SMART EMERGENCY
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan buku ini.
Indonesia sebagai negara berkembang terus menerus melakukan pembangunan fisik di
segala bidang. Hal ini kerap menimbulkan kecelakaan kerja mulai dari near accident sampai
dengan fatal accident. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor dan semakin berkembangnya
fasilitas transportasi telah meningkatkan angka incident kegawatdaruratan karena kecelakaan
lalu lintas. Sehubungan dengan permasalahan tersebut setiap petugas gawat darurat (emergency
nurses) harus mampu melakukan pertolongan secara cepat dan tepat terhadap penderita
kegawatdaruratan, Hal tersebut untuk mencegah terjadinya kematian dan kecacatan.
Untuk itu Smart Emergency Service Indonesia sebagai Lembaga Pelatihan yang
didalamnya terhimpun sumber daya manusia yang exspet dan kompeten di bidang
kegawatdaruratan mempersembahkan pelatihan Basic Trauma Cardiac Life Support.
Buku ini disusun dengan tujuan untuk membantu rekan sejawat tenaga kesehatan yang
mengikuti pelatihan Basic Trauma Cardiac Life Support sehingga mudah dalam memahami
materi – materi yang disampaikan, dan juga dapat digunakan sebagai panduan dan acuan dalam
menangani kasus – kasus Gawat Darurat yang dijumpai di tempat kerja. Suatu konsep yang
simple dan aman serta bahasa yang sama dengan para dokter dalam penanganan kasus – kasus
gawat darurat, dengan demikian pasien diuntungkan dan dapat diselamatkan dari kematian dan
kecacatan.
Akhir kata semoga buku ini berguna bagi rekan sejawat tenaga kesehatan di seluruh
penjuru tanah air Indonesia, dan kami sangat berharap saran maupun kritik demi kesempurnaan
buku ini.
Penyusun
Smart Emergency Team
KATA PENGANTAR..........................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................3
TRAUMA KEPALA.....................................................................................66
TRAUMA SPINAL......................................................................................76
TRAUMA THORAX....................................................................................80
TRAUMA ABDOMEN................................................................................86
TRAUMA MUSCULUSKELETAL.............................................................92
TRAUMA THERMAL................................................................................100
BAB IX TRIAGE.......................................................................................................126
BAB X SPGDT.........................................................................................................133
DAFTAR PUSTAKA
I
IKHTISAR
Basic Trauma Life Support merupakan pelatihan yang ditujukan untuk petugas yang bekerja
di Rumah Sakit maupun Pra Rumah Sakit, agar tercipta suatu standar yang baku dalam
melakukan penanganan pasien kegawatdaruratan trauma.
Basic Cardiovascular Life Support (BCLS) merupakan pelatihan yang ditujukan untuk
petugas kesehatan khususnya perawat dan mahasiswa keperawatan yang dilatih tentang
intreprestasi ekg dan kegawatdaruratan jantung. Dalam Pelatihan ini menekankan bagaimana
peserta dapat mengenal secara dini serangan Jantung dan mengaplikasikan pemeriksaan EKG
serta dapat menangani bila pasien menjadi tidak sadar ataupun dalam Gambaran EKG terjadi
Aritmia.
Menurut WHO tahun 2019, kematian karena jatung atau penyakit kardiovaskular merupakan
penyebab kematian nomer 1 (satu), sedangkan kematian karena kecelakaan merupakan
penyebab kematian nomor 3 (tiga). Pelatihan Basic Trauma Cardiac Life Support ini membahas
masalah penanggulangan pasien kegawatdaruratan trauma maupun kardiovaskuler secara cepat
dan tepat berdasarkan prioritas masalah yang bertujuan untuk mengurangi angka kematian dan
kecacatan. Disamping itu Pelatihan BTCLS juga termasuk sarana untuk mendukung Progam
Sustainable Development Goals (SPDGs) sebagai indikator pembangunan global saat ini. Pada
progam tersebut, isu kesehatan di indonesia yang menjadi perhatian diantaranya adalah
kematian kecelakaan lalu lintas dan penanganan kristis serta kegawatdauratan.
Melalui Pelatihan BTCLS diharapkan dapat memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan
profesionalisme perawat dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat yang berbaik.
TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM
Setelah menyelesaikan pelatihan ini peserta dapat mengaplikasikan konsep penanggulangan
pasien gawat darurat trauma maupu kardiovaskuler secara cepat dan tepat berdasarkan prioritas
masalah.
TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah mengikuti pelatihan ini peserta diharapkan mampu untuk :
Melakukan pengkajian secara cepat dan tepat keadaan yang mengancam nyawa
Melakukan tindakan penyelamatan jiwa (life saving) pada pasien trauma berdasarkan
prioritas Menerapkan konsep penilaian dan pengelolaan awal pada pasien trauma dan
kardiovaskuler Menilai tingkat kesadaran / status neurologis.
Mengenali dan menangani kegawat Mendemonstrasikan komunikasi
daruratan pada jalan napas (Airway) yang efektif sebagai leader dan
dan pernapasan (Breathing) anggota tim dalam menangani
Mengenali dan menangani trauma- pasien
trauma padaa system tubuh pasien.
Melakukan evakuasi, stabilisasi dan METODE PELATIHAN
transportasi pasien dengan cepat dan Pelatihan ini di desain dengan metode
tepat
ceramah, tanya jawab, simulasi dan
Mengenali dan menangani bila
pasien mengalami tanda awal syok praktikum. Selama pelatihan ini diharapkan
karena Perdarahan. peserta berpartisipasi aktif selama pelatihan
Mampu menginterprestasi EKG terutama dalam sesi tanya jawab dan
Mampu melakukan penanganan praktikum. Pelatihan ini didesain agar
pasien dengan Aritmia materi pelatihan bisa langsung
diaplikasikan sekembalinya peserta
I. PENDAHULUAN
Etik merupakan prinsip yang menyangkut baik dan buruk dalam hubungan dengan
orang lain, sedangkan hukum menyangkut prinsip benar dan salah. Etik merupakan studi
tentang perilaku, karakter dan motif yang baik serta ditekankan pada penetapan apa yang
baik dan berharga bagi semua orang.
Secara umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi
yang berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk penyelidikan
filosofis atau kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku
aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang atau kelompok tertentu. Etik juga
dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga etik
merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku profesional.
Etik merupakan istilah yang digunakan untuk merefleksikan apa yang seharusnya manusia
berperilaku terhadap orang lain.
Manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup sendiri, melainkan membutuhkan
hidup bersama dalam masyarakat. Dalam melaksanakan hidup beermasyarakat tersebut,
berlangsung interaksi yang intensif antar anggota masyarakat. Agar interaksi berlangsung
tanpa benturan dan dapat mendatangkan manfaat optimal, diperlukan adanya aturan
berprilaku setiap warga masyarakat. Bentuk pengaturan prilaku yang dimaksud banyak
macamnya, untuk masyarakat profesi kesehatan antara lain tercantum dalam:
Kode etik profesi kesehatan.
Kode etik profesi kesehatan mencakup aturan dan etika yang dipakai dalam dunia
kesehatan. Aturan ini juga mencakup tatanan perilaku sebaiknya seorang perawat baik
ditempat kerja maupun didalam masyarakat.
Hukum kesehatan.
Hukum kesehatan mencakup aturan – aturan dalam bidang medis yang mencakup cara
melakukan suatu tindakan kepada korban. Hukum kesehatan ini diberlakukan baik
kepada dokter maupun perawat.
A. Hukum Kesehatan
Hukum kesehatan adalah bagian dari hukum umum yang mengatur prilaku anggota
masyarakat, utamanya anggota masyarakat kesehatan, yang terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan mencakup:
1. Aspek administrasi
2. Aspek pidana
3. Aspek perdata
B. Manfaat Hukum Kesehatan
Dalam pelayanan kesehatan dan perkembangan ilmu kesehatan, hukum kesehatan
bermanfaat untuk:
1. Memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada penyelenggara pelayanan
kesehatan.
2. Memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada pemakai jasa pelayanan
kesehatan.
3. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
4. Memantapkan penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan.
5. Mendorong perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan.
C. Ruang Lingkup Hukum Kesehatan
Terkait dengan macam, jumlah, dan perkembangan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan di suatu negara, untuk Indonesia, secara umum dapat dikelompokkan atas 8
macam lingkup hukum kesehatan yaitu mencakup:
1. Sarana Pelayanan Kesehatan
2. Tenaga Kesehatan
3. Komoditi Kesehatan
4. Perikatan Hukum
5. Pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan
6. Pengobatan Tradisional
7. Masalah Kesehatan Khusus
8. Lembaga Peradilan
D. Upaya Mencegah MalPraktik dalam Pelayanan Gawat Darurat
Untuk mencegah terjadinya malpraktik dalam pelayanan pelayanan gawat darurat maka,
ada tiga hal pokok yang harus dilakukan, yakni:
1. Melaksanakan inform consent: pada korban yang gawat darurat (emergensi, kritis)
sering terlupakan
2. Melaksanakan semua tindakan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan
3. Mengisi catatan keperawatan (client record) yang lengkap
Baik atau tidaknya pelayanan gawat darurat ditentukan antara lain oleh baik atau
tidaknya perilaku perawat pada waktu menyelenggarakan pelayanan gawat
darurat.Pengaturan perilaku perawat, antara lain tercantum dalam Kode Etik Keperawatan
serta hukum kesehatan.
KLASIFIKASI USIA
Dewasa>> mulai dari adanya tanda tanda pubertas
Anak >>12bulan/1 tahun sampaitanda-tandapubertas (+)
Bayi >>> 28 hari sampaidengan12bulan/1 tahun
Langkah 1
Danger (Bahaya >>Amankan)
Aman Diri Sendiri(memakai APD)
Aman Lingkungan(Pastikan lingkungan aman (tempat datar, tidak berarir dan kuat), bila
didalam kerumunan banyak orang, instruksikan keluar ruangan (IHCA) atau menjauh
(OHCA)dan instruksikan satu orang untuk tinggal atau mendampingi sebagai saksi
(OHCA).
Aman Korban(kunci brankar dan pasang handrail (IHCA))
Langkah 2
Response (Cek Respon)
Untuk memeriksa respon korban, berikan rangsangan untuk
membangunkan korban, diantaranya:
Panggil korban Gambar: aman diri (APD)
Tepuk dan goyang pundak korbandengan 2 tangan
Perhatian
- Bernapas nomal dan nadi teraba
Monitor pasien/ROSC (IHCA), posisi pemulihan (Recovery position) (OHCA). Posisi
pemulihan dilakukan untuk mencegah terjadinya aspirasi karena cairan air liur dan muntah
- Tidak bernpas normal (agonal gasping) namun nadi teraba
Lakukan rescue breathing /pemberian bantuan napas 10x/menit (tiap 6 detik) dan chek nadi
tiap 2 menit. Lakukan high quality CPR bila nadi dirasa tidak teraba.
- Tidak bernapas normal/agonal gasping dan nadi tidak
teraba Lakukan high quality CPR.
Napas agonal gasping adalah pernapasan tidak normal dan menjadi tanda terjadinya henti
jantung, dan atau muncul dlam menit pertama setelah henti jantung. Korban dengan napas
agonal gasping tampak bernapas cepat atau lemah, mulut terbuka, rahang kepala atau leher
bergerak mengikuti irama gasping. Suara ini dapat terdengar mendengkur, mendengus
ataupun mengerang.
Langkah 3
Gambar: teknik head tilt-chin lift Gambar: teknik manuver jaw thrust
Jaw Trust (Dorong rahang bawah) dan Chin Lift (Angkat Dagu)
Jika korban dicurigai cedera servikal (patah tulang leher), lakukan jaw trust atau chin lift (angkat dagu)
Langkah 5
BREATHING (PERNAFASAN)
Perbandingan Saat CPR, setelah 30 kompresi berikan 2 kali nafas Berikan Nafas bantuan dengan cara :
Mouth to Mouth (Mulut ke mulut) (tidak dianjurkan kontak langsung untuk menghindari resiko infeksi)
DianjurkanLangsungMenggunakanBag Valve Maskuntukpemberian Breathing.
menggunakantehnik E-C Clamp untuk 1 Gambar: teknik kompresipenolong dan double E-C Clamp untuk 2 pe
& ventilasi
Segera lanjutkan kompresi setelah pemberian 2 kali ventilasi, tidak lebih dari 10 detik
ATTENTION
Bila tidak terdapat BVM untukmemberikannafasbantuan, maka lakukan Hand Only CPR (Hanya Kompresi Dada).
CPR dengan 2 orang penolong, masing-masing penolong memiliki tugas spesifik masing-
masing, diantaranya:
- Segera gunakan AED (OHCA)/defribilator (IHCA)
Saat penolong kedua datang membawa AED (paska aktivasi emergency), penolong kedua
sesegera mungkin memberikan AED kepada penolong pertama untuk mengoperasikan
AED, sementara penolong kedua menggantikan RJP.
- Segera lakukan high quality CPR atau ikuti sesuai intruksi AED hingga team advance
datang
- Penolong harus bergantian dalam melakukan kompresi tiap 2 menit, bila memakai AED,
pergantiankompresi dilakukan mengikuti instruksi AED
Di samping korban
kurangnya 100-120x/menit
- Perhatikan recoil setiap kompresi
Penolong 1 - Kurangi interupsi saat kompresi
- Gunakan rasio kompresi pernapasan 30:2
(Jika ad BVM)
- Hitung kompresi dengan suara keras (cara
hitung: 1,2,3...29,30 >> dst)
Ganti tugas dengan penolong 2 setiap 2 menit
Buka jalan nafas menggunakan tehnik :
- Head tilt-chin lift
Diatas kepala korban
Langkah 2
Response (Cek Respon)
Untuk memeriksa respon korban, berikan rangsangan untuk
membangunkan korban, diantaranya:
Panggil korban Gambar: aman diri (APD)
Tepuk bahu korban (anak)
Atau tepuk telapak kaki
(bayi)
Jika korban tidak ada respon (Call for Help),segera minta bantuan atauaktifkan
emergency dg telp.bila memngkinkan
Cek Nadi + ChekNafas
Periksa nadi dan pernafasan secara bersamaan, Waktu pemeriksaan nadi maksimal <10 detik
-Chek nadi anak:Palpasi nadi karotis dan ChekNafas
-Chek nadi Bayi: Palpasi pada Nadibrachialis dan
ChekNafas, Tempatkan 2/3 jari penolong di bagian dalam
lengan atas bayi, ditengah antara siku dan bahu.
- Rasakan denyut nadi dalam <10 detik.
Gambar : Cek nadi &
napas
Langkah 3
Compression (kompresi dada)
Buka baju sampai bagian dada terlihat jelas, dan untuk memungkinkan pemasangan pad jika
bantuan yang membawa AED datang.
Langkah Tindakan
1 Posisikan diri penolong
Anak: 2 telapak tangan seperti pada korban dewasa atau dengan satu
tangan
Bayi: teknik 2 jari atauteknik 2 ibu jari dan 2 tanganmelingkar dada
korban (1 atau2 penolong)
2
Langkah 4
Airway (Buka Jalan Napas)
Teknik pembebasan jalan nafas :
Head tilt- chin lift (angkat dagu-tengadahkan kepala)
Dilakukan pada korban yang tidak dicurigai terdapat cedera servikal/spinal
Jaw Trust (Dorong rahang bawah)
Jika korban dicurigai cedera servikal (patah tulang leher), lakukan jaw trust atau chin lift (angkat dagu)
Maksimalkan patensi jalan napas dengan memposisikan leher bayi pada posisi sniffing hingga ear canal sejajar deng
korban.
Pembebasan jalan napas pada bayi dilakukandengan
caramemberikan padapunggung
sedikit penderita.
ganjaran
Hal ini untuk
menyeimbangkan dengan bentuk kepala bayi yang secara pro
CPR dengan 2 orang penolong, masing-masing penolong memiliki tugas spesifik masing-
masing, diantaranya:
- Segera gunakan AED (OHCA)/defribilator (IHCA)
Saat penolong kedua datang membawa AED (paska aktivasi emergency), penolong kedua
sesegera mungkin mengoperasikan AED
- Segera lakukan high quality CPR atau ikuti sesuai intruksi AED hingga team advance
datang
Teknik kompresi pada anak dengan teknik 2 telapak tangan sama dengan kompresi
dewasa atau 1 tangan (sama seperti pada CPR 1 penolong).
Teknik kompresi pada bayi dengan teknik 2jari atau 2 ibu jari dan 2 tangan melingkar
dada korban.
- Perbandingan Kompresi ventilasi pada anak dan bayi dengan 2 penolong menggunakan
perbandingan 15:2
- Penolong harus bergantian dalam melakukan kompresi tiap 2 menit, bila memakai AED,
pergantian kompresi dilakukan mengikuti instruksi AED.
- Bila AED tidak tersedia namun terdapat BVM:
Penolong pertama disamping korban melakukan kompresi – penolong kedua diatas kepala
korban untuk memberikan ventilasi – pergantian posisi tiap 2 menit atau jika penolong
kelelahan
VENTILASI
A. Perbandingan compressi dan ventilasi
Pemberian ventilasi pada pasien henti jantung tanpa alat bantu napas lanjut berbeda dengan
pasien henti jantung yang sudah terpasang alat bantu napas lanjut, berikut perbedaannya:
1. Teknik ventilasi tanpa alat bantuan napas lanjut (Bag ValveMask)
- Dewasa:
kecepatan kompressi 100-120x/menit
Perbandingan kompressi 30:2
- Anak/bayi:
kecepatan kompressi 100-120x/menit
Perbandingan kompressi 30:2 (1 penolong)
Perbandingan kompressi 15:2 (2 penolong)
2. Teknik ventilasi yang telah terpasang alat bantu napas lanjut (laryngeal mask airway
dan endotraceal intubation)
- Kecepatan kompressi 100-120x/menit
- Pemberian ventilasi tiap 6 detik/10x/menit
- Kompressi dan ventilasi dilakukan masing masing tanpa perbandingan
Catatan:
- tiap pemberian 1x ventilasi dalam waktu lebih dari 1 detik
- perhatikan pengembangan dada saat memberikan ventilasi
- saat memberikan ventilasi teknik E-C Clamp (1 penolong)/ double E- C Clamp (2
penolong) harus selalu diperhatikan
- chek nadi tiap 2 menit
1. PUSH HARD
Adult 5 cm
Child 5 cm (sepertigakedalaman dada)
Infant 4 cm (sepertigakedalaman dada)
2. PUSH FAST
100-120 x/mnt
30 kompresi 15 – 18 detik
3. Minimize Interruptions <10 detik
4. Allow complete Chest Recoil
5. Give effective breath Avoid excessive breath
jika tidak ada nadi & tidak ada nafas maka dilakukan recovery position dengan posisi
supine dengan tetap menjaga patensi jalan nafasanya.evaluasi terhadap nadi & nafas
dilakukan setiap 2 menit
Korban non traumadiluar rumah sakit (OHCA) yang sudah pulih kembali denyut
jantung dan pernapasannya (nadi dan napas ada) setelah dilakukan CPR, maka dilakukan
posisi recovery dengan menjaga patensi jalan nafas, cegahterjadi aspirasi pada korban yang
tidak sadar, jangan pernah tinggalkan korban sampai bantuan yang lebih ahli datang.
Lakukan evaluasi terhadap korban setiap 2 menit sekali baik itu nadi dan nafas.
5H :
Hypovolemia
Hypoxia
Hydrogen ion (acidosis)
Hypo/hyperkalemia
Hypothermia
5T :
Tension pnuemothorax
Tamponade cardiac
Toxins
Thrombosis pulmonary
Thrombosis coronary
V. KOMPLIKASI CPR
Selain manfaat yang didapat dari tindakan Bantuan Hidup Dasar(CPR), ada pula
komplikasi yang kemungkinan bisa terjadi, antara lain:
1. Komplikasi ventilasi
a. Regurgitasi, aspirasi isi lambung
b. Gastric insuflasi (Penumpukan udara dilambung)
c. Peningkatan tekanan intrathoraks (menurunkan cardiac output)
2. Komplikasi compressi
a. Fraktur sternum/ costae/iga
b. Pneumothoraks, hemotoraks, kontusio
c. Flail chest
d. Emboli udara
e. Ruptur aorta
f. Luka organ lain seperti Laserasi/ruptur hati, limpa dll
Korban tidak menunjukan reaksi, teriaklah untuk mendapatkan pertolongan terdekat. Aktifkan system emerge
Berikan napas buatan: 1 napas tiap 6 detik atau sekitar 10 napas / menit
Aktifkan system emergency (jika belum dilakukan) setelah 2 menit Terus berikan napas buatan: periksa denyut nadi setia
Perhatikan apakah napas terhenti atau tersengal dan periksa denyut (secara bersamaan). Apakah denyut benar-benar
Pada saat
Napas ini, dalam
terhenti atau semua scenario,
tersengal, tidaksystem emergency atau cadangan telah diaktifkan, serta AED dan peralatan gawat
ada denyut
CPR
Mulai siklus 30 kompressi dan 2 napas buatan, gunakan AED segera setelah tersedia
AED tersedia
TIDAK
CPR
1 penolong Mulai siklus 30 kompressi dan 2 napas
buatan, (jika penolong kedua datang, gunakan
rasio 15:2). gunakan AED segera setelah tersedia
Jika penolong masih sendiri kurang lebih setelah 2 menit, aktifkan system emergency. Lalu
ambil AED (jika belum dilakukan)
CPR
Penolong pertama Mulai siklus 30 kompressi dan
2 napas buatan, setelah penolong kedua kembali,
gunakan rasio 15:2. gunakan AED segera setelah
tersedia
IV. PATOFIOLOGI
Gangguan pernapasan dapat terjadi karena kegagalan dalam mengenal airway yang
tersumbat sebagian atau ketidakmampuan pasien untuk melakukan ventilasi dengan cukup.
Terjadinya obstruksi airway bersamaan dengan ketidakcukupan ventilasi dapat
menyebabkan hipoxia sehingga dapat mengancam nyawa, keadaan seperti ini mungkin bisa
saja terlupakan bila ditemukan perlukaan yang nampak lebih serius.
Terganggunya system respiratorik yang akan mempengaruhi dalam penyediaan oksigen
yang adekuat dan pelepasan karbondioksida diantaranya melalui :
1. Hipoventilasi akibat hilangnya penggerak usaha bernapas (ventilator drive), yang
biasanya disebabkan oleh penurunan fungsi neurologis.
2. Hipoventilasi akibat adanya obstruksi aliran udara pada jalan napas ayas dan bawah
3. Hipoventilasi akibat penurunan kemampuan pari untuk mengembang.
4. Hipoksia akibat penurunan absorbsi oksigen melalui membrane alveolar kapiler.
5. Hipoksia akibat penurunan aliran darah ke alveoli
6. Hipoksia akibat penurunan aliran darah udara untuk mencapai alveolus, biasanya karena
terisi oleh air atau debris.
7. Hipoksia pada tingkat seluler akibat penurunan aliran darah ke sel jaringan.
Tiga gangguan pertama di atas merupakan keadaan hipoventilasi akibat penurunan
volume per menit, jika tidak ditangani segera maka hipoventilasi akan mengakibatkan
penumpukan karbondioksida, asidosis, metabolism anaerobic, dan seringkali kematian.
V. AIRWAY MANAGEMENT
Pada pasien dewasa dan anak yang sadar dapat dilakukan Heimlich Maneuver
atau abdominal thrust,Pada wanita hamil/obesitas maka lalukan chest thrust. Sedangkan
pada bayi, yang dapat dilakukan adalah dengan teknik chest thrust and back blow.
Finger sweep boleh dilakukan jika benda terlihat, jika tidak terlihat maka tidak
disarankan untuk melakukan finger sweep, karena dapat mendorong benda asing
semakin menyumbat jalan napas.
A B
Gambar: Finger Sweep Gambar: Chest Gambar: Chest Thrust&back Slaps
Thrust
Pada pasien dewasa dan anak yang mengalami tidak sadarkan diri, lakukan teknik
RJP tanpa pengecekan nadi terlebih dahulu. Jika pada bayi, lakukan seperti pasien
dewasa dengan teknik RJP bayi. Selalu chek adanya benda asing sebelum memberikan
ventilasi, jika terlihat benda asing segera ambil.
B. Sumbatan Parsial
Sumbatan parsial dibedakan menjadi tiga bagian yaitu:
1. Sumbatan karena cairan (gurgling)
Setiap pasien trauma mempunyai resiko mengalami sumbatan airway karena
cairan yang disebabkan oleh darah, secret, air liur atau karena muntah. Sumbatan
karena cairan dapat mengakibatkan aspirasi yaitu masuknya cairan asing kedalam
paru-paru pasien. Sumbatan jalan napas karena cairan dapat didefinisikan dengan
adanya suara gurgling yaitu suara seperti berkumur-kumur dari mulut pasien.
Upaya penanganan sumbatan airway karena cairan adalah dengan cara manual atau
menggunakan alat penghisapan / suction sesegera mungkin.
Suctioning dapat dilakukan dengan kateter suction (suction canule) baik yang
kaku (rigid tip) maupun yang lembut (soft/flexible tip). Soft tip digunakan untuk
penghisapan cairan (darah, secret dsb) sedangkan untuk darah yang menggumpal
atau sisa makanan (muntah) menggunakan rigid tip.
2. Sumbatan karena lidah (snoring)
Pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran, maka mungkin pangkal
lidah jatuh ke belakang dan menyumbat hipofaring. Hal ini karena otot-otot lidah
lemas atau mengalami kelumpuhan. Cara mengatasi sumbatan airway karena
sumbatan pangkal lidah pada prinsipnya adalah mengangkat pangkal lidah agar
tidak menyumbat jalan napas. Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi sumbatan
ini dibagi 2, secara manual atau dengan menggunakan alat. Tindakan manual yaitu
dengan melakukan jaw trust atau chin lift (pada pasien trauma), atau dengan head
tilt chin lift (pada pasien non trauma). Jika alat sudah tersedia segera pasang
Oroparingeal airwaay (bila tidak ada gangguan reflek) atau Nasoparingeal Airway
(bila ada gangguan reflek).
3. Sumbatan anatomis (crowing)
Sumbatan ini disebabkan oleh penyakit salura pernapasan atau karena adanya
trauma yang mengakibatkan pembengkakan pada airway (trauma inhalasi pada
kebakaran atau trauma tumpul leher) ataupun desakan neoplasma. Sehingga
Timbul suara "crowing" atau stridor respirotoir. Keadaan ini hanya dapat
diatasi dengan perbaikan airway pada bagian distal dari sumbatan,
misalnyaairways definitife atau dengan penanganan secara surgical dengan
membuat airway alternatif tanpa melalui mulut atau hidung pasien.
Apnea
Peralisis
neuromuskular Tidak
sadar
KEBUTUHAN UNTUK
Usaha napas yang tidak adekuat
VENTILASI
Takhipnea
Hipoksia
Hiperkarbia
Cianosis
Perburukan neurologi akut atau herniasi
c. Airway Surgical
Ketidakmampuan intubasi trachea adalah indikasi jelas untuk
surgical airway. Bila oedema glotis, fraktur laring atau perdarahan
oropharyngeal airway yang berat menghambat intubasi trachea dapat
dipertimbangkan surgical airway.
Pemasangan jarum (needle cricothyroidotomy) merupakan cara
sementara dalam keadaan emergensi memberikan oksigen sampai
dapat dipasang surgical airway.
Apabila pemasangan intubasi gagal atau tidak bisa dilakukan (misalnya
pada fraktur mid face) maka tindakan alternatif yang dapat dilakukan
adalah tindakan surgical. Tindakan surgical yang dapat dilakukan adalah
dengan cricotiroidotomi.
Tindakan cricotiroidotomi
bagi perawat hanya
diperkenankan needle
cricotiroidotomi yaitu
penusukan jarum besar (IV
catheter no. 14) ke membrana
krikotiroidea untuk membuat
jalan napas,jarum kemudian
dihubungkanke oksigen
15L/menit dengan memakai Gambar: needle cricothyroidotomy
y-conector, atau dengan tube yang telah dilubangi pada sisinya. Kemudian
dilakukan tindakan insufflation, 1 detik tutup, 4 detik buka dengan
memakai ibu jari atau buka/tutup Y-conectornya. Tindakan ini
merupakan tindakan sementara (maksimal 45 menit) sebelum pemasangan
tube cricotirodotomi oleh dokter, Karena CO2 akan terakumulasi
secara perlahan ( yang akanberbahaya terutama pada penderita
trauma kapitis). Pemasangan jet insufflationharus berhati-hati bila ada
obstruksi total glotis oleh benda asing. Walaupun ada kemungkinan
benda asing akan terdorong keluar oleh tekanan oksigen, namun ada
kemungkinan lain yakni ruptur paru dan pneumotoroks.
d. Tracheostomy
Indikasi :Tracheostomi dilakukan apabila pemasangan alat Airway di atas
tidak berhasil di lakukan. Dilakukan oleh dokter bedah
PT SMS Indonesia | Smart 49 | P a g
VI. BREATHING MANAGEMENT
Airways yang paten tidak menjamin ventilasi yang adekuat. Bila tidak ada gangguan
airway maupun gangguan airway sudah teratasi tatalaksana selanjutnya adalah
mempertahankan oksigenasi/ventilasi yang adekuat. Otak dan jantung sangat sensitife
terhadap suplay oksigen yang tidak adekuat. Sel-sel akan mengalami kematian hanya
beberapa menit tanpa suplay oksigen. Perhatikan usaha pasien untuk bernapas mulai dari
pergerakan naik-turun dada dan otot otot bantu pernapasan. Pada pasien sadar, dapat dinilai
dengan kemampuan berbiacara, jika pasien dapat berbicara dengan lancar dan jelas dapat
diartikan salah satu tanda bahwa frekuensi pernapasan baik, sedangkan pada pasien dengan
penurunan kesadaran, selalu chek respon pasien jika tidak berespon lakukan alogaritma
bantuan hidup dasar.
Penilaian awal yang harus dilakukan setelah melihat kondisi pasca tatalaksana airway
atau bila tidak ada gangguan airway adalah melihat keadaan pasien secara umum dengan
melakukan tindakan sebagai berikut:
A. Menilai frekuensi napas
Perhatikan keadaan umum pasien apakah tampak sesak, bernapas cepat atau lambat.
Disamping itu juga harus dihitung frekuensi napasnya, berikut Frekwensi pernapasan
normal adalah :
Dewasa: 12-20 x/menit – abnormal: <12 dan > 20x/menit
Anak: 15-30x/menit – abnormal: <15 dan > 30x/menit
Bayi: 25-50x/menit – abnormal <25 dan > 50x/menit
4. Rebreathing mask
Untuk pemakaian alat ini akan lebih baik bila
dibandingkan dengan face mask walaupun akan ada
percampuran antara udara yang bersih dan udara hasil
ekspirasi, karena di alat rebreathing mask ini ada kantong
untuk menampung udara untuk inspirasi dan konsentrasi
Gambar: Rebreathing rebreathing mask ini lebih tinggi dibandingkan dengan face
mask
mask.
5. Non Rebreathing
Mask
Ini adalah alat yang paling tinggi konsentrasi oksigen yang dihasilkannya
dibandingkan dengan nasal kanul, face mask dan rebreathing mask. Alat ini hampir
sama dengan rebreathing mask tapi yang membedakannya adalah alat ini dilengkapi
dengan klep agar udara inspirasi dan ekspirasi tidak tercampur. Selain itu alat ini
dilengkapi dengan resepoir (kantung udara) untuk menampung udara untuk inspirasi.
Apabila menginginkan pemberian dengan konsentrasi tinggi, maka pemakaian alat ini
merupakan pilihan paling baik.
F. Macam-macam ventilasi
1. Mouth to Mouth ventilation
Dalam memberikan napas buatan mouth to mouth
penting sekali untuk menggunakan filter/“barrier
device” untuk menghindari kontak langsung agar
mencegah terjadinya resiko infeksi. Filter yang ideal
adalah yang memiliki filter sehingga udara ekspirasi
pasien tidak terhirup oleh penolong.
Pemberian ventilasi dengan teknik ini sudah tidak
direkomendasikan jika/“barrier device”tidak Gambar: Mouth to Mouth
tersedia, kecuali pasien adalah istri/suami, orang tua, Ventilation
atau anak.
2. Bag Valve Mask (BVM)
Alat bag valve terdiri dari kantong udara dan
non rebreathing valve, yang dapat disambungkan
dengan masker, ETT atau alat airway definitif
lainnya. Tindakan ini lebih baik apabila dilakukan
berdua, seorang bertugas memompa dan satu orang
lagi bertugas memegang masker sambil melakukan
fiksasi kepala. Apabila disambung ke tabung
oksigen dan dipasang resepoir tindakan ventilasi
Gambar : Bag Valve menggunakan bag valve bisa menghasilkan
Mask
konsentrasi sampai dengan 100%. Sedangkan bila tanpa aliran oksigen bag valse
mask mampu menghasilkan 21% oksigen dari udara bebas. Pemompaan dilakukan
sampai dengan terlihat pengembangan dinding dada. Pemakaian bag valve mask
yang terlalu lama pada pasien tidak sadar akan mengakibatkan penumpukan udara
KESIMPULAN
Pengelolaan airway menempati urutan terpenting dalam pengelolaan pasien trauma.
Menjaga airway yang adekuat merupakan prioritas utama dalam menangani pasien trauma.
Sering kali kematian terjadi karena ketidakmampuan mengenali dan menangani gangguan pada
airway pasien. Airway merupakan saluran yang berfungsi untuk pertukaran udara (oksigen dan
karbondioksida) saat bernafas. Penanganan sumbatan jalan napas memerlukan respons time <10
menit, Kecepatan dan ketepatan petugas sangatlah mempengaruhi kelangsungan hidup pasien
dengan sumbatan jalan napas.
Pembebasan jalan napas adalah prioritas pertama dalam melakukan pertolongan pada
penderita gawat darurat. Kemampuan petugas untuk mengenali adanya sumbatan jalan napas
dan membebaskannya akan mempertinggi harapan hidup pasien. Oksigen adalah obat yang
paling aman buat semua orang. Oleh karena itu sebaiknya setiap pasien trauma mendapatkan
oksigenasi sesuai dengan kebutuhan. Penilaian kebutuhan oksigen dapat dilakukan dengan cara
mengenali tanda-tanda pernapasan abnormal/tidak adekuat secara visual maupun menggunakan
alat.
AIRWAY
Airway Clear
LSB Parsial
Total
Tidak Sadar
Head Emobilizer
gurgling Logroll/ suction
Sadar
Dewasa, Anak & Bayi
crowing Definitive
airway
Dewasa& Anak
RJP snoring Manual:
Trauma: chin lift/ jaw trust
Heimlich maneufer Non- trauma: head tilt chin lift
Cross Finger Dengan alat:
OPA
Wanita NPA
Hamil/ LMA
obesitas (sesuai indikasi)
Chest
CARDIO PULMONARY RESUSITATION (CPR)
trust
Bayi
Back blow
& chest
trust Definitive airway
Persiapan intubasi:
STATICS
Penyulit Intubasi
Kecurigaan cedera servikal (nilai dg LEMON)
Oksigenasi / ventilasi Sellick maneuver
Apnea Bernapas
Tambahan Farmakologik
Airway surgikal
NeedleCrico-Thyroidotomy Tracheostomy
(Jet Insuflation) (dilakukan dokter bedah)
RUMUS TIDAL
VOLUME MV = VT x RR
Keterangan :
MV : Minute Ventilation (udara
yang masuk ke sistem pernafasan
setiap menit)
VT : Volume Tidal (6 - 8)
ml/KgBB
RR : Respiratory Rate
Contoh :
Diketahui Berat Badan 50 Kg
dengan RR 20 x/mnt
MV : 50 KgBB x (6 - 8 ml) x 20
: 6000 – 8000 ml/mnt
: 6 – 8 L/Mnt
N
PROSEDUR
O
Danger
2 Check respone
Airway
Kontrol servikal - Spinal (C-spine control) dan pemasangan Neck Collar + LSB +
4
Head Imobilizer
6 Pasang OPA/NPA/LMA/Suctioning/Intubasi.
Breathing
Bila Tension pneumotoraks lakukan Needle Decompresi ICS 4-5 mid Axilla
10
anterior, bila Open Pneumothorax pasang Kassa Oklusive
V. JENIS-JENIS SYOK
Syok pada pasien trauma dapat dibagi menjadi haemoragic dan non haemoragic.
1. Syok Hemoragic
Perdarahan adalah penyebab syok yang paling untuk dan sering terjadi, dan hampir
semua penderita dengan trauma multiple ada kemungkinan hipovolemia. Syok selain
hipovolemia memberikan respon sedikit atau singkat, maka dari itu bila terdapat tanda-
tanda syok maka syok dianggap disebabkan karena hipovolemia. Namun harus tetap
mempertimbangakan kemungkinan penyebab lain.
2. Syok non hemoragic
Syok non hemoragic meliputi syok cardiogenik, syok neurogenik, syok septic,
tanponade jantung dan tension pneumothorax
a. Syok Septic
Syok karena infeksi yang terjadi sesaat setelah trauma jarang terjadi. Namun
bila pasien terlembat sampai IGD hingga beberapa jam, hal ini dapat terjadi. Syok
septic dapat terjadi pada pasien-pasien dengan luka tembus abdomen dan
kontaminaisi pada rongga periotoneal oleh isi usus. Penderita dengan syok septik
yang dini mungkin mempunyai peredaran volume yang normal, takikardia yang
sedang, kulit berwarna merah jambu yang hangat, tekanan sistolik mendekati
normal dan tekanan urat nadi yang lebar.
b. Syok Cardiogenik
Disfungsi miokardiac dapat terjadi dari trauma tumpul jantung, tamponade
jantung, emboli udara atau yang agak jarang infark miokard yang berhubungan
dengan cedera penderita. Semua penderita dengan trauma torak harus dilakukan
pemeriksaan EKG untuk mengetahui pola cedera yang disritmia. Cedera tumpul
jantung mungkin merupakan suatu indikasi pemasangan tekanan vena sentral (CVP)
secara dini agar dapat memandu resusitasi cairan dalam situasi ini.
c. Syok Neurogenik
Cedera intrakranial yang berdiri sendiri tidak menyebabkan syok. Adanya
syok pada penderita dengan cedera kepala harus dicari kemungkinan penyebab syok
lain. Cedera syaraf tulang belakang mungkin mengakibatkan hipotensi karena
hilangnya tonus simpatis kapiler. Ingat, kehilangan tonus simpatis pada kapiler
memperberat efek fisiologis dari hipovolemia, dan hipovolemia memperberat efek-
efek fisiologis denervasi sympatis. Gambaran yang dapat dilihat dari syok
neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardia atau vasokontriksi kulit. Setiap
penderita dengan syok neurogenik pada awalnya harus dirawat untuk hipovolemia,
karena kemungkinan terjadinya syok hipovolemia dapat terjadi.
Pemberian cairan kristaloid untuk terapi cairan awal diberikan dalam kondisi
hangat dengan suhu berkisar 380C (102.20F) sebelum digunakan. Hal ini untuk
mencegah hipotermia yang dapat memperburuk prognosis penderita. Pemberian
cairan yang hangat dapat dicapai dengan menyimpan cairan kristaloid di dalam
penghangat atau dengan menggunakan oven microwafere. Cairan kristaloid dapat
melewati membran semi permiabel pembuluh, tetapi tidak dengan membran sel
dan dapat mencapai equilibrium dalam 2-3 jam. Untuk waktu singkat kristaloid
akan memperbaiki preload dan cardiac output.
b. Akses vena
Akses vaskular harus segera clan sebaiknya memakai 2 kateter intro-vena yang
besar. Tempat untuk akses vena adalah:
(1) vena perifer
(2) seksi vena (venous cut down, venoclysis) dan
(3) vena sentral.
Pada anak kecil usia kurang dari 6 tahun, cars intra-osseus dapat dicoba
sebelum vena sentral.
Tempat yang baik untuk jalur intravena bagi orang dewasa adalah lengan bawah
atau pembuluh darah lengan bawah. Kalau keadaan tidak memungkinkan
penggunaan pembuluh darah perifer, maka digunakan akses pembuluh sentral (vena-
vena femoralis, jugularis atau vena subdovio dengan kateter besar). Seringkali akses
vena sentral didalam situasi gawat darurat tidak dapat dilaksanakan dengan
sempurna, karena itu bila keadaan penderita sudah memungkinkan, maka jalur vena
sentral ini harus diubah atau diperbailki.
c. Transfusi darah
―Prinsip pengelolaan dasar yang
Pemberian darah tergantung harus dipegang ialah menghentikan
respon korban gawat darurat terhadap perdarahan dan mengganti
pemberian cairan seperti diterangkan kehilangan
sebelumnya. Pada fase pra – rumah sakit jarang dilakukan pemberian tranfusi darah.
Transfusi darah lazimnya diberikan di pelayanan kesehatan, namun demikian apabila
memang dibutuhkan dapat diberikan di rumah sakit lapangan
e. Imobilisasi Fraktur
Adanya fraktur baik terbuka ataupun tertutup harus di imobilisasi untuk
mengurangi perdarahan yang terjadi serta mengurangi rasa nyeri. Jika jumlah
penolong memadai, lakukanlah pembidaian di primary survey, sedangkan jika
jumlah penolong terbatas, maka pembidaian dilakukan secondary survey. Catatan:
jika terjadi fraktur pada pelvis atau femur maka pembidaian harus dilakukan di
primary survey walau jumlah penolong terbatas, karena perdarahan di area tersebut
menyebabkan syok cepat.
6. Exposure
Pemeriksaan menyeluruh setelah menentukan prioritas terhadap keadaan yang
mengancam nyawa, penderita dilepas seluruh pakaian untuk mendapatkan gambaran
menyeluruh mengenai kelainan yang mengancam nyawa, tetapi harus dicegah hipotermi.
KESIMPULAN
Diagnosis syok ditegakkan atas adanya takikardia, takipnea, memanjangnya masa pengisian
kapiler, turunnya tingkat kesadaran, dan turunnya tekanan darah yang semuanya merupakan
tanda hipoperfusi organ & kebutuhan tubuh adalah oksigen yang lebih banyak. Syok adalah
terjadinya metabolime anaerobik selular. Survival penderita bergantung pada hantaran oksigen
ke tingkat sel. Prioritas dalam pengelolaan syok adalah mengusahakan sampainya oksigen ke
paru-paru. Korban membutuhkan transport cepat ke fasilitas dimana dapat dilakukan kendali
perdarahan, penggantian darah yang hilang, oksigenisasi dan ventilasi yang adekuat.
Penggantian cairan merupakan komponen penting dalam pengelolaan syok. Kristaloid bukan
cairan pengganti yang ideal karena hanya berfungsi sebagai volume expander tanpa kapabilitas
mengikat oksigen. Cairan pengganti yang ideal adalah darah.
Trauma kepala atau kapitis merupakan penyebab utama kematian akibat trauma.
Trauma kepala drsebabkan benturan pada kepala baik langsung maupun tidak
langsung. Secara klinis dapat dilihat adanya gangguan kesadaran. Tindakan pertahanan
Jalan nafas, pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang
cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan
pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama pada kelompok umur
produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Tidak hanya berakibat
pada tingginya angka kematian pada korban kecelakaan. Justru, yang harus menjadi
perhatian adalah banyaknya kasus kecacatan dari korban kecelakaan. Khususnya, korban
kecelakaan yang menderita cedera kepala.
Cedera kepala adalah proses patologis pada jaringan otak yang bersifat non –
degenerative, non – congenital, dilihat dari keselamatan mekanis dari luar, yang mungkin
menyebabkan gangguan fungsi kognitif, fisik, dan psikososial yang sifatnya menetap
maupun sementara dan disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran.
Dari definisi itu saja, kita sudah tahu bahwa cedera kepala sangat berbahaya dan
membutuhkan penanganan segera demi keselamatan penderita. Sayangnya, kendati kasus
terus meningkat, namun masih banyak pihak yang belum sadar pentingnya kecepatan
menolong penderita.Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi
korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.
Pertimbangan untuk rujukan pada korban cidera kepala, perlu dicatantumkan informasi
penting sebagai berikut ini:
Umur
Usia
Jenis kelaamin
waktu dan Mekanisme cedera (MOI)
Status Respiratorik dan Kardiovaskular
Pemeriksaan Neurologis (GCS) dan tanda lateralisasi.
Adanya cedera penyerta
Hasil pemeriksaan penunjang diagnostik seperti CT Scan atau Foto rontgen schaedel,
apabila dirumah sakit tidak ada fasilitas tersebut segera pertimbangakan untuk rujukan
setelah keadaaan pasien stabil.
Klasifikasi Nilai
Semakin tinggi TIK semakin buruk prognosisnya. Jika terjadi trauma capitis
cenderung terjadi peningkatan intra kranial sehingga harus mempertahankan
volume intra kranial tetap konstan sesuai hipotesa Monroe Kelli. Berikut
Tanda PTIK :
Nyeri Kepala Hebat
Muntah Proyektil
Penurunan kesadaran
Tatalaksana :
Chek Analisa gas darah
Chek Cairan elektrolit
Posisi Kepala 15-30 derajat
Batang otak, terdiri dari mesencefalon, pons dan medula oblongata.
Mesencefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikulasi yang berfungsi
mengatur fungsi kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat
pusat vital kardiorespiratorik sampai medula spinalis dibawahnya (kauda inguina).
Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit
neurologis yang berat, namun pada pemeriksaan CT Scan kepala lesi dibatang otak
Sering tidak tampak terlihat.
C. KLASIFIKASI
Cedera keapala diklasifikasikan menjadi 3
hal, yaitu:
1. Berdasarkan mekanisme cedera kepala
Cedera kepala dibagi menjadi
cedera kepala tumpul dan cedera
kepala tembus / tajam. Cedera kepala
tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh
dari ketinggian atau pukulan akibat
benda tumpul. Sedangkan cedera
kepala luka tembus disebabkan oleh
luka tembak atau luka tusuk.
2. Berdasarkan penilaian GCS Gambar mekanisme trauma
Secara umum untuk menetapkan berat ringannya cedera kepala digunakan metode
penilaian Glasgow Coma Scale (GCS), yaitu menilai respon Buka Mata pasien,
Respon Bicara/Verbal pasien dan respon Motorik, penilaian ini akan menentukan
penatalaksanaan selanjutnya.
GCS 14-15 : cedera kepala ringan (CKR)
GCS 9-13 : cedera keapala sedang (CKS)
GCS 3-8 : cedera kepala berat (CKB)
3. Berdasarkan marfologi cedera kepala
Berdasarkan morfologi, cedera kepala dibagi menjadi fraktur kranium dan lesi
intrakanial
a. Fraktur kranial
Fraktur kranial dapat terjadi pada bagian atas atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis / linear, atau bintang atau terbuka maupun tertutup. Adanya tanda
klinis fraktur dasar tengkorak merupakan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci.
D. PEMERIKSAAN FISIK
Setiap korban harus diperiksa secara cepat dan tepat entah berat atau ringannya cidera
kepala yang dialami, karena hal ini menetukan penatalaksanaan yang akan dilakukan
selanjutnya. Ada 2 penilaian yang dapat dilakukan dengan cepat yaitu penilaian tingkat
kesadaran dengan GCS dan tanda lateralisasi.
1. Pemeriksaan tingkat kesadaran
Terdapat 3 aspek yang dinalai yaitu menilai respon Buka Mata pasien, Respon
Bicara/Verbal pasien dan respon Motorik.
Kategori Respon Respon Nilai
Spontan 4
Respon Perintah verbal 3
Buka Mata Nyeri 2
Tidak ada respon 1
Mengikuti perintah 6
Mengetahui letak nyeri 5
Flexi terhadap nyeri 4
Respon Motorik Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi (deserebrasi) 2
Tidak ada respon 1
Orientasi baik dan bicara 5
Disorientasi dan berbicara 4
Respon Verbal Kata-kata yang tidak tepat 3
Suara yang tidak berarti 2
Tidak ada respon 1
2. Lateralisasi
Tanda lateralisasi disebabkan karena adanya suatu proses pada satu sisi otak,
seperti misalnya perdarahan intrakranial.
Pupil dilatasi
Pupil konstriksi
An isokor
Pupil normal
E. PENGELOLAAN
Padafaseprarumahsakit tidak banyak yang dapat dilakukan, hanyasajapadahal penting
yangharus diperhatikan, yaitu:
1. Primary Survey
Lakukan Pemeriksaan dan penanganan:
a. Airway dan breathing
Terhentinya pernafasan sementra dapat terjadi pada penderita cedera kepala
berat dan dapat mengakibatkan gangguan sekunder. lntubasi Endotrakeal (ETT)
/ Laryngeal Mask Airway (LMA) harus segera dipasang pada penderita cedera
kepala berat yang koma, dilakukan ventilasi dan oksigenisasi 100%
danpemasangan pulse oksimetri / monitor saturasi oksigen. Tindakan
hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada penderita cedera kepala berat
yang menunjukan perburukan neurologis akut.
Gangguan airway dan breathing sangat berhahaya pada trauma kapitis karena
akan dapat menimbulkan hipoksia atau hiperkarbia yang kemudian akan
menyebabkan kerusakan otak sekunder. Oksigen selalu diberikan, dan bila
perafasan meragukan, lebih baik memulai ventilasi tambahan.
b. Circulation
Hipotensi biasanya disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, kecuali pada
stadium terminal yaitu bila medulla oblongata mengalami gangguan. Perdarahan
intracranial tidak dapat menyebabkan syok Haemoragik pada cedera kepala berat,
pada penderita dengan hipotensi harus segera dilakukan stabilisasi dan resusuitasi
untuk mencapai euvolemia.
Hipotensi merupakan tanda klinis kehilangan darah yang cukup hebat,
walaupun tidak selalu tampak jelas. Harus juga di curigai kemugkinan penyebab
syok lain seperti Syok Neurologis (Trauma Medula Spinalis), kontusio jantung
atau Tamponade" Jantung dan Tension Pneumothoraks.
Penderita hipotensi yang tidak dapat bereaksi terhadap stimulus apapun dapat
member respon normal segera setelah tekanan darah normal.
Gangguan circulation (syok) akan meyebabkan gangguan perfusi darah ke otak
yang akan menyebabkan kerusakan otak sekunder. Dengan demikian syok
dengan trauma kapitis harus dilakukan penanganan dengan agresif.
F. KOMPLIKASI
1. Epilepsi Pasca Trauma
Suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu setelah otak mengalami cidera
karena benturan dikepala. Kejang bisa terjadi setelah beberapa tahun kemudian setelah
terjadinya cidera.
2. Afasia
Hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya cedera pada area
bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami/mengekspresikan kata – kata.
Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri &
bagian lobus frontalis disebelahnya.
3. Apraksia
Ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan/serangkaian gerakan.
Bagian otak yang mengalami kerusakan adalah lobus parietalis/ lobus frontalis.
4. Agnosis
Suatu kelainan dimana penderita tidak mampu mengenali wajah yang dulu dikenalnya
dengan baik atau benda – benda umum(sendok,pensil). Bagian otak yang mengalami
kerusakan adalah lobus parietalis & temporalis.
5. Amnesia
Hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa yang baru saja
terjadi/ peristiwa yang sudah lama berlalu. Amnesia hanya berlangsung beberapa menit
sampai beberapa jam dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang
hebat, amnesia bisa bersifat menetap. Bagian otak yang mengalami kerusakan adalah
lobus oksipitalis, lobus parietalis, lobus temporalis.
6. Kejang Pasca Trauma
Dapat segera terjadi(dalam 24 jam pertama), dini(minggu pertama), atau lanjut(setelah
satu minggu).
7. Defisit Neurologis & Psikologis
Tanda awal penurunan fungsi neurologis: Perubahan tingkat kesadaran, nyeri kepala
hebat, mual/muntah proyektil(tanda dari peningkatan TIK).
1. Jatuh merupakan penyebab utama cedera kepala, terutama pada anak – anak dan lansia.
Meminimalisir kejadian jatuh dapat dilakukan dengan cara memastikan lantai tidak
licin, menggunakan alat bantu jalan, dan melakukan pengawasan pada saat anak atau
Menggunakan helm, baik pada saat mengendarai sepeda atau sepeda motor, maupun saat melakukan aktivitas
Mengendarai mobil dengan aman, yaitu dengan mengenakan sabuk pengaman dan menghindari aktivitas lain sepe
3. Hyperextension injury
Cedera ekstensi biasanya merusak
ligamentum longitudinalis anterior
dan merlimbulkan herniasi diskus.
Biasanya terjadi pada daerah leher.
Selama kolum vertebra dalam
posisi fleksi, maka cedera ini
masih tergolong stabil.
4. Flexion-rotation injury
Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera
pada ligamentum posterior dan kadang juga
prosesus artikularis,selanjutnya akan
mengakibatkan terjadinya dislokasi fraktur
rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture
korpus vertebra. Cedera ini merupakan cedera
yang paling tidak stabil.
B. PENGERTIAN
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat
gangguan emosional yang hebat.
Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh benturan
pada dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru – paru, diafragma
ataupun isi mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul yang dapat menyebabkan
gangguan sistem pernapasan.
Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang
disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat
thorax akut. Trauma thoraks diklasifikasikan dengan tumpul dan tembus. Trauma tumpul
merupakan luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang disebabkan oleh benda
tumpul yang sulit diidentifikasi keluasan kerusakannya karena gejala – gejala umum dan
rancu.
Kesimpulan : Dari ketiga pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
Trauma dada/thorax merupakan suatu kondisi dimana terjadinya benturan baik tumpul
maupun tajam pada dada atau dinding thorax, yang menyebabkan abnormalitas (bentuk)
pada rangka thorax. Perubahan bentuk pada thorax akibat trauma dapat menyebabkan
gangguan fungsi atau cedera pada organ bagian dalam rongga thorax seperti jantung dan
paru – paru, sehingga dapat terjadi beberapa kondisi patologis traumatik seperti
haematothorax, pneumothorax, tamponade jantung, dan sebagainya.
C. ANATOMI
Penilaian yang tepat, cepat
dan akurat sangat menentukan
tingkat keberhasilan penolong.
Keterlambatan dalam
identivikasi masalah pada trauma
thorax akan menyebabkan
keadaan hipoxia (kekukranfan
oksigen), hiperkarbia
(peningkatan kadar CO2 darah),
dan asidosis (akumulasi asam
dan penurunan PH darah).
1. Dinding dada
Thoraks adalah
silinder berongga dengan Gambar anatomi thorax
12 pasang iga, Dinding dada merupakan bungkus untuk organ di dalamnya, yang
terbesar adalah jantung dan paru-paru. Bagian bawah tiap iga dilalui sebuah arteri,
vena dan saraf. Otot interkostal menghubungkan antar iga. Otot ini dan diafragma
merupakan otot pernafasan yang utama.
D. GEJALA UMUM
Gejala umum yang menyertai trauma thoraks diantaranya:
1. Sesak napas (dispnea)
2. Napas paradoksal (terdapat bagian dari dinding dada yang tidak bergerak atau
bergerak berlawanan arah dengan dinding dada yang lain)
3. Napas cepat dan dangkal (takipnea)
4. Kesulitas bernapas dan pengembangan dada tidak simetris
5. Retraksi dinding dada
6. nyeri dada
7. krepitasi dan memar
8. batuk berdarah
9. saturasi oksigen rendah
E. KLASIFIKASI
Berikut macam-macam Trauma thoraks, yaitu :
1. Open pneumothorax
Timbul karena trauma
tajam, ada hubungan dengan
rongga pleura sehingga paru
menjadi kuncup. Seringkali
terlihat sebagai luka pada
dinding dada yang menghisap
pada setiap inspirasi (sucking
chest wound). Apabila lubang
ini lebih besar dari pada 2/3
diameter trachea, maka pada
inspirasi udara lebih mudah
melewati lubang dada
dibandingkan melewati mulut
sehingga terjadi sesak nafas Gambar open pneumothorax
yang hebat. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan
hiperkapnia.
Tanda dan gejala:Gejala pada pneumotoraks terbuka (open pneumothorax)
adalah nyeripadalokasi yang cidera, napaspendek,danterlihatadabubble
(gelembungudara bercampur darah) danterdapat "sucking
chestwound"(hisapanbasahsaatudarabergerak keluarmasukrongga pleura melalui
defek padadinding dada)
C. ANATOMI
Abdomen berisirongga-rongga
pencernaan, endokrin dansistem
urogenital sertapembuluh-pembuluh
darah besar. Rongga abdomen terletak
dibawah diafragma, dibatasi oleh
dinding abdomen anterior, tulang
pelvis, kolumna vertebra danoto
abdomen. Rongga inidibagi menjadi
dua,yaitu:
1. Ronggaperitoneal(ronggaabdome
n sebenarnya):
berisiususbesardanhalus,limpa,he
par,lambung, kandungempedu
danorgan reproduksi wanita.
2. Ruangretropenneal Gambar anatomi abdomen
(ruangpotensial dibelakang rongga peritoneal): berisiginjal, ureter, kandung
kemih,organreproduksi, venacava inferior, aorta abdomen, pankreas, sebagian
duodenum, kolon danrektum.
Bagian atas (krarual) abdomen terllndungi oleh iga di bagian depan dan oleh
kolumna vertebra. Daerah ini berisi hepar, lirnpa, lambung dan diafragma. Organ-organ
ini juga dapat cidera akibat fraktur iga atau sternal. Organ yang paling sering terjadi
cidera adalah han dan limpa.
Hepar dan limpa merupakan organ padat tidak mempunyai lumen, dan trauma pada
kedua organ ini akan menimbulkan kedalam yang akan terkumpul dalam rongga
peritoneum. Keadaan ini dikenal sebagai hemoperitoneum, dekatnya perdarahan di dalam
hepar atau limpa (intra hepatik) robekan usus juga dapat menimbulkan perdarahan intra-
peritoneal. Gaster, usus halus dan usus besar mempunyai lumen. Dengan demikian bila
terjadi perforasi, isinya akan tumpah dalam rongga peritoneum dan menimbulkan
peritonitis.
Bagian bawah (kaudal) abdomen terlindungi oleh pelvis. Daerah ini berisi
rectum dan usus, kandung kemih dan ureter, serta organ reproduksi wanita. Perdarahan
ekstra peritoneal
akibat fraktur pelvis
merupakan masalah
berat .
Untuk
mempermudah
pemahaman
fisiologis organ-
organ abdomen
terbagi menjadi
organ berongga,
solid dan vaskular.
Jika terjadi cidera
maka organ Gambar kuadran abdomen
vaskular dan solid akan berdarah, sedangkan untuk organ berongga akan
D. PATOFISIOLOGI
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalu
lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya
trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor – faktor fisik dari kekuatan tersebut
dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek
statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya
perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini
juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting.
Trauma juga tergantung pada elastisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas
adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas
adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi
tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut. Beratnya trauma yang
terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan
jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi
tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra
abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme:
1) Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari
luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat
mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
2) Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau
struktur tulang dinding thoraks.
3) Terjadi gaya akselerasi – deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek
pada organ dan pedikel vaskuler.
F. MEKASNISME CIDERA
Berdasarkan mekanisme terjadinya cidera pada abdomen dapat dikategorikan menjadi:
1. Trauma tumpul
Suatu tabrakan langsung seperti kontak dengan kemudi mobil atau terhimpit pintu
mobil pada waktu kecelakaan, dapat menyebabkan
kompresi dan cidera crushing terhadap organ abdomen dan
pelvis. Tabrakan tersebut dapat menyebabkan ruptur organ
solid dengan perdarah sekunder, kontaminasi isi organ
disertai peritoitis.
Shearing injury adalah suatu bentuk crushing injury
yang dapat disebabkan oleh sabuk pengaman yang tidak
dipasang dengan benar. Kecelakaan lalu lintas atau
Tabrakan kendaraan bermotor juga dapat menyebabkan
deceleration injuries, dimana terdapat perbedaan gerakan
organ yang dpat bergerak dan tidak bisa bergerak contohnya
termasuk laserasi liver dan limfa. Keduanya organ yang
dapat bergerak pada ligamen jaringan pendukung. Gambar Trauma Tumpul
Termasuk luka tikam juga bisa menyebabkan luka-luka serius bahkan mengancam
nyawa, karena organ-organ dan pembuluh darah utama yang terletak jauh didalam
bisa pecah atau robek.
Pada trauma abdomen, organ yang paling sering terkena adalah limfa (40-55%), hati
(35-45%), dan usus halus (5-10%) serta insiden hematom retroperineal (15%).
2. Trauma penetrating
Luka tusuk atau luka tembak pada abdomen
dapat disebabkan tembakan senjata api atau sentaja
tajam yang menimbulkan laserasi dan sayatan pada
jaringan. Pada kasus luka tembak di abdomen
dapat dipengaruhi mengenai arah tembakan, jenis
misil yang digunakan, kecepatan tembak, jarak
tembak dan kemungkinan peluru pecah di
abdomen. Yang sering terjadi pada luka tembak
mengenai usus halus (50%), kolon (40%), liver
(30%) dan struktur pembuluh darah (25%). Gambar Trauma Penetrating
Pada luka tusuk yang melintang dapat mengenai struktur organ abdomen yang
paling sering yaitu liver (40%), usus halus (30%), diafragma (20%) dan kolon (15%).
3. Taruma Ledakan
Ledakan dapat menyebabkan cedera melalui
berbagai cara, termasuk penetrasi fragmen dan trauma
tumpul karena terlempar atau tertabrak atau terkena
benda benda yang terlempar saat terjadi ledakan, serta
bisa terjadi trauma tusuk karena terkena pecahan
material ledakan. Kombinasi meknisme tersebut harus
diperhatikan oleh petugas medis yang menolong.
Gambar Trauma Pasien yang dekat dengan sumber ledakan dapat juga
Ledakan mengalami cidera paru dan organ beronggakarena
daya ledak tinggi dan geajala dapat timbul secara lambat.
Untuk lebih mudah memahami fisiologi abdomen, kita bagi organ-organ abdomen
kedalam kelompok organ berongga, solid dan vaskuler. Jika mengalami cedera organ
vaskuler dan solid akan berdarah sedangkan organ berongga akan menumpahkan
kandungannya ke dalam rongga peritoneal atau ekstraperitoneal. Tumpahan ini
mengakibatkan perdarahan intraabdomen, peritonitis dan sepsis. Pertolongan meliputi
pengelolaan syok dan control perdarahan. Oleh sebab itu, perlu juga dilakukan pengenalan
fraktur pelvis untuk mengantisipasi ruptur uretra kerusakan organ lain seperti rektum, vagina
PT SMS Indonesia | Smart 95 | P a g e
dan lebih khususnya agar mengetahui terjadinya syok. Pengenalan fraktur pelvis kadang
dapat dikenal dengan sebutan Look-feel-move:
1) Penderita mengeluh tungkainya sakit bila digerakan
2) Adanya jejas daerah pelvis
3) Terabanya "gap" (cekungan) pada daerah simfisis pubis (open look)
4) Bila dilakukan tekanan pada tulang pelvis akan teraba krepitasi tulang (tes kompresi).
Lakukan tes kompresi dengan halus, dan hanya boleh satu kali.
Kadang-kadang diagnosis sulit karena penderita kesadarannya menurun, dan tidak
terabanya krepitasi tulang. Dapat pula terjadi bahwa penderita sedemikian dalam syok,
sehingga membingungkan akan sumber perdarahannya (1 dari 5 sumber perdarahan yang
bisa menyebabkan syok, selalu curigai). Bila suspek fraktur pelvis maka dilakukan
pemasangan gurita sekitar pelvis (atau PASG bila ada). Ruptur uretra dicurigai bila keluar
darah dari orifisium uretra eksterna/OUE (lubang kencing), dan atau adanya hematoma di
skrotum / supra-simfisis, dan pada rectal tosue/RT prostat melayang.
Di fase pra-RS tidak dilakukan apa-apa terhadap ruptur uretra. Pada saat mentransport
jangan memasang kateter uretra, karena dengan pemasangan kateter urine akan lebih
mencederai uretra.Pengenalan tanda-tanda perfusi harus dilakukan dengan cara lain, selain
jumlah urin. Bila Pasien ingin kencing, sebaiknya dianjurkan untuk menahan kencing
terlebih dahulu.
G. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya semua trauma abdomen tumpul dan tajam, penanganan awal tindakan
penyelamatan selalu didahulukan dan mengacu prosedur ABCDE, Di sini penolong atau tim
harus melakukan resusitasi dan stabilisasi secepat mungkin. Namun pada pasien dengan
abnormalitas hemodinamik, diperlukan evaluasi secara cepat atau dapat dilakukan dengan
FAST/DPL. Sebelum melangkah prosedur ABCDE terlebih dahulu proteksi diri, lingkungan
dan pasien.
AB= Airway dan Breathing ini diatasi terlebih dahulu, Selalu ingat bahwa cedera bisa lebih
dari satu area tubuh, dan apapun yang ditemukan, ingat untuk memprioritaskan airway
dan breathing terlebih dahulu. Curiga fraktur servilkal, lakukan fiksasi kepala dan
pasang neck collar dilanjutkan pemasangan log spine board.
C= Kebanyakan trauma abdomen tidak dapat dilakukan tindakan apa-apa pada fase pra-RS,
namun terhadap syok yang menyertainya perlu penanganan yang agresif.Seharusnya
monitoring urine dilakukan dengan pemasangan DC, namun umumnya tidak dilakukan
pada fase pra-RS karena masa transportasi yang pendek.
D= Tidak jarang trauma abdomen disertai dengan trauma kapitis. Selalu periksa tingkat
kesadaran (dengan GCS) dan adanya lateralisasi (pupil anisokor dan motorik yang lebih
lemah satu sisi).
E= Apabila ditemukan usus yang menonjol keluar (eviserasi), cukup dengan menutupnya
dengan kasa steril yang lembab supaya usus tidak kering dan hindari menyentuh secara
langsung atau memasukannya kembali ke dalam. Sedangkan Apabila ada benda
menancap, jangan dicabut, tetapi dilakukan fiksasi benda tersebut terhadap dinding
abdomen, karena jika benda tersebut dicabut bisa menyebabkan perdarahan yang cukup
hebat dan jaringan disekitar akan menjadi rusak lebih parah.Serta hindari pemberian
makan atau minum untuk smentara/pasang NGT untuk mencegah aspirasi.
PEMBIDAIAN
Bagaimana Melakukan Pembidaian Yang baik atau spalk adalah alat dari kayu,
anyaman kawat atau bahan lain yang kuat tetapi ringan yang digunakan untuk
menahan atau menjaga agar bagian tulang yang patah tidak bergerak (immobilisasi).
(1) Tujuan Pembidaian
Mencegah pergerakan / pergeseran dari ujung tulang yang patah
Mengurangi terjadinya cedera baru disekitar bagian tulang yang patah
Memberi istirahat pada anggota badan yang patah
Mengurangi rasa nyeri
Mempercepat penyembuhan Bagaimana melakukan pembidaian yang baik?
Kasus traumatologi seiring dengan kemajuan jaman akan cenderung semakin
meningkat, sehingga seorang dokter umum dituntut mampu memberikan
pertolongan pertama pada kasus kecelakaan yang menimpa pasien.
(2) Alat alat pokok yang dibutuhkan untuk pembidaian
Bidai atau spalk terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat tetapi
ringan. Pembalut segitiga.
Kasa steril.
(3) Prinsip Pembidaian
Pembidaian menggunakan pendekatan atau prinsip melalui dua sendi, sendi
di sebelah proksimal dan distal fraktur.
N
PROSEDUR
O
Menyiapkan alat balut dan bidai (Perban, Kassa, Elastis Bandage, Mitela, dan
3
atauTourniquet)
Fraktur
7 Cek PMS
9 Cek PMS
Front
18%
FRONT:
18%
Terdapat beberapa metode untuk menentukan luas luka bakar meliputi (1) rule
of nine, (2) Lund and Browder, dan (3) hand palm. Ukuran luka bakar dapat ditentukan
dengan menggunakan salah satu dari metode tersebut. Ukuran luka bakar ditentukan
dengan prosentase dari permukaan tubuh yang terkena luka bakar. Akurasi dari
perhitungan bervariasi menurut metode yang digunakan dan pengalaman seseorang
dalam menentukan luas luka bakar. Metode rule of nine mulai diperkenalkan sejak
tahun 1940-an sebagai suatu alat pengkajian yang cepat untuk menentukan perkiraan
ukuran /Iuas luka bakar. Dasar darimetode ini adalah bahwa tubuh di bagi kedalam
bagian-bagian anatomic, dimana setiap bagian mewakili 9 % kecuali daerah genitalia
1%.
Penanganan rasa sakit terhadap pasien kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Kompres pada luka dengan menggunakan kain
yang lembab dan steril secara psikologis membuat pasien merasakan kenyamanan.
Perawatan luka bertujuan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan mencegah infeksi.
PT SMS Indonesia | Smart 109 | P a g
KESIMPULAN
Otak tersimpan di dalam craniurn yang kaku. Cidera kepala apapun yang menyebabkan
pembengkakan atau perdarahan di dalam cranium akan mengakibatkan kompresi otak, yang
dapat mengakibatkan kerusakan neurologis yang permanen bahkan kematian. Penilaian
terhadap penderita trauma kepala dimulai dengan tingkat kesadarannya. Petugas harus
mencurigai adanya cidera intracranial jika menemukan penurunan tingkat kesadaran dan
mengambil langkah-Iangkah intervensi. Trauma kepala akan dapat mengakibatkan cidera
mulai dari konkusio sampai perdarahan intracranial yang mengancam jiwa. Perdarahan pada
wajah dan scalp serta fraktur akan berhubungan dengan potensi cidera otak. Transportasi
harus dilakukan dengan cepat dengan posisi kepala ditinggikan. Fasilitas yang tepat adalah
rumah sakit yang dapat memberikan pertolongan definitive terhadap cidera kepala dan
otak.
Kolumna vertebra terdiri dari 33 vertebra yang terpisah dan bertumpuk satu sama lain.
Fungsi Kolumna vertebra adalah menahan berat badan dan memudahkan gerak.Korda spinalis
yang berada didalam kolumna sangat rentan terhadap gerak atau posisi abnormal. Struktur
penuh saraf ini dilindungi oleh tulang-tulang vertebra. Korda dapat cidera jika tulang, otot dan
ligamen yang melindunginya cidera.Tidak dapatnya korda beregenerasi akan memungkinkan
cidera permanen. Mekanisme cidera dapat menjadi indikasi trauma spinal dan pengelolaannya.
Imobilisasi fraktur tulang belakang harus meliputi imobilisasi kepala, leher, torso dan pelviss.
Alat yang digunakan untuk imobilisasi harus membuat tulang belakang tidak bergerak
sedikitpun. Harus ada metode dan alat pelindung tulang belakang sampai dipastikan bahwa
penderita tidak mengalami cidera spinal atau sampai dilakukan penanganan bedah ebih lanjut.
Toraks merupakan daerah yang mengandung organ-organ vital kedua setelah otak. Toraks
juga mengandung pembuluh-pembuluh besar aorta, vena cava serta arteri/vena pulmonalis.
Cidera dada sering terjadi pada penderita trauma multi system dan biasanya berhubungan
dengan trauma yang mengancam nyawa. Cidera toraks yang serius dapat dengan mudah
menganggu ventilasi dan sirkulasi. Trauma dada akan menghasilkan penurunan ventilasi
Karena kurangnya pergerakan rangka dada atau hilangnya kontinuitas dinding toraks, tidak
adekuatnya oksigenasi darah yang melewati membrane alveoli kapiler akIbat kontusio
paru.
Cedera abdomen sangat potensial mengancam jiwa. Perdarahan hebat abdomen tidak selalu
menampakkan gejala yang jelas. Keadaan penderita cidera abdomen dapat memburuk dengan
cepat. Identifikasi organ yang cidera sulit dilakukan di lingkungan fase pra rumah sakit harus
dilakukan penilaian cepat, stabilisasi esensial dan transport cepat. Pertolongan fase awal
meliputi pengelolaan airway, oksigenasi adekuat dan control perdarahan. Tindakan bedah pada
umumnya harus segera dilakukan. Fasilitas rumah sakit dengan tim trauma yang siap sedia
sangatlah menentukan keberhasilan penyelamatan jiwa penderita.
Prinsip dalam penanganan luka bakar :
Stop the burning process (Hentikan Proses Luka Bakar)
Bebaskan jalan nafas (Airway)
Stabilkan pemafasan (Breathing)
Lakukan resusitasi cairan
Lakukan perawatan luka
PENDAHULUAN
Biomekanik trauma adalah proses/ mekanisme kejadian kecelakaan pada saat
sebelum, saat dan sesudah kejadian. Keuntungan mempelajari biomekanik trauma adalah dapat
mengetahui bagaimana proses kejadian dan memprediksi kemungkinan bag ian tubuh atau
organ yang terkena cedera. Pengetahuan akan biomekanik trauma penting karena akan
membantu dalam mengerti akibat yang ditimbulkan trauma dan waspada terhadap jenis
perlukaan tertentu.
Oleh karena itu penting sekali bagi setiap petugas penanganan gawat darurat untuk
mengetahui :
1. Hal yang terjadi
2. Cedera yang diderita pasien
Tanpa mengetahui mekanisme kejadiannya kita tidak dapat meramalkan cedera apa
yang terjadi dan hal ini akan menimbulkan bahaya bagi pasien. Biomekanik juga merupakan
sarana penting untuk melakukan triage dan harus disampaikan ke dokter gawat darurat atau
ahli bedah. Sebagai contoh beratnya kerusakan kendaraan pada kejadian kecelakaan merupakan
sarana pemeriksaan triage non fisiologis.
Informasi yang rinci mengenai biomekanik dari suatu kecelakaan dapat membantu
identifikasi sampai dengan 90 % dan trauma yang diderita pasien. Informasi yang rinci dan
biomekanik trauma ini dimulai dengan keterangan dari keadaan / kejadian pada fase sebelum
terjadinya kecelakaan seperti minum alkohol, pemakaian obat, kejang, sakit dada, kehilangan
kesadaran sebelum tabrakan dan sebagainya.
TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS:
Setelah mengikuti materi ini
peserta mampu:
1. Menjelaskan
Pengertian initial
assesment
2. Mengetahui masalah yang
Mengancam pada korban
Trauma dengan cepat tepat
Serta cara penanganan
secara Simultan.
3. Melakukan pengkajian
primer (primary
survey)
4. Melakukan pengkajian
sekunder (secondary
survey)
5. Menentukan rujukan rumah
Sakit yang tepat untuk penanganan definitive
INITIAL ASSESSMENT
A. PENDAHULUAN
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan tugas yang
menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem Pelayanan Tanggap Darurat
ditujukan untuk mencegah kematian dini karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit
hingga beberapa jam sejak cedera (kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat
trauma. Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat kematian karena trauma yang
terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma).
Kematian dini diakibatkan gagalnya oksigenasi adekuat pada organ vital (ventilasi tidak
adekuat, gangguan oksigenisasi, gangguan sirkulasi, dan perfusi organ tidak memadai), cedera
SSP masif (mengakibatkan ventilasi yang tidak adekuat dan/ atau rusaknya pusat regulasi
batang otak), atau keduanya. Cedera penyebab kematian dini mempunyai pola yang dapat
diprediksi (mekanisme cedera, usia, jenis kelamin, bentuk tubuh, atau kondisi lingkungan).
Tujuan penilaian awal adalah untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera/ kelainan
pengancam jiwa dan untuk memulai tindakan yang sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan
efisiensi tindakan definitif atau transfer ke fasilitas kesehatan yang sesuai dengan keadaan
korban melalui protokol yang disebut ― advanced trauma life support‖.
Penilaian awal ini intinya mencakup beberapa elemen, yaitu:
1. Triage
2. Primary Survey, yaitu penanganan ABCDE+FG dan resusitasi. Disini dicarikeadaan yang
mengancam nyawa, dan apabila menemukan harus dilakukanresusitasi.
Danger
Perhatikan bahaya yang mengancam di sekitar lokasi kejadian. Pastikan aman/ safety dalam
melakukan tindakan pertolongan. Adapun keamanan yang harus diperhatikan adalah :
Keamanan diri / Penolong
Kemanan lokasi kejadian
Keamanan pasien/korban
Evaluasi dan waspadai semua potensi bahaya agar tidak membahayakan penolong dan
penderita
Respon
Menilai kesadaran di awal penilaian dilakukan dengan cepat dan tepat, dimana hal ini
untuk segera melakukan rencana tindakan pertolongan bagi korban. Cek kesadaran di awal
penilaian hanya mengukur apakah korban sadar atau tidak. Adapun penggunaan cek kesadaran
dengan menggunakan AVU:
A = Alert/sadar
Pasien dikatakan alert/sadar apabila pasien dapat berorientasi terhadap tempat, waktu dan
orang.
V = Verbal/respon terhadap suara
Pasien berespon terhadap rangsangan suara (mengikuti perintah melalui verbal dengan
teriak ―pak/buk!‖ Atau ―buka mata pak/buk!‖ Dan tepuk bahu)
U = Unresponsive/tidak sadar
Kegagalan dalam merespon hal tersebut menunjukan adanya gangguan ABCD,
sehingga memerlukan penilaian dan penanganan segera.
Disability
Perdarahan intra-kranial dapat menyebabkan kematian dengan sangat cepat(the patient who
talks and dies), sehingga diperlukan evaluasi keadaanneurologis secara cepat.Setelah Airway,
Breathing, and Circulation pemeriksaan status neurologi harus dilakukan yang meliputi:Tingkat
kesadaran dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian tanda lateralisasi: Pupil
(ukuran, simetris dan reaksi terhadap cahaya), kekuatan tonus otot (motorik)
1. Glasgow Coma Scale (GCS)
merupakan skala yang penting untuk evaluasi pengelolaan jangka pendek dan panjang
penderita trauma. GCS adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat meramal
kesudahan (outcome) penderita. Penurunan kesadaran dapatdisebabkan penurunan
oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak,atau disebabkan perlukaan pada otak
sendiri. Perubahan kesadaranakan dapat mengganggu mengganggu airway Berta breathing
yangseharusnya sudah diatasi terlebih dahulu. Jangan lupa bahwa alkoholdan obat-obatan
dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita.Penurunan tingkat GCS yang lebih dari satu
(2 atau lebih) harus sangatdiwaspadai.
Kategori Respon Respon Nilai
Spontan 4
Respon Perintah verbal 3
Buka Mata Nyeri 2
Tidak ada respon 1
Mengikuti perintah 6
Mengetahui letak nyeri 5
Flexi terhadap nyeri 4
Respon Motorik Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi (deserebrasi) 2
Tidak ada respon 1
Orientasi baik dan bicara 5
Disorientasi dan berbicara 4
Respon Verbal Kata-kata yang tidak tepat 3
Suara yang tidak berarti 2
Tidak ada respon 1
―Ingat, pemberian oksigen, ventilasi, perfusi, obat, alchohol dan hipoglikemia dapat
mempengaruhi tingkat kesadaran‖
2. Pemeriksaan pupil
Pemeriksaan pupil berperan dalam evaluasi fungsi cerebral pada tahap ini. Keadaan pupil
yang normal digambarkan dalam PEARL (Pupils Equal and Round Reactive to Light),
yaitu pupil harus simetris, bundar dan bereaksi normal terhadap cahaya. Dan salah satu
keadaan pupil yg tidak normal yakni Pupil yang tidak sama besar (anisokor), kemungkinan
menandakan adanya suatu lesi masa intra-kranial (perdarahan),Tapi perlu diingat bahwa
lesi biasanya (tidak selalu) akanterjadi pada sisi pupil yang melebar.
Vital Sign
Periksa kembali tanda-tanda vital sebagai data untuk mengetahui status pernapasan dan
sirkulasi, yakni: Tekanan Darah, Nadi, Pernapasan, Suhu, dan SPO2
Anamnesa
Anamnesis harus lengkap karena akan memberikan gambaranmengenai cedera yang
mungkin diderita. Beberapa contoh:
1. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman:cedera
wajah, maksilo fasial, servikal, toraks, abdomen dan tungkaibawah.
2. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter: perdarahan intra-kranial,fraktur servikal
atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
3. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi dan keracunan CO
KOMPAK
K: Keluhan saat ini
O: Obat yang sedang dikonsumsi
M: Makanan terakhir (Jenis & waktu
terakhir makan)
P: Penyakit
A: Alergi
K: Kejadian
sonograpy for trauma (e-FAST), dan diagnostic peritoneal lavage (DPL) sangat bermanfaat
RE-EVALUASI
Penderita trauma harus selalu dilakukan re-evaluasi secara berkala. Penilaian ulang
penderita dengan mencatat, melaporkan setiapperubahan pada kondisi penderita dan respon.
Monitorig berkelanjutan terhadap ABCDE, dari tanda vital sign, SPO2, dan urin output.
RUJUK
Rujuk pasien di pertimbangkan sesuai dengan tingkat keparahan, fasilitas Rumah Sakit dari segi SDM maupun Pe
yang sudah dilakukan dengan teliti tanpa ada yang tertinggal.
Re-evaluasi
Kolaborasi untuk medikasi lebih lanjut
Pertimbangkan kebutuhan rujuk
Nilai adanya kebutuhan rujukan (ke ruang ICU/ICCU/OK/RS lain)
Komunikasikan mengenai seluruh informasi dan tindakan yang sudah dilakukan dengan teliti tanpa ada
yang tertinggal.
Rujuk
Persiapan rujukan:
- tempat rujuk harus sudah siap
- informasikan mengenai identitas korban, riwayat kejadian, keadaan umum, vital sign dan tindakan
yang sudah dilakukan
PENDAHULUAN
Triage adalah penilaian, pemilahan, dan pengelompokan pasien yang akan mendapatkan
penanganan medis dan evakuasi pada kondisi kejadian masal atau bencana.
Penanganan medis yang diberikan berdasarkan prioritas sesuai dengan keadaan pasien. Triage
di bagi menjadi 2 (dua) yaitu Triage di Rumah Sakit dan Bencana.
TUJUAN TRIAGE
Tujuan triage adalah untuk memudahkan penolong memberikan pertolongan dalam kondisi
pasien masal atau bencana dan diharapkan banyak pasien yang memiliki kesempatan untuk
bertahan hidup.
Kejadian yang mengakibatkan pasien dua atau lebih harus dilakukan triage dalam
melakukan pertolongan dengan melihat kondisi pasien dan berdasarkan prioritas yang
disesuaikan dengan jumlah penolong. Untuk kasus yang biasa tingkat "urgency" harus
selalu diperhatikan. Pada kasus bencana dengan pasien yang banyak ada dua factor yang
harus diperhatikan dalam menentukan prioritas, yaitu : urgency dan potensial untuk
bertahan.
Triage dimulai dengan mengkaji lingkungan. Satu orang senior atau yang sudah
berpengalaman mengaktifkan sistem dengan menganalisa kebutuhan bantuan medis yang
diperlukan. Penggunaan alat pelindung diri harus dilakukan oleh petugas dan kelengkapan alat
medis. Pastikan orang umum atau yang tidak perlu berada di area lokasi kejadian harus
diamankan untuk keselamatan dan mempermudah penanganan.
A. TRIAGE DI RS
Suatu proses yang mana pasien digolongkan menurut tipe dan tingkat kegawatan
kondisinya, juga untuk menguraikan perbedaan sistem klasifikasi pre-hospital dan hospital,
maupun menguraikan skala kategori keakutan pasien/Patient Acuity Category Scale
(PACS).
1. Klasifikasi Triage
Berdasarkan pada pengetahuan, data yang tersedia, dan situasi yang berlangsung.
Dengan sistem klasifikasi menggunakan nomor, huruf, tanda.
2. Sistem Triage
Non-Disaster
Untuk menyediakan perawatan sebaik mungkin bagi setiap individu pasien
Disaster
Untuk menyediakan perawatan yang lebih efektif untuk pasien dalam jumlah banyak
3. Type Triage
a. Type 1 : Traffic Director or Non-Nurse Triage (Porter)
Hampir sebagian besar berdsarkan sistem triage
Dilakukan oleh petugas yang tak berijasah
Pengkajian minimal terbatas pada keluhan utama dan seberapa sakitnya.
Tidak ada dokumentasi
Tidak menggunakan protokol
b. Type 2 : Cek Triage Cepat
Pengkajian cepat dengan melihat, dilakukan oleh perawat beregistrasi atau
dokter
Teramasuk riwayat kesehatan yang berhubungan dengan keluhan utama
Evaluasi terbatas
Tujuan : Untuk memastikan bahwa pasien yang lebih serius mendapat
perawatan pertama.
c. Type 3 : Comprehensive Triage
Dilakukan oleh perawat, dengan pendidikan yang sesuai dan berpengalaman
4 sampai 5 kategori
Sesuai protokol
4. Skala Kategori Triage
a. Prioritas 1 (Emergency) → Merah
Pasien dengan kondisi mengancam nyawa, kolaps kardiovaskuler dimana
memerlukan evaluasi dan intervensi segera
Ruang resusitasi dengan alokasi tenaga dan peralatan maksimal
Waktu tunggu Nol
b. Prioritas 2 (Urgent) → Kuning
Pasien dengan penyakit yang akut tapi tidak dalam kondisi ancaman kolaps
Perlu perhatian awal
Mungkin membutuhkan
trolly Waktu tunggu 30 menit
Area Critical Care
c. Prioritas 3 (Non Urgent) → Hijau
Pasien dengan masalah medis yang minimal
Kondisi yang timbul sudah lama/luka lama
Bisa jalan/butuh kursi roda
Area Ambulatory/ruang P3
d. Prioritas O (Kematian) → Hitam
Tidak ada respon pada segala rangsangan
TRIAGE
(Merah) (Kuning)
Mengalami masalah pada airway, breathing
dan circulation Luka bakar tanpa
Syock komplikasi Multiple trauma
Perdarahan Trauma spinal
Open chest wounds Abdominal
Trauma pada injuries Eye
abdomen injuries
Pneumothoraks
Trauma kepala
(Hijau) (Hitam)
Sprains, strains, Cidera fatal
laserasi Masalah Tidak ada respon
psikologis Tampak tanda-tanda kematian
Tanpa luka
Perhatian :
1. Keakutan mengacu pada seberapa parah penyakit atau cederanya
2. Protokol diperlukan untuk penugasan kategori keakutan
3. Kategori mungkin dapat berubah berdasarkan perubahan dalam kondisi pasien
4. UPTRIAGE ketiga ragu : Hindari Downtriage
START
METTAG
Resusitasi & Stabilisasi
UGD
Evakuasi
Survei
Transporrtasi Sukender
Tidak Ya
HIJA
MERAH MERAH
HITAM
MERAH KUNING
A. PENDAHULUAN
Keberhasilan penanggulangan korban gawat darurat tergantung pada beberapa
kondisi, yaitu: kecepatan ditemukan, kecepatan respon tenaga kesehatan, kemampuan dan
kualitas tenaga kesehatan dan kecepatan minta tolong. Semakin cepat korban ditemukan,
semakin cepat pula korban dapat diselamatkan. Namun bukan berarti tanpa halangan.
Misalnya, korban gawat darurat di lokasi yang sangat sulit dijangkau membutuhkan teknik
cara yang lebih baik dalam menemukan mereka. Pertimbangan bila kecelakaan terjadi di
daerah yang sulit, mungkin perlu dilakukan penyisiran secara foto satelit. Kecepatan respon
tenaga kesehatan baik yang ada di rumah sakit, di ambulance, atau di komunitas menjadi
sangat penting dalam memperbesar harapan hidup bagi korban dengan kondisi kegawat
daruratan.
Kemampuan dan kualitas tenaga kesehatan akan sangat menentukan probabilitas
kualitas hidup korban setelah terjadi kecelakaan. Semakin terlatih petugas kesehatan dan
diimbangi dengan pengetahuan yang baik, maka dalam melakukan tugasnya menolong
korban lebih baik, khususnya probabilitas harapan hidup korban.
Korban gawat darurat biasanya tidak mampu meminta pertolongan, karena kondisinya
sendiri pun tidak memungkinkan untuk itu. Misalnya apabila kesadaran korban menurun.
Sehingga diharapkan ada orang lain yang meminta tolong kepada petugas terlatih atau
petugas kesehatan untuk memberikan bantuan yang diperlukan sesuai kondisi korban. Maka
semakin cepat meminta tolong, semakin cepat pula mendapatkan pertolongan. Untuk itu
segala upaya perlu dilakukan untuk dapat meminta bantuan secepatnya.
Kematian karena trauma dapat terjadi sesaat setelah kejadian, dalam perjalanan ke
rumah sakit, saat di rumah sakit atau setelah pulang dari rumah sakit. American College Of
Surgeon menguraikan distribusi kematian akibat trauma yang dikenal dengan Trimodal
Death Distribution yang terbagi dalam beberapa puncak kematian akibat trauma sebagai
berikut:
1. Puncak Pertama
50% kematian akibat trauma terjadi beberapa detik atau beberapa menit setelah
kejadian. Kematian dini umumnya karena laserasi otak, batang otak, spinal cord level
tinggi, jantung aorta, dan pembuluh darah besar lainnya (hanya sedikit dari kelompok
pasien ini dapat diselamatkan). Akibat beratnya cedera, hanya sedikit dari kelompok ini.
Keberhasilan penanggulangan kelompok ini hanya dapat ditemui di daerah perkotaan
tertentu yang memiliki sarana pra rumah sakit dan transportasi yang cepat dan baik.
2. Puncak Kedua
35% kematian terjadi dalam 1-2 jam setelah trauma. Periode waktu ini dikenal dengan
The Golden Hour. Kematian disebabkan oleh trauma kepala berat (Hematoma subdural
atau extradural), Trauma thoraks (Hematotoraks atau Pneumothorax), trauma abdomen
(ruptur limpa atau laserasi hati), Fraktur femur atau pelvis dengan perdarahan masif,
multifple trauma dengan perdarahan. Pencegahan kematian harus dilakukan secara agresif
dalam periode 1-2 jam setelah trauma dengan melakukan penilaian dan resusitasi yang
tepat dan cepat, yang merupakan prinsip dasar dari Basic Trauma Life Support (BTLS).
3. Puncak Ketiga
15% kematian terjadi beberapa hari atau beberapa minggu setelah kejadian.
Kebanyakan terjadi karena sepsis dan gagal sistem organ multiple. Kualitas
penanggulangan pada setiap periode berdampak pada periode ini, sehingga orang pertama
dan setiap individu yang terlibat dalam penanggulangan pasien gawat darurat trauma akan
mempunyai dampak langsung pada hasil akhir jangka panjang. Berdasarkan uraian di
atas, maka diperlukan suatu system penanggulangan pasien gawat darurat mulai dari
tempat kejadian sampai dengan rumah sakit. Sistem tersebut dikenal dengan sistem
penanggulangan pasien gawat darurat secara terpadu (SPGDT). SPGDT merupakan suatu
alur penanganan pasien gawat darurat yang berkesinambungan dan terintegrasi/terpadu
dalam suatu sistem dengan melibatkan seluruh komponen dan sumberdaya, sehingga
pasien mendapatkan pertolongan secara cepat dan tepat dari mulai tempat kejadian, di
rumah sakit dan setelah keluar dari rumah sakit.
C. JENIS SPGDT
SPGDT dibagi menjadi 2 yaitu:
1. SPGDT-S (Sehari-Hari)
SPGDT-S adalah rangkaian upaya pelayanan gawat darurat yang saling terkait
yang dilaksanakan ditingkat Pra Rumah Sakit – di Rumah Sakit – antar Rumah Sakit dan
terjalin dalam suatu sistem. Bertujuan agar korban/ pasien tetap hidup. Meliputi berbagai
rangkaian kegiatan sebagai berikut :
Jenis Ambulance
Tipe ambulans berdasarkan daerah
operasi dan jenisnya ambulans dibedakan
menjadi beberapa kategori sebagai berikut :
a. Ambulans Darat/ Ground Ambulance
Ambulans darat adalah ambulans
yang umum ada di sekitar kita.
Ambulans darat digunakan untuk
melakukan pertolongan di
Gambar: Ambulans Laut & Udara
tempatkejadian dan melakukan
transportasi ke rumah sakit rujukan.
c.Ambulans Udara/ Air Ambulance
Selain itu digunakan untuk melakukan
Ambulans udara dioperasikan untuk
rujukan antar rumah sakit dan pulang
evakuasi pasien VIP, evakuasi antar
perawatan.
pulau, evakuasi ke luar negeri, atau
Berikut ini ada beberapa syarat yang
evakuasi dari pedalaman / laut ke kota
harus diperhatikan dalam membangun
besar. Petugas ambulans udara harus
sebuah ambulans, terutama ambulans
mendapat pelatihan khusus, karena ada
gawat darurat:
beberapa pasien dengan kasus tertentu
Luar/lebar kabin ambulans
beresiko untuk berada di ketinggian. Hal
memungkinkan untuk pasien
ini terkait dengan perubahan tekanan
terlentang dengan leluasa tanpa
atmosfir di darat dan udara. Beberapa
harus menekuk kaki atau bagian
tipe ambulans udara yang digunakan
tubuh lain.
adalah sebagai berikut: Helikopter,
Luas dan lebar kabin ambulans
Rotary wing dan Fixed Wing.
memungkinkan petugas untuk
Berikut ini adalah keuntungan dan
memonitor kondisi pasien dan
kerugian memakain ambulans udara.
melakukan tindakan medis di
Keuntungan:
dalamnya.
PT SMS Indonesia | Smart 145 | P a g
- Transportasi cepat dan lancar tidak - Transportasi yang layak
ada hambatan lalu lintas tersedia sesuai dengan
- Akses menuju tempat kejadian keadaan penderita
cepat. Untuk memfasilitasi
- Dapat menghindari rambu lalu pengamana evakuasi, maka
lintas, kereta api, gunung dan diperlukan kontrol lalu lintas oleh
penghalang lainnya kepolisian untuk memastikan
- Perjalanan masih mungkin kelancaran jalur lalu lintas antar
dilakukan meskipun kondisi jalan rumah sakit dan post medis
tidak mendukung maupun pos komando lapangan.
- Jika ambulans darat tidak Pos medis dapat menyampaikan
memungkinkan ke pos komando lapangan agar
- mencapai lokasi kejadian dengan penderita dapat dilakukan
cepat. evakuasi bila sudah dalam
- Jika kualitas pertolongan di lokasi keadaan stabil.
kejadian tidak memungkinkan
- Sangat jarang terjadi kecelakaan c. Sistem Pelayanan Medik Intra
ambulans udara dibandingkan Rumah Sakit (Hospital Phase)
ambulans darat Hospital Disaster Plan
Kerugian: Didalam rumah sakit
- Di daerah perkotaan ambulans darat sendiri harus membuat suatu
lebih cepat dibandingkan ambulans perencanaan untuk
udara. menghadapi kejadian
- Cuaca buruk dapat menghambat bencana yang disebut
perjalanan ambulans udara. hospital disater plan, baik
- Tingkat kebisingan yang tinggi bersifat intra hospital disaster
mungkin akan menghambat plan maupun extra hospital
komunikasi petugas dan pasien. disater plan dimana kejadian
- Keterbatasan tempat dan tersebut menyebabkan
keterbatasan berat beban yang korban massal.
dibawa akan membatasi akses ke Pertolongan di unit gawat
pasien. darurat
- Biaya operasional sangat tinggi. Berikut ini klasifikasi
- Kecelakaan ambulans udara lebih pelayanan Instalasi Gawat
sedikit tertolong Darurat berdasarkan
b. Sistem Pelayanan Medik Antar
Keputusan Menteri
Rumah Sakit
Kesehatan Nomor 856/
Merupakan suatu bentuk pelayanan
Menkes/SK/IX/2009
transportasi yang ditujukan dari pos
komando rumah sakit lapangan menuju mengenai Standar Instalasi
rumah sakit rujukan atau transportasi Gawat Darurat (IGD) Rumah
antar rumah sakit baik dikarenakan Sakit (dinilai dan kualifikasi
adanya bencana yang terjadi diumah tenaga IGD);
sakit, dimana pasien harus dievakuasi - Instalasi Gawat Darurat
dan dipindahkan ke rumah sakit lainnya. (IGD) Level I
Pelaksanaan harus menggunakan sarana Di IGD hanya terdapat
prasarana yang memenuhi kriteria syarat dokter umum (telah
standart evakuasi, diantaranya: mengikuti pelatihan
- Penderita dalam keadaan yang kegawatdaruratan
stabil seperti GELS, ATLS,
- Penderita telah diberi peralatan ACLS, dll)
yang standart untuk transportasi - Instalasi Gawat Darurat
- Faskes penerima sudah diberi (IGD) Level II
informasi terlengkap dan siap Di IGD terdapat dokter
menerima penderita umum (telah mengikuti
pelatihan
kegawatdaruratan
KESIMPULAN
Sistem penanggulangan pasien gawat darurat terpadu yang baik akan terwujud apabila
ada komitmen yang kuat dari pemerintah yang berwenang. Hal ini sehubungan dengan
tingginya investasi yang harus ditanamkan dan perlunya koordinasi yang baik antar institusi
terkait. Penanganan pasien gawat darurat dari mulai fase pra rumah sakit dan rumah sakit harus
menjadi satu kesatuan dan berkesinambungan. Keberhasilan pertolongan di rumah sakit sangat
ditentukan oleh kualitas pertolongan pada fase pra rumah sakit. Angka kematian terbesar pada
trauma berat adalah pada fase pra rumah sakit. Oleh karena itu sangat penting untuk
memberikan pelatihan kepada masyarakat agar mampu melakukan pertolongan kepada dirinya
sendiri dan orang di sekitarnya ketika terjadi kegawatdaruratan.
strip
PENDAHULUAN
Ganguan irama jantung dan serangan jantung merupakan kasus penyakit dan kematian
tertinggi di Indonesia berhubungan dengan pola makan dan gaya hidup yang berlebihan.
Masyarakat umumnya tidak mengenal tanda dan gejala serangan jantung, sebagai petugas
kesehatan sangat penting mengetahui tanda dan gejala serta penatalaksaan gangguan irama
mengalami kegawat daruratan jantung, dimana kegawat daruratan jantung masih merupakan
penyebab kematian nomer satu di seluruh Negara. Diharapkan dengan semakin banyaknya
petugas kesehatan dapat membaca interprestasi EKG, pasien dapat mendapatkan pertolongan
A. ANATOMI JANTUNG
Otot jantung
merupakan otot
yang mempunyai
keistimewaan
tersendiri
dibandingkan
dengan otot
lainnya. Otot
jantung
mempunyai suatu
sistem yanng
dapat memberikan
suatu implus
rangsangan
kontraksi sendiri
(Automaticity)
dan meneruskan
rangsangan
tersebut keseluruh
otot jantung
(disebut proses
Konduksi). Setiap
aktifitas baik
kontraksi dan relaksasi dari otot jantung akan memberikan perubahan potensiial aksi
kelistrikan yang dapat kita lihat dengan merekaam perubahan tersebut pada alat perekam
khusus Jantung terdiri dari 4 ruang yaitu 2 ruang yang berdinding tipis disebut atrium dan
2 ruang yang berdinding tebal disebut Ventrikel. Mempunyai 4 katup Atrioventrikuler
(Trikuspid dan Biskupid) dan 2 katup Semilunar (Pulmonal dan Aorta). Terdiri dari 3
lapisan Epikardium, Miokardium dan Endokardium
Arteri koroner adalah cabang pertama dari sirkulasi sistemik. Sirkulasi koroner terdiri
dari arteri koroner kanan dan kiri. Arteri koronerkiri (Left Main Coronary Artery-LMCA)
mempunyai dua cabang besar yaitu, Ramus Desenden Anterior (Left Anterior Descenden-
LAD) dan Ramus Sirkumpleks (Left Circumplek-LCx). Arteri imi melingkari Jantungg
dalam dua lekukan atomis eksternal yaitu sulkus Atrioventrikular yang melingkari jantung
diantara atrium dan ventrikel dan sulkus inter ventrikel yang memisahkan kedua ventrikrel.
Pertemuan kedua lekuk ini dibagian posterior merupakan bagian yang kritis dipandang dari
sudut anatomis.
Arteri koroner kanan (Right Coronary Artery-RCA) berjalan ke sisi kanan jantung. Pada
sulkus Atrioventrikuler kanan pada dasarnya arteri koronariaa kanan memberi makan padaa
Atrium dan ventrikel kanan juga dinding sebelah kanan dari ventrikel kiri. Meskipun
Nodus SA (Sino Atrial Node) letaknya di Atrium kanan tetapi hanya 55% kebutuhan
nutrisinya dipasok oleh Arteri Coronaria kanan sedang 42% lainnya dipasok oleh cabang
Arteri Sirkumplek Kiri.
Didalam otot jantung terdapat jaringan khusus yang menghantarkan aliran listrik dan
memiliki sifat – sifat khusus yaitu:
1. Otomatisasi : kemampuan untuk menimbulkan listrik secara spontan
2. Ritmisasi : pembentukan impuls yang teratur
3. Daya konduksi : kemampuan untuk menyalurkan impuls
4. Daya rangsang : kemampuan untuk bereaksi terhadap rangsangan
Berdasarkan sifat tersebut maka secara spontan dan teratur jantung dapat
menghasilkan impuls – impuls yang disalurkan melalui sistem hantar untuk merangsang otot
jantung dan bisa menimbulkan konduksi. Bila sistem konduksi berfungsi normal, maka
atrium berkontraksi kira – kira 1/6 detik lebih dulu dari kontraksi ventrikel sehingga
Jantung
berfungsi memompa
darah ke paru – paru
dan ke seluruh tubuh.
Cara jantung
memompa darah
adalah dengan
melakukan kontraksi
secara bergantian
antara atrium dan
ventrikel, dengan
irama yang teratur dan
terus menerus
sepanjang hidup.
Bekerjanya jantung
didukung oleh dua
sistem yang ada dalam
jantung yaitu sistem
kontraksi dan sistem
konduksi.
Depolarisasi Spontan
Perjalanan impuls Pada orang normal, rangsangan listrik jantung berawal dari SA
Node, dari SA Node ke AV Node, rangsangan dihantarkan melalui Traktus internodal
(arterior, medial, dan posterior), Berkas Hiss dimulai dari AV Node mencapai tepi atas
septum interventrikuler. Dari sini terbagi dua, yaitu sisi kiri yang disebut pars membranosa
dan sisi kanan yang merupakan terusan berkas hiss. Ia berjalan sebagai struktur tunggal
dilapisan subendokard disisi kanan sehingga mencapai dasar muskulus papilaris anterior.
Dari sini terbagi menjadi 3 cabang, yaitu anterior, posterior dan lateral. Yang terakhir ini
menuju dinding lateral ventrikel kanan dan bagian bawah septum membentuk bangunan
seperti kipas, yang akhirnya disebut serabut purkinye. Dalam keadaan tertentu dapat timbul
impuls yang bukan berasal dari SA Node, melainkan dari tempat lain seperti dari atrium
maupun dari ventrikel. Bila terjaadi kegagalan fungsi dari SA Node, maka sistem yang
lainnya dapat mengambil alih SA Node tersebut.
1. Sandapan Bipolar
Yaitu merekam perbedaan
potensial dari dua elektroda,
sandapan ini ditandai dengan
angka romawi (I, II, III)
(sadapan ekstermitas)
a. Sandapan I
Merekam beda potensial
antara lengan kanan (RA)
dengan lengan kiri (LA)
dimana lengan kanan
bermuatan (-) dan lengan
kiri bermuatan (+)
b. Sandapan II
Merekam beda potensial
antara lengan kanan (RA)
dengan kaki kiri (LF)
dimana lengan kanan
bermuatan (-) dan kaki
kiri bermuatan (+)
c. Sandapan III
Merekam beda potensial
antara lengan kiri (LA) dengan kaki kiri (LF) dimana lengan kiri bermuatan (-) dan
kaki kiri bermuatan (+)
2. Sandapan Unipolar
Sandapan unipolar ini terbagi 2 yaitu, sandapan unipolar ekstrimitas dan sandapan
unipolar
C. Kertas EKG
Kertas EKG merupakan
kertas grafik yang merupakan
garis horizontal vertikal
dengan jarak 1mm (kotak
kecil) garis yang lebih tebal
terdapat pada setiap 5mm di
sebut (kotak besar).
Garis horizontal
menunjukkan waktu dimana
1mm = 0,04 detik, sedangkan
5mm = 0,20 detik. Garis
vertikal menggambarkan
Voltage, dimana I mm=0,1
mv, sedangkan setiap 10mm
= 1 mv
Pada praktek sehari-hari
1500
b. Jumlah kotak kecil antaraR−R1
a. Ambil EKG strip sepanjang 6 detik, hitung jumlah gelombang R dalam 6 detik tsb
kemudian dikalikan 10 atau ambil rekaman dalam 12 detik dan kalikan 5.
3. Tentukan gelombang P normal atau tidak, juga lihat apakah setiap gelombang P selalu
diikuti gelombang QRS? (P : QRS)?
4. Tentukan interval PR normal atau tidak
5. Tentukan gelombang QRS normal atau tidak
Irama EKG yang normal impuls (sumber listrik) nya berasal dari Nodus SA, maka
6. ST Segmen
F. Aritmia / disritmia
Adalah gangguan
denyut jantung yang
meliputi frequensi,
irama dan konduksi
yang dapat
ditimbulkan oleh
karena gangguan
pengeluaran /
pembentukan impuls
maupun gangguan
sistem hantaran /
konduksi atau
keduanya.Klasifikasi
aritmia ( sesuai
dengan prognosis ):
1. Aritmia minor
Ini tidak
memerlukan
tindakan segera
sebab tidak
mengganggu sirkulasi dan tidak berlanjut ke aritmian yang serius, biasanya tidak
memerlukan teraphi
2. Aritmia mayor
Dapat menimbulkan gangguan penurunan curah jantung & dapat berlanjut ke aritmia
yang mengancam jiwa. Memerlukan tindakan segera dan teraphi
3. Aritmia mengancam jiwa
Aritmia yang memerlukan resusitasi segera untuk mencegah kematian
Gangguan EKG:
Gangguan pembentukan impuls
a) Sinus Takikardi ( ST )
b) Sinus Bradikardi (SB )
c) Atrial Fibrilasi ( AF )
d) Atrial Fluter ( Af )
e) Supra Ventrikel Takikardi ( SVT )
f) Ventrikel fibrilasi ( VF )
g) Ventrikel Takikardi ( VT )
h) Irama Junctional
i) Ventrikel Extra Systole ( VES )
Gangguan penghantar impuls:
a. Sinoatrial Block
b. AV Block
c. RBBB
d. LBBB
2. Sinus Bradycardi
Irama :Teratur
Frekwensi HR :Kurang dari 60 x/menit
Gel. P:Normal, setiap gel. P selalu dikuti gel qrs dan
t Interval PR :Normal ( 0,12 – 0,20 detik )
Gel. QRS :Normal ( 0,06 – 0,12 detik )
Catatan :Semua gel. Sama
3. Sinus Aritmia
Irama :Tidak teratur
Frekwensi HR :Biasanya antara 60 – 100 x/menit
Gel. P :Normal, setiap gel. P selalu dikuti gel QRS dan T
Interval PR :Normal ( 0,12 – 0,20 detik )
Gel. QRS :Normal ( 0,06 – 0,12 detik )
Takikardi ventrikuler (VT)
Catatan :Semua gel. Sama
Note : Normal pada orang muda, akibat pengaruh pola
pernafasan, meningkat selama inspirasi dan menurun pada fase ekspirasi.
5. Atrial flutter
Irama :Biasanya teratur, bisa juga tidak
Frekwensi HR :Bervarias ( bisa normal, lambat/ cepat )
Gel. P :Tidak normal, seperti gigi gergaji ( saw tooth ), teratur dan
dapat dihitung,tidak semua gel P diikuti QRS ,sehingga frequensi
frequensi atrialtidaksama dengan ventrikel bisa 2:1, 3:1 atau 4:1
Interval PR :Tidak dapat dihitung
Gel. QRS :Normal
VES BIGEMINI
VES TRIGEMINI
14.Asistole
15.Catatan:
Frekuensi jantung yang normal : 60 – 100x/menit
Lebih dari 100 x/menit : Sinus takikardi
Kurang dari 60 x/menit : Sinusbradikardi
150 – 250 x/menit : Takikardiabnormal
250 – 350 x/menit : Flutter
>350 x/menit : Fibrilasi
PENDAHULUAN
suatu fase akut dari Angina Pectoris Tidak Stabil-APTS (terjadi peningkatan nyeri dada baik
frekuensi, durasi dan intensitas nyeri serta tidak dapat diatasi dengan pemberian nitrat). Angina
tersebut dapat terjadi sewaktu – waktu, saat istirahat aupun beraktifitas. Hal ini disebabkan
karena adanya thrombosis akibat dari rupture plak aterosklerosis yang tidak stabil.
Sindrom ini menggambarkan suatu penyakit yang berat dengan mortalitas tinggi. Mortalitas
tidak tergantung pada besarnya prosentase stenosis (plak) koroner, namun lebih sering
ditemukan pada penderita dengan plak kurang dari 50 – 70% yang tidak stabil, yakni fibrouse
cap ―dinding plak‖ yang tipis dan mudah erosi atau rupture.
Oleh karena terjadi perubahan morfologi pembuluh darah koroner, maka lambat laun plak
tersebut menjadi rapuh, pada saat plak yang rapuh tersebut lepas, maka terbentuk sumbatan
pada aliran darah koroner. Di lain pihak pada lapisan pembuluh darah koroner tersebut akan
terjadi kikisan maka inilah pemicu terjadinya thrombus, kadang kejadian ini disertai tanda atau
keluhan dari klien seperti nyeri dada. Keluhan nyeri dada timbul sebagai tanda ―supply‖
oksigen tidak sesuai dengan ―kebutuhan‖ otot jantung. Dengan demikian otot jantung menjadi
iskemi.
4. Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko penyakit
jantung koroner dibagi dua yaitu faktor
resiko yang dapat dimodifikasi dan
faktor resiko yang tidak dapat
dimodifikasi. Faktor resiko yang dapat
dimodifikasi antara lain:
Hipertensi
Diabetes
Hiperkolesterolemia
Merokok
Kurang latihan
Diet dengan kadar lemak
tinggi Obesitas
Stress
Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi antara
lain: Riwayat PJK dalam keluarga
Usia di atas 45 tahun
Jenis kelamin laki-laki > perempuan
Etnis tertentu lebih besar resiko terkena PJK
PENDAHULUAN
Pemberian direct current (DC) shocks untuk kasus jantung telah lama digunakan dan sukses
mengubah irama jantung yang tidak normal menjadi kembali normal. Pada tahun 1775,
Abildgaard melaporkan menggunakan listrik untuk menghidupkan seekor ayam betina dari
kematian.
Pemberian gelombang listrik sementara dapat mengakibatkan depolarisasi dari hampir
semua sel jantung dan mengakibatkan nodus sinus pacemaker kembali normal. Pada keadaan
seperti ventricular Fibrilation (VF) dan ventricular takikardi (VT) tanpa nadi, defibrilasi
mengembalikan ke irama sinus. Saat ini ada 2 jenis alat yang digunakan untuk kardioversi dan
defibrilasi, yaitu gelombang monofasik sinusoidal (gelombang positif) dan gelombang bifasik.
A. DEFINISI
Defibrilasi adalah suatu tindakan terapi dengan cara memberikan aliran listrik yang kuat
dengan metode asinkron ke jantung pasien melalui elektroda yang ditempatkan pada
permukaan dada pasien. Tujuannya adalah untuk koordinasi aktivitas listrik jantung dan
mekanisme pemompaan, ditunjukkan dengan membaiknya cardiac output, perfusi jaringan
dan oksigenasi. American Heart Association (AHA) merekomendasikan agar defibrilasi
diberikan secepat mungkin saat pasien mengalami gambaran VT non-pulse atau VF, yaitu
3 menit atau kurang untuk setting rumah sakit dan dalam waktu 5 menit atau kurang dalam
setting luar rumah sakit. Defibrilasi dapat dilakukan diluar rumah sakit karena sekarang ini
sudah ada defibrillator yang bisa dioperasikan oleh orang awam yang disebut automatic
external defibrillation (AED).
Tindakan Resusitasi yang dilakukan dengan kualitas tinggi (‗High-quality‘ CPR) oleh
orang pertama yang menyaksikan korban terkena serangan henti jantung meningkatkan
2 x lipat angkakeberhasilan tindakan resusitasi.
bila dilakukan cpr, angka keberhasilan hanya turun 3 – 4% setiap menit mulai dari
kolaps sampai dilakukan defibrilasi
angka keberhasilan akan lebih meningkat apabila defibrilasi segera dilakukan saat
terjadi henti jantung yang tersaksikan (49–75%)
B. CHAIN OF SURVIVAL
C. INDIKASI DEFIBRILASI
Defibrilasi merupakan tindakan resusitasi prioritas utama yang ditujukan pada:
Ventrikel fibrilasi (VF)
Ventrikel takikardi tanpa nadi (VT non-pulse)
D. PRINSIP DEFRIBILASI
Memberikan energi dalam jumlah banyak dalam waktu yang sangat singkat (beberapa
detik) melalui pedal positif dan negative yang ditekankan pas dinding dada atau melalui
adhesive pads yang ditempelkan pada sensing dada pasien. Arus listrik yang mengalir
sangat singkat ini bukan merupakan loncatan awal bagi jantung untuk berdetak, tetapi
mekanismenya adalah aliran listrik yang sangat singkat ini akan mendepolarisasi semua
miokard, menyebabkan berhentinya aktivitas listrik jantung atau biasa disebut asistole.
Beberapa saat setelah berhentinya aktivitas listrik ini, sel-sel pace maker akan ber-
repolarisasi secara spontan dan memungkinkan jantung untuk pulih kembali. Siklus
depolarisasi secara spontan dan repolarisasi sel-sel pacemaker yang reguler ini
memungkinkan jantung untuk mengkoordinasi miokard untuk memulai aktivitas kontraksi
kembali.
E. PEMBAGIAN DC-SHOCK
1. Berdasarkan arus dibagi monofasik dan bifasik
Selama beberapa dekade, defibrillator telah menggunakan bentuk gelombang
monofasic. Dengan bentuk gelombang monofasic, arus mengalir dalam satu arah, dari
satu elektroda ke yang lain, menghentikan jantung sehingga memiliki kesempatan untuk
memulai kembali sendiri. Dengan bentuk gelombang bifasik, arus mengalir dalam satu
G. PERSIAPAN PASIEN
1) Pastikan pasien dan atau keluarga mengerti prosedur yang akan dilakukan
2) Letakkan pasien diatas papan resusitasi pada posisi supine
3) Jauhkan barang-barang yang tersebut dari bahan metal dan air disekitar pasien
4) Lepaskan gigi palsu atau protesa lain yang dikenakan pasien untuk mencegah
obstruksi jalan nafas
5) Lakukan RJP secepatnya jika alat-alat defibrillator belum siap untuk mempertahankan
cardiac output yang akan mencegah kerusakan organ dan jaringan yang irreversible.
6) Berikan oksigen dengan face masker untuk mempertahankan oksigenasi tetap adekuat
yang akan mengurangi komplikasi pada jantung dan otak
7) Pastikan mode defibrillator pada posisi asyncrone
8) Matikan pace maker (TPM) jika terpasang.
H. PROSEDUR DEFIBRILASI
1. Inform concent
2. DC-Shock
3. Troly emergency
4. Oleskan Jelly pada pedal secara merata
5. Pastikan posisi kabel defibrillator pada posisi yang bisa menjangkau sampai ke pasien
6. Nyalakan perekaman EKG agar mencetak gambar EKG selama pelaksanaan
defibrilasi
7. Letakkan pedal pada posisi apeks dan sternum
8. Charge pedal sesuai energi yang diinginkan
9. Pastikan semua clear atau tidak ada yang kontak dengan pasien, bed dan peralatan
pada hitungan ketiga (untuk memastika jangan lupa lihat posisi semua personal
penolong)
I. PENEMPATAN PADDLE
Sternum : mid clavicularis dextra 2 jari dibawah
clavicula kanan
Apex : ICS ke 5, anterior sampai lateralis kiri
J. PASCA DEFRIBILASI
2 Evaluasi status neurology. Orientasikan klien terhadap orang, ruang, dan waktu
3 Monitor status pulmonary (RR, saturasi O2)
4 Monitor status kardiovaskuler (TD, HR, Ritme) setiap 15 menit
5 Monitor EKG
6 Mulai berikan obat anti disritmia intravena yang sesuai
7 Kaji apakah ada kulit yang terbakar
8 Monitor elektrolit (Na. K, Cl)
Dokumentasi dan laporan setelah
tindakan
1. Print out EKG sebelum, selama dan sesudah defibrilasi
2. Status neurology, respirasi dan kardioversi sebelum dan sesudah defibrilasi
3. Energi yang digunakan untuk defibrilasi
4. Semua hasil yang tidak diinginkan dan intervensi yang telah diberikan
K. KOMPLIKASI
- Henti jantung-nafas dan kematian
- Anoxia cerebral sampai dengan kematian otak
- Gagal nafas
- Asistole
- Luka bakar
- Hipotensi
- Disfungsi pace-maker
A. DEFINISI
Kerjasama Tim yang efektif sangat menentukan keberhasilan resusitasi. Apabila
kerjasama baik maka dampaknya pasien akan terselamatkan, akan tetapi jika kerjasama
buruk yang terjadi adalah sebaliknya kecacatan atau bisa saja meninggal.
IHCA (In Hospital Cardiac Arrest) adalah kejadian henti jantung atau kegawatdaruratan
didalam rumah sakit yang menjadi fokus penanganan oleh team code blue dan Early
Warning Score System.
Secara international ada beberapa kode yang digunakan dalam kegawatdaruratan di
rumah sakit, namun di Indonesia kode yang digunakan menyesuaikan dengan kebutuhan
rumah sakit. Berikut kode yang digunakan sesuai dengan standart akreditasi rumah sakit:
NAMA KODE SITUASI
Blue Code Kegawatdaruratan medis dalam rumah sakit
Black code Ancaman bom, gempa bumi atau sesuatu yang
mengancam infrastruktur
Red Code Kebakaran
Yellow Code Pencemaran bahan kimia, limbah atau banjir
Pink code Penculikan bayi
B. CHAIN OF SURVIVAL
AIRWAY
MAHASISWA
RESIDEN
KEDOKTERAN
/KEPERAWATAN
TEAM
LEADER
PERAWAT
TEKNISI
TRAUMA
TRAUMA
- Initial Assesment
- dokumentasi
Pasien koma :
Targeted Temperature Management (TTM)
Pertahankan suhu 32 – 36ºC selama 24 jam
Beri cairan salin 4ºC
CT Scan brain
EEG
Perawatan intensif
Pasien bangun :
Perawatan intensif
NO PROSEDUR
BLS Survey
1 Danger (Aman diri, aman lingkungan, aman pasien)
2 Cek Respon dengan menepuk bahu, dan memanggil
3 Aktifkan Call for Help
4 Cek nadi karotis, dan cek napas mak.10 detik
5 Menentukan titik kompresi
6 Melakukan CPR kedalaman 5 cm
7 Kecepatan 100 - 120 x/mnt
8 Ratio CPR 30 : 2 (30 kompresi, 2 Ventilasi jika ada BVM)
9 Full chest recoil
10 Minimal interupsi
Bantuan Datang (Tim Code Blue)
Leader
Recorder
20 Mencatat kegiatan selama tim dinamik berlangsung
A. PRINSIP PENGANGKATAN
Syarat utama dalam mengangkat pasien tentulah keadaan fisik yang baik, yang juga
terlatih dan dijaga dengan baik. Jika anda melakukan pengangkatan dan pemindahan
dengan tidak benar, maka ini dapat mengakibatkan cedera pada penolong. Apabila anda
melakukan cara pengangkatan yang tidak benar ini setiap hari, mungkin akan timbul
penyakit yang menetap. Penyakit yang umum adalah nyeri pinggang bagian bawah (low
back pain), dan ini dapat timbul pada usia yang lebih lanjut.
1. Bayangkan bahwa tubuh anda sebuah menara, tentu saja dengan dasar yang lebih besar
daripada bagian atas. Semakin miring menara itu, semakin mudah runtuh. Karena itu
berusahalah untuk senantiasa dalam posisi tegak, jangan membungkuk ataupun miring.
2. Gunakan paha untuk mengangkat, bukan punggung. Untuk memindahkan sebuah benda
yang berat, gunakan otot dari tungkai, pinggul dan bokong, serta ditambah dengan
kontraksi otot dari perut karena beban tambahan pada otot-otot ini adalah lebih aman.
Jadi saat mengangkat, jangan dalam keadaan membungkuk. Punggung harus lurus.
Gunakan otot di punggung anda selalu dalam keadaan punggung lurus untuk membantu
anda memindahkan atau mengangkat benda yang berat.
3. Guna otot fleksor (otot untuk menekuk, bukan otot untuk meluruskan). Otot fleksor
lengan maupun tungkai lebih kuat daripada otot ekstensor. Karena itu saat mengangkat
dengan tangan, usahakan telapak tangan menghadap ke arah depan.
4. Usahakanlah sedapat mungkin agar titik berat beban sedekat mungkin ke tubuh anda.
Cedera punggung mungkin terjadi ketika anda menggapai dengan jarak yang jauh untuk
mengangkat sebuah benda.
5. Sejauh mungkin pakailah alat untuk mengangkat ataupun memindahkan pasien. tandu
dan brankar merupakan contoh alat yang mempermudah pekerjaan anda.
6. Jarak antara kedua lengan dan tungkai.
7. Saat berdiri sebaiknya kedua kaki agak terpisah selebar bahu. Apabila cara berdiri
kedua kaki jaraknya terlalu lebar akan mengurangi stabilitas. Jarak kedua tangan dalam
memegang saat mengangkat (misalnya saat mengangkat tandu), adalah juga selebar
bahu. Jarak kedua tangan yang terlalu rapat akan mengurangi stabilitas benda yang akan
diangkat, jarak terlalu lebar akan mengurangi tenaga mengangkat.
8. Biasanya kita akan bekerja dengan satu atau beberapa petugas lain. Dalam keadaan
darurat kerja tim hal yang penting. Seluruh anggota tim sebaiknya dilatih dengan teknik
yang tepat. Permasalahan dapat terjadi ketika bentuk fisik maupun tenaga fisik anggota
tim sangat tidak sebanding. Rekan yang kuat dapat cedera jika yang lemah jatuh saat
mengangkat. Petugas yang lemahpun dapat cedera juga jika dia mencoba yang
melakukan hal yang berlebihan. Idealnya rekan dalam mengangkat dan memindahkan
seharusnya mampu dan sama kekuatan dan tingginya.
B. PEMINDAHAN DALAM KEADAAN DARURAT (EMERGENCY MOVING)
Ada kondisi-kondisi tertentu dimana pasien harus dipindah segera dari lokasi kejadian
untuk menghindari bahaya selanjutnya. Dalam kondisi seperti ini penolong tidak lagi
memperhatikan kondisi/masalah pasien, seperti misalnya patah tulang, luka atau gangguan
jalan napas sekalipun. Kondisi-kondisi yang mengharuskan untuk segera memindahkan
pasien adalah sebagai berikut :
1. Kebakaran atau ancaman dari kebakaran
Kebakaran akan dapat merupakan sebuah ancaman berat, bukan hanya pada pasien
tetapi juga pada penolong.
2. Ledakan atau ancaman dari ledakan.
3. Ketidakmampuan untuk melindungi pasien dari bahaya lain di tempat kejadian.
Contoh dari bahaya ini adalah :
Bangunan yang tidak stabil
E. EXTRICATION
Ekstrikasi adalah tehnik-tehnik yang dilakukan untuk melepaskan pasien dari jepitan dan
kondisi medan yang sulit dengan mengedepankan prinsip stabilisasi ABCD. ekstrikasi
dapat dilakukan setelah keadaan aman bagi petugas penolong dan seringkali memerlukan
hal-hal yang bersifat rescue untuk mempermudah pertolongan yang akan dilakukan dan
membebaskan benda-benda yang mempersulit pelaksanaan ekstrikasi contohnya memotong
pintu kendaraan, membuka kap kendaraan, mengangkat pasien dari dasar atau tepi jurang,
menolong pasien terjung payung yang tersangkut di gedung atau pohon-pohon yang tinggi
dan sebagainya. Prinsip stabilitasi Airway, Breathing, Circulation dan disability mutlak
harus dilakukan jika proses ini memerlukan waktu yang cukup lama dan kemampuan
khusus.
1. NECK COLLAR
Digunakan setiap ada kecurigaan fraktur servikal.
2. KENDRICK EKSTRICATION DEVICE (KED)
Alat untuk mempermudah mengeluarkan pasien dari
dalam mobil atau tempat pada saat pasien dalam posisi
dudu.
3. HEAD IMMOBILIZER
Sebagai penahan kepala untuk pasien trauma setelah terpasang neck collar. Alat ini
berfungsi untuk imobilisasi bagian kepala sehingga memudahkan dalam melakukan
tindakan pertolongan.
Cara mengangkat dan memindahkan pasien sebagai salah satu bagian terpenting dalam
melakukan pertolongan. Penanganan yang benar jika pada saat melakukan pemindahan atau
pengangkatan tidak dilakukan dengan benar, maka kondisi pasien dapat menjadi dalam kondisi
yang buruk. Kekompakan dan kerja sama tim dalam koordinasi setiap tindakan sangatlah
diperlukan, terutama dalam posisi yang benar untuk menghindari terjadinya cedera bagi
penolong. Penolong harus bisa membedakan cara memindahkan dalam kondisi emergency atau
non emergency.
FORMULIR RUJUKAN
DATA PASIEN PEMERIKSAAN DIAGNSTIK
Nama : Data lab.: terlampir
Alamat : Foto rontgen: terlampir
Kota : EKG: terlampir
Umur: JK: BB: Dll
Nama keluarga :
Alamat :
Kota :
No.telp :
WAKTU TERAPI YANG DIBERIKAN
Tanggal : Medikasi: Jumlah:
Tangga cidera : Waktu :
Waktu masuk IGD: Cairan:
Waktu masuk OK : Lain-lain
Waktu saat dirujuk:
RIWAYAT KOMPAK KEADAAN SAAT DIRUJUK
NO PROSEDUR
A. PENDAHULUAN
Pada tanggal 8 Desember 2019, muncul suatu jenis pneumonia baru yang kemudian
menyebar ke seluruh dunia.1 Pneumonia ini kemudian dikenal sebagai corona virus disease
2019 (COVID-19) yang masuk ke Indonesia dan diumumkan secara resmi oleh Presiden RI
pada tanggal 2 Maret 2020.2 Kemudian diketahui bahwa COVID-19 ini disebabkan oleh
virus baru dari golongan virus corona (2019-nCoV). Corona virus adalah kelompok virus
yang dapat menyebabkan penyakit dari gejala ringan sampai berat hingga kematian.
Diketahui dua jenis corona virus yang dapat menyebabkan gejala klinis yang berat yaitu
Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome
(SARS). COVID-19 seringkali berkembang menjadi sebuah pneumonia berat dan
menempatkan penderita pada keadaan kritis.
Wabah infeksi SARS-CoV2 yang terus meningkat dan menyebar luas tentu
berdampak pada upaya resusitasi dan memunculkan kebutuhan untuk memodifikasi praktik
resusitasi yang telah ada. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana memastikan pasien
dengan atau tanpa COVID-19 yang mengalami henti jantung mendapatkan kesempatan
untuk selamat tanpa membahayakan keselamatan penolong – yang tentunya akan dibutuhkan
untuk merawat pasien-pasien berikutnya. Ditambah dengan COVID-19 yang sangat menular,
hal ini tentunya menimbulkan tantangan tersendiri dalam hal respon emergensi dan mungkin
mempengaruhi angka morbiditas maupun mortalitas. Sekitar 12-19% pasien yang positif
COVID-19 membutuhkan perawatan di rumah sakit, dan 3-6% berada pada kondisi kritis.
Komplikasi seperti hipoksemia akibat gagal nafas akut, jejas miokard, aritmia ventrikular,
dan syok banyak dijumpai pada pasien kritis dan menyebabkan pasien tersebut lebih berisiko
mengalami henti jantung.
Dasar: Meskipun intubasi memiliki risiko aerosolisasi yang tinggi, jika pasien
diintubasi dengan pipa endotrakeal yang dilengkapi cuff dan kemudian dihubungkan
ke ventilator dengan sistem penyaring HEPA (high-efficiency particulate air) dan
kateter penghisap dalam tabung (in-line suction catheter), sirkuit tertutup yang
dihasilkan akan menurunkan risiko aerosolisasi dibandingkan metode ventilasi
tekanan positif lain.
Strategi:
5. Sambungkan penyaring HEPA, jika tersedia, ke ventilasi manual ataupun
mekanis di bagian yang dilalui udara ekshalasi sebelum memberikan bantuan
nafas.
6. Setelah tenaga kesehatan menilai irama dan melakukan defibrilasi sesuai
indikasi, pasien henti jantung direkomendasikan untuk diintubasi menggunakan
pipa yang dilengkapi balon cuff sesegera mungkin. Hubungkan pipa endotrakeal
dengan ventilator yang memiliki penyaring HEPA bila tersedia.
7. Minimalkan kemungkinan gagal intubasi dengan cara:
a) Tugaskan tenaga kesehatan berpengalaman dan gunakan metode yang
memiliki peluang keberhasilan tinggi pada percobaan pertama intubasi
b) Hentikan kompresi dada selama intubasi
8. Jika tersedia videolaringoscope dapat mengurangi partikel aerosolisasi dan
harus dipertimbangkan.
9. Sebelum intubasi, gunakan bag-mask device (atau T-piece untuk neonatus)
dengan penyaring HEPA dan penyekat kedap udara jika tersedia; atau untuk
11. Begitu sirkuit tertutup berhasil dipasang, minimalisir diskoneksi alat untuk
mengurangi aerosolisasi.
Dasar: Resusitasi jantung paru adalah upaya tim berintensitas tinggi yang akan
menyita perhatian penolong dan mungkin mengalihkan fokus penolong dari pasien
lainnya. Dalam konteks COVID-19, risiko paparan pada tim penolong meningkat dan
sumber daya dapat menjadi lebih terbatas, khususnya di wilayah dengan insiden
penyakit yang tinggi. Meskipun luaran henti jantung pada pasien COVID-19 belum
diketahui, mortalitas pasien COVID-19 yang jatuh kritis terbilang tinggi dan
meningkat seiring usia dan komorbiditas, khususnya penyakit kardiovaskular. Oleh
karena itu, masuk akal untuk mempertimbangkan usia, komorbiditas, dan keparahan
penyakit dalam mempertimbangkan kelayakan untuk dilakukan resusitasi dengan
meninjau probabilitas kesuksesan resusitasi terhadap risiko paparan kepada penolong
serta risiko bagi pasien lain yang mungkin terabaikan.
Strategi:
12. Diskusikan tujuan perawatan dengan pasien COVID-19 atau keluarga terkait
dengan potensi ditingkatkannya level perawatan
13. Sistem kesehatan dan petugas responden pertama/ IGD harus menyusun
peraturan untuk membantu petugas kesehatan di lini pertama dalam menentukan
kriteria memulai dan menghentikan RJP untuk pasien dengan COVID-19, dengan
mempertimbangkan faktor risiko pasien untuk memperkirakan kemungkinan
kesintasan. Stratifikasi risiko dan kebijakan harus dikomunikasikan kepada
pasien atau wali saat mendiskusikan tujuan perawatan.
14. Data yang ada saat ini tidak mencukupi untuk mendukung resusitasi jantung paru
ekstrakorporeal (E-CPR) untuk pasien COVID-19.
Pertimbangan untuk Situasi dan Kondisi Tertentu Henti Jantung di Luar Rumah Sakit
Berikut adalah beberapa pertimbangan khusus untuk kasus henti jantung pada
pasien terduga atau positif COVID-19 yang terjadi di luar rumah sakit. Bergantung kepada
prevalensi lokal penyakit dan bukti persebaran di komunitas, adalah masuk akal untuk
mencurigai adanya COVID-19 pada seluruh kasus henti jantung di luar rumah sakit.
Penolong awam
RJP oleh penolong yang ada di dekat pasien saat kejadian telah terbukti meningkatkan
sintasan pasien henti jantung di luar rumah sakit, dan angka sintasan tersebut menurun
dengan setiap menit ditundanya RJP dan defibrilasi. Penolong di komunitas
kemungkinan besar tidak memiliki akses terhadap APD yang cukup, dan oleh
karenanya, mereka memiliki risiko lebih tinggi terpapar COVID-19 selama RJP
dibanding petugas kesehatan dengan APD mumpuni. Penolong dengan usia tua dan
memiliki komorbid seperti penyakit jantung, diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung
kronik memiliki risiko tinggi jatuh ke dalam kondisi kritis bila terinfeksi SARS-CoV2.
Meskipun begitu, bila henti jantung terjadi di rumah (seperti dilaporkan pada 70% kasus
- Kompresi dada
o Untuk dewasa: penolong awam direkomendasikan melakukan RJP dengan
tangan saja (hands-only CPR) ketika menemukan kasus henti jantung, jika
bersedia dan mampu, terutama jika mereka tinggal di rumah yang sama
dengan korban sehingga telah terpapar dengan korban sebelumnya. Masker
wajah atau penutup kain di area mulut dan hidung yang digunakan oleh
penolong dan/ atau korban dapat menurunkan risiko penularan kepada orang
sekitar yang tidak tinggal di rumah tersebut.
o Untuk anak: penolong awam harus melakukan kompresi dada dan
mempertimbangkan ventilasi mulut ke mulut, jika bersedia dan mampu,
mengingat tingginya kejadian henti nafas pada anak, khususnya jika
penolong tinggal di rumah yang sama dengan korban sehingga telah terpapar
dengan korban sebelumnya. Masker wajah atau penutup kain di area mulut
dan hidung yang digunakan oleh penolong dan/ atau korban dapat
menurunkan risiko penularan kepada orang sekitar yang tidak tinggal di
rumah tersebut, jika penolong tidak bersedia atau tidak dapat melakukan
ventilasi mulut ke mulut.
- Defibrilasi
Karena defibrilasi bukanlah prosedur yang menghasilkan aerosol, penolong awam
dapat menggunakan automated external defibrillation (AED) jika ada untuk
menolong korban henti jantung di luar rumah sakit.
Penolong tenaga medis
- Telekomunikasi (dispatch)
Telekomunikator/ operator, sesuai dengan protokol lokal yang berlaku,
direkomendaikan melakukan skrining terhadap semua telepon yang masuk
terkait pasien dengan gejala COVID-19 (demam, batuk, sesak nafas) atau telah
diketahui positif COVID-19 atau memiliki kontak dekat dengan pasien positif
lainnya.
Untuk penolong awam, telekomunikator harus memberikan panduan
mengenai risiko paparan terhadap COVID-19 bagi penolong dan
memberikan instruksi untuk RJP dengan kompresi dada saja seperti di atas
Untuk penolong medis terlatih/ EMS, telekomunikator harus mengingatkan
tim untuk mengenakan APD jika mencurigai adanya infeksi COVID-19
- Transportasi
o Keluarga dan orang lain yang berkontak dengan pasien terduga atau positif
COVID-19 sebaiknya tidak naik dalam kendaraan yang sama
o Jika kembalinya sirkulasi spontan tidak tercapai setelah upaya resusitasi
optimal telah dilakukan di lapangan, pertimbangkan untuk tidak membawa
pasien ke RS mengingat kemungkinan selamat yang rendah, dan risiko
peningkatan paparan tambahan terhadap tenaga kesehatan lainnya.
Henti Jantung di Lingkungan Rumah Sakit
Berikut adalah beberapa pertimbangan khusus untuk kasus henti jantung pada
pasien terduga atau positif COVID-19 yang terjadi di lingkungan rumah sakit. Panduan
berikut tidak berlaku untuk pasien yang telah diketahui negatif COVID-19, dimana pasien
tersebut dapat menerima BHD dan BHJL standar. Meskipun begitu, adalah masuk akal
©
2020 American Heart Assosiation
©
2020 American Heart Assosiation
©
2020 American Heart Assosiation
©
2020 American Heart Assosiation
©2020 PERDATIN
©2020 PERDATIN
©2020 PERDATIN
2. Menyiapkan troli atau set alat intubasi endotrakeal COVID-19 Pasien yang sakit
kritis seringkali harus diintubasi ditempat dibanding di ICU. Di ICU, intubasi
endotrakeal biasanya dilakukan di satu ruangan. Siapkan troli intubasi
endotrakeal atau set alat yang dapat diambil ke dekat pasien dan
didekontaminasi setelah digunakan.
3. Memiliki strategi Strategi tatalaksana jalan napas (membuat rencana utama atau
rencana cadangan, dan jika terjadi perubahan) harus disiapkan dan mengadakan
briefing tim sebelum melakukan tindakan.
4. Melibatkan sejumlah kecil tenaga yang diperlukan Tidak mungkin melakukan
tindakan sendirian, tetapi staf yang tidak diperlukan sebaiknya tidak memasuki
ruangan tindakan. Petugas lain (runner) harus mengawasi dari luar dan harus
dapat membantu dengan cepat jika diperlukan.
5. Gunakan APD yang benar dan sesuai Dalam situasi emergensi termasuk henti
jantung, APD harus digunakan dan di cek seluruhnya sebelum melakukan
tatalaksana jalan napas dan petugas tidak boleh membuat dirinya terpapar risiko
apapun.
6. Hindari prosedur yang menimbulkan aerosol sepanjang memungkinkan Jika
terdapat alternatif tindakan yang cocok, gunakan. Jika tindakan yang
menimbulkan aerosol dilakukan, kamar yang digunakan dianggap sudah
terkontaminasi. Gunakan APD dan ruangan harus dibersihkan dalam 20 menit.
7. Fokus pada ketepatan waktu dan kepercayaan. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan keberhasilan pada saat pertama kali intubasi. Jangan terburu-buru,
a
Safety Box Aerosol Digital Video Laringoscope
American College of Surgeons. (2018). Advanced trauma life support for doctors. instructor
course manual book 1 - sixth edition. Chicago.
American Heart Association. (2020). Advanced Cardiovascular Life Support: Provider Manual.
USA: American Heart Association.
American Heart Association. (2020). Basic Life Support: Provider Manual. USA: American
Heart Association
American Red Cross (2020). First Aid/CPR/AED Participant Manual. USA: StayWell Health &
Safety Solutions
AHA Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care Part 9: Acute Coronary Syndromes, 2020
AHA/ACC Guidelines for the Management of Patients With Non–ST-Elevation Acute
Coronary Syndromes, 2020
ACCF/AHA Guidelines for the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction, 2015
Suplemen EKG untuk Dokter muda FK UMYECG Review, Jeremy R, Borrof MPAS 2013
Redaksi:
©
Copy Right Smart Emergency
(Lembaga Diklat Terakreditas ―B‖ Kemenkes RI & DPP PPNI)
Email: smart.emergency.service@gmail.com
Instagram/Twitter: @smart_emergency
Youtube/Facebook: Smart Emergency
Website: www.smartemergency.id