Anda di halaman 1dari 2

RESUME FILSAFAT HUKUM

Widia Wati
213030601329

Kekuasaan sangat penting bagi setiap tatanan hukum dan masyarakat. Sebuah tatanan
tidak dapat difungsikan tanpa adanya kekuasaan. Sebuah tatanan tidak bisa dibangun
berdasarkan kekuasaan semata.
Pendapat krusial ini dari waktu ke waktu dikaburkan oleh pemahaman yang keliru
tentang demokrasi. Jika sebuah demokrasi dipandang bukan sebagai tatanan konstitusi,
melainkan sebagai utopia anarki atau sebagai aturan mayoritas murni, maka dengan mudah dapat
disimpulkan bahwa semua kekuasaan itu berbahaya, bahkan patut dicela, dan selalu buruk.
Weber menulis: "LegitimasI sebuah tatanan dapat dijamin:
(1) murni internal [secara subyektif] dalam tiga cara, yakni (a) murni secara emosi, yakni dengan
pengabdian emosional; (b) secara rasional: dengan keyakinan terhadap keabsahan mutlak sebuah
tatanan sebagai wujud dari nilai-nilai luhur (moral, estetika atau yang lain); dan (c) secara
religius: dengan keyakinan bahwa penyelamatan bergantung pada upaya mempertahankannya
[tatanan]; atau
(2) juga [atau hanya dengan harapan akan adanya konsekuensi eksternal khusus, yakni dengan
kepentingan; namun yang ini merupakan jenis harapan khusus.

Namun kekuasaan itu sendiri dijelaskan oleh banyak penulis yang berkecondongan
positivistik dan naturalistik sebagai sesuatu yang bersifat psikologis, dan selanjutnya ia
digunakan dalam definisi-definisi ini dengan legitimasi pemikiran yang berputar-putar.
Karenanya dapat kita ketahui bahwa "otoritas merupakan pemilikan Kekuasaan yang
diharapkan dan absah. Pertama-tama, perlu dibedakan dengan jelas antara legitimasi dan
legalitas. Sebuah tatanan absah bila ia dinyatakan adil; legalitanya didapatkan karena ia berpijak
pada hukum positif.
Legitimasi terkait dengan hak dan keadilan; tanpa Klarifikasi tentang apa yang mesti
dipahami dengan kebenaran dan keadilan hukum, Legitimasi juga tidak bisa dipahami. Otoritas
tidak bisa didasarkan pada hukum positif, karena hukum itu sendiri memerlukan otoritas.
Otoritas hukum rentan terhadap banyak guncangan, sebagaimana otoritas dari semua
komunikasi.
Filsafat hukum Kantian merupakan hasil dari upaya itu, demikian pula dengan upaya
David Hume. Namun otoritas dapat didasarkan pada sistemnya Thomas Aquinas seperti juga
pada sistemnya Kant, atau bahkan Marx. Karena rasionalisme kritis mengajarkan kepada kita
bahwa semua sistem pemikiran komprehensit memiliki landasan meta-rasional.
Namun transformasi kekuasaan menjadi otoritas dan otoritas menjadi kekuasaan jangan
sampai membingungkan kita dan membuat kita lupa bahwa keduanya pada dasarnya berbeda
satu sama lain, karena keduanya bertumpu pada landasan yang berbeda dan seringkali
bertentangan.
Sebagai penyimpul, dapat kami katakan bahwa otoritas hukum bersandar pada
kemasukakalannya yakni, keadilannya bahwa legitimasi konstitusi, undang-undang, atau
keputusan bersandar pada Kebenarannya, dan bahwa legalitanya bersandar pada kesesuaiannya
dengan hukum positif. Hal serupa dapat dikatakan untuk "para pemegang" otoritas, legitimasi,
dan legalitas, penguasa atau raja. Legalitas mereka merupakan persoalan hukum positif, terutama
aturan perundang-undangan, jika memang ada undang-undang seperti itu; legitimasi mereka
merupakan persoalan kebenaran dan keadilan, dan otoritas mereka merupakan persoalan
Kepantasan, yakni, kemampuan mereka untuk mewujudkan gagasan, nilai-nilai, dan keyakinan
anggota masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai