) mempunyai isteri? Berapa kali pun ter-
jadinya para dewa, dengan manusia ini banyak saling beijumpa?
Itulah pertanda bahwa masih khalifah (dewa-dewa itu), bukan-
kah demikian itu Sang Hyang Pramesti (Batara Guru) itu?
33. Yang selalu dikehendaki, oleh manusia yang menghendaki
kebenaran, yang memang ditujukan kepada "Yang tak bertempat
tinggal, tidak berwarna dan tidak berbentuk", mana mereka
mendapatkannya dari Batara Guru. Sebab Batara guru memang
hanya perisai belaka. Hyang Guru lalu membuat lagi yang lain.
34. Ia bertirai Batara Inderà (Dewa Perang). Bukankah ia yang
selalu didatangi untuk digempur, oleh raja-raja yang marusul
(= memberontak, menyalahi ketertiba, mursal)? Misalnya maha-
raja Bomantara, meskipun ia masih seorang satria, berani juga
ia datang menggempur, demikian pula putera raja Alengkadira-
ja, Indrajit untuk mengambil bidadari?
35. Maka ketahuilah, yang sudah tidak berwarna itu, adalah
Sang Hyang Batara Otipati (= Allah), itulah yang sebenarnya,
yang juga merupakan Hyang Wisesa (= penguasa yang maha
kuasa mengatur)!" Raden Demang Ngurawan berkatalah dengan
manis, "Terang sudah tidak ada kesalahan, keterangan dan pen-
jelasannya lurus dan tepat."
117
PNRI
XIX. PUPUH MIJIL
118
PNRI
7. Berlainan sekali dengan kehidupanmu itu! Itu ada yang
menyuruh membuatnya. Tetapi kehidupan Hyang (= Tuhan)
dan kehendakNya, adanya tidak di antara masa-masa duniawi,
tiada berupa yang sebenarnya, tiada suaxanya.
8. Tiada ujudnya dan tiada pula yang mirip dengannya. la
tidak bertempat tinggal, tidak bermata tetapi sangat jauhlah
penglihatannya, sampai langit yang tujuh lapis serta bumi (juga
yang tujuh lapis), dan dasar laut sekali pun, tidak ada yang ter-
luput dari pengühatanNya.
9. la maha Esa seperti yang dikehendaki (= dinyatakan) umum.
Segalanya yang tampak itu, barangsiapa bertingkah-laku (berbuat)
di dunia ini semua, menjadi kelengkapan kehendakNya yang
sebenarnya. Bukankah tanpa lidahpun, la mengeluarkan sabdanya.
10. LidahNya ialah yang dibuatNya, yang tiada berjarak waktu
dan tempat. Tidak bermata dengan penglihatannya, sebab mata-
Nya ialah yang dibuatNya itu juga. Sedangkan telinganya itu,
yang kalian gunakan sebagai pendengaran,
11. yang penggunaannya telah ada pada kalian. Tidaklah luar,
bukan pula dalam. Sebenarnya zat manusia pada lahiriahnya,
batiniah manusialah zat yang sejati itu. Sebagai pucuk-pucuk
pohon bambú, ketika diadu-adu layaknya.
12. Bukankah demikian cara melakukannya? Bagaikan kayu
yang dibakar. Adanya asap serta api itu, termasuklah kayu ikut
menjadi pertanda, kan? Jika diumpamakan sebagai laut, ialah
air dengan ombaknya.
13. Seumpama lagi laksana minyak (kelapa) dalam santan (ke-
lapa), demikianlah percampuran itu. Juga seperti madu dengan
rasa manisnya. Yang demikian itulah kemanunggalan hamba
dengan gustinya, dengan disertai kebenaran, akan anugerahNya.
14. Segalanya yang bergerak, diam dan yang berpindak, sebe-
narnyalah itu anugerah. Jadi jikalau kita telah tepat dalam ke-
manunggalan denganNya itu, niscaya Tuhan masih menjadi Tuhan,
hambanya pun masihlah, ya hambaNya pula.
15. Jikalau kita telah benar-benar menyadarinya, diperkenankan
119
PNRI
bersama denganNya, (dalam pengertian) kemanunggal yang
menggairahkan. Yang dikehendaki ada kenyataannya, ialah dikau
sendiri yang menarik hati, sebab segala rupa dan warna, telah
berada pada dirimu belaka.
16. Laksanakan seorang dalang yang menjalankan wayang,
demikian itulah gambaran Hyang Maha Melihat (= Allah), pen-
tasnya ialah dunia ini, manusia sebagai wayangnya. Bergeraklah
(manusia dan makhluk lainnya) jikalau digerakkan raganya.
Tetapi segala tingkah lakunya itu, hanyalah, sekedar melakukan
gerakan saja.
17. Yang berwewenang menguasai kita semua ini, tidak berjarak
(dengan kita) manunggalNya. Segala kehendakNya sejalan dengan
yang dikerjakanNya. Yang Berkuasa berkata-kata tanpa rupa,
sebab rupa itu telah sempurna manunggal, dalam rupanya itu
sendiri.
18. Bagaikan orang bersolek atau perhiasan yang mengaca pada
asal usul (jati). Yang terdapat dalam cermin itu, hanyalah ba-
yangannya, bukankah hambanya (pemilik bayangan itu), telah
keluar dari perasaan zat semula itu (digambarkan keluar melalui
air raksa pada cermin itu), ialah Zat yang mempunyai, kehendak
sekaligus perbuatannya itu."
19. Lalu beduk panjang telah dipalu (=berarti telah pukul dua-
belas malam, beduk panjang = bunyi pukulan beduk yang ber-
talu-talu), Raden Demang perlahan-lahan, "Harap berhenti mem-
baca". Datanglah yang dipintanya (ialah makanan). Setelah
makan bersama telah kenyang semuanya, diundurkan kembali
kebelakang, sisanya, lalu ketan dan kolak maju dihidangkan.
20. Berkata untuk minta diri kepada Raden Demang, Ki Mas
Khatib Anom, "Pamanda, harap pamanda besok malam kembali
lagi. Besok pagi hamba akan bersembah kepada Sang Raja, ka-
rena telah bersama-sama kita bertukar pikiran, di tempat ini
selama sebeduk (malam)."
21. Raden Demang segera memerintahkan orang, untuk meng-
antarkan mas Khatib Anom, diterangi dalam perjalanan itu dengan
120
PNRI
sebanyak tiga puluh tiga ting (= lentera minyak kecil). Berangkat-
lah mereka dari kademangan, karena cepat, jalannya, segera
sampai, di pemondokan Mas Khatib Anom yang disediakan
secara khusus (pakuwon).
22. Orang-orang kademangan yang tiga puluh orang itupun
pulanglah. Dengan dirasa-rasakan, malam itu, pada pagi harinya
Raden Demang pergi menghadap. Sesampai dalam istana dihadap-
an paduka Sang Raja, Raden Demang berkata dengan sangat
hormatnya, "Daulat, tuanku, hamba tadi malam
23. bersama-sama dengan orang-orang yang paduka titahkan
bertukar-pikiran, dengan Mas Khatib Anom. Benar-benar kalah-
lah si Haji Cabolek. Tidak dapat mengejar serta tertinggal jauh
kemampuan berpikirnya. Jikalau hendak mengejar juga, sangat
mustahil, sebab sangat jauh tertinggalnya.
24. Ialah tentang rasa yang terdapat dalam Kitab Bimasuci
dirakit dalam pemanunggalan yang indah, yang digubah dalam
keserasian pemanunggalan pula. Pentafsirannya lebih luas, baik
ke kanan maupun ke kiri, penyimpulannya sangat tepat, si Kha-
tib Anom Kudus itu.
25. Jalan pikirannya cepat, mantap teguh dan tepat sekali,
sangat jelas berterus terang dikemukakannya, teliti pemilihannya,
sehingga pantas dan teratur. Tetapi sayang sekali bahwa tentang
kitàb Bimasuci itu, pada waktu-waktu sekarang ini, jarang-jarang
orang yang telah tamat membacanya."
26. Sri Bupati perlahan-lahan berkata, "Coba, kaucarilah babon
(= naskah asli, buku induk), tetapi yang selesai, siapa pun yang
memilikinya.", Raden Demang Ngurawan menjawab dengan
halus hormat, "Hamba telah puas mencarinya, tetapi belum
juga mendapatkannya.
27. Memang sangat jarang, meskipun jaman dahulu sekalipun,
jarang yang menyimpan naskah aslinya. Hamba paduka pamanda
ini tidak mempunyainya. Kanjeng Cakraningrat, ayahanda hamba,
dahulu, sangat menggemari sastra kawi, demikian pula
kanjeng panembahan sepuh (= ayahanda raja yang memerintah
sekarang).
121
PNRI
XX. PUPUH SINOM
122
PNRI
yang kukehendaki dapatlah langsung (=tidak terhalang)." Raden
Demang menjawab dengan hormatnya, "Daulat, baiklah, hamba
sanggupi, tuanku. Hamba paduka wedana itu, yang ada di sini
hanyalah si Kaki Wiraguna, lumayan do'a restunya karena telah
tua itu.
6. Meskipun juga sama-sama tuanya, hamba paduka Ki Adi-
pati, Citrasoma, adalah tua-tua percuma. Andaikata merasakan
ilmu, ia belumlah dapat dikemukakan. Ia hanya terus-menerus
minggu (=duduk diam saja), seperti tugu yang dihias-hias. Yang
sering dapat diandalkan atau dijagokan, (mungkin) hamba paduka
Adipati Jayaningrat.
7. Ia seringkali menghentikan yang cepat jalannya, atau mem-
percepat yang lambat majunya. Tetapi, itulah dia, jikalau sudah
bertanding berhadapan, mereka yang berebutan rasa (=bertukar
pikiran), lalu, kalau ia merasa mungkur gangsir (= terpukul mun-
dur), kemudian ia berpura-pura mengantuk. Nanti, jika yang
berdebat itu telah mereda, di antara yang berebutan kebenaran
ilmu itu, bangunlah ia dari mengantuknya lalu ia berteriak-teriak.
8. Nah, kuharap kahan jangan mudah patah hati. Orang me-
musyawarahkan kebenaran ilmu itu, ialah di antara yang bere-
butan kebenaran itu, hendaklah yang berniat teguh, yang berani
mati, bertindaklah yang tangkas. Tirulah, tuh, Khatib Anom
Kudus. Berani menggempur lagi pula berpendirian teguh yang
benar. Kau, ini, huh, ki Mutamaqim, selalu saja seperti ayam
yang terserang penyakit piler (=nanar) saja!"
9. Apalagi ditanyakan apa yang dibicarakan, dia itu mengantuk
lagi." Tertawalah Sri Naranata, "Haha, kantuknya itu merupakan
rahasia, bukanlah kantuk yang sebenar-benarnya. Bukankah ia
sedang mengintai cara pértengkaran itu? Harusnya, jika bertengkar
kata itu imbangilah, sebab bahan pertengkaran itu makin menjadi
jelas. Nah, setelah terdapat ketentuannya, lalu kalian ambii ca-
tatlah dan disimpan dalam hati (= selalu kalian ingatlah).
10. Tentu saja kalian yang kehilangan, sebab pihak sana selalu
mengambil kesimpulan dengan diam-diam. Si Adipati Jayaningrat,
mana dia, beritahukan kepada si Adipati itu, ada orang jahat yang
123
PNRI
mencuri dengan diam-diam. Dalam menunggui orang bertengkar
perkara ilmu, dia berkedudukan sama (denganku, sebab), ialah
yang menjadi wakilku. Awas, kalau hanya selalu mengantuk lagi,
akan kuhukum dia!
11. Gajah-gajah yang kupercayakan kepadanya (=gegaduhan),
yang tetap menyerang walaupun dihujani peluru meriam, akan
kumintai ganti lipat empat. Kalau ia menggunakannya sendiri,
cukup seekor saja, yang sama dengan gajah petani, yang tiga
lainnya kuambil, kusuruh bawa ke Kartasura. Kelak, jikalau
sembuh mengantuknya itu, pada saat menghadiri orang bermus-
yawarah tentang rasa kebenaran ilmu,
12. Si Adipati itu kuberi hadiah, berupa baju jubah yang baik,
yang aneh, lain daripada para adipati lainnya, ialah jubah sutra
berwarna gajih (= putih kekuning-kuningan). Orang Banyumaslah
yang membuatnya, dari sutera putih tipis dengan sutera tebal
putih kusam (uluh). Nah, sudahlah, bapang, kau sekarang keluar-
lah!" Rahaden Demang menjawab dengan hormat dan halus,
ia keluar dari istana pada pukul setengah duabelas.
13. Setibanya di rumahnya sendiri, Rahaden Demang segera
menunjuk seorang sangkrib (= hamba yang siap untuk jadi suruh-
an), "Sangkrib, kau kuutus, pergilah kepada kakandaku Pangeran
Mangkubumi. Menghadaplah mewakili aku. Kepunyaan kakanda
kitab Rama, dengan kitab Bomantaka, dan kitab Arjuna Wiwahaku
yang dahulu, juga dibawa oleh kakanda itu
14. itu semua pohonkan olehmu atas namaku. Barangkali ka-
kanda kelupaan, bersembahlah kau, "Yang paduka, baca pada
malam hari Kamis, di tempat kediaman adinda paduka, paduka-
lah yang menghimpunnya." Sangkrib menjawab menyanggupi
dengan menyembah, lalu pergi, beijalan ke arah tenggara, memang
tidak jauhlah, Mangkubumen (= istana kediaman Pangeran Mang-
kubumi) letaknya terhadap kedemangan.
15. Tak lama di jalan, Sangkrib sebentar telah tiba, di Mangku-
bumen, tetapi sangat sepi (seperti tiada kehidupan), pintu ha-
lamannya sudah tiga hari itu, tak dapat dibukakan daun pintu-
nya. Tentu saja Sangkrib segera kembali (ke kademangan) Kepada
124
PNRI
Raden Demang hal itu dipersembahkan. Ternyata ia kelupaan
dalam pesannya. Berkatalah ia kepada mas Konting, "Kau saja
Konting, pergilah menyusul kakanda yang sedang menghadap
di istana.
16. Si Sangkrib tadi kuutus, memang akulah yang kelupaan,
bahwa sedang adangan (= ditugaskan menghadap raja di balai
penghadapan istana = seba) kakanda itu. Katakanlah olehmu,
bahwa nanti malam kakanda kupersilakan datang." Mas Kon-
ting menjawab sanggup dengan hormat, pergilah Gondokusumo
itu (= Mas Konting), yang berpangkat lurah karena keturunan,
tersebutlah ia putra seorang bupati, ialah Ki Tumenggung Yuda-
negara dari Banyumas.
17. Laksana Bambang Wijanarka (= tokoh dalam wayang,
putra Aijuna), Mas Gondokusumo itu tampan (= ganteng dan
gagah). Ia lebih dari sekedar disayangi, sebab diniatkan akan
diangkat menjadi saudara wedi (= sahabat sangat karib, sehingga
sebagai saudara kandung saja), oleh Raden Demang kabarnya,
mengabdilah ia dalam belajar siang dan malam. Tersebutlah
dalam peijalanannya, bertemulah ia dengan Sangkrib, "Kiaimas,
andika itu mengapa menyusul aku?"
18. "Sebabnya hamba ini kembali, sebab di Mangkubumen
sangat senyap, pintu halamannya menutup saja." Bertanyalah
Ki Mas Konting, "Apakah andika juga bertemu, dengan hamba-
nya yang tertinggal?" Sangkrib menjawablah dengan perlahan,
"Baik di depan, maupun di belakang sunyi senyap semuanya."
Lamaiah termenung berpikir ia Ki Mas Gondokusumo.
19. "Coba, kalaukau ditanyai oleh tuanmu, apakah yang akan
kaukatakan? Kau ini tergesa-gesa seperti orang dikejar-kejar
perampok. Memang biasa orang menjalankan tugas, bermaksud
supaya menjadi priyayi (= orang atau pegawai yang dihormati),
(tapi ingat) tuan kita itu orang besar yang lebih dari yang lain-
lain. Ia cerdas, prawiratama (= berbudi luhur dan tingkah laku-
nya utama), di negara ini, lagipula sebagai pengatur, mana mung-
kin ada duanya seperti dia di negeri Kartasura ini.
20. seperti Rahaden Demang, Ngurawan di antara orang-orang
125
PNRI
senegari ini. Dapat diperibahasakan: kalau ada pohon kayu yang
mati, jikalau disembur itu, oleh tuan kita itu akan hidup kembali.
Sebaliknya kalau ia mau: batang kayu yang hidup, jika ia yang
menyemburnya, tak perlu dua kali, niscaya datang kematian
kayu itu. Mengapa kau demikian singkat budimu (= memper-
mudah perintah), waktu kau mengabdi kepada Bupati?, (jika
demikian) tidak mirip sedikitpun dengan yang mengharapkan
mendapat derajat yang baik.
126
PNRI
puasa Senin Kamis." Maka bertanyalah mas Gandakusuma,
25. "Apakah kanjeng tuan paduka itu, benarkah seringkali
tirakat?" Menjawablah Ki Puspajaya, "Baru sekarang ini agak
berkurang sedikit. Memang telah menjadi watak kebiasaannya
sejak dahulu, sejak tuan hamba itu masih kecil, ialah ketika
masih bertempat dalam istana raja, tidak pernah terlowong se-
tiap bulannya. Sering tuan hamba itu bepergian melalui sungai-
sungai dan jurang-jurang serta gunung-gunung.
26. Cincin-cincinnya bermata intan itu, yang sebuah dinamakan
sang Pepe, sang Telawong yang satunya lagi. Sang Pepe yang
sedikit lebih besar, sedang sang Telawong yang lebih kecil. Jika-
lau datang Jum'at malam, cincin bermata intan itu, diceburkan
dalam air (mungkin sungai, mungkin lubuk) dari atas, dua saat
kemudian dicarinya dengan meraba-raba lagi dari bawah air itu.
27. Kalau diceburkan antara pukul sembilan malam, akan ter-
dapat kembali menjelang pagi hari. Maksudnya untuk menipu
mata (supaya tidak tertidur). Tetapi para abdi pelayan men-
dapat giliran (= bergantian tidur), sebab tak ada di antara mereka
yang kuat, mengimbangi ketahanan tuannya, yang semalam
berada dalam air, namun ternyata sama sekali tidak basah ku-
yup kedinginan. Para abdi punakawan selalu mendapat giliran
mereka."
28. (Percakapan itu) terhalang kedatangan si Gentong, yang
memanggil Puspajaya itu. Ketika telah tiba di hadapannya, Ki
Puspajaya dengan lantang bertanya, "Hai, Gentong, di manakah
tuan kita itu? Apakah tuan kita itu akan pulang malam nanti?"
Ki Gentong menjawabnya, "Hamba dititahkan untuk menjemput
kuda paduka, sebab setengah enam nanti paduka tuan kita akan
ke Tambaksegaran."
127
PNRI
XXI. PUPUH ASMARADANA
PNRI
7. Sebab tentulah orang yang baik-baik, yang hanya menu-
ruti hawa nafsunya saja itu, karena itu mandalah (= pantaslah)
jika dibunuh. Ya, silakan membunuhnya Aku tak akan mem-
bela diri!" Tuanku itu bersabar, tidak marah sama sekali, hanya
menyerahkan diri pada kematian saja.
8. Lalu si Badong menjerit-jerit, berkeluh, "Aduh, tuanku,
tuanku!" Tuanku Wiragati terkejut mendengar dan melihatnya,
dibuangnyalah arit gobangnya itu. Beliau melepaskan peme-
gangan rambut oleh orang itu, sambii bertanya keras, "Hai, se-
benarnya siapakah ini?"
9. Si Badong sambii menangis menjawab (ketakutan), "Aduh,
ini Gusti Raden Mas Sujana, paduka tuan Pangeran Mangku-
bumi!" Hamba terlongong-longong saja, terpesona ketika me-
lihatnya. Tuanku Wiragati ketika mendengarnya, menjatuhkan
dirinya seraya memeluk kaki (Pangeran itu).
10. Beliau inipun tidak dimurkai oleh Pangeran, malah-malah
paduka tuan pangeran itu meminta, maaf kepada Wiragati itu,
yang mempersembahkan semangka kepada paduka itu. Setelah
lepas dahaga paduka itu, hanya hamba berdua yang diberi (si-
sanya), hambalah yang memakan semangka itu.
11. Lalu paduka itu pulang malam-malam, berkenan berhenti
di desa Gobang, menantikan beduk malam (= beduk panjang,
menandakan pukul dua belas tengah malam). Tuanku Wiragati
tidak dapat, dicegah untuk mengantarkannya. Ia berniat pulang
ke Jabung, bersamaan dengan pukul satu malam.
12. Paduka Pangeran itu lalu berhenti, duduklah baginda itu
di atas pematang sawah. Ki Wiragatilah yang disuruhnya, pulang
dari situ saja. Ki Wiragati ketika pulang, belum sampai lewat
sepelempar jalannya, larilah ia terbirit-birit seperti ketakutan.
13. Berbondong-bondong yang mengikutinya, diperkirakan ada
sekitar seratus lima puluhan, berderu-deru masing-masing seperti
membawa sesuatu yang berat. Semuanya menggantungi kain
panjang yang dipakai Ki Wiragati. Ada yang di punggung, bahu
dan pundak, berupa anak-anak umur empat tahunan, kira-kira
129
PNRI
sama dengan cucunya.
14. Lari mereka itu sampailah, di hadapan paduka tuan Pa-
ngeran. Paduka Pangeran berdiri dengan terkejutnya dan menyapa,
"Hai, Wiragati ada apa? Mengapa engkau lari terbirit ketakutan?"
(Yang ditanyai) berteriak sambil berkata, "Ananda, lihatlah
apakah ini?
15. Rupanya seperti bayi-bayi, sangat banyak semuanya me-
mangsa hamba, mencakar serta menggigit. Perih semuanya badan
hamba ini!" Pangeran Mangkubumi berkata, "Na'udzubilíah
min dhalik (= semoga Allah menjauhkannya dari hamba), mung-
kinkah itu, syaitan-syaitan yang sedang menggoda dan meng-
ganggumu?
16. Kemarilah kau, hai Wiragati, beradalah engkau di belakang-
ku saja, menjadi satu dengan si Gentong dan si Badong. Paduka
Pangeran sangatlah murka (marah). Dengan penuh kegarangan
dan keberanian beliau melawannya. Segeralah kain panjangnya
dicawatkannya (= supaya mudah untuk bergerak cepat), mener-
jang ke kanan dan ke kiri serta menangkapinya.
17. Yang dapat ditangkapnya segera dibantingnya, ada yang
dibuang terlempar jauh. Sungguh sangat tangkas dan cepat ge-
rakannya, laksana Narpati Sugriwa (Raja kera putera Resi Go-
tama), yang sedang dikeroyok oleh raksasa-raksasa. la berperang
tidak kebingungan, tidak terpengaruh, benar-benar berbudi lu-
hur dan manusia pilihan kebaikannya.
18. namun makin banyaklah yang berdatangan, bukannya
makin berkurang, sekira ribuan banyaknya. Tak ada yang tam-
pak menonjol, bukankah tanaman padi sedang sama tingginya
(rampak). Kami semuanya berada di bagian bawah, pematang
sawah sambil melirik pertempuran aritara Paduka Pangeran de-
ngan yang mengeroyoknya itu. MUNDUR seekor ditangkap
oleh Paduka Pangeran.
(Dengan kata MUNDUR, diisyaratkan bahwa pupuh se-
tolali ini ialah PUPUH DURMA. Kata Durma diisyaratkan dari
suku kata "dur" pada kata mundur.)
130
PNRI
XXII. PUPUHDURMA
131
PNRI
menjauh saja (= tidak berani mendekat). Berhati-hatilah Kanjeng
Pangeran itu, walaupun iblis terlaknat (= terkutuk) menyerang
bersama-sama. Kanjeng Pangeran sama sekali teguh tak tergerak,
ke arah baratlah hadapnya (= menghadap ke arah kiblat, kiasnya
tetap takwa).
7. Yang di sebelah tenggara di samping Kanjeng Pangeran,
enak-enak mereka melirik, tapak wewayangan, tidak adalah
yang menapak di atas tanah (= melayang-layang rendah, itu
berarti mereka itu semuanya hantu, atau makhlus halus). Kan-
jeng Pangeran makin menyadarilah ia akan, inti sari surat, yang
terdapat dalam Al-Qur'an dan dibacalah itu.
8. Sebanyak lima (? kali atau ayat?) Kanjeng Pangeran itu
membaca, Surat Ikhlas dan Sürat Yasin, cukup inti sarinya saja,
serta Surat Jumara (?), Surat Saba (?) dan Surat "Namli. Lalu
terdengarlah, beterbanganlah yang datang dari arah kiri,
9. bagaikan baling-baling seratus terhantam oleh angin ribut.
Terperanjatlah tuanku Wiragati, beliau menangisi Kanjeng Pa-
ngeran. Tersebutlah yang sedang menerjang, dari arah kiri, hen-
dak menimbuninya. Ada yang keliwatan, dari atas kepalanya
(= kepala Pangeran Mangkubumi).
10. Tuanku Wiragati digapai oleh Pangeran diperintahkan su-
paya diam saja, supaya berpura-pura tidur. Jangan mempunyai
rasa khawatir, sebab seberat-berat syaitan, masih lebih berat
manusia (memusuhinya). Yang terlempar ke utara, kembali
ke selatan lagi, hanya berloncatan panjang mereka itu. Adalah
kira-kira sebanyak seratus.
11. Gerakan mereka cepat, bagaikan burung-burung gelatik
menyerbu padi bersama-sama. Namun oleh pertolongan dari
Hyang Widdhi (= Allah), syafaat (pembawa) surat-surat (= Nabi
Muhammad SAW), yang telah dibacainya itu, musuh hanya -
lah ke utara ke selatan saja tanpa hasil, beterbangan sajalah mere-
ka, tidak ada yang berguna (pekeqaan mereka itu).
12. Senjata mereka satu pun tiada manfaatnya. Ada yang berupa
132
PNRI
ular yang dijinjing, ada alat-alat pelempar, yang panjangnya
hanya sehasta. Tetapi semuanya itu tidak adalah yang rnembe-
kas, terhadap Kanjeng Pangeran, yang hanya sedepa jauhnya
dari mereka.
13. Yang berada di daratan berkerasakan memenuhi sawah-
sawah. Itu pun tidak ada yang dihiraukan. Mereka tidak ada
yang berani mendekat, hanya menakut-nakuti dari kiri dan dari
kanan. Hanya yang beterbangan di ataslah, yang dipikirkannya,
perlu Kanjeng Pangeran berhati-hati terhadapnya.
14. Mengheningkan ciptalah Kanjeng Pangeran itu. Bagaikan
mendapat penglihatan tuan hamba itu, bahwa yang beterbangan
itu, yang tiada henti-hentinya ke utara dan ke selatan itu, dari
bawahlah mereka terbang itu. Yang menyerempet kepala (Pange-
ran), ialah yang paling besar.
15. Ketika dekat bersamaan (serangannya) segeralah ditangkap
(oleh Pangeran), lehernya telah tertangkap, kemudian digulung-
gulungkan. Adapun yang kebanyakan itu, menceburkan diri
(dalam sawah), lenyap tak bersisa, sedangkan yang tertangkap
adalah yang paling besar.
16. dilecutkan pada pematang sawah tiga kali, meratap-ratap-
lah ia (sesuatu itu) menangis. Berkatalah Kanjeng Pangeran,
"Nah, hai, apakah kau ini? Ujudmu seperti bayi, demikian juga
teman-temanmu itu, semuanya seperti bayi belaka?"
133
PNRI
XXin. PUPUH ASMARADANA
134
PNRI
(= ukuran lúas sawah kira-kira 1/400 jung; 1 jung = kira-kira
1/2 bau = 3500 m2 ) sahaja. Bukankah itu tidak menyebabkan
orang melarat ananda tuanku? Adapun orang Jawa itu, jika-
lau ada yang menjadi musuh, terhadap paduka tuanku, hamba
mohon setengahnya saja (separuh hamba yang menghadapi-
nya).
7. Dari satu jung hamba mohon diperkenankan mengambil
satu kikil (= nama ukuran luas sawah, kira-kira 1 /2 jung), untuk
jangka waktu empat tahun sajalah. Syukurlah paduka memper-
kenankan untuk tujuh tahun, ananda... Pangeran Mangkubumi
berkata dengan membentaknya, "Hah! Kau tidak mengaku syai-
tan, tetapi pikiranmu hendak merusak saja. Itu juga pekexjaan
syaitan!"
8. Raja mentek itu menjawab dengan hormatnya, "Daulat,
paduka ananda, janganlah ananda tergesa-gesa murka. Hamba
ini selamanya, ingin menjadi hamba yang turun-temurun (patut
dijadikan teladan), yang selalu düngat-ingat oleh segala makh-
luk. Semuanya itu adalah pepesten (= takdir, kehendak) Hyang
Luhur (= Allah). Karena itu, ananda tidak dapat menolaknya."
135
PNRI
12. (Karena itu) kalau engkau mengerjakan sawah (bersawah),
sudahlah, janganlah engkau ini khawatir. Tidak akan sawahmu
itu terkena hama mentek." Kemudian ia diperintahkan supaya
pulang, pada waktu langit timur kemerahan (menandakan men-
jelang subuh). Beliau diberi uang sepuluh real, sebagai bekal
hasil dari tirakat (= mengekang diri).
13. Minta diri sambii menyembahlah tuanku Wiragati. Karena
ketika pagi mendatang, Gusti Pangeran tubuhnya kelelahan,
serasa lesu dan mengantuk saja, paduka Pangeran meminta se-
ekor kuda. Mas Gandakusuma telah, minta diri dan segeralah
ia pulang.
14. Dalam perjalanan itu mereka semuanya berunding, hendak
berkata yang dipersingkat sahaja. Peijalanan mereka itu terse-
butlah telah tiba, di dalam kediaman Kademangan mereka ber-
temu dengan tuan mereka. Kedua utusan itu menyembah lalu
berkata, bahwa kosonglah rumah kediaman kakanda tuannya
itu.
15. Benar telah riga malamlah, gapura halaman rumah kakan-
danya itu tertutup saja. Raden Demang sangat terkejut. Walaupun
keduanya bersaudara sepupu, mereka sangatlah rukun. Raden
Demang dengan lantang berseru, "Lekaslah ambilkan si Kebom-
bang (= nama salah seekor kudanya)."
16. Dengan hanya diiringkan oleh perawat kuda dua orang
dengan kedua peranakan (= calon abdi), berkuda dengan cepat-
lah ia. Telah tibalah ia di Kamangkubumen. Ki penjaga Marta-
yasa, dengan ki Puspayuda dengan tergopoh-gopoh membukakan
pintu halaman. Setelah terbuka
17. (Demang) turun dari kudanya, Rahaden Demang Ngurawan
itu. Tersebutlah yang diceriterakan, bibinda Kanjeng Pangeran
putra mantri panekar (= pegawai istana berpangkat mantri yang
telah banyak berpengalaman, terpilih, senior), yang telah meng-
abdi secara turun-temurun, bernama Ki Ngabehi Gandakara.
18. Adapun yang mempunyai asal usul itu, Ki Gede (= kepala
136
PNRI
suatu) lingkungan (= kumpulan beberapa desa setingkat di bawah
kewedanaan, setingkat kademangan) dari Parampelan ialah Ki
Gede Prampelan. Ia ini menurunkan si Kapundung ialah Ki Nga-
behi Gandakara.
19. Putera sulungnya seorang puteri, diperisteri oleh Sang Raja,
ialah Mas Ayu Tejawati. Yang tiga lainnya saudaranya itu laki-
laki. Sepeninggal ayahandanya, yang menggantikannya putera
yang ke dua, yang dilantik dengan nama Gandakara.
20. Jadilah ia adik langsung, Ki Ngabehi Gandakara itu terhadap
Mas Ayu Tejawati, yang diperisteri oleh Sang Nata itu. Ia itu
anak tertua, berputera seorang, laki-laki, bernama Raden Mas
Sujana.
21. Juga dinamakan Pangeran Mangkubumi. Sebabnya ia ini
sangat prihatin (= berduka cita mendambakan sesuatu), karena
ketika dihamilkan oleh ibundanya, dikenakan pengucilan. Ka-
rena itu bertambah prihatinlah hatinya. Meminta-minta belas
kasihan ia tidak mau, terhadap kakandanya Sang Raja.
22. Jadiiah ia dua kali prihatin, bersama-sama dengan kudanya,
dipersatukanlah keprihatinan mereka berdua itu. Rahaden De-
mang Ngurawan itu, setelah kehadirannya, pendapa rumah itulah
yang ditujunya. Mas Ayu Tejawati dengan segera
23. dengan tergesa-gesa menemuinya, terahdap Raden Demang
Ngurawan, mas Ayu Tejawati. Raden Demang bertanyalah, "Ibun-
da, ke manakah kakanda?" Mas Ayu Tejawati menjawablah,
"Anada, kakanda paduka
24. ia pergi telah selama lima hari ini, hanya diiringkan oleh
hamba pelayannya." Raden Demang dengan tersenyum bertanya
lagi, "Paduka agaknya habis karuna (= bersedih, menangis),
ibunda, apakah sebabnya, sampai ibunda tersedu-sedu menangis
itu, apakah tersebab oleh kakanda?"
25. Ni Mas Ayu Tejawati itu, perlahanlah ia memberikan ja-
wabannya, katanya, "Adapun kakanda paduka itu, ananda bukan-
kah sudah pekerjaannya? Kerjanya memang sering bertirakat,
137
PNRI
dan biasanya dengan paduka ananda ke mana-mana bersama-
sama, bukan?" Menjawab pulalah Demang Ngurawan,
26. "Ibunda, hamba sekarang sudah sembuh (dari suka tirakat
dan bertualang), karena saya telah menjadi punggawa, sedangkan
kakanda pangeran itu masih saja." Berkata lagilah Mas Ayu Teja-
wati itu, "Itulah sebabnya, añada, itulah yang menyusahkan
hamba. Sedangkan pamanda ananda Kepundung itu, sama sekali
tak dapat diajak berunding.
27. Ananda, menurut pendapat hamba, di sini ini, dinamakan
tiga bersaudara. Hendaknya seorang sajalah, cukup kakanda
paduka seorang, yang pekerjaannya sering tirakat itu. Sebenar-
nya sama dengan sepuluh orang, yang mengikuti itu hendaklah
salah seorang saja (= tidak terlalu bertirakat).
28. Karena itu hamba akhirnya hanya menangis saja, ialah
perkara yang satu itu. Hamba tidak iri hati, ananda, kepada
yang telah mendapatkan pekerjaan dengan baik, ialah pamanda
Gandakara. Bukankah ada adindanya, dua orang, yang seorang
di antara mereka itu
29. sepanjang pagi berada di sini, ialah pamanda Gandakara
itu. Namun ia sama sekali tak dapat ditanyai (tentang kakanda
paduka Pangeran). Karena itu menjadi kakulah hati hamba ini,
ananda, itulah sebab hamba menangis ini. Lalu dengan keda-
tangan paduka ini, hamba tertawa." Raden Demang (berkata),
30. "Ibunda janganlah bermasygul hati, demikian pula kakanda
itu. Hanya tentang Kapundung sajalah. Hanya sawah yang sera-
tus itu yang berada dalam garapan mantri penekar, besok pagi
akan hamba minta, hamba serahkan kepada kakanda.
31. Itupun ibunda, jikalau, sebenarnya saudara paduka itu,
nantinya mau selalu mengikuti, ialah mengasuh kakanda. Me-
mang si pamanda Gandakara itu, dasar orang tua dungu, tentu
saja ia tidak mengenal gelagat.
32. Peri hal kakanda Pangeran Mangkubumi itu, coba, siapakah
yang tidak mengetahui? Sama-sama saudara Sang Raja berbeda-
138
PNRI
Iah perasaannya dibandingkan dengan, saudara-saudaranya yang
kebanyakan, menurut anggapan kakanda baginda. Ia sangat
diharapkan menjadi panglima perang.
33. Sama-sama saudara dari Sang Raja, coba, siapa yang seperti
kakanda pangeran itu? Menikah diselenggarakan oleh istana,
diperjodohkan dengan yang masih kerabat istana. Sebagai cangkok
negara (= tanah pemberian kepada kerabat dekat istana), di
Madiun ia diberi dua belas ribu Gung ?) Para ipar kakanda
34. semuanya dijadikan bupati, lagi pula semua dihormati ka-
rena terbawa oleh ipar mereka (ialah kakanda Pangeran) Misal-
nya Raden Sudarmasewaka, dengan Raden Suputra, sama-sama
keturunan perjurit pilihan, dipersaudarakan dengan kakanda.
139
PNRI
XXIV. PUPUH DANDANGGULA
140
PNRI
jutannya, ialah malam Jum'at mendatang.
5. Hai, kau juga Cocot Robat Rabit! Pergilah kau ke pemon-
dokan, bersama-sama si Mintragna sebagai temanmu. (Katakan,
bahwa) pamanda Jayaningrat, lusa, pada hari Jum'at malam,
hendaklah pergi ke kademangan. (Katakan) beliau diperintah
menghadap oleh Sang Raja!" Ketiga caraka (= utusan) menyem-
bah, dan segera pergi dari hadapan tuannya itu. Raden Demang
berkata lagi kepada
6. Suranata ialah Nurkusasi, "Hai, Nurkusasi! Berjalanlah
engkau, cepat-cepat ke Kauman. Katakan olehmu, bahwa ke-
lak Jum'at malam, Kaki Winong diperintahkan datang kemari!"
Ki Nurkusasi menyembah. Cepatlah semua perjalanan duta-
duta (utusan-utusan) itu. Yang datang lebih dahulu ialah utusan,
si Mintragna dan si Cocot Robat-Rabit di perkubuan (= pemon-
dokan) Pangeran Jayaningrat.
7. Pemondokan adipati itu, iaah Pangeran Jayaningrat, berada
dalam negara (lingkungan istana atau ibu kota), tidak dicampur
dengan pemondokan bawahannya. Menurut perintah Raja, tidak
diperkenankan mondok di luar. Dari selatan Wiragunan, ter-
hadap pemondokan itu, beijarak jalan dan (daerah) Kemlayan.
Sebelah barat rumah Pangeran ADIPATI terdapat pemondokan
Pekalongan.
8. Jadilah berdekatan dengan jro puri (= istana bagian dalam =
kedaton), hanya terpisah oleh loji kebon (= gedung pengasingan)
dan pecinan. Telah tibalah Cocot Robat-Rabit, dengan Min-
tragna, lalu mereka masuk, berjumpalah mereka di situ dengan
Sang Adipati. Karena ketamuan utusan Raja, mantri gedong
(= pegawai urusan rumah tangga) memerintahkan, kepada kli-
won (= pegawai pengawal) ke duanya sekaligus, supaya mendam-
ping juru masak Ki Adipati, yang mempersiapkan hidangan terasi
makan.
9. Bukankah sudah menjadi kebiasaan Sang Raja, setiap bagin-
da datang, Adipati Jayaningratlah, yang mempersembahkan san-
141
PNRI
tapannya terasi, yang telah dipersiapkan kepada Sang Raja?
Biasanya mendadaklah dikerjakannya itu. Hanya di pemondokan
sajalah, Sang Prabu itu bersantap. Utusan telah tiba, memberi-
tahukan, titah yang dari Raden Demang, bahwa ia diharapkan
menghadap. Utusan telah datang di hadapannya.
10. Belum juga utusan itu berkata kepada Adipati, mereka
telah ditanyai oleh Sang Adipati itu, "Hai, kau, Cocot Robat-
Rabit, manakah kemirinya? Bukankah tuanmu telah sanggup
memberikan kepadaku?" Utusan menjawab sambil menyem-
bah, "Ampun, tuanku, hamba paduka tidaklah diutus, untuk
mempersembahkan kemiri itu. Adapun hamba paduka ini di-
utus, bahwa paduka tuan dipersilakan datang, kelak Jum'at
malam."
11. "Ya, aku, hai Cocot Rontang Ranting, dipanggil meng-
hadap oleh tuanmu itu, apakah Jum'ah lusa, ataukah Jum'at
besok ini?" Segera menjawab, "Lusa ini,tuanku." Sang Adipati
berakta lagi, "Katakanlah kepada tuanmu itu, bahwa beliau itu
kelupaan, bukankah telah sanggup hendak memberikan kemiri,
kepada pamandanya Adipati ini?
12. Nah, ya, ini, Cocot Rontang Ranting. Persembahkanlah
kepada tuanmu. Terasi lauk santapan, kakanda tuanmu Sang
Prabu, baru saja jadi hari ini juga. Hanya sekedar icip-icip (=
merasakan sebagai pendahuluan), karena itu tidak banyak, hanya
sebesar benda (= biji buah semacam ara, ujudnya seperti biji
mlinjo (Gnetum gnemon)." Pemberian itu telah diletakkan dalam
bungkusan pada talam putih. Utusan segera minta diri, Sang
Adipati membawai (terasi), kepada kedua abdi pelayan itu.
13. Perjalanannya tidaklah lama telah sampai ke tujuan, lalu
duduk menghadap ke hadapan tuannya. Ketika ditanya, "Nah,
apakah itu?" Utusan menyembah dan menjawabnya, "Ampun
tuanku, ini ialah terasi makan, santapan pamanda Adipati. Tadi
ketika hamba bertemu dengan, kliwon gedong semuanya (=
pengawal dalam), beramai-ramai sedang mengawal baginda raja,
sepanjang pagi di sana
142
PNRI
14. (bersama) pamanda paduka Adipati menyaksikan, juru
masaknya yang sedang membuat, ialah terasi santapannya ini.
Kakanda paduka Sang Prabu, dan dua orang kliwon gedong,
dipersilakan membukai penutupnya. Baginda berkata dengan
merdu, "Menurut perasaanku agak terlalu merah, sampai merah
bagaikan dodol buah wuni, tetapi terserah yang membuatnya."
15. Utusan itu berkata lagi, "Hamba juga ditagih, konon paduka
tuan hendak memberikan kemiri, ialah si gambir dan si lemped
(= nama-nama kemiri gacuk, untuk diadu). Tertawalah Raden
Demang dan berkata merdu, "Aduh, iya, ya, memang aku yang
lupa! Manakah utusan pamanda itu?" la lalu mengambil, kemiri
sebanyak tiga tapas (= takar) berisi tiga ratus butir sambil berkata
perlahan, "Katakanlah kepada pamanda Adipati,
16. janganlah pamanda berani bertaruh, dengan si lemped ini,
bukankah belum tentu, masih meragukan (nyelandri = dari tiga
kemungkinan barn satu yang pasti) baiknya. Anaknya si gambir
itu, bukankah sudah tampak banyak yang baik?" Menyembah,
dan telah diterima, utusan itu segera minta diri. Cocot Robat-
Rabit berkata lagi, "Pamanda paduka bersedia hadir pada Jum'at
pagi, paduka." pulanglah Rahaden Demang.
17. Sudah semuanya yang diutus itu datang, melaporkan, bahwa
semuanya bersedia yang diperintahkan menghadap. Tersebutlah
dewasa itu peredaran matahari, tidak terceriterakan malamnya.
Paginya kebetulan hari Kamis, tergelarlah lengkap dalam balai
penghadapan, para punggawa seluruhnya. Adipati Danureja,
dan Raden Demang Ngurawan telah datang menghadap pagi-
pagi, mereka telah tiba di Srimanganti (= balai penantian, tempat
menunggu panggilan menghadap raja).
18. Lurah kebayan (= pembantu lurah bidang ketertiban) yang
diperintah menghadap, telah datang. Raden Demang berkata,
"Hai, berdua kalian keluarlah cepat, ke balai penghadapan agung
(balairung = balai agung). Perintahkan kepada uwanda patih,
aku mengambil kembali sawah, seluas seratus jung dari si ke-
pundung (= hamba penghubung dengan luar istana). Kepundung-
143
PNRI
nya ialah si Gandakara, sekarang juga berhentilah ia menjadi
penumping (= abdi pemimpin pesuruh raja atau pangeran atau
pembesar). Sawah itu akan kujadikan karya (= dikeijakan kepada
orang lain atas ñama sendiri).
19. Itu akan menjadi tanah saudaraku. Adapun si Gandakara
itu, ialah jika mencintai, mengikuti (menghendaki) hasil tumbuh-
tumbuhannya, boleh diikuti itu olehnya, tetapi ia berhenti men-
jadi mantri penumping. Kalau dia masih harus mencintainya,
ialah menjadi penumping itu, akulah yang akan menukari sawah-
nya, sama-sama seratus jung di Kawiduran (= wilayah tempat
tinggal Arya Widura) sekarang ini. Katakan lalu segera supaya
diterimanya."
20. Kepala kebayan itu telah tiba di luar balai. Goncanglah
segenap orang di alai penghadapan itu, karena utusan Raden
Demang, memerintahkan (atas ñama demang) mencabut kembali
kepundung (= tanah garapan). Menyatakan sangguplah Raden
Adipati, dipermaklumkan seketika itu juga. Adapun orang ke-
pundung (= penggarap tanah), yang menjadi pemelihara kuda
kapedak (= menerima sebagai gantinya), menjadi bekel (= pim-
pinan sebagian kecil wilayah kelurahan, kepala kampung) Ka-
widuran telah diterima, oleh Ki Adipati.
21. Seketika terdiamlah segenap orang di balai penghadapan
itu, bagaikan disambar halilintar layaknya. Berdirilah bulu roma
yang mendengar semuanya itu. Barang siapa yang mendengárnya,
walaupun bukan dirinya yang dikenakan perintah itu, ikut ber-
debar-debar hati mereka. Ki Gandakara itu, gemetar pucat ba-
gaikan mayat. Rekyana patih berkatalah dengan perlahan, kepada
Adipati Jayaningrat:
22. "Hai, Adipati, datanglah kalian, bersama kakanda Adipati
lepara. Benarlah, agaknya tuan kita itu, kemarin petang hamba
(Colek) berjumpa, dengan Raden Demang tidak diiringkan hamba-
nya, hanya bertiga dengan kudanya. Perjalanannya dalam pe-
nyamaran. Tuanku itu pergi ke rumah kakandanya. Bukankah
didapatkannya bahwa kamangkubumen sepi, kakandanya ke-
144
PNRI
tika itu sedang pergi tirakat." (kata patih).
23. Lanjutnya, "Ketika si Colek beijumpa dengannya di jalan,
rupanya terhalang tidak mengetahui tuannya itu. Lalu diikuti-
nya tuannya itu, ternyata mendapatkan Mangkubumen kosong,
sudah dapat diduga betapa kecewa beliau itu. Hai, kau si Gan-
dakara, yang ternyata telah bersalah besar, salah seorang dari
saudaramu, persembahkan kepada Pangeran Mangkubumi, supaya
mengabdi mengasuhnya (tuannya itu).
24. Coba, sekarang bagaimana caramu mengejarnya (= mohon
peninjauan kembali). Gandakara sudah disambar halilintar, tidak
usah menunggu nanti-nanti, kalau tuanmu telah pulang (dari
penghadapan ini). Pohonkan dan sebutkanlah tanamanmu itu,
ya, cukup sebanyak duapuluh lima jung saja. Mohon tukarlah
itu, nanti aku yang mengirimkan suruhan, jikalau sudah tiba
sesegeranya di rumah, Raden Demang Ngurawan.
25. Lalu berkatalah Ki Adipati, "Hai, kau sajalah Serandil yang
kuutus. Ikutilah tepat di belakangnya tuanmu itu. Tetapi di
jalan jangan kautanyakan sesuatu apapun. Ya, si Gandakara,
kau ini, ikutlah dan menantilah kau ini. ya, di gapura halaman,
akan kedatangan tuanmu Rahaden Demang. Berusahalah, biar-
lah dia bangkit belas kasihannya. Demikianlah, hari saat itu
tibalah, pukul setengah dua belas siang.
(Menurut sasmita, setelah pupuh ini menyusul pupuh SINOM,
seperti yang tercantum dalam bait pertama pupuh berikut).
145
PNRI
XXV. PUPUH SINOM
146
PNRI
Yang mengejarnya ditembak dengan bedil (= sebagai peringat-
an, mestinya), mereka semuanya kembali, karena mengetahui,
bahwa itu Pangeran (Danupaya).
6. Perlahanlah perkataan yang diucapkan, Kanjeng Pangeran
Mangkubumi, "Ah, itu kakanda Danupaya, lebih daripada ti-
dak tahu malu. Ia telah mengganggu orang-orang kecil, dengan
tidak merasa bahwa itu bukan pada tempatnya. Alih-alih ia meng-
enakkan terhadap, perasaan orang-orang kecil (= rakyat keba-
nyakan), malah ia mengganggunya dan membuat kesusahan."
7. Lama mereka duduk-duduk (beristirahat), di bawah pohon
beringin. Pohon beringin di Tambaksegaran. Sedang enaklah
menanyai hamba-hambanya. Adapun yang bemama Pangeran
Danupaya itu, ialah saudara kandungnya yang lebih tua. Beija-
rak empat orang putra, dengan Pangeran Mangkubumi itu. Dia
itulah yang selalu menjadi buah bibir (= dipercakapkan karena
keburukannya, menjadi bahan pergunjingan), di dalam nege-
ri.
8. Demikian pula Pangeran Rangga, serta Silarong sama-sama
mereka mengganggu. Juga Pangeran Blitar Harya Panular. Pa-
ngeran lima orang itu sama-sama mereka, tukang mengganggu
orang dalam negeri. Dan lima belas putra, sepuluh yang berwa-
tak baik. Adapun yang paling halus budi pekertinya, hanyalah
Pangeran Mangkubumi. Sejak kecil ia telah mengetahui nista,
madya, utama (= hukum sebab akibat, jahat sedang dan terpu-
ji, ada permulaan, pelaksanaan dan keakhiran).
9. Pangeran yang lima orang itu, dapat dipersamakan dengan
weweri (= hantu penggoda). Banyaklah dari penganten pengan-
ten baru, yang perempuannya dilarikan, sehingga membuat mu-
sibah. Meskipun sampai sepuluh orang hendaknya, jikalau berke-
nan mengambil perempuan, hendaklah yang masih bebas. Ini
tidak, dengan kekerasan mereka mengambilnya. Hanya Pange-
ran Mangkubumi yang tidak demikian, bahkan kalau mau
10. baik perawan (= gadis benar-benar) maupun wulanjar (= jan-
da muda belum beranak, mungkin masih gadis), yang bapaknya
dipondoki, ketika Pangeran menyamar dalam pemondokannya,
147
PNRI
ialah tidak mengaku sebagai priyayi agung. la melucuti dirinya
dan berubah menjadi santri. Rajinlah ia dalam pekerjaannya,
segala keija dilakukannya, cekatan lagi pula nguwisi (= bertang-
gung jawab menyelesaikannya). Tidak sampai berbulan-bulan
lalu jatuh cintalah (yang dipondokinya itu).
11. Coba saja, mana tampan, lagi bersinar-sinar (= sehat), ber-
hati ikhlas, halus budi pekertinya, rajin mengeijakan sembarang
pekerjaan, mustahil tidak tercangkol (= terkait, terpikat) yang
dipondokinya. Mereka sangat berbelas kasihan dan kasih sayang.
Karena itu cepatlah ia diambii menjadi menantu. Setelah mela-
kukan akad nikah, lalu saat-saat melakukan upacara adat tiba,
segala tingkah lakunya mempesonakan orang senegara.
12. la hanya mengambil seorang gadis anak Cina, diambilnya-
pun dengan penuh kegawatan, yang artinya harus mengadu ke-
beranian. Dalam ia berlaku sebagai pencuri yang sakti, tiada ber-
teman seorang pun pada malam hari, ia mencuri seorang perem-
puan dengan mendatangi kediamannya. la memperhitungkan,
andaikata ketahuan, janganlah ia mati karena dianiaya, sebagai
hamba rendahan yang berseragam peijurit.
13. la menduga lebih banyak mati daripada hidup, akan dihan-
curkanlah badannya. Tekadnya, kalau rusaknya janganlah dike-
nal, kalau aku ini si Mangkubumi. Aku berniat menghilangkan
jejak, supaya tidak membawa-bawa keburukan sanak-saudara."
Berani ia membuang jiwa (= kalau perlu bertahan sampai ajal-
nya). Belum terbebas dari tuduhan mencuri perempuan, hanya
sekali ia ketahuan, tetapi sudah jauh.
14. Dikejar-kejar oleh banyak orang Cina. Ramai mereka ber-
kelahi di tepi sungai, sehingga kesiangan dan ketahuan (penya-
marannya). la terus dikejar dan ditembaki dengan bedil. Namun
tidak dihiraukannya dan tidak tergoyahkan tekadnya. Istrinya
menariknya membawanya lari, pengeran digantunginya. Bapak
si perempuan itulah yang mengejarnya, terus dikejar itu, ia de-
ngan diam-diam masuk ke sebuah kampung.
15. Siang harinya jadilah perkara diadukan. Pangeran Mang-
kubumi itu, merasa malu untuk kembali pulang ke dalam ne-
148
PNRI
gerì, dan ia takut dimurkai oleh kakandanya Raja. Desa per-
sembunyiannya masih dikepung orang, dari segenap penjuru
orang datang berkumpul mengepungnya, di desa tempat per-
sembunyiannya itu. Mereka memukul tanda bahaya dengan
kentongan, berani memperkuat pendapatnya, karena mengeta-
hui bahwa pencurinya itu ialah Kanjeng Pangeran.
16. Lagipula bukan pencuri harta benda. Yang dicurinya su-
dah jelas, ialah seorang Cina. Dikerubut orang banyak, ratusan
senjata didatangkan. Para abdi istana mengemukakan pemikiran,
kepada encik (= panggilan untuk orang Cina waktu itu) yang
menjaga pintu, "Hai, encik, bukankah tidak diperbolehkan, ia-
lah, orang mengejar maling, kalau pencuri itu telah masuk ke-
suatu desa oleh peraturan desa
17. orang lalu memusuhi yang punya desa itu (= penghuni-
nya)? Bekelnya (= pemimpin desa) pasti akan mempertahankan-
nya!" Kemudian oleh bekel yang ketempatan itu, hamba-ham-
ba pengawal yang berjaga di luar, mereka dibisiki dan digamiti
(diberi tahu diam-diam). bahwa pencuri yang diburunya itu,
bukanlah pencuri yang mencuri harta benda, melainkan kanjeng
Pangeran Mangkubumi, yang melarikan anak gadis Cina, yang
sudah mendapatkan yang dicurinya itu.
18. Abdi pengawal pengawalannya lalu bubar. Tetapi para Ci-
nanya selalu mengejarnya, bertanya, "Mengapakah kalian buhar-
an?" Mendapat jawaban, "Jangan dipikir, bahwa malingnya
itu maling sakti, kami tidak berani mengeroyoknya? Coba, apa
yang kau pertengkarkan itu, bukankah kalian hanya asal bicara
saja karena terlanjur ikut mengejar? Beranikah kalian, coba per-
tengkarkanlah itu terhadap negara!
19. Lihat, maling ini bukan maling kampungan. Ini maling sak-
ti yang berani bertanding satu lawan seribu. la saudaranya yang
punya negara ini!" Cina-cina itu lalu mengadu kepada negara,
yang lalu dipersembahkan kepada Baginda Sang Raja. Mereka
dianugerahi uang sera tus real, "Bukankah ia masih anak-anak,
maklumilah, dan belum ada niatan padanya membuat kekacauan
Relakanlah aku menjadi besanmu (= orang tua pengantin tim-
149
PNRI
bal balik).
20. Janganlah kalian kecewa sakit hati, akan segera kuresmi-
kan pernikahannya." Selesailah persoalannya tidak dibicarakan
lebih lanjut. Adindanya itu diperintahkan menghadap. Pange-
ran terpaksa datang karena malu dan takut. Walaupun baru se-
kali itu, hampir saja memalukan negara, seolah dikutuknya di-
rinya sendiri, tidak akan mengulangi seperti yang telah dijalan-
kan ini.
21. Kemudian lalu diangkat jadi istrinya, dipersamakan de-
ngan istrinya Putri. Madiun kekasih Pangeran Mangkubumi,
Raden Ayu Manikwati. Tersebutlah Pangeran Mangkubumi yang
mohon pengampunan dari Hyang Widdhi, berhenti sementara,
bukankah sudah cukup ilmunya? Tersebut pulalah dalam per-
jalanan itu, masihlah mereka di bawah pohon beringin, masih
berbincang-bincang dengan abdi Tambaksegaran.
22. Menantikan sampai pukul sepuluh malam, barulah ia ma-
suk ke dalam negeri. Belum sepilah orang lalu lalang. Bukan-
kah di Kartasura sejak dahulu, sampai saat beduk malam, ma-
sih saja, terdapat orang berjalan walaupun makin jarang. Keti-
ka pukul sepuluh malam itu, pulanglah Pangeran Mangkubumi,
masuk ke dalam negeri. Ketika hampir tiba di rumahnya
23. terkejutlah ia mendengar bunyi gamelan, bertanya, "Di
manakah ini?" Menjawablah Patih Puspayuda, "Menurut pera-
saan hamba, gusti, benarlah dalam pemikiran tuan Peneket Mar-
talulut, ialah Sutamenggala, agaknya menanggap ronggeng nya-
nyi (= teledek) mereka." Berkatalah Pangeran, "Sudahlah, anak-
anak, kalian dahululah.
24. Pulangkanlah kudaku ini! Aku hendak mendatangi tem-
pat gong (= gamelan) itu berbunyi. Jangan-jangan itu kakanda
Pangeran Danupaya. Nanti ia membuat gaduh lagu. Biarlah nan-
ti aku yang mencegahnya. Ki Puspayuda, bersembah, "Baiklah,
tentu tak akan urung, tetapi, ananda, hamba persilakan, ting-
gal paduka kakanda itu yang lebih tua, kalau sampai tewas,
25. saudara tua berjarak lima putra, sehingga tinggal berjarak
150
PNRI
seorang putra saja. Mungkin masih dapat juga diperingatkan."
Pangeran Mangkubumi berkata perlahan, "Walaupun lebih tua
berjarak 'sepuíuh putra, aku berani sebab dia itu memang syai-
tan yang tampak. Coba, manakah ada, seorang pangeran, suka
keluyuran menonton di rumah orang kecil. Tentu saja ia akan
mengacau lagi seperti pada jaman Karta itu.
26. Sama sekali tak punya malu. Sampai adiknya yang rrien-
jadi raja, ia selalu saja bertindak sesat. Itu bukanlah perbuat-
an orang baik-baik. Sedangkan diriku ini, adik orang yang men-
jadi raja pula, dan belum punya anak, artinya masih anak-anak,
dalam batinku (merasa), padahal dia ceceblungnya (= keturun-
an baik yang terang, maupun yang gelap) sudah berderet.
27. Menurut kewajarannya menjadi orang tua itu, hendaklah
membuat petunjuk yang baik, kepada yang menjadi raja, e, un-
tuk itu ia mundur, malah membuat hambatan!" Ki Puspajaya
menjawab dengan hormat, "Berapakah hamba yang diperkenan-
kan mengiringkan paduka?" "Ya, empat orang sajalah cukup,
abdi pelayan dua orang sudah, orang tüanya hanyalah si Raden
Martayasa.
28. Sudahlah anak-anak, kalian segera pulanglah!", Beijalan-
lah mereka bertolak belakang. Pulanglah Patih Puspayuda. Ting-
gallah Mas Jaya yang mendapat perintah, untuk mengikuti tuan-
nya, dengan lurah peranakannya. Peijalanan mereka telah sam-
pai, di tempat orang membunyikan gamelan, ialah rumah ke-
diaman Peneket (= abdi pimpinan regu) Sutamenggala.
29. Sudah berbaurlah mereka dengan orang banyak, Kanjeng
Pangeran Mangkubumi itu. Yang sedang menanggap pertunjuk-
kan itu temyata banyak bersaudara. Pintu luar dijaga ketat,
dengan senjata tombak dan bedil. Pangeran sudahlah masuk ke
halaman dalam. Tak ada yang menyangka sama sekali, bahwa
itu adalah Pangeran Mangkubumi, sebab mana halamannya lúas
dan beliau menuju ke bawah tanaman hiasan halaman.
30. Ternyata sudah lebih lama kedatangannya, Pangeran Danu-
paya itu. Ia berhenti di sisi barat pendapa. Berkudung selen-
dang sutra merah bunga, berkain panjang slamba pilis (= sehe-
151
PNRI
lai tak berlapis yang lain). Dasar pangeran itu tampan, sudah-
lah seperti Prabu Darmawangsa. Tubuhnya bagaikan diraut,
ramping lampai, bahunya seperti dipahat.
31. Pecahan tubuhnya (= bagian-bagian badan), semuanya
bagaikan hasil rautan. Hanya sayangnya pada matanya, yang
meletis (terpecah) sebesar kacang hijau, dengan raut wajah se-
perti perempuan (= feminin), halus lembut tubuhnya, melebi-
hi kehalusan tubuh wanita. Mempunyai sepuluh anak buahnya.
Pangeran Mangkubumi berada di sebelah barat pendapa itu.
32. Anak buahnya hanya empat orang. Jayakatrangan men-
jawab dengan hormat, "Ampun, tuanku, itulah kakanda padu-
ka, yang berada di sisi barat pendapa. Tuan hamba itu berku-
dung selendang sutra merah, hamba pendampingnya ada sepu-
luh orang." "Ya, benarlah Jayakatrangan. Kalau nanti kakan-
da masuk ke dalam gelanggang tari, janganlah rágu-ragu bertin-
dak, bukankah itu pangeran buruk laku.
33. Jikalau aku telah melompat, masuk ke dalam kalangan,
cepatlah kalian ini, masuklah pula dan memadamkan lampu-
nya, si Handen Martayasa itu, lalu bersama-sama berteriak, te-
riakkan oleh kalian, "Amuk! Amuk!" Nah, nanti kalau sudah
gaduh gemalau, jangan kalian hiraukan aku! Sebutlah umur ka-
lian masing-masing (= selamatkan dirimu masing-masing)!
34. Jikalau telah sampai kepada setengah acara, tarian yang
dibawakan oleh kakanda itu nanti, barulah ke situ aku akan
masuk gelanggang!" Telahlah masak keputusan peijanjian itu.
Pangeran Mangkubumi itu, selalulah menggigit giginya kare-
na marah. Ronggeng mulailah menembang (bernyanyi). Ada
yang meneriaki dari luar, meminta supaya lagu diganti dengan
lagu "Onang-onang" (= nama suatu tembang gede).
152
PNRI
XXVI. PUPUH PANGKUR
PNRI
dang dengan perlahan dengan mesra ronggeng itu dinyanyikan-
nya. Pangeran memegang seseorang yang berada di sebelah kiri-
nya, pinggangnya dibelitnya, lalu dilemparkan kepada kakanda
dengan keras dan jatuh berdebum, bersama-sama kerobohan
oleh yang dilemparkan itu, si ronggeng dengan pangeran Danu-
paya sekaligus,
7. bertiga dengan yang jadi pelempar (= yang dilemparkan
itu). Serentak melompatlah Pangeran Mangkubumi itu, mener-
jang dengan keras penuh kemarahan Tangan kirinya menang-
kap, keris kakandanya sehingga dapat direbutnya. Kaki kanan-
nya sambil menjejak, kakandanya pada lututnya.
8. Seketika itu juga mas Jayakatrangan, melompati lampu
yang telah dipadamkannya. Orang-orang diluar berteriak-teriak,
"Amuk, amuk!". Huru-hara sangat gaduh dan kacau. Pange-
ran Mangkubumi menjejak sampai tiga kali, kepada lutut ka-
kandanya, dan tangannya ditarik-tariknya.
9. Setelah ia melompat ke luar gelanggang, bala tentara Pa-
ngeran Danupaya mengejarnya. Pintu-pintu semuanya segera
ditutup. Kacau-balau berputaran gerak orang-orang yang menon-
ton, menjerit-jerit orang-orang perempuan menangis dengan
meratap-ratap. Karena kegelapan tak melihat apa-apa mereka
bergulung-gulung, semuanya rebah, banyak yang terinjak dan
tergilas.
10. Tersebutlah Pangeran Danupaya itu, dengan tertatih-ta-
tih bangkit dari terbanting, karena menjadi sasaran lemparan,
lari juga, sehingga berdesak-desak dalam pendapa itu. Berben-
turan dengan pengungsian orang-orang yang juga berlarian, yang
banyak berdatangan dari luar. Sedangkan Pangeran Mangkubu-
mi
11. berdiri di bawah pohon kelapa yang masih muda. Ki Mas
Jayakatrangan sudah berkumpul di situ, dengan Raden Mar-
tayasa juga, bersama-sama dengan hamba pelayang yang tadi
menghilang. Pangeran pergi ke timur sambil memukul dinding
hingga roboh. Rebahnya sekaligus menjadi lantai, tempat in-
jakan orang-orang yang berusaha keluar dari gelanggang itu.
154
PNRI
12. Pangeran Mangkubumi enak-enak beijalan, dengan ham-
banya Jayakatrangan yang telah berkumpul dengan hamba-
nya Martayasa itu, menjauh ke arah timur laut. Mereka menu-
ju ke daerah pandai besi dan segera tiba di rumahnya. Maka yang
masili kacau-balau di tempat ronggeng itu, telah banyaklah
yang mendapatkan jalan ke luar
13. melalui yang digempur oleh Pangeran, Mangkubumi. Se-
telah berada di luar, sudah duduklah mereka semua yang masih
tertinggal. Pangeran Danupaya, di pendapa duduk dengan kaki
terkangkang dalam duduknya itu. Pemilik rumah dengan, sa-
nak saudaranya duduk menghadap pangeran itu.
14. Mereka tanya-menanya di antara mereka, siapakah gerang-
an yang tadi melompat dari luar, seperti Raden Gatutkaca yang
sedang merebut, Bambang (Abimanyu) yang dirampok oleh
raksasa. Pangeran Danupaya duduk tercenung tanpa berbicara,
merasakan kesakitan sekujur tubuhnya dan menderita malu.
Kerisnya hilang dicuri orang, telah diambil
15. oleh perwira bernama Sandikara. Lututnya yang kiri tera-
sa sakit. Yang menghadapnya hanya bergumam-gumam, mere-
ka menduga-duga, barangkali saja oleh Raden Demang itu, yang
tadi ternyata gerakannya cepat. Jikalau bukan dia, siapa pula
yang berani.
16. Sebagai penjaga ketertiban negara, barangkali saja beliau
itu mencoba menjerakan kakandanya. Ada yang menyambung
berkata, "Ah, bukan Rahaden Demang. Aku melihat sungguh
waktu ia melompat masuk. Bukan Raden Demang Ngurawan itu,
perkasa dan gagah tubuhnya?
17. Wajahnya berkedok saputangan, tubuh sedang pantas, ha-
lus bagaikan satria Setyaki, Si Haijuna Tua itu, ada miripnya
juga. Jika dibandingkan orang kecil, mirip dengan Ki Mas Badi-
yul. Barangkali si Jayus itu yang menyamar diri, mengacau dan
membatalkan orang bersenang-senang."
18. Yang di sampingnya menjawab dengan keras, "Ah, tidak
akan mungkin berani jika orang kecil. Apakah mungkin Tumeng-
155
PNRI
gung Sedayu, Raden Suryadiningrat? Bukankah orang Madura
sedang dikasihi oleh Sang Raja? Sebenarnyalah jika mereka be-
rani saja, membuat luar seperti itu!"
19. Jadilah oleh segenap yang menerka-nerka itu, sudah me-
nyimpang ke arah lain, Pangeran Mangkubumi, yang berbuat,
tidak terkena pembicaraan. (Mereka hanya menduga) terhadap
yang biasa galak-galak, dalam negara itu dengan yang tampan-
tampan. Ada lagi yang berkata, barangkali Raden Reksapraja
itu.
20. Jikalau bukan, Ki Wiradigda. Kalau juga bukan, ya tentu-
nya Wiramanggalalah itu. Yang di sampingnya menyambung
katanya, "Atau mungkinkah raden bagus yang manja, Raden
Sumadiwirya, kan galaknya sangat orang ini. kalau tidak, apa-
kah Puspadirja, mantri anom dari pesisir?"
21. "Coba, seratus orang satu gebragan, siapa yang berani?
Sudah habislah yang besar kecil, yang galak dan yang tampan-
tampan, dari dalam negeri Kartasura. Tinggal satu orang, Pan-
ji anak si Metahun, kelupaan yang tinggal satu lagi ini, ialah
Pangeran Mangkubumi
22. dari Madiun, Raden Sudarma, yang sudah bergelar Pange-
ran Mertalaya itu? Dia kan juga galak, tampan lagi. Yang lain
sudah habis sama sekali. Tidak ada yang lain lagi, jikalau dia
pun bukan, nah, janganlah kita bersangka-sangka lagi!" Demi-
kian telah redalah mereka.
23. Kanjeng Pangeran Danupaya, minta parem (= semacam
bedak hangat penyembuh urat-urat sakit) dan minta tubuhnya
dibedaki dengan parem itu. Pulangnya minta di tandu orang,
menyesallah yang empunya rumah. Ada yang berbisik-bisik,
tadi ia telah melihat, ada Mas Jayakatrangan, berada di situ de-
ngan cawat gilig (= kain dicawatkan untuk bersiap berkelahi).
24. "Benarlah itu lurah peranakan, dari Mangkubumen, de-
ngan gerakannya yang rahasia. Ada disembah ia di situ, di se-
belah timur pendapa. Walaupun dicelup supaya warnanya ber-
ubah, aku tadi tidak salah lihat, kalau Mas Jayakatrangan, yang
156
PNRI
diberi petunjuk tadi menggamit."
25. "Sudahlah lupakan sajalah, bukan menurut katamu de-
ngan kataku." "Ah, orang bertandang (= datang untuk meno-
long) dari utara berkata, bahwa di jalan banyak senjata, ada
tumbak ada bedil empat puluh pucuk malah lebih. Kebingung-
an orang warung pandai besi, agaknya ada yang dinantikannya.
26. Ternyata yang diiringkan tampaklah, Kentol Cocot Robat-
rabit, hamba pengiring, kademangan, si anak bertonjolan (ca-
cad), yang punggungnya abusekan (cacad bongkok). Ketika ia
melihat bala tentara dari kademangan agung (pengikut Danupa-
ya), dengan yang membawa senjata, Kentol Cocot Robat-rabit
27. semua dilarikan ke barat, apa saja yang dimilikinya." Su-
dali sepakatlah dugaan mereka, bahwa, yang mengacau dan pe-
nyebab, memalukan kerabat istana (Cocot itulah). Yang tua-
tua samalah pendapatnya, sebaiknya dicari sampai ketemu akan,
si Kentol Cocot Robat-rabit itu.
28. Ki Sutamenggala keluar, dengan segenap teman-temannya
yang ikut menemui, Ki Kalentar si anak pungut, pergi ke jalan-
lah mereka semua. Ternyata Kentol Cocot Robat-rabit telah
tiada, mungkin pulang ke kademangan. Di jalan-jalan itu telah
sunyi senyap.
157
PNRI
XXVII. PUPUH MIJIL
158
PNRI
8. Bahkan lagi, dalam sehari besok ini, adinda paduka itu me-
nyanggupinya (menarik kembali tanah garapan itu). Setelah tuan
hamba itu pulang, lalu hamba di belakang menyelamatinya,
dengan menyebarkan udik-udik (= pemberian kepada orang ke-
kurangan, sedekah), hanya uang sepuluh real."
9. Tersenyumlah Pangeran Mangkubumi mendengarkannya.
Legalah perasaannya, wajahnya berseri-seri dan hatinya berbunga-
bunga. Demikianlah yang diceriterakan itu hingga malam hari,
tersebutlah paginya, kebetulan hari Kamis. Ulah dan tingkah laku
yang telah
10. dijalankannya ketika hari Kamis oleh Raden, yang ternyata
keliru sasarannya. Yang dilakukannya oleh Raden Demang itu,
bukankah agak terlanjur merasa diri berlebih sedikit? Hanyalah
setipis kuht bawang (= gambaran sangat kecil, sangat sedikit), yang
belakang menjadi di depan (= terbalik).
11. Yang di depan dilaksanakan kemudian, tetapi tidak sampai
berbaur mengacaukan, sehingga tidak rusaklah jalan kejadiannya
(= jalan ceriteranya). Hanya tempatnyalah yang keliru jajarannya,
ketika menjatuhkan perintah ialah, waktu mengambil kepun-
dung (= mencabut tanah garapan).
12. Pada malam harinya Pangeran Mangkubumi, ketika ia mela-
kukan pengamukan itu. Kakandanya direntakkan direbut kerisnya.
Hal itu teq'adi pada malam Kamis. Lalu pada pagi harinya, Raden
Demang (Ngurawan) itu mengambil
13. (tanah garapan) si Kepundung, sebab ia yang menulis, kacau
karena sedang kebingungan. Ketika ditulis di kantor sebelah barat,
sama sekali ia tidak menduga bahwa Sang Raja menghampirinya.
Terkejut mereka semuanya, atas kehadiran Sang Prabu itu.
14. "Hai, ini apakah yang kau tulis itu? Mengapa demikian ini
bunyinya?" Yang menjawab bersembah, bahwa itu adalah karang-
an lagu. "Mengapa puisi lagu menggunakan ini? "demikian per-
sangkaan Sang Raja, "Bukankah yang dinamakan puisi lagu pemu-
jaan, hanyalah
15. mendendangkan pujian tentang perempuan?" Menjawablah
159
PNRI
perlahan (yang ditanya itu), "Ampun, paduka tuanku, kiranya
banyaklah yang dapat diartikan puisi lagu itu. Misalnya suatu
ceritera yang bukan tentang seorang raja, meskipun itu berupa
negara, jadilah diucapkan sebagai Raja.
16. Jikalaupun juga dipotong-potong, tidak merupakan kesatuan
utuh suatu lelakon (= peristiwa yang dialami seseorang), itu pun
dapat juga dinamakan rerepen (= puisi lagu pujian). Rerepen ten-
tang ilmu bersifat khusus tersendiri." Bersabdalah Sang Raja, "Ini,
kan repen bangunan (dapur) (= gubahan dari sesuatu yang telah
ada)."
17. "Iya, benar, ini memang keris Danupaya", demikian sabda
Sang Raja. "Hai, benar, bapak, darimanakah kau mendapatkan-
nya?" Yang bersembah mengatakan, bahwa dari gelak tawa orang-
orang di luar, lalu Pangeran Ngabehi, mendapatkan keris ini.
18. Bersabdalah Kanjeng Sri Bupati, "Menurut pendengaranku,
Pangeran Ngabehi hanyalah berkumpul-kumpul saja. Nah, coba
katakanlah dengan jelas, Ngabehi, siapakah di antara puteraku,
yang saat ini kehilangan keris?"
19. Semua pangeran yang sebanyak lima belas orang itu, terkejut
melihat (keris itu) hanya terlongong-longong saja. Yang bukan-
bukan sajalah semua yang dikatakan mereka itu. Mata mereka liar
memandang keliling, "Ada rahasia apakah itu, sampai kakanda
Hangabehi, menanyakan yang sedemikian itu?"
20. Hanya Pangeran Danupaya itulah, yang menunduk dengan
berurai air mata, (Bapak itu terlalu singkat ceriteranya, kurang
lúas, coba panjangkanlah ceritera itu sedikit, sebab Nenenda Mang-
kubumi, hanya memberi petuah saja.
21. Kepada neneda Raden Demang dahulu itu." Raden Demang
lalu bertanya, "Keris itu apakah paduka persembahkan, kepada
kakanda paduka kakanda Mas Hangabehi? Bukankah, yang sebe-
narnya berkewajiban, untuk itu, kan lurahnya?"
22. Lalu bersembahlah Pangeran Hangabehi, bahwa yang meng-
harapkan dari perintah itu, supaya mengetahui kenakalan (= keku-
rang-ajarannya) itu. Lalu bersembah kepada nenenda Sri Bupati.
160
PNRI
Kens itu kemudian, dipintanya untuk dibawa masuk.
23. Raden Demang diperintahkan untuk memerintahkan, kepada
nenenda Sang Raja, supaya mengumpulkan semua Pangeran
Hangabehi, berikut semua kerabatnya. Setelah lengkap semuanya
itu, sehingga tak seorang pun yang ketinggalan, semua kerabat
itu baik yang muda maupun yang tua,
24. supaya baginda itu bertitah kepada segenap adinda-adindanya
itu, "Hai, adik-adikku semuanya, baiklah, siapakah yang hilang
kerisnya, ditombokkan (= ditambahkan sebagai pembelian, ditu-
kar-tambahkan) kepada ronggeng si Ganti?" Lama tak ada yang
menjawab, masing-masing saling berpandangan.
25. Lamalah diteliti para adinda baginda itu. Masing-masing
berkata dengan hormat dan halus, "Hamba tidak, hamba tidak,
tuanku." semuanya. Sampai-sampai nenenda Pangeran Mangkubu-
mi pun, ikut-ikut menjawab, bersungguh-sungguh tidak mengeta-
huinya.
26. Sasaran kemurkaan Sang Raja kepada para Pangeran Hanga-
behi, "Huh, begitu ulah kalian!! Semuanya mencoreng arang di
muka orang tua pekerjaan kalian itu! Coba, apa akibatnya tingkah
laku yang tak benar ini! Bukankah menjadi ejekan seluruh bumi,
peri laku kalian yang tidak jujur itu?
27. Aduh, apatah kelebihan yang terdapat pada seorang rong-
geng,- dibandingkan dengan sesama perempuan, hah? Begitu juga
dibandingkan terhadap binimu? Cantik manakah ia dengan rong-
geng itu? Bukankah ronggeng itu terkutuk? Yang terpikat sajalah
yang memang tak patut dihormati!
28. Lihat, ini ada orang yang menemukan sebilah keris! Orang
itu sudah masuk ke dalam istana (= sudah diketahui oleh umum).
Coba, bagaimana keris itu di luaran? "Semuanya menjawab tidak
mendengarnya, pada hal keris itu juga keris, ialah Kyai Jangkung!"
29. Lalu terdengarlah sedu-sedan tangis seseorang. Menunduk
mencucurkan air mata. Pangeran Hangabehi (Paduka Raja) sangat
murkanya, "Nah, ini dia yang melakukan kesalahan itu!". Pange-
ran Hangabehi itu, memerintahkan untuk mengambil keris itu.
161
PNRI
30. Pangeran Martasana segera berangkat mengambilnya, kens
yang dipakai itu. Pangeran Hangabehi bertitah lagi, "Sampaikan
itu cepat ke soka welahan (= ruang tahanan kerabat kerajaan?).
Di situ nanti akan kuputuskan (hukumannya) sampai datang
tobatnya!"
31. Diceriterakanlah pada hari keempat puluh, (Pangeran Danu-
paya) itu ditahan, di ruang tahanan istana itulah tempatnya. Kepu-
tusan oleh Pangeran Hangabehi, ia disumpahi dalam hai perbuatan-
nya itu.
32. Jikalau sampai mengulangi lagi perbuatan yang demikian itu,
tidak dapat tidak akan terjadilah, lebih dari yang seperti ini hu-
kumannya. Pangeran Danupaya menyanggupinya, dan diberikan-
lah lagi, keris Kyai Jangkung itu.
33. Serta perintah Pangeran Hangabehi lagi, terhadap kerabat
istana yang tua maupun yang muda. Barangsiapapun seperti itu
tingkah lakunya, terutama untuk yang muda yang masih terting-
gal, hukumannya akan lebih dari ini. Perintah Sang Prabu kemu-
dian.
34. supaya dibuatkan kekuatan hukum sabda Sang Raja itu, puisi
lagu yang demikian keadaannya, "Kalau sudah jadi, satu dari
padanya itu, segera kirimkanlah ke Semarang (= kepada pemerin-
tah kompeni!" Tersebutlah yang diceriterakan, diulangi percaturan
(= mengungkapkan kembali ceritera sementara ini berlangsung).
162
PNRI
XXVIII. PUPUH DANDANGGULA
163
PNRI
ini utusanku (kuperintahkan), dengan uwak Patih menjadi dutaku,
untuk memintakan itu. Nah, agaknya berlebihlah kemujurannya
itu. Bukankah ibunda itu saudara mereka, sedang kakanda itu
keponakan pamanda? Itü kan dinamakan ngisor galeng (= di ba-
wah pematang sawah = istilah urutan persaudaraan dalam keke-
rabatan) meskipun hanya boleh dibatin saja, sebab secara lahiriah
tidak diperkenan mengatakannya. Bukankah baginda itu tuannya?
6. Tetapi di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta'ala hai yang
demikian itu tidak berlaku. Menurut kenyataannya sebagai kepo-
nakanmu, sedangkan yang saudara pamanda kan ibundanya. Begi-
nilah yang kukehendaki, pamanda. Sebutkan oleh paman nama
desanya, lalu, aku akan membuatkan pertanda, berupa tanda
tanganku. Bunyinya begini sajalah, "Kakanda, jika hati kakanda
berkenan, sekarang ini, yang diminta olehnya ialah itu."
7. Menjadi pertimbangan oleh kakanda itu, ialah dengan tanda
tanganku tadi. Tentunya kakanda itu akan malu, jika tidak menye-
rahkannya. Gandakara menyatakan terima kasihnya. Bersembah-
lah ia ngenem suku (= tiga rupiah, untuk yang ketiga kalinya)
menjelaskan, "Ampun, tuanku, Si Pajungutanlah, yang duapuluh
lima jungitu, dan si Telabor itupun, yang duapuluh lima pula,
sedang si Pundung yang lima puluhnya lagi. Dalam hal ini hamba
persembahkan kepada kehendak paduka.
8. Yang hamba persembahkan, sebenarnyalah, yangberada di
Kalibayem itu. Ya, tuan hamba, itulahyang dua puluh lima jung."
Raden Demang Ngurawan kemudian sudah, membubuhkan tanda
tangannya itu. Setelah itu dilakukannya, berkatalah ia, kepada
yang hendak diutusnya itu, "Hai, bapak Haryadikara, pergilah
kau menghadap kepada kakanda Pangeran Mangkubumi, pesanku
ini sampaikanlah olehmu!"
9. Utusan yang bernama Haryadikara itu, sebenarnya ialah
orang berasal dari Semarang. Ia dijadikan pengendali kereta oleh
Jungke, pemimpin peijurit Martalutut (= jenis kelompok pexjurit
pengawal pribadi raja atau pembesar negeri). Sangatlah ia dikasiha-
ni dan dikasihi, oleh Rahaden Demang. Adapun pesannya itu
ialah, "Hai, bapak, engkau berangkatlah bersama-sama, ialah
164
PNRI
dengan utusan uwanda Patih, dengan Mas Gandakara ini."
10. Gandakara telah mendapat hadiah pemberian berupa, kain
panjang dari mori (dibatik) dengan bahan baju, ikat pinggang
dengan celananya sekali. Segeralah ia menerimanya dengan gugup
(karena senang). Ributlah ia menghapusi air matanya yang ber-
cucuran (karena bersyukur). la telah membayangkan tak dapat
tidak akan mendapatkan -kemurkaan. Setelah diatur demikian,
bersama-samalah mereka beijalan. Tidak diceriterakanlah sepan-
jang mereka dalam peijalanan.
11. Mereka telah datang di Mangkubumen. Tersebutlah bahwa
Kangjeng Pangeran itu, telah minta diri dari menghadap pada hari
Kamisnya, sebab tubuhnya masih lesu-lesu kepayahan. Bukan-
kah ia sepanjang pagi itu telah menantinya, dengan balatentara
peranakan, yang berkumpul sebanyak tiga puluh orang, dan
mranggi (= pandai besi, khususnya pembuat senjata) sebanyak
empat puluh orang. Dipilihkan yang telah tua-tua semuanya,
ada dua puluh lima eprah (= jenis kendaraan angkut, kereta atau
pedati angkutan).
12. Hanya sebanyak dua puluh lima orang sajalah yang sama-
sama bersawah. Masing-masing (kebagian) dua jung, sedang yang
tiga jung lurah mereka (= pemimpin pekeijaan, bukan lurah kepala
desa), demikianlah mereka semua mendapat garapan gegajihan
(= tanah garapan sebagai mata pencaharian tambahan). Mereka
disamarkan keluarnya. Sebenarnya dari dalam istana itu, oleh
kakanda Sri Raja. Bukankah baginda sangat besar kasih sayang-
nya? Secara diam-diam sangat diharapkan, sebagai petaruh di
dunia yang dapat menanggulangi bahaya, dalam peperangan demi
kesejahteraan negara.
13. Yang pemelihara kuda dan pemukul gamelan berada di depan
pintu. Yang di sebelah kanan sibuk memberi makan kuda-kuda.
Tiga ekor dengan perlengkapan yang sama. Yang berada di bela-
kangnya, anak-anak yang sedang menyikat kendali (dan pelana),
dan mengurusi burung puyuh (= gemak?). Di halaman rumah itu,
banyak orang yang sedang mencobai melenturkan busur-busur,
dan menghaluskan dengan rempelas (kertas gosok penghalus)
165
PNRI
tangkai-tangkai busur. Ada juga yang sedang membelahi kayu
sebagai bahan pembuatnya.
14. Yang di sebelah barat, tampak dari pintu yang terbuka,
yang berada di serambi depan langgar (= surau), tukang-tukang
jahit banyak sedang melakukan penjahitan. Ada yang pakaian dari
beludru, dan baju serta jubah yang dibuatnya, untuk digunakan
sholat Jum'at, pemberian dari Sang Raja. Pangeran berada di
pendapa (= serambi depan), mengenakan kain panjang golang-
galing (= corak batik tradisional pada kain, biasa dipakai kalangan
bangsawan) berwarna hijau kain ikat pinggangnya, berupa selenda
berwarna bunga merah.
15. Mengenakan topi kebesaran yang pantas letaknya. Agaknya
menggunakan pembalur parem (= bedak gosok penghilang linu-
linu) pada tubuhnya. Masih tampak kelesuan beliau itu. Kehitam-
hitaman meskipun tubuhnya seperti tak bergaya, makin tampan
jadinya dan makin manis pula, laksana ketika Bagawan Mintaraga
selesai melakukan tapa, dan bersembah kepada Batara Indera.
Di Keinderaan Mintaraga dipuja-puja, ditapakan, karena akan
diadu berperang.
16. Hamba pelayan kecil bersembah dengan hormatnya, "Am-
pun, paduka, di luar adaiah utusan-utusan. Ada dua orang utusan
itu. Yang seorang ialah, ya, dari uwanda paduka Patih, tetapi
yang berada di belakangnya, ialah sebagai pasangan dalam perjalan-
an, adaiah duta dari adinda paduka, Raden Demang Ngurawan
yang mengepalai (perutusan) itu. Dengan tergopoh-gopoh kan-
jeng pangeran,
17. Memerintahkan supaya Patih Puspajaya menghadap. Dengan
cepat sekali telah siap berpenutup kepala, sambil mengikat kain
panjangnya (= bersiap untuk menghadap perintah panggilan).
Demikian tiba menghadap lalu diutus, "Persilakanlah olehmu
duta-duta yang datang, ialah utusan dairi adinda demang, sedang
yang seorang lagi, utusan dari uwakanda patih!" Menyembahlah
yang diutus, lalu keluar. Setibanya di luar, Ki Puspajaya menyam-
paikan panggilan itu.
18. Tangan kanannya bertelekan di tanah, menggenggam jari-
166
PNRI
jarinya yang empat, ditegakkannya ibu jarinya. Sambil duduk
bersimpuh berkatalah dengan kata-kata yang halus dan suara
merdu, "Aduhai, para duta-duta orang yang besar dan sakti,
benarlah, silakanlah paduka, dipersilakan langsung saja mengha-
dap." Kedua orang utusan itu bersama-sama berangkat. Yang
dalam rumah pun telah meninggalkan tempat kedudukannya,
telah jauh beijalan di atas tikar tergelar (= karena menjemput).
19. Ketika telah tampak, walaupun masih jauh utusan itu. De-
ngan suara keras (yang bersahabat) Pangeran berkata, "Di sini
inilah, silakanlah segera!" Haryadikara duduk bersimpuh, lalu
naik sambil menjawab dengan hormat dan ketakutan. Dititahkan
duduk di atas tikar, Haryadikara itu, tidak juga mau, merasa diri
harus mengelak. Hanya Kyai Mas Jayakarta Srandil, duta Danu-
rejan.
20. Di atas lampit (= semacam alas duduk yang dibuat dari rotan
atau kulit batang pelepah rumbia) yang tikarnya disingkirkan.
Pangeran bersabda, "Nah, dudukilah oleh kalian!" Yang dititah-
kan, "Ampun, terima kasih," jawabnya. Gandakara yang berada
di belakang, wajahnya bagaikan terhunjam di atas lampit. Pange-
ran dengan sepintas lintas, melirik pamandanya, Ki Ngabehi
Gandakara. Segeralah Pangeran bersabda kepada hambanya itu,
"Jangan duduk di pinggirannya begitu!
21. Kalau-kalau disambar halilintar engkau nanti!" Gemuruhlah
yang tertawa dengan terbahak-bahak. Banyak sebenarnya yang me-
ngetahui, bahwa Ki Haryadikara itu, bukankah ketika masih kecil
bernama Si Gelap (= halilintar). Menyembahlah ia dan bersembah,
"Daulat, ananda, lumayan, lumayan, hendaknya dapat menjadi
isi negara ini, nyatanya awetlah, ananda, paduka melihat hamba
ini, bukan?" Sambil ia meraba punggungnya (yang bongkok
dimakan usia).
22. "Aduhai, gusti hamba orang yang tampan. Mengapa bagaikan
Kelana Prabujaka, panji anom (= pangeran yang masih muda dan
bujangan) pergi menghilang. Ke tempat manakah hamba dapat,
mencari paduka di dalam negeri ini. Apakah tuanku gering (= sa
kit), tampak mata agak membengkak, mungkin sedang sakit gadis
167
PNRI
(= tergila-gila kepada perempuan). Jika demikian, terlalu banyak-
lah pencurahan dukacita paduka. Aduhai, sungguh sayang sekali.
23. Sehari-harinya (biasanya) tuan hamba walaupun dalam
keadaan murka tetap tampan. Namun kini mengapa mencemaskan
sebagai yang mengharumkan nama kerajaan? Janganlah senantiasa
berhati sedih, ananda. Siapakah yang seperti hamba ini, kan kita
sama-sama saudara Sang Raja, yang banyak jumlahnya lagipula
sudah lanjut umur, sisanya saja dua puluh delapan (= berusia
lanjut?). Sedangkan paduka, bukankah tampan, jujur dan sentosa
(= kuat tub uh dan pendirian), terhadap kesejahtertaan bersikap
sederhana, tahu diri dan takut (kepada kesalahan = jujur). Itulah
penjelmaan bunga yang bersinar semarak.
24. Hamba ini, ananda paduka, diutus oleh adinda, paduka,
Raden Demang Ngurawan. Tersembahkanlah baktinya ke hadapan
paduka, demikian pula untuk ibunda paduka. Adapun peijalanan
hamba paduka yang kedua, diutus mempersembahkan, bahwa desa
di Kapundung, bukankah benar seratus jung semuanya, menurut
titah adinda paduka dahulu itu, ketika berada di baiai penghadap-
an itu?
25. Paman Gandakaralah yang ditodi (= ditanyai ten tang kesang-
gupan seseorang), "Kalau kamu betul-betul mengasihinya, ikut-
kanlah, si Kapundung ke manapun dia bertempat! Jikalau engkau
masih merasa harus, berada pada mantri panumping, nih, terimalah
olehmu, tanah Kawiduran seluas seratus (ubin?)!" (begitu sabda-
nya), Tanah di desa itu telah dianugerahkan, kanjeng adinda
padukalah yang menganugerahkannya, Raden Demang Ngurawan.
26. Sudah sahlah dengan tidak ada persoalan lagi (anugerah itu).
Lalu uwakanda paduka Danureja, menyerahkan akan kebijaksana-
annya, kepada adinda paduka itu, supaya lebih kuat sedikit kete-
tapan itu. Si Pamanda Gandakara, pada kemantrennya. Jika ia mau
(pamanda Gandakara itu), dipohonkan ke hadapan dinda paduka,
berkenanlah memohonkan kepada tuan hamba paduka, gusti.
Adapun uwakanda ini hanyalah mempersembahkannya atas
kebijaksanaan paduka."
168
PNRI
27. Lalu utusan itu mempersembahkan tanda tangan (= surat
yang harus disampaikan), dari adinda paduka Rahaden Demang.
Diterimanya dan segera dilihatnya (= dibacanya). Tersenyumlah
baginda sambil melihat kepada, Gandakara. Yang dilirik (tetap
menunduk). Perlahanlah sabdanya, "Jikalau hanya perkara itu,
tidaklah perlu kita bersusah-susah. Siapapun juga jikalau hanya
sebanyak duapuluh lima itu mudah, mustahil sampai menimbulkan
kesulitan.
28. Adinda lurah janganlah berhati masygul, jikalau sudah saling
menerima, dengan saudara-saudara sendiri. Bukankah sarna-sama
pendemnya (= berisi tanaman hasil bumi) dengan bibinda, menga-
pa harus berebut lebih baik? Jikalau sudah sah sajalah kelak, saya
akan memberitahukannya, kepada adinda lurah yang bertindak
sebagai wakil (warana), demikian juga kepada utusan uwakanda
patih, katakanlah jangan lagi bersedih.
29. Setelah peristiwa itu sepeninggal mereka, benar bahwa bibi
bertengkar berlarut-larut, iaiah dengan saudaranya sendiri, paman-
da Gandakara itu, aku tidak ikut menyetujuinya. Bukankah itu
bukan pendemku, kalau hanya desa Kepundung saja. Pendemku
meliputi segenap bumi Tanah Jawa ini. Sedangkan di Kepundung
itu bukankah itu pendem milik bibinda, dan pamanda Ganda-
kara?"
30. Haryadikara sudah dianugerahi, kain panjang, celana dan
bahan pakaian, serta uang sebanyak sepuluh real. Baju kesting
berwarna biru, dan celana, masing-masing sehelai. Kain panjangnya
lorodan (= bekas pakai dari pembesar), bahan sutera sebagai bahan
dasarnya, batik bercorak rejeng (= ñama semacam pola batik)
dengan warna dasar kuning. Diperkirakan baru dipakai sebanyak
dua kali, tampak menyala warnanya bagaikan disepuh air emas.
31. Ki Mas Jayakarta dari Surandil, dianugerahi kain panjang
batikan Kusumaningrat (= ñama semacam pola batik), dengan
dasar balongsong. Celananya berwarna putih, bajunya dari
bahan sengkelat berwarna hijau. Haryadikara itu, berkata perlahan,
"Nanti malam, kanjeng paduka, dipersilakan hadir." Kangjeng
Pangeran bertitah halus, "Memang sudah menjadi niatanku (untuk
169
PNRI
kesana)."
32. Bubarlah mereka, hanya Gandakara yang tinggal. Tak ter-
ceriterakanlah semua perbuatan mereka, yang sebelum itu menjadi
utusan. Hanya saja setelah mereka mempersembahkan hasilnya
kepada yang mengutus mereka, segala perbuatan mereka mem-
berikan kepuasan. Dipersingkatlah ceriteranya ini, yang menyim-
pang dari jalan ceriteranya. Tersebutlah Rahaden Demang, sudah
mengutus paneket jero (= pimpinan wilayah tertentu dalam
lingkungan wilayah istana) yang ditunjuk khusus, ialah Kyai Pala-
wenang.
33. la diutus ke tempat pamanda Adipati, Jayaningrat, yang
diperkenankan datang ketika masih siang, ialah pamanda adipati
itu sendiri. Kebanyakan yang lain-lain, biarlah mereka berdatangan
pada waktu malam. Palawenang menyembah menyanggupi, segera-
lah ia beijalan. Setiba di Jayaningratan itu, Palawenang telah
bersua dengan Sang Adipati, dan telah dipersembahkannya segala
yang diperintahkan.
34. Palawenang pun sudahlah ia mohon diri untuk pulang kem-
bali. Menjelang setengah enam petang (Adipati) sudah bersiap.
Karena bala tentara pengiringnya hanya sedikit, mereka tidak
lewat jalan raya, melainkan menerobos memintas-mintas melalui
jalan-jalan kecil. Di selatan Pangabehian (= daerah tempat tinggal
para atau salah satu Ngabehi), adalah jalannya, yang sampai di
selatan Ketandan. Lalu tiba di jalan tembus di selatan, yang dise-
but, Bata di kademangan.
35. Hanya naik tandu sajalah Adipati itu. Balatentera pengiring-
nya hanyalah empat puluh orang. Nanti pada saat pulang, mereka
akan melalui jalan selatan. Balatentaranya akan menyusul pada
malam harinya. Adapun Rahaden Demang, membeli atau meminta
gule kambing. Memang hanya dekat sajalah, kademangan dengan
Jayaningratan jaraknya. terpisah oleh Pangabehian Ketandan.
170
PNRI
XXIX. PUPUH ASMARADANA
171
PNRI
da paduka, sekarang paduka dipersilakan sholat, di sini." Persem-
bahkan suatu alas, ialah tikar ini.
8. Ronggeng itu segeralah kau persembahkan (dan katakan),
"Ini persembahan orang yang mengumandangkan adzan. Si Kudup
baiklah suaranya." Cocot Robat-rabit lalu keluar, ia bersuara
dengan Sang Adipati. Cocot Robat-rabit bersembah, "Ini atas
perintah ananda paduka, tuan.
9. Paduka dipersilakan sholat di sini. Ini persembahan tikar,
pemukulnya juga diserahkan. Dan hamba mempersembahkan
yang menyerukan adzan." Ki Adipati membentak, "Hai, kalau
tuanmu itu agak linglung, budaknya janganlah hendaknya jangan
membabi buta saja!"
10. Tertawalah ketika melihatnya, Rahaden Demang Ngurawan
itu. Pamanda Adipati keburu tampak, memasuki pintu gerbang
langgar itu, sambil berkata dengan lantang, "Nah, tuan'hamba
dipersalahkan, mempermainkan orang tua!"
11. Raden Demang berkata dengan perlahan, "Nah, paman, ada
apakah sebenarnya?" Sang Adipati berkata, "Pemukul dan rong-
geng yang datang, ke hadapan hamba." Raden Demang masih
berpura-pura tidak tahu, "Hamba tidaklah menyuruhnya, paman.
12. Mungkin saja ulahnya pribadi, dalam menghormat kepada
paduka, ialah si Cocot Robat-rabit itu. Hai, coba, Cocot, bilama-
nakah, aku menyuruh kepadamu?", Cocot Robat-rabit menjawab
dengan hormat, hanya tertawa sambil pergi.
13. Raden Demang lalu berkata perlahan, kepada anak-anak
kecil sebanyak tiga orang, "Hai, kalian yang menjadi saksinya!
Bukankah aku tidak menyuruh kepada, si Cocot tadi itu!?" Ketiga
anak-anak itu menjawab dengan hormat, "Daulat, tuanku, sebe-
narnya tidak menitahkannya.
14. Seperti kehendak mereka pribadi. "Tersebutlah ketika men-
dengar itu, "Adipati Jayaningrat, membuang muka sambil berkata,
"Yah, mendapat jalan juga mereka. Coba bayi-bayi masih bau
kencur (= semacam pemupuk di atas ubun-ubun, yang bahan
bakunya kencur), ilmunya sudah hebat, bagaikan ulama.
172
PNRI
15. Memang pada bayi-bayi Pajang Mataram, ilmu hebatnya telah
irtantap, tentu kalahlah, kakek-kakek dari pesisir." Tergugu
(tertawa tertahan) Rahaden Demang, tergelaklah yang mendengar-
kannya. Kedatangan Mas Khatib Anom Kudus, dengan Mas Khatib
Winong bersama-sama.
16. Ketika mereka tiba di gapura langgar, keduanya dipanggil.
Mereka tiba lalu bersalamanlah. Beduk Maghrib pun sudah dipalu,
Nurkusasi lalu menyerukan adzan Maghrib. Ia melaras-laras alunan-
nya menurut ketentuan, suaranya lepas mengumandang, semuanya
sudah mengangkat sunnah (= melakukan sholat-sholat sunnah,
sebelum sholat Maghrib).
17. Raden Demang mengucapkan Qomat (= seruan mengajak ber-
sholat bersama). Sedangkan yang memimpin sholat (sebagai imam
sholat), yang diminta tadi ialah Ki Winong. Ia telah mengangkat
fardhunya (= mengucapkan niat sholat). Adipati Jayaningrat,
berjajar tegak di atas tikarnya, dengan Raden Demang Ngurawan.
18. Seselesainya melakukan sholat bersama, baik Maghrib,
maupun Isya, tibalah minuman dihidangkan dua kelengkapan
hidangan (rampadan). Mas Khatib Anom bersama, Ki Winong di
selatan tempatnya, mereka ke utaralah menghadapnya. Yang di
utara Raden Demang Ngurawan bersama
19. Sang Adipati Jayaningrat. Rahaden Demang Ngurawan,
secara rahasia berbisik-bisik, terhadap pamanda Adipati, "Sekalian
senyampang bersua, pamanda, hamba, sendirilah yang memberi-
tahukan, atas kehendak Sri Raja.
20. Kakanda Mangkubumi, dikehendaki oleh Sang Raja, ditanam
(= diberi kekuasaan) di Surabaya. Kakanda itu dibawai dalam
kekuasaannya daerah manca negara (= daerah di luar kekuasaan
istana, daerah di luar negeri), yang sebanyak lima negeri, ialah
Srengat, Blitar, Japan dan Wirasaba
21. beserta negeri Kediri, itulah yang dibawakan kepada kakan-
da. Adapun pamanda wilayah pesisirnya. Juga dibawai kekuasaan
lima negeri, besar kecil jumlah negeri negeri itu, ialah Gresik,
Lamongan, Pasuruan (= Pasedahan; suruh yang artinya sirih, baha-
173
PNRI
sa halusnya sedah, Prabalingga
22. Yang kelima ialah negeri Bangil. Jadi jumlah semuanya
sepuluh negeri." Kyai Jayaningrat terkejut mendengarnya. Men-
dekatlah ia duduknya terhadap Raden Demang, Ananda, ada
apakah, sampai kakanda paduka Sang Raja, berkenan mem-
punyai kehendak yang demikian itu?
23. Apakah yang menjadi pangkal sebab-musababnya? Paman-
da hamba mengharapkan penjelasan. "Menurut yang saya teli-
ti semula, terdapatlah kejadian yang renggang dalam pergaul-
an," (kata) Rahaden Demang Ngurawan, yang halus berkata-
nya itu, "Pamanda, sebabnya berasal dari Madura."
24. Berkata pulalah Ki Adipati, "Mohon paduka berkenan
mengabarkan juga sekalian. Sang Raja dalam bertitah demikian
itu, di manakan baginda tempat bersemayamnya, ketika ber-
kenan memerintahkan paduka menghadap?" Raden Demang
berkata dengan halus, "Di panepen (= ruang bersemadi, ruang
untuk beristirahat) Tambaktoya (= istilah halus untuk kata Tam-
bakbanyu = nama tempat).
25. Asal mula hamba ini diperintahkan menghadap, ialah ke-
tika berada di Sedah Rama (= istilah halus untuk Suruh Rama?)
Sang Raja sedang menembak banteng, mendapatkan seekor yang
telah mati, rusa sebanyak sepuluh ekor. Sedang baginda. ma-
sih memegang senjatanya itu, lalu baginda pergi ke Surabaya.
26. Setiba baginda di Gunung Kunci, Sang Raja meletakkan
senjatanya. Kemudian hamba dilambainya (= dipanggil dengan
melambaikan tangan), ketika baginda sedang duduk di kursi.
Waktu hamba telah dekat, "Bapang, bagaimanakah menurut
penilaianmu tentang budi pekerti, serta tingkah laku si Madu-
ra?
27. Tampaknya ia bersembunyi-sembunyi, hatinya berbelit-
belit, ternyata ia memperlihatkan lagaknya. Ia menuntut un-
tuk menjadi wedana, yang membawahkan semua wilayah pe-
sisir, hendaknya kembali, seperti ketika jamannya, Panembah-
an Seda Kamal.
PNRI
28. Daerah pesisir hendak dikuasainya sendiri. Menjadi lang-
sung di bawah perintah raja. Ia tidak sama dengan bapaknya.
Coba lihat, bangun tubuhnya, bukankah tidak meniru bapak-
nya? Lagi pula hatinya congkak, patutlah orang bagaikan pang-
kal bambu hutan (= menggambarkan keburukan dan kekasar-
an).
29. Keduanya (hal yang kedua) ia mempersembahkan surat,
kepada ibu, yang diutusnya, Si Benggring yang membawa surat-
nya. Dengan inipun ia menimbulkan persoalan. Tidak melalui
jalan yang semestinya, memang orang suka berbelit-belit, orang
berwatak suka mogok dan membawa kerumitan.
30. Pergilah ia kepada uwakanda Patih, menurut perasaan ia
ketahuan ulahnya, oleh menantunya di Pekalongan. Di Jepara
ketahuan sesama bangsanya, dan uwakanda Danureja, sebab-
nya menyimpang ke selatan." Si Benggring sajalah yang diutus.
31. Yang dipanggil dengan Benggring itu, ialah bukankah tuan
putri Maduretna, oleh kakanda Sang Raja. Ialah yang diperis-
tri Cakraningrat. Menurut kata-kata Sang Raja, yang kedua ka-
linya, kebetulan terlalu berani dan menimbulkan kecurigaan.
175
PNRI
XXX. PUPUH SINOM
PNRI
minta kepada orang Kartasura ini, bahwa ia tidak dapat menja-
laninya, bermadu dengan orang yang berbalik haluan (= ber-
khianat). Jikalau adiknya itu ada, mengetahui tempatnya di
Surabaya, pastilah ia merajuk dan pulang (= purik) si Benggring
itu ke Surabaya.
7. Sebenarnya, meskipun dipertahankan mati-matian, oleh
adinda paduka Pangeran Mangkubumi, serta lalu misalnya di-
atumya, sebab diharapkan dapat maju berperang, sebenarnya
hamba berani mempertaruhkannya, petaruh itu tubuhku ke-
lak (tak akan berhasil). Tetapi kakandanya itu, jangan lupa hen-
daknya ia menggamit, ialah kepada si kapitan di Surabaya."
8. "Nah, yang demikian itu sudah, pamanda, atas perintah
dari Sri Bupati, sejak semula, pertengahan serta akhirnya (= su-
dah berulang-ulang)!" Terangguk-angguklah Ki Adipati itu, "Be-
narlah, ananda, itu telah dapat diduga, demikianlah tentang
selundupan rahasia itu, dan bukan pula itu selingan minta dida-
hulukan (terombolan), bukan pula suatu buatan khusus (aden-
aden) yang berbunyi, sebenarnyalah, bahwa hai itu teijadi ka-
rena yang menghendaki kakanda Raja."
9. Terheran-heran dengan menyesallah (ngungun) sang Adi-
pati, "Ampun, ananda, berkenanlah dengan sungguh-sungguh
bersembah paduka, kepada kakanda paduka Sang Raja. Bukan-
kah si Madura itu hanyalah anak kecil, (kalau terlalu diperturu-
ti saja), akhirnya berakibat, tuanku, bahwa seoranganak yang
berumur empat tahun, meminta kepada bapak dengan sangsi
jika tidak dipenuhi! Memang wajiblah bapak itu diminta oleh
anak, namun jika belum-belum (sudah main ancam), anak itu
wajib pinala (= dipukul sebagai pelajaran).
10. Walaupun berjungkir balik sekalipun. Jikalau seseorang
masih menjadi abdi (= dibawah perintah), wajiblah ia menyen-
tosakan tuannya, ialah kakanda paduka Sang Raja itu. Harus-
lah raja berlapang hati dan luas pertimbangan, terhadap selu-
ruh baia tentara dan bawahannya. Tetapi jikalau seorang raja
dirongrong, baik oleh kerabat sendiri maupun oleh bupatinya,
hendaklah raja itu menggunakan ketentuan hukum yang uta-
177
PNRI
ma (= yang mengingat kesejahteraan um um).
11. Memang kesabarari bagaikan kepala seorang pertapa, itu-
lah keutamaan seorang Raja. Baginda memang sebaiknya ber-
kenan mengampuni kepada bawahannya, yang menentang ter-
hadap perkaranya. Tetapi jikalau mau lalu mendengar kata barang
sedikit, sebagai peringat untuk kepentingannya kelaknya.
Aduhai, ananda, mohon tetaplah, menghadang dengan jalan
bersembah, terhadap kehendak kakanda paduka Raja (yang se-
lalu menuruti kemauan Cakraningrat itu)."
12. Berkatalah Raden Demang Ngurawan, "Nah, cobalah pa-
manda Àdipati. Betapa susah hati hamba ini, menghadapi ke-
hendak Sri Bupati itu, yang kadang-kadang minta persetujuan
kepada seorang anak kecil. Hati hamba ini masih bingung. Me-
ngapa mempermasalahkan ilmu iktikad, kadang-kadang hamba
ini yang dimintai persetujuan. Hamba ini, pamanda, bukankah
belum berumur empat puluh tahun?
13. Barulah berumur dua puluh sembilan tahun, paman, ke
tiga puluh tahunnya sedang hamba jalani, ialah pada tahun ini,
paman. Hamba berkata yang sebenarnya, kepada pamanda se-
cara pribadi. Hanya luar biasa rahab (= sangat gemar) hamba
terhadap ilmu (akhirat). Adapun perkara kenegaraan, andaika-
ta tidak diberi tanggung jawab menanganinya, hamba menolak-
nya. Sebab itu tidak menjadi perhiasan hidup di akirat kelak.
14. Ini memang pekerjaan yang rangkap. Atas perkenan titah
Sri Bupati, pamanda serta hamba ini, dititahkan oleh paduka
itu, untuk menghadirinya. Bagaimanapun yang demikian ini,
demikianlah kehendak seorang raja." Adipati Jayaningrat itu,
memandang dengan mengamat-amati, terhadap segala bangun-
an yang dibuat oleh Raden Demang.
15. Sangat terheran-heranlah dalam hatinya, Adipati Jayaning-
rat itu. Perlahanlah keluar perkataannya, "Sangatlah heran ham-
ba ini, gusti, terhadap ananda paduka ini. Yang akhirnya malu-
lah hamba ini terhadap Hyang Luhur (= Allah). Cobalah, ialah
pamanda hamba ini, sekarang hamba ini sudah kakek-kakek,
namun masih saja rajin datang menghadap, tetapi kurang men-
178
PNRI
dapatkan rahmatnya.
16. Asalkan ramai menjadi pembicaraan negara, Kartasura
sekarang ini, (yang hamba dengar), hanya Raden Demang
Ngurawanlah (yang diperbincangkan). Pantas menjadi pusat
bimbingan pelayanan. Ketakutanlah segenap bupati, benar-be-
nar laksana kirun wa nakirun (= nama-nama malaikat dalam
Islam, bersifat menentukan baik dan buruk). Walaupun demi-
kian, jikalau ananda datang menghadap, mendapatkan tempat
yang tidak baik, tetapi jarang-jarang datang menghadap yang
kurangmendapatkan perhatian (= selalu mendapat perindah-
an).
17. Ananda, terhadap ananda jaranglah yang menduga, ialah
orang-orang Jawa kita ini. Mereka melihat segala tingkah laku
paduka, kain panjang seperti tak pernah berganti, selabog (se-
lendang pengikat lambung) ya hanya yang itu-itu juga, hanya
ikat pinggangnya yang ukup (indah). Tentang kebahagiaan hi-
dup di tanah Jawa ini, hanya dia (ananda paduka sendiri) dan
patihnya, seperti tidak merasakan kewibawaannya.
18. Demikian itulah, ananda, yang diprihatinkan sebagian, ke-
prihatinan orang-orang Jawa. Ternyata sama sekai mereka ti-
dak menduga, bahwa ananda paduka ini berbahagia dalam batin.
Tetapi ananda paduka sekarang ini, tidaklah boleh menolak ke-
bahagiaan itu, dapat dipersalahkan, nasib, ananda paduka itu,
bukanlah putra seorang petani. Yang memperputrakan Panem-
bahan Purubaya.
19. Serta pula yang mempunyai cucu, Panembahan Purubaya
itu, bagaimanakah juga, jikalau pun perak, berlainan antara
lahir dengan batinnya. Sultan Abdul Karnaini, Iskandar adalah
raja yang lebih dari raja lain-lainnya, dapat dikatakan raja dari
segala raja di dunia ini. Tetapi, tiap hari tanggal satu, berpriha-
tin (= masygul hatinya) menyerupai paduka ananda ini.
20. Lamalah ia agaknya tidak dihadap hambanya, lama pula
ia tidak keluar dari istananya. Adalah konon seorang menteri-
nya, yang bernama Januwan - Khakim, datang menghadap ma-
suk ke dalam istana, mendesak tempat rajanya (= dengan
179
PNRI
sangat minta diterima menghadap). Januan Khakim berdatang
sembah, apakah konon sebabnya paduka rajanya itu tidak ke-
luar dari istana. Bersabdalah raja Iskandar, raja di dunia itu,
21. "Yang menjadikan hatiku masygul (= prihatin, sedih dan
kecewa), hai, mantri Janwan Khakim, yang menjadi perasaan
dalam hatiku ini, ialah perihal istana di dunia ini. Bukankah is-
tana ini tidak meninggalkan kesan, maupun kegunaan di akhi-
rat nanti? Janwan Khakim bersembah, "Ampun, paduka tuan-
ku. Apakah paduka (berani) menolak, kehendak Hyang Widdhi
yang mentakdirkan paduka menjadi raja ini?
22. Ditugaskan menjadi pemimpin raja-raja di dunia, ialah pa-
duka baginda 'Abdul Karnaini. Karena itu mengapa paduka itu
malah berkeluh kesah, menolak ketentuan takdir dari Hyang
Widdhi. Paduka ini, bukankah tidak ditakdirkan menjadi fakir
(= orang miskin), tetapi paduka ini ditakdirkan menjadi raja.
Jikalau paduka tidak menghendakinya atau menolaknya, un-
tuk memimpin dan menuntun negara, penolakan paduka itu
apakah tidak dapat dinamakan kedurhakaan?
23. Sebesar-besarnya anugerah, terhadap yang dititahkan oleh
Hyang Widdhi, tidaklah sama dengan seorang khalifah (= pe-
mimpin dunia), yang ditunjuk untuk mewakili mengadili, ham-
ba-hamba Tuhan di dunia. Jikalau khalifah itu menyadari dan
selalu ingat, bahwa ia mewakili Hyang Suksma (= Allah), lagipu-
la dipelihara oleh keadilan Ilahi, serta berkewajiban merusak
yang mengganggu kesejahteraan (= memberantas kemungkar-
an).
24. Demikian itulah cerita Sultán Iskandar, yang lalu rajin
keluar untuk di hadap hambanya. Petunjuk itu paduka cam-
kanlah, ananda. Ada lagi cerita lain, yang teijadi setelah jaman
Rasul. Tersebutlah, adalah seorang raja, yang berkenan hendak
pergi naik haji ke Mekah. Baginda bersua dengan seorang pende-
ta di perjalanan, baginda ditanyai olehnya, "Hai, raja, ampun,
apakah kehendak paduka?
25. Paduka berjalan keluar dari istana?", "Hamba ini hendak
pergi naik haji," jawab raja itu. Sang pendeta itu bertanya lagi,
180
PNRI
"Apakah yang paduka harapkan dari padanya (naik haji itu)?"
Raja itu menjawab lagi, "Benarlah, hamba mengharapkan anu-
gerah. Besarlah anugerah dari Allah untuk seorang haji." Si pen-
deta berkata dengan membentak,
26. "Hai, raja, segeralah paduka kembali pulang. Cepatlah pa-
duka memerintah di istana. Lebih besar anugerah untuk seorang
raja, daripada anugerah untuk seorang haji. Seorang raja yang
berkenan dihadap, untuk mengadili segenap bala tentara,* ter-
hadap hamba-hamba Allah, bertakhta satu jam saja telah me-
nyamai, anugerah yang diberikan kepada orang naik haji seba-
nyak enampuluh kali.
27. Ananda, jikalau paduka ini, bersungguh pandang dan me-
nunduk di hadapan Tuhan dalam pikiran, bertekad menuju kepa-
da kemukminan, mengantarkan negara kepada kesejahteraan,
siapakah yang menjadi pendamping, terhadap kakanda paduka
Sang Prabu, ananda, ialah pamanda ini adanya. Pamanda hamba
siang malam selalu berdoa, mudah-mudahan Allah selalu meme-
lihara dan menetapkan imán paduka ananda.
28. Sebagai pedoman tempat perlindungan, bagi segenap ham-
ba paduka orang-orang Jawa, bukankah benar-benar paduka
ini, keturunan Mataram yang tampil ke depan, yang dalam ba-
tinnya sebagai seorangmukmin. Terbukti para ulama seluruh-
nya yang besar-besar itu, ketika berada di Kepatihan, bukankah
semuanya memuji-muji, dan mendoakan paduka semoga sejah-
tera, tangguh dan utama."
29. Rahaden Demang Ngurawan, perkataannya keluarlah de-
ngan sabarnya, "Pamanda, dalam batin hamba ini, sebenar-
nyalah jikalau hamba ini melihat, terhadap sanak saudara ham-
ba, ialah para wedana yang besar-besar itu, yang datang mengha-
dap mengiringkan kemeriahannya, diiringkan oleh balatenta-
ra mereka, yang semuanya bergembira berlebihan.
30. Betapa mereka memamerkan diri dan bertindak serakah,
hamba jadi kasihan terhadap mereka dalam hati hamba. Bah-
wasanya mereka sama sekali tidak merasa, kehilangan cita-cita
luhur hidupnya. (Mereka lupa, bahwa mereka itu) jikalau ber-
181
PNRI
tunangan dengan kematian, pengekangan dirinya sedang men-
desak keagungan hidup (= angkara murka mereka menangkan
dari pada peri keperwiraan). (Mereka mungkin berpendapat)
yang demikian itu jelaslah sudah, siksa di dunia ini (sengiya)
mereka jalani, tentang perkara kematian itu akan tersua kelak
(= tidak perlu dirisaukan sejak sekarang)."
31. Adipati Jayaningrat, memijat-mijat kedua belah betisnya
(= lebih mendalam hormat sayangnya) dan bersembah, "Adu-
hai, tuan hamba, jangan kewalangan tuan hamba di diperpan-
jang. Umat ciptaan Hyang Widdhi (= Allah) ini bersifat nafsi-
nafsi (= masing-masing dengan kepentingan sendiri). Hamba
paduka mempersilakan paduka untuk mengulangi, persoalan
yang tadi kita tinggalkan. "Setujulah Raden Demangan, berka-
talah beliau dengan manis (= ramah) nya, "Bagaimanakah pa-
manda cara penanganannya yang sebaik-baiknya?
32. Bagaimanakah sebaiknya, sehingga Sang Raja seperti me-
maksakan, tidak dapat dipersembahi petunjuk, bahwa adinda
paduka itu haruslah dipasang (= ditempatkan), dalam negeri
Surabaya. Akibat tidak dapat diperingatkan itu, dapatlah diha-
rapkan akan teijadi perang pupuh (= perang besar), bukan?"
Bersembahlah sang Adipati itu, "Ananda, hamba mohon ja-
nganlah ananda berlaku dengan takut-takut, dan silakanlah
ananda meletakkan keris ananda, mempersembahkan kemati-
an ananda.
33. Mustahillah jikalau tidak akan berhasil, cara itu terhadap
kakanda paduka Sang Raja. Mohon persembahkan ke hadapan
paduka Raja, jikalau sembah paduka itu teguh (= kokoh), sebab
kehendak yang baik masih dihalang-halangi. Bukankah itu ber-
arti dibongkar, batin paduka ananda itu? (hendaklah paduka
baginda sampai berkesimpulan). "Baiklah, akan kucoba, hai
Bapang. Akan kutanyai tentang perara yang gawat. Apakah ang-
gapanmu itu tua atau anggapan anak ingusan."
34. Karena itulah, ananda, hamba ini, wajiblah jika diperke-
nankan memberi isi-isi, (pertimbangan) yang mendalam terha-
dap paduka ananda." Dengan tertawa Raden Demang berkata-
182
PNRI
Iah dengan perlahan, "Ah, si paman ini benar-benar hendak mem-
bela hamba. Benar-benar teguhkah kehendak pamanda? Lihat,
hari Senin yang lalu itu, uang dua ribu real dikeluarkan, terha-
dap Mangkubumen, dengan pengeluaran yang tersamar."
35. Menjawablah Sang Adipati, "Walaupun sedemikian juga
itu, ananda, jikalau kehendak belum dipaparkan, bukankah ma-
sih dapat diakali. Bukankah belum terlahir kepada Patih, asal-
kan masih dibungkus-bungkus (= dirahasiakan), ialah belum
terlepas itu dari kerahasiaan, bukankah masih bersifat persiap-
an. Kebatinan ananda hanyalah terserah kepada ananda.
36. Andaikata paduka menurutinya, bukankah kehendak itu
masih terbalik? Berkatalah Rahaden Demang, "Hai, pamanda,
terbalik yang bagaimanakah?" Menjawablah Sang Adipati, "O,
terbalik dalam hal waktunya (= timingnya) Yang harusnya di-
tunjukkan menjadi yang menunjukkan, sedang yang harusnya
menunjukkan malah ditunjukkan. Bagaimanakah yang demi-
kian kita pandang?
37. Apakah nama Pulau Jawa ini, ketika dahulu kala belum
ada sesuatupun (= kedang-keding = sama sekali). Lalu setelah
itu saudara kita menjadi wayangnya, menjadi raja yang tidak
mempunyai bupati. Ah, si Jayaningrat ini, dianguerahi beng-
kok (= bagian tanah sebagai penghidupan pejabat kerajaan atau
desa) delapan ribu jung. Dasar orangnya sudah dapat dipercaya,
untuk mengatur dan mengurusi para bupati, bukankah sayang
jika tidak disuruh melaksanakan pekerjaan itu.
38. Ananda, hamba lalu bertanya-tanya, jikalau waktunya te-
lah pantas untuk bertindak, telah jelas yang menjadi sebab-se-
bab pendahuluannya, dan dosanya telah cukup untuk menja-
tuhkannya, pantaslah hanya pecah daging (= diberantas, yang
memungkin memutuskan persaudaraan). Hanya itulah kiranya
hukumnya, ialah meremukkan tulang-belulangnya (= melenyap-
kan kemampuannya untuk melawan). Jadi lain lagi penerap-
annya, jikalau telah jelas-jelas kalimat-kalimat baik kita tidak
dihiraukannya.
39. Jikalau mereka itu telah disabarai, tetapi ananda hendak-
183
PNRI
nya juga maklum, (berbeda) menyabari orang Madura, dengan
hamba-hamba paduka orang Jawa. Jikalau orang Jawa dua ka-
li disabarkan, yang ketiga kalinya jatuhlah hati mereka, hamba-
hamba paduka orang Madura, tujuh kalipun belumlah terjatuh
hati mereka. Memang orang Madura itu sintingnya merupakan
sifat sehari-hari mereka.
40. Besar maupun kecil mereka itu menyunyang (= sikap ti-
dak tahu adat), ibarat "mengencingi balok rumah" (= tiada mau
tunduk kepada siapapun), sedangkan ananda sendiri telah lima
kali, membawakan ampunan Raja, dengan dititahkan persyarat-
annya. Setingkat cara-cara seorang raja, yang jika tidak datang
menghadap diperintahkan datang menghadap, serta memberi-
kan laporan kepada kumpeni. Jikalau sudah nyata-nyata demi-
kian, meskipun sebenarnya demikian itu
41. Sebaiknyalah diteruskan usaha ananda itu, supaya mereka
sendiri yang terjungkir. Nah, setelah itu benarlah lalu diikuti,
dengan pertimbangan yang baik." Raden Demang menjawab,
"Jadi kita tidak berperang pupuh? Jadi menurut kehendak Raja,
bahkan hendak menjadikan mereka hama dalam peperangan,
jika demikian kita menghadapi takaburnya si Madura itu.
42. Tersenyum bersembahlah dengan lantang, sambil meman-
dang sang Adipati berkata, "Hai, ananda, juga paduka hamba
ini, berperang sajalah yang paduka kehendaki! Memang mudah
orang berperang, asalkan benar merupakan jalan keluar, ananda,
adapun paduka ini, masakan orang besar harus tampil berperang?
Kalau benar-benar terjadi, merupakan kenistaan perang itu bagi
paduka, sebab tidak baik.
43. Jikalaupun harus berperang, biarkanlah oleh anak-anak
itu. Jikalau tidak dapat dipersembahi kata-kata baik, baiklah
hamba paduka ini menyerahkan ke hadapan paduka, biar oleh
keempat hamba paduka (melakukannya) tersebutlah, dua orang
dari manca negara, dua orang lagi dari daerah pesisir. Titahkan-
lah mereka untuk mengatasi semuanya itu, oleh para hamba-
hamba adipatinya. Sebenarnyalah, ananda, hamba tidak menyu-
kainya.
184
PNRI
44. Sangat-sangatlah hamba mohon kemurkaan (= mohon ma-
af), bahwa kakanda paduka Sang Raja, berkenan mempunyai
kehendak demikian itu, adindanya dijadikannya sebagai wayang-
nya. Aduh, ananda, jikalau hamba ini masih, hamba berniat
akan menghadangkan leher (= memberikan pembelaan). Jika
demikian itu (menurut kehendak baginda sekarang ini) jadinya,
kan tidak ada gunanya, pamanda paduka hamba Jayaningrat
ini, juga Citrasoma, Metahun dan Surabrata itu?
45. Jikalau Sang Raja tidak berkenan menghendaki, terlalu
banyak yang mendengarnya, ya, baiklah, sudahlah, hamba sen-
dirilah, yang bertekad bulat untuk menjalankannya secara ba-
dani (= fisik). Namun hamba ini berpengharapan, terpecahlah
hatinya supaya jera, hendaklah mereka mendapatkan musakat
(= pelajaran pahit), yang menimpa bala tentara yang berniat
lupa diri. Gila-gila pamanda itu adalah hamba paduka yang telah
turun-temurun, bukan?"
185
PNRI
XXX. PUPUH DANDANGGULA
186
PNRI
mantrinya sajalah, orang Kartasura itupun pada satnya, bukan-
kah belum selayaknya?" Ketika itu terhalang pembicaraan itu
oleh yang sedang datang, lurah peranakan,. Ki Gandakusuma itu.
Setelah menghadap lalu bersembah memberitahukan, bahwa
kakanda beliau sudahlah berangkatlah dari rumahnya, tetapi
belum juga datang ke tempat itu.
6. Beliau itu hanyalah membawa hambanya dua orang, de-
ngan hamba pengiringnya seorang. Raden Demang bertanya kepa-
danya, "Siapakah hamba yang menyusul itu?" Ki Mas Konting
bersembah menjawab dengan hormat, "Ialah, hamba tuan ham-
ba Jayakatrangan, paduka." Raden Demang berkata, "E, e, tum-
ben (= tidak sehari-harinya) si Jayakatrangan. Dapatlah kiran-
nya kakanda itu singgah, di rumah Kertitaruna."
7. Sang Adipati open (= usilan, ingin tahu) berkatalah perla-
han, "Orang apakah yang bernama Kartaitaruna itu, sampai-sam-
pai gemendel (= masuk dalam percaturan), ananda. Mengapa pu-
la paduka menduga, kalau, ananda Pangeran Mangkubumi itu,
singgah di rumahnya, orang yang bernama Kartitaruna itu?",
Raden Demang tersenyum dan berkata, 'Pelatih kuda paman-
da Wirataruna itulah, yang bernama Kertitaruna.
8. Sangat heranlah hamba, bahwa Kakanda Pangeran Mang-
kubumi itu, demikian rapi penyimpanan rahasianya. Si Karti-
taruna itu, asal mulanya, mempunyai seekor kuda, berwarna
bulu "gula geseng ' (= hitam penuh berkilat) menyerupai kuda
teji (= kuda asing besar), pan cal panggung keempat kakinya
(= keempat ujung kakinya berbulu putih), semuanya sebatas
lutut. Pelatih kuda se Kartasura, tak seorang pun yang berani
menyanggupi, (mengajarinya), seganlah orang senegara itu.
9. Hamba-hamba pelatih kuda semuanya ditanyai kesanggup-
annya, diberi upah seratus real untuk menjinakkan, sekenanya-
lah kudanya. Hamba pelatih kuda berkata, "Ampun, tuanku,
janganlah, ananda, bukanlah kuda. Bagaikan memberi hati ke-
pada raksasa saja, siapa yang akan mau melakukannya Gika di-
tanyai)! Paduka itu hendaknya janganlah menanyakan kesang-
gupan, terhadap hamba-hamba, lebih baik biar mereka mati
187
PNRI
nantinya, dan dapat dipersembahkan kepada Sang Raja.
10. Pasti hambalah yang akan dipersalahkan kelak. Hamba
disangka tidak mempersembahkan persoalan. Hamba dikira
memberati (= menghabat) kehendak ananda. Tentulah semua-
nya akan mati, ialah segenap pelatili kuda se negara ini. Semua-
nya mereka akan dipenggal, oleh kakanda Sang Raja, kerabat is-
tana yang memamerkan paduka, tidak dapat diselami jiwanya,
ialah jiwa sang Raja. Tuanku, sebaiknya paduka buanglah!
11. Baiklah, mustahil kita kekurangan kuda. Gusti, ampun,
hamba paduka mohon ampun." "Lalu kakanda Pangeran itu se-
telah pulang, maka kudanyapun, pamanda, juga diajak berseme-
di (= nenepi = berkhalwat = menyepikan diri). Leher kuda itu,
dan lambungnya diikat erat-erat, diikatkan (= ditambatkan)
pada suatu tiang. Kemudian selama setengah bulan kuda itu ti-
dak diberi makan, sedang ia sendiripun tidak juga makan.
12. Sekeliling kebun disuruhnya memberi pagar. Kakanda Pa-
ngeran itu tampak bagaikan mayat (= sangat pucat dan kurus),
sehingga menjadi bahan ratapan istrinya. Setelah lewat tujuh
belas malam. kudanya itu barulah diberi makan, berupa pisang
emas sebanyak tiga sisir, setiap harinya. Kakanda Pangeran sen-
diri belumiah makan. Kira-kira setelah satu bulan, kakanda ke-
luar dari (kediamannya, perkhalwatannya). Ketika malam tiba,
kudanya
12. lalu dicobanya dengan dilari-larikan berkeliling, diputar-
putarkanpun jinak-jinak sahaja. Lalu kakanda makan, itulah
permulaan (ia makan). Kemudian pada setiap malam, berkeli-
ling-keliling dengan berkudalah ia setelah itu, selama empat
malam, kemudian setelah itu, dibawalah olehnya melalui lorong-
lorong. Setelah demikian itu tujuh hari, lalu barulah dapat de-
ngan baik dilarikan dan bergaya, mengadatpun, bukankah ser-
ba enak (= mudah dikendalikan).
13. Lalu pada siang harinya ditungganginya lagi. Ternyata ti-
dak berubah, serba mengenakkan semuanya. Sudah pastilah,
jika kena dijinakkan. Lalu kuda itu diberinya panggilan, terha-
dap kudanya itu si Jayengpati (= berani mengatasi kematian).
188
PNRI
Untuk menjinakkan itu, tak ada yang dimintainya bantuan. Ha-
nya kakanda itu sendirilah, yang memanggil si Kertitaruna, yang
dimintainya tolong supaya mengakulah, jika ditanya, siapa
pun yang akan bertanya itu,
14. "Yang menjadikan kudaku ini enak ditungganginya (= di-
jinakkan dan dilatih sebagai kuda tunggangan), hai, Kertitaruna
akuilah itu olehmu! Kamu kuberi upah (mengakui dan menga-
jari) sebanyak dua puluh lima real, kain panjang serta keris,
juga ikat pinggang, kopiah dan baju. Jumlah harga pemberian
itu, jika dinilai, mendekati delapan puluh lima real. Keijanya ha-
nyalah disuruh mengakuinya yang dijadikan sebagai perisai
(= kedok, kamuflase), (terhadap kakanda yang mengajari dan)
mengenakkan kudanya itu.
15. Nah, demikian itulah, pmanda Adipati. Kakanda Adipati
Pangeran Mangkubumi berbedanya, daripada saudara-saudara-
nya yang lain!" Adipati lalu berkata, "Anak yang baik, men-
jadi nakal dan memukul. Terserah kepada padukalah kakanda
paduka itu. Oleh kanjeng Sang Raja, adindanya itu sanat diha-
rap-harapkan." Raden Demang menceritakan dengan panjang
lebar dan membaik-baikkan, segala tingkah laku kakandanya
itu. (P. Mangkubumi).
16. "Ya, pamanda, suruhlah si Konting segera menyusulnya,
kepada Jayakatrangan ke rumah kakanda itu. Juga si Kertita-
runa di rumahnya, tentulah ia berhenti di situ, kakanda Pange-
ran Mangkubumi itu. Si Konting menjawab dengan hormat,
"Ampun Raden, Demang Ngurawna, pamanda, ketika keluar,
tadi itu kuda kakanda paduka itu, beperlengkapan tombak,
sehingga gemparlah segenap yang menyaksikannya, kuda di-
perlengkapi dengan tombak.
17. Segenap anggota keluarga mengirimkan utusan untuk me-
yakinkannya. Baik para adipati, maupun para yang lainnya se-
muanya bertanya-tanya, "Siapakah yang mengijinkan, (demiki-
an itu) terhadap kuda, tuanku?" Jawabnya berwibawa tetapi
ramah, "O, itu si paman Kertitaruna. Diaiah yang mengenak-
kan kuda itu. Coba, persembahkanlah kepada kakanda, juga ke-
189
PNRI
pada kakanda, juga kepada adinda, bahwa ialah yang meneku-
ninya, hanyalah si Kertitaruna itu."
17. Ketika keluar tampil, terkejutlah Sri Bupati. Dipanggili-
nyalah yang berada di atas kuda itu, bagaikan penari-penari
bedaya (= jenis tari serimpi, tari halus putri) tingkah laku-
nya, sehingga mengherankan orang-orang senegeri. Ki Mas Kon-
ting kedatangannya lagi, berkatalah ia, "Ananda, perkenankan
hamba memberi-tahukan, bahwa sebenarnyalah telah datang,
kanjeng kakanda paduka, tuanku. Di luar balai penghadap-
an ini paduka kakanda telah tiba." Raden Demang lalu ber-
kata,
18. "Cepat bersihkanlah balai pertemuan itu!" Ki Mas Gan-
dakusuma menjawabnya, "Ampun, tuanku, sudah lamalah,
ananda, hamba bersihkan." Lagi sabda-sabdanya, "Coba, ce-
pat panggilkan ki Cabolek. Di sinilah tempat mereka berkum-
pul, "Mas Khatib Anom Kudus, dan Kaki Winong bertiga orang.
Baiklah, sekarang jikalau kakanda telah datang, ketiga orang
itu akan kupanggil."
19. Bersama-sama turun dengan Sang Adipati, segenap yang
menghadang di halaman dalam, di depan pintu gerbang halam-
an. Tak lama tersebarlah ketika itu harum, dupa sangat kuat
mengesankan mempesonakan. Datanglah Gandakusuma, me-
nyembah sambil berkata, "Ampun, tunaku, inilah kakanda
paduka!" Segeralah ia (Pangeran Mangkubumi) maju meng-
hadap menunduk dengan adindanya, lamalah mereka berang-
kulan.
20. Diuraikan dari rangkulan Pangeran Mangkubumi. Ia me-
noleh ke kanan, dengan terkejut pangeran itu bertanya, "Sia-
pakah itu?", jawabnya, "Hamba, ananda paduka", Raden De-
mang berkata dengan berbisik, "Pamanda Adipati, Jayaning-
rat, kakanda, Atas titah paduka Raja itu, beliaulah, yang di-
titahkan menyaksikan si Mutamaqim, (berbantah) dengan
Mas Khatib Anom Kudus itu."
21. Berkatalah Pangeran Mangkubumi itu, "Apa kabar, pa-
manda adipati, selamatkah paduka?" "Ampun, tuanku, benar,
190
PNRI
terima kasih," jawabnya. Lalu dipersilakan terus, masuk ke
baiai pertemuan di sebelah timur pendapa, yang telah dihias
dan diberi pintu gerbang. Bangunan gedungnya besar. Kemu-
dian mereka dipersilakan naik, ke ruangan loteng. Setiba ke-
tiga orang-orang besar itu, bersama-samalah mereka duduk.
22. Berkata lagilah Pangeran Mangkubumi, "Pamanda Adi-
pati, kuda paduka, si Biru apakah masih?" Ki Adipati berka-
ta, "Benar, tuanku, masih, tidak mau dipertukarkan." "Wah,
benar-benar tawakkal, andika, pamanda. Yang tampak tiga Sab-
tu ini, hanyalah si Biru belaka, tidak berganti-ganti. Keluar-
an manakah itu, pamanda, sungguh teguh hatinya, paman."
23. "Benarlah, ananda, keluaran dari sini-sini saja, tersebut
dari Kedu, dari Ambarawa." Pangeran Mangkubumi terkejut
"Pamanda, hamba sangat menyesal. Sikutannya (= penilaian
terhadap kuda) yang berasal Kedu menyeluruh. Tolonglah ka-
winkan, pamanda, yang dari Kedu itu." Ki Adipati bersembah,
"Memang, banyaklah, ananda, yang mengatakan, seperti yang
ananda titahkan itu."
24. "Mana tampaklah hatinya baik (= peruntungannya baik),
andika namakan siapakah ia, pamanda?" Sang Adipati berka-
ta, "Hamba, tuanku, ia hamba namakan si Sarahmadu (= sa-
ri madu)." Tersenyumlah Pangeran Hamangkubumi, "Benar,
maklumlah orang tua, memberi namapun dipilih yang pan-
tas. Dan seperti Bopongnya (= pendahulu?) Puspadirja, ka-
lau hamba tak salah lebih besar si Pulanggeni, kuda milik Pus-
padirja,
25. yang hendak hamba gunakan dahulu itu, pamanda. Te-
tapi kecewanya hati hamba, paman, ternyata terlau panjang-
lah lehernya." Ki Adipati berkata lagi, "Sebenarnyalah, lebih
besar si Pulanggeni. Bedanyapun banyak, namun walaupun
besar tetapi sirung (= kurang sopan?). Aduhai, ananda, entah-
lah yang demikian itu. Ialah tentang si Pulanggeni itu, kurang-
ajarnya tidak juga hilang.
26. Tetapi pesoleknya yang menunggangnya, ialah ananda
hamba paduka Puspadiija. Karena itulahjadi hilang kurang so-
191
PNRI
pannya. Namun jika diteliti cermat lama-lama, tentulah akan
terdapat lagi." Pangeran Mangkubumi berkata, "Yah, sebe-
narnyalah begitu. Memang ada yang menyebabkan kita kem-
ba (= kecewa, tidak puas), tetapi pantaslah jikalau si Puspa-
dixja yang menunggangnya, bahkan tidak pantaslah jikalau di-
ganti orang lain."
27. Diselingi tertawa, bertanya lagilah Pangeran Mangkubu-
mi, "Hai, kuda milik mantri anom andika, yang dawuk bang
(= berbulu merah coklat gelap) siapakah namanya. Yang itu
adalah kuda gubug (= menyimpan kewibawaan)," Ki Adipa-
ti berkata dengan perlahan, "Hamba, tuanku, ya, itulah si Pa-
gong namanya. Telah ditawar seratus real, oleh hamba padu-
ka kakanda hamba, Surabrata adinda paduka tuanku di sini,
asalkan yang punya merelakannya."
28. "Hai, andika ini, pamanda Adipati! Kemungkinan me-
nang, jika mengadu watang (= ketangkasan memainkan tom-
bak sambil berkuda), mantri anom andika itu, besar. Jika di-
pertandingkan melawan si tampan, Puspadirja, bukan tanding-
annya, jika melawan Mantri Anom Jepara, seimbanglah baru
tandingan itu." Ki Adipati berkata lagi, "Ampun, tuanku, bu-
kan hamba, tetapi benar adinda paduka di sinilah, yang meni-
tahkannya."
29. Raden Demang Ngurawan menyambung, "Tidak ada-
lah yang pantas, kakanda, jikalau orang membuat perincian per-
bandingan. Jikalau si Puspadiija itu, lain lagi jika Pusparaga
yang menandinginya. Bagaikan Raden Wisatha, putra Raja
Manduraitulah, yang bertengkar melawan Dursasana. Puspara-
ga tingkah lakunyakasar menakut-nakuti, sedangkan Puspadir-
ja ramah-tamah menarik perhatian.
30. Jika (Puspadirja) menggunakan kudanya si Pulanggeni,
sedangkan si Pusparaga si Pagong sebagai kudanya, tentu saja
di seluruh alun-alun paling pantas. Yang akan membelinya se-
ratus real itu, Surabrata dari Panaraga. Hambalah yang mela-
rangnya memberikannya. Hilanglah kepantasannya, karena
sudah diketahui, bahwa kepantasannya pada bermain watang
192
PNRI
(= tombak) yang dipertandingkan. Ialah pada kedua mereka
itulah.
31. Jikalau melempari tombak dengan gencar, Pusparaga ber-
seru-seru seperti mengejek-ngejek. Sri Baginda menitahkan, de-
ngan pelemparan lembing itu, oleh Puspadirja, jika dengan gen-
car, suruh tanyakan saja. Titah Sang Prabu itu, dinamakan ba-
gaikan Pancawala, ketika hendak dipukuli ia, oleh si Dursasa-
na.
32. Tersebutlah bahwa Raden Demang telah memanggil, Mas
Khatib Anom dengan Ki Winong telah datang, bertiga dengan
Ki Cebolek. Kedatangan mereka disuruhnya langsung menu-
ju, ke ruang loteng. Ketiganya datang, sudah saling bersalam-
an. Maka ketika melihat, Pangeran Mangkubumipun berta-
nyalah, "Adinda lurah, apakah sebenarnya inikah, yang ber-
nama Ki Khatib Anom Kudus?"
33. Raden Demang menjawab, "Kakanda, benarlah." Pa-
ngeran Mangkubumi berkata, "Pamanda, selamat sejahteralah
paduka." Mas Khatib Anom bersembah, "Hamba, ananda, sa-
ngat hamba junjung tinggi." Sampailah kepada tadahan (= per-
soalan yang dimusyawarahkan), ketiga buah kitab, ialah, Ki-
tab Rama, Arjuna wiwaha dan terakhir, Bima suci. Raden De-
mang berkata halus, "Paduka mulailah, kakanda!"
34. "Baiklah, titah hamba junjung, adinda lurah, sekarang.
Tetapi secara merdeka, sebenarnya kakanda hamba ini, adin-
da lurah, hamba sebenarnya, lebih senang Arjuna wiwahanya.
Sedangkan adinda lebih senang Bimasucinya. Adapun Aijuna
wiwaha itu bersifat memberi petunjuk, kepada pengajaran ma-
sih semu (= bersifat kiasan). Sedangkan Bimasuci, adinda lu-
rah, menurut penilaian hamba berterus terang jelas telak ma-
lah menggemaskan, sebagaimana halnya banyak orang yang
rontok (keteguhan hatinya).
35. Jikalau kita kurang mempersiapkan diri, adinda, dapat
membuat kita lengus kunus kahenas (= rrialu, ditelanjangi
dan dicibirkan), menyebabkan hati walang, hilanglah sifat ma-
nisnya (= hilang keindahannya)." Raden Demang tersenyum
193
PNRI
melihat. la berbalasan senyum, dengan Khatib Anom Kudus,
karena tersampailah hatinya. Mereka melirik kepada Haji Mu-
tamaqim. Mereka memuji kepada Pangeran Mangkubumi.
36. Sejak mulai menyanyikan "pegang sulanjana" (= jenis la-
gu besar, berbahasa kawi), yang diceritakan serba keadaan ka-
sunyatan (= kenyataan yang hakiki), dalam hati (tiap orang
bagaikan) jernih (suci) nya dengan keruh (kotor) nya, ternya-
ta dalam penglihatan dapatlah ditembus. Dapat dimisalkan ke-
keruhan air, walaupun digimakan untuk melihat, terhadap ujud
bayangan (= perwujudan sesuatu, das Gestalt), air keruh tidak
akan dapat. Sedangkan pada air jernih, perwujudan bayangan
itu akan tampak jelas sekali, itulah tak dapat disangsikan lagi.
37. Tangkisan (Haji Mutamaqim) tidak terlau baik (= meya-
kinkan), tetapi tetap bersikeras sahaja. Lurus dan berbelit-be-
lit kata-katanya. Jika terdapat persoalan yang harus dibahas,
dihentikanlah pembacaannya. Persoalan yang didapat oleh
pendeta, selalu ditanduk oleh kepala (= dipikirkan) dan diantuk
oleh kaki (= diamalkan). Demikian itulah pendeta Bagawan
Mintaraga, yang digambarkan dijelaskan dengan serba terperin-
ci, yang mula-mula diberi peringatan.
(SELESAI)
194
PNRI
Serat
CEBOLEK
PNRI
PNRI
I. DHANDHANGGULA
Tabuh sapta enjing Sukra Manis
mangsa sapta kang wuku Galungan
Rabingulawal wulane
tanggal kaping rolikur
ing taun Je sangkala Jawi
catur jalma manggaleng rat
kang manawung kidung
Magetan wedana derstan
Raden Panji Jayasubrata duk lagi
aneng nagri Semarang
PNRI
Wiryadinagara nung
Pakalongan prajanireki
pasisir Tanah Jawa
de papatihipun
Dyan Bei Martanagara
budi darma mumpuni sarjana niti
prajanya gemah arja
198
PNRI
kuneng malih winursita
Kyai Kaji Mukhammad Ripangi nenggih
kang wismeng Kalisalak
199
PNRI
11. Jalma alit tuwin pra priyayi
pumita dhateng Kalisalak
dipunsekseni Islame
sarta ningkah winangun
nadyan jarana wus kaki-kaki
denya semah rabinya
pan wus padha mabluk
den ningkahken malih iya
sabab nggone ningkah kalanira nguni
punika dereng esah
II. ASMARADANA
200
PNRI
paring idin jumuwahe
supados antuka barkah
rukuna kang jumuwah
Ki Ripangi ngandika rum
ya banget tarimaningwang
201
PNRI
6. Tumandang kalima murid
sapraptanireng balumbang
ki modin cinemplungake
kinosok ing alang-alang
kulitnya sami babak
sambat nangis angeruntuh
awake bilur sadaya
202
PNRI
tan arsa salat ing ngriku
asanget ngungun imamnya
PNRI
wus sami angglar ing ngarsa
ing reh sampun jinarwa
kaji Pinang aturipun
manawi pareng ing karsa
204
PNRI
20. Utawi jumuwah neki
napa malih tiyang ningkah
dereng esah sedayane
sabab dereng ingidenan
dhateng ki Kalisalak
punika kenceng satuhu
nggennira ngasta sarengat
PNRI
wong agung Arab sedarum
tan arsa ambubrah tata
25. Iki mengko si Ripangi
kumeksa angluwihana
mring kang para jamhur kabeh
wajibe para ngulama
rumeksa maring sarak
sarengate Kangjeng Rasul
nora kena yen mun kira
206
PNRI
rabine duk amiyarsa
wuwuse lakinira
sungkawa pan esmu eluh
alon ing pangucapira
30. Yen kakang marek kiyahi
aturena sembah ingwang
lawan pamekasku maneh
ywa suwe neng Kalisalak
banget sumelang ingwang
mbok sira dipundhut mantu
kakang paran polahingwang
207
PNRI
amundelik matanira
kumarusuk wewadule
wuwuh-wuwuh kang pangucap
siji dadi sawidak
dudukane ki pangulu
utawi ki kaji Pinang
III. PANGKUR
1. Asru dennya angandika
tuwan kaji Mukhamadi Ripangi
heh sagung nak muridingsun
manira awawarta
pan manira samengko iki siniku
dinukan maring negara
Pakalongan Batang runtik
208
PNRI
datan sedya gumingsira paben ngelmu
amungsuh mas kaji Pinang
lan kaji Mukhamad Cangkring
209
PNRI
ngamun-amun íing calebung
ñora pisan ngambaha
eling marang ing Hyang Ingkang Maha Agung
tan ngambah laku utama
sagunge kang para murid
9. Ki Ripangi ainiyarsa
ing ature sagunge para murid
lir kinilen ing tyasipun
dhasare uwus ngrasa
luhur dhewe iya ing pangawruhipun
tan ana ingkang memadha
wus angrasa alim adil
210
PNRI
13. Jariyah ngaturken serat
tinampenan nulya binuka aglis
penget Ki Ripangi ulun
dhukuh ing Kalisalak
wiyosipun kawula ngunjuki atur
gusti kawula dinukan
mring raden pangulu mangkin
14. Tanapi pun kaji Pinang
sakelangkung calunthangan sayekti
pangucape boten urus
ngabani mring ngulama
ingkang sampun sampurna adii satuhu
awit saking pun Jariyah
puruhita dhateng dasih
15. Menggah sampurnaning Islam
ngelmu sarak lampah amrih prayogi
lan salat jumuwahipun
ingkang amrih sampurna
amba sampun andhatengi amemuruk
dhateng masjid Wanayasa
awit Jariyah kang kapti
16. Kinen ngesahken kang jumungah
awusana raden pangulu gusti
lan kaji Pinang puniku
ngucap sawiyah-wiyah
mring kawula tan wonten tahaning kalbu
pangucape ukur menga
tan eca rinungu kuping
17. Kaji Pinang wicaranya
sakelangkung denya amejanani
mring kawula datan rembug
pramila ulun enggal
ngaturaken kitab tiga ing pukulun
211
PNRI
kang wus kawula tarjumah
pitembungan basa Jawi
212
PNRI
masjid ing Pakalongan
dereng esah pukulun jumuwahipun
sabab kirang rukunira
wondening kang kaping kalih
23. Sadaya ingkang aningkah
dereng esah sababta kirang adil
ingkang ningkahken puniku
munafek winastanan
amung kaji Ripangi pribadi sampun
ingkang adil tur sampurna
dadya kalifah Jeng Nabi
24. Semangke ing tanah Jawa
datan wonten liya kaji Ripangi
ki tumenggung ngandika rum
lamun kadya mangkana
prayogane kaji Ripangi puniku
timbalana ngarsaning wang
kinen musawarah ngelmi
213
PNRI
atemuha gurumu Ki Ripangi
iki kangjeng karsanipun
gurumu tinimbalan
anggawaha kitabe kabeh ywa kantun
sabab kinen musawarah
lan sagung para ngulami
PNRI
IV. ASMARADANA
215
PNRI
gumrumung pra ngulama
ingkang sampun jamhur-jamhur
sayid sarib myang wong Jawa
216
PNRI
santri meri kumaroyok
lan sagung para nayaka
aglar aneng pendhapa
sedaya sampun akumpul
ki tumenggung wus salenggah
217
PNRI
15. Ki tumenggung ngandika ris
sagunge para ngulama
padha den rasakna kabeh
rinembaga ing wong kathah
mungguh tembunging surat
ki pangulu nembah. matur
menawi pareng ing karsa
218
PNRI
sulayane kang panemu
bab masalahing ngibadah
219
PNRI
ing rukun salat Jumuwah
wajibing para imam
tuwin ngulama puniku
dhingin mumulanga salat
220
PNRI
lir Subali lan Sugriwa
sami kumitir lathine
Ki Ripangi maksih panggah
sarwi asru angucap
teka ngajak nora urus
wong anom peksa denuta
V. SINOM
1. Wahuta mas kaji Pinang
wantu ngulama taruni
wantering tyas tur waskitha
sembada kawignyan wasis
ing kitab wus binangkit
dhasar putra ngulama gung
dupi miyarsa jawab
kaji Ripangi tan yekti
krura mangkrak bangun kautamanira
221
PNRI
solah ganggas ulat galak Ion tembungnya
4. Heh kaji Ripangi sira
paran karsanta kang pesthi
prakara kang dadi karya
sebane para ngulami
amusawarah ngelmi
kang dadi ing panemumu
tan metu sakihg kitab
amung akalmu pribadi
Ki Ripangi Sumaur wengis akeras
222
PNRI
ragi kasupen kula
kaji Pinang mojar wengis
jare ngaku alim adii tur sampurna
223
PNRI
sumelang dadi kaji
pantese kepala kecu
yen ora bangsat jajar
mathethe nglangak maringis
Ki Ripangi muring-muring kringet medal
224
PNRI
wus angaku alirn adii
kalifah Jeng Niyakeng rat
tekabur ndika kaeksi
Ki Ripangi nauri
loyop-loyop angalentuk
anging wicara sora
heh kaji Pinang sireki
salah ucap pati open ing manira
225
PNRI
Ki Ripangi langkung runtik anabda kras
19. Bangun malih kang bicara
deder dinederan kalih
tan ana purun kascan
agenti cingir-cinmgir
saut-sinaut genti
yen menggaha puyuh tarung
maju mas kaji Pinang
ajengkeng Kyai Ripangi
menga-mengo tetakon ing muridira
PNRI
nora laku utama
dhustha mamak cidreng bumi
karya was-was maring wong salat jumuwah
23. Yen sira gum pandhita
mengkono tekadireki
iku pandhita kasungsang
suker painulange sisip
pedhes bae kang dadi
wuruke pandhita bingung
lah iya endi ana
angaku kalifah nabi
dadak nganggo ngapirake padha Islam
24. Tan eling wirayat tama
ywa akeh sumbaring lathi
sireku peksa gumuna
akarya sak ing sesami
larangan kang sayekti
mbeg digung lamun kawuwus
pan dudu darbekira
tekabur riya lan kibir
kagungane kang karya semuha
25. Ki Ripangi peling kula
sakniki ndika mareni
ywa kebanjur awor setan
anganggo tekading eblis
duraka kang pinanggih
wong gemblung amrih ginunggung
ratu datan narima
sira karya rusàk ngelmi
nenulari mring janma ing liyanira
227
PNRI
denira karya tamsil
kaji Ripangi ngalentuk
rumangsa yen kasoran
panjawabe akeh sisip
para murid neng wuri samya bramantya
PNRI
langkung dening runtikira
gerget-gerget nggigit lathi
dinulu angajrihi
agalak pasanging semu
keras wijiling sabda
lir tibane wisa mandi
ji Ripangi aja matur ngamadaka
229
PNRI
34. Nanging dinten benjang enjang
pangulu Batang lingnya ris
alón tur atata krama
heh tuwan kaji Ripangi
wus mufakat ngulami
pamanggih tuwan kang luput
rinencanan ing setan
wajibe ndika semangkin
inggih kedah anganyaraken sahadat
230
PNRI
kang sami tuwan wastani
amunafek kapir matur nggih prayoga
231
PNRI
Pinang dudu tandhingipun
jago tandhing cul dipat
tanana gelem ngasori
ji Ripangi jago licik tanpa guna
PNRI
gumabrug emeh kebanting
karungkep aneng siti
katindhiyan muridipun
lajeng dipun rerompa
marang para anak murid
kuneng dalu yata kawarnaa enjang
233
PNRI
si kakang yen nuli prapti
seksana Kenthol Jariyah
wus prapta wismanireki
katon ing lawang jawi
bok Jariyah tyas kumepyur
amethuk kapang-kapang
mesem-mesem manas ati
gupuh-gupuh Jariyah nambut ing garwa
50. Manjinga segara brama
kakang aku lumuh kari
puiuh-puluh aku kakang
mring sira trisna kepati
dene wus aperjangji
lunga teka nglangut-nglangut
lamun sira matiya
sunsusul melu ngemasi
pasiyansun dene mentas lebar ningkah
51. Mingsek-mingsek panangisnya
tansah jinum sabda manis
sinangkan ing niti krama
tinrusken kasmaya jati
kasampurnaning ngurip
inguripan de Hyang Agung
pangreh sulanging tingkah
tata agem aneng bumi
binarung sih rum sabda mangela-ela
52. Basa urip arep ana
sedya kang agawe becik
kabecikan ngalam dunya
iku ingkang anekseni
puji mring bumi langit
puji mring kang karya pandum
amung lara lan nikmat
kang nelakken ing Hyang Widi
234
PNRI
wiyah gesang sinung lara lawan nilmat
235
PNRI
warnanen pra wanoaya
kampung Pacinan myang loji
myarsa warta kasusu arsa wuninga
236
PNRI
senadyan ana margi
sayekti lajeng rinasuk
para murid pan lumrah
wulange kaji Ripangi
berag-berag kalamun ndulu wanodya
237
PNRI
VI. MIJIL
238
PNRI
menggah kitab yektos
salat Jumngah limalas rukune
mulang datan klebu rukun kyahi
ing kitab punapi
ingkang ndika temu
239
PNRI
kasor Ki Ripangi
tinon semu ngukruk
13. Para murid tan bisa cumuwit
gela angelokro
ngrasa guru saiah parnanggihe
kaji Pinang anggagrak tur wingit
sarwi ngusap rawis
ulat galak tangguh
14. Lah ta payo mengko ji Ripangi
aja meneng ndongong
lafal iki lah jawaben age
Ki Ripangi nedha tempo rnalih
kaji Pinang angling
ñora aweh ingsun
PNRI
aturipun alon
wonten ugi ing kitab lafale
nanging kantun aneng wisma marni
Yusup tanya ngukih
ji Ripangi muwus
241
PNRI
tan ngesahken sami
wong Islam puniku
24. Lamun dereng andika sekseni
alim adil kaot
nggih wong ningkah dereng ndika sahke
kitab punapa lafale pundi
matur Ki Ripangi
saking pituweku
25. Ki pangulu Batang angling aris
ing dalil asung wroh
wong wus nebut sahadat kalihe
sadat empun Islam wong puniki
datan mawi saksi
marang ngulama gung
PNRI
nugraha Hyang Manon
lir kemudhi palwa upamane
kang linakon sagunge dumadi
uripireng dasih
saking sih Hyang Agung
243
PNRI
yen menggah lumaris
adoh nyamut-nyamut
35. Lafaling kitab rasaning ngelmi
keh dhompo tumpangso
pangrakite lafal lan dalile
kaji Pinang memet tur winasis
salesih patitis
lan Batang pangulu
PNRI
sabarang wiraos
lamun dereng weruh wekasane
aja nuli jebal-jebul mijil
weweka den enting
rusak wong amuwus
245
PNRI
wewekaning batin
sinamar sinamur
46. Mungguh. wirayat janma linuwih
sumarah Hyang Manon
badan iki upama sarahe
mobah meneng Hyang Suksma kang kardi
lir sarah neng warih
nut ombaking ranu
PNRI
tur putus cumeplos
ing tibane apantes arentes
mas pangulu landrad tandya nglirik
mring kaji Ripangi
mesem rada gumun
52. Nora kaya ki kaji Ripangi
teka pijer ndongong
mempis-mempis anyikruk lungguhe
lir cemuris kala den gebugi
mung ta gawok marni
wani ngamuk punggung
53. Pra ngulama mufakat prasami
ji Ripangi goroh
tuhu salah puniku kitabe
pan kesajru tuwan Lamres prapti
tetabeyan nuli
gya neng kursi lungguh
54. Ngantya dangu nggih tuwan kontrolir
myarsakken pepadon
abebisik rnring tumenggung mangke
ji Ripangi kula wus udani
pan tukang dregami
duk kula neng Limpung
247
PNRI
rumangsane ngati
sänget ajrihipun
PNRI
ing mangke ragengong
amiturut pra ngulama kabeh
lan mituhu ing kitab sayekti
kang trus dalil kadis
mufakat pra jamhur
63. Sami mesem sagung pra ngulami
utawi sagung wong
dene gletiiak agumlethak bae
pangucape ki kaji Ripangi
tan wani ngandhemi
ing panemunipun
64. Para murid atinira cilik
myarsa guru keyok
banget luput guru panemune
anunutuh ing ragane sami
ngrasa guru iblis
tekade kaliru
249(
PNRI
ki kaji Ripangi
oleh ajar tuhu
250(
PNRI
Vn KINANTHI
3. Dene sekretarisipun
tuwan Fislar kang wewangi
wicaksana budya arja
sembada pekik kang warni
rikala wektu semana
residhen tin dak kumisi
4. Marang Batang bawahipun
wau ta tuwan kontrolir
panggih sekretaris Fislar
tetabeyan mundhut kursi
tuwan Lamres Ion aturnya
lah ta menir sekretaris
5. Ingsun angaturi weruh
Jeng tumenggung dina iki
ngumpulaken pra pandhita
kaji Arab lan priyayi
kebak aneng kabupatyan
miwah janma kang ningali
251(
PNRI
aran Mukhamad Ripangi
wisma dhusun Kalisalak
kareh ing Batang negari
karya gitaning ngakathah
dadya oreg kang negari
252
PNRI
sigra akarya nuwala
ki tumenggung den prentahi
12. Nuwala kelangkung bendu
dhumateng kaji Ripangi
ki tumenggung dhinawuhan
kinen angulihna aglis
pinasrahena bupatya
ing Batang kinen anjagi
PNRI
nadyan mung sakecap ugi
yen tan pantes lan wong kathah
yekti anggawa bilai
rnisile makluk punika
kabeh tinitah Hyang Widi
254
PNRI
si Jariyah nora layak
besuk pantes sun surati
23. Kuneng kang kawelas ayun
jeng resdhen Van de Pul prapti
ki tumenggung wau sigra
asowan residhen nenggih
lajeng sami tetabeyan
nulya tata lunggyeng kursi
24. Sedaya niskara katur
solahnya kaji Ripangi
ing purwa madya wusana
wutuh tan kirang tan luwih
denya mbeg apeksa guna
anacad sesami-sami
255(
PNRI
kelayune sipat kuping
dherakalan sami rahab
winastan sanget linuwih
angasoraken negara
pinunjul ing Nungsa Jawi
256(
PNRI
mbujuk ngicuk pakumpulan
sedayane ingkang janmi
34. Ngarah lelakon tan patut
adol jimat japa sami
miwah lakon liyanira
kang niyat ngapus mrih angsil
amakoleh marang arta
miwah barang saliyaning
35. Yen bupati myarsa iku
ana wong wani nglakoni
nerak struksi jeng nata
bupati nyekela aglis
aturna residhen nulya
sinareng kelawan tulis
36. Ki kaji Ripangi niku
kalebu nerak setruksi
artikel kaping patbelas
kadi kang kocap ing nginggil
wajib tumenggung marmanya
amriksani lan natrapi
257(
PNRI
maring Hyang Kang Murbeng urip
ratu kalifah Hyang Suksma
sinrahan isining bumi
prunggawa wajib rumeksa
karahayoning naipati
oooOooo
258
PNRI
VIII MIJIL
259
PNRI
sumiweng asengoh
sarwa sumyar sumirat manise
kadya lunglungan kelangening sih
darpa sirating sih
saha saben santun
260
PNRI
tekad tanpa wangkid
tutur kabalabur
12. Lekasing cipta kang prapteng yekti
tumameng wireng don
sruning kapti kabyuhan wirage
raga karagan miruga ragi
wimbuh amimbuhi
kambah reh kajumbuh
13. Kagunturan murdasmara witing
westhine katongton
tan kenowah wuwuh wewatone
wahanane wingite mengeti
lupute nglimputi
anampad manaput
261
PNRI
raumuri wireng don
tur kataman ing kautamane
ring reh risang nayakaning bumi
ing basa basuki
bisa busanayu
18. Sarsab kasub kasumbageng bumi
ing bumintara bot
tar kawangwang nawengi wangene
tistis prameya angupaya nis
ing lok anglengkani
kumlungkung kalingkung
19. Wuyung tumiyung ngayang ngayengi
mayangi dhumoyong
jug tyas anaapada ing padane
malat kumilat sang kadi murti
murti mengerteni
ing punggung sawegung
262
PNRI
ing pati patitis
kawuryan ing madu
PNRI
IX SARKARA
264
PNRI
kalalu kalingan dene
aluran liwaripun
kang tétala datan katoleh
katela wus katula
tula katelanjur
rumaket ngaku makripat
ambebeni kabangkat rumangsa bangkit
guguring gurunira
5. Setun setan sirat saji-saji
sujana datan sajana diyan
mikawis pasamoane
kewala nglesi wuwus
tyas sira tis kentas kawingkis
makiring sing rerasan
angeras raras rum
kayunnya keh kilayuwa
mula-mula ngelmune mangka ling-aling
malah ulah memala
265
PNRI
ajuwet acucut
pasisir wetan oteran
tanah Tubah kaji Amad Mutamakim
dadi lawaning kathah
8. Sora saru ing sarengat nabi
ing Cabolek padhusunan Tuban
kang dadya lok lelakone
ginereg ginarumung
dening para alim pasisir
pinenging ngrusak sarak
duraka ing ratu
ratu wenang aniksaa
pan minangka badal sang nayakeng bumi
bebaya ing ubaya
266
PNRI
11. Dadya para ngulama pasisir
andhinginken iber-iber layang
marang pra ngulama kabeh
Pajang Metaram Kedhu
ing Bagelen manca negari
sarta kang nunukilan
ing panganggepipun
tekade kang ingandheman
Ki Cabolek ngaku Muhammad hakiki
wani yen den ukuma
12. Duk semana oter kang negari
dadya kontrag pasisir sedaya
pra ngulama kerig kabeh
bang wetan Kyai Bungsu
Ki Witana ing Surawesthi
lawan Mas Sidasarma
lan Mas Tibnom Kudus
pangirid para ngulama
ing pasisir praptaning Kartasureki
dereng prapta bicara
13. Kasaru grah Jeng Sri Narapati
Mangkurat Prabu pan lajeng seda
kagyantan marang putrane
Dyan Mas Prabayekseku
kang wus ñama Pangran Dipati
gumantya ingkang rama
arja jenengipun
sunan sumare Laweyan
ing adege anyar tinutugen malih
wus katur sri narendra
14. Kerig malih ngulama pasisir
kabeh datan wonten kalangkungan
Pajang Metaram Bagelen
manca negara Kedhu
267
PNRI
s.ifat keni lafal sakedhik
tan kena suminggaha
kinerig angumpul
neng dalem Kadanurejan
akekangsen lajeng katur sri bupati
mufakat pra wedana
268(
PNRI
malah sampun pinanggihaken ning aris
rarase kang rerasan
269
PNRI
X ASiMARADANA
PNRI
tadhah ingukut tuwan
dhateng pun Cabolek tumut
saeka wus abipraya
271
PNRI
pasthi yen sida den obong
kaya mambu kukus ingwang
saking ing Tan ah Arab
ing kana nggon guruningsung
Seh Jen ing negara Yahman
272
PNRI
15. Pati badan angulati
guru telenging samodra
ambek pejah yen tan oleh
sedya pejah jro samodra
yen tan wruh ing kasidan
prapteng teleng samodra gung
pinanggihan dewa bajang
273
PNRI
tan kena ginawa lampus
mung tirunen ngelmuningwang
274
PNRI
Adipati Danureja
kilen para ngulama
nunggil kiyahi pangulu
majeng mangetan sedaya
25. Kang wetan para dipati
majeng mangilen sedaya
Dipati Danureja 1er
mangidul ing ngajengira
ngilen kedhik pan urmat
marang ngulama gung-agung
enggene kilen sedaya
275
PNRI
kataman singawikrama
prakampita walikate
mawantu magra kruraya
mahambeg kawigaran
angken pragalba gul-agul
lumud syanita sudresa
276
PNRI
XI. SINOM
PNRI
Mas Ketib Anom ing Kudus
kelawan Raden Demang
Ngurawan ngandika wengis
ingkang endi sira narka kaluputan
PNRI
ya pagene ta sireki
aweh ruweding bumi
gawe rurungoning ratu
ujar durung sembada
sira matur ing wa patih
apa amrih dudune para ngulama
9. Gawe rurungoning praja
arep delajating bumi
wus entek dukaning nata
Mas Tibanom aturnya ris
langkung nuwun kapundhi
duduka dalem kang dhawuh
nanging inggih sadaya
kang abdi punika sami
langkung dene tanpa niyat anedyaa
PNRI
12. Dherakalan sami rahab
pelayune sipat kuping
Adipati Jayaningrat
mesem sarwi lön anjawil
marang Ki Arya ririh
metoni iku mantumu
wani deder wicara
datan ulap aningali
wani nglawan lan Raden Demang Ngurawan
13. Yen mengko manusa Jawa
mangsa bisaa cumuwit
aningali Raden Demang
sasat malekat Ngijrail
takona wong negari
Raden Mlayukusumeku
mesem muwus iriban
kula kang kerep kepanggih
tur samuwus pan inggih sami wadana
14. Parandene terataban
tyas kula lamun kepanggih
kadi aningali macan
sanajan neng pancaniti
yen nuju Senen Kemis
aglar punggawa gung-agung
yen langkung kakang emas
rep sirep tan walang sisik
nadyan peksi miwah kekayon sedaya
280
PNRI
bubuhane den parani
pinariksa mring kakangmas Raden Demang
16. Mung sakedhap sarwi liwat
labet maksih gegeteri
tyase maksih terataban
kakangmas Mangkubumi
nggen kula denparani
angandika tutur-tutur
marase dereng ilang
ketege maksih ketawis
sumyar-sumyar angandika pegat-pegat
PNRI
ing kakangemas purtiku
baya pesthi ginanjar
ing derajat angluwihi
mung punika wong Kudus purun anglawan
20. Mangke yen boten deduka
Ketib Anom nyata luwih
wong wani angrangkul macan
wau kang awawan pikir
rame rok silih ukih
dadak dinadak mrih tanduk
manawung ngadu yasa
Mas Ketib Anom tan kokih
sinenggrangan mring Raden Demang Ngurawan
21. Mas Tibanom aturira
angger paduka menawi
anenetah mring kawula
bilih boten mituturi
mring kaji Mutamakim
punika paduka dangu
wonten ngarsa sampeyan
kawula krep andhatengi
apitutur anyegah saruning tingkah
282
PNRI
wus kawiba graning jiwa
tan saged mrih surat malih
ati kedah netepi
Mas Ketib Anom asendhu
lah iku pikir apa
anyenyengit apenyakit
ngendi ana asu ingaran Dulkahar
24. Angger asune satunggal
winastan pun Kamarodin
satunggilipun Dulkahar
gumer kang sami miyarsi
Demang Ngurawan nenggih
ngentrog wentis sarwi ngguguk
Ketib Anom sru mojar
rika uga boten becik
mindhik-mindhik agawe guyon negara
283
PNRI
27. Angger milane kawula
sudama matur Wa Patih
Adipati Danureja
supados tranga pinanggih
angentarna wewatir
pan inggih jenenging ratu
lamun anyingkirana
kang sarwa sunating nabi
kasangsara nirna surasaning sarak
284
PNRI
pakaryane narapati
kadya badan molah pakartining manah
285
PNRI
gawat kaliwat liwat
amungsuh wong Kudus iki
darodosan karinget sarang kasurang
286
PNRI
XII. KINANTHI
6. Satunggal paperepipun
287
PNRI
kalangkung saking amanis
amisrani sanegara
sang nata ngandika aris
payo endi ucapena
Rahaden Demang wotsari
288
PNRI
ingsun metoni Jumuwah
warahen si uwa patih
12. Gaweya panggonaningsun
terancang sajroning mesjid
Jumuwah ngarep sun medal
yen rembug si uwa patih
puniku nujuling kina
kawiting salat mring masjid
289
PNRI
17. Malah tuture maringsun
si Jayaningrat dipati
iku dhalang ngiras wayang
si Ketib Anom ngawaki
kang dadi Wong Agung Menak
murdeng prang surayeng bumi
290(
PNRI
atadhah warn ngawaki
apragola ngadu yasa
kalebu wong sewu siji
291
PNRI
28. Boten kalebet ing catur
dhapuripun ukur urip
awon mathethe kang warna
anyikruk lamun alinggih
pasamuwan ing ngakathah
kadi wong densupatani
292
PNRI
dhapure memper cemuris
pabena ing jawi kadya
Ki Cabolek den jujuwing
293
PNRI
39. Aja na ingkang guguru
ngelmu kak sajro nagari
muruka jabaning rangkah
ing kana ingsun lilani
lamun ana wani nerak
ing parentah ingsun iki
294
PNRI
aja doh enggala prapti
kemita saben Jumuwah
ana ing panepen marni
295
PNRI
50. Saingga Prabu Tamtanus
sri maharajeng Yunani
duk angemban kang pustaka
Wong Agung surayerig bumi
mring ratu Kaos negara
dhawuh ing narpati Jobin
51. Duk tinampan suratipun
pedhange lajeng tinarik
netra gumilir kumentar
mandeng ingkang maos tulis
ing kanan kering kacahak
saking kobeting panglirik
296(
PNRI
Raden Ramadayapati
punggawa putra keh kena
lajeng ngunandikeng galih
297
PNRI
61. Sekala kandhuwanipun
sariranggep narapati
mengkarog asalin warna
tuhu lamun angajrihi
wau ta ing lampahira
dhawuh timbalannya manis
298
PNRI
XIII. DHANDHANGGULA
299
PNRI
meh nora angimanake
marang keratoningsun
sawijine ingkang sesawi
iku wong aneracak
nanging wus sun puhung
gumantung apuraningwang
sami nuwun ature kang para hakim
langkung kalingga murda
5. Nulya ngadeg wahu Ki Dipati
Danureja andonga kabula
gumuruh gumer amine
gantya kyai pangulu
ngadeg donga luwar prihatin
Raden Demang ngandika
heh Tibanom Kudus
sang nata amundhut kojah
saanane mengko wartakna ing mami
sun aturne sang nata
6. Rekyana patih angacarani
angger inggih punapaa dhahar
yen wus telas timbalane
raka paduka prabu
Raden Demang alon nahuri
mangke pan maksih kathah
ingkang dereng dhawuh
kang dhawuh dhateng sampeyan
kinen damel terancang sajroning masjid
sang nata tedhak salat
300
PNRI
anggero denya karuna
lajeng ngadeg andonga sokurollahi
ki pangulu ingatag
8. Miwah para ngulama mbelani
ngadeg sedaya sami andonga
gumer gumuruh gorareh
sagung para tumenggung
pan sedaya sami anglirik
sapolah tingkahira
Mas Tibanom Kudus
nyamping srung langking kesa
apaningset kasa kembang surat wilis
tinutup ing kalengkam
PNRI
Mas Tibanom pangadege
dhasar bagus abesus
nging sembada wasisirespati
kang akeh angelomprah
ngadeg cara indhuk
sawusnya katam andonga
lenggah malih pra ngulama lan apatih
Raden Demang Ngurawan
12. Noleh ngetan ngandikanya aris
heh adimas Malayakusuma
paran dadi garundele
suwe mene sunrungu
ingkang rayi matur wotsari
kangmas boten punapa
gunem awon nganggur
Rahaden Demang Ngurawan
meksa ngukih heh adhimas boten becik
dora ing kadang tuwa
13. Raden Arya Mlayakusumeki
pan gumujeng sarwi matur nembah
inggih kangmas sayektine
Mas Tibanom ing Kudus
ingkang sami kula raosi
pangadegipun beda
duk andonga wau
lan ngulama kathah kathah
nggene ngadeg kadi wong anata baris
arsa ngangsahken yuda
14. Pantesipun dadosa bupati
teka owel adados ngulama
Raden Demang sru gujenge
ngentrog wentis angguguk
matur marang rekyana patih
Uwä pun adhi emas
302
PNRI
Mlayakusumeku
nalare kuwalik sumpah
pengrasane ngulama becik bupati
dados tanpa ukara
303
PNRI
18. Iki silih wong landhep kadyangin
yen mungguha dadia wowohan
wong agung kawongan duren
medeni lahiripun
sarirane kabeh dadya ri
yen bener nggone mecah
ing jerone mumud
alegi lamun pinangan
nora watir kang mangan kena ing eri
lemes lunyu kewala
304
PNRI
kang akelar kang aja laif
pangangkate Jumuwah
timbalan sang prabu
ing Tanah Pajang kewala
milihana ngulama kang becik becik
antuka kawandasa
22. Dene Kedhu Pagelen Mentawis
aja milih ngulama kang bisa
uwa patih saantuke
mung sagede pinuwung
nadyan inggih mung ukur urip
yen saged lafal makna
nuntena pinundhut
milane ing Tanah Pajang
pinilihan kang caket lawan negari
ing karsa sri narendra
23. Saben Jumuwah kemit agilir
ing panepen sajroning kedhatyan
pinanggihan ing karsane
samya ngresakken ngelmu
munggeng ngarsanira narpati
Dipati Danureja
sandika jumurung
lan malih uwa parentah
Ki Cebolek uwa pinundhut amiji
ginadhuhken kawula
24. Sampun telas inggih uwa patih
nulya Adipati Danureja
angejepi ing jurune
dyan papundhutan rawuh
kalih atus ambeng kang prapti
tan wonten kang bineda
ing pangrampadipun
angijeni pra dipatya
305
PNRI
pra ngulama cinara ambeng bupati
Dipati Jayaningrat
25. Angejepi punakawan aglis
angubengken acar kikiriman
saking ing pamondhokane
lan wonten sisanipun
kang lorodan saking jro puri
saben pukul sedasa
nenggih praptanipun
marang Kajayaningratan
kadhang pukul sawelas denira prapti
sadhahare sang nata
26. Sapitan pitik wulu kemiri
lawan gepukan dhendheng menjangan
kang saking Rawa asale
dhaharipun sang prabu
wonten kàntun sisane ratri
binekta sareng acar
Raden Demang dulu
mesem denira ngandika
sapitane ing ngriki paman dipati
puniku kula sukak
27. Mesem ature sang adipati
sumangga angger kantun punika
Arya Mlayakusumane
andulu sigra matur
kangmas paran ingkang wewadi
dene esem-eseman
iwak kang pinundhut
lawan paman Adipatya
Jayaningrat kangmas kula adhudhumpil
nuwun kucah sampeyan
28. Lawan dereng uninga ing wangsit
ulam punapa dene agawat
306
PNRI
mawi kejep pamundhute
Raden Demang gumuyu
kaya kucing adhimas iki
tan kena tinungkulna
sapinten puniku
wau ratri saking pura
pan lorodan paringane man dipati
norantek iku baya
29. Nanging dhimas kula boten pangling
sawab kula wau bengi dhimas
gandhek ingkang nglampahake
sapitane puniku
kang marahi kula tan pangling
heh paman Adipatya
Jayaningrat iku
saben praptaning lorodan
tidhak habis sinantap sama sekali
sang dipati turira
30. Inggih angger paringan kang enjing
boten telas ulame kewala
ingkang kula ngengehake
pan kangge sontenipun
ingkang sonten pan kangge enjing
Raden Mlayakusuma
amarani gupuh
marang nggene Raden Demang
nora nganti panakawan kang ngladeni
tinampenan piyambak
31. Sarwi angling denira nampani
iki dadine kang tapak asta
saking pura pinangkane
Raden Demang amuwus
ya mulane wong anom adhi
sok mbodhokaken aja
307
PNRI
marang kadang sepuh
ararne kang dhedhaharan
ki dipati lakune cara pasisir
sajroning dhedhaharan
32. Ulam prapta asalin sumalin
anget-anget tan atumpa-tumpa
kang adhahar sedayane
abangun bangun sekul
wus adangu tuwuk pra sami
linorod kang ambengan
kadya amemantu
Adipati Danureja
urmatira mring wong agung ngulameki
tuwin wadya sri nata
308
PNRI
XIV. SINOM
309
PNRI
wong salah ing ngelmu kokum
Mas Tibanom aturnya
pamirsa kawula alit
inggih wonten angger sami anyapisan
310(
PNRI
gujenge dene amawi
nyebut Nyai Centhini
carang adhapur puniku
satengah ana ngucap
Ketib Anom nyata luwih
ting barendhil denya asimpen carita
9. Bangun sukaning wardaya
wong agung kang sami linggih
Rahaden Demang Ngurawan
gumujeng anolih-nolih
kang tinolih nyakikik
Arya Mlayakusumeku
samya suka miyarsa
Ketib Anom solahneki
kadya manggung carita ringgit jabelan
10. Netrane nelaga muncar
sarwi larnbene kumitir
sembada apari minta
puspanom gumanda riris
sumedhep anyedhepi
kadya Seh Ngabdulah Ibnu
Mubarak ahlikojah
kocap jro Kitab Nawawi
lagya yuswa selawe tatú kang jaja
11. Mas Tibanom aturira
sunan kang sumare Tegil
Mangkurat Mangkubuwana
dereng wonten kang nglampahi
mung kaji Mutamakim
angger ajeng sisinau
gumer ingkang miyarsa
sedaya sami ningali
Ki Cebolek ingkang pinandeng ing kathah
311
PNRI
12. Mas Tibanom aturira
Pangeran Panggung ing nguni
mila kokum aneng Demak
serak dipun orak-arik
Sultan Demak njenengi
miyos aneng alun-alun
lan sagung pra dipatya
para wali para mukmin
kadya gunung kayu duk kalawan lenga
13. Amubal ingkang dahana
kadya angayuh wiyati
Pangran Panggung duk ingatag
kinen manjinga jro geni
mecat canela kalih
binuwang ing geni murub
kirike cinethetan
pun Iman kalawan Tokhid
kalih pisan kirike manjing dahana
14. Buburon neng jro pawaka
kikirik pun Iman Tokhid
ngalor ngidul katingalan
guguyon sajroning geni
wulunira tan gigrik
kalis ing pawaka murub
wus dangu siningsotan
kirik medal saking geni
samya nyakot ing canela siji sowang
312
PNRI
ki jebeng sampun kuwatir
nggih manira dhewe manjinga pawaka
16. Pangeran Panggung seksana
anyangking daluwang mangsi
denira manjing dahana
prapteng jro lajeng alinggih
pan sarwi anunulis
neng jroning dahana murub
kadi wonten tigang jam
sirepe kang ponang api
pangganggite suluk apan sampun dadya
313
PNRI
kang dadi tibaning guyu
angger nyana siyosa
khukume ki Mutamakim
sokur wände apan ratu kuwajiban
20. Amarasaken wong edan
amulyakaken wong agring
nulya wonten gandhek prapta
Gadhingan Darmasuteki
mbekta tadhahan kalih
Raden Demang jujugipun
dhawuhing kang timbalan
raka paduka ang aji
satadhahan Ktib Anom pinaringan
PNRI
datan angundha usuki
lawan paringaneki
mas Ketib Anom ing Kudus
boten untap-untapan
yen pangkata kaping katri
dhinawuhan kang sami tampi paringan
24. kalih sami maring ngarsa
Raden Demang ngandikaris
salamet paring narendra
anuwun langkung kapundhi
parigel anampani
laku dhodhok unduripun
astanira kang kanan
ginawe anampak jobin
ingkang kiwa kadamel nangga tadhahan
315
PNRI
27. Katut malih pra dipatya
ana kongsi merbes mili
Raden Melayakusuma
nyakikik ametek galih
man kaji Mutamakim
bok sampun melu ing payu
upama Baladewa
cemuris melu kikinthil
karoncalan ing tindak ñora kecandhak
316
PNRI
XV. GAMBUH
Wadyanira kumerug
ingkang basahan wong kalihatus
satus punakawane ingkang njajari
angebeki kang lulurung
tan kena nambah liyan wong
PNRI
7. Mas Tib Anom ing Kudus
ngandikan mring Kademangan dalu
Mas Tib Anom nggawa Layang Dewaruci
nging dereng saha praptanipun
kaselak kelangan babon.
8. Praptaning pukul wolu
baju pranakan putih akuluk
cara Jawi langkungan rasukaneki
paringane sang aprabu
salmur wungu tur kinaot.
9. mberanyak yen dinulu
Rahaden Demang pribadi methuk
pelataran kinanthi astanireki
sarwi gumujeng angguguk
Mas Kudus salin nggonanggon.
10. Heh dika Paman Kudus
lamun dika yen dadiya nganggur
sayektine inggih pinundhut mariki
amomonga sang aprabu
ing gunem dadya pepathok.
11. Binekta ngiwa sampun
prapteng panepen pinanggih lungguh
dherakalan Kyai Kaji Mutamakim
wruh Raden Demang kang rawuh
kelawan Mas Ketib Anom.
PNRI
kula ambekta pukulun
ing ngriki sami winaos.
14. Raden Demang anjumbul
punapa paman saged puniku
maca Jawa dene nggawa Bimasuci
Mas Ketib Anom umatur
ukur ukur boten butoh.
15. Den Demang ngandika rum
pundi layange kula yun weruh
ingaturken Raden Demang anarnpani
dupi winiyak angungun
Rahaden Demang atakon.
319
PNRI
XVI DHANDHANGGULA
PNRI
lawan seje kawitane
Mas Ketib Anom matur
angger kala jinujug inggih
Bima nggebyur samodra
dyan winaos gupuh
punika kang rinemenan
ing pun Kaki Kaji Amad Mutamakim
nanging karud ing murad.
5. Ki Ceboiek kinen mardikani
mopo datan saged wus kungkulan
ing darajat prabawane
Mas Ketib Anom matur
sampun keyok pun Mutamakim
menawi dereng telas
angger gendhingipun
aprang catur lan kawula
kulantosi wangsula mring Arab malih
amerauwa kitab.
6. Punapa malih raosing Kawi
Bimasuci kalawan Wiwaha
kang sarnya keh sasmitane
ngemper raosing ngelmu
yen patitis kang narbukani
kadyangger Kawi Rama
punika tasawup
Ki Cebolek medhatiya
Layang Kawi kerigen ing Tanah Jawi
kulantos pirang dina.
7. Kula angger boten nekaburi
sejatine ambebujeng setan
pun Mutamakim lupute
setan ingkang andhadhung
anggegebang kang ngelmi dakik
lembut lembuting setan
321
PNRI
pun kaki puniku
dereng kathah maca kitab
mila gampil angger tinarik ing eblis
angangge cacah cucah.
322
PNRI
11. Arigger ngelmune punika becik
langaripun saking kirang wadhah
tipis gerobog pethine
nulya tadhahan rawuh
amisalin kulambi nyamping
lan kuluk kanigara
sarwi ngandika rum
Paman dika salin kopyah
kanigara eman baguse sayekti
angangge kopyah Jawa.
323
PNRI
samodrane alase sami
tan sesak lumebua
ingjro garbaningsun
Wrekudara duk miyarsa
esmu ajrih kumel sandika turneki
mengleng sang Rucidewa.
324
PNRI
eca tyase dene sang Wiku kaeksi
aneng jagad walikan.
325
PNRI
pamurunge laku dene
kang bisa pisah iku
yekti bisa amor ing gaib
yeku mungsuhing tapa
ati kang tetelu
ireng abang kuning samya
ambuntoni cipta karsa kang lestari
pamoring suksma mulya.
326
PNRI
binajur jinurung
ingkang putih iku nyata
ati anteng mung suci tan ika iki
prawira karahaijan.
327
PNRI
28. Dewa Suksmaruci angling aris
iya iku sejatining tunggal
saliring warna tegese
iya na ing sireku
tuwin iya isining bumi
ginambar angganira
lawan jagad agung
jagad cilik tan prabeda
purwa ana lor wetan kidul puniki
kulon luhur lan ngandhap.
29. Mirah ireng abang kuning putih
iya iku uriping buwana
jagad cilik jagad gedhe
pan padha isenipun
tinimbangken isining bumi
yen ilang warnaning kang
jagad kabeh iku
saliring warna tan ana
kinumpulken ana rupa kang sawiji
tan kakung tan wanudya.
328
PNRI
tanpa rupa datanpa warni
tan gatra tan satmata
iya tanpa dunung
mung dumunung mring kang awas
mung sasmita ananging jagad mepeki
dinumuk datan ana.
Dene iku kang sira tingali
kang asawang puputran mutyara
nguwung kumilat cahyane
angkara-kara murub
pan pramana arane iki
uripe kang sarira
pramana puniku
tunggal dumunung ing raga
nanging datan melu suka lan prihatin
enggone aneng raga.
PNRI
XVII ASMARADANA
1. Asmaradana gumanti
badan nglumpruk yen tininggal
raganira banjur bosok
ya iku ingkang kuwasa
anandhang rasaning dat
ingaken rasa satuhu
dening Hyang Kang Murbeng Jagad.
2. Inguripan de Hyang Widi
sinandhangken aneng sira
iku mangka waranane
maring kang miseseng karsa
suksmane kang sarira
mertandhani ing satuhu
jinaten tunggal pinangka.
330
PNRI
mupangat badan kawula
datan sedya amangan
lan boten sumeja turu
tan ngrasa ngelih karipan.
PNRI
XVIII. PANGKUR
1. Pinangkur sang Wrekudara
aturira mring Dewa Suksmaruci
kawula tan ajrih lampus
lah Tuwan pejahana
wonten ngriki kawula asanget lumuh
angantuki kamanusan
sampun eca aneng ngriki.
2. Sangsaya birainira
Wrekudara pengkuh kudu nglabuhi
Dewaruci wlas angrungu
sambate Wrekudara
heh ta sira Wrekudara aja lumuh
pan sira durung kinarsan
tangeh ing patinireki.
332
PNRI
tur sikara marang ing badanireku
ñora misra wuwuh papa
lah iku den ngati-ati.
6. Tinangkebaken saksana
Mas Tib Anom kendel pamaosneki
sarwi alón denya matur
angger kula sumangga
bilih wonten ing padikan liyanipun
pundi ingkang ingugeman
mring pun Kaji Mutamakim.
333
PNRI
andika pan padha jambur
bujangganing nagara
dika pikir Dewaruci pacuhipun
sesengkaraning buwana
lah punika kadipundi.
11. Katiga sareng saurnya
mangsa borong putrandika jeng gusti
katiga pan muridipun
dhateng putra andika
Mas Tib Anom amuwus sarwi gumuyu
nggih kangjeng angger punapa
ngriki kang pra tameng kawi.
12. Rahadyan Demang Urawan
sarwi mesem wau dennya nauri
Paman saweg sisinau
sami tuntun-tuntunan
inggih amung tiyang titiga puniku
kadhang kadhing tyang sekawan
lan Kakangmas Mangkubumi.
334
PNRI
15. Dika tetepaken sapa
Dewaruci daweg dika wastani
punapa Bathara Guru
utawa yen sanesa
dene mangke katemu murad kang luput
lawan ingkang kaleresan
ki aksara kang nengahi.
16. Kyai Jaraga lingira
ing pangraos kula ta sinten malih
kajawi Bathara Guru
Mas Tib Anom lingira
dalanane katemua beneripun
katemu layang punapa
Bathara Guru nuruni.
335
PNRI
punika menggah kawula
sang Bathara Utipati.
20. Bathara Suksma Kawekas
Sanghyang Wenang dene sang Dewaruci
iwak kewala puniku
wader utawa urang
isenipun salebeting samudra gung
dinadak ingkang kinarya
warana dennya manggihi.
21. Kinarya rupa manusa
mung saemprit cilik amenthik-menthik
dene sang Wrekudareku
linimput ing nugraha
mila sirna ing cipta kadonyanipun
mirsa nikmat lan mupangat
upamane para wali.
22. Mila samya mengeng dunya
kawimbuhan dene kalimput ing sih
suwawi angger pukulun
punapa sampun eca
pan makaten kang abdi ing muradipun
gling Raden Demang Urawan
Paman sampung pindho kardi.
23. Manira tumut kewala
lah ing kono Jaraga Salwarini
apa melu kaya ingsun
kalih matur tur sembah
nuwun inggih andherek langkung panuju
Mas Tib Anom malih mojar
pepacuhe Dewaruci.
24. Kang sinengker ing buwana
mungguh iku aja sira gegampil
lamun nggegampang sireku
336
PNRI
anemu siya-siya
asikara marang ing badanireku
ñora misra pageneya
wus antuk reh kang sayekti.
25. nDadak anrak ati rusak
lah ta ndaweg ngriku sami binudi
katiga sareng turipun
nuwun barkah sumangga
Raden Demang Urawan nambungi arum
Paman ndaweg banjurena
murad kang sampun patitis.
26. Pan punika kabar munlar
pamuwuse inggih pun Dewaruci
bargaswara tegesipun
inggih kabar carita
kang sinimpen wau sajroning pepacuh
lamun si ñora werita
apan Sanghyang Utipati.
337
PNRI
aku wis wruh nggone Hyang Utipati
nggih punapa damelipun
ngadegaken kalipah
Sanghyang Guru akalipah ratu-ratu
yekti mangsa jumenenga
kabeh ratu sor wiyati.
338
PNRI
34. Awarana Batharendra
apan iku kang agung denlur ugi
marang ratu kang marusul
Maharaja Bomantara
nadyan isih satriya wani anglnrug
putra Ngalengkadiraja
Indrajit met widadari.
35. Ingkang wus datanpa warna
Sanghyang Wenang Bathara Uiipati
punika sayektinipun
kang mangka Hyang Wisesa
Raden Demang Urawan ngandika arum
wus tan ana kaluputan
pradika lempeng pratitis.
XIX. MIJIL
1. Ing pamijil dennya matur aris
Ki Mas Ketib Anom
punapa ngger nggih linajengake
pamejange Dewa Suksmaruci
Den Demang nauri
daweg Paman laju.
2. Yen weruha Kaki Mutamakim
sarune kelakon
pesthi dhingin ingsun ukum dhewe
aneng daleme si Uwa Patih
durung sun arteni
kaluputanipun.
339
PNRI
4. Raden Demang mesem ngandika ris
ndaweg Mas Tib Anom
banjurena Paman pamejange
Dewaruci mring Wrekudareki
Mas Tib Anom aglis
anambungi laku.
5. Prawiralalita kang ginendhing
swara rum gumolong
sarwi kumitir epek drijine
ingkang kiwa nitir nitir wentis
dinulu respati
meda wuwuh patut.
340
PNRI
dadi lawaning karsa sayekti
apan tanpa lathi
pangandikanipun.
341
PNRI
15. Yen wus awas pareng amarengi
respatining pamor
kang sinedya ana sayektine
iya sira ingkang meranani
salir warna warni
wus aneng sireku.
16. Kadya dhalang molahaken ringgit
mangkono Hyang Manon
panggung jagad manusa wayange
molah lamun pinolah rageki
satingkahira lir
tumindaka muhung.
342
PNRI
esuk kula amatur sang aji
reñning sami mikir
neng ngriki sabedhug.
343
PNRI
26. Angandika alón sri bupati
agoleka babon
ingkang tutug sapa ingkang duwe
Raden Demang Urawan wotsari
langkung angulati
nanging dereng antuk.
XX. SINOM
1. Sri Nata Seda Karapyak
prandene boten nyimpeni
amung Rama Bratayuda
tan asimpen Bimasuci
awis kang remen sami
Bimasuci sepenipun
Pangeran Herucakra
boten darbe Bimasuci
mung rasane dumeh tan amawi aprang.
2. Sami kawi kawi jarwa
inggih Serat Bimasuci
amung raose kewala
muradane pan awingit
ngandika sri bupati
ya Bapang yen wus katemu
rukune kang rerasan
nuli tulisana aglis
lamun tepung rasane kelawan Kitab.
3. Sun nuli arsa uninga
yen durung Bapang aja wis
344
PNRI
nggonira akukumpulan
saingga wus angruntuti
wjji-wijinen sami
pra ngulama pra tumenggung
miwah para wedana
kang tuwa tuwa tinari
pethilana Pasisir Mancanegara.
4. Nadyan sanak-sanakira
ingkang prayoga tinari
lan pra dipati kang tuwa
denrempug panggawe iki
ngulamane kang becik
kang rempeg sarta denrembug
aja na telanjukan
krana ing panggawe iki
lu will gedhe wong ambeneraken tekad.
5. Kariya nguntal kewala
aja kalelegen ing ri
ing besuk panguntalingwang
sun karsakaken tumuli
Raden Demang wotsari
inggih sandika pukulun
abdidalem wedana
ing ngriki amung pun Kaki
Wiraguna inggih sawab saking tuwa.
6. Nadyan inggih sami tuwa
abdidalem pun Dipati
Citrasoma tuwa laha
yen menggahraosing ngelmi
inggih dereng ngudhoni
katunggukul nggenipun minggu
lir tugu sinukarta
ingkang asring angudhoni
abdidalem Adipati Jayaningrat.
345
PNRI
7. Asring angandheg kang rikat
angrikataken kang rindhik
yen sampun adu ajengan
kang rebut ing raos nuli
lamun amungkur gangsir
lajeng api-api ngantuk
mangke yen sampun kemba
kang rebat raosing ngelmi
tangi saking pangantuke ngobrak-abrak.
8. Lan nedha sampun akemba
kang rebat raosing ngelmi
wong arebat ngelmu rasa
den akas den wani mati
mbok padha ting pacicil
tiruwa Tib Anom Kudus
anggagrag tur apanggah
sira iku Mutamakim
pijer kaya pitik pileren kewala.
9. Tanglet malih kang bicara
piyambake ngantuk malih
gumujeng sri naranata
pangantuke iku wadi
dudu ngantuk sayekti
anginjen lakuna padu
yen padu marengana
rerasan iku kumlenis
nuli senteg cinathet sinimpen manah.
346
PNRI
ingkang dadi wakil marni
yen ta pijer ngantuk maning ingsun dhendha.
PNRI
paduka pahemanipun
Sangkrib tur sembah mentar
kidul wetan tan atebih
Mangkubumen kalawan ing Kademangan.
348
PNRI
punapa dika panggih
lan abdine ingkangkantun
Sangkrib alon turira
ngajeng wingking sami mamring
dangu nyureng sira Mas Gandakusuma.
19. Dinangua ing bendara
atur dika kadi pundi
kaya wong binuru bajag
jamak wong lumaku kardi
ngarah dadi priyayi
bendara wong agung punjul
lugid prawira tama
ing praja tur pramugari
mangsa naa loro praja Kartasura.
349
PNRI
nulya Kyai Puspajaya
pepatili wruh amanggihi
marang wismaning carik
Mas Gandakusuma pangguh
anak bilih dinuta
lampah andika puniki
ing bendara Rahaden Demang Urawan.
23. Angling Mas Gandakusuma
pan inggih ingutus ugi
badhe ngaturi kang raka
yen wontena mangke bengi
Kyai Puspajaya ngling
inggih sampun tigang dalu
boten ambekta rencang
mung punakawan kekalih
ragi wonten kasusahane bendara.
350
PNRI
26. lepene inten punika
nama pun Pepe satunggil
pun Telawong kang satunggal
pun Pepe kang ageng kedhik
pun Telawong kang alit
yen kala Jumuwah dalu
lepen inten punika
cinemplungaken ing nginggil
rong onjotan ginogohan saking ngandhap.
XXI. ASMARADANA
PNRI
angebeki sawah sajung
menthek sami ambebegal.
6. Amurugi briga-brigi
sarwi ngagar arit gobang
352
PNRI
lajeng anyandhak sirahe
bendara kendel kewala
anutuh ingsarira
wong ala nuruti nepsu
iya mara patenana.
353
PNRI
kendhel wonten dhusun Gobang
angantos bedhug dalune
pun Wiragati tan kena
cinegah angaterna
niyate wangsul ing Jabung
marengi pukul satunggal.
354
PNRI
16. Mareneya Wiragati
anaaing wuriningwang
nunggala si Genthong Badong.
bendara duka kalintang
krurambeg sura rnangsah
sigra cawet nyampingipun
nempuh nganan ngering nyandhak.
XXII. DURMA
PNRI
kinarubut ing raseksi
yutan awendran
tan kewran ing ngajurit.
3. Mengsah ewon datan antuk amareka
ing Pangran Mangkubumi
wonten malih prapta
mangsah angrubut ing prang
pyak manepak mangideri
angrok puteran
manempuh manampeki.
4. Siyat-siyut sumiyut kadi sesawat
sebit ingkang sinambit
kongseb tan sesambat
aneseg kang prapta nyar
prapta kang ageng pribadi
sami kelawan
rare mur kawan warsi.
5. Nempuh ngarsa pangeran sigra amatak
atine Surat Namli
sayahira sirna
kuwat semangkin takat
kang sampun cinekel dhingin
binuwang tebah
kang keri nempuh wani.
6. Bubar ingkang anempuh ngering liweran
sami anganan ngering
anebih kewala
prayitna Jeng Pangeran
belis lanat anggelari
pangran tan obah
ngilen ajengireki.
7. Kidul wetan neng ngiringane pangeran
eca denira nglirik
tapak wewayangan
356
PNRI
tapak wewayangan
tan wonten napak lemah
Jeng Pangeran sangsayeling
atine surat
ing Kuran denwateki.
8. Antuk ling Jeng Pangeran deny a matak
Eklas lan Surat Yasin
atine kewala
lawan Surat Jumara
Surat Saba Surat Namli
nulya kapyarsa
bangbeng kang saking kering.
PNRI
12. Gegamane sawiji datanpa karya
ana ula cinangking
ana kangsasawatan
dawane mung sahasta
kabeh tan ana nglabeti
marang pangeran
sadhepa doJiireki.
13. Kang neng dharat kumresek sawah
pan nora denpreduli
tan wani pareka
nggigila kering kanan
amung kang bangbeng ing nginggil
ingkang cinipta
pinaryitnaning jurit.
14. Ananggiling apati Kangjeng Pangeran
kadya antuk kaeksi
kang bangbeng punika
ngaler ngidul tan kendhat
saking ngandhap iberneki
amripit sirah
ingkang ageng pribadi.
358
PNRI
sabaturira
kabeh kaya bebayi
XXXIII. ASMARADANA
1. Asmaradana mangsuli
kang tinanya aturira
kawula ratuning menthek
ulun wus kasoran ing prang
inggih sedya suwita
ing paduka sang abagus
sakarsa datan suminggah.
2. Pangeran ngandika ans
Iah ta iya gawe apa
ngingu setan kaya kowe
sok angrusak wong sesawah
sira regeding jagad
ratune menthek umatur
gusti kula dede setan.
3. Pan inggih ing nguni-uni
dhedhemit setan punika
lan lelembut sedayane
awit saking setan uga
nanging sampun katrima
pun ejin pamisahipun
milane wonten jin Islam.
PNRI
maring wong sesawah kabeh
ratuning menthek turira
anuwun perjanjian
lamun pareng mangsanipun
yen kathah wong doseng Suksma.
360
PNRI
10. Tan pegat ing siyang ratri
wadyamba rumekseng Tuwan
satunggal kalih tan towong
Ki Wiragati ginugah
ratu menthek tur sembah
linilan sabalanipun
mulih mring kayanganira.
11. Telasira Wiragati
dhateng gusti binisikan
den werit panggawe kiye
aja sira awawarta
heh Wiragati poma
ratu menthek iku mau
wus kalah prang lawan ingwang.
12. Lamun sira asesabin
wis aja sira sumelang
ñora kena ama menthek
nulya kinen umantuka
ing wanci bangbang wetan
pinaring reyal sapuluh
sangune dennya tirakat.
361
PNRI
yen suweng wau kang raka.
15. Iriggih sampun tigang ratri
regole mineb kewala
Raden Demang langkung kaget
sami kadang naking sanak
kalangkung rukunira
Raden Demang asru muwus
kambilana si Kebobang.
362
PNRI
pejahira kang rama
gumantya suta panggulu
kang jumeneng Gandakara.
363
PNRI
Raden Demang mesem taken
sampeyan mentas karuna
Ibu awit punapa
karig mangka hardeng pamuwun
inggih punapa kakangmas.
364
PNRI
29. Sakenjing wonten ing ngriki
nggih pun Paman Gandakara
teka tan kenging tinaros
mila kaku manaii kula
angger panangis kula
anunten sampeyan rawuh
gumujeng Rahaden Demang.
PNRI
para ipene kakangmas.
34. Kabeh ginawe bupati
tur padha ingela-ela
kagawa dening ipene
Raden Sudarma Sewaka
miwah Raden Saputra
padha trah prajurit punjul
dinagingken mring kakangmas.
XXIV. DHANDHANGGULA
1. Apa tan wruh marang madu gendhis
Paman Gandakara wong badhigal
ing ratu tan wruh semune
dados kawula Ibu
cula culu miyak wawadi
si Paman Gandakara
tuwa tuwa gabug
kaping kalih kakang emas
padha-padha sentana alus kang budi
berbudi wicaksana.
2. Andhap asor wani angarani
wus bituwah taliti Mataram
lamun alus pambekane
yekti badhe pinunjul
inggih Ibu mangke yen prapti
sampeyan angandika
wawartiya Ibu
yen kawula ingkang sagah
pun Kapundhung kula pundhut benjing enjing
saking mantri panekar.
3. Sampun Ibu inggih kawulamit
tedhak Rahaden Demang Urawan
kang ibu angeterake
jawining regolipun
366
PNRI
Raden Demang nitih turanggi
kabeh wong kalimunan
praptane lulurung
wus adat saben mangkana
apa dene Jeng Pangeran Mangkubumi
yen marang Kademangan.
4. Padha tinggal upacaraneki
setun anggawa katelu bocah
wuwusen wau lampahe
praptaning dalamipun
Raden Demang sigra anuding
heh Panggung kumakua
mring Tib Anom Kudus
mengko bengi wurungena
aja mrene embene bengi den pesthi
iya malern Jumuwah.
6. Suranatane Ki Nurkusasi
Nurkusasi sira lumakua
marang Pakauman age
besuk Jumuwah dalu
Kaki Winong konen mariki
Ki Nurkusasi nembah
lampahe duta sru
prapta dhingin kang caraka
367
PNRI
pun Mintragna lan Cocot Robat Rabit
pakuwon Janingratan.
368
PNRI
sira Cocot Robat Rabet
endi kemirinipun
pan bendara sanggup maringi
duta matur anembah
kula tan ingutus
amaringaken dherekan
pan ingutus sampeyan dipunaturi
benjing dalu Jumuwah.
11. Iya aku Cocot Rontang Ranting
tinimbalan maring ing bendara
iya pa Jumuwah emben
apa Jumuwah sesuk
sigra matur emben puniki
sang dipati ngandika
matura gustimu
menawa supe sampeyan
sampun sagah badhe maringi kemiri
mring pun paman dipatya.
369
PNRI
wau duk kapangguh
kaliwon gedhong sedaya
Ardiguna pun Sumrap Ni Nalagati
sakenjing wonten ngrika.
370
PNRI
17. Wus sadaya kang dinuta prapti
kabeh sandika kang tinimbalan
kuneng diwangseng suryane
datan kawarneng dalu
anjing nuju ing dinten Kemis
aglar ing panangkilan
punggawa supenuh
Adipati Danureja
Raden Demang Urawan wus seba enjing
ing srimanganti prapta.
18. Lurah kabayan kang dentimbali
prapta Raden Demang angandika
heh kowe metua age
mring panangkilan agung
dhawuhena ing uwa patih
ingsun amundhut sawah
satus si Kapundhung
Kapundhunge Gandakara
padha mengko mariya dadi panumping
yeku bakal sunkarya.
371
PNRI
tuksandika Raden Dipati
katur sami sakala
nenggiñ wong Kapundhung
kang dadi gamel kapedhak
bekel Kawiduran sampun dentampani
marang Ki Adipatya
372
PNRI
aturene ing Pangeran Mangkubumi
amomong ing bendara.
24. Mengko paran nggonira nututi
Gandakara wus sinamber gelap
pira bara mengko bae
yen bendara wus kondur
aranana pendhemireki
ya selawe kewala
lioronana iku
mengko ingsun kang kongkonan
yen wus prapta iya ing daleme nuli
Raden Demang Urawan.
25. Angandika wau Ki Dipati
sira bae Serandhil sunduta
tut wurinen sakondure
ing marga aja matur
ya si Gandakara sireki
melua atunggua
iya regolipun
ing bendara Raden Demang
dimen welas wusnya mangkana praptari
pukul satengah rolas.
XXV. SINOM
1. Sinom ingkang winursita
Pangeran Amangkubumi
kadi ta sareng ing lampah
rianging ta genti winarni
kala praptanireki
ing Segaran wanci surup
ingkang methuk turangga
Ki Patih Puspajayeki
carik tumut Kyai Andón Martayasa.
2. Peranakan tigang dasa
PNRI
tumut amethuk ing gusti
ing dalune Kemis pisan
wus panggih kalawan gusti
kendel sami alinggih
ing sangandhape gurda gung
p angeran angandika
padha selamet ing wuri
nembah matur sira Patih Puspajaya.
3. Inggih angger wilujengan
rayi sampeyan duk wingi
Rahaden Demang Urawan
prapta badile apepanggih
lawan paduka sepi
ragi gatos semunipun
lampahe tanpa wadya
amung gamele kekalih
lawan lurah pranakan Gandakusuma.
4. Inggih ibu jengandika
angger ingkang amanggihi
adangu wonten pendhapa
winginipun dalu gusti
ing Jagabayan sami
kagegeran milanipun
sedalu abusekan
raka paduka kang mawi
Pangran Danupaya ngresahi wong nanggap.
5. Taledhek saweg anembang
anglabeti saking jawi
taledhek lajeng binekta
gumeder sami nututi
tan wonten kang udani
yen raka paduka namur
Pangeran. Danupaya
kang nututi dipunbedhil
374
PNRI
samya wangsul uninga lamun pangeran.
6. Alón denira ngandika
Jeng Pangeran Mangkubumi
iku kangmas Danupaya
destun ora idhep isin
angrusuhi wong cilik
tanpa ngrasa dudu laku
jamak angenakena
atine wong cilik-cilik
asikara teka gawe kasusahan.
375
PNRI
nanging ingkang lelegan
winasesa dennya ngambil
mung Pangeran Mangkubumi lamun arsa.
376
PNRI
nedya ambuwang lari
aja nglepeti sadulur
wani ambuwang jiwa
durung luput maling estri
mung sapisan kauningan sampun tebah.
14. Tinututan Cina kathah
rame aprang pinggir kali
karainan kamanungsan
dipunetut denbedhili
tan keguh tan gumingsir
estrine narik lumayu
pangeran ginendholan
bapakane kang nututi
tunutan amemet malebet desa.
377
PNRI
nulya bekel kang kanggonan
parapat kang baris jawi
pra sami denjawili
yen maling ingkang binuru
pan ora maling brana
Jeng Pangeran Mangkubumi
maling wadon anake Ciña wus kena.
18. Parapat barise bubar
Cinane tansah nututi
pagenea padha bubar
nauri apa pinikir
malinge maling sekti
ñora wani angarubut
iya pinadu apa
ceceblungmu jer wus kinthil
kowe wani padunen maring negara.
378
PNRI
21. Pan lajeng pinacak garwa
sinami garwane putri
Madiyun suteng pangeran
Raden Ayu Manikwati
nelangsa ing Hyang Widi
kacandhet apan wus ngelmu
wau ing lampahira
maksih neng ngandhaping wringin
mong-omongan lan abdi Tambaksegaran.
379
PNRI
nging angger kawula turi
kantun sepuh manawi kapareng tiwas.
25. Kadang tuwa elet gangsal
saingga elet satunggil
kenging ugi sinawawa
pangeran ngandika aris
leta sepuluh wani
setan katon iya iku
ngendi ana pangeran
sok nonton omah wong cilik
gendhung bar angrusuhi jaman karta.
26. Teka nora duwe wirang
adhine kang dadya aji
dheweke pijer ngalenthar
dudu patrape wong becik
saingga awak marni
adhine kang dadi ratu
lan durung duwe anak
tegese lara ing batin
pan dheweke ceceblunge wus gumrayah.
27. Kang jamak dadi wong tuwa
gawea pitutur becik
marang ingkang dadi raja
mundur teka angrubedi
Puspajaya wotsari
pinten abdi ingkang tumut
iya papat kewala
punakawan roro uwis
wong tuwane mung si Andon Martayasa.
380
PNRI
lurah peranakanipun
lampahira wus prapta
ing enggone gangsa muni
wismanira paneket Sutamenggala.
381
PNRI
aneng sakilen pendhapi
kukudhung cindhe abrit
abdine wonten sapuluh
iya Jayakatrangan
yen kangmas mengko ngleboni
aja taha pan iku pangeran ala.
XXVI. PANGKUR
382
PNRI
apan sagung wau kang wong ningali
yen Pangran Danupayeku
cipta ronggenge ilang
mangsa wurung ronggenge binekta kondur
anyuwani wong akathah
iki pangeran weweri.
383
PNRI
7. Katri lan kang dadi sawat
dyan malumpat Pangeran Mangkubumi
tumanduk mambek sru nempuh
asta kiwa anyandhak
ing dhuwunge kang raka sampun karebut
suku kanan sarwi njejak
ing raka jengkunireki.
8. Sigra Mas Jayakatrangan
anglumpati damar kang denpateni
jaba alok amuk-amuk
gegere abusekan
Pangran Mangkubumi anjejak ping telu
ing jejengkune kang raka
astane tinarik-tarik.
PNRI
gunging wong ingkang umijil.
385
PNRI
ingsun awas duk malumpate malebu
pan Raden Demang Urawan
dhampak gagah sarireki.
386
PNRI
kang ladak kang bagus bagus
sajroning Kartasura
kari siji panji anake Metahun
kelalen kari siji kas
iya Pangran Mangkubumi.
22. Madiyun Raden Sudarma
kang wus nama Pangran Martalayeki
iku ladak dhasar bagus
iya wis entek pisan
nora nana maneh yen dudua iku
lah wis aja rinasanan
mangkana wus sareh sami.
23. Jeng Pangeran Danupaya
mundhut parem sarira denparemi
kondure amundhut tandhu
getun kang darbe wisma
ana bisik-bisik wau kang andulu
wonten Mas Jayakatrangan
neng ngriku cacawet gilig.
24. ngGih lulurah peranakan
Mangkubumen polahe dene wadi
wonten sinembah ing ngriku
aneng wetan pendhapa
denwedela kula wau boten pandung
lamun Mas Jayakatrangan
kang dentuturi anjawil.
25. Wis sinirep iku uga
dudu ujar sira kalawan mami
wong tandang saking lor tutur
lurung kathah gegaman
tumbak bedhil kawandasa malah langkung
jibeg warung Kapandheyan
semune wonten denanti.
387
PNRI
26. Ingkang deniring katingal
Kenthol Cocot Robat Rabit pangirid
Kademangan bocah jendhul
gegere abusekan
dene mirsa wadya Kademangan agung
lawan kang ngirid gegaman
Kenthol Cocot Robat Rabit.
27. Padha ngilekken sedaya
sadarbeke wus anarka menawi
anjarahi sawah iku
karya lingsem sentana
ingkang tuwa tuwa sami rembugipun
becik manggihana marang
Kenthol Cocot Robat Rabit.
XXVII. MIJIL
1. Sinawung ingkang gendhing pamijil
praptanireng regol
ndhodhog sampun winengan korine
manjing dalem Pangran Mangkubumi
kang pra garwa sami
amethuk lan ibu.
2. Kadya Raden iya Pandusiwi
duk saking lungandon
pinet sraya amangun yudane
saking paprangan praptaning wengi
kang ibu nangisi
388
PNRI
angger gustiningsun.
389
PNRI
rayi dika sagoh
sapungkure rayi dika muleh
nunten kula ing wuri ngluwari
nyebar udhik-udhik
mung reyal sapuluh.
390
PNRI
kaget kanca sami
rawuhnya sang prabu.
14. Iki apa ingkang sira tulis
unine mengkono
kang umatur punika rerepen
repen apa dene nganggo iki
nyanane sang aji
repen mono namung.
391
PNRI
19. Para pangeran limalas sami
kägyat mulat ndongong
boten boten sedaya ature
ting jelalat paran wadineki
kangmas Angabei
andangu kadyeku.
392
PNRI
tinombokken taledhek si Ganthi
suwe tan nauri
padha ting palinguk.
393
PNRI
30. Pangran Martasana sigra ngambil
dhuwung kang denanggo
Pangran Bei aparentah maneh
parakna saka welahan aglis
kono sunputusi
ngong nti tobatipun.
XXVIU. DHANDHANGGULA
394
PNRI
nenggih Rahaden Demang Urawan
ing nguni kala kondure
saking paseban agung
prapteng dalem dutane prapti
Dipati Danureja
ingandikan sampun
prapteng ngarsa atur sembah
kula nuwun pun uwa rekyana patih
inggih anyaosena.
395
PNRI
prakara iku paman
ingsun uwis sanggup
ing Kapundhung sa,tus pisan
marang ibu parandene iya mangkin
yen wis katur kakangmas.
396
PNRI
sumangga ingkang karsa.
PNRI
sarira maksih lesu
pan sakenjing dennya anganti
lan wadya paranakan
tri dasa akumpul
lan meranggi kawan dasa
kapedhake ingkang tuwa-tuwa sami
wonten selawe eprah.
12. Mung selawe kang sami sesabin
angalih jung kang tigang jung lurah
dene gegajihan kabeh
sinamar wedalipun
sejatine saking jro puri
kang raka sri narendra
pan ageng sihipun
binatin kinudang-kudang
kang mangka toh ing rat westhi nanggulangi
kertangteng pabaratan.
398
PNRI
pangeran aneng pendhapa
nyamping golang-galing jo paningsetneki
cindhe puspita rekta.
399
PNRI
nekem dariji rngkang sekawan
iangadegaken jempole
ndheku tembungira rum
dhuh dutane wong agung luwih
nggih suwawi paduka
ingaturan laju
duta kalih sareng mangkat
kang ing dalem sah saking lenggahireki
tebih munggyeng kelasa.
400
PNRI
manembah aturira
angger lothung-lothurig
dadya sen-isening praja
dene awet angger sampeyan tingali
sarwi nglus wangkongira.
401
PNRI
wonten ing panangkilan.
25. Paman Gandakara kang tinodhi
lamun sira tresna ngetutena
si Kapundhung saenggone
yen sira maksih kudu
iya ana mantri panumping
nya iki tampanana
Kawiduran satus
dhusun sampun pinaringan
kangjeng rayi sampeyan ingkang maringi
Raden Demang Urawan.
402
PNRI
pan padha pendhemipun
lawan bibi arebut becik
yen uwus sah kewala
ingsun ngaturi wruh
ing adhi lurah W arana
apa dene dutane si uwa patih
matura aja susah
403
PNRI
mangke dalu jeng paduka
ingaturan Jeng Pangeran ngandika ris
dhasar wus niyatingwang
404
PNRI
wadyanira namung kawan dasa
mangke badhe sakundure
medal lulurung kidul
wadya ingkang nusul ing wengi
dene Rahaden Demang
mundhut gule wedhus
mengkana celak kewala
Kademangan lan Jayaningratan let
Pangabeyan Katandhan
XXIX. ASMARADANA
1. Asmaradana winarni
Adipati Jayaningrat
benjing ngalihe pakuwon
nunggil sarereyanira
Pangran Selong praptanya
ingela ingugung-ugung
ing kadospaten pinernah
PNRI
denya salin pepatihe
mangkana Rahaden Demang
dennya nam a pangeran
Pangran Arya Purbayeku
alam Kanatakusuman
5. Mangsuli caritaneki
wau pratela kewala
nenggih ingkang winiraos
sapraptaning Kademangan
Dipati Jayaningrat
kendel ing pasowanipun
sanjawining paregolan
6. Ngajengaken manjing mahrib
punakawan tur uninga
wus aneng langgar gustine
pukulun pun paman prapta
Dipati Jayaningrat
Raden Demang ngandika rum
Cocot Robat Rabit sira
406
PNRI
9. Paduka salat ing ngriki
punika saos kelasa
gebuke den aturake
lan kula saos kang adan
ki adipati nyentak
wong agunge rada mencul
bature mbok aja nubras
407
PNRI
pan inggih boten utusan
14. Kados kajenge pribadi
wau kalane miyarsa
Dipati Jayaningrate
malengos sarwi ngandika
ya dalanane uga
bebayi meksih kumencur
ngelmu gayeng wus ngulama
408
PNRI
Ki Winong kidul nggennya
samya ngaler ajengipun
kang 1er Raden Demang lawan
19. Jayaningrat sang dipati
Rahaden Demang Urawan
agawat bisik-bisike
pan adipati angiras
pantes paman kawula
dhewe ingkang tutur-tutur
ing karsane sri narendra
409
PNRI
ing mangke kula titike
pinanggihing sambang renggang
Raden Demang Ngurawan
410
PNRI
dheweke dudu bapakne
wewangunane sarira
pan ora tiru bapa
aten-atena kumenthus
wong kaya bongkot pring alas
29. Ping pindho ngaturi tuíis
mring ibu ingkang dinuta
si Benggring nggawa layange
iya agawe prakara
ñora metu dedalan
wong selinthat aselinthut
wong ambeka' ruruwedan
XXX. SINOM
1. Si Sinom munggeng wijowan
iya wuwuse si Benggring
lamun boten tinuruta
dhateng kakang sri bupati
panuwune kepati
bilih atemahan mutung
PNRI
mutunga ping nembelas
apa gáwene praduli
kekejera iya ana ngantariksa
3. Saabon-aboning adat
sawiyosaning negari
apa ingkang kelampahan
mijila saking kumpeni
tetela mindhik-mindhik
iku Bapang karsaningsun
lah iya kakangira
yayi emas Mangkubumi
yeku arsa sun pacak neng Surabaya
4. Pasuruhan Prabalingga
Garesik Lamongan Bangil
sunparingken yayi emas
lan maning ingsun gawani
bumi Mancanegari
Sarengat Balitar iku
ing Japan Wirasaba
kalimane ing Kedhiri
amepeka batin kepraboning aprang
5. Anggabaha pira-pira
wong becik ingsun beyani
mbakayune neng Madura
wus wiwit rusak kang ati
412
PNRI
Cakraningrat ngrasani
angrabeni putri Wangsul
rabi kadange nata
datan angundhakken linggih
angur baya rabi wong Nungsakambangan
PNRI
ing raka paduka Nata
pun Madunten lare alit
saingganipun gusti
rare umur kawan tahun
ambebana ing bapa
wajib bapa denjaluki
dereng-dereng punika pantes pinala
10. Anungsanga jempalikan
yen inggih maksih kaabdi
dipun santosa bendara
raka paduka sang aji
denamot angamoti
ing wadyabala sawegung
iaraun ratu bineka
ing sentana myang bupati
angagema ing reh angger kang utama
11. Pan sabar sirahing tapa
kautamaning narpati
angapura marang wadya
kang ambeka mrih prakawis
yen nunten nggega kedhik
karya elik wurinipun
dhuh angger denapanggàh
angadhangi angaturi
ing karsane raka paduka narendra.
12. Angandika Raden Demani
Iah ta paman adipati
susahe manah kawula
ing karsane sri bupati
sok nari rare alit
manah kula taksih bingung
wong padu ngelmu tekad
sok kula ingkang tinari
kula paman dereng umur kawan dasa
414
PNRI
13. Saweg sanglikur paman
tigang dasane lumaris
inggih ing taun punika
kula umatur sayekti
dhateng paman pribadi
mung rahab kula mring ngelmu
dene prakawis praja
sampuna katempuh nampik
dene datan dadi dandanan ngakerat
14. Puniki rangkep pakaryan
tinibalane sri bupati
pun paman sarta kawula
kinarsakken anjenengi
kadi pundi puniki
mekaten karsaning ratu
Dipati Jayaningrat
amandeng ngiling-iüngi
pan sedaya wangunane Raden Demang
i 5. Angungun ing kebatinan
Jayaningrat Adipati
alon wijiling wecana
salang gumun kula gusti
dhateng angger puniki
temah lingsem ing Hyang Luhur
cacak inggih pun paman
mangke sampun kaki-kaki
maksih ranab seba ngiringaken bawat
415
PNRI
panganggone nora becik
arang-arang seba ngiringaken bawat
PNRI
ngesuk nggenne ratunipun
Januwan Hakim nembah
mila paduka tan mijil
angandika Iskandar ratuning jagad
417
PNRI
angger wonten kojah malih
bakda rasul anenggih
wonten ratu karsanipun
kesah kaji mring Mekah
kapethuk pandhiteng margi
tìnakonan heh raja arsa punapa
PNRI
sagung abdidalem Jawi
apan ta inggih paduka
trah Mentawis kang medali
ing batin ati mukmin
para ngulama gung-agung
duk wonten Kapatiyan
pan sedaya sami muji
ing paduka kaharjan kawirutaman
419
PNRI
kadi pundi paman ing reh kang san tosa
32. Sahingga sang nata meksa
boten kenging denaturi
kang rayi kedah pinacak
wonten nagri Surawesthi
tan keni denaturi
ngajap dadosing prang pupuh
matur sang adipatya
angger sampun mawi ajrih
Iah suwawi seleh dhuwung atur pejah
420
PNRI
dereng ucul punika
pan maksih ngancang-ngancangi
kebatinan angger mung kalih sampeyan
421
PNRI
yen Jawi kaping kalih
tibane yen kaping telu
abdidalem Madura
ping pitu dereng nibani
wong Madura edane adina-dina
PNRI
inggih kang abdi pasraha
mring kang abdi papat nenggih
Mancanegara kalih
kekalih pasisiripun
kang kin en angreh samya
ing abdine pra dipati
sejatine angger kula boten suka
44. Sakelangkung nuwun duka
raka paduka sang aji
adarbe karsa mangkana
kang rayi kinarya ringgit
lamun kawula maksih
kawula ngaiangken gulu
dadose tanpa karya
pun Jayaningrat puniki
Citrasoma Metahun lan Surabrata
XXXI. DHANDHANGGULA
PNRI
nadyan inggih uningaa
maksih bocah pantes pun paman dhadhani
sakedhik sampun tuwa
2. Kula mangke paman angerteni
dangu-dangu arebat wicara
ing weweka rahayune
kaluhuraning ratu
tumpangsone lampah sayekti
sarta antara mangsa
ing reh wektu-wektu
yen pun paman anuruta
ing karsane sang nata dereng marengi
dede wektune paman
424
PNRI
yen pantesa mantrine kewala
wong Kartasura wektune
pan inggih dereng patut
pan kasaru wau kang prapti
lulurah peranakan
Gandakusumeku
tur sembah atur uninga
yen kang raka saking dalem wus lumarls
ing ngriki dereng prapta
6. Amung mbekta abdine kekalih
lawan punakawane satunggal
Raden Demang pandangune
sapa abdi kang nusul
Kimas Konthing matur wotsari
nggiii pun Jayakartrangan
Raden Demang muwus
dingaren Jayakatrangan
bisa kari kanang emas iku mapir
omahe Kertitruna
7. Sang dipati open matur aris
wong punapa aran Kertitruna
dene ta gumendhel angger
paduka narka lamun
angger Pangran Amangkubumi
mampir ing wismanira
pun Kertitruneku
Raden Demang mesem mojar
panegare paman Wirataruneki
kang nami Kertitruna
425
PNRI
pancal panggung suku pat
sami wates dhengkul
panegar sa-Kartasura
boten wonten satunggil ingkang nyagahi
wegah wong sanegara
426
PNRI
dheweke boten dhahar
427
PNRI
kampuh kelawan dhuwung
sabuk kopyah sarta kulambi
gunggunge kang paringan
ing pangaosipun
manjing wolung puluh lima
kinen ngaku kang kinarya aling-aling
ngenakaken kudanya
428
PNRI
matura marang kakangmas
mring adhimas iya ingkang nelateni
amung si Kertitruna
429
PNRI
noleh nganan kagyat atetanya
sinten punika ature
kawula ngger pukulun
Raden Demang matur bebisik
pun paman Adipatya
Jayaningratipun
tim balan dalem punika
ingkang kinen njenengi pun Mutamakim
lan Tib Anom punika
23. Angandika Pangran Mangkubumi
sami lujeng paman adipatya
inggih anuwun ature
lajeng ngaturan laju
ing paheman wetan pendhapi
kinelir ginapura
gedhongipun agung
lajeng ingaturan minggah
dhateng loteng praptane wong agung katri
sami sareng alenggah
24. Angling malih Pangran Mangkubumi
paman adipati kapal dika
pun Biru punapa makseh
Ki Adipati matur
inggih taksih tan purun salin
awekel dika paman
katon telung Setu
amung si Biru kewala
nora salin punika weton ing pundi
pened atine paman
25. Inggih angger wedalan ing ngriki
dene Kedu saking ing Bahrawa
Pangran Mangkubumi kaget
paman kula gegeiun
sikutane Kedu ngeblegi
430
PNRI
mbok wetengane paman
ingkang saking Kedu
Ki Dipati aturira
inggih kathah angger ingkang amastani
kados dhawuh sampeyan
431
PNRI
boten patut salina
432
PNRI
kang ajeng numbas satus
Surabrata ing Panaragi
kula kang menging suka
ical pantesipun
lawan sampun kawuningan
ing pantese wewatangan kang tinandhing
inggih kalih punika
433(
PNRI
Rama Wiwaha wekasan
Bimasuci Raden Demang ngandika ris
Tuwan vviwiti kangmas
PNRI
nanging ajeg akenceng kewala
alempeng ulet tembunge
yen wonten raosipun
pamaose dipunkendeli
rarasaning pandhita
sinundhang sinandhung
sira Wiku Mintaraga
kang ginambar ginelar ingkang rinawit
kang wiwit winangsitan
= TITI -
Tamat cariyos Kaji Amad Mutamakim
kalayan Ketib Anom Kudus
PNRI
PNRI