Hermeneutika Doa Kepada Orang Tua
Hermeneutika Doa Kepada Orang Tua
A. Latar Belakang
Doa kepada kedua orang tua tersebut dapat ditemukan dalam beberapa surah
al-Qur’an, di antaranya surah Ibrmīhā ayat 41, yang berbunyi
َر َّبَنا اْغ ِفْر ِلْي َو ِلَو اِلَدَّي َو ِلْلُم ْؤ ِمِنْيَن َيْو َم َيُقْو ُم اْلِحَس اُب
Ya Tuhan kami, ampunilah aku, kedua orang tuaku, dan orang-orang mukmin pada
hari diadakan perhitungan (hari Kiamat).” (Ibrāhīm [14]:41).
Ayat ini menjelaskan bahwa nabi Ibrahim as meminta ampunan kepada Allah
SWT dan mengharapkan ampunan bagi kedua orang tuanya dan orang-orang yang
beriman.2 Persoalan permohonan ampunan yang dilakukan Ibrahim, khususnya yang
ditujukan kepada ayahnya seperti tertuang dalam ayat lain, seperti QS. Maryam 19: 47
mendapat penentangan Allah, seperti dijelaskan di tempat lain dalam surah At-Taubah
ayat 114:
1
Hosein Fadhlullah, Menyelami Samudra Do’a, cet. 5 (Jakarta: Al-Huda, 2005), 164.
2
Syekh Bakar Abdul Hafizh, Tafsir dan Makna Do’a dalam al Qur’an;
Penerjemah Andi Muhammad Syahril (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2016), 319.
َو َم ا َك اَن اْس ِتْغ َفاُر ِاْبٰر ِهْيَم َاِلِبْيِه ِااَّل َع ْن َّم ْو ِع َدٍة َّوَعَدَهٓا ِاَّياُۚه َفَلَّم ا َتَبَّيَن َلٓٗه َاَّنٗه َع ُد ٌّو ِهّٰلِّل َتَبَّر َا ِم ْنُۗه ِاَّن ِاْبٰر ِهْيَم َاَلَّواٌه َح ِلْيٌم
۞ َو َقٰض ى َر ُّبَك َااَّل َتْعُبُد ْٓو ا ِآاَّل ِاَّياُه َو ِباْلَو اِلَد ْيِن ِاْح ٰس ًنۗا ِاَّم ا َيْبُلَغَّن ِع ْنَدَك اْلِكَبَر َاَح ُدُهَم ٓا َاْو ِك ٰل ُهَم ا َفاَل َتُقْل َّلُهَم ٓا ُاٍّف َّو اَل
)٢٤(َتْنَهْر ُهَم ا َو ُقْل َّلُهَم ا َقْو اًل َك ِرْيًم ا
َو اْخ ِفْض َلُهَم ا َج َناَح الُّذ ِّل ِم َن الَّرْح َم ِة َو ُقْل َّرِّب اْر َحْم ُهَم ا َك َم ا َر َّبٰي ِنْي َصِغ ْيًر ۗا
“Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau
kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah
engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau
membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan
rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah,
“Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua (menyayangiku
ketika) mendidik aku pada waktu kecil.” (Al-Isrā' [17]:23 - 24)
Doa menjadi salah satu media berkomunikasi langsung antara hamba dengan
Allah tanpa perantara. Karena itu, doa bersifat personal, rahasia, dan membatin. Doa
tidak hanya merupakan ungkapan lisan, melainkan juga ungkapan batin seorang
muslim. Setiap muslim akan merasakan manfaatnya atas setiap doa yang dipanjatkan.
Doa menandai batas akhir dari setiap ikhtiar manusia ketika batas-batas kemampuan
kemanusiaan bersinggungan dengan campur tangan kekuasan Allah. 3 Doa bukanlah
ungkapan kekecewaan atau tempat pelarian apabila seseorang mengalami kegagalan,
melainkan doa sudah menjadi kebutuhan bagi setiap muslim dan bernilai ibadah
kepada Allah. Dari sini pembaca harus memperhatikan beberapa aspek terkait
memahami ayat dengan realita masyarakat pada masa sekarang, ketika ayat-ayat ini
digunakan untuk memohon keselamatan nasib kedua orang tua, termasuk ketika
menggunakan interprestasi.
Interprestasi selalu berkaitan dengan teks dan konteks, yang idealnya
dilakukan dengan cara menghamorniskan keduanya. Sehingga relevansi makna yang
dihasilkan tidak memihak berat sebelah di antara keduanya. Salah satu pendekatan
ilmiah yang digunakan pada penafsiran yaitu menggunakan hermeneutika. Fazlur
Rahman Malik menyatakan bahwa pesan moral al-Qur’an mesti dipahami secara
efektif dan menyeluruh terhadap perkembangan kronologisnya, bukan merupakan
pemahaman parsial ayat perayat yang dianggap sebagai sesuatu yang mutlak.4
Dalam kajian hermeneutika terdapat ruang lingkup dan objek pembahasan
yang berupa teks. Teks tersebut bisa saja mewujud dalam rupa ujaran bahasa yang
mudah dimengerti oleh manusia, sehingga penerapan analisis hermeneutika dalam
kajian penafsiran dan pemahaman al-Qur’an dapat memperkuat metodologi dan hasil
penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Dalam konteks kajian pemahaman al-Qur’an,
hermeneutika dapat digunakan sebagai ilmu yang merefleksikan kilasan kejadian-
kejadian masa lalu untuk diimplementasikan bagi kemanfaatan orang-orang yang
hidup masa kini.
3
M. Anwar Syarifuddin dan Jauhar Azizy “Mendialogkan Hermeneutika Doa
dalam Kisah Ibrahim dan Musa,” Refleksi: Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, vol. 13, no. 6
(April 2014): 696.
4
Ulyah Ulfah, “Hermeneutika double movement Fazlur Rahman: Menuju
Penetapan Hukum Berivisi Et is”. Jurnal Ushuluddin, vol. 12, no. 2 (2011): 116.
Penulis bermaksud menggunakan hermeneutika Hans Georg Gadamer dalam
memahami makna ayat-ayat berdoa kepada orang tua.Tujuan penulis ingin mengkaji
kembali yaitu masyarakat tidak hanya sekedar berdoa, tetapi mereka perlu mengetahui
maknanya. Bahkan pembaca dapat mengetahui latar belakang doa yang
dipanjatkannya dan pembaca dapat pula mengambil manfaat ataupun hikmah dari
makna ayat-ayat berdoa kepada kedua orang tua yang berguna bagi kehidupannya.
As-Syaukani dalam kitabnya Fatḥ al-Qadir menjelaskan surah Ibramih as ayat
41 menyingkap kepada kita akan doanya nabi Ibrahim as yang menjadi panutan untuk
para hamba yang selalu mengingat dan bersyukur kepada Tuhannya. Nabi Ibrahim as
menghadap Tuhannya untuk bermunajat dengan kerendahan hati, diri, dan ketenangan
untuk meminta keamanan kota Makkah. Ia pun memohon ampun untuk kedua orang
tua, dirinya dan para keturunannya. Ia menyadari akan ada hari di mana semua
perbuatan manusia akan dipertanggungjawabkan pada hari perhitungan.5
Quraish Shihab menyatakan perkataan walidayya itu menunjukan orang tua
yang meninggal dalam keadaan muslim dan bukan musyrik. Ini merupakan doa
terakhir nabi Ibrahim as kepada orang tuanya. Hal menarik terdapat perbedaan dalam
memahami kata walidayya.6 Sa’id bin Jubair membacanya waliwalidiy (dan orang
tuaku) dengan bentuk tunggal, maksudnya adalah ayahnya saja.7
Doa kepada orang tua sudah sangat familiar di tengah masyarakat. Tidak
sedikit masyarakat yang menggunakan doa tersebut. Di sini masyarakat perlu
memahami ayat-ayat berdoa kepada orang tua, bukan hanya sekedar arti, melainkan
pesan yang terkandung dalam ayat-ayatnya, salah satunya menggunakan
hermeneutika Hans Georg Gadamer. Gadamer menggunakan peleburan horizon teks
dengan horizon seorang pembaca, sehingga bisa diimplementasikan dengan realita
yang terjadi pada masa kekinian.
5
Al-Syaukani, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, terj. Penerjemah Tim Pustaka Azzam, cet, I,
jilid 6 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 85.
6
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), vol. 6, 391.
7
Al-Syaukani, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 92.