Anda di halaman 1dari 213

BT&CLS

Basic Trauma Cardiac Life Support

SMART EMERGENCY
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga penyusun dapat
menyelesaikan buku ini.
Indonesia sebagai negara berkembang terus menerus melakukan pembangunan fisik di
segala bidang. Hal ini kerap menimbulkan kecelakaan kerja mulai dari near accident sampai
dengan fatal accident. Bertambahnya jumlah kendaraan bermotor dan semakin berkembangnya
fasilitas transportasi telah meningkatkan angka incident kegawatdaruratan karena kecelakaan
lalu lintas. Sehubungan dengan permasalahan tersebut setiap petugas gawat darurat (emergency
nurses) harus mampu melakukan pertolongan secara cepat dan tepat terhadap penderita
kegawatdaruratan, Hal tersebut untuk mencegah terjadinya kematian dan kecacatan.
Untuk itu Smart Emergency Service Indonesia sebagai Lembaga Pelatihan yang
didalamnya terhimpun sumber daya manusia yang exspet dan kompeten di bidang
kegawatdaruratan mempersembahkan pelatihan Basic Trauma Cardiac Life Support.
Buku ini disusun dengan tujuan untuk membantu rekan sejawat tenaga kesehatan yang
mengikuti pelatihan Basic Trauma Cardiac Life Support sehingga mudah dalam memahami
materi – materi yang disampaikan, dan juga dapat digunakan sebagai panduan dan acuan dalam
menangani kasus – kasus Gawat Darurat yang dijumpai di tempat kerja. Suatu konsep yang
simple dan aman serta bahasa yang sama dengan para dokter dalam penanganan kasus – kasus
gawat darurat, dengan demikian pasien diuntungkan dan dapat diselamatkan dari kematian dan
kecacatan.
Akhir kata semoga buku ini berguna bagi rekan sejawat tenaga kesehatan di seluruh
penjuru tanah air Indonesia, dan kami sangat berharap saran maupun kritik demi kesempurnaan
buku ini.

Penyusun
Smart Emergency Team

PT SMS Indonesia | Smart Emergency 7|Page


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................2

DAFTAR ISI.........................................................................................................................3

BAB I MATERIAL OVERVIEW.............................................................................4

BAB II ASPEK LEGAL ETIK KEPERAWATAN GAWAT DARURAT...............8

BAB III BASIC LIFE SUPPORT...............................................................................15

BAB IV AIRWAY BREATHING MANAGEMENT................................................32

BAB V SYOK MANAGEMENT..............................................................................54

BAB VI KEGAWATAN TRAUMA..........................................................................65

TRAUMA KEPALA.....................................................................................66

TRAUMA SPINAL......................................................................................76

TRAUMA THORAX....................................................................................80

TRAUMA ABDOMEN................................................................................86

TRAUMA MUSCULUSKELETAL.............................................................92

TRAUMA THERMAL................................................................................100

BAB VII MEKANISME OF TRAUMA....................................................................106

BAB VIII INITIAL ASSESMENT...............................................................................112

BAB IX TRIAGE.......................................................................................................126

BAB X SPGDT.........................................................................................................133

BAB XI EKG NORMAL & ARITMIA.....................................................................146

BAB XII ACUTE CORONARY SYNDROME..........................................................160

BAB XIII TERAPI ELEKTRIK...................................................................................165

MANAGEMENT TEAM DYNAMIC........................................................171

BAB XIV EVAKUASI & RUJUKAN.........................................................................177

BAB XV UPDATE TATALAKSANA TERKONFIRMASI COVID-19...................184

DAFTAR PUSTAKA
I

IKHTISAR
Basic Trauma Life Support merupakan pelatihan yang ditujukan untuk petugas yang bekerja
di Rumah Sakit maupun Pra Rumah Sakit, agar tercipta suatu standar yang baku dalam
melakukan penanganan pasien kegawatdaruratan trauma.
Basic Cardiovascular Life Support (BCLS) merupakan pelatihan yang ditujukan untuk
petugas kesehatan khususnya perawat dan mahasiswa keperawatan yang dilatih tentang
intreprestasi ekg dan kegawatdaruratan jantung. Dalam Pelatihan ini menekankan bagaimana
peserta dapat mengenal secara dini serangan Jantung dan mengaplikasikan pemeriksaan EKG
serta dapat menangani bila pasien menjadi tidak sadar ataupun dalam Gambaran EKG terjadi
Aritmia.
Menurut WHO tahun 2019, kematian karena jatung atau penyakit kardiovaskular merupakan
penyebab kematian nomer 1 (satu), sedangkan kematian karena kecelakaan merupakan
penyebab kematian nomor 3 (tiga). Pelatihan Basic Trauma Cardiac Life Support ini membahas
masalah penanggulangan pasien kegawatdaruratan trauma maupun kardiovaskuler secara cepat
dan tepat berdasarkan prioritas masalah yang bertujuan untuk mengurangi angka kematian dan
kecacatan. Disamping itu Pelatihan BTCLS juga termasuk sarana untuk mendukung Progam
Sustainable Development Goals (SPDGs) sebagai indikator pembangunan global saat ini. Pada
progam tersebut, isu kesehatan di indonesia yang menjadi perhatian diantaranya adalah
kematian kecelakaan lalu lintas dan penanganan kristis serta kegawatdauratan.
Melalui Pelatihan BTCLS diharapkan dapat memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan
profesionalisme perawat dalam memberikan pelayanan bagi masyarakat yang berbaik.
TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM
Setelah menyelesaikan pelatihan ini peserta dapat mengaplikasikan konsep penanggulangan
pasien gawat darurat trauma maupu kardiovaskuler secara cepat dan tepat berdasarkan prioritas
masalah.
TUJUAN INSTRUKSIONAL
Setelah mengikuti pelatihan ini peserta diharapkan mampu untuk :
Melakukan pengkajian secara cepat dan tepat keadaan yang mengancam nyawa
Melakukan tindakan penyelamatan jiwa (life saving) pada pasien trauma berdasarkan
prioritas Menerapkan konsep penilaian dan pengelolaan awal pada pasien trauma dan
kardiovaskuler Menilai tingkat kesadaran / status neurologis.
Mengenali dan menangani kegawat Mendemonstrasikan komunikasi
daruratan pada jalan napas (Airway) yang efektif sebagai leader dan
dan pernapasan (Breathing) anggota tim dalam menangani
Mengenali dan menangani trauma- pasien
trauma padaa system tubuh pasien.
Melakukan evakuasi, stabilisasi dan METODE PELATIHAN
transportasi pasien dengan cepat dan Pelatihan ini di desain dengan metode
tepat
ceramah, tanya jawab, simulasi dan
Mengenali dan menangani bila
pasien mengalami tanda awal syok praktikum. Selama pelatihan ini diharapkan
karena Perdarahan. peserta berpartisipasi aktif selama pelatihan
Mampu menginterprestasi EKG terutama dalam sesi tanya jawab dan
Mampu melakukan penanganan praktikum. Pelatihan ini didesain agar
pasien dengan Aritmia materi pelatihan bisa langsung
diaplikasikan sekembalinya peserta

PT SMS Indonesia | Smart Emergency 7|Page


pelatihan ke tempat kerja masing-masing. Materi ini berisi tentang RJP pada
Pada akhir pelatihan peserta diwajibkan orang dewasa, anak dan neonates baik
untuk memenuhi standar kelulusan evaluasi tanpa alat maupun dengan alat
sebagai syarat untuk mendapatkan sertifikat termasuk penggunaan Automatic
pelatihan. External Defibrilator (AED).
EVALUASI DAN KRITERIA
3. Airway and Breathing Management
KELULUSAN
Materi ini tentang penilaian dan
Peserta berhak mendapatkan sertifikat
pengelolaan jalan napas dan
kelulusan apabila mengikuti seluruh materi
pernapasan baik tanpa menggunakan
teori dan praktik yang dijadwalkan, serta
alat, dengan alat sederhana maupun
dinyatakan lulus dalam evaluasi tulis dan
dengan alat definitive. Pengelolaan
praktik. Untuk mengevaluasi keberhasilan
jalan napas dan pernapasan merupakan
proses pelatihan peserta diwajibkan untuk
prioritas pertama dalam pernapasan
melakukan pre-test tertulis di awal
merupakan prioritas pertama dalam
pelatihan dan post-test tertulis di akhir
penanganan gawat darurat trauma
pelatihan, serta mengikuti ujian praktik.
walaupun dalam praktiknya bisa
Nilai evaluasi akhir (tulis dan praktik)
dilakukan secara simultan dengan
minimal 80 poin atau 80% dari checklist
tindakan-tindakan lainnya.
penilaian.
Apabila peserta tidak memenuhi syarat
4. Syok Management
kelulusan maka peserta diharuskan untuk
Materi ini menguraikan tentang
mengulang kegiatan teori, praktik atau
macam/jenis syok dengan berbagai
evaluasi, tergantung dimana posisi
macam penyebab terutama syok yang
kegagalannya. Course director, lead
diakibatkan oleh trauma. Materi ini
instruktor dan instruktor berhak menahan
juga berisi tentang cara penilaian
sertifikat peserta pelatihan yang
secara cepat dan pengelolaan syok
bersangkutan apabila belum memenuhi
yang diakibatkan oleh trauma.
kriteria kelulusan tersebut.
5. Trauma Kepala& Spinal
MATERI TEORI
Materi ini berisi tentang trauma
Materi pelatihan BTCLS terdiri dari
kepala yang meliputi anatomi, jenis
teori dan praktik yang harus diikuti oleh
trauma, penilaian status neurologis dan
semua peserta. Materi praktik merupakan
kesadaran serta cara penanganan
aplikasi dari teori yang telah dipelajari
spesifik pada trauma kepala. Serta
sebelumnya dan merupakan intisari dari
trauma tulang belakang dan cara
pelatihan ini. Hal ini karena pelatihan
stabilisasi tulang belakang agar tidak
BTLS merupakan pelatihan yang aplikatif
terjadi cedera sekunder yang
dan harus bisa diterapkan dalam
diakibatkan oleh kesalahan dalam
pelaksanaan tugas sehari-hari ditempat
melakukan pertolongan.
kerja masing-masing. Materi teori pelatihan
BTLS adalah sebagai berikut :
6. Trauma Thorax& Abdomen
1. Etik dan Aspek Legal Keperawatan
Materi ini berisi tentang trauma
Gawat Darurat
pada dada baik trauma tumpul maupun
Materi ini berisi tentang Etik yaitu
trauma tembus serta permasalahan
prinsip yang menyangkut baik dan
yang diakibatkan oleh trauma tersebut.
buruk dalam hubungan dengan orang
Materi ini juga berisi tentang
lain, sedangkan hukum menyangkut
pemeriksaan fisik dan penilaian secara
prinsip benar dan salah.
cepat terhadap masalah yang
mengancam nyawa pasien dan
2. Bantuan Hidup Dasar (Cardio
penanganan yang efektif dan efisien
Pulmonary Resuscitation)
terhadap permasalahan yang dihadapi
Materi ini membahas tentang
serta penanganan trauma pada
resusitasi jantung paru (RJP)
abdomen (perut) baik trauma tumpul
berdasarkan guideline terbaru dan
maupun trauma tembus. Materi ini
American Heart Association (AHA)
juga berisi tentang penilaian melalui
yang di rilis pada tahun 2020 lalu.
pemeriksaan fisik dan penanganan

PT SMS Indonesia | Smart 6|Pag


secara cepat terutama pada trauma meliputi penanganan pasien pada fase
tembus pada abdomen atau benda
menancap. pra rumah sakit, fase rumah sakit, fase
7. Trauma Musculoskeletal antar rumah sakit dan fase paska
Materi ini berisi tentang trauma
pada ektremitas baik patah tulang, luka rumah sakit. Keberhasilan penanganan
robek maupun luka amputasi. Materi pasien di rumah sakit akan sangat
ini secara perdarahan dan pembalutan.
Selain itu dibahas tentang teknik bergantung pada keberhasilan
stabilisasi/pembidaian patah tulang, penanganan pada fase pra rumah sakit,
baik patah tulang tertutup maupun
terbuka. oleh karena itu perlu adanya upaya
untuk menciptakan suatu penanganan
8. Trauma Luka Bakar
Materi ini membahas tentang yang terintegrasi antara penanganan
trauma yang diakibatkan oleh suhu fase pra rumah sakit dan fase rumah
panas atau dingin yang mengakibatkan
kerusakan jaringan tubuh pasien. sakit dengan standar dan bahasa yang
penilaian luas dan kedalaman luka sama.
bakar serta cara penanganan luka bakar
pada fase gawat darurat. Pada materi
ini juga dibahas tentang trauma yang 13. EKG Normal dan Aritmia
diakibatkan oleh bahan kimia serta
cara penanganannya. Materi ini tentang cara membaca
interprestasi EKG dari gambaran yang
9. Mechanism of Trauma
Materi ini membahas tentang normal sampai dengan Aritmia.
proses kejadian kecelakaan dari mulai
sebelum, saat dan setelah kejadian
berlangsung sehingga bisa 14. Acute Coronary Syndrome.
memprediksi luka atau cedera yang Materi ini berisi tentang
diakibatkan oleh kejadian tersebut.
pertolongan pada pasien dengan
10. Penilaian Awal (Initial Assessment Sindrom Koroner Akut (SKA) atau
Management)
Materi ini berisi tentang penilaian Acute Coronary Syndrome.
awal dan resusitasi pasien trauma
berdasarkan prioritas dan dalam
rangka penyelamatan jiwa pasien. 15. Terapi Elektrik dan Management
materi ini merupakan materi ini Team
pelatihan yang merupakan rangkuman
dari semua materi yang diberikan pada Materi ini berisi tentang
pelatihan. pertolongan pada pasien dengan

11. Triage menggunakan alat kejut listrik dan


Materi ini berisi tentang obat-obatan.
pemilahan pasien berdasarkan
prioritas masalah baik pada saat
kejadian bencana/musibah masal 16. Evakuasi & Rujukan
maupun pada saat pasien masuk ke
unit gawat darurat (UGD) rumah sakit. Materi ini berisi tentang
pengeluaran pasien dari jepitan atau
12. SPGDT (System Penanggulangan
Gawat Darurat Terpadu) ruang sempit serta stabilisasi pasien
Materi ini berisi tentang sebelum melakukan transportasi. Pada
pengenalan system penanggulangan materi ini juga dibahas tentang
gawat darurat terpadu (SPGDT) yang
PT SMS Indonesia | Smart 7|Pag
pemindahan pasien pada situasi aman d. Stabilization Trauma, Evakuasi &
maupun berbahaya. Transportasi
MATERI PRAKTIK Pada sesi ini peserta harus mampu
Materi praktik pelatihan BTCLS adalah Praktik untuk menghentikan perdarahan
sebagai berikut : secara cepat dan melakukan pembalutan
a. Cardio Pulmonary Resuscitation pada luka robek dan amputasi sebagai
(CPR) upaya untuk mempertahankan sirkulasi.
Praktik resusitas jantung paru (RJP) Selain itu sesi ini mempraktikan cara
pada orang dewasa, anak dan neonatus pembidaian pada patah tulang dan
berdasarkan standar dari American dislokasi berdasarkan prinsip-prinsip
Heart Association. Peserta juga harus yang benar.
mampu melakukan CPR dengan bantuan Disamping itu peserta harus
Automatic External Defibrilator (AED). mampu membedakan pemindahan
pasien pada situasi darurat dan non-
b. Airway and Breathing Management darurat baik dengan alat atau tanpa
Peserta harus bisa melakukan peralatan. Peserta juga mempraktikan
penanganan sumbatan total dan teknik ekstrikasi pasien dengan tetapi
sumbatan parsial jalan napas dari mulai memperhatikan cedera pasien. Selain itu
tanpa alat, penggunaan alat sederhana peserta juga harus mampu melakukan
sampai dengan penggunaan alat setabilisasi sebelum melakukan
definitive. Peserta juga harus bisa transportasi pasien, terutama stabilisasi
memberikan napas buatan dan pada kecurigaan cedera tulang belakang.
oksigenisasi dengan berbagai peralatan.
Selain itu peserta juga harus mampu e. Interprestasi EKG
memonitor saturasi oksigen pasien. Praktik dan tips cara membaca
gambaran EKG dan cara menangani
c. Initial Assessment Management pasien dengan gambaran EKG dengan
Peserta harus mampu melakukan Aritmia.
penilaian dan penanganan pasien dari
mulai proteksi diri, meminta bantuan, f. Terapi Elektrik dan Management
penilaian secara cepat dan penanganan Team
secara cepat berdasarkan Pada sesi ini peserta harus mampu
prioritasmasalah. Peserta harus mampu Praktik menangani pasien dengan
menguasai fase survey primer dan gambaran EKG aritmia dengan
survey sekunder. menggunakan alat kejut listrik dan
obat-obatan.

PT SMS Indonesia | Smart 8|Pag


II

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu memahami etik dan aspek legal keperawatan
gawat darurat.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu:
1. Menjelaskan peran dan fungsi perawat gawat darurat.
2. Menjelaskan etik keperawatan gawat darurat.
3. Menjelaskan aspek legal keperawatan gawat darurat.

PT SMS Indonesia | Smart 9|Page


ASPEK LEGAL ETIK KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

I. PENDAHULUAN
Etik merupakan prinsip yang menyangkut baik dan buruk dalam hubungan dengan
orang lain, sedangkan hukum menyangkut prinsip benar dan salah. Etik merupakan studi
tentang perilaku, karakter dan motif yang baik serta ditekankan pada penetapan apa yang
baik dan berharga bagi semua orang.
Secara umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi
yang berbeda dengan moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk penyelidikan
filosofis atau kajian tentang masalah atau dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku
aktual, kebiasaan dan kepercayaan sekelompok orang atau kelompok tertentu. Etik juga
dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga etik
merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku profesional.
Etik merupakan istilah yang digunakan untuk merefleksikan apa yang seharusnya manusia
berperilaku terhadap orang lain.
Manusia sebagai mahluk sosial tidak dapat hidup sendiri, melainkan membutuhkan
hidup bersama dalam masyarakat. Dalam melaksanakan hidup beermasyarakat tersebut,
berlangsung interaksi yang intensif antar anggota masyarakat. Agar interaksi berlangsung
tanpa benturan dan dapat mendatangkan manfaat optimal, diperlukan adanya aturan
berprilaku setiap warga masyarakat. Bentuk pengaturan prilaku yang dimaksud banyak
macamnya, untuk masyarakat profesi kesehatan antara lain tercantum dalam:
 Kode etik profesi kesehatan.
Kode etik profesi kesehatan mencakup aturan dan etika yang dipakai dalam dunia
kesehatan. Aturan ini juga mencakup tatanan perilaku sebaiknya seorang perawat baik
ditempat kerja maupun didalam masyarakat.
 Hukum kesehatan.
Hukum kesehatan mencakup aturan – aturan dalam bidang medis yang mencakup cara
melakukan suatu tindakan kepada korban. Hukum kesehatan ini diberlakukan baik
kepada dokter maupun perawat.

II. KODE ETIK PROFESI KESEHATAN


Etik berasal dari kata ―ethics‖ yang berarti prinsip moral (moraleprinciples) atau
aturan berprilaku (rules of conduct). Prinsip moral dan/ atau aturan berprilaku tersebut
dihimpun dalam suatu pedoman (code) yang disebut kode etik (code of ethics).
Kode etik adalah suatu pedoman yang mengandung norma – norma dalam berprilaku.
Kode etik yang berlaku untuk warga profesi disebut kode etik profesi. Setiap profesi
mempunyai kode etik profesi. Kode etik profesi disusun oleh warga profesi. Sanksi
pelanggaran kode etik profesi ditegakkan oleh warga profesi sendiri.
Kode etik profesi kesehatan adalah kode etik yang ditemukan dan berlaku bagi
kalangan profesi kesehatan. Pelayanan kesehatan yang baik adalah yang dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat, bermutu dan terjangkau. Untuk dapat memberi pelayanan kesehatan
paripurna diperlukan kerjasama yang harmonis anatara tenaga kesehatan. Namun,
keberhasilan team kesehatan dalam melaksanakan tugas yang kompleks itu bukan saja
ditentukan oleh pengetahuan dan keterampilan mereka, melainkan juga perilaku, etika dan
moral, berikut landasan-landasan etik/moral tenaga kesehatan:
A. Landasan-landasan Etik/moralpraktik:
Terdapat beberapa landasan etik/moral yang harus dicermati oleh tenaga kesehatan
saat melakukan intervensi, diantaranya:
1. Otonomi (Autonomy)
Disebut juga dengan istilah menghormati martabat manusia (respect for person).
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berfikir logis dan
mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki
kekuatan membuat sendiri, memilih, dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan
yang harus dihargai oleh orang lain.
Prinsip otonomi merupakan bentuk respek terhadap seseorang, atau dipandang
sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan

PT SMS Indonesia | Smart 10 | P a g


hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek
profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak – hak klien dalam
membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
2. Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan
memerlukan pencegahan dan kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau
kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi
pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
3. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap orang lain
yang menjunjung prinsip – prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini
direfleksikan dalam praktek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang
benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh
kualitas pelayanan kesehatan.
4. Tidak Merugikan (Non-malficience)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/ cedera fisik dan psikologis pada
klien. Prinsip ini mengajarkan kepada kita memilih tindakan yang paling sedikit
bahayanya untuk korban atau yang paling kecil efek sampingnya.
5. Kejujuran (Veracity)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh
pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan
untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan
kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar
menjadi akurat, komprehensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan
penerimaan materi yang ada dan mengatakan yang sebenarnya kepada klien tentang
segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya selama menjalani
perawatan.
Walaupun demikian, terdapat beberapa argument mengatakan adanya batasan
untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis klien untuk
pemulihan atau adanya hubungan paternalistik bahwa ―doctors knows best‖
sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi
penuh tentang kondisinya. Kebenaran merupakan dasar dalam membangun hubungan
saling percaya.
6. Menepati Janji (Fidelity)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya
terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta
menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang untuk
mempertahankan komitmennya yang dibuatnya. Kesetiaan, menggambarkan
kepatuhan perawat terhadap kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar
dari perawat adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan
kesehatan dan meminimalkan korban gawat darurat
7. Kerahasiaan (Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga
privasinya oleh perawat. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan
kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada
seorangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien
dengan bukti persetujuan. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikan
pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus dihindari.
8. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang
profesional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.
Penerapan prinsip etik ini tergantung pada kondisi tertentu yang harus menjadi
pertimbangan. Satu prinsip menjadi lebih penting dan sah untuk digunakan dengan
mengorbankan prinsip yang lain (primafacie).
B. Kode Etik Keperawatan Indonesia
Keperawatan gawat darurat adalah bagian dari asuhan keperawatan yang berhadapan
dengan korban yang berada dalam keadaan gawat darurat (emergensi, kritis). Asuhan
keperawatan gawat darurat atau emergensi saat ini diselenggarakan di Unit Gawat

PT SMS Indonesia | Smart 11 | P a g


Darurat (Emergency Care Unit) dan atau di ruang rawat pada korban yang mengalami
kondisi gawat darurat. Namun bila kita cermati rentang praktik gawat darurat, maka
kondisi gawat darurat dapat terjadi di luar rumah sakit atau di komunitas (pra hospital dan
post hospital) serta di rumah sakit sendiri (in hospital).Karena asuhan keperawatan gawat
darurat merupakan bagian dari asuhan keperawatan yang terkait dengan penyelenggaraan
pelayanan kesehatan, baik di masyarakat maupun di rumah sakit. Maka secara
keseluruhan pada asuhan keperawatan gawat darurat juga berlaku: aspek etik (kode etik
keperawatan) dan aspek hukuum (hukum kesehatan).
Aspek etik keperawatan gawat darurat terkait kondisi gawat darurat otonomy korban
dan keluarga menempati posisi yang menentukan. Khususnya bila korban sadar atau
keluarga mendampingi korban. Tetapi disisi lain bila korban tidak sadar dan tidak ada
keluarga yang mendampingi, maka prinsip memilih tindakan yang paling menguntungkan
korban dapat menjadi suatu prioritas secara etik.kode etik keperawatan indonesia adalah
sebagai berikut:

1. Perawat dan klien


a. Perawat dlm memberikan pelkep
menghargai harkat & martabat
manusia, keunikan klien & tdk
terpengaruh oleh pertimbangan
kebangsaan, kesukuan, warna
kulit, umur, jenis kelamin, aliran
politik dan agama yg dianut serta
kedudukan
b. Perawat dlm memberikan pelkep
senantiasa memelihara suasana
lingkungan yg menghormati
nilai2 budaya, adat istiadat dan
kelangsungan hidup beragama
dari klien
c. Tanggung jawab utama perawat
adalah kepada mereka yang Gambar: buku etik keperawatan indonesia
membutuhkan asuhan
keperawatan
d. Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yg diketahui sehubungan dng tugas
yg dipercayakan kepadanya, kecuali jika diperlukan oleh yg berwewenang
sesuai dng ketentuan hukum yg berlaku
2. Perawat dan praktik
a. Perawat memelihara dan meningkatkan kompetensi di bidang keperawatan
melalui belajar terus menerus
b. Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yg tinggi
disertai kejujuran professional dalam menerapkan pengetahuan serta
ketrampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien
c. Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yg adekuat dan
mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi seseorang bila melakukan
konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain.
d. Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan
selalu menunjukkan perilaku professional.
3. Perawat dan masyarakat
Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai
dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan
masyarakat.
4. Perawat dan teman sejawat
a. Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat
maupun dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian
suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan
secara menyeluruh.
b. Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal.

PT SMS Indonesia | Smart 12 | P a g


5. Perawat dan profesi
a. Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan dan
pelayanan keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan
pendidikan keperawatan
b. Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi
keperawatan
c. Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan
memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya askep yang bermutu
tinggi

III. HUKUM KESEHATAN


Hukum adalah suatu aturan yang mengatur prilaku setiap anggota masyarakat yang
bersifat memaksa yang ditetapkan oleh pemerintah. Jenis – jenis hukum diantaranya:
1. Hukum administrasi: izin sarana pelayanan kesehatan (Surat Tanda Registrasi), izin
menyelenggarakan praktik kesehatan (Surat Izin Praktik Perawat).
2. Hukum pidana: perbuatan yang bertentangan dan atau membahayakan kepentingan umum
3. Hukum perdata: perbuatan yang merugikan orang lain

A. Hukum Kesehatan
Hukum kesehatan adalah bagian dari hukum umum yang mengatur prilaku anggota
masyarakat, utamanya anggota masyarakat kesehatan, yang terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan kesehatan mencakup:
1. Aspek administrasi
2. Aspek pidana
3. Aspek perdata
B. Manfaat Hukum Kesehatan
Dalam pelayanan kesehatan dan perkembangan ilmu kesehatan, hukum kesehatan
bermanfaat untuk:
1. Memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada penyelenggara pelayanan
kesehatan.
2. Memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada pemakai jasa pelayanan
kesehatan.
3. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
4. Memantapkan penyelenggaraan pendidikan tenaga kesehatan.
5. Mendorong perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan.
C. Ruang Lingkup Hukum Kesehatan
Terkait dengan macam, jumlah, dan perkembangan penyelenggaraan pelayanan
kesehatan di suatu negara, untuk Indonesia, secara umum dapat dikelompokkan atas 8
macam lingkup hukum kesehatan yaitu mencakup:
1. Sarana Pelayanan Kesehatan
2. Tenaga Kesehatan
3. Komoditi Kesehatan
4. Perikatan Hukum
5. Pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan
6. Pengobatan Tradisional
7. Masalah Kesehatan Khusus
8. Lembaga Peradilan
D. Upaya Mencegah MalPraktik dalam Pelayanan Gawat Darurat
Untuk mencegah terjadinya malpraktik dalam pelayanan pelayanan gawat darurat maka,
ada tiga hal pokok yang harus dilakukan, yakni:
1. Melaksanakan inform consent: pada korban yang gawat darurat (emergensi, kritis)
sering terlupakan
2. Melaksanakan semua tindakan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan
3. Mengisi catatan keperawatan (client record) yang lengkap
Baik atau tidaknya pelayanan gawat darurat ditentukan antara lain oleh baik atau
tidaknya perilaku perawat pada waktu menyelenggarakan pelayanan gawat
darurat.Pengaturan perilaku perawat, antara lain tercantum dalam Kode Etik Keperawatan
serta hukum kesehatan.

PT SMS Indonesia | Smart 13 | P a g


Untuk asuhan keperawatan gawat darurat, pengaturan aspek etis tercantum dalam
pasal – pasal kode etik keperawatan. Sedangkan untuk aspek hukum tercantum dalam
pasal – pasal yang mengatur perilaku hukum. Apabila kedua pengaturan ini dapat
diterapkan dengan sebaik – baiknya, akan dapat dicegah terjadinya keadaan yang tidak
diinginkan oleh tenaga kesehatan dan korban.
E. Aspek legal Kegawatdaruratan
Dalam pelayanan kesehatan baik dirumah sakit maupun diluar rumah sakit tidak
tertutup kemungkinan timbul konflik konflikantara tenaga kesehatan dengan pasien dan
antara sesama tenaga kesehatan (baik satu profesi maupun antar profesi). Hal yang lebih
khusus adalah dalam penanganan gawat darurat pada fase pra rumah sakit terlibat juga
unsur-unsur masyarakat non-tenaga kesehatan. Untuk mencegah dan mengatasi konflik
digunakanlah etika dan norma hukum. Oleh karena itu dalam praktik harus diterapkan
dalam dimensi yang berbeda, artinya pada saat kita berbicara masalah hukum, tolak ukur
norma hukumlah yang diberlakukan. Diataranya peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pelayanan gawat darurat yaitu:
1. UU RI No.36 tahun 2009 tentang kesehatan
Pasal 1 ayat 6: tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatanserta memiliki pengetahuan dan atauketrampilan melalui
pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukankewenangan
untuk melakukan upaya kesehatan
Pasal 23 ayat 1: tenaga kesehatan berwenang untuk menyelenggarakan pelayanan
kesehatan
Ayat 2: Kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan dilakukan
sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki.
Ayat 3: Dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, wajib memiliki izin dari
pemerintah.
Ayat 4: Selama Pelayanan dilarang mengutamakan kepentingan yang bernilai
materi
Pasal 24 ayat 1: tenaga kesehatan yang dimaksut dalam pasal 23 harus memenuhi
ketentuankode etik, standar profesi,hak pengguna pelayanan kesehatan, standar
pelayanan, dan standar prosedur operasional.
Ayat 2: ketentuan mengenai kode etik dan standar profesi sebagaimana yang
dimaksut pada ayat (1)diatur oleh Organisasi Profesi
Pasal 27 ayat 1:Tenaga kesehatan berhak mendapatkan imbalan danpelindungan
hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
Ayat 2: Tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugasnyaberkewajiban
mengembangkan dan meningkatkanpengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
Pasal 29
Pasal 32
Pasal 58
Pasal 63 ayat 3: pengendalian, pengobatan, dan atau pearwatan dapat dilakukan
berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan kemanfaatan dan keamanannya.
Ayat 4: pelaksanaan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu
keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu.
Pasal 85
Pasal 190 mengenai ketentuan pidana
ayat 1: Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang
melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan
sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam
keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal
85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Ayat 2: Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara

PT SMS Indonesia | Smart 14 | P a g


paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah)
2. UU RI No.44 tahun 2009 Tentang rumah sakit
Pasal 12 ayat 1: persyaratan sumber daya manusia yaitu rumah sakit harus memiliki
tenaga tetap yang meliputi tenaga medis, penunjang medis, tenaga keperawatan,
tenaga kefarmasian, tenaga managemen rumah sakit dan tenaga non kesehatan.
Pasal 29 mengenai kewajiban Rumah sakit
Pasal 46 mengenai tanggung jawab rumah sakit terhadap tenaga kesehatan
3. UU RI No.36 tahun 2014 tentang tenaga Kesehatan
Pasal 11: tenaga kesehatan dikelompokan ke dalam: tenaga medis, tenaga psikolog
klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian, tenaga kesehtaan
masyarakat,...
4. UU RI No.29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran
Pasal 73 ayat 1: setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk
lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah
dokter atau dokter gigi yang memliki surat tanda registrasi dan atau surat izin praktik
Pasal 2: setiap orang dilarang menggunakan alat, metode atau cara lain dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang
bersangkutan adalah dokter dan ...
Pasal 3: ketentuan sebagaimana yang dimaksut ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku bagi
tenaga kesehatan yang diberi wewenang oleh perundang-undangan
Penjelasan pasal tersebut: tenaga kesehatan yang dimaksut antara lain perawat dan
bidan yang diberi kewenangan untuk melakukan tindakan medis sesuai dengan
perundang-undangan.
5. UU RI No.38 tahun 2014 tentang
keperawatan Pasal 18 mengenai registrasi
Pasal 19 mengenai izin praktik
Pasal 28 mengenai praktik keperawatan
Pasal 29 mengenai tugas dan wewenang praktik keperawatan
Pasal 30 ayat 1 point g: memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai
kompetensi.
Pasal 35 ayat 1: dalam keadaan gawat darurat untuk memberikan pertolongan
peratama, perawat dapat melakukan tindakan medis dan pemberian obat sesuai
kompetensi
Pasal 36 mengenai hak dan kewajiban
perawat Pasal 38 mengenai hak dan
kewajiban klien
6. Permenkes No.46 tahun 2013 tentang registrasi tenaga kesehatan
7. Permenkes No.512 tahun 2007 tentang izin praktik & pelaksanaan praktik kedokteran
Pasal 15 pasal 1: dokter dan dokter gigi dapat memberikan pelimpahan suatu tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi kepada perawat, bidan atau tenaga kesehatan tertentu
lainnya secara tertulis dalam melaksanakann...
8. Permenkes No.148 tahun 2010 & No.17 tahun 2013 tentang izin dan penyelenggaran
praktik perawat
9. Permenkes No.47 tahun 2018 tentang pelayanan kegawatdaruratan.
10. Permenkes No.585 tahun 1989 tentang persetujuan tindakan medik
11.Permenkes No.290 tahun 2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran

PT SMS Indonesia | Smart 15 | P a g


III

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Setelah mengikuti materi ini peserta mampu melakukan Basic Life Support (BLS)

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Setelah mengikuti materi ini peserta mampu:
1. Menjelaskan konsep Basic Life Support (D-R-C-A-B)
2. Mengidentifikasi faktor penyebab henti napas dan henti jantung.
3. Mengidentifikasi tanda dan gejala henti napas dan henti jantung.
4. Mengatasi masalah henti napas dan henti jantung dengan teknik Cardio Pulmunary
Resucitation (CPR)
5. Melakukan Basic Life Support (BLS)

PT SMS Indonesia | Smart Emergency 16 | P a g e


BASIC LIFE SUPPORT (BLS)
I. KONSEP BASIC LIFE SUPPORT (BLS)
A. Pengertian dan Tujuan BLS
Basic Life Support (BLS) adalah dasar untuk menyelamatkan nyawa ketika terjadi
henti jantung. Aspek dasar dari BLS meliputi pengenalan langsung terhadap henti jantung
mendadak dan aktivasi system tanggap darurat, cardiopulmonary resuscitation (CPR) atau
resusitasi jantung paru (RJP) dini, dan defibrilasi cepat dengan defibrillator eksternal
otomatis/ automated external defibrillator (AED). Pengenalan dini dan respon terhadap
serangan jantung dan stroke juga dianggap sebagai bagian dari BHD. Resusitasi jantung
paru (RJP) sendiri adalah suatu tindakan darurat, sebagai usaha untuk mengembalikan
keadaan henti napas dan atau henti jantung (yang dikenal dengan kematian klinis) ke
fungsi optimal, guna mencegah kematian biologis.
Tujuan utama dari BLS adalah suatu tindakan oksigenasi darurat untuk
mempertahankan ventilasi paru dan mendistribusikan darah-oksigenasi ke jaringan tubuh.
Selain itu, ini merupakan usahapemberian bantuan sirkulasi sistemik, beserta ventilasi
dan oksigenasi tubuh secara efektif dan optimal sampai didapatkan kembali sirkulasi
sistemik spontan atau telah tiba bantuan dengan peralatan yang lebih lengkap untuk
melaksanakan tindakan bantuan hidup jantung lanjutan.
B. Indikasi Dilakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP)
Tindakan Resusitasi Jantung Paru (RJP) yang terkandung didalam bantuan hidup
dasar sangat penting terutama pada pasien dengan cardiac arrest karena fibrilasi ventrikel
yang terjadi di luar rumah sakit, pasien di rumah sakit dengan fibrilasi ventrikel primer
dan penyakit jantung iskemi, pasien dengan hipotermi, overdosis, obstruksi jalan napas
atau primary respiratory arrest:
a. Henti Jantung (Cardiac Arest)
Henti jantung adalah berhentinya sirkulasi peredaran darah karena kegagalan
jantung untuk melakukan kontraksi secara efektif, keadaan tersebut bias disebabkan
oleh penyakit primer dari jantung atau penyakit sekunder non jantung. Henti jantung
adalah bila terjadi henti jantung primer, oksigen tidak beredar dan oksigen tersisa
dalam organ vital akan habis dalam beberapa detik.
Henti jantung dapat disebabkan oleh faktor intrinsik atau ekstrinsik. Faktor
intrinsik berupa penyakit kardiovaskular seperti asistol, fibrilasi ventrikel dan
disosiasi elektromekanik. Faktor ekstrinsik adalah kekurangan oksigen akut (henti
nafas sentral/perifer, sumbatan jalan nafas dan inhalasi asap); kelebihan dosis obat
(digitas, kuinidin, antidepresan trisiklik, propoksifen, adrenalin dan isoprenalin);
gangguan asam basa/elektrolit (hipo/hiperkalemia, hipo/hipermagnesia,
hiperkalsemia dan asidosis); kecelakaan (syok listrik, tenggelam dan cedera kilat
petir); refleks vagal; anestesi dan pembedahan.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tidak teraba (nadi karotis, nadi
femoralis, nadi radialas), disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali pernapasan
berhenti atau satu-satu (gasping, apnea), dilatasi pupil tidak bereaksi dengan
rangsang cahaya dan pasien dalam keadaan tidak sadar.
b. Henti Napas (Respiratory Arrest)
Henti napas adalah berhentinya pernafasaan spontan disebabkan karena
gangguan jalan nafas persial maupun total atau karena gangguan dipusat
pernafasaan. Tanda dan gejala henti napas berupa hiperkarbia yaitu penurunan
kesadaran, hipoksemia yaitu takikardia, gelisah, berkeringat atau sianosis.
Henti nafas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak
hal,misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi asap/uap/gas,
obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat listrik, tersambar petir, serangan
infark jantung, radang epiglottis, tercekik (suffocation), trauma dan lain-lain.
Pada awal henti nafas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi, pemberian
O2 ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai beberapa menit. Jika henti
napas mendapat pertolongan dengan segera maka pasien akan terselamatkan
hidupnya dan sebaliknya jika terlambat akan berakibat henti jantung yang mungkin
menjadi fatal.
c. Tidak sadarkan diri
PT SMS Indonesia | Smart 17 | P a g
C. Golden Periode
Pada kondisi napas dan denyut jantung berhenti maka sirkulasi darah dan transportasi
oksigen berhenti, sehingga dalam waktu singkat organ – organ tubuh terutama organ vital
akan mengalami kekurangan oksigen yang berakibat fatal bagi korban dan mengalami
kerusakan. Organ yang paling cepat mengalami kerusakan adalah otak, karena otak hanya
akan mampu bertahan jika ada asupan gula/ glukosa dan oksigen. Jika dalam waktu lebih
dari 6 menit otak tidak mendapat asupan oksigen dan glukosa maka otak akan mengalami
kematian secara permanen. Kematian otak berarti pula kematian si korban. Oleh karena
itu, Golden Periode (waktu emas) pada korban yang mengalami henti napas dan henti
jantung adalah dibawah 6 menit. Artinya dalam waktu kurang dari 6 menit penderita yang
mengalami henti napas dan henti jantung harus sudah mulai mendapatkan pertolongan.
Jika tidak, maka harapan hidup si korban sangat kecil. Kematian dibedakan menjadi dua
jenis yaitu:
1. Mati klinis
Penderita dinyatakan mati secara klinis apabila berhenti berdenyut. Kematian
klinis mungkin masih dapat diubah menjadi hidup kembali apabila dilakukan RJP.
2. Mati biologis
Kerusakan sel otak dimulai 6 menit setelah berhentinya pernafasan dan
sirkulasi. Setelah 6 menit bisanya sudah terjadi kematian biologis (manusia mulai
―membusuk‖) dan penderita ini tidak dapat dihidupkan kembali.
Dengan demikian dalam keadaan mati klinis perlu dilakukan tindakan cepat
agar tidak menjadi biologis. Tindakan yang dilakukan secara umum disebut Bantuan
Hidup Dasar yaitu segala hal yang bersangkutan dengan Airway, Breathing dan
Circulation. Secara khusus tindakan yang dilakukan pada mati klinis adalah Resusitasi
Jantung Paru (RJP), Batas waktu 6 menit untuk terjadinya mati biologis jangan
dijadikan patokan untuk tidak melakukan RJP.
Tanda Kematian pasti :
Walaupun penderita belum menunjukkan tanda-tanda pembusukan, namun
ada beberapa tanda yang menunjukkan bahwa penderita sudah mati biologis yakni :
1) Kebiruan (livor mortis)
Tanda merah tua sampai kebiruan pada bagian tubuh yang terbawa (kalau
penderita dalam keadaan terlentang, pada pinggang bagian terbawah
2) Kekakuan (rigor mortis)
Anggota tubuh dan batang tubuh kaku, mulai 4 jam, menghilang setelah 10 jam.
3) Pembusukan yang nyata, terutama bau busuk
4) Cedera yang tidak memungkinkan penderita hidup seperti putusan kepala dll.
5) Dalam keadaan darurat, jarang terjadi bahwa penderita sudah menunjukkan
tanda-tanda kematian pasti. Dalam keasaan ini tetap dilakukan RJP.

II. CHAIN OF SURVIVAL/RANTAI KELANGSUNGAN HIDUP


The Chain of Survival/ rantai kelangsungan kehidupan adalah sebuah protokol yang
membantu responden pertama, penyedia layanan gawat darurat medis dan orang awam
bersertifikat menyediakan pelayanan penting untuk korban tersedak atau serangan jantung
dan pernafasan.tujuan dari rantai kelangsungan hidup adalah untuk meningkatkan
kesempatan pasien untuk pemulihan melalui tindakan dini. Rangkaian tindakan yang
dilaksanakan pada awal dari setiap kasus kegawatan medik untuk memberikan bantuan/
pertolongan dengan tujuan mempertahankan kelangsungan hidup.
Rekomendasi terbaru AHA2020, rantai kelangsungan hidup dipisahkan antara
perawatan pasien yang mengalami serangan jantung diluar rumah sakit/ Out of Hospital
Cardiac Arrest (OHCA) dengan pasien yang mengalami serangan jantung di rumah sakit/
Intra Hospital Cardiac Arrest (IHCA). Pasien yang mengalami serangan jantung diluar
rumah sakit lebih banyak ditemukan oleh orang awam, namun penemu pertama tersebut
harus mengenali adanya serangan jantung, meminta bantuan dan memberikan pertolongan
pertama dengan segera memulai Resusitasi Jantung Paru (RJP) pada pasien tersebut. Apabila
di tempat kejadian tersebut terdapat fasilitas Automated External Defibrilator (AED), maka
penolong tersebut harus dapat menggunakan alat tersebut untuk membantu menyelamatkan
pasien tersebut, sampai pada akhirnya petugas kesehatan yang terlatih tiba di tempat dan
mengambil alih penyelamatannya. Kemudian membawa pasien tersebut ke fasilitas
kesehatan. Sebaliknya jika pasien yang mengalami serangan jantung berada di rumah sakit,

PT SMS Indonesia | Smart Emergency 18 | P a g e


maka team dari petugas kesehatan yang meliputi dokter, perawat, ahli terapi pernafasan
dapat langsung memberikan pertolongan.
Sistem gawat darurat yang secara efektif menerapkan jalur ini dapat meningkatkan
harapan hidup pasien dengan henti jantung. Semua tindakan yang dilakukan harus
dilaksanakan secara berkesinambungan, saling berkaitan satu sama lain seperti satu mata
rantai/ Chain of Survival. Semakin cepat penolong masuk kedalam suatu mata rantai dan
kemudian dapat beralih pada mata rantai berikutnya, semakin tinggi tingkat keberhasilan dari
pertolongan tersebut.

Gambar: Chain Of Survival For Adult (AHA 2020)

PEDIATRIC CHAIN OF SURVIVAL


Henti jantung pada anak seringkali merupakan lanjutan dari gagal nafas dan syok. Mengenali anak dengan masalah i
Prevention of arrest (Cegah terjadinya henti jantung)
Early high-quality by stander CPR
Rapid activation of the EMS (Segera aktifkan SPGDT/minta pertolongan)
Effective advance life support (including fapid stabilitation and transport to definitive care and rehabilitation
Intregrated post-cardiac arrest care
Recovery

Gambar: Chain Of Survival For Child And Pediatrik (AHA 2020)

PT SMS Indonesia | Smart 19 | P a g


BUILDING BLOCK OF CPR

Setiap orang dapatmenjadi penyelamat kasus henti jantung. Ketrampilan CPR


tergantung dari beberapa variable seperti level pelatihan yang diikuti, pengalaman, kepercayaan
diriserta siapakah korbannya dewasa atau anak-anak dan peralatan yang tersedia waktu itu.
Untuk 1 penolong dengan keterbatasan ketrampilan dalam pelatihan yang dimiliki dan
keterbatasan alat dapat melakukan hands-only CPR yaitu kompresi dada saja tanpa memberikan
bantuan pernafasan. Jika terdapat 2 penolong terlatih dapat melakukan bantuan dengan rasio
kompresi dan ventilasai 30:2, dimana penolong pertama melakukan kompresi dada sedang
penolong kedua bersiap memberikan bantuan nafas sebanyak 2 kali dalam waktu 2 detik saja
setelah selesai 30 kompresi.
Jika terdapat 3 penolong terlatih maka pembagian tugas akan menjadi penolong pertama tetap
pada melakukan kompresi dada sebanyak 30 kali, penolong kedua bersiap memberikan bantuan
nafas sebanyak 2 kali dalam waktu 2 detik saja setelah selesai 30 kompresi sedang penolong
ketiga menggunakan AED dan menempelkannya pada dada korban sekaligus menjadi CPR
coach untuk memantau high quality CPR dan meminimalkan interupsi.
Koordinasi yang baikselama Tindakan CPR akan memberikan kesempatan korban untuk hidup
dan keberhasilan resusitasi. Semua tim harus berkontribusi sewaktu Tindakan CPR

KOMPONEN UTAMA CPR :


1. Chest Compression
2. Airway
3. Breathing

KLASIFIKASI USIA
Dewasa>> mulai dari adanya tanda tanda pubertas
Anak >>12bulan/1 tahun sampaitanda-tandapubertas (+)
Bayi >>> 28 hari sampaidengan12bulan/1 tahun

PT SMS Indonesia | Smart 20 | P a g e


2020 AHA GUIDELINES FOR CPR
Ketika berhadapan dengan penderita seringkali kita kebingunan untuk melakukan
pertolongan meskipun sebelumnya telah mendapatkan pelatihan pertolongan. Untuk
memudahkan mengingat sistematika pertolongan diperkenalkan oleh AHA 2020 tentang suatu
konsep pertolongan yang disebut dengan DRCAB yang merupakan singkatan dari Danger,
Response, Call for help, activate emergency respone system & get AED, Carotid pulse
check & Breath check, Chest compression, Airway and Breathing
D : Danger (Identifikasi Bahaya)
R : Respon (Cek Respon)
Call For Help (minta bantuan) dengan mengaktivasi emergensi respon sistem dan bawa AED
Cek Nadi dan Cek Nafas
(SecaraSimultan) C : Chest Compression
(Kompresi dada) A : Airway (Buka Jalan
Nafas)
B : Breathing (Beri bantuanPernafasan)

RJP DEWASA 1 PENOLONG

Langkah 1
Danger (Bahaya >>Amankan)
Aman Diri Sendiri(memakai APD)
Aman Lingkungan(Pastikan lingkungan aman (tempat datar, tidak berarir dan kuat), bila
didalam kerumunan banyak orang, instruksikan keluar ruangan (IHCA) atau menjauh
(OHCA)dan instruksikan satu orang untuk tinggal atau mendampingi sebagai saksi
(OHCA).
Aman Korban(kunci brankar dan pasang handrail (IHCA))

Langkah 2
Response (Cek Respon)
Untuk memeriksa respon korban, berikan rangsangan untuk
membangunkan korban, diantaranya:
Panggil korban Gambar: aman diri (APD)
Tepuk dan goyang pundak korbandengan 2 tangan

Jika korban tidak ada respon,


Segera minta bantuan berteriak atau tunjuk orang
dengan untuk dapat Gambar: cek
membantu. respon
(Call for Help)
- Pra rumah sakit/ Perkantoran/area kerja
Telpon pusat komando bantuan kegawatdaruratan untuk mengirim ambulans dan atau
petugas medis
- Rumah sakit
Aktifkan kode blue/team cepat tanggap
Bila penolong sendirian Segera ambil AED (OHCA) atau trolly emergency (IHCA). Bila
terdapat orang lain, minta orang tersebut untuk aktivasi emergency dan ambil AED
(OHCA) serta mendampingi penolong sebagai saksi.

PT SMS Indonesia | Smart 21 | P a g


Cek Nadi carotis
Periksa nadi dan pernafasan secara bersamaan, Waktu pemeriksaan nadi kurangdari10 detik

Raba nadi karotis dengan cara:


-Arahkan lengan ke bagian trakhea
(sisi terdekat dari penolong)
mengguanakn 2 atau 3 jari.
-Rasakan denyut nadi dalam waktu
<10 detik
-Dan lihat sekilas pada
Gambar : Cek nadi karotis dan pernafasan pengembangan dada korban

Perhatian
- Bernapas nomal dan nadi teraba
Monitor pasien/ROSC (IHCA), posisi pemulihan (Recovery position) (OHCA). Posisi
pemulihan dilakukan untuk mencegah terjadinya aspirasi karena cairan air liur dan muntah
- Tidak bernpas normal (agonal gasping) namun nadi teraba
Lakukan rescue breathing /pemberian bantuan napas 10x/menit (tiap 6 detik) dan chek nadi
tiap 2 menit. Lakukan high quality CPR bila nadi dirasa tidak teraba.
- Tidak bernapas normal/agonal gasping dan nadi tidak
teraba Lakukan high quality CPR.
Napas agonal gasping adalah pernapasan tidak normal dan menjadi tanda terjadinya henti
jantung, dan atau muncul dlam menit pertama setelah henti jantung. Korban dengan napas
agonal gasping tampak bernapas cepat atau lemah, mulut terbuka, rahang kepala atau leher
bergerak mengikuti irama gasping. Suara ini dapat terdengar mendengkur, mendengus
ataupun mengerang.

Langkah 3

Chest Compression (kompresi dada)


Buka baju sampai bagian dada terlihat jelas, dan untuk memungkinkan pemasangan pad jika
bantuan yang membawa AED datang.
Langkah Tindakan
1 Posisikan diri penolong disebelah badan korban
Pastikan korban di posisi terlentang, di atas alas kuat dan rata
2 Jika telungkup, balikan badan korban dengan hati-hati. Jika dicurigai
cedera spinal lakukan logroll untuk membalikan badan.
3 Tempatkan Tumit tangan padapertengahntulang dada
4 Posisi tangan tegak lurus, dorong ke bawah dengankekuatan bahu
Tekan cepat dan keras
Tekan sedalam 2 inch (5 cm)
Kecepatan sekurang-kurangnya 100-120x/menit
5
30 kompresi 15 – 18 detik
Perbangdingan kompresi 30:2 (cara hitung: 1,2,3...29,30 >>
dst)
6 Pastikan recoil dada (dada ke posisi awal kembali)
7 Minimalkan interupsi antar kompresi (tidak lebih dari 10 detik)
`Gambar: teknik kompresi

PT SMS Indonesia | Smart 22 | P a g e


Langkah 4
Airway (Buka Jalan Napas)
Teknik pembebasan jalan nafas :
Head tilt- chin lift (angka dagu-tengadahkan kepala)
Dilakukan pada korban yang tidak dicurigai terdapat cedera servikal/spinal

Gambar: teknik head tilt-chin lift Gambar: teknik manuver jaw thrust

Jaw Trust (Dorong rahang bawah) dan Chin Lift (Angkat Dagu)
Jika korban dicurigai cedera servikal (patah tulang leher), lakukan jaw trust atau chin lift (angkat dagu)

Langkah 5
BREATHING (PERNAFASAN)
Perbandingan Saat CPR, setelah 30 kompresi berikan 2 kali nafas Berikan Nafas bantuan dengan cara :
Mouth to Mouth (Mulut ke mulut) (tidak dianjurkan kontak langsung untuk menghindari resiko infeksi)
DianjurkanLangsungMenggunakanBag Valve Maskuntukpemberian Breathing.

menggunakantehnik E-C Clamp untuk 1 Gambar: teknik kompresipenolong dan double E-C Clamp untuk 2 pe
& ventilasi
Segera lanjutkan kompresi setelah pemberian 2 kali ventilasi, tidak lebih dari 10 detik

ATTENTION

Bila tidak terdapat BVM untukmemberikannafasbantuan, maka lakukan Hand Only CPR (Hanya Kompresi Dada).

RJP DEWASA 2 PENOLONG

CPR dengan 2 orang penolong, masing-masing penolong memiliki tugas spesifik masing-
masing, diantaranya:
- Segera gunakan AED (OHCA)/defribilator (IHCA)
Saat penolong kedua datang membawa AED (paska aktivasi emergency), penolong kedua
sesegera mungkin memberikan AED kepada penolong pertama untuk mengoperasikan
AED, sementara penolong kedua menggantikan RJP.
- Segera lakukan high quality CPR atau ikuti sesuai intruksi AED hingga team advance
datang
- Penolong harus bergantian dalam melakukan kompresi tiap 2 menit, bila memakai AED,
pergantiankompresi dilakukan mengikuti instruksi AED

PT SMS Indonesia | Smart 23 | P a g


- Bila AED tidak tersedia namun terdapat BVM:
Penolong Posisi Tugas
Melakukan kompresi dada
- Kompresi dada sedalam 2 inchi (5 cm)
- Kompresi dengan kecepatan sekurang-

Di samping korban
kurangnya 100-120x/menit
- Perhatikan recoil setiap kompresi
Penolong 1 - Kurangi interupsi saat kompresi
- Gunakan rasio kompresi pernapasan 30:2
(Jika ad BVM)
- Hitung kompresi dengan suara keras (cara
hitung: 1,2,3...29,30 >> dst)
Ganti tugas dengan penolong 2 setiap 2 menit
Buka jalan nafas menggunakan tehnik :
- Head tilt-chin lift
Diatas kepala korban

- Jaw Thrust (curiga trauma servikal/spinal)


Berikan nafas dengan teknik E-C Clamp, lihat
kenaikan dada dan hindari ventilasi (Pemberian
Penolong 2
nafas) yang berlebihan
Pastikan penolong 1 melakukan
kompresi dengan benar
Ganti tugas dengan penolong 2 setiap 2 menit
atau jika penolong 1 kelelahan

RJP ANAK/BAYI 1 PENOLONG


Langkah 1
Danger (Bahaya >> Amankan)
Aman Diri Sendiri (memakai APD)
Aman Lingkungan (Pastikan lingkungan aman (tempat datar, tidak berarir dan kuat), bila
didalam kerumunan banyak orang, instruksikan keluar ruangan (IHCA) atau menjauh
(OHCA) dan instruksikan satu orang untuk tinggal atau mendampingi sebagai saksi
(OHCA).
Aman Korban (pastikan korban dalam kondisi aman)

Langkah 2
Response (Cek Respon)
Untuk memeriksa respon korban, berikan rangsangan untuk
membangunkan korban, diantaranya:
Panggil korban Gambar: aman diri (APD)
Tepuk bahu korban (anak)
Atau tepuk telapak kaki
(bayi)
Jika korban tidak ada respon (Call for Help),segera minta bantuan atauaktifkan
emergency dg telp.bila memngkinkan
Cek Nadi + ChekNafas
Periksa nadi dan pernafasan secara bersamaan, Waktu pemeriksaan nadi maksimal <10 detik
-Chek nadi anak:Palpasi nadi karotis dan ChekNafas
-Chek nadi Bayi: Palpasi pada Nadibrachialis dan
ChekNafas, Tempatkan 2/3 jari penolong di bagian dalam
lengan atas bayi, ditengah antara siku dan bahu.
- Rasakan denyut nadi dalam <10 detik.
Gambar : Cek nadi &
napas

Gambar: Chek Brachialis

PT SMS Indonesia | Smart 24 | P a g e


Perhatian
4. Bernapas nomal dan nadi teraba
Monitor pasien/ROSC atau aktifkan emergency jika belum dilakukan.
5. Tidak bernpas normal namun nadi teraba
Lakukan rescue breathing /pemberian bantuan napas 20-30 x/menit (tiap 2-3 detik) dan
chek nadi tiap 2 menit. Lakukan high quality CPR bila nadi dirasa tidak teraba.

Langkah 3
Compression (kompresi dada)
Buka baju sampai bagian dada terlihat jelas, dan untuk memungkinkan pemasangan pad jika
bantuan yang membawa AED datang.
Langkah Tindakan
1 Posisikan diri penolong
Anak: 2 telapak tangan seperti pada korban dewasa atau dengan satu
tangan
Bayi: teknik 2 jari atauteknik 2 ibu jari dan 2 tanganmelingkar dada
korban (1 atau2 penolong)
2

Gambar: compressi pada bayi Gambar: compressi pada anak


Tekan cepat dan keras
Tekan sedalam 2 inch (5 cm)atau minimal 1/3 diameter posterior
(AP) dinding dada >>anak
3
Tekan sedalam 1,5 inch (4 cm)>> bayi
Kecepatan sekurang-kurangnya 100-120x/menit
Perbangdingan kompresi 30:2 (cara hitung: 1,2,3...29,30 >> dst)
4 Pastikan recoil dada (dada ke posisi awal kembali)
5 Minimalkan interupsi

Langkah 4
Airway (Buka Jalan Napas)
Teknik pembebasan jalan nafas :
Head tilt- chin lift (angkat dagu-tengadahkan kepala)
Dilakukan pada korban yang tidak dicurigai terdapat cedera servikal/spinal
Jaw Trust (Dorong rahang bawah)
Jika korban dicurigai cedera servikal (patah tulang leher), lakukan jaw trust atau chin lift (angkat dagu)
Maksimalkan patensi jalan napas dengan memposisikan leher bayi pada posisi sniffing hingga ear canal sejajar deng
korban.
Pembebasan jalan napas pada bayi dilakukandengan

caramemberikan padapunggung
sedikit penderita.
ganjaran
Hal ini untuk
menyeimbangkan dengan bentuk kepala bayi yang secara pro

Gambar: Sniffing Position

PT SMS Indonesia | Smart 25 | P a g


Langkah 5
BREATHING (Beri bantuanpernafasan)
Perbandingan Saat CPR, setelah 30 kompresi berikan 2 kali
nafas Berikan Nafas bantuan dengan cara :
Mouth to Mouth (Mulut ke mulut) (tidak dianjurkan kontak langsung untuk menghindari
resiko infeksi).
GunakanBag Valve Mask (BVM) untukpemberian Breathing
Segera lanjutkan kompresi setelah pemberian 2 kali
ventilasi.
Setelah 2 menit CPR bila bantuan masih belum datang dan belum aktifasi emergency (tidak
membawa hanphone), tinggalkan korban dan aktivasi emergency serta ambil AED
(Gunakanlah AED dengan segera (OHCA) (jika ada)).

RJP ANAK/BAYI 2 PENOLONG

CPR dengan 2 orang penolong, masing-masing penolong memiliki tugas spesifik masing-
masing, diantaranya:
- Segera gunakan AED (OHCA)/defribilator (IHCA)
Saat penolong kedua datang membawa AED (paska aktivasi emergency), penolong kedua
sesegera mungkin mengoperasikan AED
- Segera lakukan high quality CPR atau ikuti sesuai intruksi AED hingga team advance
datang
Teknik kompresi pada anak dengan teknik 2 telapak tangan sama dengan kompresi
dewasa atau 1 tangan (sama seperti pada CPR 1 penolong).
Teknik kompresi pada bayi dengan teknik 2jari atau 2 ibu jari dan 2 tangan melingkar
dada korban.
- Perbandingan Kompresi ventilasi pada anak dan bayi dengan 2 penolong menggunakan
perbandingan 15:2
- Penolong harus bergantian dalam melakukan kompresi tiap 2 menit, bila memakai AED,
pergantian kompresi dilakukan mengikuti instruksi AED.
- Bila AED tidak tersedia namun terdapat BVM:
Penolong pertama disamping korban melakukan kompresi – penolong kedua diatas kepala
korban untuk memberikan ventilasi – pergantian posisi tiap 2 menit atau jika penolong
kelelahan

VENTILASI
A. Perbandingan compressi dan ventilasi
Pemberian ventilasi pada pasien henti jantung tanpa alat bantu napas lanjut berbeda dengan
pasien henti jantung yang sudah terpasang alat bantu napas lanjut, berikut perbedaannya:
1. Teknik ventilasi tanpa alat bantuan napas lanjut (Bag ValveMask)
- Dewasa:
kecepatan kompressi 100-120x/menit
Perbandingan kompressi 30:2
- Anak/bayi:
kecepatan kompressi 100-120x/menit
Perbandingan kompressi 30:2 (1 penolong)
Perbandingan kompressi 15:2 (2 penolong)
2. Teknik ventilasi yang telah terpasang alat bantu napas lanjut (laryngeal mask airway
dan endotraceal intubation)
- Kecepatan kompressi 100-120x/menit
- Pemberian ventilasi tiap 6 detik/10x/menit
- Kompressi dan ventilasi dilakukan masing masing tanpa perbandingan

PT SMS Indonesia | Smart 26 | P a g e


B. Resque Breathing
Resque breathing/bantuan napas yang diberikan pada korban henti jantung yang teraba
nadi namun tidak ada napas/napas agonal gasping, caranya sebagai berikut:
Dewasa: diberikan tiap 6 detik (10x/menit)
Anak/bayi: diberikan tiap 2-3 detik (20-30x/menit)

Catatan:
- tiap pemberian 1x ventilasi dalam waktu lebih dari 1 detik
- perhatikan pengembangan dada saat memberikan ventilasi
- saat memberikan ventilasi teknik E-C Clamp (1 penolong)/ double E- C Clamp (2
penolong) harus selalu diperhatikan
- chek nadi tiap 2 menit

CPR FOR A PREGNANT WOMAN

Jika di dapatkanhentijantung pada wanitadengankehamilan minimal 20 minggutindakan yang


dilakukanadalah :
 Baringkandenganposisidatar
 Lakukan manual Lateral Uterine Displacement (LUD)/menggeser uterus
kesebelahkirikarenakompresiaortocaval menghambat venous return kejantung
 Jika tidak ada respon dari tindakan BLS & ALS selama 4 menit & bayi harus segera
dilahirkan 5 menit sejak henti jantung terjadi
 Nama tindakannya Peri Mortem Sectio Caesarea (PMSC)
Jadi, tujuan utama dari prosedur PMSC adalah untuk mengosongkan uterus agar memperbaiki
resusitasi ibu, bukan kelangsungan hidup janin, dan monitoring janin tidak dilakukan selama
CPR

CHEST COMPRESSION FRACTION

Proporsi waktu penyelamatan melakukan kompresi dada disebut dengan chest


compression fraction (CCF)/ Nilai CCF paling sedikit 60% dan akan meningkat seperti
terjadinya ROSC, keberhasilan mengatasi syok dan selamatnya pasien keluar dari RS. Dengan
tim work yang baik dan terlatih penyelamatan CCF bias mencapai 80% bahkan lebih,
seharusnya inilah yang menjad itujuan dari resusitasi.

INDIKATOR KEBERHASILAN CPR

Keberhasilan CPR dapat kita lihat dengan


menggunakan alat yang dinamakan CAPNOGRAPH
yang terpasang pada ujung endotracheal tube (ETT) jika
pasien dilakukan intubasi.Capnograph menampilkan
CO2 yang berkelanjutan & real time sesuai dengan
kondisi pasien.CO2 keluar dari tubuh melalui paru-paru,
konsentrasi CO2 saat ekshalasi mencerminkan cardiac
output dan aliran darah paru sebagai gas yang ditranspor
oleh sistem vena ke jantung bagian kanan dan kemudian
dipompa paru-paru oleh ventrikel kanan.Capnograph Gambar Capnograph
mengukur konsentrasi CO2 pada akhir ekshalasi yang disebut dengan end tidal carbon dioxide
(EtCO2), dimana nilai normalnya adalah 35 – 45 mmHg.

PT SMS Indonesia | Smart 27 | P a g


KOMPONEN HIGH QUALITY CPR

1. PUSH HARD
 Adult 5 cm
 Child 5 cm (sepertigakedalaman dada)
 Infant 4 cm (sepertigakedalaman dada)
2. PUSH FAST
 100-120 x/mnt
 30 kompresi 15 – 18 detik
3. Minimize Interruptions <10 detik
4. Allow complete Chest Recoil
5. Give effective breath Avoid excessive breath

III. AED (AUTOMATED EXTERNAL DEFRIBILATOR)


Adalah alat portable yang dapat menganalisa seacara otomatis irama yang memerlukan
kejut listrik. Defribilasi segera merupakan salah satu bagian dari rantai kelangsungan hidup
korban henti jantung dengan irama ventrikel fibrilasi/ventrikel takikardi tanpa nadi. Oleh
kareta itu, sarana publik sekarang ini sudah banyak yang menyediakan AED, diantaranya
bandara, mall-mall besar, pabrik, perkantoran, fasilitas pendidikan dan fasilitas kesehatan.
Untuk model ataupun tipe AED sangat bervariatif tergantung merk dagang masing-
masing, namun langkah-langkah penggunaan AED secara umum sama. Berikut Langkah-
langkah penggunaan AED:
1. Buka tas dan Nyalakan AED atau tekan ―Power On‖
Ada beberapa AED yang menyala otomatis tanpa tekan tombol on jika penutup AED
dibuka
2. Ikuti instruksi selanjutnya:
a. Tempelkan Pad pada dada korban (tanpa menghentikan kompresi)
- Pilih pad yang sesuai (dewasa / anak)
- Jangan lupa lepas perekat/pelindung pad AED
- Pasang kabel konektor AED (ada beberapa AED kabel konektor tidak langsung
terpasang)

Gambar: Pemasangan pad deawasa & anak


b. Saat AED menginstruksikan ―don’t touch patient‖ penolong harus berteriak
―clear‖ saat itu juga AED akan menganalisa irama, pastikan tidak ada
yang menyentuh korban agar penilaian AED lebih akurat(penolong kedua dalam
posisi siap menggantikan penolong pertama untuk melakukan compressi). Beberapa
AED ada juga yang menginstruksikan tekan tombol untuk analisa irama terlebih
dahulu (analisa irama tidak langsung secara otomatis)
c. Bila AED mengistruksikan ―Shock‖, maka AED akan mengatakan ―clear the
victim dan delive shock‖
- Pastikan ulang tidak ada seorangpun yang menyentuh korban dengan
mengatakan ―every body clear‖ atau ―clear‖
- Kemudian baru tekan tombol ―shock‖
d. Perhatikan jika tidakada instruksishock atau setelah pemberian shock segera
lanjutkan kompresi dada
e. Setelah 2 menit compressi ventilasi, AED akan menginstruksikan untuk mengulang
point 2a-2c atau AED akan langsung memberi instruksi ―don‘t touch
patient‖ketika muncul irama ventrikel takikardi tanpa nadi/ventrikel fibrilasi saat
analisa 2 menit setelah compressi ventilasi

Penggunaan AED pada korban KHUSUS

PT SMS Indonesia | Smart 28 | P a g e


1. Korban dengan dada berbulu:
- Cukur area dada yang akan dipasang pad (beberapa tas AED ada yang mempunyai
tempat khusus untuk penempatan alat cukur)
- Bila didalam tas AED ada pad AED 2 set, tempelkan 1 set pad AED pertama serekat
mungkin untuk menarik/mengangakat bulu dada dengan cepat, kemudian tempelkan
kembali 1 set pad yang kedua.
2. Korban dengan dada basah/berkeringat
- Jika dada berkeringat, keringkan dada terlebih dahulu sebelum menempelkan pad AED
- Jika masih dekat peraian (pasca tenggelam), keluarkan/jauhkan korban dari perairan dan
lap denganhanduk yang tersediadalamtas AED.
3. Korban dengan terpasang pacemaker/implanted defribilator yang kehabisan batrai
- Korban yang berisiko tinggi terkena serangan henti jantung, lebih seringnya langsung
melakukan operasi pemasangan pacemaker yang dapat memberikan shock secara
otomatis
- Hindari pemasangan pad AED diatasnya pacemaker
- Langkah-langkahnya sama yaitu dengan mengikuti instruksi AED

IV. RECOVERY POSITION

jika tidak ada nadi & tidak ada nafas maka dilakukan recovery position dengan posisi
supine dengan tetap menjaga patensi jalan nafasanya.evaluasi terhadap nadi & nafas
dilakukan setiap 2 menit

IHCA: Observasi & Konsul Ahli Sesuai Kebutuhan Pasien


OHCA : Jangan Tinggalkan Korban & Tunggu Sampai Tim Ahli Datang

Jaga patensi jalan nafas


Evaluasi nadi & nafas setiap 2 menit

Korban non traumadiluar rumah sakit (OHCA) yang sudah pulih kembali denyut
jantung dan pernapasannya (nadi dan napas ada) setelah dilakukan CPR, maka dilakukan
posisi recovery dengan menjaga patensi jalan nafas, cegahterjadi aspirasi pada korban yang
tidak sadar, jangan pernah tinggalkan korban sampai bantuan yang lebih ahli datang.
Lakukan evaluasi terhadap korban setiap 2 menit sekali baik itu nadi dan nafas.

Jika Terjadi ROSC (Return Of Spontaneous Circulation


Pasien Koma:
a. Targeted Temperature Management (TTM)
b. Pertahankan suhu 32 – 36ºC selama 24 jam
c. Beri cairan salin 4ºC
d. CT Scan brain
e. EEG
f. Perawatan intensif

Pasien Bangun: Perawatan Instensif

PT SMS Indonesia | Smart 29 | P a g


Evaluasi dan cari penyebab dari 5H & 5T Konsul ke ahli

5H :
 Hypovolemia
 Hypoxia
 Hydrogen ion (acidosis)
 Hypo/hyperkalemia
 Hypothermia
5T :
 Tension pnuemothorax
 Tamponade cardiac
 Toxins
 Thrombosis pulmonary
 Thrombosis coronary

V. KOMPLIKASI CPR
Selain manfaat yang didapat dari tindakan Bantuan Hidup Dasar(CPR), ada pula
komplikasi yang kemungkinan bisa terjadi, antara lain:
1. Komplikasi ventilasi
a. Regurgitasi, aspirasi isi lambung
b. Gastric insuflasi (Penumpukan udara dilambung)
c. Peningkatan tekanan intrathoraks (menurunkan cardiac output)
2. Komplikasi compressi
a. Fraktur sternum/ costae/iga
b. Pneumothoraks, hemotoraks, kontusio
c. Flail chest
d. Emboli udara
e. Ruptur aorta
f. Luka organ lain seperti Laserasi/ruptur hati, limpa dll

VI. PENGHENTIAN CPR


CPR dihentikan apabila:
1. Setelah 30 menit tidak ada hasil + (SPO Faskes masing-masing)
2. Bila ada respon dari pasien (nadi teraba, nafas ada, batuk, bangun/sadar)
3. Penolong yang lebih ahli datang
4. DNR medis maupun permintaan
5. Penolong kelelahan
1. Adanya tanda pasti kematian ; kebiruan, kekakuan, bau busuk, trauma yang
memungkinkan tidak bisa tertolong seperti kepala putus

PT SMS Indonesia | Smart 30 | P a g e


ALOGARITMA TATALAKSANA HENTI JANTUNG DEWASA
PEMBAHARUAN AHA 2020

Amankan lokasi kejadian

Korban tidak menunjukan reaksi, teriaklah untuk mendapatkan pertolongan terdekat. Aktifkan system emerge

Berikan napas buatan: 1 napas tiap 6 detik atau sekitar 10 napas / menit
Aktifkan system emergency (jika belum dilakukan) setelah 2 menit Terus berikan napas buatan: periksa denyut nadi setia

Bernapas tidak normal, ada


Bernapas normal, ada denyut

Perhatikan apakah napas terhenti atau tersengal dan periksa denyut (secara bersamaan). Apakah denyut benar-benar

Pantau hingga tenaga


medis datang

Pada saat
Napas ini, dalam
terhenti atau semua scenario,
tersengal, tidaksystem emergency atau cadangan telah diaktifkan, serta AED dan peralatan gawat
ada denyut

CPR
Mulai siklus 30 kompressi dan 2 napas buatan, gunakan AED segera setelah tersedia

AED tersedia

Periksa ritme detak jantung,


ritme dapat terkejut?

Ya, ritme dapat dikejut tidak, ritme tidak dapat dikejut

an CPR kurang lebih 2 menit (hingga


SegeraAED membolehkan
lanjut CPR kurang pemeriksaan
lebih selama ritme).
2 menitLanjutkan hingga
(hingga AED team advance
membolehkan datang atauritme).
pemeriksaan korbanLanjutkan hingga team advance data

PT SMS Indonesia | Smart 31 | P a g


ALOGARITMA TATALAKSANA HENTI JANTUNG
PEDIATRIC SATU PENOLONG PEMBAHARUAN AHA 2020

Amankan lokasi kejadian

Berikan napas buatan:


Korban tidak menunjukan reaksi, 1 napas tiap 2-3 detik
teriaklah untuk mendapatkan pertolongan atau sekitar 20-30
terdekat. Aktifkan system emergency napas buatan/ menit
melalui telp. (jika tersedia) Tambah compressi
jika denyut tetap
Bernapas ≤60/menit dengan
tidak tanda perfusi buruk
Bernapas normal, normal, ada Aktifkan system
ada denyut Perhatikan apakah denyut emergency (jika
napas terhenti atau belum dilakukan)
Aktifkan system tersengal dan periksa setelah 2 menit
emergency (jika belum denyut (secara Terus berikan napas
dilakukan). Kembali bersamaan). Apakah buatan: periksa
pada korban dan denyut benar-benar denyut nadi setiap 2
Pantau hingga tenaga ada dalam 10 detik? menit, jika tidak ada
medis datang denyut mulai CPR
(Lanjutkan ke kotak
CPR
Napas terhenti atau tersengal,
tidak ada denyut
YA
Korban
terlihat jatuh Aktifkan system emergency (jika
mendadak? belum dilakukan, lalu ambil AED

TIDAK

CPR
1 penolong Mulai siklus 30 kompressi dan 2 napas
buatan, (jika penolong kedua datang, gunakan
rasio 15:2). gunakan AED segera setelah tersedia

Jika penolong masih sendiri kurang lebih setelah 2 menit, aktifkan system emergency. Lalu
ambil AED (jika belum dilakukan)

AED Menganalisa ritme,


ritme dapat terkejut?

Ya, ritme dapat


dikejut Tidak, ritme tidak
dapat dikejut

Terapkan 1 kejut, segera lanjutkan CPR


kurang lebih 2 menit (hingga AED Segera lanjut CPR kurang lebih selama 2
membolehkan pemeriksaan ritme). menit (hingga AED membolehkan
Lanjutkan hingga team advance datang atau pemeriksaan ritme). Lanjutkan hingga team
korban mulai bergerak. advance datang atau korban mulai
bergerak.

PT SMS Indonesia | Smart 32 | P a g e


ALOGARITMA TATALAKSANA HENTI JANTUNG
PEDIATRIC DUA PENOLONG PEMBAHARUAN AHA 2020

Amankan lokasi kejadian

Korban tidak menunjukan reaksi,


teriaklah untuk mendapatkan pertolongan Berikan napas buatan: 1
terdekat. Penolong pertama tetap napas tiap 2-3 detik
mendampingi korban, penolong kedua atau sekitar 20-30
Aktifkan system emergency serta ambil napas buatan/ menit
AED & peralatan gadar Tambah kompressi
jika denyut ≤60/menit
Bernapas dengan tanda perfusi
tidak buruk
Bernapas normal, normal, ada Aktifkan system
ada denyut Perhatikan apakah denyut emergency (jika
napas terhenti atau belum dilakukan)
Pantau hingga tersengal dan periksa setelah 2 menit
tenaga medis denyut (secara Terus berikan napas
datang bersamaan). Apakah buatan: periksa
denyut benar-benar denyut nadi setiap 2
ada dalam 10 detik? menit, jika tidak ada
denyut mulai CPR
(Lanjutkan ke kotak
CPR
Napas terhenti atau tersengal,
tidak ada denyut

CPR
Penolong pertama Mulai siklus 30 kompressi dan
2 napas buatan, setelah penolong kedua kembali,
gunakan rasio 15:2. gunakan AED segera setelah
tersedia

Periksa ritme detak


jantung, ritme dapat
terkejut?

Ya, ritme dapat


dikejut tidak, ritme tidak
dapat dikejut

Terapkan 1 kejut, segera lanjutkan CPR


kurang lebih 2 menit (hingga AED Segera lanjut CPR kurang lebih selama 2
membolehkan pemeriksaan ritme). menit (hingga AED membolehkan
Lanjutkan hingga team advance datang atau pemeriksaan ritme). Lanjutkan hingga team
korban mulai bergerak. advance datang atau korban mulai bergerak.

PT SMS Indonesia | Smart 33 | P a g


STANDART OPERASIONAL PROSEDUR
Resusitasi jantung Paru Dewasa
No Tindakan Teknik
Danger Menggunakan APD
(pastikan aman Perhatikan posisi korban dan lingkungan, apakah ada yang dapat
1 membahayakan korban/penolong
diri, aman
lingkungan Pastikan korban berbaring dipermukaan yang datar dan keras
dan aman pasien)
Response
2 (pastikan tidak Tepuk bahu korban dan panggil: ―pak... atau buk. ..bangun‖
berespon)
Call for help 3 T (Tunjuk, Teriak, Telfon)
3 (aktifkan system Ambil AED dan peralatan gawat darurat atau minta seseorang untuk
emergency) mengambilnya
Pastikan tidak ada Perhatikan napas berhenti atau tersengal (agonal gasping) dan periksa denyut
4
nadi dan napas nadi carotis secara bersamaan (<10 detik (cara hitung: 1,2,3...10)
Tidak ada napas atau agonal gasping dan nadi tidak teraba
Atur posisi penolong
Buka pakaian yang menutupi dada
Letakan tumit telapak tangan di tengah dada korban (mid sternum), Letakan
Compression telapak tangan lainnya diatas tangan yang pertama
5 (beri kompresi Posisi lengan penolong lurus dan posisi bahu tepat diatas lengan
dada) Kompresi dengan perbandingan 30:2 dan kecepatan 100-120/ menit
Kedalaman kompresi 2,5 inch (6 cm)
Full chest recoil
Minimal interupsi antar pergantian penolong tidak lebih dari 10 detik
Airway
6 korban trauma: jaw trust/chin lift, korban non-trauma: head tilt chin lift
(buka jalan napas)
Gunakan BVM, bila tidak ada hanya lakukan kompresi dada sampai bantuan
Breathing datang kecuali korban memiliki kedekatan dengan penolong seperti
7 (memberi bantuan suami/istri/orang tua/anak
napas/ventilasi) Terapkan teknik EC-Grip pada BVM saat memberikan 2 kali napas, sambil
melihat pengembangan dada korban
Segera lanjutkan Segera lanjutkan kompresi setelah memberikan 2 kali bantuan napas
melakukan
8 RJP dilakukan sampai ada kriteria untuk menghentikan RJP (ada tanda
kompresi dada bernapas, batuk dll) atau sampai team advance sudah datang
kembali
Hentikan RJP, segera chek nadi karotis setiap 2 menit, Bila nadi teraba segera
chek napas dengan melihat pengembangan dada
9 Evaluasi Bila tidak ada napas, berikan ventilasi (rescue breathing) 10x/menit (1 kali
napas setiap 6 detik) selama 2 menit menggunakan BVM jika tersedia, selalu
chek nadi napas setiap 2 menit
Posisi pemulihan Bila nadi karotis teraba dan napas sudah ada, lakukan posisi
10
(OHCA/IHCA) pemulihan/recovery position (OHCA) atau tatalaksana ROSC (IHCA)
Catatan:
- Bila penolong kedua datang membawa AED dan BVM: penolong pertama segera menyalakan AED
dan mengambil alih AED serta ikuti instruksi selanjutnya, penolong 1 dan penolong 2 bertukar posisi
setiap evaluasi 2 menit
- Bila penolong 2 hanya membawa BVM: penolong kedua menggantikan kompresi setelah penolong
pertama melakukan pemberian kompresi 30x dan ventilasi 2x atau jika penolong pertama melakukan
hand only CPR, segera gantikan posisi kompresi dan penolong pertama pindah posisi diatas kepala
korban untuk memberikan 2 ventilasi setelah 30 kompresi diberikan

PT SMS Indonesia | Smart 34 | P a g e


STANDART OPERASIONAL PROSEDUR
Resusitasi jantung Paru Anak & Bayi
No Tindakan Teknik
Danger (pastikan Menggunakan APD
aman diri, aman Perhatikan posisi korban dan lingkungan, apakah ada yang dapat
1 membahayakan korban/penolong
lingkungan dan
aman pasien) Pastikan korban berbaring dipermukaan yang datar dan keras
Response
Anak: panggil dan tepuk bahu
2 (pastikan tidak
Bayi : panggil dan tepuk-tepuk bagian telapak kaki bayi
berespon)
Minta 3 T (Tunjuk. Teriak, Telfon)
pertolongan Perhatikan napas berhenti atau tersengal (agonal gasping) dan periksa denyut
3 terdekat&Pastikan nadi secara bersamaan (< 10 detik (cara hitung: 1,2,3...10)
tidak ada nadi dan Chek nadi anak: nadi karotis
napas Chek nadi bayi: nadi brachialis
Bila korban terlihat tiba-tiba tidak sadarkan diri (disaksikan), lakukan point No.4
Call for help aktifkan system emergencyAmbil AED serta peralatan gawat darurat atau
4 (aktifkan system minta seseorang untuk mengambilnya
emergency) Anda segera lakukan RJP
Bila korban tidak diketahui kapan terjadi tidak sadarkan diri (tidak disaksikan), lakukan point No.5
Atur posisi penolong
Buka pakaian yang menutupi dada
Anak: Letakan kedua telapak tangan di tengah dada korban (seperti RJP pada
dewasa) atau satu telapak tangan
Compression Bayi: letakan 2 jari di tengah dada bayi (setengah tulang dada bagian bawah)
5 (beri kompresi Kompresi dengan kecepatan 100-120/ menit
dada) Anak: Kedalaman kompresi 1/3 dinding anteroposterior dada atau 2 inch
(5cm)
Bayi: Kedalaman kompresi 1,5 inch (4cm)
Full chest recoil
Minimal interupsi antar kompresi tidak lebih dari 10 detik
Airway (buka
6 korban trauma: jaw trust/chin lift, korban non-trauma: head tilt chin lift
jalan napas)
Gunakan BVM, bila tidak ada hanya lakukan kompresi dada sampai bantuan
Breathing datang kecuali korban memiliki kedekatan dengan penolong seperti
7 (memberi bantuan suami/istri/orang tua/anak
napas/ventilasi) Terapkan teknik EC-Klem pada BVM saat memberikan 2 kali napas, sambil
melihat pengembangan dada korban
Segera lanjutkan Segera lanjutkan kompresi setelah memberikan 2 kali bantuan napas
melakukan RJP dilakukan sampai ada kriteria untuk menghentikan RJP (ada tanda
8
kompresi dada bernapas, batuk dll) atau sampai team advance sudah datang
kembali
Hentikan RJP, segera chek nadi setiap 2 menit, Bila nadi teraba segera chek
napas dengan melihat pengembangan dada
9 Evaluasi Bila tidak ada napas, berikan ventilasi (rescue breathing) 20-30x/menit (1 kali
napas setiap 2-3 detik) selama 2 menit menggunakan BVM jika tersedia,
selalu chek nadi napas setiap 2 menit
Posisi pemulihan Bila nadi teraba dan napas sudah ada, lakukan posisi pemulihan/recovery
10
(OHCA/IHCA) position (OHCA) atau tatalaksana ROSC (IHCA)
Catatan:
- Bila penolong kedua datang membawa AED dan BVM: penolong kedua segera menyalakan AED
dan ikuti instruksi selanjutnya, penolong 1 dan penolong 2 bertukar posisi setiap AED
menginstruksikan untuk analisa irama, lakukan perbandingan RJP 15:2 dengan kecepatan 100-
120x/mnt, dan pada bayi teknik kompresi menjadi 2 jari melingkar dada bayi
- Bila penolong 2 hanya membawa BVM: penolong kedua menggantikan kompresi setelah penolong
pertama melakukan pemberian kompresi 30x dan ventilasi 2x atau jika penolong pertama melakukan
hand only CPR, segera gantikan posisi kompresi dan penolong pertama pindah posisi diatas kepala
korban untuk memberikan 2 ventilasi setelah 30 kompresi diberikan, penolong kedua melakukan
kompresi dengan perbandingan 15:2

PT SMS Indonesia | Smart 35 | P a g


IV

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Setelah mengikuti materi ini peserta mampu mengelola jalan napas dan pernapasan pada kondisi
gawat darurat.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Setelah mengikuti materi ini peserta mampu:
1. Mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi pada pernapasan
2. Mengidentifikasi kepatenan jalan napas
3. Melakukan pembersihan jalan napas
4. Membuka jalan napas
5. Melakukan bantuan napas
6. Melakukan manuver pembebasan jalan napas akibat tersedak
7. Memposisikan sesuai kondisi pasien
8. Melakukan pemberian terapi oksigen aliran rendah

PT SMS Indonesia | Smart 36 | P a g e


AIRWAY BREATHING MANAGEMENT
I. PENDAHULUAN
Terganggunya jalan nafas dapat terjdai secara cepat dan tiba – tiba, atau perlahan dan
parsial. Peristiwanya dapat progresif atau rekuren. Takipnea walaupun dapat disebabkan oleh
nyeri dan ketakutan, namun harus selalu diingat kemungkinan gangguan jalan nafas yang
dini. Karena itu penilaian jalan nafas (airway) dan pernafasan (breathing) sangat penting.
Korban gawat darurat dengan kesadaran menurun mempunyai resiko tinggi untuk
gangguan jalan nafas, dan kerap kali memerlukan jalan nafas definitif. Korban gawat darurat
tidak sadar, intoksikasi alkohol atau perlukaan intrathoraks beresiko terganggunya
pernafasan (breathing). Pada korban gawat darurat seperti ini jalan nafas definitif ditujukan
untuk : memberikan jalan nafas yang adekuat, memberikan oksigen tambahan, membantu
ventilasi dan mencegah aspirasi. Menjaga oksigenasi serta mencegah hiperkarbia sangat
penting pada trauma kapitis.
Petugas kesehatan harus mengantisipasi kemungkinan muntah pada semua korban
gawat darurat trauma. Adanya cairan lambung di orofaring menandakan kemungkinan
aspirasi yang dapat terjadi secara mendadak. Trauma pada wajah merupakan keadaan lain
yang memerlukan perhatian segera. Mekanisme perlukaan biasanya adalah penumpang
mobil yang tanpa sabuk pengaman dan kemudian terlempar ke kaca depan saat tabrakan.
Trauma pada bagian tengah wajah (mid – face) dapat menyebabkan fraktur / dislokasi yang
beresiko mengganggu oro atau naso – faring.
Fraktur tulang wajah dapat menyebabkan perdarahan, sekresi yang meningkat serta
avulasi gigi yang menambah masalah pada jalan nafas. Fraktur ramus mandibula, terutama
bilateral, dapat menyebabkan lidah jatuh ke belakang dan gangguan jalan nafas pada posisi
terlentang. Korban gawat darurat yang menolak untuk berbaring mungkin ada gangguan
jalan nafas. Perlukaan daerah leher beresiko adanya gangguan jalan nafas karena rusaknya
laring, trakhea, atau karena adanya perdarahan dalam jaringan lunak yang menekan jalan
nafas.
Berkurangnya pasokan darah yang mengadung oksigen ke otak merupakan penyebab
kematian pada kasus trauma. Saat pertama kali napas berhenti, maka jantung akan ikut
berhenti dalam beberapa menit kemudian. Hal tersebut dikarenakan jantung membutuhkan
suplay oksigen yang terus menerus untuk dapat berfungsi. Saat suplay oksigen di berhenti,
sel sel otak memulai mengalami kematian dalam 4-6 menit pertama yang disebut mati
klinis. Mati klinis merupakan kondisi dimana jantung dan pernafasan terhenti. Waktu
tersebut merupakan waktu emas (golden time) untuk melakukan resusitasi jantung paru
(RJP). Jika sel-sel tubuh tidak menerima oksigen dalam waktu 6-8 menit sejak suplay
oksigen berhenti, maka akan terjadi kerusakan sel irreversible (mati biologis). Kondisi
tersebut terjadi karena terlalu banyak sel-sel otak yang mati. Pada kasus kematian klinis
memiliki peluang kemungkinan untuk hidup kembali, bila segera dilakukan RJP dengan
cepat dan tepat.
Pada saat penilaian awal (initial assessment), bila ditemukan korban gawat darurat
sadar yang dapat berbicara biasa, keadaan ini untuk sementara menjamin adanya airway
yang baik. Karena itu, tindakan pertama adalah berusaha berbicara kepada korban gawat
darurat. Jawaban yang adekuat menjamin airway yang baik, pernafasan yang baik serta
perfusi ke otak yang baik. Gangguan dalam menjawab pertanyaan menunjukkan gangguan
kesadaran, gangguan jalan nafas (airway) atau gangguan pernafasan (breathing).
Hal yang penting dan harus selalu diperhatikan khususnya pada pasien yang
mengalami multiple trauma selain penangana.n airway harus pula selalu memperhatikan
untuk melakukan imobilisasi pada tulang leher / servikal sebab pasien yang mengalami
multiple trauma kemungkinan besar mengalami patah tulang servikal.

PT SMS Indonesia | Smart 37 | P a g


II. ANATOMI
Pernapasan terdiri dari
trakea dan cabang-cabangnya
serta paru-paru. Pada saat
inspirasi, dimana 21% oksigen
yang terkandung dalam udara
berjalan melalui jalan napas atas
menuju jalan napas bawah
sebelum mencapai paru-paru,
yaitu tempat dimana pertukaran
gas sebenarnya terjadi. Trakea
terbagi lagi menjadi 2 cabang,
yaitu bronkus utama kanan dan
bronkus utama kiri. Masing- Gambar: Potongan sagital melalui rongga hidung dan
masing bronkus primer dan faring, dilihat dari sisi tengah/ medical
kemudian terbagi lagi menjadi bronkiolus. Bronkiolus (cabang bronkus yang sangat kecil)
ini akan berakhir di alveoli, dimana terdapat kantung-kantung udara kecil yang dikelilingi
oleh kapiler-kapiler. Di alveoli inilah system respiratorik bertemu dengan system sirkulatorik
(system pembuluh darah) dan disini pulalah terjadi pertukaran gas.
Sistem pernafasan manusia terdiri dari jalan napas atas dan jalan napas bawah. Setiap
bagian dari system ini memainkan peranan yang penting dalam menjamin terjadinya
pertukaran gas, yaitu suatu proses dimana oksigen dapat masuk ke aliran darah dan
karbondioksida dapat dilepaskan.
a. Jalan Napas Atas (Upper Airway)
Upper airway terdiri dari
rongga hidung hingga ke laring.
Udara yang masuk melalui
rongga hidung akan mengalami
proses penghangatan atau
humidifikasi, dan penyaringan
dari segala kotoran. Setelah
rongga hidung, dapat dijumpai
daerah faring, yaitu mulai dari
bagian belakang palatum mole
(langit-langit lunak) sampai
ujung bagian atas dari esofagus.
Faring terdiri dari lapisan otot
dan membran mukosa. Faring
terbagi menjadi 3, yaitu Gambar: Jalan nafas atas (Upper Airway)
nasofaring (bagian atas),
orofaring (bagian tengah), dan hipofaring (bagian akhir dari faring) dan selanjutnya bagian
laring.
Di bawah faring terdapat esofagus dan laring yang merupakan permulaan jalan nafas
bawah. Di dalam laring terdapat pita suara dan otot-otot yang dapat membuatnya bekerja,
serta terdiri dari tulang rawan yang kuat. Pita suara merupakan suatu lipatan jaringan yang
mendekat di garis tengah.
Tepat diatas laring, terdapat struktur yang berbentuk daun yang disebut epiglotis.
Epiglotis berfungsi sebagai pintu gerbang yang akan mengantarkan udara yang menuju
trakea, sedangkan benda padat dan cair akan dihantarkan menuju esofagus.
Pada kondisi pasien yang tidak sadarkan diri, lidah dapat jatuh menutupi jalan napas.
Sehingga dengan teknik mengangkat mandibula (teknik jaw trust/chin lift/head tilt chin lift)
akan menyebabkan tulang hyoid dan epiglotis terangkat, sehingga jalan napas dapat terbuka.
Disamping itu teeknik tersebut juga dapat mempertahankan epiglotis agar tetap elevasi dan
tidak menutupi dinding faring posterior.
Pada laring terdapat pita suara yang dilindungi oleh kartilago tiroid, yaitu struktur
berbentuk Huruf C. Pada umumnya, kartilago tiroid dapat terlihat jelas pada permukaan
leher bagian anterior yang disebut laryngeal. Penekanan pada kartilago tiroid dapat
menyebabkan pita suara lebih mudah terlihat saat intubasi endotracheal yang disebut dengan
teknik external laryngeal manipulation (ELM).

PT SMS Indonesia | Smart 38 | P a g e


Kartilago tiroid di bagian inferior disebut cricoid, yaitu kartilago yang berbentuk
seperti cicin dibagian depan dan stempel diabgian belakang. Cricoid dapat dipalpasi pada
permukaan leher di laring inferior dan akan teraba seperti benjolan kecil dibawah tiroid.
Penekanan pada krikoid dipermukaan leher anterior dapat menutup esofagus yang disebut
dengan teknik sellick maneuver, teknik ini
bertujuan untuk mengurangi resiko regurgitasi
gastric selama intubasi dan mencegah masuknya
udara ke dalam lambung selama pemberian
ventilasi agar tidak terjadi aspirasi. Bila ada
kecurigaan cedera servical, maka imobilisasi
harus tetap dilkukan selama teknik Sellick
maneuver.
Jaringan penghubung antara kartilago
tiroid inferior dengan krikoid superior disebut
membran krikotiroid, membran tersebutlah
sebagai tempat akses menuju jalan napas Gambar : anatomi krikotiroid
langsung dibawah pita suara.
b. Jalan Napas Bawah (Lower Airway)
Lawer airway terdiri dari
trakea, percabangan (Carina)
dan bronchus hingga
bronkhiolus. Pada saat inspirasi,
udara berjalan melalui jalan
napas atas menuju jalan napas
bawah sebelum mencapai paru-
paru, yaitu tempat dimana
pertukaran gas sebenarnya
terjadi. Trakea terbagi lagi
menjadi 2 cabang, yaitu bronkus
utama kanan dan bronkus utama
kiri. Masing-masing bronkus Gambar : Jalan nafas bawah (Lower
terbagi lagi menjadi bronkiolus.
Bronkiolus (cabang bronkus yang sangat kecil) ini akan berakhir di alveoli, dimana terdapat
kantung-kantung udara kecil yang dikelilingi oleh kapiler-kapiler. Di alveoli inilah sistem
respiratorik bertemu dengan sistem sirkulatorik (sistem pembuluh darah) dan disini pulalah
terjadi pertukaran gas.
III. FISIOLOGI
Sistem respiratorik
memiliki 2 fungsi utama.
Pertama sistem ini berfungsi
menyediakan oksigen bagi sel
darah merah, yang kemudian
akan membawa oksigen tersebut
ke seluruh sel tubuh. Dalam
proses metabolisme aerobik,
tubuh menggunakan oksigen
sebagai bahan bakar dan akan
memproduksi karbondioksida
sebagai hasil sampingan.
Pelepasan karbondioksida dari
tubuh ini merupakan tugas Gambar : Fisiologi pernafasan
kedua bagi sistem respiratorik.
Kegagalan dalam mengenal airway yang tersumbat sebagian atau ketidakmampuan pasien
untuk melakukan ventilasi dengan cukup. Gabungan obstruksi airway dengan ketidak
cukupan ventilasi dapat menyebabkan hipoksia sehingga akan mengancam nyawa. Keadaan
seperti ini mungkin terlupakan bila ditemukan perlukaan yang nampaknya lebih serius.
Setiap kali bernapas, udara akan mengalir ke system respiratorik. Ketika udara
atmosfer mencapai alveoli, oksigen akan bergerak dari alveoli, melintas membran alveoli

PT SMS Indonesia | Smart 39 | P a g


kapiler dan menuju sel darah merah. Sistem sirkulatorik kemudian akan membawa oksigen
yang telah berikatan dengan sel darah merah ini menuju jaringan tubuh, yang mana oksigen
akan digunakan sebagai bahan bakar dalam proses metabolisme. Jika oksigen mengalami
pemindahan dari alveoli ke sel darah merah, maka sebaliknya dengan karbondioksida yang
mengalami pemindahan dari plasma ke alveoli. Karbondioksida diangkut oleh plasma, bukan
oleh sel darah merah. Karbondioksida bergerak dari aliran darah, melintas membrane
alveokar-kapiler, masuk ke dalam alveoli dan dikeluarkan selama ekspirasi. Hal yang sangat
penting dalam proses ini adalah bahwa alveoli harus terus menerus mengalami pengisian
udara segar yang mengandung oksigen dalam jumlah adekuat. Proses pernafasansendiri ada
dua yaitu inspirasi (menghirup) dan ekspirasi (mengeluarkan nafas).
Inspirasi dilakukan oleh dua jenis otot:
1. Otot interkostal, antara iga-iga. Pernafasan ini dikenal sebagai pernafasan torakal. Otot
dipersarafi oleh nervus interkostalis (torakal 1 – 12)
2. Otot diafragma, bila berkontraksi diafragma akan menurun. Hal ini dikenal sebagai
pernafasan abdominal, dan persarafan melalui nerfus frenikus yang berasal dari cervikal
3-4-5.
Pernafasan Terdiri Dari beberapa Proses, diantaranya:
 Ventilasi : pertukaran udara keluar masuk paru-paru.
 Respirasi : pertukaran gas antara oksigen dengan karbondioksida pada tingkat sel
 Distribusi : pembagian udara ke cabang-cabang bronchus
 Diffusi : peresapan masuknya oksigen dari alveoli ke darah danpengeluaran
CO2 dari darah ke alveoli
 Perfusi : aliran darah yang membawa O2 ke jaringan
Pusat pernafasan ada di batang otak, yang mendapat rangsangan melalui baro
reseptor yang terdapat di aorta dan arteri karotis. Melalui nervus frenikus dan nervus
interkostalis akan menjadi pernafasan abdomino-torakal (pada bayi disebut torako-
abdominal).
Dalam keadaan normal volume udara yang kita hirup saat bernafas dikenal sebagai
tidal volume. Bila membutuhkan oksigen lebih banyak maka akan dilakukan penambahan
volume pernafasan melalui pemakaian otot-otot pernafasan tambahan.

IV. PATOFIOLOGI
Gangguan pernapasan dapat terjadi karena kegagalan dalam mengenal airway yang
tersumbat sebagian atau ketidakmampuan pasien untuk melakukan ventilasi dengan cukup.
Terjadinya obstruksi airway bersamaan dengan ketidakcukupan ventilasi dapat
menyebabkan hipoxia sehingga dapat mengancam nyawa, keadaan seperti ini mungkin bisa
saja terlupakan bila ditemukan perlukaan yang nampak lebih serius.
Terganggunya system respiratorik yang akan mempengaruhi dalam penyediaan oksigen
yang adekuat dan pelepasan karbondioksida diantaranya melalui :
1. Hipoventilasi akibat hilangnya penggerak usaha bernapas (ventilator drive), yang
biasanya disebabkan oleh penurunan fungsi neurologis.
2. Hipoventilasi akibat adanya obstruksi aliran udara pada jalan napas ayas dan bawah
3. Hipoventilasi akibat penurunan kemampuan pari untuk mengembang.
4. Hipoksia akibat penurunan absorbsi oksigen melalui membrane alveolar kapiler.
5. Hipoksia akibat penurunan aliran darah ke alveoli
6. Hipoksia akibat penurunan aliran darah udara untuk mencapai alveolus, biasanya karena
terisi oleh air atau debris.
7. Hipoksia pada tingkat seluler akibat penurunan aliran darah ke sel jaringan.
Tiga gangguan pertama di atas merupakan keadaan hipoventilasi akibat penurunan
volume per menit, jika tidak ditangani segera maka hipoventilasi akan mengakibatkan
penumpukan karbondioksida, asidosis, metabolism anaerobic, dan seringkali kematian.
V. AIRWAY MANAGEMENT

PT SMS Indonesia | Smart 40 | P a g e


Gangguan yang terjadi pada airway dapat berupa sumabatan secara total maupun
sebagian (parsial). Airway dinyatakan tidak mengalami sumbatan ketika penderita masih
bisa berbicara dengan baik tanpa adanya suara tambahan.
Adanya masalah gangguan pada jalan napas dan pernapasan yang tidak segera
diatasi dapat mengakibatkan kematian, maka pentingnya mengenali tanda dan gejala
sangatlah mempengaruhi dari kecepatan dan ketanggapan dalam mengatasi masalah pada
airway atau jalan nafas.
Hal yang penting dan harus selalu diperhatikan khususnya pada pasien yang
mengalami multiple trauma selain penangana.n airway harus pula selalu memperhatikan
untuk melakukan imobilisasi pada tulang leher / servikal sebab pasien yang mengalami
multiple trauma kemungkinan besar mengalami patah tulang servikal.
Pasien yang memakai helm dan memerlukan penanganan airway memerlukan
imobilisasi tulang belakang, leher pada posisi netral sementara helm dibuka. Prosedur ini
memerlukan 2 orang: orang pertama melakukan inline imobilisasi dari bawah, sementara
orang kedua melepas helm dari sebelah aatas. Setelah helm dibuka inline imobilasasi tulang
belakang dan leher harus tetap dilakukan untuk patensi jalan napas.
Pada saat penilaian awal (initial assessment), hindari pergerakan pada area cervical
dan spinal, kecurigaan cedera cervical didasarkan pada mekanisme trauma yang terjadi atau
mendukung. Berdasarkan mekanisme yang mendukung aggaplah pasien mengalami cedera
sevical, segera lakukan fiksasi cervical dengan memasang neck collar. Bila pasien belum
berada diatas papan keras, segera pindahkan menggunakan long spine board lengkap dengan
head emobilizer .
Langkah utama penilaian dan tatalaksana jalan napas yang mengancam nyawa adalah
menentukan tanda objektif adanya obstruksi jalan napas dan mengidentifikasi adanya trauma
atau luka bakar di area wajah dan leher. Pada penilaian ini dengan cara menstimulus melalui
berbicara. Kegagalan dalm merespon rangsangan suara atau respon yang tidak sesuai
menunjukan adanya gangguan Masalah pada airway/jalan nafas yaitu sumbatan.
Sumbatan/obstruksi dapat terjadi baik totol maupun parsial.
A. Sumbatan Total
Sumbatan total terjadi karena benda asing yang
menutup airway secara tiba-tiba yang dikenal dengan
istilah tersedak (Chocking). Diantaranya Tanda yang
mudah dikenali pada pasien yang mengalami sumbatan
jalan napas total adalah :
1. Mendadak tidak bisa berbicara, batuk dan bernapas
2. Berontak sambil memegangi leher
3. Sianosis (Kebiruan)
4. Mendadak tidak sadar
Gambar : Tanda sumbatan 5. Kesulitan bernapas
total

Pada pasien dewasa dan anak yang sadar dapat dilakukan Heimlich Maneuver
atau abdominal thrust,Pada wanita hamil/obesitas maka lalukan chest thrust. Sedangkan
pada bayi, yang dapat dilakukan adalah dengan teknik chest thrust and back blow.
Finger sweep boleh dilakukan jika benda terlihat, jika tidak terlihat maka tidak
disarankan untuk melakukan finger sweep, karena dapat mendorong benda asing
semakin menyumbat jalan napas.

A B
Gambar: Finger Sweep Gambar: Chest Gambar: Chest Thrust&back Slaps
Thrust

PT SMS Indonesia | Smart 41 | P a g


Gambar: Heimlich Manouver atau abdominal thrust

Pada pasien dewasa dan anak yang mengalami tidak sadarkan diri, lakukan teknik
RJP tanpa pengecekan nadi terlebih dahulu. Jika pada bayi, lakukan seperti pasien
dewasa dengan teknik RJP bayi. Selalu chek adanya benda asing sebelum memberikan
ventilasi, jika terlihat benda asing segera ambil.
B. Sumbatan Parsial
Sumbatan parsial dibedakan menjadi tiga bagian yaitu:
1. Sumbatan karena cairan (gurgling)
Setiap pasien trauma mempunyai resiko mengalami sumbatan airway karena
cairan yang disebabkan oleh darah, secret, air liur atau karena muntah. Sumbatan
karena cairan dapat mengakibatkan aspirasi yaitu masuknya cairan asing kedalam
paru-paru pasien. Sumbatan jalan napas karena cairan dapat didefinisikan dengan
adanya suara gurgling yaitu suara seperti berkumur-kumur dari mulut pasien.
Upaya penanganan sumbatan airway karena cairan adalah dengan cara manual atau
menggunakan alat penghisapan / suction sesegera mungkin.
Suctioning dapat dilakukan dengan kateter suction (suction canule) baik yang
kaku (rigid tip) maupun yang lembut (soft/flexible tip). Soft tip digunakan untuk
penghisapan cairan (darah, secret dsb) sedangkan untuk darah yang menggumpal
atau sisa makanan (muntah) menggunakan rigid tip.
2. Sumbatan karena lidah (snoring)
Pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran, maka mungkin pangkal
lidah jatuh ke belakang dan menyumbat hipofaring. Hal ini karena otot-otot lidah
lemas atau mengalami kelumpuhan. Cara mengatasi sumbatan airway karena
sumbatan pangkal lidah pada prinsipnya adalah mengangkat pangkal lidah agar
tidak menyumbat jalan napas. Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi sumbatan
ini dibagi 2, secara manual atau dengan menggunakan alat. Tindakan manual yaitu
dengan melakukan jaw trust atau chin lift (pada pasien trauma), atau dengan head
tilt chin lift (pada pasien non trauma). Jika alat sudah tersedia segera pasang
Oroparingeal airwaay (bila tidak ada gangguan reflek) atau Nasoparingeal Airway
(bila ada gangguan reflek).
3. Sumbatan anatomis (crowing)
Sumbatan ini disebabkan oleh penyakit salura pernapasan atau karena adanya
trauma yang mengakibatkan pembengkakan pada airway (trauma inhalasi pada
kebakaran atau trauma tumpul leher) ataupun desakan neoplasma. Sehingga
Timbul suara "crowing" atau stridor respirotoir. Keadaan ini hanya dapat
diatasi dengan perbaikan airway pada bagian distal dari sumbatan,
misalnyaairways definitife atau dengan penanganan secara surgical dengan
membuat airway alternatif tanpa melalui mulut atau hidung pasien.

PT SMS Indonesia | Smart 42 | P a g e


C. Teknik Menjaga Jalan Napas
Teknik membuka jalan napas dapt dilakukan dengan berbagai cara, tergantung dari
masalah yang muncul. Pemilihan teknik yang tepat akan sangat efektif dalam
mengatasi gangguan jalan napas, selalu perhatikan indikasi serta kontra indikasi dalam
pemilihan alat. Pada kasus trauma juga harus selalu diingat untuk melakukan kontrol
servikal, berikut teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk membuka jalan napas:
1. Basic Airways
a. Membuka jalan napas secara manual
 Chin lift atau jaw trust
Tindakan chin lift tidak boleh
menyebabkan hiperekstensi leher.
Tindakan ini berguna pada pasien
trauma karena tidak
membahayakan pasien yang
dicurigai patah tulang leher atau
mengubah patah tulang leher
tanpa cedera sumsum tulang
belakang menjadi cedera sumsum Gambar: Jaw Thrust
tulang belakang.
Jaw Thrust adalah tindakan mendorong rahang ke arah atas dengan
cara memegang sudut rahang bawah (angulus mandibulae) kiri dan
kanan, lalu mendorong rahang bawah kearah atas, dengan terdorongnya
rahang ke atas maka airway yang sebelumnya tertutup oleh pangkal lidah
dapat terdorong ke atas sehingga membebaskan saluran pernafasan.
INGAT !!! Pada pasien dengan dugaan cedera leher (trauma cervikal)
dan kepala, lakukantindakan ini dengan hati – hati dan mencegah gerakan
leher.
 Heat tilt chin lift
Head titl chin lift manuver
adalah metode yang dipilih pada
pasien yang tidak dicurigai
mengalami fraktur servikal.
Tindakan ini dilakukan pertama
kali pasien non trauma yang tidak
sadar. Head titl lift adalah
tindakan mengangkat dagu dengan
menengadahkan kepala. Pada
Gambar: Head Titl Chin pasien trauma hanya dianjurkan
Lift chin lift, sedangkan headtitl
(menengadahkan kepala) tidak doperbolehkan karena dapat
memanipulasi servikal pasien.
Tindakan chin lift dilakukan dengan cara jemari satu tangan diletakkan
di bawah rahang, yang kemudian secara hati-hati diangkat ke atas untuk
membawa dagu kearah depan. Ibu jari tangan yang sama, dengan ringan
menekan bibir bawah untuk membuka mulut Ibu jari dapat juga
diletakkan dibelakang gigi seri bawah dan secara bersamaan, dagu
dengan hati-hati diangkat.
b. Membuka jalan napas dengan alat
 Suction
Soft tip dapat dipakai untuk melakukan
suction daerah hidung atau naso faring
serta dapat dimasukan kedalam
endotrachealtube (ETT). Bila memakai
softtip masuk kearah nasofaring harus
selalu diukur, jangan sampai terlalu jauh.
Pada fraktur basis kranii soft tip yang Gambar: Soft tip suction
dimasukkan lewat hidung selalu ada
kemungkinan masuk rongga tengkorak.

PT SMS Indonesia | Smart 43 | P a g


Rigid tip dapat menyebabkan timbulnya
refleks muntah bila bersinggungan
dengan dinding farong atau bahkan
menimbulkan Perlukaan. Walaupun
demikian rigidtip lebih disukai karena
manipulasi alat lebih mudah dan suction
Gambar: Rigis tip suction lebih efektif. Tindakan suctioning dapat
menghisap oksigen yang ada dalam jalan
napas, oleh karena itu lamanya suctioning maksimal 15 detik pada
orang dewasa, maksimal 5 detik pada anak-anak dan maksimal 3 detik
pada bayi.
Sebelum dan sesudah melakukan suctioning, pasien harus diberikan
oksigenasi untuk mencegah terjadinya hipoksia. Bila pasien muntah
dalam jumlah banyak dan tindakan suctioning tidak menolong, maka
kepala pasien harus dimiringkan untuk mencegah terjadinya aspirasi.
Hati-hati pada pasien trauma yang dicurigai patah tulang leher (fraktur
servikal), jangan hanya memiringkan kepalanya saja, tetapi seluruh badan
pasien harus dimiringkan dengan tindakan ―logroll‖
 Oropharingeal Airway (OPA)
Tindakan ini adalah untuk
membebaskan sumbatan jalan napas
dengan menyisipkan alat kedalam mulut
(dibalik lidah) dengan cara menahan lidah
pasien agar tidak menyumbat jalan napas.
Teknik ini digunakan untuk ventilasi
sementara pada pasien yang tidak sadar
sementara intubasi sedang disiapkan,
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu Gambar: Pemasangan OPA
dengan menyisipkan OPA secara terbalik
dan dengan bantuan tounge spatel.
Teknik pertama dilakukan dengan cara menyisipkan OPA secara
terbalik (up side down), sehingga bagian yang cekung mengarah ke-
kranial, sampai di daerah palatummolle. Pada titik ini, alat diputar 1800
bagian cekung mengarah ke kaudal, OPA diselipkan diatas lidah. Cara ini
tidak boleh dilakukan pada anak-anak dan bayi karena dapat merusak
mulut, faring dan lidah.
Yang perlu diperhatikan saat pemasangan Oro Pharyngeal Airway
(OPA) adalah sebagai berikut :
- Selalu menjaga imobilisasi servical pada pasien yang dicurigai
mengalami fraktur servikal.
- Pilih ukuran OPA yang cocok, dengan cara mengukur sesuai dengan
jarak sudut mulut ke auditivus eksterna pasien (OPA yang terlalu
besar dapat menyebabkan obstruksi laryng atau mneyebabkan
trauma pada jaringan laringeal, sedangkan OPA terlalu kecil dapat
mendorong lidah bagian posterior sehingga menyebabkan obstruksi
jalan napas)
- Buka mulut pasien dengan manuver chin lift atau teknik cross finger
(scissors technique)
- Sisipkan tounge spatel diatas lidah pasien, cukup jauh untuk
menekan lidah
- Masukan OPA ke posterior dengan lembut meluncur diatas tounge
spatel sampai sayap penahan berhenti pada bibir pasien.
- OPA tidak boleh mendorong lidah sehingga menyumbat airway.
- Tarik tounge spatel.
- OPA jangan diplester untuk mencegah rangsangan muntah pada
pasien yang mengalami peningkatan status kesadaran.

PT SMS Indonesia | Smart 44 | P a g e


 Nasopharingeal Airway (NPA)
Tindakan ini dilakukan dengan cara menyisipkan alat pada salah satu
lubang hidung dan dilewatkan dengan hati-hati ke orofaring posterior.
Pada pasien yang masih berespon
pemasangan NPA lebih tepat
dibandingkan dengan memasang
OPA karena lebih kecil
kemungkinan menimbulkan
rangsangan muntah.
NPA digunakan untuk menjaga
lidah agar tidak menyumbat jalan
napas pada pasien yang mengalami
penurunan kesadaran tetapi masih
memiliki gag reflex, NPA juga Gambar: Pemasangan NPA
digunakan pada pasien yang tidak bisa dipasang OPA atau karena giginya
yang mengunci dan tidak bisa dibuka Secara umum teknik pemasangan
Naso Pharyngeal Airway (NPA) adalah sebagai berikut :
- Pilih ukuran NPA yang sesuai :
Pajang NPA diukur dari lubang hidung sampai dengan cuping
telinga dan diameter Npa diukur dengan membandingkan Npa
dengan jari kelingking pasien.
- Lumasi NPA dengan Jelly agar mudah memasukkannya,
selanjutnya NPA dimasukkan ke lubang hidung sebelah kanan,
dengan menyusur septum sampai dengan canalis auditipus external
atau cuping telinga, apakah ada tahanan NPA ditarik kembali dan
dicoba dimasukkan kembali. Bila tidak berhasil bisa dicoba di
lubang hidung sebelah kiri, dan jangan memaksa memasukkan NPA
apabila terdapat tahanan.
Hati-hati pemasangan NPA pada kecurigaan fraktur basis kranii,
karena ada kemungkinan masuk ke rongga tengkorak, jadi tidak
disarankan untuk dilakukan pemasangan NPA.
 Laringeal mask airway
Laryngeal Mask Airway (LMA) sangat
bermanfaat pada pertolongan pasien
dengan airway yang sulit, terutama bila
intubasi endothrakeal atau bag mask
(sungkup muka) gagal. Akan tetapi LMA
Gambar: Laryngeal Mask
bukan airway definitive. Bila seorang
Airway (LMA)
pasien terpasang LMA, maka setibanya di
rumah sakit dokter harus menggantinya dengan airway definitif.

PT SMS Indonesia | Smart 45 | P a g


2. Advance airways management
Advance airway management sering diartikan sebagai tindakan pemasangan
airway definitif (alat bantu lanjut) yaitu dengan cara pemasangan pipa kedalam
trakhea. Indikasi pemasangan airwaydefinitif adalah klinis sebagai berikut:
a) Apnea
b) Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara lain.
c) Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau
vomitus
d) Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway, seperti akibat lanjut
dari cedera inhalasi patah tulang wajah, hematoma retri faringeal, atau kejang- kejang yang berkepanjangan.
Adanya cedera kepala tertutup yang memerlukan bantuan napas (GCS 8).
Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan pemberian oksigen melalui bag valve mask (BV
Indikasi untuk pemasangan airway definitif dapat dilihat pada Tabel dibawah ini:

Tidak sadar atau penilaian GCS kurang dari 8


Fraktur Maksilofasial Berat,
Bahaya aspirasi:
Perdarahan
Muntah-muntah
Trauma leher:
KEBUTUHAN UNTUK Hematoma
PERLINDUNGAN leher Cedera
AIRWAY laring
Cedera trakhea
Stridor
Cedera inhalasi
Trauma Kepala
Tidak sadar
Gelisah

Apnea
Peralisis
neuromuskular Tidak
sadar
KEBUTUHAN UNTUK
Usaha napas yang tidak adekuat
VENTILASI
Takhipnea
Hipoksia
Hiperkarbia
Cianosis
Perburukan neurologi akut atau herniasi

Airway definitif terdiri dari sebagai berikut:


a. intubasi endotraceal (oro-traceal serta naso-traceal)
Pemasangan intubasi endotrakheal harus memperhatikan adanya
kecurigaan fraktur servikal. Sebaiknya dilakukan oleh dua orang untuk
melakukan imobilisasi segaris pada servikal. Pasien yang mempunyai skor
GCS 8 atau lebih rendah harus segera dilakukan intubasi, karena pasien

PT SMS Indonesia | Smart 46 | P a g e


tersebut tidak bisa menjaga patensi jalan napasnya dan memerlukan
oksigenasi yang adekuat.
Ada dua cara untuk melakukan tindakan Intubasi Endotrakheal:
 Intubasi Orotrakheal
Intubasi orotrakheal adalah memasukan pipa kedalam trachea
melalui mulut pasien. Pada pasien non trauma memasukan pipa
trachea bisa dilakukan dengan cara menengadahkan kepala pasien.
tetapi pada pasien trauma dengan kecurigaan fraktur servikal hal ini
tidak boleh dilakukan. Servikal harus tetap di imobilisasi pada posisi
segaris, oleh karena itu sebaiknya intubasi dilakukan oleh dua orang.
Pemasangan endotracheal tube (ETT) sebaiknya dilakukan oleh
orang yang terlatih, hal ini karena pemasangan harus dilakukan dalam
waktu singkat agar pasien tidak mengalami kekurangan oksigen akibat
pemasangan yang terlalu lama.
 Intubasi Nasotrakheal
Intubasi nasotrakheal adalah memasukan pipa ETT kedalam
trachea melalui hidung pasien. pemasangan pipa nasotrakheal tanpa
menggunakan alat bantu laringoskop, tetapi dimasukan secara manual
dengan mengikuti irama napas pasien. oleh karena itu pipa naso
tracheal hanya dipasang pada pasien yang masing bernapas spontan.
Pemasangan naso tracheal tidak dianjurkan pada pasien dengan
apnea, Fraktur mid face, dan Fraktur basis cranii karena beresiko
untuk masuk ke dalam rongga tengkorak.Pemasangan nasotrakheal
pada prinsipnya sama dengan pemasangan nasofaringeal airway.

 Pemasangan : persiapkan STATICS


S= Scope : Laringoscope,
stetoscope T=Tub : ETT, NTT
A=Airways : OPA, Nasofaringeal airway, mouth
gage T=Tape : Plester
I=Introducer : Mandrin/stylet, Magil
C=Conector : Penghubung ETT ke
BVM/Resusitator S=Suction : Multi Fungsi
Suction
Intubasi orotraceal dan nasotraceal merupakan teknik yang aman dan
efektif bila dilakukan dengan tepat, walauoun pada kenyataannya intubasi
orotraceal lebih sering digunakan dan memiliki komplikasi yang lebih
sedikit di ruang Intersive Care Unit.
b. Penyulit Pada Airway
Penyulit pada intubasi kemungkinan sering terjadi yang disebabkan
oleh beberapa faktor seperti cedera ruas tulang leher, arthritis berat pada
cervical, trauma maksila atau mandibular yang berat, keterbatasan
membuka mulut atau anatomi yang bervariasi seperti dagu yang terlalu
panjang, gigi ―overbite‖ dan otot leher yang pendek. Oleh karena itu
pada kasus tersebut diperlukan keahlian yang sangat terampil untuk
menilai.
Singkatan LEMON dapat digunakan untuk menilai airway yang sulit
(mulut atau dagu yang kecil oerbile yang besar atau trauma fasial).
Penilaian LEMON untuk intubasi yang sulit:
L >> Look externally (dari luar)
Lihat karakteristik tertentu yang dapat menimbulkan kesulitan pada
intubasi atau ventilasi.
E >> Evaluatie the 3-3-2 rule
Untuk menilai kesegarisan antara faring, laring dari rongga mulut untuk
melakukan intubasi sederhana, oleh karena itu harus diperhatikan
hubungan dibawah ini:
1. Jarak antara gigi seri pasien sedikitnya harus selebar 3 jari.
2. Jarak tulang tiroid dan dagu sedikitnya harus selebar 3 jari.
PT SMS Indonesia | Smart 47 | P a g
3. Jarak tonjolan tiroid dan dasar mulut sedikitnya harus selebar 2 jari

PT SMS Indonesia | Smart 48 | P a g e


M >> Mallampati
Hifoparing harus dapat dilihat dengan baik, Hal ini sudah dilakukan secara
tradisional dengan menilai Klasifikasi Mallampati.
1. Klasifikasi Mallampati digunakan untuk melihat Hifoparing, ada 4
tingkatan antara lain:
2. Palatum molle, Uvula, Fauces pillar dapat dilihat
3. Palatum molle, Uvula, Fauces dapat dilihat
4. Palatum molle, dasar Uvula dapat dilihat
5. Hanya palatum durum yang terlihat
O >> Obstruction
Setiap kondisi yang dapat menyebabkan obstruksi airway akan membuat
laryngoskop dan ventilasi menjadi sulit. Termasuk dalam kondisi ini
adalah: epiglottis, abces peritonsilar dan trauma.
N >> Neck Immobility
Minta pasien untuk meletakkan dagunya kedada, kemudian menengadah
melihat langit-langit kamar. Pasien yang memakai alat imobilisasi kepala
benar- benar tidak boleh banyak bergerak untuk mencegah sulitnya
intubasi.
The 3-3-2 Rule
1. Jarak antara gigi seri atas dan bawah harus minimal 3 jari
2. Jarak antara tulang krikoid dan dagu minimal 3 jari
3. Jarak antara kartilago tiroid dan dagu minimal 2 jari

c. Airway Surgical
Ketidakmampuan intubasi trachea adalah indikasi jelas untuk
surgical airway. Bila oedema glotis, fraktur laring atau perdarahan
oropharyngeal airway yang berat menghambat intubasi trachea dapat
dipertimbangkan surgical airway.
Pemasangan jarum (needle cricothyroidotomy) merupakan cara
sementara dalam keadaan emergensi memberikan oksigen sampai
dapat dipasang surgical airway.
Apabila pemasangan intubasi gagal atau tidak bisa dilakukan (misalnya
pada fraktur mid face) maka tindakan alternatif yang dapat dilakukan
adalah tindakan surgical. Tindakan surgical yang dapat dilakukan adalah
dengan cricotiroidotomi.
Tindakan cricotiroidotomi
bagi perawat hanya
diperkenankan needle
cricotiroidotomi yaitu
penusukan jarum besar (IV
catheter no. 14) ke membrana
krikotiroidea untuk membuat
jalan napas,jarum kemudian
dihubungkanke oksigen
15L/menit dengan memakai Gambar: needle cricothyroidotomy
y-conector, atau dengan tube yang telah dilubangi pada sisinya. Kemudian
dilakukan tindakan insufflation, 1 detik tutup, 4 detik buka dengan
memakai ibu jari atau buka/tutup Y-conectornya. Tindakan ini
merupakan tindakan sementara (maksimal 45 menit) sebelum pemasangan
tube cricotirodotomi oleh dokter, Karena CO2 akan terakumulasi
secara perlahan ( yang akanberbahaya terutama pada penderita
trauma kapitis). Pemasangan jet insufflationharus berhati-hati bila ada
obstruksi total glotis oleh benda asing. Walaupun ada kemungkinan
benda asing akan terdorong keluar oleh tekanan oksigen, namun ada
kemungkinan lain yakni ruptur paru dan pneumotoroks.
d. Tracheostomy
Indikasi :Tracheostomi dilakukan apabila pemasangan alat Airway di atas
tidak berhasil di lakukan. Dilakukan oleh dokter bedah
PT SMS Indonesia | Smart 49 | P a g
VI. BREATHING MANAGEMENT
Airways yang paten tidak menjamin ventilasi yang adekuat. Bila tidak ada gangguan
airway maupun gangguan airway sudah teratasi tatalaksana selanjutnya adalah
mempertahankan oksigenasi/ventilasi yang adekuat. Otak dan jantung sangat sensitife
terhadap suplay oksigen yang tidak adekuat. Sel-sel akan mengalami kematian hanya
beberapa menit tanpa suplay oksigen. Perhatikan usaha pasien untuk bernapas mulai dari
pergerakan naik-turun dada dan otot otot bantu pernapasan. Pada pasien sadar, dapat dinilai
dengan kemampuan berbiacara, jika pasien dapat berbicara dengan lancar dan jelas dapat
diartikan salah satu tanda bahwa frekuensi pernapasan baik, sedangkan pada pasien dengan
penurunan kesadaran, selalu chek respon pasien jika tidak berespon lakukan alogaritma
bantuan hidup dasar.
Penilaian awal yang harus dilakukan setelah melihat kondisi pasca tatalaksana airway
atau bila tidak ada gangguan airway adalah melihat keadaan pasien secara umum dengan
melakukan tindakan sebagai berikut:
A. Menilai frekuensi napas
Perhatikan keadaan umum pasien apakah tampak sesak, bernapas cepat atau lambat.
Disamping itu juga harus dihitung frekuensi napasnya, berikut Frekwensi pernapasan
normal adalah :
Dewasa: 12-20 x/menit – abnormal: <12 dan > 20x/menit
Anak: 15-30x/menit – abnormal: <15 dan > 30x/menit
Bayi: 25-50x/menit – abnormal <25 dan > 50x/menit

B. Menilai saturasi oksigen


Nilai saturasi oksigen dengan menggunakan alat Pulse oximetry, yaitu suatu alat
non invasif yang dapat mengukur saturasi oksigen sehingga dapat membantu penolong
untuk mendeteksi dini terjadinya perburukan sistem pulmoner atau kardiovaskular
sebelum munculnya gejala klinis yang nyata.
Pulse oximetry sangat berguna untuk dipakai pada fase pra rumah sakit karena
tingkat akurasi data yang dihasilkan cukup tinggi, mudah dibawa, mudah dalam
penggunaan dan dapat digunakan untuk semua jenis
umur. Pulse oximetry dapat mengukur saturasi
oksihemoglobin (SpO2) arterial sesaat dan frekuensi
denyut jantung SpO2 ditetapkan berdasarkan ratio Gambar: Pulse Oxymetry
absorpsi sinar merah dan inframerah melalui jaringan.
Perubahan absorpsi sinar ini dikarenakan pulsasi darah melalui pembuluh darah
dihubungkan dengan microprocessor kecil, untuk menetapkan saturasi arteri dan
frekuensi denyut jantung. SpO2 normal adalah > 95%. Apabila SpO2 turun sampai di
bawah 90%, kemungkinan besar telah terjadi perburukan pengiriman oksigen ke
jaringan dan harus segera melakukan intervensi untuk mempertahankan oksigenasi
jaringan yang adekuat.
Beberapa hal yang bisa menyebabkan hasil Pulse oximetrytidak sesuai dengan
kondisi oksigenasi pasien, diantaranya:
1. Perfusi perifer yang buruk
syok, vasokontriksi dan hipotensi atau hindari pemasangan pada ekstermitas yang
terpasang tensimeter atau ekstermitas yang mengalami cidera.
2. Anemia berat atau haemoragic (<5g/dl)
3. Hipotermi (<300c)
4. Keracunan karbonmonoksida
5. Keracunan sianida
C. Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi
Perhatikan rate, ritme dan bentuk pernapasan, perhatikan juga peranjakan dada
apakah simetris atau tidak, lihat juga adanya dispnu / kesulitan bernafas.
2. Auskultasi
Dengarkan bising napas, apakah vesikuler atau ada ronchi. Tempat pemeriksaan
utama dibawah klavikula pada garis aksilaris anterior. Bising napas harusnya
simetris kiri dan kanan (bandingkan kiri dan kanan)

PT SMS Indonesia | Smart 50 | P a g e


3. Perkusi
Pada keadaan normal akan selalu sonor. Pada keaan hipersonor menandakan
adanya penumpukan udara pada rongga dada (tension pneumothorak)
4. Palpasi
Identifikasi adakah suara krepitasi dan rasa nyeri pada saat dilakukan palpasi.
Kemungkinan terjadinya patah tulang pada iga sangatlah mungkin pada kondisi
trauma thorak.
Pada kasus multiple trauma yang terdapan trauma thorax, pemberian oksigen akan
sangat tidak efektif jika trauma tersebut belum diatasi.
D. Tanda-Tanda Pernapasan Tidak Adekuat
1. Pernapasan yang sangat cepat atau sangat lambat
Pernapasan yang lebih cepat atau lebih lambat dari frekwensi di atas menandakan
adanya gangguan pernapasan.
2. Pergerakan dinding dada yang tidak adekuat
Pernapasan yang adekuat adalah pernapasan normal yang diikuti oleh pergerakan
turun naik dari dada. Jika tidak ada pergerakan turun naik dada atau hanya salah
satu dinding dada yang bergerak turun naik menandakan bahwa pernapasan tidak
adekuat.
3. Cyanosis
Cyanosis adalah warna kebiru-biruan pada kulit dan membran mukosa. Hal ini
terlihat jelas pada kuku, bibir, hidung dan telinga pasien. sianosis menandakan
bahwa jaringan tubuh mengalami kekurangan oksigen.
4. Penurunan kesadaran
Perlu diingat bahwa status mental/ kesadaran pasien seringkali berhubungan
dengan setatus jalan napas dan pernapasan pasien. Pasien yang mengalami
disorientasi, kebingungan, dan tidak sadar bukan tidak mungkin mengalami
pernapasan yang tidak adekuat.
5. Usaha bernapas yang berlebihan/sesak
Ketika melihat pasien yang bernapas dengan menggunakan otot perut, pasien
menggunakan kekuatan diafragma untuk mendorong udara keluar dari paru-paru.
Pada anak-anak pernapasan dapat terjadi ―chain saw‖ dimana
pernapasan menggunakan pergerakan dada dan perut. Selain itu juga perhatikan
adanya retraksi/tarikan otot diantara tulang rusuk, dan otot sekitar leher. Semua
menunjukan pernapasan yang tidak adekuat.
6. Sesak dan ngorok
Suara tersebut menandakan pasien kesulitan untuk melakukan pernapasan.
Waspadai dengan suara napas abnormal lain seperti snoring, gurgling, crowing dan
stridor. Napas agonal gasping, yaitu pernapasan tidak normal dan menjadi tanda
terjadinya henti jantung, dan atau muncul dlam menit pertama setelah henti
jantung. Korban dengan napas agonal gasping tampak bernapas cepat atau lemah,
mulut terbuka, rahang kepala atau leher bergerak mengikuti irama gasping. Suara
ini dapat terdengar mendengkur, mendengus ataupun mengerang.
7. Denyut nadi yang lambat diikuti oleh frekuensi
Pada tahap lanjut, pernapasan yang tidak adekuat ditandai dengan denyut nadi yang
lemah dan lambat, frekwensi pernapasan yang tadinya cepat menjadi lambat.
E. Management oksigenasi
Tujuan utama dari oksigenasi dan ventilasi adalah tercukupi kebutuhan oksigen sel
dan jaringan dengan memberikan oksigen dan ventilasi yang cukup. Pada pasien yang
bernapas nomal dan mengalami pernapasan yang tidak adekuat perlu mendapatkan yang
suplementasi oksigen yang disebut ventilasi.
Pada pasien trauma, berkurangnya oksigen seringkali disebabkan oleh shock
haemoregic/hipovelemic, terutama pada pasien dengan cidera kepala seringkali
mengalami hipoxia dan penurunan kesadaran. Oleh karena itu pemberian oksigenasi
sangat direkomendasikan untuk mempertahankan oksigenasi yang optimal.
Pada pasien yang mengalami nyeri dada iskemic atau mempunyai gangguan
cardiovaskular, terapi oksigen yang diberikan cenderung lebih sedikit dibandingkan
pada pasien trauma. Terapi oksigenasi hanya diberikan pada pasien yang mengalami
dispnea, hipoxemia (SPO2 <90%) atau jika da tanda-tanda gagal jantung berikan
PT SMS Indonesia | Smart 51 | P a g
oksigen dengan nasal kanule saturasi 4L/menit, titrasi hingga mencapai target atau
>90%. Berikut alat-alat yang digunakan dalam oksigenasi sebagai berikut:
1. Nasal kanule
Kanul hidung lebih dapat ditolelir oleh anak-anak
face mask akan ditolak karena merasa ―dicekik‖.
Orang dewasa juga kadang menolak karena merasa
tidak
nyaman. Kekurangan kanul hidung adalah konsentrasi

yang dihasilkan kecil. Selain itu pemberian Gambar :Nasal Kanul


oksigen.
3. Simple mask/Face mask

Pemakaian face mask dalam pemberian oksigen lebih


baik dari pada nasal kanul, karena konsentrasi oksigen yang
dihasilkan lebih tinggi. Kekurangannya pemakaian mask ini
udara bersih dengan udara ekspirasi masih tercampur,
Gambar: Face sehingga konsentrasi oksigen masih belum maksimal.
Mask

4. Rebreathing mask
Untuk pemakaian alat ini akan lebih baik bila
dibandingkan dengan face mask walaupun akan ada
percampuran antara udara yang bersih dan udara hasil
ekspirasi, karena di alat rebreathing mask ini ada kantong
untuk menampung udara untuk inspirasi dan konsentrasi
Gambar: Rebreathing rebreathing mask ini lebih tinggi dibandingkan dengan face
mask
mask.
5. Non Rebreathing
Mask
Ini adalah alat yang paling tinggi konsentrasi oksigen yang dihasilkannya
dibandingkan dengan nasal kanul, face mask dan rebreathing mask. Alat ini hampir
sama dengan rebreathing mask tapi yang membedakannya adalah alat ini dilengkapi
dengan klep agar udara inspirasi dan ekspirasi tidak tercampur. Selain itu alat ini
dilengkapi dengan resepoir (kantung udara) untuk menampung udara untuk inspirasi.
Apabila menginginkan pemberian dengan konsentrasi tinggi, maka pemakaian alat ini
merupakan pilihan paling baik.

PT SMS Indonesia | Smart 52 | P a g e


Berikut ini adalah indikasi untuk menentukan penambahan oksigen berdasarkan
pengukuran oxymetri pa :
Saturasi oksigen
Interpretasi Intervensi
(oxymeter)
95% - 100% Normal nasal canule 1-6 liter/menit
90% - < 95% Hypoxia ringan – sedang Simple Mask 6-8 Liter / menit
rebreathing mask 8–12 liter/menit
85% - <90% Hypoxia sedang – berat
atau N-RM 12-15 liter/menit
Hipoxia berat – HFNC 10-60 Liter/menit
<85%
mengancam nyawa Assisted ventilation

Alat Flow Rate Delivery O2


1 Liter / Menit 21% - 24%
2 Liter / Menit 25% - 28%
3 Liter / Menit 29% - 32%
2 Liter / Menit 25% - 28%
Nasal Canule 3 Liter / Menit 29% - 32%
4 Liter / Menit 33% - 36%
5 Liter / Menit 37% - 40%
6 Liter / Menit 41% - 44%
Simple Mask 6-8 Liter / Menit 40-60%
Rebreathing Mask 8-12 Liter / Menit 60-80%
12 Liter / Menit 60%
Non Rebreathing 13 Liter / Menit 70%
Mask 14 Liter / Menit 80%
15 Liter / Menit 90%
HFNC (High Flow
10-60 Liter / Menit 21-100 %
Nasal Canul)

F. Macam-macam ventilasi
1. Mouth to Mouth ventilation
Dalam memberikan napas buatan mouth to mouth
penting sekali untuk menggunakan filter/“barrier
device” untuk menghindari kontak langsung agar
mencegah terjadinya resiko infeksi. Filter yang ideal
adalah yang memiliki filter sehingga udara ekspirasi
pasien tidak terhirup oleh penolong.
Pemberian ventilasi dengan teknik ini sudah tidak
direkomendasikan jika/“barrier device”tidak Gambar: Mouth to Mouth
tersedia, kecuali pasien adalah istri/suami, orang tua, Ventilation
atau anak.
2. Bag Valve Mask (BVM)
Alat bag valve terdiri dari kantong udara dan
non rebreathing valve, yang dapat disambungkan
dengan masker, ETT atau alat airway definitif
lainnya. Tindakan ini lebih baik apabila dilakukan
berdua, seorang bertugas memompa dan satu orang
lagi bertugas memegang masker sambil melakukan
fiksasi kepala. Apabila disambung ke tabung
oksigen dan dipasang resepoir tindakan ventilasi
Gambar : Bag Valve menggunakan bag valve bisa menghasilkan
Mask
konsentrasi sampai dengan 100%. Sedangkan bila tanpa aliran oksigen bag valse
mask mampu menghasilkan 21% oksigen dari udara bebas. Pemompaan dilakukan
sampai dengan terlihat pengembangan dinding dada. Pemakaian bag valve mask
yang terlalu lama pada pasien tidak sadar akan mengakibatkan penumpukan udara

PT SMS Indonesia | Smart 53 | P a g


pada lambung yang beresiko terjadinya muntah, oleh karena itu sebaiknya segera
dilakukan pemasangan ETT.
Saat memberikan ventilasi dengan bag valse mask perhatikan jumlah volume
udara yang akan diberikan. Volume yang diberikan sesuai tidal volume pasien,
jangan lupa face mask harus menempel sempurna pada hidung hingga dagu pasien
agar tidak terjadi kebocoran (terapkan teknik E-C clamp/Double E-V Clamp).
Penyulit pada bag mask ventilation sering disebut BOOTS, yaitu:
B: beard (jenggot)
O: obesitas
O: Older Patient (lansia)
T: Toothlessness (gigi
sedikit/ompong) S: Snoring/stridor
3. Assisted Ventilation
Jika pasien bernapas tetapi tidak adekuat maka harus diberikan bantuan
pernapasan (assisted ventilation). Apabila frekwensi pernapasannya kurang maka
harus dilakukan upaya untuk penambahan diantara inspirasi pasien. sedangkan
apabila napas terlalu dangkal maka harus dibantu dengan dorongan bagging.
Pemberian napas bantuan harus mengikuti irama pernapasan pasien, jangan sampai
terjadi tabrakan antara inspirasi dan ekspirasi.

KESIMPULAN
Pengelolaan airway menempati urutan terpenting dalam pengelolaan pasien trauma.
Menjaga airway yang adekuat merupakan prioritas utama dalam menangani pasien trauma.
Sering kali kematian terjadi karena ketidakmampuan mengenali dan menangani gangguan pada
airway pasien. Airway merupakan saluran yang berfungsi untuk pertukaran udara (oksigen dan
karbondioksida) saat bernafas. Penanganan sumbatan jalan napas memerlukan respons time <10
menit, Kecepatan dan ketepatan petugas sangatlah mempengaruhi kelangsungan hidup pasien
dengan sumbatan jalan napas.
Pembebasan jalan napas adalah prioritas pertama dalam melakukan pertolongan pada
penderita gawat darurat. Kemampuan petugas untuk mengenali adanya sumbatan jalan napas
dan membebaskannya akan mempertinggi harapan hidup pasien. Oksigen adalah obat yang
paling aman buat semua orang. Oleh karena itu sebaiknya setiap pasien trauma mendapatkan
oksigenasi sesuai dengan kebutuhan. Penilaian kebutuhan oksigen dapat dilakukan dengan cara
mengenali tanda-tanda pernapasan abnormal/tidak adekuat secara visual maupun menggunakan
alat.

PT SMS Indonesia | Smart 54 | P a g e


TATALAKSANA GANGGUAN JALAN NAPAS

AIRWAY

ya Pasien Trauma? tidak

C-Spine Control Dapat


Tidak Berbicara?

Neck Collar OBSTRUKSI ya

Airway Clear
LSB Parsial
Total

Tidak Sadar
Head Emobilizer
gurgling Logroll/ suction
Sadar
Dewasa, Anak & Bayi
crowing Definitive
airway
Dewasa& Anak
RJP snoring Manual:
Trauma: chin lift/ jaw trust
Heimlich maneufer Non- trauma: head tilt chin lift
Cross Finger Dengan alat:
OPA
Wanita NPA
Hamil/ LMA
obesitas (sesuai indikasi)
Chest
CARDIO PULMONARY RESUSITATION (CPR)
trust

Bayi
Back blow
& chest
trust Definitive airway

PT SMS Indonesia | Smart 55 | P a g


TATALAKSANA AIRWAY DEFINITIVE

Persiapan intubasi:
STATICS
Penyulit Intubasi
Kecurigaan cedera servikal (nilai dg LEMON)
Oksigenasi / ventilasi Sellick maneuver

Apnea Bernapas

Intubasi orotrakheal Intubasi Nasotrakheal /


dengan imobilisasi servikal segaris Cedera orotrakheal dengan imobilisasi servikal segaris
maksilofasial berat

Tidak dapat intubasi Tidak dapat intubasi Tidak dapat intubasi

Tambahan Farmakologik

Tidak dapat intubasi

Airway surgikal

NeedleCrico-Thyroidotomy Tracheostomy
(Jet Insuflation) (dilakukan dokter bedah)

PT SMS Indonesia | Smart 56 | P a g e


BREATHING MANAGEMENT

TANDA NAPAS TIDAK


ADEKUAT
- Pernapasan sangat cepat atau
sangat lambat
- Pergerakan dinding dada
tidak adekuat
- Cyanosis
- Penurunankesadaran
- Usaha napas yang berlebih/sesak
- suara napas abnormal lain
seperti snoring, gurgling,
crowing dan stridor.

MENILAI FREKUENSI NAPAS MANAGEMENT OKSIGENASI


- Dewasa : 12-20 kali/menit - Saturasi 95-100%
- Anak : 15-30 kali/menit Nassal canule 1-6 liter/menit
- Bayi : 25-50 kali/menit - Saturasi 90 - <95%
Simple mask 6-8 liter/menit
- 85 - <90%
MACAM-MACAM VENTILASI Rebreathing mask 8-12
- Mouth To Mouth (Tidak liter/menit
direkomdasi) Non Rebreathing mask 12-15
- Mouth to mask liter/menit
- BVM (E-C Grip/Double E-V - Saturasi <85%
Grip) Assisted ventilation
- Assisted ventilation HFNC 10-60
L/mnt

RUMUS TIDAL
VOLUME MV = VT x RR
Keterangan :
MV : Minute Ventilation (udara
yang masuk ke sistem pernafasan
setiap menit)
VT : Volume Tidal (6 - 8)
ml/KgBB
RR : Respiratory Rate

Contoh :
Diketahui Berat Badan 50 Kg
dengan RR 20 x/mnt
MV : 50 KgBB x (6 - 8 ml) x 20
: 6000 – 8000 ml/mnt
: 6 – 8 L/Mnt

PT SMS Indonesia | Smart 57 | P a g


STANDART OPERASIONAL PROSEDUR
AIRWAYS BREATHING MANAGEMENT

N
PROSEDUR
O

Danger

1 Aman diri, aman lingkungan dan aman pasien

2 Check respone

Airway

3 Membuka jalan napas (Head thilt chin lift / Jaw thrust)

Kontrol servikal - Spinal (C-spine control) dan pemasangan Neck Collar + LSB +
4
Head Imobilizer

5 Cek sumbatan jalan nafas (Partial / Total)

6 Pasang OPA/NPA/LMA/Suctioning/Intubasi.

Breathing

7 Kontrol ventilasi (SPO² dan Frekuensi Napas)

8 Berikan oksigen (Sesuai saturasi / SPO2)

Kaji ulang pernapasan, Teratasi ( Ya / Tidak)


9
YA : Re- Evaluasi , TIDAK : IAPP

Bila Tension pneumotoraks lakukan Needle Decompresi ICS 4-5 mid Axilla
10
anterior, bila Open Pneumothorax pasang Kassa Oklusive

Observasi (Kirim OK, ICU / Rujuk)

PT SMS Indonesia | Smart 58 | P a g e


V

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Setelah Mengikuti Materi ini Peserta Mampu Memberikan Asuhan Keperawatan Dasar Gawat
Darurat Shock

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Setelah mengikuti materi ini peserta mampu:
1. Menjelaskan konsep Syok
2. Melakukan pengkajian Syok
3. Mengidentifikasi faktor penyebab masalah pada sistem sirkulasi dan Syok
4. Mengidentifikasi tanda dan gejala adanya gangguan pada sistem sirkulasi Syok
5. Mengidentifikasi macam-macam Syok
6. Mengatasi masalah gangguan pada sistem sirkulasi dan Syok
7. Melakukan pemberian cairan berdasarkan kebutuhan pada kasus gawat darurat
8. Melakukan monitoring selama dan sesudah pemberian cairan pada kasus gawat darurat

PT SMS Indonesia | Smart 59 | P a g


SYOK MANAJEMEN
I. PENDAHULUAN
Sistem kardiovaskular terdiri dari pompa (jantung), pipa (sistem vaskular) dan cairan
(darah). Malfungsi atau defisiensi salah satu dari ketiga komponen tersebut akan
menyebabkan penurunan atau bahkan kegagalan perfungsi jaringan, walaupun oksigenisasi
sel darah merah di paru-paru telah adekuat. Dalam bab ini cenderung akan membahas syok
yang dikarenakan perdarahan yang artinya pada umumnya terjadi pada pasien-pasien trauma,
tetapi tidak boleh dilupakan juga bahwa syok merupakan tanda klinis yang kadang datang
bersamaan dengan penyakit lainnya (masalah medis).
Yang perlu digaris dibawahi adalah walaupun syok merupakan suatu keadaan dimana
perfusi ke jaringan rendah dan ada persamaan reaksi tubuh terhadap jenis syok yang berbeda,
tetapi ternyata disamping ada persamaan perbedaannya pula. Contoh pasien dengan luka
tusuk yang mengakibatkan syok karena perdarahan banyak sering menunjukan tanda yang
sama dengan pasien dengan luka bakar atau sama dengan pasien dehidrasi dengan volume
darah yang rendah bukan karena perdarahan.

II. PENILAIAN AWAL


1. Pengenalan Syok
Syok adalah keadaan klinis dengan tanda dan gejala yang muncul ketika terjadi
ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen, hal ini menyebabkan
terjadinya hipoksia jaringan. Bila hipoksia tidak segera diatasi maka akan
mengakibatkan terjadinya kegagalan organ akibat tidak adekuatnya perfusi jaringan.
Syok lanjutan yang ditandai oleh perfusi yang kurang ke kulit, ginjal dan susunan
saraf pusat (SSP) mudah dikenal. Namun setelah masalah airway dan breathing teratasi,
penilaian yang teliti dari keadaan sirkulasi penting untuk mengenal syok secara dini.
Ketergantungan pada tekanan darah sebagai satu – satunya indikator syok akan
menyebabkan terlambatnya diagnosis syok. INGAT mekanisme kompensasi tubuh
dapat menjaga tekanan darah sampai pasien kehilangan 30% volume darah. Perhatian
harus diarahkan pada nadi, laju pernafasan, sirkulasi kulit dan tekanan nadi, perbedaan
antara tekanan sistolik dan diastolik.
Gejala paling dini adalah takikardia dan vasokontriksi perifer. Dengan demikian, tiap
pasien yang mengalami perdarahan dengan nadi lemah dan cepat serta akral dingin
dianggap dalam keadaan syok. Kecepatan denyut jantung tergantung pada usia.
Dikatakan takikardia, bila denyut jantung lebih dari 160 pada bayi, lebih dari 140 pada
balita, lebih dari 120 pada anak usia sekolah, dan lebih dari 100 pada usia dewasa.
Orang tua dengan syok mungkin tidak menunjukkan takikardia.
Pemeriksaan Hematokrit dan Haemoglobin tidak dapat dipercaya karena tidak dapat
dipakai untuk mengukur kehilangan darah ataupun untuk diagnosis syok. Kadar
Hematokrit yang rendah menunjukkan kehilangan darah dalam jumlah yang cukup
besar atau anemia sebelum trauma sudah ada. Sedangkan hematokrit normal dapat
terjadi walaupun sudah kehilangan darah cukup banyak.
2. Membedakan Sebab Syok
Hampir semua penderita multi-trauma mengalami syok dan biasanya
disebabkan oleh perdarahan. Keadaan bukan perdarahan yang dapat menyebabkan syok
adalah antara lain:
a. Tension pneumotoraks c. Septik syok e. Syok kardiogenik
b. Tamponade jantung d. Neurogenik syok

PT SMS Indonesia | Smart 60 | P a g e


III. ANATOMI
1. Pompa (Jantung)
Jantung terdiri
dari dua ruang
serambi (atrium)
dan dua bilik
(ventrikel).
Fungsi atrium
adalah untuk
akumulasi dan
penyimpanan
darah sehingga
pengisian
ventrikeldapat
dilakukan dengan
cepat dan
mengurangi
penundaan
siklus. Setiap
kontraksi
ventrikel kanan,
darah di pompa
ke paru-paru
melalui vena
pulmonalis untuk
dioksigenisasi.
Darah dari paru-
paru, masuk
kembali ke
atrium kiri.
Darah yang
teroksigenisasi
dipompa oleh
Gambar pembuluh darah
ventrikel kiri ke
seluruh tubuh melalui sistem vaskular sistemik. Aliran darah yang keluar dari jantung
tidaklah membentuk seluruh tekanan sistolik, tetapi hanya untuk tekanan di atas tekanan
diastolik. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan perbedaan ini adalah pulse
pressure (tekanan nadi), karena ditimbulkan oleh denyut (kontraksi) ventrikel jantung.
Jadi tekanan sistolik sebenarnya adalah penjumlahan dari tekanan diastolik (resting
pressure) dan pulse pressure.
2. Pembuluh Darah
Pembuluh darah berisi darah dan mengarahkannya ke berbagai tempat dan sel
dalam tubuh. Mereka merupakan jalan raya dari proses sirkulasi. Sebuah pembuluh
darah besar yang keluar dari jantung (aorta).Tidak dapat mengarahkan darah ke tiap
tubuh. Aorta akan terbagi-bagi dalam banyak arteri yang semakin di distal akan
semakin kecil penampangnya sampai akhirnya menjadi kapiler. Cairan interstisial
berada di antara membran sel dan dinding kapiler. Jumlah cairan bervariasi. Jika
jumlahnya sedikit, maka membran sel dan dinding kapiler akan merapat, sehingga
oksigen akan lebih mudah berdifusi melalui keduanya. Seperti halnya jantung,
pembuluh darah merupakan organ yang penting, dimana fungsinya untuk
menghantarkan oksigen keseluruh organ, beberapa jenis pembuluh darah diantaranya:
a. Pembuluh darah arteri
Pembuluh darah ini mengandung kaya akan oksigen, berwarna merah terang, jika
terjadi perdarahan maka darahnya akan memancar.
b. Pembuluh darah kapiler
Tempat pertukaran antara oksigen dan karbondioksida, tempat pertukaran zat
makanan dan sisa-sisa metabolisme dan darahnya berwarna gelap dan jika terluka
akan merembes alirannya

PT SMS Indonesia | Smart 61 | P a g


c. Pembuluh darah balik/vena
Mengandung
karbondioksida Berwarna
merah gelap
Jika terluka maka aliran darah akan tampak seperti aliran air
3. Cairan (Darah)
Volume cairan di dalam sistem vaskular harus sebanding dengan kapasitas
pembuluh darah. Perubahan nilai perbandingan ini akan berpengaruh terhadap aliran
darah baik secara positif maupun negatif. Sebanyak 60% berat tubuh manusia adalah
air. Air adalah basis seluruh cairan tubuh. Air di dalam tubuh dibagi dalam dua
kompartemen yaitu intraselular dan ekstraselular (yang terdiri dari cairan interstisial dan
intravaskular). Tiap jenis cairan mempunyai fungsi yang penting dan spesifik. Cairan
intraselular atau cairan di dalam sel sekitar 45% berat tubuh. Cairan ekstraselular atau
cairan di luar sel dibagi dalam cairan interstisial dan intravaskular. Cairan interstisial
berada di sekeliling sel, yang termasuk jenis ini adalah cairan serebrospinal (pada otak)
dan cairan sinovial (pada sendi). Jumlah cairan interstisial terbesar 15% berat tubuh.
Cairan intravaskular membentuk komponen darah di dalam pembuluh darah dan banyak
sekitar 7% berat tubuh.
Sel darah merah (eritrosit), yang berfungsi mengangkut oksigen dan zat
makan. Sel darah putih (leukosit), yang berfungsi untuk melawan kuman
Keping darah (trombosit), yang berfungsi untuk membuat sumbatan jika ada luka
Perdarahan yang cukup banyak sering mengakibatkan syok jika tidak segera
ditangani. Penanganan perdarahan untuk mencegah terjadinya syok adalah hanya
dengan membalut dan menekan luka. Hal ini dapat menahan keluarnya darah dari area
luka, sehingga kemungkinan darah untuk hilang banyak dapat sedikit diantisipasi.
Oksigenasi dibutuhkan oleh sel-sel tubuh dalam melakukan fungsinya, sel akan
mengambil dan melakukan metabolisme melalui proses fisiologis hingga menghasilkan
eneergi. Metabolisme oksigen sendiri membutuhkan energi yang menggunakan glukosa
sebagai bahan bakarnya, Campuran dari oksigen dan glukosa akan menghasilkan energi
dan karbondiogksida.
Kondisi miokardium (otot jantung) yang mengalami kekurangan alirah darah dari
oksigen, beberapa sel akan mati yang menyebabkan menurunnya curah jantung (cardiac
output). Perubahan ini menyebabkan sel hidup yang tersisa tidak cukup menjalankan fungsi
jantung. Tanpa adanya perbaikan dalam curah jantung menyebabkan gagl jantung dan
agngguan oksigenasi seluruh tubuh sehingga peninggal dapat meninggal.
IV. KELAS SYOK
Setiap pasien dengan perdarahan yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan
tentuunya tidak sama jumlah kehilangan darahnya, sehingga derajat syoknya juga berbeda.
Untuk itu ada suatu standar penilaian yang simple dan mudah untuk menentukan derajat atau
kelas syok yang dibuat oleh American College of Surgeon (ACS). Klasifikasi ini dapat
menunjukan perdarahan yang sedang terjadi dan sebagai pedoman terapi awal, berikut ACS
membagi kelas syok menjadi 4, dilihat dari tanda dan gejalanya:
KELAS 1 KELAS 2 KELAS 3 KELAS 4
Kehilangan Sampai 750 750 – 1500 1500 – 2000 >2000
darah (ml)
Kehilangan Sampai 15% 15% - 30% 30% - 40% >40%
darah (%
volume darah)
Denyut nadi <100 >100 >120 >140
Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi Normal atau Menurun Menurun Menurun
naik
Frekuensi nafas 14 – 20 20 – 30 30 – 40 >35
Urin output >30 20 – 30 5 – 15 Tdk berarti
SSP mental Sedikit gelisah Cukup gelisah Sangat gelisah Bingung

Resusitasi Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan Kristaloid dan


cairan darah darah segera

PT SMS Indonesia | Smart 62 | P a g e


Sumber: ATLS – American College of Surgeon

PT SMS Indonesia | Smart 63 | P a g


EBV : Estimated Blood Volume (perkiraan jumlah
darah) Dewasa laki-laki : 70 cc x KgBB
Dewasa Wanita : 65 cc x KgBB
Anak : 70 cc x KgBB
Bayi : 80 cc x KgBB
Prematur : 95 cc x KgBB
EBL (Estimated Blood Loss)
EBL= Presentasi x EBV
Contoh kasus: seorang laki-laki usia 58 th dengan BB 50 kg mengalami kecelakaan
lalu lintas dan dibawa ke IGD, setelah dilakukan pengkajian tampak deformitas pada
femur dextra, tekanan darah 90/65 mmHg, Frekuensi Nadi 124x/menit, frekuensi napas
32x/menit, CRT >2 detik, produksi urin 10 ml/jam, ekstermitas pucat, sangat gelisah dan
kesadaran menurun.
Answer:
EBV : 70 cc x 50 = 3500 cc
Kelas syok : kelas IV (40%)
EBL : 40 x 3500 = 1.400 ML
Kebutuhan resusitasi dengan kristaloid sebanyak 1.400 ml x 4 =5.600 ML
(Diberikan 1 L loading terlebih dahulu, kemudian evaluasi respons pasien).

Cara Mengitung Tetesan Infuse


Macro : TPM = jumlah Cairan : 3 atau 4 x W
Micro : TPM= Jumlah cairan : W
Keterangan
Jumlah cairan : jumlah cairan infuse
3 atau 4 : adalah factor tetesan infuse, 3 jika 1 cc sama dengan 20 tpm, 4 jika
1 cc sama dengan 15 tpm (liat pada infuse set)
W : waktu dalam jam
Contoh: seseorang umur 35 diopname di RS karena sakit diare, dokter memberikan cairan
infuse RL 500 c, dijadwalkan akan habis pada 8 jam dengan kecepatan
20tpm. Berapakah jumlah tetes permenitnya..?
TPM =500 :3x8
500 :24
20,8 >>> 21 tetes/menit

Cara menghitung lama pemberian


Micro : Jumlah cairan = W x jumlah tetes
Macro : Jumlah cairan = 3 W atau 4 W x jumlah
tetes Keterangan :
Jumlah cairan : jumlah cairan infuse
3 atau 4 : adalah factor tetesan infuse, 3 jika 1 cc sama dengan 20 tpm, 4 jika 1
cc sama dengan 15 tpm (liat pada infuse set)
W : waktu dalam jam
Jumlah tetes : jumlah program infuse per menitnya
contoh :berapa jamkah cairan infuse RL 500 cc akan habis jika diprogam 20 tpm?
Answer:
500 = 3W x 20
500 = 60W
W = 500 : 60
W = 8 jam 20 menit
500 = 4W x 20
500 = 80W
W = 500 : 80
W = 6 jam 15 menit

PT SMS Indonesia | Smart 64 | P a g e


Ingat! : Setiap Penderita Trauma Yang Nadi Cepat dan Akral Dingin Dianggap Dalam
Syok.Kecolongan diagnosis syok paling sering terjadi pada kelompok ini, karena hanya
mendasarkan pada tekanan darah sistolik, yang belum turun secara signifikan.
Kondisi fisik pasien sangat beragam, mulai dari sangat dramatis seperti hipotensi berat
akibat perdarahan. Gejala klinis yang tampak tergantung dari derajat syok yang terjadi:
1. Suhu : hipertermia atau hipotermia
2. Laju jantung : biasanya meningkat
3. Tekanan darah sistolik : meningkat pada awal syok, selanjutnya menurun
4. Tekanan darah diastolik : meningkat pada awal, menurun ketika kompensasi
gagal
5. Sistem saraf pusat : delirium, gelisah, disorientasi, koma
6. Kulit : pucat, dingin, sianosis, berkeringat
7. Respirasi : takipnea
8. Kardiovaskuler : takikardia
9. Organ splannik : ileus, perdarahan gastrointestinal
10. Ginjal : penurunan produksi urin
Untuk perdarahan internal harus diperhatikan dnegan seksama karena sulit untuk
dilihat, dimana kondisi perdarahan internal dapat menyebabkan syok dan harus segera
persiapan untuk rujukan ke kamar operasi, yang biasa terjadi perdarahan internal adalah
sebagai berikut: rongga thorax, rongga abdomen, rongga pelvis, femur/tulang panjang dan
retroperitonial.

V. JENIS-JENIS SYOK
Syok pada pasien trauma dapat dibagi menjadi haemoragic dan non haemoragic.
1. Syok Hemoragic
Perdarahan adalah penyebab syok yang paling untuk dan sering terjadi, dan hampir
semua penderita dengan trauma multiple ada kemungkinan hipovolemia. Syok selain
hipovolemia memberikan respon sedikit atau singkat, maka dari itu bila terdapat tanda-
tanda syok maka syok dianggap disebabkan karena hipovolemia. Namun harus tetap
mempertimbangakan kemungkinan penyebab lain.
2. Syok non hemoragic
Syok non hemoragic meliputi syok cardiogenik, syok neurogenik, syok septic,
tanponade jantung dan tension pneumothorax
a. Syok Septic
Syok karena infeksi yang terjadi sesaat setelah trauma jarang terjadi. Namun
bila pasien terlembat sampai IGD hingga beberapa jam, hal ini dapat terjadi. Syok
septic dapat terjadi pada pasien-pasien dengan luka tembus abdomen dan
kontaminaisi pada rongga periotoneal oleh isi usus. Penderita dengan syok septik
yang dini mungkin mempunyai peredaran volume yang normal, takikardia yang
sedang, kulit berwarna merah jambu yang hangat, tekanan sistolik mendekati
normal dan tekanan urat nadi yang lebar.
b. Syok Cardiogenik
Disfungsi miokardiac dapat terjadi dari trauma tumpul jantung, tamponade
jantung, emboli udara atau yang agak jarang infark miokard yang berhubungan
dengan cedera penderita. Semua penderita dengan trauma torak harus dilakukan
pemeriksaan EKG untuk mengetahui pola cedera yang disritmia. Cedera tumpul
jantung mungkin merupakan suatu indikasi pemasangan tekanan vena sentral (CVP)
secara dini agar dapat memandu resusitasi cairan dalam situasi ini.
c. Syok Neurogenik
Cedera intrakranial yang berdiri sendiri tidak menyebabkan syok. Adanya
syok pada penderita dengan cedera kepala harus dicari kemungkinan penyebab syok
lain. Cedera syaraf tulang belakang mungkin mengakibatkan hipotensi karena
hilangnya tonus simpatis kapiler. Ingat, kehilangan tonus simpatis pada kapiler
memperberat efek fisiologis dari hipovolemia, dan hipovolemia memperberat efek-
efek fisiologis denervasi sympatis. Gambaran yang dapat dilihat dari syok
neurogenik adalah hipotensi tanpa takikardia atau vasokontriksi kulit. Setiap
penderita dengan syok neurogenik pada awalnya harus dirawat untuk hipovolemia,
karena kemungkinan terjadinya syok hipovolemia dapat terjadi.

PT SMS Indonesia | Smart 65 | P a g


d. Tamponade jantung
Adalah hal yang paling sering ditemukan pada trauma tembus thorax, tetapi
bisa merupakan akibat cedera tumpul di thorax. Takikardi, suara jantung yang
menjauh dan pelebaran vena leher dengan hipotensi yang tidak membaik setelah
pemberian cairan mengarah ke tanda tanponade jantung. Namun tension
pneumothorax juga dapat menyerupai tanponade jantung yaitu pada tension
pneumothorax suara napas menjauh atau tidak terdengar dan saat diperkusi
hipersonor, sedangkan pada tamponade jantung tidak.
e. Tension pneumothorax
Adalah benar-benar kegawatdaruratan bedah yang membutuhkan diagnosis
dan intervensi segera. Tension pnemothorax berkembang ketika udara memasuki
pleura, tetapi mekanisme katup menutup dan mencegah keluar. Adapun atnda dan
gejalanya yaitu: distress pernapasan akut, emfisema subkutan, suara napas menjauh,
hasil perkusi hipersonor, dan trakea yang bergeser ke arah yang sehat. Jika
menemukan tanda gejala diatas segera lakukan dekompresi thorax tanpa harus
menunggu diagnosis dan hasil x-ray.
Hal yang paling sering terjadi pada penderita trauma adalah terjadinya syok
hipovolemia. Syok ini disebabkan karena pergeseran cairan diantara kompartemen cairan di
dalam tubuh akibat dari kehilangan darah. Syok hipovolemik adalah keadaan tidak cukup
cairan dalam pembuluh darah atau keluaran jantung tidak cukup tinggi untuk
mempertahankan peredarah darah, sehingga pasokan oksigen dan bahan bakar ke organ vital
terutama otak, jantung, dan ginjal tidak cukup sehingga untuk mempertahankan organ ini
tubuh akan mengimbangi dengan menutup nadi pada organ yang kurang vital seperti kulit,
usus.
Penyebab terjadinya syok hipovolemia adalah tersering karena kehilangan darah akibat
perdarahan, kehilangan plasma misal pada luka bakar, dan kehilangan cairan akibat muntah
diare yang berkepanjangan.Tanda dan gejala syok hipovolemia:
Denyut nadi cepat dan lemah
Akral dingin ―Perdarahan atau syok hemaragic merupakan penyebab
syok yang paling sering ditemukan pada penderita
Sianosis/kebiruan/pucat trauma‖.
Sesak napas
Kesadaran menurun karena otak kurang suplai oksigen
Jika penderita sadar: rasa haus karena cairan dari darah berkurang
Syok hipovolemia yang diakibatkan karena perdarahan adalah penyebab terbesar yang
sering terjadi pada kasus trauma.

VI. PENGELOLAAN SYOK


Paaien dengan Cedera diatas diagfragma bisa mengalami perfusi jaringan yang tidak
adekuat karena gangguan kerja jnatung akibat kerja jantung akibat cedera tumpul
miokardium, tanponade jnatung, tension pneumothorax yang menyebabkan venous return
(preload) yang tidak adekuat.
Penatalaksanaan awal dari syok diarahkan kepada pemulihan perfusi seluler dan organ
dengan darah yang dioksigenasi dengan adekuat. Perlu dilakukan monitoring teratur dari
indikator-indikator perfusi penderita agar dapat dilakukan evaluasi respon terhadap terapi
dan untuk mengetahui sedini mungkin kalau keadaannya memburuk. Kebanyakan penderita
trauma dengan syok hipovolemik memerlukan intervensi pembedahan untuk mengatasi
keadaan syok. Karena itu, adanya syok pada penderita trauma menuntut keterlibatan ahli
bedah dengan segera.Resusitasi pada pasien syok meliputi:
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik ditujukan terhadap diagnosis kelainan yang mengancam nyawa
dan meliputi penilaian terhadap ABC. Pencatatan data penting untuk monitoring lebih
lanjut. Tanda vital, jumlah urine dan tingkat kesadaran penting untuk dicatat.
2. Menjaga Patensi Jalan Nafas (Airway)
Kontrol jalan nafas yang paling ideal adalah dengan melalui intubasi endotrakhea yang
bertujuan untuk proteksi jalan nafas, oksigenasi melalui pemberian tekanan positif
(baging), menjaga patensi dan pembersihan jalan nafas.

PT SMS Indonesia | Smart 66 | P a g e


3. Mengontrol Usaha Nafas
Adanya usaha nafas pada pasien syok akan meningkatkan konsumsi oksigen, untuk itu
usaha nafas harus dikendalikan melalui penggunaan ventilasi mekanik dengan ventilator
dan pemberian obat sedasi. Kadar saturasi oksigen dipertahankan diatas 93% dengan
PaCO2 dipertahankan pada kisaran 35 – 40 mmHg.
4. Stabilisasi Sirkulasi dan kontrol perdarahan
Stabilisasi sirkulasi atau hemodinamik dimulai dengan kecukupan jumlah akses
intravena atau jalur infus. Untuk dapat melakukan resusitasi cairan jalur infus dengan
ukuran yang paling besar yang dapat dipasang mutlak diperlukan. Jika volume
intravaskuler sangat diperlukan, maka posisi trendelenburg (menaikkan kaki diatas level
jantung) dapat menolong memberikan tambahan cairan kedalam jantung.
Resusitasi cairan dimulai dengan cairan kristaloid yang isotonic. Jumlah cairan dan
kecepatan pemberian disesuaikan dengan gangguan hemodinamik yang terjadi. Semakin
berat gangguan hemodinamik yang terjadi, semakin cepat dan besar volume yang
diberikan. Sebagian besar pasien yang dalam kondisi syok mengalami defisit cairan baik
absolute maupun relative. Cairan diberikan secara cepat sebanyak 1000 ml, dengan
dilakukan penilaian ulang selesai memberikan cairan. Penanganan kasus syok
haemoragik/ hipovolemia diantararanya :
a. Penggantian Cairan Intravena
Cairan intravena diklasifikasikan menjadi kristaloid dan koloid. Kristaloid
merupakan larutan dimana molekul organik kecil dan inorganik dilarutkan dalam
air. Larutan ini ada yang bersifat isotonik, hipotonik, maupun hipertonik. Cairan
kristaloid memiliki keuntungan antara lain : aman, nontoksik, bebas reaksi, dan
murah. Adapun kerugian dari cairan kristaloid yang hipotonik dan isotonik adalah
kemampuannya terbatas untuk tetap berada dalam ruang intravaskular.
(1) Kristaloid
Cairan kristaloid yang paling banyak digunakan adalah normal saline
dan ringer laktat. Cairan kristaloid memiliki komposisi yang mirip cairan
ekstraselular. Karena perbedaan sifat antara kristaloid dan koloid, dimana
kristaloid akan lebih banyak menyebar ke ruang interstitial dibandingkan
dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi defisit cairan
di ruang intersisial.
Penggunaan cairan normal salin dalam jumlah yang besar dapat
menyebabkan timbulnya asidosis hiperkloremik, sedangkan penggunaan
cairan ringer laktat dengan jumlah besar dapat menyebabkan alkalosis
metabolik yang disebabkan adanya peningkatan produksi bikarbonat akibat
metabolisme laktat.
Contoh cairan kristaloit adalah Infuse Ringer laktat, NaCL 0,9% dan
Ringer Asesat.
(2) Koloid
Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa
disebut ―plasma expander‖. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan
yang mempunyai berat molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang
menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama dalam ruang
intravaskuler.
Koloid dapat mengembalikan volume plasma secara lebih efektif dan
efisien daripada kristaloid, karena larutan koloid mengekspansikan volume
vaskuler dengan lebih sedikit cairan dari pada larutan kristaloid. Sedangkan
larutan kristaloid akan keluar dari pembuluh darah dan hanya 1/4 bagian tetap
tinggal dalam plasma pada akhir infus. Koloid adalah cairan yang
mengandung partikel onkotik dan karenanya menghasilkan tekanan onkotik.
Bila diberikan intravena, sebagian besar akan menetap dalam ruang
intravaskular. Contoh cairan koloit adalah Hess 6%, gelofusin, voluvent,
albumin 5% dll
(3) Pendekatan asam basa
Penentuan tingkat keasaman (pH) dalam tubuh manusia ditantukan oleh
konsentrasi ion H⁺. Notasi pH diciptakan oleh seorang ahli kimia dari
Denmark yaitu Soren Peter Sorensen pada tahun 1909, yang berarti log negatif
dari konsentrasi ion hidrogen. Dalam bahasa Jerman
PT SMS Indonesia | Smart 67 | P a g
disebut Wasserstoffionenexponent (eksponen ion hidrogen) dan diberi simbol
pH yang berarti: ‗potenz‘ (power) of Hydrogen.
Rentang konsentrasi normal:
Normal: 7,40 (7,35 – 7,45)
Viable Range: 6,80 – 7,80

Pemberian cairan kristaloid untuk terapi cairan awal diberikan dalam kondisi
hangat dengan suhu berkisar 380C (102.20F) sebelum digunakan. Hal ini untuk
mencegah hipotermia yang dapat memperburuk prognosis penderita. Pemberian
cairan yang hangat dapat dicapai dengan menyimpan cairan kristaloid di dalam
penghangat atau dengan menggunakan oven microwafere. Cairan kristaloid dapat
melewati membran semi permiabel pembuluh, tetapi tidak dengan membran sel
dan dapat mencapai equilibrium dalam 2-3 jam. Untuk waktu singkat kristaloid
akan memperbaiki preload dan cardiac output.
b. Akses vena
Akses vaskular harus segera clan sebaiknya memakai 2 kateter intro-vena yang
besar. Tempat untuk akses vena adalah:
(1) vena perifer
(2) seksi vena (venous cut down, venoclysis) dan
(3) vena sentral.
Pada anak kecil usia kurang dari 6 tahun, cars intra-osseus dapat dicoba
sebelum vena sentral.
Tempat yang baik untuk jalur intravena bagi orang dewasa adalah lengan bawah
atau pembuluh darah lengan bawah. Kalau keadaan tidak memungkinkan
penggunaan pembuluh darah perifer, maka digunakan akses pembuluh sentral (vena-
vena femoralis, jugularis atau vena subdovio dengan kateter besar). Seringkali akses
vena sentral didalam situasi gawat darurat tidak dapat dilaksanakan dengan
sempurna, karena itu bila keadaan penderita sudah memungkinkan, maka jalur vena
sentral ini harus diubah atau diperbailki.
c. Transfusi darah
―Prinsip pengelolaan dasar yang
Pemberian darah tergantung harus dipegang ialah menghentikan
respon korban gawat darurat terhadap perdarahan dan mengganti
pemberian cairan seperti diterangkan kehilangan
sebelumnya. Pada fase pra – rumah sakit jarang dilakukan pemberian tranfusi darah.
Transfusi darah lazimnya diberikan di pelayanan kesehatan, namun demikian apabila
memang dibutuhkan dapat diberikan di rumah sakit lapangan

PT SMS Indonesia | Smart 68 | P a g e


d. Monitor Volume Urine
Monitor volume urin yang keluar untuk menganalisa jumlah keseimbangan
cairan yang masuk dan cairan yang keluar, sehingga diperlukan pemasnagan kateter
urin (faley catheter). Perlu diingat bahwa sebelum pemasangan kateter urin harus
diperhatikan dan dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adakah kontra indikasi
pemasangan kateter urin. Kontra indikasi pemasangan kateter urin adalah :
Adanya perdarahan pada orifisium uretra externa (OUE).
Hematom pada skrotum
Posisi prostat tidak teraba/ melayang pada saat rectal touche/ colok
dubur. Volume output urin normal adalah:
Dewasa:0.5 cc/ kgBB/ jam
Anak : 1 cc/ kgBB/ jam
Bayi : 2 cc/ kgBB/ jam

e. Imobilisasi Fraktur
Adanya fraktur baik terbuka ataupun tertutup harus di imobilisasi untuk
mengurangi perdarahan yang terjadi serta mengurangi rasa nyeri. Jika jumlah
penolong memadai, lakukanlah pembidaian di primary survey, sedangkan jika
jumlah penolong terbatas, maka pembidaian dilakukan secondary survey. Catatan:
jika terjadi fraktur pada pelvis atau femur maka pembidaian harus dilakukan di
primary survey walau jumlah penolong terbatas, karena perdarahan di area tersebut
menyebabkan syok cepat.

f. Target Akhir Resusitasi


Resusitasi dikatakan berhasil jika mampu memenuhi kriteria sbb:
Tekanan darah, laju nadi, produksi urin kembali ke batas normal
Volume sirkulasi tercukupi
Volume cairan di tiap kompartmen tercukupi
Parameter hemodinamik kembali normal
Hantaran oksigen maksimal
Asidosis jaringan teratasi, metabolisme tubuh kembali ke aerob, kekurangan
oksigen tergantikan.
Karena jumlah cairan dan darah yang diperlukan untuk resusitasi sukar diramalkan pada
evaluasi awal penderita. Evaluasi cairan yang masuk dengan menghitung jumlah urin
yang keluar. Respon terhadap pemberian penggantian cairan atau darah ada tiga
kemungkinan yaitu :
Respon cepat
Respon sementara
Tanpa respon
Respon Cepat Respon Sementara Tanpa Respon
Perbaikan sementara
Kembali ke
Tanda vital tensi dan nadi Tetap abnormal
normal
kembali turun
Dugaan kehilangan Minimal (10%- Sedang, masih ada
Berat (40%)
darah 20%) (20%-40%)
Kebutuhan Rendah sampai Sedang sebagai
Rendah
kristaloid sedang tanda tranfusi
Kebutuhan darah Rendah Sedang – tinggi Segera
Type spesific dan
Persiapan darah Type spesific Emergency
crossmatch
Perlu Operasi Mungkin Sangat mungkin Perlu
Kehadiran dini ahli
Perlu Perlu Perlu
bedah

PT SMS Indonesia | Smart 69 | P a g


5. Disability- pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologic singkat yang dilakukan adalah menentukan tingkat kesadaran
dan tanda lateralisasi.

6. Exposure
Pemeriksaan menyeluruh setelah menentukan prioritas terhadap keadaan yang
mengancam nyawa, penderita dilepas seluruh pakaian untuk mendapatkan gambaran
menyeluruh mengenai kelainan yang mengancam nyawa, tetapi harus dicegah hipotermi.

7. Dilatasi gaster – dekompresi


Dilatasi gaster kerap kali terjadi pada penderita trauma khususnya pada anak-anak dan
mungkin menyebabkan gangguan pernafasan. Syok, walaupun jarang, juga dapat terjadi
akibat dilatasi gaster akut. Keadaan ini mempersulit terapi syok dan bisa menyebabkan
aspirasi isi lambung dan ini merupakan suatu komplikasi yang fatal. NGT harus terpasang
dengan baik dan tersambung pada alat suction yang berfungsidengan baik. Namun,
penempatan tube yang baik tidak serta merta menghilangkan resiko aspirasi.

8. Mengontrol Konsumsi Oksigen


Penggunaan oksigen yang berlebihan harus dikurangi, seperti kondisi kesakitan, stress,
gelisah, dan menggigil. Untuk itu upaya pemberian analgetik, pelumpuh otot, anksiolisis
sangat diperlukan.

KESIMPULAN

Diagnosis syok ditegakkan atas adanya takikardia, takipnea, memanjangnya masa pengisian
kapiler, turunnya tingkat kesadaran, dan turunnya tekanan darah yang semuanya merupakan
tanda hipoperfusi organ & kebutuhan tubuh adalah oksigen yang lebih banyak. Syok adalah
terjadinya metabolime anaerobik selular. Survival penderita bergantung pada hantaran oksigen
ke tingkat sel. Prioritas dalam pengelolaan syok adalah mengusahakan sampainya oksigen ke
paru-paru. Korban membutuhkan transport cepat ke fasilitas dimana dapat dilakukan kendali
perdarahan, penggantian darah yang hilang, oksigenisasi dan ventilasi yang adekuat.
Penggantian cairan merupakan komponen penting dalam pengelolaan syok. Kristaloid bukan
cairan pengganti yang ideal karena hanya berfungsi sebagai volume expander tanpa kapabilitas
mengikat oksigen. Cairan pengganti yang ideal adalah darah.

PT SMS Indonesia | Smart 70 | P a g e


VI

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Setelah mengikuti materi ini peserta mampu memberikan asuhan keperawatan gawat darurat
dasar pada trauma.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Setelah mengikuti materi ini peserta mampu:
1. Melakukan asuhan keperawatan gawat darurat dasar pada cedera kepala
2. Melakukan asuhan keperawatan gawat darurat dasar pada trauma spinal
3. Melakukan asuhan keperawatan gawat darurat dasar pada sistem muskuloskeletal
4. Melakukan asuhan keperawatan gawat darurat dasar pada trauma thorak
5. Melakukan asuhan keperawatan gawat darurat dasar pada trauma abdomen
6. Melakukan asuhan keperawatan gawat darurat dasar pada trauma thermal

PT SMS Indonesia | Smart 71 | P a g


KEGAWATAN TRAUMA
TRAUMA KEPALA
A. PENGERTIAN

Trauma kepala atau kapitis merupakan penyebab utama kematian akibat trauma.
Trauma kepala drsebabkan benturan pada kepala baik langsung maupun tidak
langsung. Secara klinis dapat dilihat adanya gangguan kesadaran. Tindakan pertahanan
Jalan nafas, pemberian oksigen yang adekuat dan mempertahankan tekanan darah yang
cukup untuk perfusi otak dan menghindarkan terjadinya cedera otak sekunder merupakan
pokok-pokok tindakan yang sangat penting untuk keberhasilan kesembuhan penderita.
Cidera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama pada kelompok umur
produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Tidak hanya berakibat
pada tingginya angka kematian pada korban kecelakaan. Justru, yang harus menjadi
perhatian adalah banyaknya kasus kecacatan dari korban kecelakaan. Khususnya, korban
kecelakaan yang menderita cedera kepala.
Cedera kepala adalah proses patologis pada jaringan otak yang bersifat non –
degenerative, non – congenital, dilihat dari keselamatan mekanis dari luar, yang mungkin
menyebabkan gangguan fungsi kognitif, fisik, dan psikososial yang sifatnya menetap
maupun sementara dan disertai hilangnya atau berubahnya tingkat kesadaran.
Dari definisi itu saja, kita sudah tahu bahwa cedera kepala sangat berbahaya dan
membutuhkan penanganan segera demi keselamatan penderita. Sayangnya, kendati kasus
terus meningkat, namun masih banyak pihak yang belum sadar pentingnya kecepatan
menolong penderita.Di samping penanganan di lokasi kejadian dan selama transportasi
korban ke rumah sakit, penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.
Pertimbangan untuk rujukan pada korban cidera kepala, perlu dicatantumkan informasi
penting sebagai berikut ini:
 Umur
 Usia
 Jenis kelaamin
 waktu dan Mekanisme cedera (MOI)
 Status Respiratorik dan Kardiovaskular
 Pemeriksaan Neurologis (GCS) dan tanda lateralisasi.
 Adanya cedera penyerta
 Hasil pemeriksaan penunjang diagnostik seperti CT Scan atau Foto rontgen schaedel,
apabila dirumah sakit tidak ada fasilitas tersebut segera pertimbangakan untuk rujukan
setelah keadaaan pasien stabil.

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI


1. Kulit kepala
Kulit kepala terdiri dari 5lapisan
 dikenal dengan istilah SCALP,yaitu:
a. Skin/ kulit
b. Connective tissue/ jaringan
penyambung
c. Aponeurosis/ jaringan ikat yang
berhubungan langsung dengan
tengkorak
d. Looseareolar tissue/jaringan
penunjang longgar
e. Perikranium
Kulit kepala memiliki banyak Gambar lapisan kepala
pembuluh darah sehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan
menyebabkan banyak kehilangan darah terutama pada anak-anak atau penderita
dewasa yang cukup lama terperangkap sehingga membutuhkan waktu lama untuk
mengeluarkannya.

PT SMS Indonesia | Smart 72 | P a g e


2. Tulang Kepala (Kranium)
a. Kalvaria (atap tengkorak) dan
b. Basis kranium (dasar tengkorak).
Bila terjadi patah tulang terbuka pada tulang kepala, maka diperlukan operasi
segera untuk mencegah terjadinya komplikasi selanjutnya seperti infeksi otak dan
kejang.
Fraktur basis cranium harus menjadi perhatian khusus karena pada kecurigaan
hal tersebut dikontra indikasikan pemasangan Naso Pharingeal Airway (NPA),
Suction lewat hidung dan pemasangan NasoGastricTube (NGT) sebab kemungkinan
mencederai jaringan otak terpapar. Pasien dicurigai fraktur basis cranium ditndai oleh :
a. Hematoma periorbrta atau brill hematoma
b. Hematoma Retroaurikular atau Battlesign.
c. Cairan otak dari hidung atau telinga.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior, fosa media dan
fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus frontalis, fosa media adalah
tempat lobus ternporahs dan fosa posterior adalah ruang bagi batang otak bawah
dan serebelum.
Pada Patah tulang kalvaria dapat berbentuk ganis (lineair) yang bisa non impressi
(tidak masuk/menekan ke dalam) atau impressi (masuk ke dalam). Bila patah terbuka
(ada hubungan dengan dunia luar), maka diperlukan operasi segera.
3. Isi tengkorak
Terdiri dari, diantaranya:
a. Lapisan pelindung otak
(meningen) Terdiri dari:
(1) Durameter
Duramater adalah lapisan terluar adalah lapisan yang paling tebal diantara
semua lapisan. Duramater terdiri dari 2 lapisanyaitu:
Lapisan periosteal luar pada duramater melekat di permukaan dalam
kranium dan berperan sebagai periosteum dalam pada tulang tengkorak.
Lapisan meningeal dalam pada dura mater tertanam sampai ke dalam
fisura otak dan terlipat kembali ke arahnya untuk membentuk bagian-
bagian Falks serebrum, Falks serebelum dan Tentonium serebelum yang
memisahkan serebrum dari serebelum
(2) Subdur & Epidural
Sela diafragma memanjang di atas sela tursika, tulang yang
membungkus kelenjar hipofisis Pada beberapa regia, kedua sinus vena yang
mengalirkan darah keluar dari otak. Ruang subdural memisahkan dura mater
dari arakhnoid pada regia kranial dan medula spinalis. Ruang epidural adalah
ruang potelapisan ini dipisahkan oleh pembuluh darah besar, nsial antara
periosteal luar dan lapisan meningeal dalam pada dura mater diregia medula
spinalis.
(3) Piameter
Piamater adalah lapisan terdalam yang halus dan tipis, serta melekat
erat pada otak. Lapisan ini mengandung banyak pembuluh darah untuk
mensuplai jaringan saraf.
(4) Arachnoid
Arachnoid (antara lapisan duramater dan piamater) yang terletak
diantara kedua lapisan tadi dan mengandung sedikit pembuluh darah. Ruang
subaraknoid memisahkan lapisan araknoid dari pia mater dan mengandung
cairan serebrospinal, pembuluh darah, serta jaringan penghubung seperti
selaput yang mempertahankan posisi araknoid terhadap pia mater di
bawahnya. Berkas kecil jaringan araknoid, vili araknoid, menonjol ke dalam
sinus vena (dural) dura mater.
Rongga tengkorak tidak besar, dan tertutup oleh tengkorak yang keras.
Perdarahan yang terjadi didalam rongga tengkorak sebanyak 100cc mungkin sudah
dapat menimbulkan kematian. Dengan demikian sering dikatakan perdarahan pada
penderita cedera kepala tidak dapat menyebabkan syok karena terbatasnya ruang
kosong yang dapat menyimpan darah pada tulang tengkorak kepala lebih dari 100

PT SMS Indonesia | Smart 73 | P a g


cc, apabila mendapatkan penderita trauma kapitis yang dalam keadaan syok, maka
syok tersebut biasanya bukan berasal dari perdarahan di kepala akan tetapi berasal
dari tempat lain (rongga toraks, abdomen, tulang pelvis atau tulang panjang).
b. Otak
Jika terjadi trauma kapitis cenderung terjadi peningkatan tekanan intra kranial
(TIK). TIK terdapat dalam keadaan konstan. Jika terjadi peningkatan yang cukup
tinggi, hal ini dapat mengakibatkan turunnya batang otak (herniasi batang otak)
yang akan berakibat kematian Trauma ataukerusakandi kepaladapatkarena
cederalangsung(primer)dan cederayangterjadi kemudian(sekunder).
Cedera otak sekunder dapat disebabkan oleh keadaan hipovolemia, hipoksia,
hiperkarbia, dan hipokarbia. Kerusakan otak sekunder harus dihindari karena
akibat dari diatas dapat mengakibatkan Edema otak, Iskemia otak,dan Infark otak.
Otak dapat mengalami pembengkakan (edema), baik karena trauma langsung
(primer) ataupun setelah trauma (Sekunder). Pembengkakan otak ini dikenal
sebagai edema cerebri dan karena tengkorak merupakan ruangan yang tertutup
rapat, maka edema ini akan menimbulkan peninggian tekanan dalam rongga
tengkorak (peninggion tekanan intra-kranial).
Secarapatologisapapunyangmengenaiotakdapat mempengaruhi tekanan
intrakranialyangselanjutnya akanmengganggu fungsi otakyang akhirnya
berdampak buruk terhadap penderita. TIK yang tinggi dapat menimbulkan
konsekuensi yang mengganngu fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula
kesembuhan penderita. Kenaikan TIKtidak hanya merupakan indikasi adanya
masalah serius dalam otak tetapi justru sering merupakan masalah utamanya.

Klasifikasi Nilai

Normal 10 mmHg (136 mmH2O)

Tidak Normal > 20 mmHg

TIK Berat 40 mmHg

Semakin tinggi TIK semakin buruk prognosisnya. Jika terjadi trauma capitis
cenderung terjadi peningkatan intra kranial sehingga harus mempertahankan
volume intra kranial tetap konstan sesuai hipotesa Monroe Kelli. Berikut
Tanda PTIK :
Nyeri Kepala Hebat
Muntah Proyektil
Penurunan kesadaran
Tatalaksana :
Chek Analisa gas darah
Chek Cairan elektrolit
Posisi Kepala 15-30 derajat
Batang otak, terdiri dari mesencefalon, pons dan medula oblongata.
Mesencefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikulasi yang berfungsi
mengatur fungsi kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat
pusat vital kardiorespiratorik sampai medula spinalis dibawahnya (kauda inguina).
Lesi yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit
neurologis yang berat, namun pada pemeriksaan CT Scan kepala lesi dibatang otak
Sering tidak tampak terlihat.

Cerebelum berfungsi mengatur fungsi koordinasi dan keseimbangan dan

PT SMS Indonesia | Smart 74 | P a g e


terletak dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis batang otak dan
kedua hemisfer serebri.
Cairan serespinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan
kemampuan produksi sebanyak 30ml/jam. Pleksus khoroideus terletak pada
ventrikel lateralis baik sebelah kanan maupun sebelah kiri, mengalir melalui
foramen Monroe ke ventrikel ketiga. Selanjutnya pada di ventrikel kedua mengalir
melalui akuaduktus dari sylvius menuju ventrikel ke empat. Selanjutnya keluar
melalui ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada diseluruh
permukaan otak dan medulla spinalis. Cairan serebrospinal akan diserap kedalam
sirkulasi vena melalui granulasio araknoid yang teradapat pada sinus sagitalis
superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio araknoid sehingga
mengganggu penyerapan CSS dan dapat menyebabkan kenaikan Tekanan Intara
Kranial (Hidrosefalus komunikan)
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadiruang supratentorial
(fosa kronii anterior dan fosa kranii medio) dan ruang infratentorial (foso
kraniiposterior). Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dan
batang otak ( pons dan medulla oblongota) dan berjalan melalui celah insisura
tentorial. Nervus okulomotorius (saraf orak ketiga) berada disepanjang tentorium,
dan saraf ini dapat tertekan pada keadaan herniasi otak yang disebabkan adanya
masa supratentorial atau edema otak.
Serabut-serabut parasimpatik berfungsi melakukan konstriksi pada pupil mata
berada pada permukaan nervus okulomotorius. Paralisis serabut-serabut
parasimpatis ini dapat menyebabkan dilatasi pupil karena adanya penekanan akibat
aktivitas serabut tersebut tidak dihambat.

C. KLASIFIKASI
Cedera keapala diklasifikasikan menjadi 3
hal, yaitu:
1. Berdasarkan mekanisme cedera kepala
Cedera kepala dibagi menjadi
cedera kepala tumpul dan cedera
kepala tembus / tajam. Cedera kepala
tumpul biasanya berkaitan dengan
kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh
dari ketinggian atau pukulan akibat
benda tumpul. Sedangkan cedera
kepala luka tembus disebabkan oleh
luka tembak atau luka tusuk.
2. Berdasarkan penilaian GCS Gambar mekanisme trauma
Secara umum untuk menetapkan berat ringannya cedera kepala digunakan metode
penilaian Glasgow Coma Scale (GCS), yaitu menilai respon Buka Mata pasien,
Respon Bicara/Verbal pasien dan respon Motorik, penilaian ini akan menentukan
penatalaksanaan selanjutnya.
 GCS 14-15 : cedera kepala ringan (CKR)
 GCS 9-13 : cedera keapala sedang (CKS)
 GCS 3-8 : cedera kepala berat (CKB)
3. Berdasarkan marfologi cedera kepala
Berdasarkan morfologi, cedera kepala dibagi menjadi fraktur kranium dan lesi
intrakanial
a. Fraktur kranial
Fraktur kranial dapat terjadi pada bagian atas atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis / linear, atau bintang atau terbuka maupun tertutup. Adanya tanda
klinis fraktur dasar tengkorak merupakan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci.

PT SMS Indonesia | Smart 75 | P a g


Tanda -tanda tersebut antara lain
adaya ekomosis periorbital (Rocoon
eyes), ekomosis retroaurikuler
(Battle Sign), kebocoran Cairan
Cerebrospinal (CSS) seperti
Rhinorrhea dan Otorrhea, paresis
nervus facialis dan kehilangan
pendengaran, yang dapat timbul
segera atau beberap hari setelah Gambar perdarah lesi intrakanial
mengalami trauma.
Fraktur kranial terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi
kulit kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput duramater. Adanya
fraktur tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukan adanya benturan
yang cukup hebat / keras.
b. Lesi intrakanial
Lesi intrakranial diklasifikasikan sebagai lesi fokal atau lesi difus, walaupun
kedua jenis lesi ini sering terjadi secara bersamaan. Yang termasuk lesi fokal
adalah perdarahan epidural, perdarahan subdural dan perdarahan intra serebral.
Cedera Otak Difus.
Pada konkusi ringan penderita biasanya kehilangan kesadaran dan mungkin
mengalami amnesia retro / anterograd.Cedera otak difus biasanya disebabkan
oleh hipoksia, iskemia dari bagian otak karena syok yang berkepanjangan atau
periode apneu yang segera setelah mengalami trauma. Selama ini dikenal
dengan istilah Cedera Aksonal Difus (CAD/DAI) untuk mendefinisikan
trauma otak berat dengan prognosis yang buruk, yang menunjukan adanya
kerusakan pada akson yang terlihat pada manifestasi klinisnya.
Perdarahan Epidural.
Perdarahan epidural relatif jarang
ditemukan (0,5%) dari semua penderita
cedera kepala, dan yang mengalami koma
hanya 9% dari semua penderita cedera
kepala. Perdarahan epidual terjadi di luar
duramater tetapi masih berada didalam
rongga tengkorak, dengan ciri berbentuk
Bikonveks atau menyerupai lensa
Gambar perdarahan epidural
cembung. Sering terletak di area temporal
atau tempoparietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri meningea
media, akibat terjadinya fraktur tulang tengkorak namun dapat juga terjadi
akibat robekan vena besar.

PT SMS Indonesia | Smart 76 | P a g e


Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi dari
pada perdarahan epidural (30% pada cedera
otak berat). Perdarahan ini terjadi akibat
robeknya vena-vena kecil dipermukaan
kortek serebri. Perdarahan subdural biasanya
menutupi seluruh permukaan hemisfer otak
dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat
Gambar perdarahan epidural
dan prognosisnyapun jauh lebih buruk bila
dibandingkan dengan perdarahan epidural.
Kontusio dan Perdarahan lntraserebral
Kontusio dan Perdarahan lntraserebral sering terjadi (20%- 30% pada cedera
otak berat). Sebagian besar terjadi area lobus frontal dan lobus temporal,
walaupun demikian dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio
serebri didapat dalam waktu beberapa jam atau beberapa hari setelah trauma,
kemudian berubah menjadi perdarahan intraserebral yang membutuhkan
tindakan operasi segera.

D. PEMERIKSAAN FISIK
Setiap korban harus diperiksa secara cepat dan tepat entah berat atau ringannya cidera
kepala yang dialami, karena hal ini menetukan penatalaksanaan yang akan dilakukan
selanjutnya. Ada 2 penilaian yang dapat dilakukan dengan cepat yaitu penilaian tingkat
kesadaran dengan GCS dan tanda lateralisasi.
1. Pemeriksaan tingkat kesadaran
Terdapat 3 aspek yang dinalai yaitu menilai respon Buka Mata pasien, Respon
Bicara/Verbal pasien dan respon Motorik.
Kategori Respon Respon Nilai
Spontan 4
Respon Perintah verbal 3
Buka Mata Nyeri 2
Tidak ada respon 1
Mengikuti perintah 6
Mengetahui letak nyeri 5
Flexi terhadap nyeri 4
Respon Motorik Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi (deserebrasi) 2
Tidak ada respon 1
Orientasi baik dan bicara 5
Disorientasi dan berbicara 4
Respon Verbal Kata-kata yang tidak tepat 3
Suara yang tidak berarti 2
Tidak ada respon 1
2. Lateralisasi
Tanda lateralisasi disebabkan karena adanya suatu proses pada satu sisi otak,
seperti misalnya perdarahan intrakranial.

PT SMS Indonesia | Smart 77 | P a g


Kedua pupil mata harus selalu diperiksa. Biasanya sama lebar dan reaksi sama
cepat. Apabila salah satu lebih lebar (lebih dari 1-2mm), maka keadaan ini disebut
sebagai anisokoria.
Dilakukan perangsangan pada kedua lengan dan tungkai. Apabila salah satu
lengan atau dan tungkai kurang atau sama-sekali tidak bereaksi, maka disebut sebagai
adanya tanda lateralisasi.

Pupil dilatasi

Pupil konstriksi

An isokor

Pupil normal

Gambar tanda lateralisasi

E. PENGELOLAAN
Padafaseprarumahsakit tidak banyak yang dapat dilakukan, hanyasajapadahal penting
yangharus diperhatikan, yaitu:
1. Primary Survey
Lakukan Pemeriksaan dan penanganan:
a. Airway dan breathing
Terhentinya pernafasan sementra dapat terjadi pada penderita cedera kepala
berat dan dapat mengakibatkan gangguan sekunder. lntubasi Endotrakeal (ETT)
/ Laryngeal Mask Airway (LMA) harus segera dipasang pada penderita cedera
kepala berat yang koma, dilakukan ventilasi dan oksigenisasi 100%
danpemasangan pulse oksimetri / monitor saturasi oksigen. Tindakan
hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada penderita cedera kepala berat
yang menunjukan perburukan neurologis akut.
Gangguan airway dan breathing sangat berhahaya pada trauma kapitis karena
akan dapat menimbulkan hipoksia atau hiperkarbia yang kemudian akan
menyebabkan kerusakan otak sekunder. Oksigen selalu diberikan, dan bila
perafasan meragukan, lebih baik memulai ventilasi tambahan.
b. Circulation
Hipotensi biasanya disebabkan oleh cedera otak itu sendiri, kecuali pada
stadium terminal yaitu bila medulla oblongata mengalami gangguan. Perdarahan
intracranial tidak dapat menyebabkan syok Haemoragik pada cedera kepala berat,
pada penderita dengan hipotensi harus segera dilakukan stabilisasi dan resusuitasi
untuk mencapai euvolemia.
Hipotensi merupakan tanda klinis kehilangan darah yang cukup hebat,
walaupun tidak selalu tampak jelas. Harus juga di curigai kemugkinan penyebab
syok lain seperti Syok Neurologis (Trauma Medula Spinalis), kontusio jantung
atau Tamponade" Jantung dan Tension Pneumothoraks.
Penderita hipotensi yang tidak dapat bereaksi terhadap stimulus apapun dapat
member respon normal segera setelah tekanan darah normal.
Gangguan circulation (syok) akan meyebabkan gangguan perfusi darah ke otak
yang akan menyebabkan kerusakan otak sekunder. Dengan demikian syok
dengan trauma kapitis harus dilakukan penanganan dengan agresif.

PT SMS Indonesia | Smart 78 | P a g e


c. Disability, Exposure.
Pada setiap cedera kepala harus selalu diwaspadai adanya fraktur servikal.
Cedera otak sering diperburuk akibat cedera sekunder. Penderita cedera kepala berat
dengan hipotensi mempunyai status mortalitas 2 kali lebih besar dibandingkan dengan
penderita cedera kepala berat tanpa hipotensi, adanya hipotensi akan menyebabkan
kematian yang cepat. Oleh karena itu tindakan stabilisasi dan resusitasi
kardiopulmoner harus segera dilakukan.
2. SecondarySurvey
a. Inspeksi keseluruhan kepala,termasuk wajah  laserasi, adanya darah
bercampur cairan otak dari lubang hidung dantelinga
b. Palpasi keseluruhan kepala, termasuk wajah  fraktur, laserasi dengan
fraktur dibawahnya
c. Inspeksi semua laserasi kulit kepala jaringan otak, fraktur tengkorak depresi,
kotoran.
d. Pemeriksaan minineurologis danmenilai GCS
 GCS Ringan (GCS=14-15)
Penderita dengan cedera kepala yang dibawa ke Unit Gawat Darurat
(UGD) RS kurang lebih 80% dikategorika dengan cedera kepala ringan,
penderita tersebut masih sadar namun dapat mengalami amnesia berkaitan
dengan cedera kepala yang dialaminya. Dapat disertai dengan riwayat
hilangnya kesadaran yang singkat namun sulit untuk dibuktikan terutama
pada kasus pasien dengan pengaruh alcohol atau obat-obatan. Sebagian besar
penderita cedera kepala ringan dapat sembuh dengan sempurna, walaupun
mungkin ada gejala sisa yang sangat kecil.
Pemeriksaan CT Scan idealnya harus dilakukan pada semua cedera
kepala ringan yang disertai dengan kehilangan kesadaran lebih dari 5 menit,
amnesia, sakit kepala hebat, GCS < dari 15 atau adanya deficit neurologis
fokal, foto servical juga harus dibuat bila terdapat nyeri pada palpasi leher.
Pemeriksaan foto polos dilakukan untuk mencari Fraktur Linear atau depresi
pada servical, fraktur tulang wajah ataupun adanya benda asing di daerah
kepala, akan tetapi harus diingat bahwa pemeriksaan foto polos tidak boleh
menunda transfer penderita / Medevac ke RSyang lebih memadai. Apalagi
bila ditemukan adanya gejala neurologis yang abnormal, harus segera
dikonsulkan kepada ahli bedah syaraf.
Bila penderita cedera kepala mengalami asimtomatis, sadar, neurologis
normal, observasi diteruskan selama beberapa jam dan dilakukan
pemeriksaan ulang. Bila kondisi penderita tetap normal maka dapat dianggap
penderita aman. Akan tetapi bila penderita tidak sadar penuh atau
berorientasi kurang terhadap rangsang verbal maupun tulisan, keputusan
untuk memulangkan pendrita harus ditinjau ulang.
 Cedera Kepala Sedang (GCS=9-13)
Dari seluruh penderita cedera kepala yang masuk ke UGD RS hanya 10%
yang mengalami cedera kepala sedang. Mereka pada umumnya masih
mampu menuruti perintah sederhana, namun biasanya tampak bingung atau
terlihat mengantuk dan disertai dengan defisit neurologis fokal seperti
hemiparese. Sebanyak 10% - 20% dari penderita cedera kepala sedang
mengalami perburukan dan jatuh dala keadaan koma, pada saat di akukan
pemeriksaan di UGD dilakukan anamnesa singkat dan stabilisasi
kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis dilakukan. Penderita harus
dirawat diruang perawatan intensif tau yang setara, dilakukan observasi ketat
dan pemeriksaan neurologis serial selama 12-24jam pertama.

PT SMS Indonesia | Smart 79 | P a g


 Cedera Kepala Berat (GCS 3-8).
Penderita denga cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah
sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah stabil, memiliki resiko
morbiditas dan mortalitas cukup besar. " Tunggu dan Lihat " penderita
dengan cedera kepala berat adalah sangat berbahaya, karena diagnosis serta
terapi yang sangatlah penting. Jangan menunda transfer / Medevac karena
menunggu pemeriksaan penunjang seperti CT Scan.
e. Pemeriksaan vertebra servikalis, palpasi adanya rasapegal/nyeridanpakaikan
kolarcurigaterjadi fraktur servikal,pemenksaan foto ronsenvertebra servikalis
proyeksi lateral bilaperlu
f. Penilaian luasnya cedera
g. Re-evaluasi secara kontinyu -observasi tanda- tanda perburukan

F. KOMPLIKASI
1. Epilepsi Pasca Trauma
Suatu kelainan dimana kejang terjadi beberapa waktu setelah otak mengalami cidera
karena benturan dikepala. Kejang bisa terjadi setelah beberapa tahun kemudian setelah
terjadinya cidera.
2. Afasia
Hilangnya kemampuan untuk menggunakan bahasa karena terjadinya cedera pada area
bahasa di otak. Penderita tidak mampu memahami/mengekspresikan kata – kata.
Bagian otak yang mengendalikan fungsi bahasa adalah lobus temporalis sebelah kiri &
bagian lobus frontalis disebelahnya.
3. Apraksia
Ketidakmampuan untuk melakukan tugas yang memerlukan ingatan/serangkaian gerakan.
Bagian otak yang mengalami kerusakan adalah lobus parietalis/ lobus frontalis.
4. Agnosis
Suatu kelainan dimana penderita tidak mampu mengenali wajah yang dulu dikenalnya
dengan baik atau benda – benda umum(sendok,pensil). Bagian otak yang mengalami
kerusakan adalah lobus parietalis & temporalis.
5. Amnesia
Hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan untuk mengingat peristiwa yang baru saja
terjadi/ peristiwa yang sudah lama berlalu. Amnesia hanya berlangsung beberapa menit
sampai beberapa jam dan akan menghilang dengan sendirinya. Pada cedera otak yang
hebat, amnesia bisa bersifat menetap. Bagian otak yang mengalami kerusakan adalah
lobus oksipitalis, lobus parietalis, lobus temporalis.
6. Kejang Pasca Trauma
Dapat segera terjadi(dalam 24 jam pertama), dini(minggu pertama), atau lanjut(setelah
satu minggu).
7. Defisit Neurologis & Psikologis
Tanda awal penurunan fungsi neurologis: Perubahan tingkat kesadaran, nyeri kepala
hebat, mual/muntah proyektil(tanda dari peningkatan TIK).

PT SMS Indonesia | Smart 80 | P a g e


G. PENCEGAHAN

1. Jatuh merupakan penyebab utama cedera kepala, terutama pada anak – anak dan lansia.

Meminimalisir kejadian jatuh dapat dilakukan dengan cara memastikan lantai tidak

licin, menggunakan alat bantu jalan, dan melakukan pengawasan pada saat anak atau

lansia berada di kamar mandi atau berjalan di tangga.

Menggunakan helm, baik pada saat mengendarai sepeda atau sepeda motor, maupun saat melakukan aktivitas
Mengendarai mobil dengan aman, yaitu dengan mengenakan sabuk pengaman dan menghindari aktivitas lain sepe

PT SMS Indonesia | Smart 81 | P a g


TRAUMA SPINAL
A. PENGERTIAN
Trauma spinal atau cedera pada tulang belakang adalah
cedera yang mengenai servikalis, vertebralis dan lumbalis
akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang belakang.
Trauma pada tulang belakang dapat mengenai jaringan
lunak pada tulang belakang yaitu ligamen dan diskus,
tulang belakang sendiri dan susmsum tulang belakang atau
spinal kord.
Merupakan keadaan patologi akut pada medula spinalis
yang diakibatkan terputusnya komunikasi sensori dan
motorik dengan susunan saraf pusat dan saraf perifer.
Tingkat kerusakan pada medula spinalis tergantung dari
Gambar vertebra servikal
keadaan komplet atau inkomple
B. ANATOMI
Spinal Cord atau Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Syaraf Pusat.
Terbentang dari foramen magnum sampai dengan La, di L1 melonjong dan agak
melebar yang disebut conus terminalis atau conusmedullaris. Terbentang dibawah
conus terminalis serabut- serabut bukan syaraf yang disebut filum terminale yang
merupakan jaringan ikat.Terdapat31pasangsyarafspinal:
1. 7 pasang syaraf servikal
2. 12 Pasang syaraf Torakal
3. 5 Pasang syaraf Lumbal
4. 5 Pasang syaraf Sakral
5. 3-4 pasang syaraf koksigeal
Akar syaraf lumbal dan sakral terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap
pasangan syaraf keluar melalui Intervertebral foramina. SyarafSpinal dilindungi oleh
tulang vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal dan CSF.
Pada orang dewasa, medula spinalis lebih pendek daripada kolumna spinalis. Medula
spinalis berakhir kira- kira pada tingkat diskus intervertebralis antara vertebra lumbalis
pertama dan kedua. Sebelum usia 3 bulan, segmen medula spinalis, ditunjukkan oleh
radiksnya, langsung menghadap ke vertebra yang bersangkutan. Setelah itu, kolumna
tumbuh lebih cepat daripada medula. Radiks tetap melekat pada foramina intervertebralis
asalnya dan menjadi bertambah panjang ke arah akhir medula (conus terminalis),
akhirnya terletak pada tingkat vertebra lumbalis ke-2. Di bawah tingkat ini, spasium
subarakhnoid yang seperti kantong, hanya mengandung, radiks posterior dan antenor yang
membentuk cauda equina. Kadang-kadang, conus terminalis dapat mencapai; sampai
tingkat vertebra lumbalis ke-3.
Radiks dari segmen Cl. sampai C7, meninggalkan kanalis spinalis melalui foramina
intervertebralis yang terletak pad a sisi supenor atau rostral setiap vertebra. Karena
bagian servikalis mernpunyai satu segmen lebih daripada vertebra servikalis, radiks
segmen ke-8 meninggalkan kanalis melalui foramina yang terletak antara vertebra
servikalis ke-7 dan torasikus ke-1. Dari sini ke bawah, radiks saraf meninggalkan kanalis
melalui foramina yang lebih bawah.
Antara C4 dan Ta, dan Juga antara L2 dan S3, diameter medula spinalis membesar.
Inturnesensra servikal dan lumbalis ini terjadi karena radiks dari separuh bawah bagian
servikalis naik ke pleksus brakhialis, mempersarafi ekstnrnitas atas, dan yang dari regio
lumbo- sakral membentuk pleksus lumbosakralls, mempesarafi ekstrimitas bawah.
C. ETIOLOGI
Penyebab utama cidera spinal pada orang dewasa berdasarkan angka kejadian yang
tersering adalah sebagai:
a. Tabrakan mobil
b. Kecelakaan penyelaman pada perairan dangkal
c. Tabrakan sepeda motor
d. Jatuh dan cidera lain.
Penyebab utama cidera spinal pada anak-anak adalah:

PT SMS Indonesia | Smart 82 | P a g e


a. Jatuh dari ketinggian (2-3x tinggi badan penderita)
b. Jatuh dari sepeda
c. Tertabrak kendaraan bermotor
D. PATOFISIOLOGI
Columna vertebralis berfungsi
menyokong tulang belakang dan melindungi
medula spinalis dan saraf – sarafnya. Cedera
medula spinalis dapat terjadi akibat trauma
columna vertebra atau ligamen. Umumnya
tempat terjadinya cedera adalah pada segmen
C1 – 2, C4 – 6 dan T11 – L2, karena segmen
ini paling mobile sehingga mudah terjadi
cedera. Cedera medula spinalis mengakibatkan
perdarahan pada gray matter medula, edema pada jam – jam pertama paska trauma.
Mekanisme utama terjadinya cedera vertebra adalah karena hiperekstensi, hiperfleksi,
trauma kompresi vertikal dan rotasi, bisa sendiri atau kombinasi. Cedera karena
hiperekstensi paling umum terjadi pada area cervikal dan kerusakan terjadi akibat kekuatan
akselerasi – deselerasi. Cedera akibat hiperfleksi terjadi akibat regangan atau tarikan yang
berlebihan, kompresi dan perubahan bentuk dari medula spinalis secara tiba – tiba.
Kerusakan medula spinalis terjadi akibat kompresi tulang, herniasi disk, hematoma,
edema, regangan jaringa saraf dan gangguan sirkulasi pada spinal. Adanya perdarahan akibat
trauma dari gray sampai white matter menurunkan perfusi vaskuler dan menurunkan kadar
oksigen dan menyebabkan iskemia pada daerah cedera. Keadaan tersebut lebih lanjut
mengakibatkan edema sel dan jaringan menjadi nekrosis. Sirkulasi dalam white matter akan
kembali menjadi normal kurang lenih 24 jam. Perubahan kimia dan metabolisme yang
terjadi adalah meningkatnya asam laktat dalam jaringan dan menurunnya kadar oksigen
secara cepat 30 menit setelah trauma, meningkatnya konsentrasi norephineprine.
Meningkatnya norephineprine disebabkan karena efek sikemia, ruptur vaskuler atau nekrosis
jaringan saraf.
Trauma medula spinalis dapat menimbulkan renjatan spinal (spinal shock) yaitu terjadi
jika kerusakan secara tranversal sehingga mengakibatkan pemotongan komplit rangsangan.
Pemotongan komplit rangsangan menimbulkan semua fungsi reflektorik pada semua segmen
di bawah garis kerusakan akan hilang. Fase renjatan ini berlangsung beberpa minggu sampai
beberapa bulan (3 – 6 minggu).
INGAT!!! Setiap cedera tulang belakang, curiga fraktur cervikal = pasang neck collar +
Long Spine Board (LSB)

PT SMS Indonesia | Smart 83 | P a g


E. JENIS-JENIS TRAUMA SPINAL
1. Flexion injury
Cedera fleksi menyebabkan beban regangan pada
ligamentum posterior, dan selanjutnya dapat
menimbulkan kompresi pada bagian anterior
korpus vertebra dan mengakibatkan wedge fracture
(teardrop fracture). Cedera semacam ini
dikategorikan sebagai cedera yang stabil.
2. Compression injury

Cedera kompresi vertical mengakibatkan


pembebanan pada korpus vertebra dan dapat
menimbulkan burst fracture.

3. Hyperextension injury
Cedera ekstensi biasanya merusak
ligamentum longitudinalis anterior
dan merlimbulkan herniasi diskus.
Biasanya terjadi pada daerah leher.
Selama kolum vertebra dalam
posisi fleksi, maka cedera ini
masih tergolong stabil.
4. Flexion-rotation injury
Beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera
pada ligamentum posterior dan kadang juga
prosesus artikularis,selanjutnya akan
mengakibatkan terjadinya dislokasi fraktur
rotasional yang dihubungkan dengan slice fracture
korpus vertebra. Cedera ini merupakan cedera
yang paling tidak stabil.

F. TANDA DAN GEJALA


a. Tergantung tingkat dan lokasi kerusakan
Tanda dan gejala cedera medula spinalis tergantung dari tingkat kerusakan dan
lokasi kerusakan. Dibawah garis kerusakan terjadi misalnya hilangnya gerakan volunter,
hilangnya sensasi nyeri, temperature, tekanan dan proprioseption, hilangnya fungsi bowel
dan bladder dan hilangnya fungsi spinal dan refleks autonom.

PT SMS Indonesia | Smart 84 | P a g e


b. Perubahan refleks
Setelah terjadi cedera medula spinalis terjadi edema medula spinalis sehingga
stimulus refleks juga terganggu misalnya rfeleks pada blader, refleks ejakulasi dan
aktivitas viseral.
c. Spasme otot
Gangguan spame otot terutama terjadi pada trauma komplit transversal, dimana
pasien trejadi ketidakmampuan melakukan pergerakan.
d. Spinal shock
Tanda dan gejala spinal shock meliputi flacid paralisis di bawah garis kerusakan,
hilangnya sensasi, hilangnya refleks – refleks spinal, hilangnya tonus vasomotor yang
mengakibatkan tidak stabilnya tekanan darah, tidak adanya keringat di bawah garis
kerusakan dan inkontinensia urine dan retensi feses.
e. Autonomik dysrefleksia
Terjadi pada cedera T6 keatas, dimana pasien mengalami gangguan refleks
autonom seperti terjadinya bradikardia, hipertensi paroksismal, distensi bladder.
f. Gangguan fungsi seksual.
Banyak kasus memperlihatkan pada laki – laki adanya impotensi, menurunnya
sensai dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat ereksi tetapi tidak dapat ejakulasi.
Tanda dan gejala yang menjadi indikasi pengelolaan trauma spinal:
Nyeri leher atau punggung
Nyeri gerak leher atau punggung
Nyeri tekan leher posterior atau midline punggung
Deformitas kolumna spinalis
Paralisis, paresis, baal atau kesemutan pada ekstremitas pasca kejadian
Tanda dan gejala syok neurogenik
Penurunan fungsi pernafasan
Priapismus
G. PENATALAKSANAAN
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pad a usaha
mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder. Untuk maksud
tersebut dilakukan immobilisasi ditempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras.
Pengangkatan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau sarana apapun
yang beralas keras. Selalu harus diperhatikan jalan nafas pernapasan dan sirkulasi. Bila
dicurigai cedera di daerah servikal harus diusahakan agar kepala tidak menunduk dan
tetap ditengah dengan menggunakan penyanggah leher yaitu neck collar untuk
menyangga Ieher pada saat pengangkatan.
Primary Survey: Airway, Breathing, Circulation, Disablitiy, Exposure, Foley Catheter,
Gastric tube, Heart monitor.
Secondary Survey: Anamnesis dan mekanisme trauma, riwayat medis, identifikasi dan
mencatat obat yang diberikan kepada penderita sewaktu datang dan selama pemeriksaan
dan penatalaksanaa. Penilaian ulang tingkat kesadaran dan pupil, penilaian ulang GCS,
penilaian tulang belakang (palpasi, nyeri, paralisis, parastesia, sensasi, fungsi motorik,
reflekstendon dalam, pencatatan dan pemeriksaan ulang), evaluasi ulang akan adanya
cedera penyerta/ cedera yang tersembunyi. Lakukan log roll untuk evaluasi bagian
belakang serta Gunakan Long Spine Board (LSB) untuk immobilisasi dan transportasi
H. KOMPLIKASI
1. Neurogenic shock
2. Hipoksia
3. Gangguan paru – paru
4. Instabilitas spinal
5. Orthostatic hipotensi
6. Ileus paralitik
7. ISK (Infeksi Saluran Kemih)
8. Batu saluran kemih
9. Kontraktur
10. Dekubitus
11. Inkontinensia blader
12. Konstipasi

PT SMS Indonesia | Smart 85 | P a g


TRAUMA THORAX
A. LATAR BELAKANG
Trauma thoraks merupakan luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang
dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang
disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat
thorax akut. Trauma thoraks diklasifikasikan dengan tumpul dan tembus. Trauma tumpul
merupakan luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang disebabkan oleh benda
tumpul yang sulit diidentifikasi keluasan kerusakannya karena gejala – gejala umum dan
rancu.
Trauma dada menyebabkan hampir 25% dari semua kematian yang berhubungan
dengan trauma di amerika serikat setelah masalah airways dan berkaitan dengan 50%
kematian yang berhubungan denganmultiple trauma.Pertolongan pertama padapenderita
dengan trauma thorax ini dapat di atasi dengantindakan yang sederhana oleh dokter di
Rumah Sakit atauparamedis di lapangan, sehingga kemungkingan hidup penderita lebih
besar.

B. PENGERTIAN
Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis akibat
gangguan emosional yang hebat.
Trauma dada adalah abnormalitas rangka dada yang disebabkan oleh benturan
pada dinding dada yang mengenai tulang rangka dada, pleura paru – paru, diafragma
ataupun isi mediastinal baik oleh benda tajam maupun tumpul yang dapat menyebabkan
gangguan sistem pernapasan.
Trauma thoraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang
disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat
thorax akut. Trauma thoraks diklasifikasikan dengan tumpul dan tembus. Trauma tumpul
merupakan luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang disebabkan oleh benda
tumpul yang sulit diidentifikasi keluasan kerusakannya karena gejala – gejala umum dan
rancu.
Kesimpulan : Dari ketiga pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
Trauma dada/thorax merupakan suatu kondisi dimana terjadinya benturan baik tumpul
maupun tajam pada dada atau dinding thorax, yang menyebabkan abnormalitas (bentuk)
pada rangka thorax. Perubahan bentuk pada thorax akibat trauma dapat menyebabkan
gangguan fungsi atau cedera pada organ bagian dalam rongga thorax seperti jantung dan
paru – paru, sehingga dapat terjadi beberapa kondisi patologis traumatik seperti
haematothorax, pneumothorax, tamponade jantung, dan sebagainya.

C. ANATOMI
Penilaian yang tepat, cepat
dan akurat sangat menentukan
tingkat keberhasilan penolong.
Keterlambatan dalam
identivikasi masalah pada trauma
thorax akan menyebabkan
keadaan hipoxia (kekukranfan
oksigen), hiperkarbia
(peningkatan kadar CO2 darah),
dan asidosis (akumulasi asam
dan penurunan PH darah).
1. Dinding dada
Thoraks adalah
silinder berongga dengan Gambar anatomi thorax
12 pasang iga, Dinding dada merupakan bungkus untuk organ di dalamnya, yang
terbesar adalah jantung dan paru-paru. Bagian bawah tiap iga dilalui sebuah arteri,
vena dan saraf. Otot interkostal menghubungkan antar iga. Otot ini dan diafragma
merupakan otot pernafasan yang utama.

PT SMS Indonesia | Smart 86 | P a g e


2. Pleura dan paru
Pleura merupakan membran tipis yang
Cavum Pleura terdiri dari dua lapisan yang terpisah. Pleura
parietal melapisi sisi dalam rongga thoraks
dan pleura viseral melapisi permukaan luar
tiap paru.Terdapat sedikit cairan diantara
kedua permukaan pleura tersebut selanjutnya
keluar kembali. Respires: adalah proses
biologis pertukaran oksigen dan karbondioksida
di antara udara luar dan sel-sel tubuh.
Respirasi meliputi ventilasi, setiap individu
Gambar paru memerlukan kedua proses tersebut untuk tetap
hidup. Saat inspirasi, diafragma dan otot
interkostal berkontraksi sehingga diafragma bergerak ke bawah, dada
mengembang dan terangakat. Gerakan ini meningkatkan volume rongga toraks.
Sebaliknya tekanan intra toraks akan turun (volume dan tekanan berbanding
terbalik) hingga mencapai tekanan yang lebih rendah daripada tekanan udara
luar tubuh. Hal ini akan menyebabkan udara mengalir masuk ke dalam tubuh
melalui jalan napas.
Pada dasarnya proses pernafasan bertujuan untuk memasukkan oksigen ke dalam
tubuh, yang kemudian akan berdifusi dalam darah. Gangguan pernafasan akan
mengakibatkan gangguan oksigenasi (kadar 0 2 rendah) yang dikenal sebagai hipoksia.
Apabila gangguan pernafasan disertai dengan penimbunan C0 2 dalam darah, maka akan
timbul juga keadaan hiperkarbia.
Trauma thorax dapat diakibatkan luka tumpul
atau luka tembus. Luka tembus meliputi luka tembak,
tertusuk dan atau terjatuh pada benda yang tajam,
pada luka tumpul harus dicurigai adanya
peneumothorax, tanponade jantung, flailt chest,
kontusio paru ataupun ruptur aorta. Gambar trauma thorax
Bila ada hubungan antara udara luar dengan
ronggapleura, misalnya karena luka tusuk, maka tekanan positif akan memasuki rongga
pleura, sehingga terjadi open pneumo-thorox. Tentu saja paru (bersama pleura viseralis)
akan kuncup (collaps). Sedangkan bila karena suatu sebab, permukaan pleura pariltalis
robek, dan ada hubungan antara bronchus dengan rongga pleura, sedangkan pleura
viserolis tetap utuh, maka udara akan masuk rongga pleuro sehingga dapat terjadi
pneumothorax. Dan pada kasus trauma tertutup seperti pada trauma tumpul ini disebut
closed pneumo-thorax (simple pneumothorox). Apabila ada suatu mekanisme "ventielasi"
sehingga udara dari bronchus masuk rongga pleura, tetapi tidak dapat keluar kembali,
maka akan terjadi peumothorax yang semakin berat yang pada akhirnya akan mendorong
paru sebelahnya. Keadaan ini dikenal sebagai "tension pneumothorox." Bila terdapat
perdarahan dalam rongga pleuro, maka keadaan ini dikenal sebagai hemathorax.
trauma thorax tersebut dapat menyebabkan kematian segera (immediate deatg) atau
dalam hitungan jam (early death), karena pada trauma thorax masalah yang mungkin
timbul pada airway, breathing dan circulation seperti pada kasus trauma thorax yang
disertai trauma laring, dapat menyebabkan obstruksi saluran napas sehingga dapat
mengancam nyawa jika tidak dilakukan pemeriksaan yang cepat dan tepat.Untuk
mengetahui tanda tersebut, harus dilakukan pemeriksaan dengan cara sebagai berikut:
1. Inspeksi
Inspeksi leher dan dinding dada dapat menemukan, deviasi trakhea, distensi
vena, memar, luka dada terbuka dan pergerakan dinding dada.
2. Auskultasi
Paru-paru harus dilakukan pemeriksaan auskultasi untuk mencari ada tidaknya
suara nafas. Suara normal paru-paru adalah vesikuler normal. Auskultasi

PT SMS Indonesia | Smart 85 | P a g


dilakukan pada 4 tempat yakni dibawah kedua klavikula, (pada garis mid-
klavikularis), dan pada kedua mid-aksila anterior. Bunyi nafas harus sama antara kiri
dan kanan.
3. Perkusi
Dengan mengetuk-kan jari tengah terhadap jari tengah yang lain yang diletakkan
mendatar di atas dada. Pada daerah paru berbunyi sonor, pada daerah jantung berbunyi
redup (dull), sedangkan di atas lambung (dan usus) berbunyi timpani. Pada keadaan
pneumothorox akan berbunyi hipersonor, berbeda dengan bagian paru yang lain. Pada
keadaan hemothorax, akan berbunyi redup (dull).
4. Palpasi
Palpasi pada leher dan thoraks dilakukan untuk , menemukan nyeri tekan,
krepitasi tulang dan emfisema subkutis

D. GEJALA UMUM
Gejala umum yang menyertai trauma thoraks diantaranya:
1. Sesak napas (dispnea)
2. Napas paradoksal (terdapat bagian dari dinding dada yang tidak bergerak atau
bergerak berlawanan arah dengan dinding dada yang lain)
3. Napas cepat dan dangkal (takipnea)
4. Kesulitas bernapas dan pengembangan dada tidak simetris
5. Retraksi dinding dada
6. nyeri dada
7. krepitasi dan memar
8. batuk berdarah
9. saturasi oksigen rendah

E. KLASIFIKASI
Berikut macam-macam Trauma thoraks, yaitu :
1. Open pneumothorax
Timbul karena trauma
tajam, ada hubungan dengan
rongga pleura sehingga paru
menjadi kuncup. Seringkali
terlihat sebagai luka pada
dinding dada yang menghisap
pada setiap inspirasi (sucking
chest wound). Apabila lubang
ini lebih besar dari pada 2/3
diameter trachea, maka pada
inspirasi udara lebih mudah
melewati lubang dada
dibandingkan melewati mulut
sehingga terjadi sesak nafas Gambar open pneumothorax
yang hebat. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan
hiperkapnia.
Tanda dan gejala:Gejala pada pneumotoraks terbuka (open pneumothorax)
adalah nyeripadalokasi yang cidera, napaspendek,danterlihatadabubble
(gelembungudara bercampur darah) danterdapat "sucking
chestwound"(hisapanbasahsaatudarabergerak keluarmasukrongga pleura melalui
defek padadinding dada)

PT SMS Indonesia | Smart 86 | P a g


Penanganan Pada pneumothoraks terbuka,
dilakukan pengelolaan dengan menutup lubang
pada dinding dada yang dilanjutkan dengan
ventilasi tekanan positif. Penutupan luka
dilakukan dengan memakai oklusive
dressing (kedap udara) di plester 3 sisi.
diplestertiga sisi agar terjadi efek dekompresi
spontan dan mencegah timbulnya tension
pneumothoraks. Sebagaimana penderita
trauma lainnya, prioritas pertama
Gambar Oklusive Dressing pertolongan adalah bantuan ventilasi,
oksigen konsentrasi tinggi dan koreksi hipovolemia.
Oklusif dressing sementara yang dapat digunakan adalah Plastic Wrap alau
Petroleum Gauze. Apabila dilakukan cara ini maka harus sering dilakukan evaluasi
paru. Pada luka yang sangat besar, maka dapat dipakai plastik infus yang digunting
sesuai ukuran.
2. Tension pneumothoraks
Adanya udara didalam cavum
pleura mengakibatkan tension
pneumothorak. Apabila ada
mekanisme ventilasi karena lubang
pada paru maka udara akan
semakin banyak pada sisi rongga
pleura, sehingga mengakibatkan:
 Paru sebelahnya akan
tertekan dan
mengakibatkan sesak yang
berat
 Mediastinum akan
terdorong dengan akibat
Gambar tension pneumothorax
timbul syok
 Pada perkusi terdengar hipersonor pada daerah yang cedera, sedangkan Pada
auskultasi bunyi vesikuler menurun.
 Penurunan cardiac output yang biasa dikelompokan ke dalam syok
obstruktif.
Penyebab tersering dari tension pneumothorox adalah komplikasi penggunaan
ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita yang
ada kerusakan pada pleura viseral.Tension pneumothorox juga dapat timbul akibat
cidera toraks, misalnya cidera tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran.
Tanda dan gejala: Tanda dan gejala yang biasanya ditemukan pada tension
pneumothoraks adalah terjadinya peningkatan frekuensi pernafasan, nyeri dada,
terdapat jejas di daerah thorax, ekspansi dada tidak simetris, JVP meningkat,
takikardi, hipotensi terdapat deviasi trakhea ke arah yang sehat dan sianosis. Pada
saat auskultasi, suara nafas tidak terdengar pada sisi yang sakit, dan saat perkusi
terdengar hipersonor ada sisi yang sakit.
Penanganan tension pneumothoraks meliputi pengurangan tekanan rongga
pleura dengan cara NeedleThorakosintesis/needle dekompresi. Tentukan garis
axila anterior, jarum besar ditusukan pada intercosta 4 atau 5. Sesaat setelah insersi,
udara akan mendadak keluar dan tekanan dada akan berkurang. Katup satu arah
dapat dipasangkan pada kateter jarum untuk mencegah masuknya udara atau
Katup dapat dibuat dengan mudah dan sederhana dengan menggunakan
potongan jari sarung tangan steril, lalu lubangi pada ujungnya.

PT SMS Indonesia | Smart 87 | P a g e


3. Hematothorakmasife
Pada keadaan ini
terjadi perdarahan hebat
dalam rongga dada.
Ruang pleura dewasa tiap
sisinya dapat
menampung 2.500 -
3.000 cc darah yang
berasala dari pembuluh
darah interkostal, paru-
paru atau pembuluh
darahnya. Hemotoraks
dapat menimbulkan Gambar hemathorax

PT SMS Indonesia | Smart 88 | P a g


hipovolemia yang merupakan keadaan kritis (syok).
Tanda gejala yang biasanya muncul adalah:
Gejala Gejala yang dapat dinilai adalah Ekspansi dada tidak simetris, napas
pendek, takipneasuara napas menghilang (menjauh) pada sisi yang sakit perkusi
redup (dullness) pada sisi yang sakit terdapat tanda klinis syok.
Penanganan hemotoraks adalah koreksimasalah ventilasi dan sirkulasi.
Oksigen konsentrasi tinggi serta pemberian cairan elektrolit prosedur penderita
syok dan segerakolaborasikan ke dokter untuk persiapan pembedahan atau
pemasangan chest tube untuk mengeluarkan adarah pada pleura.
4. Flail Chest
Terjadinya flail chest dikarenakan
fraktur iga multiple pada dua atau lebih
tulang dengan dua atau lebih garis fraktur.
Adanya segmen flail chest (segmen
mengambang) menyebabkan gangguan
pada pergerakan dinding dada. Pada
ekspirasi segmen akan menonjol keluar,
pada inspirasi justru masuk kedalam yang Gambar flail chest
dikenal dengan pernafasan paradoksal.
Kelainan ini akan mengganggu ventilasi, namun yang lebih diwaspadai adalah
adanya kontusio paru yang terjadi. Sesak berat yang mungkin terjadi harus dibantu
dengan oksigenasi dan mungkin diperlukan ventilasi tambahan.
Tanda & Gejala: Gerakan ujung-ujung tulang iga yang patah akan
menimbulkan nyeri yang menyebabkan penderita mengurangi gerakan untuk
bernafas sehingga udara tidak masuk secara adekuat ke paru-paru. Saat ekspirasi
diafragma bergerak ke atas, sela iga menyempit dan tekanan intratoraks
meningkat segmen flail akan bergerak ke luar dan bukanya ke dalam. Gerak seperti
ini disebut gerakan paradoksal. Akibat gerakan paradoks dinding dada adalah
berkurangnya ventilasi yang keadaan ini bisa menyebabkan hipoksia dan
hiperkarbia. Penekanan pada paru-paru akan menyebabkan robekan jaringan dan
menimbulkan kontusio paru. Tanda dan gejala flail chest:
 Gerakandinding dada paradoksal terlihat
 Hipoksernia berhubungan dengan kontusio paru.
 Peningkatan usahabernapas.

PT SMS Indonesia | Smart 89 | P a g e


 Terhalangnya ekspansi atau pengembangan rangka torakskarenanyeri.
 Timbulnya kontusio paru padadaerah dibawah segmen.
Penanganan Untuk mengatasirespiratorydistress adalah dengan tindakan
oksigenisasi adekuat dan relaksasi atau mengurangi rasa nyeri atau kolaborasi
dengan dokterdalam pemberian analgesik kuat.,Tindakan ini akan mengurangi
gerakan segmen dan nyeri kemudian berikan bantuan ventilasi tekanan positif
dengan Bag Valve Mask.Dan dilakukan airway definitif jika oksigen yang diberikan
tidak adekuat.
5. Tamponade jantung
Luka tembus/ tusuk jantung adalah penyebab kematian utama pada daerah
perkotaan.Tamponade jarang terjadi akibat trauma tumpul.
Tanda gejala yang sering muncul pada tamponade jantung adalah TRIAS
BECK,yaitu:
Distensi venajugularis
Auskultasi: bunyijantung redup danjauh
Adanya tanda-tanda syok
gelisah
pada tamponade jantung, walaupun penderita datang tidak dalam keadaan sesak
namun dalam keadaan syok (syok non hemoragik). Terjadi paling sering karena luka
tajam jantung, ataupun trauma tumpul juga dapat menyebabkannya, Karena darah
terkumpul dalam rongga perkardium, maka kontraksi jantung terganggu sehingga
timbul syok yang berat (syok kardiogenik). Biasanya ada pelebaran pembuluh darah
vena leher, disertai bunyi jantung yang jauh dan nadi yang kecil.
Penanganan Tindakan pertolongan korban dengan tamponade perikard yaitu
perikardiosintesis yang dilakukan oleh dokter.
6. Trauma thoraks lainnya seperti fraktur costa, faktur sternum, kontusio paru, dan
pneumotoraks sederhana lainnya, yaitu ruptur aorta, ruptur diafragma, perforasi
esofagus dsb. Trauma tersebut sering kali Tidak mungkin dapat dikenali pada
fasepra-Rs, karena memerlukan pemeriksaan lanjutan dapat dikenali melalui
pemeriksaan radiologi (USG, x-Ray, CT-Scan, dll).

PT SMS Indonesia | Smart 90 | P a g


TRAUMA ABDOMEN
A. PENDAHULUAN
Salah satu kasus gawat darurat yang memerlukan tindakan segera dimana pasien
berada dalam ancaman kematian karena adanya gangguan hemodinamik adalah trauma
abdomen di mana secara anatomi organ – organ yang berada di rongga abdomen adalah
organ-organ pencernaan. Selain trauma abdomen kasus – kasus kegawatdaruratan pada
system pencernaan salah satunya perdarahan saluran cerna baik saluran cerna bagian atas
ataupun saluran cerna bagian bawah bila hal ini dibiarkan tentu akan berakibat fatal bagi
korban atau pasien bahkan bisa menimbulkan kematian.
Oleh karena itu, kita perlu memahami penanganan kegawatdaruratan pada system
pencernaan secara cepat, cermat dan tepat sehingga hal – hal tersebut dapat kita hindari.
Insiden trauma abdomen meningkat dari tahun ke tahun. Mortalitas biasanya lebih tinggi
pada trauma tumpul abdomen dari pada trauma tusuk. Walaupun tehnik diagnostik baru
sudah banyak dipakai, misalnya Computed Tomografi, namun trauma tumpul abdomen
masih merupakan tantangan bagi ahli klinik. Diagnosa dini diperlukan untuk pengelolaan
secara optimal.
Evaluasi awal sangat bermanfaat tetapi terkadang cukup sulit karena adanya jejas yang
tidak jelas pada area lain yang terkait. Jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma
tumpul atau trauma tajam. Pada trauma tumpul dengan velisitas rendah (misalnya akibat
tinju) biasanya menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul velositas
tinggi sering menimbulkan kerusakan organ multipel.
Perforasi adalah kemungkinan yang bisa terjadi pada trauma abdomen. Gejala
perangsangan peritonium yang terjadi dapat disebabkan oleh zat kimia atau mikroorganisme.
Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya lambung, maka terjadi perangsangan oleh zat
kimia segera sesudah trauma dan timbul gejala peritonitis hebat. Bila perforasi terjadi di
bagian bawah seperti kolon, mula-mula timbul gejala karena mikroorganisme membutuhkan
waktu untuk berkembang biak. Baru setelah 24 jam timbul gejala – gejala akut abdomen
karena perangsangan peritoneum. Mengingat kolon tempat bakteri dan hasil akhirnya adalah
feses, maka jika kolon terluka dan mengalami perforasi perlu segera dilakukan pembedahan.
Jika tidak segera dilakukan pembedahan, peritonium akan terkontaminasi oleh bakteri dan
faeses. Hal ini dapat menimbulkan peritonitis yang berakibat lebih berat.
Istilah trauma abdomen atau gawat abdomen menggambarkan keadaan klinik akibat
kegawatan dirongga abdomen yang biasanya timbul mendadak dengan nyeri sebagian
keluhan utama. Keadaan ini memerlukan penanggulangan segera yang sering beru tindakan
beda, misalnya pada obstruksi, perforasi atau perdarahan, infeksi, obstruksi atau strangulasi
jalan cerna dapat menyebabkan perforasi yang mengakibatkan kontaminasi rongga perut
oleh isi saluran cerna sehingga terjadilah peritonitis.
Keputusan untuk melakukan tindakan beda harus segara diambil karena setiap
kelambatan akan menyebabkan penyulit yang berakibat meningkatkan morbiditas dan
mortalitas ketepatan diagnosis dan penanggulangannya tergantung dari kemampuan
melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Penegtahuan mengenai anatomi dan faal abdomen beserta isinya sangat menentukan dalam
menyingkirkan satu demi satu sekian banyak kemungkinan penyebab trauma abdomen.
Trauma abdomen akan ditemukan pada 25% penderita multi –
trauma, gejala dan tanda yang ditimbulkannya kadang-kadang
lambat sehingga memerlukan tingkat kewaspadaan yang tinggi
untuk dapat menetapkan diagnosis.
Pada fase pra-RS keterlambatan diagnostik cedera
abdomen tidak terlalu penting, namun selalu harus diwaspadai
adanya syok karena haemoragic yang menyertai cedera
abdomen. Adanya trauma abdomen yang tidak terdeteksi tetap
menjadi salah satu penyebab kematian yang sebenarnya dapat
dicegah, selain trauma spinal. Sebaiknya jangan menganggap Gambar trauma abdomen
bahwa ruptur organ berongga maupaun perdarahan dari organ
padat merupakan hal yang mudah untuk dikenali. Seringkali pemeriksaan kita dipengaruhi
oleh penggunaan obat-obat tertentu atau adanya trauma otak yang menyertai.

PT SMS Indonesia | Smart 91 | P a g e


B. PENGERTIAN
Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan
tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja.
Trauma perut merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan atau tanpa
tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/ penatalaksanaan lebih bersifat
kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi.
Trauma tumpul abdomen adalah pukulan/ benturan langsung pada rongga abdomen
yang mengakibatkan cidera tekanan/ tindasan pada isi rongga abdomen, terutama organ
padat (hati, pancreas, ginjal, limpa) atau berongga (lambung, usus halus, usus besar,
pembuluh–pembuluh darah abdominal) dan mengakibatkan ruptur abdomen.

C. ANATOMI
Abdomen berisirongga-rongga
pencernaan, endokrin dansistem
urogenital sertapembuluh-pembuluh
darah besar. Rongga abdomen terletak
dibawah diafragma, dibatasi oleh
dinding abdomen anterior, tulang
pelvis, kolumna vertebra danoto
abdomen. Rongga inidibagi menjadi
dua,yaitu:
1. Ronggaperitoneal(ronggaabdome
n sebenarnya):
berisiususbesardanhalus,limpa,he
par,lambung, kandungempedu
danorgan reproduksi wanita.
2. Ruangretropenneal Gambar anatomi abdomen
(ruangpotensial dibelakang rongga peritoneal): berisiginjal, ureter, kandung
kemih,organreproduksi, venacava inferior, aorta abdomen, pankreas, sebagian
duodenum, kolon danrektum.
Bagian atas (krarual) abdomen terllndungi oleh iga di bagian depan dan oleh
kolumna vertebra. Daerah ini berisi hepar, lirnpa, lambung dan diafragma. Organ-organ
ini juga dapat cidera akibat fraktur iga atau sternal. Organ yang paling sering terjadi
cidera adalah han dan limpa.
Hepar dan limpa merupakan organ padat tidak mempunyai lumen, dan trauma pada
kedua organ ini akan menimbulkan kedalam yang akan terkumpul dalam rongga
peritoneum. Keadaan ini dikenal sebagai hemoperitoneum, dekatnya perdarahan di dalam
hepar atau limpa (intra hepatik) robekan usus juga dapat menimbulkan perdarahan intra-
peritoneal. Gaster, usus halus dan usus besar mempunyai lumen. Dengan demikian bila
terjadi perforasi, isinya akan tumpah dalam rongga peritoneum dan menimbulkan
peritonitis.
Bagian bawah (kaudal) abdomen terlindungi oleh pelvis. Daerah ini berisi
rectum dan usus, kandung kemih dan ureter, serta organ reproduksi wanita. Perdarahan
ekstra peritoneal
akibat fraktur pelvis
merupakan masalah
berat .
Untuk
mempermudah
pemahaman
fisiologis organ-
organ abdomen
terbagi menjadi
organ berongga,
solid dan vaskular.
Jika terjadi cidera
maka organ Gambar kuadran abdomen
vaskular dan solid akan berdarah, sedangkan untuk organ berongga akan

PT SMS Indonesia | Smart 92 | P a g


menumpahkan kandungannya ke dalam rongga peritoneal atau ekstraperitoneal.
Tumpahan ini mengakibatkan perdarahan intraabdomen, peritonitis (peradangan
intraperitoneum) dan sepsis (infeksi luas Pertolongan fase pra rumah sakit rneliputi
pengelolaan syok dan kontrol perdarahan.
Abdomen terbagi menjadi empat kuadran. Kuadran ini dibentuk oleh dua garis.
Gans pertama adalah garis sumbu tubuh (midline), dan ujung procesus xipoideus
sampai simfisis pelvis. Garis kedua tegak lurus pada garis pertama setinggi umbilikus.

D. PATOFISIOLOGI
Bila suatu kekuatan eksternal dibenturkan pada tubuh manusia (akibat kecelakaan lalu
lintas, penganiayaan, kecelakaan olahraga dan terjatuh dari ketinggian), maka beratnya
trauma merupakan hasil dari interaksi antara faktor – faktor fisik dari kekuatan tersebut
dengan jaringan tubuh. Berat trauma yang terjadi berhubungan dengan kemampuan obyek
statis (yang ditubruk) untuk menahan tubuh. Pada tempat benturan karena terjadinya
perbedaan pergerakan dari jaringan tubuh yang akan menimbulkan disrupsi jaringan. Hal ini
juga karakteristik dari permukaan yang menghentikan tubuh juga penting.
Trauma juga tergantung pada elastisitas dan viskositas dari jaringan tubuh. Elastisitas
adalah kemampuan jaringan untuk kembali pada keadaan yang sebelumnya. Viskositas
adalah kemampuan jaringan untuk menjaga bentuk aslinya walaupun ada benturan. Toleransi
tubuh menahan benturan tergantung pada kedua keadaan tersebut. Beratnya trauma yang
terjadi tergantung kepada seberapa jauh gaya yang ada akan dapat melewati ketahanan
jaringan. Komponen lain yang harus dipertimbangkan dalam beratnya trauma adalah posisi
tubuh relatif terhadap permukaan benturan. Hal tersebut dapat terjadi cidera organ intra
abdominal yang disebabkan beberapa mekanisme:
1) Meningkatnya tekanan intra abdominal yang mendadak dan hebat oleh gaya tekan dari
luar seperti benturan setir atau sabuk pengaman yang letaknya tidak benar dapat
mengakibatkan terjadinya ruptur dari organ padat maupun organ berongga.
2) Terjepitnya organ intra abdominal antara dinding abdomen anterior dan vertebrae atau
struktur tulang dinding thoraks.
3) Terjadi gaya akselerasi – deselerasi secara mendadak dapat menyebabkan gaya robek
pada organ dan pedikel vaskuler.

E. TANDA DAN GEJALA TRAUMA ABDOMEN


Pada trauma tajam abdomen seharusnya kita mampumendeteksi cedera yang potensial
pada organ-organ intraabdomen.Biasanya cedera yang potensial ini mudahdideteksi dari
lokasi luka yang ada pada dinding abdomen.Namum demikian kita harus hati-hati bila lokasi
luka padadaerah thoroco abdominol.Pada pemeriksaan sekunder kita harus memeriksa secara
teliti kemungkinan adanya luka-luka yang lain, tanda-tandaadanya trauma tumpul selain
adanya trauma tajam, dankhusus pada luka tembak harus ditentukan atau dicari lukamasuk
dan luka keluar.
Bila ditemukan tanda-tanda iritasi peritonial biasanya ini menunjukan ada cedera pada
organ intra peritonial. Pemeriksaan colok dubur sangat penting pada trauma tajam abdomen,
dan bila ditemukan adanya darah pada sarung tangan berarti ada cedera pada usus. Bila pada
pemeriksaan tidak ditemukan gejala klinis yang positif kita harus hati-hati dan tetap
waspada. Atau team harus melakukan resusitasi dan stabilisasi secepat mungkin. Ada
beberapa indikasi untuk melakukan pemeriksaan secara teliti pada kasus yang kita curigai
adanya trauma tumpul abdomen antara lain:
a. Perdarahan yang tidak diketahui
b. Riwayat syok
c. Adanya trauma dada mayor
d. Adanya fraktur pelvis
e. Penderita dengan penurunan kesadaran
f. Adanya hematuri
g. Pada pemeriksaan fisik ditemukan jejas di abdomen (luka lecet, kontusio, dan perut
distensi)
h. Mekanisme trauma yang besar
PT SMS Indonesia | Smart 93 | P a g e
Pemeriksaan fisik abdomen harus dilakukan dengan teliti dan sistematis dengan cara,
sebagai berikut:
1. Inspeksi
Semua pakaian harus dilepas. Abdomen bagian depan dan belakang diteliti apakah
mengalami ekskoriasi atau memar, adakah laserasi, tusukan dan sebagainya dengan cara
log roll.
2. Auskultasi
Lakukan auskultasi untuk mendengarkan bising usus terdengar atau tidak. Darah intra
peritoneum yang bebas dapat menyebabkan hilangnya bunyi usus.
3. Perkusi
Dengan perkusi bisa kita ketahui adanya nada timpani karena dilatasi lambung akut di
kwadran kiri atas ataupun adanya perkusi redup bila ada hemoperitoneum. Perkusi
mengakibatkan pergerakan peritonuim dan mencetuskan tanda peritonitis. Shifting
dullness (adanya darah dalam abdomen) terjadi kalau pasien dimiringkan.
4. Palpasi
Tujuan palpasi adalah untuk mendapatkan adanya nyeri lepas yang kadang-kadang
dalam. Dengan palpasi juga kita dapat menentukan besarnya uterus dan usiake
hamilan.Dengan pemeriksaan fisik, diagnostik trauma abdomen masih sangat sulit.
Walaupun dilakukan oleh orang yang berpengalaman derajat akurasi hanya 65% karena
banyak faktor yang mempengaruhi misalnya ; nyeri, penurunan kesadaran, minum
alkohol, trauma kepala, dan cedera lain yang mengacaukan.
Pada hakekatnya gejala dan tanda yang timbul dapat karena 2 hal:
1. Pecahnya organ solid (padat)
Hepar dan lien (limpa) yang pecah akan menyebabkan perdarahan yang dapat bervariasi
dari ringan sampai sangat berat, bahkan kematian.Gejala dan tandanya adalah:
a) Gejala perdarahan secoro umum
Penderita tampak anemis (pucat). Bila perdarahan berat akan timbul gejala dan
tanda syok hemoragik.
b) Gejala adonyo darah intra-peritoneol
Penderita akan merasa nyeri abdomen, yang dapat bervariasi dan ringan sampai
nyeri hebat. Pada auskultasi biasanya bising usus menurun, yang bukan merupakan
tanda yang dapat dipercaya, karena bising usus akan menurun pada banyak keadaan
lain.
Pada pemeriksaan akan teraba bahwa abdomen nyeri tekan, kadang-kadang ada
nyeri lepas dan defans muskular (kekakuan otot) seperti pada peritonitis. Perut yang
semakin membuncit hanya akan ditemukan apabila perdarahan hebat dan penderita
tidak gemuk. Pada perkusi akan dapat ditemukan pekak sisi yang meninggi.
2. Pecahnya organ berlumen
Trauma yang mengenai struktur peritoneal angka mortalitasnya tinggi dan sering
tidak terdiagnosis maupun salah diagnosa. Pecahnya gaster, usus halus atau kolon akan
menimbulkan peritonitis yang dapat timbul cepat sekali atau lebih lambat.
Pada pemeriksaan penderita akan mengeluh nyeri seluruh abdomen, Pada
auskultasi bising usus akan menurun. Pada palpasi akan ditemukan defans muskular,
nyeri tekan dan nyeri lepas. Pada perkusi juga dapat menimbulkan nyeri (nyeri ketok).
Biasanya peritonitis bukan merupakan keadaan yang memerlukan penanganan sangat
segera, (berbeda dengan perdarahan intra-peritoneal) sehingga jarang menjadi masalah
pada fase pra-RS. Apabila trauma tajam, kadang-kadang akan ditemukan bahwa ada
organ intra-abdomen yang menonjol keluar (paling sering omentum, bisa juga usus
halus atau kolon). Keadaan ini dikenal sebagai eviserasi.

PT SMS Indonesia | Smart 94 | P a g


Trauma ginjal akan menyebabkan perdarahan yang tidak masuk rongga peritoneum
(organ retroperitoneal). Perdarahan dari ginjal dapat menyebabkan syok haemoragic.
Gejala lain pada trauma ginjal adalah bahwa kebanyakan penderita ini akan kencing
kemerahan atau kencing darah (hematuria).

F. MEKASNISME CIDERA
Berdasarkan mekanisme terjadinya cidera pada abdomen dapat dikategorikan menjadi:
1. Trauma tumpul
Suatu tabrakan langsung seperti kontak dengan kemudi mobil atau terhimpit pintu
mobil pada waktu kecelakaan, dapat menyebabkan
kompresi dan cidera crushing terhadap organ abdomen dan
pelvis. Tabrakan tersebut dapat menyebabkan ruptur organ
solid dengan perdarah sekunder, kontaminasi isi organ
disertai peritoitis.
Shearing injury adalah suatu bentuk crushing injury
yang dapat disebabkan oleh sabuk pengaman yang tidak
dipasang dengan benar. Kecelakaan lalu lintas atau
Tabrakan kendaraan bermotor juga dapat menyebabkan
deceleration injuries, dimana terdapat perbedaan gerakan
organ yang dpat bergerak dan tidak bisa bergerak contohnya
termasuk laserasi liver dan limfa. Keduanya organ yang
dapat bergerak pada ligamen jaringan pendukung. Gambar Trauma Tumpul
Termasuk luka tikam juga bisa menyebabkan luka-luka serius bahkan mengancam
nyawa, karena organ-organ dan pembuluh darah utama yang terletak jauh didalam
bisa pecah atau robek.
Pada trauma abdomen, organ yang paling sering terkena adalah limfa (40-55%), hati
(35-45%), dan usus halus (5-10%) serta insiden hematom retroperineal (15%).
2. Trauma penetrating
Luka tusuk atau luka tembak pada abdomen
dapat disebabkan tembakan senjata api atau sentaja
tajam yang menimbulkan laserasi dan sayatan pada
jaringan. Pada kasus luka tembak di abdomen
dapat dipengaruhi mengenai arah tembakan, jenis
misil yang digunakan, kecepatan tembak, jarak
tembak dan kemungkinan peluru pecah di
abdomen. Yang sering terjadi pada luka tembak
mengenai usus halus (50%), kolon (40%), liver
(30%) dan struktur pembuluh darah (25%). Gambar Trauma Penetrating
Pada luka tusuk yang melintang dapat mengenai struktur organ abdomen yang
paling sering yaitu liver (40%), usus halus (30%), diafragma (20%) dan kolon (15%).
3. Taruma Ledakan
Ledakan dapat menyebabkan cedera melalui
berbagai cara, termasuk penetrasi fragmen dan trauma
tumpul karena terlempar atau tertabrak atau terkena
benda benda yang terlempar saat terjadi ledakan, serta
bisa terjadi trauma tusuk karena terkena pecahan
material ledakan. Kombinasi meknisme tersebut harus
diperhatikan oleh petugas medis yang menolong.
Gambar Trauma Pasien yang dekat dengan sumber ledakan dapat juga
Ledakan mengalami cidera paru dan organ beronggakarena
daya ledak tinggi dan geajala dapat timbul secara lambat.
Untuk lebih mudah memahami fisiologi abdomen, kita bagi organ-organ abdomen
kedalam kelompok organ berongga, solid dan vaskuler. Jika mengalami cedera organ
vaskuler dan solid akan berdarah sedangkan organ berongga akan menumpahkan
kandungannya ke dalam rongga peritoneal atau ekstraperitoneal. Tumpahan ini
mengakibatkan perdarahan intraabdomen, peritonitis dan sepsis. Pertolongan meliputi
pengelolaan syok dan control perdarahan. Oleh sebab itu, perlu juga dilakukan pengenalan
fraktur pelvis untuk mengantisipasi ruptur uretra kerusakan organ lain seperti rektum, vagina
PT SMS Indonesia | Smart 95 | P a g e
dan lebih khususnya agar mengetahui terjadinya syok. Pengenalan fraktur pelvis kadang
dapat dikenal dengan sebutan Look-feel-move:
1) Penderita mengeluh tungkainya sakit bila digerakan
2) Adanya jejas daerah pelvis
3) Terabanya "gap" (cekungan) pada daerah simfisis pubis (open look)
4) Bila dilakukan tekanan pada tulang pelvis akan teraba krepitasi tulang (tes kompresi).
Lakukan tes kompresi dengan halus, dan hanya boleh satu kali.
Kadang-kadang diagnosis sulit karena penderita kesadarannya menurun, dan tidak
terabanya krepitasi tulang. Dapat pula terjadi bahwa penderita sedemikian dalam syok,
sehingga membingungkan akan sumber perdarahannya (1 dari 5 sumber perdarahan yang
bisa menyebabkan syok, selalu curigai). Bila suspek fraktur pelvis maka dilakukan
pemasangan gurita sekitar pelvis (atau PASG bila ada). Ruptur uretra dicurigai bila keluar
darah dari orifisium uretra eksterna/OUE (lubang kencing), dan atau adanya hematoma di
skrotum / supra-simfisis, dan pada rectal tosue/RT prostat melayang.
Di fase pra-RS tidak dilakukan apa-apa terhadap ruptur uretra. Pada saat mentransport
jangan memasang kateter uretra, karena dengan pemasangan kateter urine akan lebih
mencederai uretra.Pengenalan tanda-tanda perfusi harus dilakukan dengan cara lain, selain
jumlah urin. Bila Pasien ingin kencing, sebaiknya dianjurkan untuk menahan kencing
terlebih dahulu.

G. PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya semua trauma abdomen tumpul dan tajam, penanganan awal tindakan
penyelamatan selalu didahulukan dan mengacu prosedur ABCDE, Di sini penolong atau tim
harus melakukan resusitasi dan stabilisasi secepat mungkin. Namun pada pasien dengan
abnormalitas hemodinamik, diperlukan evaluasi secara cepat atau dapat dilakukan dengan
FAST/DPL. Sebelum melangkah prosedur ABCDE terlebih dahulu proteksi diri, lingkungan
dan pasien.
AB= Airway dan Breathing ini diatasi terlebih dahulu, Selalu ingat bahwa cedera bisa lebih
dari satu area tubuh, dan apapun yang ditemukan, ingat untuk memprioritaskan airway
dan breathing terlebih dahulu. Curiga fraktur servilkal, lakukan fiksasi kepala dan
pasang neck collar dilanjutkan pemasangan log spine board.
C= Kebanyakan trauma abdomen tidak dapat dilakukan tindakan apa-apa pada fase pra-RS,
namun terhadap syok yang menyertainya perlu penanganan yang agresif.Seharusnya
monitoring urine dilakukan dengan pemasangan DC, namun umumnya tidak dilakukan
pada fase pra-RS karena masa transportasi yang pendek.
D= Tidak jarang trauma abdomen disertai dengan trauma kapitis. Selalu periksa tingkat
kesadaran (dengan GCS) dan adanya lateralisasi (pupil anisokor dan motorik yang lebih
lemah satu sisi).
E= Apabila ditemukan usus yang menonjol keluar (eviserasi), cukup dengan menutupnya
dengan kasa steril yang lembab supaya usus tidak kering dan hindari menyentuh secara
langsung atau memasukannya kembali ke dalam. Sedangkan Apabila ada benda
menancap, jangan dicabut, tetapi dilakukan fiksasi benda tersebut terhadap dinding
abdomen, karena jika benda tersebut dicabut bisa menyebabkan perdarahan yang cukup
hebat dan jaringan disekitar akan menjadi rusak lebih parah.Serta hindari pemberian
makan atau minum untuk smentara/pasang NGT untuk mencegah aspirasi.

PT SMS Indonesia | Smart 96 | P a g


TRAUMA MUSKULOSKELETAL
A. ANATOMI
Sistem musculoskeletal terdiri dari tulang, kartilago, tendon, ligament, otot dan cairan
sinovial. Seluruh komponen ini berfungsi sebagai penyokong, pelindung, dan pergerakan.
Tulang berperan sebagai penyokong dan pelindung untuk jaringan halus dan membantu
pergerakan. Tulang diselimuti oleh jaringan yang kaya akan darah dan diselimuti
membran yang disebut dengan periosteum, yang memiliki banyak saraf sensoris. Seperti
jaringan lain, tulang akan berdarah dan sakit ketika cedera. Tulang disatukan melalui
sendi, dan diikat oleh ligamen. Ada sendi yang bisa bergerak banyak, dan ada sendi
memiliki pergerakan minimal. Kartilago memiliki permukaan yang halus dan
memberikan bantalan untuk tulang agar dapat bergerak atau berporos satu sama lain.
Cairan synovial berada di dalam kapsul jaringan ligament untuk melubrikasi permukaan
tulang. Tendon berfungsi untuk menyatukan otot dengan tulang.

B. JENIS-JENIS TRAMA MUSKULOSKELETAL


1. Perdarahan
Perdarahan dilihat dari sumber perdarahan:
Perdarahan arteri
Mengandung oksigen, merah muda,tekanan sesuai dengan pompa jantung.
Perdarahan memancar
Perdarahan Vena
Sedikit oksigen, merahgelap, tekanannya lebih kecil dari tekanan arteri,
dindingnya elastis, bisa mengakibatkan perdarahan hebat. Sifat perdarahan
mengalir seperti keran air.
Perdarahan Kapiler
Sifat perdarahan merembes
Jenis perdarahan ada dua, diantaranya:
1. Perdarahan dalam (internal bleeding), adalah perdarahan yang tidak dapat
dilihat pada bagian luar tubuh. Perdarahan internal lebih sulit untuk
diidentifikasi
2. Perdarahan luar (external bleeding) sangat mudah dikenali, jika kulit rusak oleh
pencabikan, tusukan, atau luka lecet, darah dapat disaksikan ketika mengalir
keluar dari tubuh.
Penanganan perdarahan luar:
Penekanan langsung dengan prinsip 4T (Tutup, Tekan, Tinggikan, dan
Tourniquet (Pada luka amputatum) )
Point pressure/ titik tekan pada nadi-nadi besar
Haemostatik
Imobilisasi alat gerak/ ekstremitas untuk mengurangi rasa nyeri dan mengurangi
perdarahan yang terjadi
Awasi tanda-tanda syok (nadi cepat, gelisah, pernapasan cepat dan akral
dingin)
Evakuasi segera
2. Patah Tulang
Fraktur didefinisikan sebagai rusaknya/terputusnya kontinuitas tulang.
Putusnya tulang dapat disebabkan oleh tindakan yang berulang pada tulang atau
kekuatan yang signifikan pada tulang, atau mungkin akibat dari tekanan yang
berulang tiap hari pada sebuah tulang yang mengalami kelemahan akibat proses
patologis(fraktur patologis). Fraktur dapat diklasifikasikan menjadi fraktur terbuka
dan tertutup. Trauma merupakan faktor utama penyebab fraktur. Mekanisme injury
meliputi kecelakaan lalu lintas, pejalan kaki tertabrak kendaraan, tabrakan motor,
jatuh dan olah raga. Fraktur terbuka memungkinkan pasien menghadapi masalah
kontaminasi luka, infeksi yang menyebabkan kerusakan pada vaskulerisasi tulang.
Injury yang hancur menjadi perhatian khusus karena terdapat kerusakan yang hebat
pada sekitar jaringan lunak. Anak – anak mempunyai resiko fraktur yang sedikit
karena elastisitas dari struktur tulang mereka. Lansia lebih beresiko terhadap fraktur
karena struktur tulang berubah berkaitan dengan proses penuaan dan penyakit

PT SMS Indonesia | Smart 97 | P a g e


metabolik. Tujuan dari pengobatan fraktur adalah untuk memperbaiki kelurusan
tulang dan fungsi serta mengurangi kecacatan.
Pertimbangan Umum
1) Tampak adanya kerusakan pada pemeriksaan radiologi
Transverse
Linear
Oblique non –
displaced Oblique
diplaced
Spiral
Greenstick
Comminuted

2) Kerusakan jaringan lunak


a. Fraktur tertutup (simple
fraktur) tidak menyebabkan kerusak kulit, tidak ada hubungan patah tulang
dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (compound fraktur) diikuti dengan kerusakan kulit/ tulang
menembus jaringan kulit, ada luka terbuka dimana potensial untuk terjadi
infeksi
Tanda dan Gejala Patah Tulang
Nyeri
Pembekakan
Deformitas (perubahan bentuk)
Nyeri tekan
Krepitasi (bunyi derik tulang)
Terlihatnya tulang danjaringan (pada patah tulang terbuka)
Penanganan patah tulang:
a. Pembidaian: benda keras yang ditempatkan di daerah sekeliling tulang.
b. Pemasangan gips : merupakan bahan kuatyang dibungkuskan disekitar tulang
yang patah
c. Penarikan (traksi) :menggunakan beban untuk menahan sebuah anggota gerak
pada tempatnya. Sekarang sudah jarang digunakan, tetapi dulu pernah menjadi
pengobatan utama untuk patah tulang pinggul.
d. Fiksasi internal: dilakukan pembedahan untuk menempatkan piringan atau
batang logam pada pecahan-pecahan tulang. Merupakan pengobatan terbaik
untuk patah tulang pinggul dan patah tulang disertai komplikasi.

PEMBIDAIAN
Bagaimana Melakukan Pembidaian Yang baik atau spalk adalah alat dari kayu,
anyaman kawat atau bahan lain yang kuat tetapi ringan yang digunakan untuk
menahan atau menjaga agar bagian tulang yang patah tidak bergerak (immobilisasi).
(1) Tujuan Pembidaian
Mencegah pergerakan / pergeseran dari ujung tulang yang patah
Mengurangi terjadinya cedera baru disekitar bagian tulang yang patah
Memberi istirahat pada anggota badan yang patah
Mengurangi rasa nyeri
Mempercepat penyembuhan Bagaimana melakukan pembidaian yang baik?
Kasus traumatologi seiring dengan kemajuan jaman akan cenderung semakin
meningkat, sehingga seorang dokter umum dituntut mampu memberikan
pertolongan pertama pada kasus kecelakaan yang menimpa pasien.
(2) Alat alat pokok yang dibutuhkan untuk pembidaian
Bidai atau spalk terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat tetapi
ringan. Pembalut segitiga.
Kasa steril.
(3) Prinsip Pembidaian
Pembidaian menggunakan pendekatan atau prinsip melalui dua sendi, sendi
di sebelah proksimal dan distal fraktur.

PT SMS Indonesia | Smart 98 | P a g


Pakaian yang menutupi anggota gerak yang dicurigai cedera dilepas, periksa
adanya luka terbuka atau tanda-tanda patah dan dislokasi.
Periksa dan catat ada tidaknya gangguan vaskuler dan neurologis (status
vaskuler dan neurologis) pada bagian distal yang mengalami cedera sebelum
dan sesudah pembidaian.
Tutup luka terbuka dengan kassa steril.
Pembidaian dilakukan pada bagian proximal dan distal daerah trauma
(dicurigai patah atau dislokasi).
Jangan memindahkan penderita sebelum dilakukan pembidaian kecuali ada
di tempat bahaya.
Beri bantalan yang lembut pada pemakaian bidai yang kaku.
Periksa hasil pembidaian supaya tidak terlalu longgar ataupun terlalu ketat
sehingga menjamin pemakaian bidai yang baik
Perhatikan respons fisik dan psikis pasien.
(4) Syarat-syarat Pembidaian
Siapkan alat alat selengkapnya.
Sepatu dan seluruh aksesoris korban yang mengikat harus dilepas.
Bidai meliputi dua sendi tulang yang patah, sebelumnya bidai diukur dulu
pada anggota badan kontralateral korban yang sehat.
Ikatan jangan terlalu keras atau terlalu longgar.
Sebelum dipasang, bidai dibalut dengan kain pembalut.
Ikatan harus cukup jumlahnya, dimulai dari sebelah atas dan bawah tulang
yang patah.
Kalau memungkinkan anggota gerak tersebut ditinggikan setelah dibidai.
(5) Prosedur Pembidaian
Persiapkan alat-alat yang dibutuhkan.
Lepas sepatu, jam atau asesoris pasien sebelum memasang bidai.
Pembidaian melalui dua sendi, sebelumnya ukur panjang bidai pada sisi
kontralateral pasien yang tidak mengalami kelainan.
Pastikan bidai tidak terlalu ketat ataupun longgar
Bungkus bidai dengan pembalut sebelum digunakan
Ikat bidai pada pasien dengan pembalut di sebelah proksimal dan distal dari
tulang yang patah
Setelah penggunaan bidai cobalah mengangkat bagian tubuh yang dibidai.
(6) Contoh penggunaan bidai
Fraktur humerus (patah tulang
lengan atas). Pertolongan :
Letakkan lengan bawah di
dada dengan telapak tangan
menghadap ke dalam. Pasang
bidai dari siku sampai ke atas
bahu. Ikat pada daerah di atas
dan di bawah tulang yang
patah. Lengan bawah
digendong. Jika siku juga
patah dan tangan tak dapat
dilipat, pasang spalk ke lengan
bawah dan biarkan tangan
tergantung tidak usah digendong. Bawa korban ke rumah sakit. Gambar
Pemasangan bidai pada fraktur humerus, atas : hanya fraktur humerus, siku
bisa dilipat, bawah : siku tidak bisa dilipat, juga fraktur antebrachii.
Fraktur Antebrachii (patah tulang lengan
bawah). Pertolongan: Letakkan tangan pada
dada pasang bidai dari siku sampai
punggung tangan. Ikat pada daerah di atas
dan di bawah tulang yang patah. Lengan
digendong. Bawa korban ke rumah sakit.
Gambar Pemasangan bidai pada fraktur
antebrachii Gambar Pemasangan sling untuk
PT SMS Indonesia | Smart 99 | P a g e
menggendong lengan yang cedera.
Fraktur clavicula (patah tulang selangka).
Tanda-tanda patah
tulang selangka :
Korban tidak dapat
mengangkat tangan
sampai ke atas bahu.
Nyeri tekan daerah
yang patah.
Pertolongan : Dipasang
ransel verban,bagian
yang patah diberi alas
lebih dahulu, Pembalut dipasang dari pundak kiri disilangkan melalui
punggung ke ketiak kanan. Dari ketiak kanan ke depan dan atas pundak
kanan, dari pundak kanan disilangkan ke ketiak kiri, lalu ke pundak
kanan,akhirnya diberi peniti/ diikat. Bawa korban ke rumah sakit.
Fraktur Femur (patah tulang paha) Pasang 2 bidai dari :
- Ketiak sampai
sedikit melewati
mata kaki.
- Lipat paha sampai
sedikit melewati
mata kaki. Beri
bantalan kapas
atau kain antara
bidai dengan
tungkai yang
patah. Bila perlu
ikat kedua kaki di atas lutut dengan pembalut untuk mengurangi
pergerakan. Bawa korban ke rumah sakit.
Fraktur Cruris (patah tulang tungkai bawah).
Pasang 2 bidai sebelah
dalam dan sebelah luar
tungkai kaki yang
patah. Di antara bidai
dan tungkai beri kapas
atau kain sebagai alas.
Bidai dipasang di
antara mata kaki
sampai beberapa cm di
atas lutut. Bawa korban ke rumah sakit. OBSERVASI SETELAH
TINDAKAN Tanyakan kepada pasien apakah sudah merasa nyaman dengan
bebat dan bidai yang dipasang, apakah nyeri sudah berkurang, apakah terlalu
ketat atau terlalu longgar. Bila pasien masih merasakan bidai terlalu keras,
tambahkan kapas di bawah bidai. Longgarkan bebat jika dirasakan terlalu
kencang. Lakukan re-evaluasi terhadap ekstremitas di sebelah distal segera
setelah memasang bebat dan bidai, meliputi : PMS (Pulsasi, Motorik,
Sensorik).
(7) KOMPLIKASI PEMASANGAN Dalam 1-2 hari pasien kemungkinan akan
merasakan bebatnya menjadi lebih kencang karena berkembangnya oedema
jaringan. Berikan instruksi secara jelas kepada pasien untuk datang kembali ke
dokter bila muncul gejala atau tanda gangguan neurovaskuler atau compartment
syndrome, seperti bertambahnya pembengkakan atau rasa nyeri, kesulitan
menggerakkan jari, dan gangguan fungsi sensorik. REPOSISI FRAKTUR
TERTUTUP DAN DISLOKASI Penatalaksanaan fraktur terdiri dari manipulasi
untuk memperbaiki posisi fragmen dan splintage untuk menahan fragmen
sampai menyatu. Penyembuhan fraktur didukung oleh pemadatan tulang secara
fisiologis, sehingga aktivitas otot dan pemberian beban awal penting untuk

PT SMS Indonesia | Smart 100 | P a


dilakukan. Tujuan ini didukung oleh 3 proses yaitu reduksi, imobilisasi dan
latihan. Dua masalah yang penting yaitu bagaimana mengimobilisasi fraktur
namun tetap memungkinkan pasien menggunakan anggota gerak dengan cukup;
hal ini adalah dua hal yang berlawanan (menahan versus menggerakkan) yang
dinginkan ahli bedah untuk mempercepat kesembuhan (misalnya dengan fiksasi
internal). Akan tetapi, ahli bedah juga ingin menghindari resiko yang tidak
diinginkan; ini adalah konflik kedua ( kecepatan versus keamanan). Faktor yang
paling penting dalam menentukan kecenderungan untuk sembuh secara alami
adalah kondisi jaringan lunak sekitar dan suplai darah lokal. Fraktur energi
rendah ( atau velositas rendah) hanya menyebabkan kerusakan jaringan lunak
yang parah, walaupun fraktur terbuka ataupun tertutup.
(8) Mengklasifikasikan luka tertutup sebagai berikut :
Grade 0 : Fraktur simple dengan sedikit atau tidak ada luka jaringan lunak
Grade 1: Fraktur dengan abrasi superficial atau memar pada jaringan kulit
dan jaringan subkutan.
Grade 2 : Fraktur yang lebih parah dengan tanda kerusakan jaringan lunak
dan ancaman sindrom compartment.
Grade 3 : Luka berat dengan kerusakan jaringan halus yang jelas.
Semakin parah tingkatan luka makan semakin besar kemungkinan
membutuhkan beberapa bentuk fiksasi mekanis; stabilitas tulang yang baik
membantu penyembuhan jaringan lunak. REDUKSI Walaupun penatalaksanaan
umum dan resusitasi harus didahulukan, namun penanganan fraktur diharapkan
tidak terlambat; pembengkakan bagian lunak selama 12 jam pertama menyebabkan
reduksi semakin sulit. Walaupun demikian, terdapat beberapa kondisi di mana
reduksi tidak dibutuhkan yaitu :
- Saat hanya sedikit atau tidak ada dislokasi;
- Saat dislokasi bukan suatu masalah ( contoh: fraktur clavicula) dan
- Saat reduksi tidak mungkin berhasil ( contoh: fraktur kompresi pada vertebra)
Reduksi harus ditujukan untuk fragmen tulang dengan apposisi yang cukup
dan garis fraktur yang normal.
Semakin besar area permukaan kontak antarfragmen semakin besar
kemungkinan terjadinya penyembuhan. Adanya jarak antara ujung fragmen
merupakan penyebab sering union yang terlambat atau nonunion. Di sisi lain,
selama ada kontak dan fragmen segaris (alignment) sedikit overlap pada
permukaan fraktur masih diperbolehkan. Pada fraktur yang meliputi pemukaan
sendi, reduksi harus sedekat mungkin mendekati sempurna karena adanya
irreguleritas akan menyebabkan distribusi muatan yang abnormal antarpermukaan
yang akan berpredispoisisi pada perubahan degenaratif pada kartilago sendi.
Terdapat 2 metode reduksi yaitu tertutup dan terbuka. Reduksi Tertutup Di
bawah anestesi dan relaksasi otot, fraktur direduksi dengan 3 maneuver:
- Bagian distal anggota gerak ditarik pada garis tulang;
- Karena fragment terpisah, maka direduksi dengan melawan arah gaya awal
- Garis fraktur yang lurus diusahakan pada setiap bidang.
Hal ini lebih efektif dilakukan ketika periosteum dan otot pada satu sisi fraktur
tetap utuh karena ikatan jaringan lunak mencegah over-reduction dan
menstabilkan fraktur setelah direduksi. Beberapa fraktur sulit untuk direduksi
dengan manipulasi karena tarikan otot yg terlalu kuat sehingga membutuhkan
traksi yg lama. Traksi tulang atau kulit selama beberapa hari menyebabkan
tegangan jaringan lunak menurun dan memudahkan tejadinya alingment yg lebih
baik; sebagai contoh hal dapat dilakukan untuk fraktur femur, fraktur shaft tibia
dan fraktur humerus supracondylus pada anak. Pada umumnya reduksi tertutup
digunakan untuk semua fraktur dislokasi minimal, untuk sebagian besar fraktur
pada anak, untuk fraktur yg tidak stabil setelah reduksi dan dapat digunakan untuk
beberapa bidai dan gips.
Fraktur tidak stabil dapat direduksi juga dengan metode tertutup sebelum
dengan fiksasi internal atau eksternal. Hal ini dilakukan untuk menghindari
manipulasi langsung sisi fraktur oleh reduksi terbuka yang merusak suplai darah
lokal dan mungkin menyebabkan waktu penyembuhan lebih lambat. Traksi yg

PT SMS Indonesia | Smart 101 | P a g


mereduksi fragmen fraktur melalui ligamentotaxis (tarikan ligament) biasanya
dapat diaplikasikan menggunakan fracture table atau bone distraktor.
Reduksi Terbuka Indikasi reduksi operatif yaitu :
Reduksi tertutup gagal, baik karena kesulitan mengontrol fragmen atau
karena jaringan lunak berada diantaranya,
Terdapat fragmen sendi yang membutuhkan pengaturan posisi yang
akurat
Untuk traksi (avulsi) fraktur dengan fragmen yang terpisah
3. Amputasi
Penghilangan sebagian atau keseluruhan ekstremitas karena trauma atau
pembedahan. Kondisi amputasi dikarenakan demi menyelamatkan bagian tubuh
yang sudah rusakdan tidak memungkinkan untuk dipertahankan.
Penanganan Cedera Amputasi
Segera ikat (tourniquet) disekitar daerah yang cidera, bila tidakbisa disambung
kembali. Jika ada kemungkinan untukdisambung kembali, tutup luka dengan
kain bersih/ steril jika ada
Baringkan pasien dengan posisi kaki lebih tinggi dari kepala
Selimuti pasien untuk mengurangi kemungkinan terjadinya hipotermi
Bagian tubuh yang teramputasi masukkan kedalam kantong plastik dan
masukkan kedalam wadah yang bensi es batu untuk mendinginkan tetapi tidak
boleh beku. Beri tanda seperti waktu dibungkus dan identitas pasien.
Bawa pasien dan bagian tubuh yang teramputasi ke rumah sakit yang sama.
4. Sprain & Strain
Sprain
Bentuk cedera berupa pengukuran atau kerobekan pada ligamen (jaringan
yang menghubungkan tulang dengan tulang) atau kapsul sendi yang memberikan
stabilitas sendi. Gejala sprain vattu nyeri, bengkak, peradangan, memar,
ketidakmampuan menggerakkan tungkai. Penyebab sprain adalah terpeleset,
gerakan yang salah sehingga sendi terenggang melampaui gerakan normal.
Strain (kram otot)
Bentuk cidera berupa penguluran atau kerobekan pada struktur musculo-
tendinous (otot dan tendon). Gejala strain yaitu nyeri, spasme otot, kehilangan
kekuatan, keterbatasan gerak lingkup sendi. Penyebab strain adalah terjadi karena
pembebanan seeara tiba-tiba pada otot tertentu
Injuri pada struktur di sekitar sendi biasanya karena regangan yang berlebih
atau adanya kekuatan yang tiba – tiba. Hal ini mengakibatkan penarikan terhadap
struktur yang menyebabkan robeknya otot atau tendon. Sprain merupakan regangan,
lepasnya, atau robeknya ligament pelindung, strain merupakan lepasnya atau
robeknya otot/ tendon dari tulang. Injuri dapat menimbulkan nyeri, ketidakmampuan
menahan beban berat, bengkak pada daerah yang terkena. Strain dan sprain biasanya
jarang terjadi pada bayi/ anak. Atlit dan pasien obesitas yang melakukan latihan fisik
beresiko terhadap jenis injuri ini.
Tingkat pertama : robekan minor pada serabut, bengkak minimal,
ketidaknyamanan minimal, tidak ada/ minor echymosis
Tingkat kedua : robekan sebagian, sendi masih intack, bengkak lebih berat,
tampak echymosis
Tingkat ketiga : kerusakan sempurna pada ligament, sendi mungkin terbuka,
bengkak minimal sampai berat, terpisahnya otot dengan otot, otot dengan
tendon, tendon dengan tulang.
Tindakan awal:
1. RICE : Rest, Ice, Compression, Elevation
a. Istirahatkan sendi yang terkena
b. Lakukan kompres es sekitar 20 menit
c. Gunakan balutan elastis verban untuk mengurangi bengkak
d. Tinggikan daerah yang terkena untuk mengurangi bengkak
e. Pengobatan sesuai indikasi : analgetik, antiinflamasi
2. Bantu dengan tongkat atau truk
3. Mulai aktivitas dengan hati-hati seeara bertahap

PT SMS Indonesia | Smart 102 | P a


5. Dislokasi
Dislokasi terjadi ketika bagian permukaan artikular tulang yang membentuk
sendi tidak lagi tersambung dan kehilangan
posisi anatomisnya. Ujung tulang dapat
bergerak karena kelemahan secara kongenital,
penyakit yang mempengaruhi struktur
artikular dan periartikular, dan berkaitan
dengan trauma. Dislokasi berkaitan dengan
kondisi emergensi karena bahaya injury terhadap kerusakan saraf dan pembuluh
darah dalam bentuk kompresi, peregangan dan iskemia. Dislokasi digambarkan
dalam istilah segment distal dalam kaitannya dengan segment proximal. Subluksasi
sendi terjadi ketika beberapa permukaan artikular masih menempel tapi tidak
sempurna. Seseorang yang di duga atau diketahui adanya injury ortopedik sebaiknya
dikaji dengan hati-hati apakah fraktur atau dislokasi. Jika seseorang diduga maka
tungkai sebaiknya dibelat, pengkajian neurovasuler dilakukan, radiografik, dan injuri
di kurangi sesegera mungkin.
Tindakan awal:
a. Tentukan fungsi neruvaskuler bagian distal
b. Immobilisasi sendi untuk mencegah injury lebih lanjut
c. Tinggikan sendi
d. Berikan kompres es untuk mengurangi bengkak
e. Persiapkan untuk reduksi
6. Luka Tusuk
Trauma yang diakibatkan oleh benda tajam (trauma tajarn). Lebar luka yang
ditimbulkan pada kulit jarang sekali memberikan gambaran dari kedalaman luka
tusuk. Luka tusuk diakibatkan oleh suatu gerakan aktif maju yang eepat atau suatu
dorongan pada tubuh dengan sebuah alat yang ujungnya tajam.
Penanganan LukaTusuk
DRABC
Jangan cabut benda yang menaneap
Fiksasi bendadengan tehnik balutan seperti donat pada benda tajam yang
menancap agar tidak banyak bergerak.

PT SMS Indonesia | Smart 103 | P a g


STANDART OPERASIONAL PROSEDUR
STABILISASI MUSCULUSKELETAL

N
PROSEDUR
O

1 Danger, Aman diri, aman pasien dan aman lingkungan (A3)

2 Tentukan jenis luka, perdarahan, fraktur, Amputasi, Strain dan Sprain

Menyiapkan alat balut dan bidai (Perban, Kassa, Elastis Bandage, Mitela, dan
3
atauTourniquet)

Luka dan Perdarahan

4 Lepas pakaian di area Luka

5 Bersihkan daerah yang luka dengan normal salin jika ada

6 DEP perdarahan dengan 3T (Tutup, Tekan, Tinggikan)

Fraktur

7 Cek PMS

8 Melakukan pembidaian Fraktur (Melewati 2 sendi/2 tulang)

9 Cek PMS

10 Konsultasikan ke dokter atau rujuk ke faskes terdekat

PT SMS Indonesia | Smart 104 | P a


TRAUMA THERMAL
A. PENDAHULUAN
Kulit merupakan organ yang paling luas di tubuh manusia, terdiri dari 2 lapisan.
Lapisan luar yang terlihat di permukaan disebut dengan epidermis. Epidermis
merupakan batasan antara tubuh dengan lingkungan. Di bawah lapisan tipis epidermis
terdapat lapisan jaringan ikat kolagen yang disebut dengan dermis Lapisan ini terdiri dari
susunan saraf dan juga mendukung struktur seperti folikel bulu-bulu, kelenjar keringat,
dan kelenjar minyak.
Kulit memiliki fungsi yang sangat penting, salah satunya adalah sebagai pelindung
antara tubuh dengan lingkungan luar tubuh, menjaga cairan di dalam tubuh, mencegah
masuknya bakteri dan mikroorgnisme lain yang akan masuk ke dalam tubuh.
rangsangan yang akandsampaikankeotak, khususnya pengaturan suhutubuh. Jikaterdapat
kerusakan pada kulit, maka seluruh fungsi tersebut tidak mampu berfungsi dan
membuat tubuh mengalami masalah yang berbahaya.
Luka bakar pada kulit muncul ketika panas atau bahan kimia kontak atau mengenai
kulit dan merusak komponen sel-sel kulit. Selain respon actual dari kerusakan jaringan,
tubuh juga mengalami reaksi inflamasi yang dapat meningkatkan tingkat keparahan
luka bakar. Bagian dari kulit yang mengalami nekrosis karena luka bakar disebut zona
koagulasi yang bersifat irreversible. Areadisekitar zona koagulasi disebut zona stasis(aliran
darah sedikit,jaringan akan nekrotik jika keadaan ini berlangsung lama). Kondisi ini dapat
terlihat pada area yang lebih dalam pada luka bakar partial-thickness dan dapat diatasi
dengan perawatan luka bakar yang baik dan resusitasi cairan.
B. JENIS-JENIS LUKA BAKAR
1. Luka bakar kimia
Luka bakar chemical (kimia) disebabkan oleh kontaknya jaringan kulit dengan asam
atau basa kuat. Konsentrasi zat kimia, lamanya kontak dan banyaknya jaringan yang
terpapar menentukan luasnya injuri karena zat kimia ini. Luka bakar kimia dapat
terjadi misalnya karena kontak dengan zat-zat pembersih yang sering dipergunakan
untuk keperluan rumah tangga dan berbagai zat kimia yang digunakan dalam bidang
industri, pertanian dan militer. Luka bakar kimia terjadi apabila kulit mengalami
kontak dengan berbagai zatkimia.
Prosedur luka bakar kimia
a. Gunakan alat pelindung diri seperti kaca mata, sarung tangan, masker khusus.
Pada kondisi tertentu, perlu untuk menggunakan pakaian pelindung bahan
kimia
b. Lepaksan semua pakaian pasien. Simpan di kantong plastic untuk
meminimalisir kontak
c. Siram bahan kimia dari tubuh pasien dengan menggunakan air yang mengalir.
Jikabahan kimia kering (serbuk), harus dibersihkan dengan cara disikat terlebih
dahulu sebelum dilakukan irigasi.
d. Lepaskan seluruh benda yang menempel pada tubuh pasiendengan memeriksa
seluruh bag tubuhpasien.
2. Luka bakar listrik
Luka bakar listrik disebabkanoleh panas yang digerakan dari energi hstnk
yang dihantarkan melalui tubuh. Berat ringannya luka dipengeruhi oleh lamanya
kontak, tingginya voltage dan cara gelombang elektrik itu sampai mengenai tubuh.
Derajat kerusakan jaringan pada luka bakar listrik tergantungpada aliran yang
terlibat dan lamanya paparan. Luka bakar listrik dapat menyebabkan henti jantung,
dan untuk menanganinya mungkin diperlukan tindakan resusitasi jantung paru (RJP).
Ada tiga tipe terjadinya cidera listrik:
a. Luka bakar listrik akibat kontak langsung. Arus listrik mengalir melalui
jaringan menyebabkan nekrosis yang luas di sepanjang jaringan yang dilalui
arus tersebut. Kulit seringkali terlihat gosong bahkan pada beberapa kasus dapat
menjadi tercerai berai. Pada luka bakar jenis ini, dapatdijumpai
adanyalukamasukdanlukakeluaryang berupalukakecil dipermukaan kulit.
b. Luka bakar akibat percikan/loncatan bunga api listrik. Dalam hal ini akan
menimbulkan luka bakar yang nyata pada kulit.

PT SMS Indonesia | Smart 105 | P a g


c. Luka bakar tersambar listrik. Hal ini dapat terjadi apabila pasien terlalu dekat
dengan sumber listrikyang terbuka, sehingga menyebabkan terjadinyaluka bakar
akibat suhu panas. Umumnya terjadi pada pasien yang berada di dekat sumber
listrik tersebut dan tidak melindungi kulitnya dengan pakaian khusus.
3. Luka bakar radiasi
Lukabakarradiasidisebabkanolehterpapardengansumber radioaktif. Tipeinjuri
iniseringkali berhubungan dengan penggunaan radiasi ion pada industri atau dari
sumber radiasi untuk keperluan terapeutikpada duniakedokteran.
Terbakarolehsinarmatahari akibatterpapar yangterlalu lamajuga merupakan
salahsatutipe lukabakar radiasi.
4. Trauma Suhu Dingin
a. Frostnip
Frostnip, yaitu bentuk paling ringan trauma dingin, ditandai dengan nyeri,
pucat, dan kesemutan pada area yang terkena.
b. Frostbite
Frostbite, yaitu pembekuan jaringan yang diakibatkan oleh pembentukan
kristal es intraseluler dan bendungan mikrovaskuler sehingga terjadi anoksia
jaringan. Derajat kedalaman:
Derajat 1: Hiperemia dan edema tanpa nekrosis jaringan
Derajat 2: Pembentukan vesikel/bulla disertai dengan hiperemi dan edema
dengan nekrosis
Derajat 3: Nekrosis seluruh lapisan kulit dan jaringan subkutan, biasanya juga
disertai dengan pembentukan vesikel hemoragik
Derajat 4: Nekrosis seluruh lapisan kulit dan gangrene otot serta tulang
c. Non freezing injury
Non Freezing Injury, disebabkan oleh terkena udara basah/dingin secara
terus menerus yang suhunya masih di atas titik beku, yaitu antara 1,6°C
sampai 100C (35°F sampai 50°F)
Penanganan trauma dingin
Penanganan harus segera dilakukan untuk memperpendek berlangsungnya
pem-bekuan jaringan.
a. Lepaskan baju yang basah, ganti dengan menggunakan selimut hangat
b. Berikan minum hangat jika pasien bisa minum
c. Rendam bagian cedera di dalam air hangat 40 0C (104°C) yang berputar, sampai
warna kulit rnenjadi merah dan perfusinya kembali normal (biasanya 20-30
menit)
d. Hindari penggunaan udara kering yang panas
e. Jangan digosok atau diurut.
f. Berikan analgetik karena tindakan pemanase dapat menimbulkan nyen
hebat
g. Pasang monitor jantung
C. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPARAHAN LUKA BAKAR
1. Kedalaman LukaBakar
Luka bakar dikategorikan berdasarkan dalamnya kerusakan luka bakar dan respon,
sebagai superficial (derajat I), partial thickness(derajat II), full thickness (derajat III)
a. Superficial (derajat 1) dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Partial thickness dikelompokan menjadi 2, yaitu superpicial partial thickness
dan deep partial thickness.
Hanya mengenai lapisan epidermis.
Luka tampak pink cerah sampai merah (eritema ringan sampai berat).
Kulit memucat bila ditekan.
Edema minimal.
Terbentuk blister.
Kulit
hangat/kering.
Nyeri / hyperethetic
Nyeri berkurang dengan pendinginan.
Discomfort berakhir kira-kira dalam waktu 48jam.
Dapat sembuh spontan dalam 3-7 hari

PT SMS Indonesia | Smart 106 | P a


b. Deep Partical thickness (derajat II) dengan ciri sebagai berikut:
Mengenai epidermis dan dermis.
Luka tampak merah sampai pink
Tida ada blister
Edema
Sensitif terhadap udara dingin
Penyembuhan luka :Superficial partial thickness:14 - 21 hari. Deep partial
thickness: 21-28 hari. Namun demikian penyembuhannya bervariasi
tergantung dari kedalaman dan ada tidaknyainfeksi
c. Fullthickness (derajat III)
Mengenai semua lapisan kulit, lemak subcutan dan dapat juga mengenai
permukaan otot, dan persarafan dan pembuluh darah.
Luka tampak bervariasi dari berwarna putih, merah sampai dengan coklat atau
hitam.
Tanpa ada blister.
Permukaan luka kering dengan tektur kasar/keras.
Edema.
Sedikit nyeri atau bahkan tidak ada rasa nyeri.
Tidak mungkin terjadi penyembuhan luka secara spontan.
Memerlukan skin graft.
Dapat terjadi scar hipertropik dan kontraktur jka tidak dilakukan tindakan
preventif.
2. Luas Luka Bakar

Front
18%
FRONT:
18%

Terdapat beberapa metode untuk menentukan luas luka bakar meliputi (1) rule
of nine, (2) Lund and Browder, dan (3) hand palm. Ukuran luka bakar dapat ditentukan
dengan menggunakan salah satu dari metode tersebut. Ukuran luka bakar ditentukan
dengan prosentase dari permukaan tubuh yang terkena luka bakar. Akurasi dari
perhitungan bervariasi menurut metode yang digunakan dan pengalaman seseorang
dalam menentukan luas luka bakar. Metode rule of nine mulai diperkenalkan sejak
tahun 1940-an sebagai suatu alat pengkajian yang cepat untuk menentukan perkiraan
ukuran /Iuas luka bakar. Dasar darimetode ini adalah bahwa tubuh di bagi kedalam
bagian-bagian anatomic, dimana setiap bagian mewakili 9 % kecuali daerah genitalia
1%.

PT SMS Indonesia | Smart 107 | P a g


3. Lokasi yang terkena
Berat ringannya luka bakar dipengaruhi pula oleh lokasi luka bakar. Luka bakar
yang mengenai kepala, leher dan dada seringkali berkaitan dengan komplikasi
pulmoner. Luka bakar yang menganai wajah seringkali menyebabkan abrasi kornea.
Luka bakar yang mengenai lengan dan persendian seringkali membutuhkan terapi
fisik dan occupasi dan dapat menimbulkan implikasi terhadap kehilangan waktu
bekerja dan atau ketidakmampuan untuk bekerja secara permanen. Luka bakar yang
mengenai daerah perineal dapat terkontaminasi oleh urine atau feces. Sedangkan luka
bakar yang mengenai daerah torak dapat menyebabkan tidak adekuatnya ekspansi
dinding dada dan terjadinya insufisiensi pulmoner.
4. Kondisi kesehatan pasien
Adanya kelemahan jantung, penyakit pulmoner, endocrin dan penyakit-
penyakit ginjal, khususnya diabetes, insufisiensi kardiopulmoner, alkoholisme dan
gagaI ginjal, harus diobservasi karena semua itu akan mempengaruhi respon klien
terhadap injuri dan penanganannya. Angka kematian pada klien yang memiliki
penyakit jantung adalah 3,5-4 kali lebih tinggi dibandingkan klien luka bakar yang
tidak menderita penyakit jantung. Demikian pula klien luka bakar yang juga alkolism 3
kali lebih tinggi angka kematiannya dibandingkan klien luka bakar yang
nonalkoholism. Disamping itu juga klien alkoholism yang terkena luka bakar masa
hidupnya akan lebih lama berada di rumah sakit, artinya pasien luka bakar yang juga
alkoholism akan lebih lama hari rawatnya di rumah sakit.
5. Mekanisme Injury
Mekanisme injury merupakan faktor lain yang digunakan untuk menentukan
berat ringannya luka bakar. Secara umum luka bakar yang juga mengalami injuri
inhalasi memerlukan perhatian khusus. Pada luka bakar elektrik, panas yang
dihantarkan melalui tubuh, mengakibatkan kerusakan jaringan internal. Injury pada
kulit mungkin tidak begitu berarti akan tetapi kerusakan otot dan jaringan lunak
lainnya dapat terjadi lebih luas, khususnya bila injury elektrik dengan voltage tinggi.
Oleh karena itu voltage, tipe arus (direct atau alternating), tempat kontak, dan
lamanya kontak adalah sangat penting untuk diketahui dan diperhatikan karena dapat
mempengaruhi morbiditi.
6. Usia
Usia klien mempengaruhi berat ringannya luka bakar. Angka kematiannya
(Mortality rate) cukup tinggi pada anak yang berusia kurang dari 4 tahun, terutama
pada kelompok usia 0-1 tahun dan klien yang berusia di atas 65 th Tingginya
statistik mortalitas dan morbiditas pada orang tua yang terkena luka bakar
merupakan akibat kombinasi dari berbagai gangguan fungsional (seperti lambatnya
bereaksi, gangguan dalam menilai, dan menurunnya kemampuan mobilitas), hidup
sendiri, dan bahaya-bahaya lingkungan lainnya. Disamping itu juga mereka lebih
rentan terhadap injury luka bakar karena kulitnya menjadi lebih tipis, dan
terjadi athropi pada bagian-bagian kulit lain. Sehingga situasi seperti ketika
mandi dan memasak dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.
D. PENATALAKSANAAN LUKA BAKAR
Penilaian awal harus dilakukan terutama di tempat: kejadian yaitu situasi kemanan
penolong. Hal-hal yang mengancam pasien dan penolong harus teidentifikasi segera.
Penolong tidak boleh memberikan pertolongan apabila petugas pemadam kebakaran belum
menyatakan aman untuk melakukan pertolongan. Apabila pasien sudah berhasil dibawa
ke tempat yang aman, proses pembakaran harus segera dihentikan untuk rnencegah
terjadinya cidera lebih lanjut dan untuk mengurangi terjadinya kerusakan jaringan (Stop
The Burning Process).
Pada penilaian primary, perhatian terbesar ditujukan pada saluran napas (airway),
termasuk mendeteksi adanya tanda-tanda cidera inhalasi, seperti:
Luka bakar yang mengenai wajah dan atau
leher Alis mata dan bulu Hidung hangus
Adanya timbunan karbon dan tanda peradangan akut
orofaring Sputum yang mengandung karbon/arang
Suara serak/stridor
Riwayat gangguan mengunyah dan atau terkurung dalam api

PT SMS Indonesia | Smart 108 | P a


Luka bakar kepala dan badan akibat ledakan
Kadar karboksi hemoglobin lebih dari 10% setelah terbakar
Kemungkinan terjadinya keracunan asap, keracunan CO, dan cedera trkatur
respiratorik harus dipikirkan apabila insiden ini terjadi pada ruang yang tertutup.
Pada pasien dengan trauma termal, kemungkinan terjadinya oksigenasi yang tidak
adekuat dan sirkulasi yang buruk sangat tinggi. Untuk itulah pasien baik dalam keadaan
sadar ataupun tidak sadar harus diberikan terapi oksigen dengan fraksi tinggi serta
dilakukan pemantauan terhadap jalan napas (airway) dan pernapasan (breathing) secara
terus menerus. Respon CO dan sianida terhadap oksigen dengan fraksi tinggi hamper
mencapai 100%. Pasien dalam keadaan stabil dengan reflek muntah yang baik serta
airway yang bebas, harus tetap diberikan oksigen dan harus tetap dimonitor. Tindakan
definitive airway dapat dilakukan jika dibutuhkan berdasarkan indikasinya.
Pada pasien dengan penampakan hangus di seluruh bagian dada, kemampuan
untuk mengembangkan dinding toraks mungkin sangat terbatas. Keterbatasan ini mungkin
disebabkan oleh berkurangnya elastisitas jaringan yang terbakar, yang mengakibatkan
volume tidak dan volume pernapasan semenit menjadi tidak adekuat. Sebagian kecil
pasien yang mengalami ini dibutuhkan insisi (escharotomy) yang dilakukan oleh
petugas yang terlatih, jika petugas tidak terlatih untuk melakukan tindakan ini, maka
pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi harus dilakukan. Setelah itu segera
lakukan resusitasi cairan.
Pemberian Cairan Intravena
Pasien luka bakar yang disertai cidera, dapat terjadi penurunan transport oksigen ke
jaringan disebabkan oleh penurunan volume darah di sirkulasi. Penurunan volume
darah yang langsung diakibatkan oleh luka bakar tidak akan terjadi segera setelah
peristiwa, tetapi akan muncul dalam 6-8 jam setelah kejadian. Syok yang terjadi segera
setelah kejadian biasanya disebabkan oleh cidera lain. Pengelolaan terhadap keadaan
hipovolerrua ini meliputi terapi cairan dengan pemberian RL/ normal saline. Penggantian
cairan yang diberikan banyak formulanya, yang lazirn digunakan dengan penggunaan
Rumus Baxter.

Penanganan rasa sakit terhadap pasien kolaborasi dengan dokter dalam pemberian
analgetik untuk menghilangkan rasa nyeri. Kompres pada luka dengan menggunakan kain
yang lembab dan steril secara psikologis membuat pasien merasakan kenyamanan.
Perawatan luka bertujuan untuk mencegah kerusakan lebih lanjut dan mencegah infeksi.
PT SMS Indonesia | Smart 109 | P a g
KESIMPULAN

Otak tersimpan di dalam craniurn yang kaku. Cidera kepala apapun yang menyebabkan
pembengkakan atau perdarahan di dalam cranium akan mengakibatkan kompresi otak, yang
dapat mengakibatkan kerusakan neurologis yang permanen bahkan kematian. Penilaian
terhadap penderita trauma kepala dimulai dengan tingkat kesadarannya. Petugas harus
mencurigai adanya cidera intracranial jika menemukan penurunan tingkat kesadaran dan
mengambil langkah-Iangkah intervensi. Trauma kepala akan dapat mengakibatkan cidera
mulai dari konkusio sampai perdarahan intracranial yang mengancam jiwa. Perdarahan pada
wajah dan scalp serta fraktur akan berhubungan dengan potensi cidera otak. Transportasi
harus dilakukan dengan cepat dengan posisi kepala ditinggikan. Fasilitas yang tepat adalah
rumah sakit yang dapat memberikan pertolongan definitive terhadap cidera kepala dan
otak.
Kolumna vertebra terdiri dari 33 vertebra yang terpisah dan bertumpuk satu sama lain.
Fungsi Kolumna vertebra adalah menahan berat badan dan memudahkan gerak.Korda spinalis
yang berada didalam kolumna sangat rentan terhadap gerak atau posisi abnormal. Struktur
penuh saraf ini dilindungi oleh tulang-tulang vertebra. Korda dapat cidera jika tulang, otot dan
ligamen yang melindunginya cidera.Tidak dapatnya korda beregenerasi akan memungkinkan
cidera permanen. Mekanisme cidera dapat menjadi indikasi trauma spinal dan pengelolaannya.
Imobilisasi fraktur tulang belakang harus meliputi imobilisasi kepala, leher, torso dan pelviss.
Alat yang digunakan untuk imobilisasi harus membuat tulang belakang tidak bergerak
sedikitpun. Harus ada metode dan alat pelindung tulang belakang sampai dipastikan bahwa
penderita tidak mengalami cidera spinal atau sampai dilakukan penanganan bedah ebih lanjut.
Toraks merupakan daerah yang mengandung organ-organ vital kedua setelah otak. Toraks
juga mengandung pembuluh-pembuluh besar aorta, vena cava serta arteri/vena pulmonalis.
Cidera dada sering terjadi pada penderita trauma multi system dan biasanya berhubungan
dengan trauma yang mengancam nyawa. Cidera toraks yang serius dapat dengan mudah
menganggu ventilasi dan sirkulasi. Trauma dada akan menghasilkan penurunan ventilasi
Karena kurangnya pergerakan rangka dada atau hilangnya kontinuitas dinding toraks, tidak
adekuatnya oksigenasi darah yang melewati membrane alveoli kapiler akIbat kontusio
paru.
Cedera abdomen sangat potensial mengancam jiwa. Perdarahan hebat abdomen tidak selalu
menampakkan gejala yang jelas. Keadaan penderita cidera abdomen dapat memburuk dengan
cepat. Identifikasi organ yang cidera sulit dilakukan di lingkungan fase pra rumah sakit harus
dilakukan penilaian cepat, stabilisasi esensial dan transport cepat. Pertolongan fase awal
meliputi pengelolaan airway, oksigenasi adekuat dan control perdarahan. Tindakan bedah pada
umumnya harus segera dilakukan. Fasilitas rumah sakit dengan tim trauma yang siap sedia
sangatlah menentukan keberhasilan penyelamatan jiwa penderita.
Prinsip dalam penanganan luka bakar :
Stop the burning process (Hentikan Proses Luka Bakar)
Bebaskan jalan nafas (Airway)
Stabilkan pemafasan (Breathing)
Lakukan resusitasi cairan
Lakukan perawatan luka

PT SMS Indonesia | Smart 110 | P a


VII

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Peserta dapat mengetahui, mengidentifikasi, kemungkinan perlukaan ditinjau dari
proses kejadian/ biomekanik trauma.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Setelah mengikuti pelatihan ini peserta di-harapkan mampu untuk :
1. Mengetahui proses kejadian suatu trauma.
2. Mengetahui jenis perlukaan ditinjau dari proses kejadian trauma
3. Mengidentifikasi kemungkinan perlukaan yang terjadi
4. Melakukan tindakan pertolongan yang tepat didasari dari proses kejadian trauma.

PENDAHULUAN
Biomekanik trauma adalah proses/ mekanisme kejadian kecelakaan pada saat
sebelum, saat dan sesudah kejadian. Keuntungan mempelajari biomekanik trauma adalah dapat
mengetahui bagaimana proses kejadian dan memprediksi kemungkinan bag ian tubuh atau
organ yang terkena cedera. Pengetahuan akan biomekanik trauma penting karena akan
membantu dalam mengerti akibat yang ditimbulkan trauma dan waspada terhadap jenis
perlukaan tertentu.
Oleh karena itu penting sekali bagi setiap petugas penanganan gawat darurat untuk
mengetahui :
1. Hal yang terjadi
2. Cedera yang diderita pasien
Tanpa mengetahui mekanisme kejadiannya kita tidak dapat meramalkan cedera apa
yang terjadi dan hal ini akan menimbulkan bahaya bagi pasien. Biomekanik juga merupakan
sarana penting untuk melakukan triage dan harus disampaikan ke dokter gawat darurat atau
ahli bedah. Sebagai contoh beratnya kerusakan kendaraan pada kejadian kecelakaan merupakan
sarana pemeriksaan triage non fisiologis.
Informasi yang rinci mengenai biomekanik dari suatu kecelakaan dapat membantu
identifikasi sampai dengan 90 % dan trauma yang diderita pasien. Informasi yang rinci dan
biomekanik trauma ini dimulai dengan keterangan dari keadaan / kejadian pada fase sebelum
terjadinya kecelakaan seperti minum alkohol, pemakaian obat, kejang, sakit dada, kehilangan
kesadaran sebelum tabrakan dan sebagainya.

PT SMS Indonesia | Smart 111 | P a g


MECHANISM OF TRAUMA

A. KLASIFIKASI MEKANISM OF TRAUMA


Tumpul, tembus, thermal dan ledakan (Blast Injury). Pada semua kasus diatas terjadi
pemindahan energi (Transfer energy) kejaringan, atau dalam kasus trauma thermal terjadi
perpindahan energi (panas/ dingin) ke jaringan. Pemindahan energi (transfer energy)
digambarkan sebagai suatu gelombang kejut yang bergerak dengan kecepatan yang
bervariasi melalui media yang berbeda-beda. Teori ini berlaku untuk semua jenis
gelombang seperti gelombang suara, gelombang tekanan arterial, seperti contoh shockwave
yang dihasilkan pada hati atau korteks tulang pada saat terjadi benturan dengan suatu
objek yang menghasilkan pemindahan energi. Apabila energi yang dihasilkan melebihi
batas toleransi jaringan, maka akan terjadi disfungsi jaringan dan terjadi suatu trauma.
B. RIWAYAT TRAUMA
Informasi yang didapatkan dari tempat kejadian mengenai kerusakan interior maupun
eksterior dari kendaraan, seringkali dapat memberikan petunjuk tentang jenis trauma yang
terjadi pada penumpang atau pejalan kaki. Petugas pra rumah sakit perlu untuk menguasai
hal ini untuk mencari petunjuk yang mencurigakan dan mencari bukti adanya trauma yang
tersembunyi. Sebagai contoh, setir yang bengkok menunjukan adanya trauma thorak.
Keterangan ini harus merangsang untuk memeriksa pasien untuk mencurigai adanya patah
tulang dada, organ-organ mediastinal, dan trauma pada parenkhim paru. Informasi adanya
kaca depan mobil yang pecah dengan tanda Bull's Eye menunjukan bahwa telah terjadi
benturan kepala dengan kaca dan harus dicurigai adanya fraktur servikal. Lekukan pada
bagian bawah dash board menunjukan bahwa terjadinva benturan antara lutut dan dash
board dan memungkinkan terjadinya dislokasi sendi lutut, panggul atau fraktur lutut dan
femur. Kerusakan bagian samping kendaraan menunjukan adanya trauma bagian lateral
dan dada, abdomen, panggul dan leher pasien. Selain itu keterangan mengenai kejadian
yang menyebabkan trauma dapat memperkuat indikasi tindakan bedah. Luka tembus
pada tubuh dan tekanan daran yang menurun menunjukan adanya trauma pembuluh
daran besar yang harus dilakukan tindakan bedah segera. Pasien dengan trauma kepala
yang bukan karena kecelakaan lalu lintas dan pada pemeriksaan neurologis didapatkan
abnormalitas, kemungkinan besar harus dilakukan tindakan bedah eksplorasi.
Sedangkan luka bakar karena kebakaran besar didalam ruangan tertutup biasanya disertai
oleh cedera inhalasi dan keracunan karbon monoksida. Contoh-contoh ini menunjukan
pentingnyaa mformasi mengenai kejadian yang menyebabkan trauma.
Penyebab terbanyak adalah trauma tumpul dengan kecelakaan lalu lintas. Pada suatu
kecelakaan lalu lintas, misalnya tabrakan mobil, maka pasien yang berada didalam mobil
akan mengalami beberapa benturan. (collision) berturut-turut sebagai berikut :
a. Primary collision
masih berada pada posisi masing-masing. Tabrakan dapat terjadi dengan cara :
Tabrakan depan (frontal)
Tabrakan sampmg (T-Bone)
Tabrakan dan belakang
Terbalik (roll over)
b. Secondary Collision
Setelah terjadi tabrakan pasien menabrak bagian dalam mobil (atau sabuk
pengaman). Perlukaan yang mungkin timbul akibat benturan akan sangat tergantung
dari arah tabrakan.
c. Tertiary collision
Setelah pasien menabrak bagian dalam mobil, organ yang berada dalam rongga
tubuh akan melaju kearah depan dan mungkin akan mengalami perlukaan langsung
ataupun terlepas (robek) dari alat pengikatnya dalam rongga tubuh tersebut.
d. Subsidary collision
Kejadian berikutnya adalah kemungkinan penumpang mobil yang mengalami
tabrakan terpental kedepan atau keluar dari mobil. Selain itu barang-barang yang berada
dalam mobil turut terpental dan menambah cedera pada pasien
Pengkajian pada fase ini:
Tipe kejadian trauma, misalnya : tabrakan kendaraan bermotor, jatuh atau
trauma / Iuk tembus.

PT SMS Indonesia | Smart 112 | P a


Perkiraan intensitas energi yang terjadi misalnya : kecepatan kendaraan,
ketinggian dari tempat jatuh, kaliber atau ukuran senjata.
Jenis tabrakan atau benturan yang terjadi pada pasien : mobil, pohon, pisau dan
lain-lain
C. BIOMEKANIK TABRAKAN
1. Tabrakan Mobil
a. Tabrakan dari depan/frontal
Benturan frontal adalah tabrakan / benturan dengan benda didepan kendaraan, yang
secara tiba-tiba mengurangi kecepatannya, sehingga secara tiba-tiba
kecepatannya berkurang.
Pada suatu tabrakan frontal dengan pasien tanpasabuk pengaman, pasien akan
mengalami beberapa fase sebagai berikut:
Fase 1
Bagian bawah pasien tergeser kedepan, biasanya lutut akan menghantam dash
board dengan keras yangmenimbulkanbekasbenturanpada dashboardtersebut.
Kemungkinancederayangakanterjadi :
 Patah tulang paha karena menahan beban berlebihan
 Dislokasi sendi panggul karena terdorong kedepan sehingga lepas dari
mangkuknya.
 Dislokasi lutut atau bahkan Patah tulang lutut karena benturan yang keras
pada dashboard
Fase 2
Bagian atas pasien turut tergeser kedepan sehingga dada atau perut akan
menghantam setir.Kemungkinan cedera yang akan terjadi :
 Cedera abdomen sampai terjadinya perdarahan dalam. Karena
terjadinyaperlukaan /ruptur pada organ seperti hati, limpa, lambung dan
usus
 Cedera dada seperti patah tulang rusuk dan tulang dada. Selain itu
ancaman terhadap organ dalam rongga dada seperti paru-paru, jantung,
dan aorta
Fase 3
Tubuh pasien akan naik, lalu kepala membentur kacamobil bagian depan atau
bagian samping. Kemungkinan cedera yang akan terjadi :
 Cedera kepala (berat, sedang, ringan)
 Patah tulang leher (fraktur
servikal) Fase 4
Setelah muka membentur kaca, pasien kembali tepental ke tempat duduk.
Perlu mendapat perhatian khusus apabila kursi mobil tidak tersedia head rest
karena kepala akan melenting dibagian atas sandaran kursi. Kondisi akan
semakin parah, apabila pasien terpental keluar dari kendaraan. Kemungkinan
cedera yang akan terjadi :
 Patah tulang belakang (servikal-koksigis) karena roses duduk yang begitu
cepat dan sehingga menimbulkan beban berlebih pada tulang belakang.
 Patah tulang leher karena tidak ada head rest
 Multiple trauma apabila pasien terpental keluar dari kendaraan.
b. TabrakanDari Belakang (Rear Collition)
Tabrakan dari belakang mempunyai biomekanik tersendiri. Biasanya
tabrakan seperti ini terjadi ketika kendaraan berhenti atau pada kendaraan yang
kecepatannya lebih lambat. Kendaraan tersebut berikut penumpangnya mengalami
percepatan (akselerasi) ke depan oleh perpindahan energi dari benturannya. Badan
penumpang akan terakselerasi kedepan sedangkan kepalanya seringkali tidak
terakselerasi sehingga akan mengakibatkan hiperekstensi leher. Hal ini akan
diperparah apabila sandaran kursi kendaraan tidak rnerniliki head rest sehingga
struktur penunjang leher mengalami peregangan yang berlebihan dan menyebabkan
terjadinya whiplash injury (gaya pecut). Kemungkinan cedera yang akan terjadi :
Fraktur Servical.
c. Tabrakandari samping (Lateral Collision)
Tabrakan samping seringkali terjadi diperempatan yang tidak memiliki rambu-
rambu lalu lintas. Benturan lateral adalah tabrakan / benturan pada bagian samping
PT SMS Indonesia | Smart 113 | P a g
kendaraan, yang mengakselerasi penumpang menjauhi titik benturan. Benturan
seperti ini adalah penyebabkematian kedua setelah benturan frontal. 31 % dari
kematian karena tabrakan kendaraan terjadi sebagai akibat dari tabrakan /
benturan lateral. Banyak tipe trauma yang terjadi pada tabrakan lateral sama
dengan yang terjadi pada tabrakan frontal. Selain itu trauma kompresi pada tubuh
dan felvis juga sering terjadi. Trauma internal terjadi pada sisi yang sama dimana
lokasi yang tertabrak, seberapa dalam posisi melesaknya kabin penumpang posisi
penumpang / pengemudi, dan lamanya. Pengemudi yang tertabrak pada posisi
pengemudi kemungkinan terbesar mengalami trauma pada sisi kanan tubuhnya
demikian juga sebaliknya pada pnumpang.Kemungkinan cedera yang akan terjadi :
Fraktur servical
Fraktur iga
Trauma paru
Trauma hati /limpa
Trauma pelvis
Trauma skeletal
d. Terbalik(Roll Over)
Pada kendaraan yang terbalik, penumpangnya dapat mengenai / terbentur pada
semua bagian dari kompartemen penumpang. Jenis trauma dapat diprediksi dengan
mempelajari titik benturan pada kulit pasien. sebagai hukum yang umum, dalam
kejadian terbaliknya kendaraan maka terjadi beberapa gerakan yang dahsyat,
samping dapat menyebabkan trauma yang serius. Ini lebih berat bagi penumpang
yang tidak memakai sabuk pengaman. Dalam menangani kasus seperti ini harus
lebih berhati-hatikarenasemuabagianbisamengalamicederabaik
yangkelihatanatautidakkelihatan.Kemungkinan cedera yang akan terjadi :
Multiple trauma
Waspadai kemungkinan cedera tulang belakang belakang. dan fraktur servikal
e. Terlemparkeluar (ejection)
Trauma yang dialarru penumpang dapat lebih berat bila terlempar keluar dari
kendaraan. Kemungkinan terjadinya trauma meningkat 300 % kalau penumpang
terlempar keluar. Petugas gawat darurat yang memeriksa pasien yang terlempar
keluar harus lebih teliti dalam mencari trauma yang tidak tampak.
Kemungkinan cedera yang akan terjadi :
Multiple trauma
Trauma kepala
Trauma organ
dalam Fraktur
servikal
2. Benturan Organ
Ketika terjadi tabrakan / benturan selain tubuh yang membentur / menabrak,
organ bagian dalam pun turut menabrak dinding tubuh dan sebagian mengalami
kompresi. Organ dalam tubuh dibagi menjadi dua bagian yaitu:
Organ solid, seperti : Otak, han, limpa, jantunq dan paru-paru
Organ berongga, seperti : usus dan lambung
Ketika terjadi benturan / tabrakan organ-organ tersebut dapat mengalami
perlukaan. Perlukaan organ dalam dapat terjadi rnelalui rnekanisme :
a. Benturan langsung
Trauma organ dalam terjadi ketika terjadi benturan langsung terhadap
pelindung organ tersebut. Misalnya benturan terhadap kepala dapat mengakibatkan
perlukaan pada otak berupa memar atau robekan. Pada kasus lain otak menghantam
dinding / tulang tengkorak yang mengakibatkan terjadinya perdarahan pada otak.
Decceleration dan acceleration injury, Pada decceleration injury ketika
terjadi benturan organdalam melaju kedepan (pada tabrakan frontal) dan robek
pada ikatan yang mengikatnya. Sebagai contoh jantung akan terlepas dari
ikatannya dan terjadi ruptur aorta. Sedangkan pada acceleration injury contohnya
adalah wiplash injury pada benturan / tabrakan dari belakang.
b. Trauma kompresi
Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti bergerak,

PT SMS Indonesia | Smart 114 | P a


sedangkan bag Ian dalam tetap bergerak kedepan. Organ-organ terjepit dari

PT SMS Indonesia | Smart 115 | P a g


belakang oleh bagian belakang dinding torakoabdominal dan kolumna vetrebralis,
dan didepan oleh struktur yang terjepit. Pada organ
yang berongga dapat terjadi apa yang disebut dengan
efek kantong kertas (paper bag effect) yaitu seperti
mainan anak-anak dimana kantong kertas ditiup dan
ditutup lalu dipukul untuk mendapat efek ledakan.
Organ berongga tersebut usus dan lambung.
Trauma karena sabuk pengaman, Sabuk
pengaman sudah terbukti dalam memberikan
pertolongan menyelamatkan penumpang. Jika
digunakan dengan benar sabuk pengaman mengurangi kematian sampai 65-75 %
dan mengurangi trauma berat sampai dengan sepuluh kali. Tekanan safety belt
pada perut bisa rnengakibatkan rupture organ dalam perut. Oleh karena itu dalam
melepas sabuk pengaman harus hati- hati, jangan melepas secara mendadak.
Karena sabuk pengaman bisa berfungsi sebaqai tampon. Apabila dibuka secara
mendadak artinya tampon dibuka sehingga akan terjadi perdarahan hebat.
Benturan dengan bemper, Tinggi bemper versus ketinggian pasien
merupakan faktor kritis dalam trauma yang terjadi. Pada orang dewasa dengan
posisi berdiri, benturan awal dengan bemper biasanya mengenai tungkai, lutut
dan pelvis. Anak - anak lebih mungkin terkena pada bagian abdomen dan dada.
Benturan dengan kaca depan dan tutup mesin, Pada fase ini pejalan kaki
melayang diatas mobil dan kemudian membentur tutup mesin dan kaca depan
kendaraan. Kejadian ini mengakibatkan trauma dada dan kepala dengan tingkat
keparahan sesuai dengan kerasnya benturan.
Benturan dengan tanah / ground, Benturan dengan tanah mengakibatkan
beberapa truma yaitu fraktur servikal dan tulang belakang, trauma kepala dan
kompresi organ.
3. Trauma pejalan kaki
Di Amerika Serikat lebih dan 7000 pejalan kaki terbunuh setiap tahun setelah
tertabrak kendaraan bermotor, pasien lainnya mengalami trauma serius setelah tabrakan
tersebut.Trauma yang dialami pejalan kaki pada umumnya meliputi kepala, thorak, dan
ekstremitas bawah. Terdapat 3 fase benturan yang dialami pada saat pejalan kaki
tertabrak:
4. Trauma tembus (penetrating injury)
a. Senjata dengan energi rendah (low energy)
Contoh senjata dengan energi rendah adalah pisau dan alat pemecah es. Alat ini
menyebabkan kerusakan hanya karena ujung tajamnya. Karena energi rendah,
biasanya hanya sedikit menyebabkan cidera sekunder. Cedera pada pasien dapat
diperkirakan dengan mengikuti alur senjata pada tubuh. Pada luka tusuk, wanita
mempunyai kebiasaan menusuk kebawah, sedangkan pria menusuk keatas karena
kebiasaan mengepal.
Saat menilai pasien dengan luka tusuk, jangan diabaikan kemungkinan luka
tusuk multipel. Inspeksi dapat dilakukan dilokasi, dalam perjalanan ke rumah
sakit atau saat tiba di rumah sakit, tergantung pada keadaan disekitar lokasi dan
kondisi pasien.
b. Senajata dengan energi menengah & tinggi (medium and high energy)
Senjata dengan energi menengah contohnya adalah pistol, sedangkan senjata
dengan energi tinggi seperti senjata militerdan senjata untuk berburu. Semakin
banyak jumlah mesiu, maka akan semakin meningkat kecepatan peluru dan energi
kinetiknya. Kerusakan jaringan tidak hanya daerah yang dilalui peluru tetapi juga
pada daerah disekitar alurnya akibat tekanan dan regangan jaringan yang dilalui
peluru. Peluru akbiat senjata energi tinggi dan menengah Juga menyebabkan
kavitasi / rongga yang lebih besar dan lubang masuknya. Untuk senjata dengan
energi menengah biasanya menyebabkan kavitasi 3-6 kali dan ukuran frontal
peluru, sedangkan untuk energi tinggi akan lebih besar lagi, demikian juga
kerusakan jaringan yang ditimbulkannya akan lebih besar lagi.
Hal-hal lain yang mempengaruhi keparahan cidera adalah hambatan udara
dan jarak. Tahanan udara akan memperlambat kecepatan peluru. Semakin jauh
jarak tembak, akan semakin mengurangi kecepatan peluru sehingga kerusakan

PT SMS Indonesia | Smart 116 | P a


yang ditimbulkannya akan berkurang. Sebagian kasus penembakan dilakukan dari
jarak dekat dengan pistol, sehingga memungkinkan cedera serius cukup besar.
5. Trauma ledakan (blast injury)
Ledakan terjadi sebagai hasil perubahan yang sangat cepat dari suatu bahan
dengan volume yang relatif kecil, baik padat, cairan atau gas, menjadi produk-produk
gas. Produk gas ini yang secara cepat berkembang dan menempati suatu volume yang
jauh lebih besar dari pada volume bahan aslinya. Bilamana tidak ada rintangan,
pengembangan gas yang cepat ini akan menghasilkan sesuatu gelombang tekanan
(shock wave). Trauma Ledakan dapat diklasifikasikan dalam 3 mekanisme kejadian
trauma yaitu primer, sukender dan tersier
a. Trauma ledak primer
Merupakan hasil dari efek langsung gelombang
tekanan dan paling peka terhadap organ - organ
yang berisi gas. Membrana timpani adalah yang
paling peka terhadap efek primer ledak dan
mungkin mengalami ruptur bila tekanan
melampaui 2 atmosfir. Jaringan paru akan
menunjukan suatu kontusio, edema dan rupture
yang dapat menghasilkan pneumothoraks.
Ruptur alveoli dan vena pulmonaris dapat
menyebabkan emboli udara dan kemudian kematian mendadak. Pendarahan
intraokuler dan ablasio retina merupakan manifestasi okuler yang biasa terjadi,
demikian juga ruptur intestinal.
b. Trauma ledak sekunder
Merupakan hasil dari objek-objek yang melayang dan kemudian membentur
orang disekitarnya
c. Trauma ledak tersier
Terjadi bila orang disekitar ledakan terlempar dan kemudian membentur suatu
objek atau tanah. Trauma ledak sekuder dan tertier dapat mengakibatkan trauma
baik tembus maupun tumpul secara bersamaan

PT SMS Indonesia | Smart 117 | P a g


VIII

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Setelah mengikuti materi ini peserta mampu melakukan penilaian awal (initial assessment)
korban trauma dengan cepat dan tepat.

TUJUAN INSTRUKSIONAL
KHUSUS:
Setelah mengikuti materi ini
peserta mampu:
1. Menjelaskan
Pengertian initial
assesment
2. Mengetahui masalah yang
Mengancam pada korban
Trauma dengan cepat tepat
Serta cara penanganan
secara Simultan.
3. Melakukan pengkajian
primer (primary
survey)
4. Melakukan pengkajian
sekunder (secondary
survey)
5. Menentukan rujukan rumah
Sakit yang tepat untuk penanganan definitive

INITIAL ASSESSMENT
A. PENDAHULUAN
Penilaian awal korban cedera kritis akibat cedera multipel merupakan tugas yang
menantang, dan tiap menit bisa berarti hidup atau mati. Sistem Pelayanan Tanggap Darurat
ditujukan untuk mencegah kematian dini karena trauma yang bisa terjadi dalam beberapa menit
hingga beberapa jam sejak cedera (kematian segera karena trauma, immediate, terjadi saat
trauma. Perawatan kritis, intensif, ditujukan untuk menghambat kematian karena trauma yang
terjadi dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah trauma).

Kematian dini diakibatkan gagalnya oksigenasi adekuat pada organ vital (ventilasi tidak
adekuat, gangguan oksigenisasi, gangguan sirkulasi, dan perfusi organ tidak memadai), cedera
SSP masif (mengakibatkan ventilasi yang tidak adekuat dan/ atau rusaknya pusat regulasi
batang otak), atau keduanya. Cedera penyebab kematian dini mempunyai pola yang dapat
diprediksi (mekanisme cedera, usia, jenis kelamin, bentuk tubuh, atau kondisi lingkungan).
Tujuan penilaian awal adalah untuk menstabilkan pasien, mengidentifikasi cedera/ kelainan
pengancam jiwa dan untuk memulai tindakan yang sesuai, serta untuk mengatur kecepatan dan
efisiensi tindakan definitif atau transfer ke fasilitas kesehatan yang sesuai dengan keadaan
korban melalui protokol yang disebut ― advanced trauma life support‖.
Penilaian awal ini intinya mencakup beberapa elemen, yaitu:
1. Triage
2. Primary Survey, yaitu penanganan ABCDE+FG dan resusitasi. Disini dicarikeadaan yang
mengancam nyawa, dan apabila menemukan harus dilakukanresusitasi.

PT SMS Indonesia | Smart 118 | P a


3. Secondary Survey, yaitu head to toe / pemeriksaan yang teliti dari Ujung kepala sampai
kaki.
4. Monitoring pasca resusitasi dan re-evaluasi

PT SMS Indonesia | Smart 119 | P a g


5. Penanganan lanjutan (definitive care)
6. Pertimbangan untuk rujukan
Survey primer maupun sekunder harus selalu diulang-ulang untuk menentukanadanya
keadaan penurunan penderita, dan memberikan resusitasi dimana diperlukan.

B. TAHAPAN PENGELOLAAN KORBAN


Langkah-langkah penilaian dilakukan dengan sistematis, terarah dan berorientasi pada
penanganan masalah yang ada pada pasien secara simultan. Persiapan korban trauma dapat
terjadi di dua tempat, diantaranya:
 Fase Pra Rumah Sakit
Kordinasi yang baik antara petuga lapangan dengan team kedehatan dirumah sakit akan
sangat bermanfaat terhadap keberhasilan penanganan. Pada fase pra rumah sakit, fokus
penanganan pada airways dan breathing, kontrol shock dan perdarahan serta imobilisasi
korban untuk segera rujuk ke tempat yang memadai setelah ABCDE stabil. Berikut hal hal
yang harus diperhatikan pada fase ini:
Pengamanan diri, lingkungan dan korban
Koordinasi dan komunikasi dengan rumah sakit untuk persiapan
Pertahankan airway (jalan napas), breathing (pernapasan)
Atasi shock, kontrol perdarahan
luar Jaga imobilisasi korban
Informasikan tentang kejadian: waktu, proses kejadian, riwayat pasien, dan
biomekanik trauma
Prinsip utama adalah bahwa tidak boleh membuat keadaan lebih parah ―Do no further
harm‖
 Fase Rumah Sakit
Perencanaan yang tepat oleh team petugas rumah sakit untuk menerima korban trauma
adalah hal yang sangat penting. Proses serah terima atara petugas lapangan dengan team
rumah sakit harus dilakukan dengan sebaik mungkin. Penerima informasi harus
memastikan informasi terkait korban trauma ke team petugas rumah sakit yang melakukan
penanganan tersebut. Berikut hal-hal yang harus diperhatikan pada fase ini:
Koordinasi dan komunikasi dengan tim yang bertugas di Rumah Sakit
Tersedianya area resusitasi untuk korban trauma
Memastikan Persiapan peralatan emergency dapat berfungsi dengan baik
Melakukan Penanganan Primary Survey
Melakukan Penanganan Sekundary
Survey Triage
adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhanterapi dan sumber daya
yang tersedia. Pada umumnya kita akan melakukan triage, tidak peduli apakah korban
hanya satu ataubanyak.
Bila satu korban, akan mencari masalah penderita (selection
ofproblems).Sedangkan Bila banyak korban, akan mencari penderita yang paling
bermasalah.Pemilahan akan didasarkan pada keadaan ABC (Airway, Breathing,
danCirculation).
Dua jenis keadaan triase dapat terjadi:
- Jumlah korban dan beratnya perlukaan tidak melampaui kemampuan petugas.
Dalam keadaan ini penderita denganmasalah gawatdarurat dan multi-trauma akan
dilayani terlebih dahulu,sesuai prinsip ABC.
- Jumlah korban dan beratnya perlukaan melampaui kemampuan petugas. Dalam
keadaan ini yang akan dilayaniterlebih dahulu adalah penderita dengan
kemungkinan survival yangterbesar dan membutuhkan waktu, perlengkapan,dan
tenagapaling sedikit.
Dokumentasi
Pertimbangkan mediko-legal, termasuk catatan medis, persetujuan tindandakan
dan bukti forensik selama tindakan initial assesment. Catatan medis selama tindakan
harus seluruhnya didokumentasikan, dengan catatan medis yang baik persoalan
mediko-legal selama ini yang sering timbul dapat diselesaikan.
Jika memungkinkan persetujuan untuk pengobatan harus ditandatangani
sebelum tindakan, akan tetapi pada kondisi keadaan darurat, terapi/tindakan harus

PT SMS Indonesia | Smart 120 | P a


segeradilakukan dan persetujuan dapat dilakukan selanjutnya. Bila ada masalah pidana
pada pasien, maka petugas harus memelihara dengan baik semua bukti yang ada
termasuk peluru, pakaian, pemeriksaan alkhohol dan obat-obatan karena sangat
berguna dan mempunyai nilai hukum.
Beberapa penyakit menular seperti Hepatitis, AIDS, HIV dll sangat mungkin terjadi, oleh
karena itu proteksi diri (sarung tangan, masker, kacamata, dan approun) harus selalu
diperhatikan dan dijalankan baik di pra rumah sakit maupun di rumah sakit.

C. PENANGANAN KORBAN TRAUMA


Tahapan dalam pengelolaan atau penanganan pasien trauma pada kasus kegawatdaruratan
secara umum terdiri dari:
1. Primary Survey
2. Secondary survey
3. Re-evaluasi
4. Pertimbangan untuk rujukan

Danger
Perhatikan bahaya yang mengancam di sekitar lokasi kejadian. Pastikan aman/ safety dalam
melakukan tindakan pertolongan. Adapun keamanan yang harus diperhatikan adalah :
Keamanan diri / Penolong
Kemanan lokasi kejadian
Keamanan pasien/korban
Evaluasi dan waspadai semua potensi bahaya agar tidak membahayakan penolong dan
penderita

Respon
Menilai kesadaran di awal penilaian dilakukan dengan cepat dan tepat, dimana hal ini
untuk segera melakukan rencana tindakan pertolongan bagi korban. Cek kesadaran di awal
penilaian hanya mengukur apakah korban sadar atau tidak. Adapun penggunaan cek kesadaran
dengan menggunakan AVU:
A = Alert/sadar
Pasien dikatakan alert/sadar apabila pasien dapat berorientasi terhadap tempat, waktu dan
orang.
V = Verbal/respon terhadap suara
Pasien berespon terhadap rangsangan suara (mengikuti perintah melalui verbal dengan
teriak ―pak/buk!‖ Atau ―buka mata pak/buk!‖ Dan tepuk bahu)
U = Unresponsive/tidak sadar
Kegagalan dalam merespon hal tersebut menunjukan adanya gangguan ABCD,
sehingga memerlukan penilaian dan penanganan segera.

Call For Help


Segera aktifkan sistem emergency dan minta pertolongan.

Heart Monitor / ECG Monitor


Monitoring sangat penting dilakukan untuk seluruh penderita multiple trauma, atau usia
penderita diatas 40 tahun atau pada penderitayang tersengat arus listrik ataupun dipasang untuk
penderita yang memiliki riwayat penyakit jantung seperti takikardi, atrial fibrilasi, perubahan
segmen ST bisa menandakan adanya trauma tumpul pada jantung. PEA mengidentifikasikan
terjadinya tanponade jantung/ hipovolemia, sedangkan bradikardi menandakan gangguan
hantaran kelistrikan dan munculnya prematur beat menunjukan kemungkinan terjadinya
hipoksia/hiperfusi.

PT SMS Indonesia | Smart 121 | P a g


PRIMARY SURVEY
Primary survey terdiri dari penilaian secara cepat tepat akurat berdasarkan prioritas yang
mengancam nyawa. tetapi sebelum memegang penderita trauma selalu harus proteksi diri
terlebih dahulu untuk menghindari tertular penyakit seperti Hepatitis dan AIDS. Bila proteksi
diri telah dilakukan dan informasi mengenai korban telah terkumpul, langkah selanjutnya
adalah penilaian dan pengelolaan berdasarkan prioritas masalah yang mencakup ―ABCDE‖.
A: Airway dengan kontrol servikal (gangguan airway adalah pembunuh tercepat)
B: Breathing dengan kontrol ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
D: Disability (penilaian status neurologis dan GCS)
E: Exposure tetapi cegah hipotermia
Penanganan primary survey dilakukan secara simultan tidak lebih dari 2 menit melalui
pendekatan teamwork, konsep tersebut sangat penting untuk mencegah interupsi dan dapat
dapat dilakukan secara simultan.

Airways Dengan Kontrol Servikal


WASPADA : Fraktur Servikal
Pada setiap penderita trauma dengan mekanisme cidera berat, harus dicurigai adanya cidera
korda spinalis sampai terbukti tidak adanya hal tersebut. Untuk melakukan pemastian
bebasnya airway, petugas harus ingat bahwa adanya kemungkinan cidera tulang servikal.
Gerakan berlebihan pada daerah korda spinalis dapat menyebabkan kerusakan neurologik atau
menambah kerusakan neurologik akibat kompresi tulang yang terjadi pada fraktur tulang
belakang. Solusinya adalah memastikan leher tetap dalam posisi netral (bagi penderita) selama
pembebasan jalan napas dan pemberian ventilasi yang dibutuhkan.
Korban utama pasti gelisah sehingga harus difiksasi bagian leher dengan menggunakan
neck collar atau penyanggah leher agar tidak terjadi masalah pada nervus phrenicus yang
beresiko menyebabkan depresi napas. Pemasangan ini diindikasikan untuk kemungkinan
fraktur servikal jika terdapat tanda-tanda:
1) Trauma kapitis, terutama jika korban mengalami penurunan kesadaran
2) Trauma tumpul di atas kranial dari klavikula
3) Setiap kasus multitrauma (trauma pada 2 regio tubuh atau lebih)
4) Proses kejadian yang mendukung (biomekanik trauma mendukung misal ditabrak
dari belakang)
Airway harus diperiksa secara cepat untuk memastikan bebas dan patennya serta tidak
adanya potensi bahaya atau obstruksi.Jika airway terganggu maka diperlukan pembebasan
sesuai dari gangguan jalan napas yang ditemukan. Dan jika ditemukan pasien tidak sadar
dengan adanya suara napas seperti:
- Gurgling: lakukan logroll jika alat suction belum siap atau jika darah/mutah terlalu
banyak, segera lakukan suction
- Snoring:
manual: chin lift/jaw thrust, dilakukan sementara jika alat belum siap/belum
tersedia dengan alat: OPA (tanpa gangguan reflek), NPA (jika ada ganggungan
reflek)
Harus diingat bahwa pemasangan pipa melalui hidung merupakan kontraindikasi
apabila penderita adakecurigaan fraktur basis kranii bagian depan, karena pipa dapat
masuk ke rongga kranium.
- Crowing: definitif airway: intubasi endotracheal/needle cryco-thyroidotomy
Perhatikan selalu indikasi dan kontra indikasi dari masing masing alat bantu jalan napas.
Apabila ada pasien dengan penurunan kesadaran atau pasien pasca henti jnatung beresiko
terjadi obstruksi oleh lidah jatuh, maka segera dilakukan pemasangan LMA atau pasien
dengan GCS <8 menjadi salah satu indikasi dilakukan pemasangan intubasi, jika kesulitan
intubasi menjadi indikasi dilakukan needle cryco-thyroidotomy.
Untuk menyangga tulang belakang yang dicurigai trauma servical, segera pasang Long
spine board dengan teknik logroll serta lakukan fiksasi kepala menggunakan head
emobilizer.
Menjaga jalan nafas pada penderita trauma dapat sangat sulit. sebagai contoh adalah
penderita dengan trauma kapitis dengan mulut yang penuh darah karena raktur basis kranii
ataupun karena fraktur tulang wajah. Contoh lain adalah penderita kesadaran menurun yang
gelisah dan gigi terkatup. Betapapun sulitnya, tetapi merupakan tugas team rumah sakit yang

PT SMS Indonesia | Smart 122 | P a


menerima penderita itu untuk dapat menjaga jalan nafas dengan baik dan dalam waktu yang
secepat mungkin. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan
bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi, ataupun rotasi dari leher.
ATTENTION!
selalu ingat gangguan airway adalah pembunuh tercepat.

Breathing Dengan Kontrol Ventilasi


Oksigen harus terdistribusi secara efektif ke paru-paru. Hipoksia dapat terjadi akibat
ventilasi yang tidak adekuat dan kurangnya oksigen di jaringan. Setelah airway bebas maka
kualitas dan kuantitas ventilasi penderita harus dievaluasi. Evaluasi pernapasan: dengan lihat,
dengar dan rasakan. Jika tidak bernapas maka penilaian dihentikan dan petugas harus segera
memberikan ventilasi buatan. Jika penderita napasnya untuk menentukan kecukupan udara bagi
penderita. Perhatikan gerakan napas dada dan dengarkan suara napas penderita jika tidak sadar
atau lakukan pemeriksaan dengan cara:
- Lihat dada penderita dengan membuka untuk melihat pernafasanyang baik. Lihat apakah
ada jejas, luka terbuka, dan ekpansi kedua paru
- Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara kedalam kedua paru dengan
mendengarkan bising nafas (janganlupa sekaligus memeriksa jantung)
- Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara (hipersonor) atau darah(dull) dalam rongga
pleura.
Frekuensi napas/ respiratory rate manusia sebagai berikut :
Dewasa: normal: 12-20 x/menit – abnormal: <12 dan > 20x/menit
Anak: normal: 15-30x/menit – abnormal: <15 dan > 30x/menit
Bayi: normal: 25-50x/menit – abnormal <25 dan > 50x/menit
Atau nilai saturasi oksigen (spo2) dengan menggunakan pulse oximetri, jika dengan hasil
95-100% menandakan oksigenasi ke perifer adekuat.
Akan tetapi jika hasilnya Abnormal dapat menandakan hipoksia, asidosis atau hipoperfusi
(atau ketiganya). Evaluasi dan lakukan pemeriksaan fisik diantaranya: Inspeksi, Auskultasi,
Perkusi, dan Palpasi untuk mengetahui penyebab kemungkinan terjadinya masalah pada
breathing diakibatkan karena adanya trauma thoraks (pada pembahasan trauma thoraks) seperti:
Tension penumothoraks: needle decompresi dan selanjutnya pemasangan chest tube oleh
dokter
Open Pneumothoraks: occlusife dressing dan selanjutnya pemasangan chest tube oleh
dokter
Flail chest: posisi nyaman serta pemberian oksigen dan kolaborasi pemberian
anelgetik/torakotomi oleh dokter
Hemothoraks: pemberian oksigen & selanjutnya pemasangan chest tube oleh dokter
Tamponade Jantung: perikardiosintesis oleh dokter
Kelainan-kelainan di atas harus segera ditangani, untuk menghindarikematian.
Ventilasi tambahan
Apabila sudah terpasang rebreathing atau non-rebreathing mask atau kanule tetapi
pernafasan tidak adekuat harus dipertimbangkan dilakukan bantuan pernafasan (assisted
ventilation) segera. Di UGD sebaiknya membantu pernafasan dengan memakai Bag-Valve
Mask, ataupun memakai ventilator.
Circulation Dengan Kontrol Perdarahan
Kenali masalah yang akan timbul dari sistem sirkulasi akibat perdarahan luar maupun dalam
yang dapat menimbulkan terjadinya syok, Periksa sirkulasi dengan memeriksa kulit akral dan
nadi. Bila ada tanda syok: Atasi! Perdarahan merupakan sebab utama kematianpasca-bedah
yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dantepat di rumah sakit.
syok pada korban trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai terbukti
sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik
penderita. Berikut ini masalah yang dapat terjadi dan penanganannya :

PT SMS Indonesia | Smart 123 | P a g


1. Kontrol Perdarahan
Perdarahan dapat secara eksternal (terlihat) dan internal (tidak terlihat).
a. Perdarahan External
Apabila terjadi perlukaan atau terjadi perdarahan eksternal langsung di lakukan
direct pressure (penakanan langsung) pada daerah luka dapat mengkontrol hampir
semua perdarahan besar, sampai penderita dapat dipindahkan ke ruang
operasi.tourniquet jangan dipakai, karena apabila dipasang secara tidak benar (diatas
tekanan sistolik) justru akan merusakjaringan karena menyebabkan iskemia distal dan
dapat merusak jaringan sekitar seperti syaraf dan pembuluh darah.
b. Perdarahan Internal
Apabila dicurigai adanya perdarahan internal, petugas harus dengan jeli melakukan
pemeriksaan fisik dengan cepat dapat melakukan pemeriksaan inspeksi, Auskultasi dan
palpasi pada daerah yang dicurigai perdarahan. Cedera pada daerah yang menampung
cairan darah banyak atau di daerah yang bisa mengakibatkan syok, segera lakukan
stabilisasi dengan pemasangan spalk atau bidai dan lakukan penanganan resusitasi
cairan.Pneumatic anti shock garment adalah suatu alat untuk menekan pada keadaan
fraktur pelvis, namun alat ini mahal dan sulit didapat, Sebagai gantinya dapat
dipakaikan gurita sekitar pelvis. Perdarahanintra-abdominal atau intra-torakal yang
masif, dan tidak dapat diatasidengan pemberian cairan intravena yang adekuat,
menuntutdiadakannya operasi segera untuk menghentikan perdarahan.
Adapun kondisi perdarahan yang bisa mengakibatkan syok adalah pada daerah:
Rongga Thoraks
Rongga Abdomen
Fraktur Pelvis
Fraktur tulang panjang
perdarahan retro-peritoneal karena robekan vena kava/aorta atauperdarahan massif
dari ginjal.
Pada face pra-RS biasanya tidak banyak yang dapat dilakukan. PASG ( Pneumatic
Anti Shock Garment) dan gurita dapat dipakai untuk mengontrol perdarahan pelvis dan
ekstremitas inferior, tetapi alat ini tidak boleh mengganggu pemasangan infus.
2. Pengenalan Syok
Identifikasi, kontrol perdarahan dan resusitasi cairan merupakan langkah krusial yang
harus segera dilakukan. Hipotermi pada penderita trauma merupakan salah satu akibat dari
kehilangan volume darah yang mengakibatkan penurunan cardiac output, jika sudah
dikenali adanya tanda shock tersebut, anggaplah sebagai shock hemoragic dan segera
lakukan penalataksanaan untuk perbaikan volume darah.
Ada dua pemeriksaan yang dalam hitungan detik dapat memberikaninformasi
mengenai keadaan hemodinamik, yakni keadaan kulit akraldan nadi.
a. Keadaan kulit akral:
Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Korban trauma yang kulitnya
kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang yang dalam keadaan
hipovolemia. sebaliknya,wajah pucat keabu - abuan dan kulit ekstremitas yang pucat
sertadingin, merupakan tanda syok.
b. Nadi:
Nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri carotis harusdiperiksa bilateral,
untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Padasyok nadi akan kecil dan cepat.

3. Penatalaksanaan Bila nadi kecil


(perbaikan dandarah)
volume cepat, kulit pucat, dan akral dingin —
Kehilangan darah sebaiknya diganti syok! dengan darah, namun penyediaan darah
Catatan
memerlukan mengenai
waktu, tekanan
karena itu darah, Pada
pada awalnya akan fase awal jangan
diberikan terlalu percaya
cairan kristaloid 1 liter pada
kepada
dewasa atau tekanan
20ml/kg darahyang
pada anak dalam menentukan
sudah dihangatkansyok karena
untuk Tekanan
mengatasi syokdarah
hemoragik
sebelumnya tidak diketahui. Diperlukan kehilangan volume darah lebih

PT SMS Indonesia | Smart 124 | P a


melalui 2 jalur dengan jarum intravena yang besar diguyur. Saat pemasangan intravena
sekalian lakukan pengambilan sample darah untuk cross macthing, mengecek golongan
darah dan tes kehamilan pada penderita wanita dalam masa subur serta lakukan
pemeriksaan analisa gas darah untuk mengetahui derajat shock.
Lakukan evaluasi pemberian resusitasi cairan dengan menilai kembali tanda-tanda
shock dan nilai tekanan darah, bila tidak efektif, maka lakukan kolaborasi pemberian
transfusi darah. Kemungkinan pasca evaluasi resusitasi cairan adalah:
a. Respon baik: setelah diguyur, tetesan diperlahan, tanda-tanda perfusi baik(kulit
menjadi hangat, nadi menjadi besar dan melambat, tensi naik dsb). Inipertanda
perdarahan sudah berhenti.
b. Respon sementara: setelah tetesan dipelankan, ternyata penderita masuksyok lagi. Ini
mungkin disebabkan: resusitasi cairan masih kurang, atauperdarahan berlanjut.
c. Respon tidak ada: Apabila sama sekali tidak ada respon terhadappemberian cairan,
maka harus dipikirkan perdarahan yang hebat atausyok non-hemoragik ( paling sering
kardiogenik).

Disability
Perdarahan intra-kranial dapat menyebabkan kematian dengan sangat cepat(the patient who
talks and dies), sehingga diperlukan evaluasi keadaanneurologis secara cepat.Setelah Airway,
Breathing, and Circulation pemeriksaan status neurologi harus dilakukan yang meliputi:Tingkat
kesadaran dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian tanda lateralisasi: Pupil
(ukuran, simetris dan reaksi terhadap cahaya), kekuatan tonus otot (motorik)
1. Glasgow Coma Scale (GCS)
merupakan skala yang penting untuk evaluasi pengelolaan jangka pendek dan panjang
penderita trauma. GCS adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat meramal
kesudahan (outcome) penderita. Penurunan kesadaran dapatdisebabkan penurunan
oksigenasi atau/dan penurunan perfusi ke otak,atau disebabkan perlukaan pada otak
sendiri. Perubahan kesadaranakan dapat mengganggu mengganggu airway Berta breathing
yangseharusnya sudah diatasi terlebih dahulu. Jangan lupa bahwa alkoholdan obat-obatan
dapat mengganggu tingkat kesadaran penderita.Penurunan tingkat GCS yang lebih dari satu
(2 atau lebih) harus sangatdiwaspadai.
Kategori Respon Respon Nilai
Spontan 4
Respon Perintah verbal 3
Buka Mata Nyeri 2
Tidak ada respon 1
Mengikuti perintah 6
Mengetahui letak nyeri 5
Flexi terhadap nyeri 4
Respon Motorik Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi (deserebrasi) 2
Tidak ada respon 1
Orientasi baik dan bicara 5
Disorientasi dan berbicara 4
Respon Verbal Kata-kata yang tidak tepat 3
Suara yang tidak berarti 2
Tidak ada respon 1
―Ingat, pemberian oksigen, ventilasi, perfusi, obat, alchohol dan hipoglikemia dapat
mempengaruhi tingkat kesadaran‖
2. Pemeriksaan pupil
Pemeriksaan pupil berperan dalam evaluasi fungsi cerebral pada tahap ini. Keadaan pupil
yang normal digambarkan dalam PEARL (Pupils Equal and Round Reactive to Light),
yaitu pupil harus simetris, bundar dan bereaksi normal terhadap cahaya. Dan salah satu
keadaan pupil yg tidak normal yakni Pupil yang tidak sama besar (anisokor), kemungkinan
menandakan adanya suatu lesi masa intra-kranial (perdarahan),Tapi perlu diingat bahwa
lesi biasanya (tidak selalu) akanterjadi pada sisi pupil yang melebar.

PT SMS Indonesia | Smart 125 | P a g


Eksposure
Eksposisi dan perlindungan terhadap lingkungan adalah hal yang harus diperhatikan dalam
tahapan eksposure. Petugas tidak bisa melihat secara detail jika penderita masih berpakaian
lengkap. Untuk proses penilaian, pakaian penderita perlu dibuka. Tindakan ini terhadap
penderita trauma adalah penting untuk menentukan semua cidera atauevaluasi kelainan secara
cepatagar tidak melewatkan memeriksa seluruh bagian tubuh terlebih yang tidak terlihat secara
sepintas, karena luka dapat luput dari pemeriksaan karena darah dapat terserap oleh kain. Jika
seluruh tubuh telah diperiksa, penderita harus ditutup untuk mencegah terjadinya hipotermi.
Walaupun penting untuk membuka pakaian penderita trauma untuk melakukan penilaian
yang efektif, namun hipotermia tidak boleh dilupakan dalam pengelolaan penderita trauma.
Eksposisi (buka pakaian) hanya yang diperlukan saja jika berada di luar unit. Setelah berada di
dalam unit yang hangat sempurnakan pemeriksaan dan tutup kembali tubuh penderita sesegera
mungkin. Apabila pada primary survey dicurigai ada perdarahan daribelakang tubuh maka
dilakukan ―logroll‖ untuk mengetahui sumber perdarahan atau ada kemungkinan luka/jejas.

Tambahan Pada Primary


Survey Folley Catheter
Fungsi pemasangan folley catheter adalah untuk evaluasi cairan yang masuk. Input cairan
harus dievaluasi dari hasil output cairan urin. Output urin
normal: Dewasa : 0,5 cc/kg BB/ jam
Anak : 1 cc/kg BB/ jam
Bayi : 2 cc/kg BB/ jam
Pemasangan foley catheter sebaiknya harus memperhatikan kontra indikasi sebelum
dilakukan pemasangan kateter. Adapun kontra indikasi pemasangan folley catheter adalah
sebagai berikut:
Ruptur uretra (Adanya hematom scrotum pada pria, ekimosis pada perineum,
Perdarahanlubang uretra bagian luar (OUE/Orifisium Uretra Externa)
Pada saat RT (Rectal Touche) posisi prostat melayang/ tidak teraba/ high riding
Fraktur pelvis
Buang urin residu pemasangan urin pertama kali, dan mulai tampung urin berikutnya untuk
evaluasi urin output.
Gastric Tube/Kateter Lambung
Pemasangan gastric tube dapat melalui mulut (Orogastric Tube/ OGT) atau hidung
(NasoGastric Tube/ NGT). Indikasi pemasangan gastric Tube adalah sebagai berikut:
1. Mengurangi distensi lambung
2. Mencegah aspirasi, Isi lambung yang pekat akan mengakibatkan NGT tidak berfungsi.
3. Mempermudah pemberian obat dan makanan
4. Mengetahui adanya hemoragic pada gastrointestinal bagian atas
Kontrainidikasi NGT (Naso Gastric Tube) adalah untuk pasien yang mengalami trauma
di wajah, fraktur basis cranii (fraktur cribiformis/lamina kribrosa patah) atau diduga ada
obstruksi yang terlihat (fraktur os nasal, polips), berikut Tanda-tanda fraktur tersebut:
1. Racoon eyes (Braille Hematom)
2. Perdarahan dari hidung (Rhinorhea)
3. Perdarahan dari telinga (Othorhea)
4. Echymosis/kemerahan dibelakang telinga (Battle Sign)
5. Fraktur nasal
Pada kondisi tersebut direkomendasikan pemasangan selang lewat mulut (orogastric tube)
untuk mencegah masuknya NGT ke dalam rongga intrakranial.
Pertimbangakan Kebutuhan Rujukan
Lakukan re-evaluasi (A-G)

PT SMS Indonesia | Smart 126 | P a


SECONDARY SURVEY
Tahapan Survey sekunder dilakukan setelah melakukan primary survey (ABCDE) selesai
dilakukan dan telah terbukti adanya peningkatan vital sign atau keadaan penddderita sudah
stabil,pemeriksaan ini dilakukan dengan teliti dari Ujung rambut sampai Ujung kaki, dari depan
sampai belakang dan setiaplubang dimasukkan jari (tube finger in every orifice).
Sedikit mengenai pengertian stabil: penderita stabil berarti bahwa keadaan penderita sudah
tidak menurun. Mungkin masih ada tanda syok, namun tidak bertambah berat. Ini berbeda
dengan keadaan normal, dimana penderita kembali ke keadaan normal. adapun pemeriksaannya
sebagai berikut:

Vital Sign
Periksa kembali tanda-tanda vital sebagai data untuk mengetahui status pernapasan dan
sirkulasi, yakni: Tekanan Darah, Nadi, Pernapasan, Suhu, dan SPO2

Anamnesa
Anamnesis harus lengkap karena akan memberikan gambaranmengenai cedera yang
mungkin diderita. Beberapa contoh:
1. Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman:cedera
wajah, maksilo fasial, servikal, toraks, abdomen dan tungkaibawah.
2. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter: perdarahan intra-kranial,fraktur servikal
atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
3. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi dan keracunan CO

KOMPAK
K: Keluhan saat ini
O: Obat yang sedang dikonsumsi
M: Makanan terakhir (Jenis & waktu
terakhir makan)
P: Penyakit
A: Alergi
K: Kejadian

Head To Toe Examination


Pada saat melakukan pemeriksaan fisik perhatikan:
B = bentuk
T = tumor
L = luka
S = sakit
Adakah kelainan bentuk, tumor, luka, sakit pada saat inspeksi, palpasi, auskultasi dan
perkusi pada seluruh pemeriksaan area tubuh (head to toe examination) :
Kepala
Pemeriksaan secara visual bertujuan untuk mencari perdarahan, abrasi, laserasi,
kontusio, asimetris tulang, wajah dan kepala. Pemeriksaan secara palpasi bertujuan
untuk mengenali adanya krepitasi, deviasi, depresi pada kepala dan wajah.
Ingat prinsip ―look— listen — feel‖ Apabila cedera sekitar mata janganlalai
memeriksamata, karena pembengkakan di mata akanmenyebabkan pemeriksaan mata
menjadi sulit.
Mata: periksa cornea ada cedera atau tidak, pupil mengenai isokor serta refleks cahaya,
acies visus dan acies campus serta jika penderita memakai lepas kontak lensa/soft lens
segera lepaskan sebelum terjadi edema.
Maksilofasial: periksa seluruh tulang wajah dari periorbita, os nasal, zygomaticum
hingga mandibular. Penderita dengan fraktur midface beresiko terjadinya fraktur
cribiformis yang merupakan kontra indikasi pemasangan NGT/NPA.
Vertebra servikalis dan Leher
Penderita dengan fraktur maksilofasial dan cedera kepala harus diasumsikan
mengalami cedera servikal-spinal. Pertahankan imobilisasi sampai hasil rontgen
menyatakan tidak ada fraktur servikal-spinal. Periksa leher meliputi inspeksi hematoma,
PT SMS Indonesia | Smart 127 | P a g
palpasi luka atau edema dan auskultasi adanya arterial bruit. Pada daerah leher terdapat
arteri besar dan tulang servikal. Periksalah dengan seksama dan hati-hati menggunakan
teknik logroll terutama pada pasien yang dicurigai mengalami fraktur tulang leher,
kesalahan pada pemeriksaan servikal dapat menyebabkan kematian dan kecacatan.
Thorax
Inspeksi dada anterior dan posterior untuk lihat adanya jejas tambahan, open
pneumothorax dan flail chest. inspeksi adanya distensi vena jugularis mrnunjukan
kemungkinan terjadi tension pneumothorax atau tanponade jantung. Auskultasi dinding
dada anterior untuk mengetahui pneumothorax dan bagian posterior untuk menilai
hemthorax. Bunyi jantung menjauh dan nadi lemah dapat mengidentifikasikan
tanponade jantung juga. Perkusi untuk mengetahui adanya bunyi hipersonor/dullnes
serta palapasi dilakukan mulai dari klavikula, tulang iga hingga sternum. Jika hasil
pemeriksaan inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi didapati kelainan seperti diatas
lakukan penanganan sesuai dengan masalah yang ditemukan.
Abdomen
Periksa pada keempat kuadran abdomen untuk mengetahui adanya perdarahan
dalam.Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada keadaan
cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebradengan kelumpuhan
(penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dangejala defans otot dan nyeri tekan/lepas
tidak ada).
inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk adanya trauma tajam, tumpul,
dan adanya perdarahan internal.Auskultasi bising usus, perkusi abdomen untuk
mendapatkannyeri lepas (ringan).Palpasi abdomen untuk nyeri tekan, defans muskuler,
nyeri lepas yangjelas, atau uterus yang hamil.
Bila ragu-ragu akan adanya perdarahan intraabdominal dapatdilakukan
pemeriksaan DPL (diagnostic peritoneal lovage), ataupunUSG (ultra-sonography).Ingat
bahwa pada perforasi organ ber-lumen misalnya usus halusgejala mungkin tidak akan
nampak dengan segera, karena itumemerlukan re-evaluasi berulang-kali.
Pelvis
Usahakan hanya sekali pemeriksaan pada pelvis untuk mengurangi cedera lebih
lanjut, jika dicurigai adalah perlukaan atau fraktur pelvis (amati adakah suara krepitasi
sebagai salah satu tanda fraktur pelvis, rasa nyeri saat palpasi lingkar pelvis) dan
identifikasi tanda lain dari fraktur pelvis yakni adanya ekimosis pada iliac, pubis, labia
atau scrotum, apabila ditemukan tanda-tanda fraktur pelvis segera pasang PASG / gurita
untuk kontrol perdarahan dari fraktur pelvis.
Ekstremitas
Periksa adanya deformitas, luka terbuka, perdarahan, dan kontusio pada bagian
depan dan belakang ekstremitas. Lakukan pemasangan bidai jika dicurigai adanya
fraktur pada ekstremitas. Kemudian Periksa PMS (Pulsasi Motorik dan Sensorik) semua
ekstremitas dan tanda-tanda sindrom kompartemen.
System neurologis
Re-evaluasi Kesadaran dengan GCS dan lateralisasi pupil, bila terjadi perburukan
tingkat kesadaran, lakukanlah penilaian ulang terhadap oksigenasi dan perfusi jaringan
ke otak.
Tambahan pada Secondary Survey
Pertimbangkan perlunya diadakan pemeriksaan tambahan: seperti foto tambahan (x-
ray spinal dan ekstermitas), CT Scan, USG, endoskopi, dsb.
Analisa Gas Darah
Pemeriksaan ini sangat penting untuk menilai pernapasan penderita yang adekuat. AGD
dapat menunjukan informasi asam basa. Pada penderita trauma, PH yang rendah & basa yang
tinggi dapatmengindikasikan terjadinya shock.
Pemeriksaan Diagnostik Lainnya
Pemeriksaan penunjang sesuai dengan kondisi penderita, contoh pada penderita trauma
tumpul, lakukan pemeriksaan x-ray thorax dan AP pelvis dan lateral daerah servikal. Rontgen
thorax dapat menunjukan kemungkinan cedera yang potensial mengancam nyawa, sedangkan
rontgen pelvis dapat menunjukan fraktur pelvis sehingga dapat diindikasikan transfusi darah.

PT SMS Indonesia | Smart 128 | P a


Focused Assesment with sonografy for trauma (FAST), extended focused assesment with

sonograpy for trauma (e-FAST), dan diagnostic peritoneal lavage (DPL) sangat bermanfaat

dalam mendeteksi adanya perdarahan intraabdomen, pneumothorax, dan hemathorax.

RE-EVALUASI

Penderita trauma harus selalu dilakukan re-evaluasi secara berkala. Penilaian ulang

penderita dengan mencatat, melaporkan setiapperubahan pada kondisi penderita dan respon.

Monitorig berkelanjutan terhadap ABCDE, dari tanda vital sign, SPO2, dan urin output.

RUJUK

Rujuk pasien di pertimbangkan sesuai dengan tingkat keparahan, fasilitas Rumah Sakit dari segi SDM maupun Pe
yang sudah dilakukan dengan teliti tanpa ada yang tertinggal.

PT SMS Indonesia | Smart 129 | P a g


STANDART OPERASIONAL PROSEDUR
Initial Assesment Management
No Tindakan Teknik
Persiapan
Penggalian informasi mengenai korban, biomekanik trauma dll
Danger/Standart Proteksi diri (Menggunakan APD)
1 Perhatikan posisi korban dan lingkungan, apakah ada yang dapat
Precaution
membahayakan korban/penolong
Pastikan korban berbaring dipermukaan yang aman, seperti kunci brankard
Tepuk bahu korban dan panggil: ―pak... atau buk. bangun‖ serta
tanya apa
2 Chek Response yang terjadi
- Ada respon verbal/motorik: lakukan tatalaksana primary survey
- Tidak berespon: lakukan tatalaksana Bantuan Hidup Dasar
3 Call for help Bila ada kebutuhan sumber daya dan peralatan tambhan segera minta bantuan
Monitor irama EKG
- Usia >40 th
- Riwayat penyakit jantung
- Kesetrum/Tersambar Petir
4 Heaart Monitor - Takikardi/ atrial fibrilasi/ perubahan segment ST: indikasi adanya
trauma tumpul pda jantung
- PEA: indikasi terjadinya tanponade jantung/ syok hipovolemi
- Bradikardi/gangguan hantaran kelistrikan: kemungkinan terjadi
hipoxia dan hiperfusi
Primary Survey
Bila biomekanik trauma mendukung, lakukan fiksasi cervikal-spinal dengan
cara manual atau pasang neck collar bila sudah tersedia
Pasang LSB dengan teknik logroll dan pasang head emobilizer untuk
imobilisasi servikal-spinal
Nilai adanya obstruksi jalan napas dengan cara mendengarkan bunyi napas
tambahan, lakukan tindakan berdasarkan hasil penilaian:
Airways dan - Snoring: manual: trauma: chin lift/jaw trust, non-trauma: head tilt chin
5 kontrol servikal- lift Dilakukan sementara sebelum alat tersedia
spinal Dengan alat: OPA (tanpa gangguan reflek), NPA (gangguan reflek)
- Gurgling: lakukan logroll, bila alat suction belum siap
- Crowing: definitife airways
Perhatikan indikasi/kontra indikasi dari masing-masing alat bantu napas,
pasien dengan GCS <8 menjadi salah satu indikasi dilakukan intubasi, jika
teerjadi kegagalan intubasi/kesulitan intubasi menjadi indikasi pemasangan
dilakukan needle cryco-thyroidotomy
Nilai kondisi umum pernapasan korban, hitung frekuensi pernapasan dan nilai
SPO2 menggunakan pulse oxymetri.
Bila SPO2 <95% berikan terapi oksigen sesuai kebutuhan indikasi
Evaluasi efektifitas pemberian terapi oksigen, bila tidak efektif kaji penyebab
lain pada gangguan pernapasan dengan pemeriksaan IAPP (inspeksi,
Auskultasi, Perkusi dan Palpasi)
Breathing dan Lakukan intervensi berdasarkan gangguan pernapasan yang ditemukan
6
kontrol ventilasi - Tension pneumothorax: needle dekompresi
- Open pneumothorax: occlusive dressing
- Hemathorax: pemberian oksigenasi
- Flail chest: posisi nyaman serta pemberian oksigen dan pemberian
analgetik
- Tanponade jantung: perikardiosintesis oleh dokter
Identifikasi sumber perdarahan
Hentikan perdarahan dengan 3T:
- Tutup dan tekan area luka (direct presure) serta Tinggikan (Elevasi)
Circulation dan - Kemudian Bidai
7 kontrol Nilai adanya tanda syok:
perdarahan - Warna kulit pucat/sianosis (terutama pada ekstermitas dan wajah)
- Penurunan kesadaran
- Pulsasi terlalu cepat atau terlalu lambat
- Akral dingin

PT SMS Indonesia | Smart 130 | P a


Atasi syok:
- Pasang akses intravena 2 jalur iv catheter besar
- Lakukan pengambilan smple darah untuk cross matching, golongan
darah, dan kehamilan pada wanita usia subur
- Beri cairan kristaloid hangat sebanyak 1 liter pda dewasa atau 20 ml/kg
pada anak
Evaluasi pemberian reusitasi cairan: lakukan monitoring vital sigh dan
penilaian tanda-tanda syok, bila tidak efektif berikan transfusi darah segera
Disability Cek GCS (glascow Coma Scale)
8 (penilaian status Periksa lateralisasi pupil (ukuran, kesimetrisan (isokor/anisokor) & reflek
neurologis) cahaya
Kaji luka tersembunyi bagian depan dan bagian belakang korban dengan
Exposure dan tehnik Log roll
9 Lepaskan Pakaian korban
cegah hipotermi
Selimuti korban untuk mencegah hipotermi
Tambahan pada Primary survey
Pasang folley catheter
Lakukan pengechekan kontra indikasi sebelum pemasangan folley catheter
- Ruptur uretra (Adanya hematom scrotum pada pria, ekimosis pada
perineum, Perdarahan lubang uretra bagian luar (OUE/Orifisium Uretra
Externa)
- Pada saat RT (Rectal Touche) posisi prostat melayang/ tidak teraba/ high
10 Folley catheter riding
- Fraktur pelvis
Buang urin pertama (urin residu), kemudian mulai tampung urin berikutnya,
urin output normal:
- Dewasa : 0,5 cc/kg BB/ jam
- Anak : 1 cc/kg BB/ jam
- Bayi : 2 cc/kg BB/ jam
Pasang gastric tube
Indikasi pemasangan gastric Tube adalah sebagai berikut:
- Mengurangi distensi lambung
- Mencegah aspirasi, Isi lambung yang pekat akan mengakibatkan NGT
tidak berfungsi.
- Mempermudah pemberian obat dan makanan
- Mengetahui adanya hemoragic pada gastrointestinal bagian atas
Lakukan pengechekan kontra indikasi sebelum pemasangan NGT, kontra
indikasi pemasangan NGT adalah untuk korban yang mengalami trauma di
wajah, fraktur basis cranii (fraktur cribiformis/lamina kribrosa patah) atau
11 Gastric tube
diduga ada obstruksi yang terlihat (fraktur os nasal, polips), berikut Tanda-
tandanya:
- Racoon eyes (Braille Hematom)
- Perdarahan dari hidung (Rhinorhea)
- Perdarahan dari telinga (Othorhea)
- Echymosis/kemerahan dibelakang telinga (Battle Sign)
- Fraktur nasal
Pada kondisi tersebut direkomendasikan pemasangan selang lewat mulut
(orogastric tube) untuk mencegah masuknya NGT ke dalam rongga
intrakranial.
Re-evaluasi
Re-evaluasi A-G

PT SMS Indonesia | Smart 131 | P a g


Secondary survey

12 Vital Sign periksa vital sign (TD, N, RR, S, & SPO2)

Anamnesa dengan metode KOMPAK:


K: keluhan saat ini
O: obat yang dikonsumsi
13 Anamnesa M: makan terakhir
P: Penyakit yang diderita
A: alergi
K: Kejadian
Pada saat melakukan pemeriksaan fisik perhatikan:
B = bentuk
T = tumor
L = luka
S = sakit
Pemeriksaan meliputi:
Pemeriksaan
14 - Thorax
Head To Toe
- Vertebra servikalis dan Leher
- Kepala
- Abdomen
- System neurologis
- Ekstremitas
- Pelvis
Tambahan pada secondary survey
Kolaborasi pemeriksaan penunjang sesuai dengan kondisi korban
- x-ray spinal dan ekstermitas
Pemeriksaan - CT Scan
15 diagnostik - USG
spesifik - endoskopi, dsb.
- Cek Analysis Blood Gas (ABG) & Capnoghraphy

Re-evaluasi
Kolaborasi untuk medikasi lebih lanjut
Pertimbangkan kebutuhan rujuk
Nilai adanya kebutuhan rujukan (ke ruang ICU/ICCU/OK/RS lain)
Komunikasikan mengenai seluruh informasi dan tindakan yang sudah dilakukan dengan teliti tanpa ada
yang tertinggal.
Rujuk
Persiapan rujukan:
- tempat rujuk harus sudah siap
- informasikan mengenai identitas korban, riwayat kejadian, keadaan umum, vital sign dan tindakan
yang sudah dilakukan

PT SMS Indonesia | Smart 132 | P a


IX

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Peserta dapat mengetahui, mengidentifikasi, dan melakukan triage.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Setelah mengikuti pelatihan ini peserta di-harapkan mampu untuk :
1. Mengetahui tentang triage.
2. Memahami tentang prosedur dan pene-rapan triage.
3. Melaksanakan triage.

PENDAHULUAN
Triage adalah penilaian, pemilahan, dan pengelompokan pasien yang akan mendapatkan
penanganan medis dan evakuasi pada kondisi kejadian masal atau bencana.

Penanganan medis yang diberikan berdasarkan prioritas sesuai dengan keadaan pasien. Triage
di bagi menjadi 2 (dua) yaitu Triage di Rumah Sakit dan Bencana.

TUJUAN TRIAGE
Tujuan triage adalah untuk memudahkan penolong memberikan pertolongan dalam kondisi
pasien masal atau bencana dan diharapkan banyak pasien yang memiliki kesempatan untuk
bertahan hidup.

Kejadian yang mengakibatkan pasien dua atau lebih harus dilakukan triage dalam
melakukan pertolongan dengan melihat kondisi pasien dan berdasarkan prioritas yang
disesuaikan dengan jumlah penolong. Untuk kasus yang biasa tingkat "urgency" harus
selalu diperhatikan. Pada kasus bencana dengan pasien yang banyak ada dua factor yang
harus diperhatikan dalam menentukan prioritas, yaitu : urgency dan potensial untuk
bertahan.

Triage dimulai dengan mengkaji lingkungan. Satu orang senior atau yang sudah
berpengalaman mengaktifkan sistem dengan menganalisa kebutuhan bantuan medis yang
diperlukan. Penggunaan alat pelindung diri harus dilakukan oleh petugas dan kelengkapan alat
medis. Pastikan orang umum atau yang tidak perlu berada di area lokasi kejadian harus
diamankan untuk keselamatan dan mempermudah penanganan.

PT SMS Indonesia | Smart 133 | P a g


TRIAGE

A. TRIAGE DI RS
Suatu proses yang mana pasien digolongkan menurut tipe dan tingkat kegawatan
kondisinya, juga untuk menguraikan perbedaan sistem klasifikasi pre-hospital dan hospital,
maupun menguraikan skala kategori keakutan pasien/Patient Acuity Category Scale
(PACS).
1. Klasifikasi Triage
Berdasarkan pada pengetahuan, data yang tersedia, dan situasi yang berlangsung.
Dengan sistem klasifikasi menggunakan nomor, huruf, tanda.
2. Sistem Triage
Non-Disaster
Untuk menyediakan perawatan sebaik mungkin bagi setiap individu pasien
Disaster
Untuk menyediakan perawatan yang lebih efektif untuk pasien dalam jumlah banyak
3. Type Triage
a. Type 1 : Traffic Director or Non-Nurse Triage (Porter)
Hampir sebagian besar berdsarkan sistem triage
Dilakukan oleh petugas yang tak berijasah
Pengkajian minimal terbatas pada keluhan utama dan seberapa sakitnya.
Tidak ada dokumentasi
Tidak menggunakan protokol
b. Type 2 : Cek Triage Cepat
Pengkajian cepat dengan melihat, dilakukan oleh perawat beregistrasi atau
dokter
Teramasuk riwayat kesehatan yang berhubungan dengan keluhan utama
Evaluasi terbatas
Tujuan : Untuk memastikan bahwa pasien yang lebih serius mendapat
perawatan pertama.
c. Type 3 : Comprehensive Triage
Dilakukan oleh perawat, dengan pendidikan yang sesuai dan berpengalaman
4 sampai 5 kategori
Sesuai protokol
4. Skala Kategori Triage
a. Prioritas 1 (Emergency) → Merah
Pasien dengan kondisi mengancam nyawa, kolaps kardiovaskuler dimana
memerlukan evaluasi dan intervensi segera
Ruang resusitasi dengan alokasi tenaga dan peralatan maksimal
Waktu tunggu Nol
b. Prioritas 2 (Urgent) → Kuning
Pasien dengan penyakit yang akut tapi tidak dalam kondisi ancaman kolaps
Perlu perhatian awal
Mungkin membutuhkan
trolly Waktu tunggu 30 menit
Area Critical Care
c. Prioritas 3 (Non Urgent) → Hijau
Pasien dengan masalah medis yang minimal
Kondisi yang timbul sudah lama/luka lama
Bisa jalan/butuh kursi roda
Area Ambulatory/ruang P3
d. Prioritas O (Kematian) → Hitam
Tidak ada respon pada segala rangsangan

PT SMS Indonesia | Smart 134 | P a


Tidak ada respirasi
spontan Tidak ada
aktivitas jantung
Hilangnya respon pupil terhadap cahaya.

TRIAGE
(Merah) (Kuning)
Mengalami masalah pada airway, breathing
dan circulation Luka bakar tanpa
Syock komplikasi Multiple trauma
Perdarahan Trauma spinal
Open chest wounds Abdominal
Trauma pada injuries Eye
abdomen injuries
Pneumothoraks
Trauma kepala
(Hijau) (Hitam)
Sprains, strains, Cidera fatal
laserasi Masalah Tidak ada respon
psikologis Tampak tanda-tanda kematian
Tanpa luka

5. Perbandingan Sistem Skala Triage 5 Kategori Berdasrkan Peringkat


CATS ESI ATS MANCHESTER
Kategori Resusitasi Level 1 Resusitasi Langsung (Merah)
Gawat Darurat Level 2 Gawat Darurat Gawat Darurat
(Merah)
Darurat Level 3 Darurat Darurat (Kuning)
Biasa Level 4 Biasa Standart (Hijau)
Tidak Gawat Level 5 Tidak Gawat Biasa (Biru)

Waktu Resusitasi Level 1 : Resusitasi : Langsung : 0 menit


Perawatan : Segera / Segera Segera/langsun
Langsung g
Gawat Darurat : Level 2 : Gawat Darurat : Gawat Darurat : 10
< 15 mnt < 15 mnt < 15 mnt menit
Darurat : < 30 Level 3 : Darurat : < 30 Darurat : 60 menit
mnt < 60 mnt mnt
Biasa : < 60 mnt Level 4 : Biasa : < 60 mnt Standart : 120 menit
bisa
ditunda
Tidak Gawat : Level 5 : Tidak Gawat : Biasa : 240 menit
< 120 mnt Bisa < 120 mnt
ditunda

Perhatian :
1. Keakutan mengacu pada seberapa parah penyakit atau cederanya
2. Protokol diperlukan untuk penugasan kategori keakutan
3. Kategori mungkin dapat berubah berdasarkan perubahan dalam kondisi pasien
4. UPTRIAGE ketiga ragu : Hindari Downtriage

PT SMS Indonesia | Smart 135 | P a g


B. TRIAGE IN DISASTER (BENCANA)
Bencana adalah peristiwa yang terjadi secara mendadak atau tidak terencana atau
secara perlahan tetapi berlanjut, baik yang disebabkan oleh alam maupun manusia, yang
dapat menimbulkan dampak kehidupan normal atau kerusakan ekosistem, sehingga
diperlukan tindakan darurat dan luar biasa untuk menolong menyelamatkan manusia
beserta lingkungannya Prioritas yang diberikan adalah:
1. High priority green/hijau
Penanganan kepada pasien yang memiliki kemungkinan hidup lebih besar. Pasien tidak
mengalami cidera yang serius sehingga dapat dibebaskan dari TKP agar tidak
bertambah pasien yang lebih banyak. Pasien yang memiliki peluang hidup lebih
banyak harus diselamatkan terlebih dahulu.
2. Intermediate priority: yellow/kuning
Kondisi pasien tidak kritis dan memiliki prioritas kedua setelah pasien dengan warna
hijau.
3. Low priority: red/merah
Pasien mengalami kondisi kritis sehingga memerlukan penanganan yang lebih
kompleks dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk usaha penyelamatan.
4. Lowest priority: black/hitam
Pasien yang sudah tidak dapat bertahan lagi dengan keadaan yang fatal atau sudah
meninggal.

C. PROSEDUR TRIAGE BENCANA


Terjadinya bencana dapat disebabkan beberapa faktor, diantaranya karena alam
(gempa bumi, banjir, tanah longsor, angina puting beliung, angin tornado,gunung
meletus), teknologi (kecelakaan kerja, keracunan, kecelakaan alat transportasi, gedung
runtuh, kebakaran), dan konflik (perang, terorisme, tawuran/perkelahian).
Dalam keadaan bencana tidak semua orang dapat memasuki area/lokasi bencana.
Maka dari itu ada pembagian area di lokasi bencana yang dialokasikan untuk orang-orang
tertentu. Pemilahan pasien yang dilakukan di luar UGD rumah sakit ketika mengalami
suatu bencana (seperti bencana alam, kecelakaan bus/ mobil, kebakaran gedung, born,
keracunan, dan lain-lain).
Triage dilakukan dengan system START (Simple Triage and Rapid Treatment) yaitu
memilah pasien berdasarkan pengkajian awal terhadap pasien dengan menilai airway,
breathingdancirculation.
1. Penolong pertama melakukan penilaian cepat tanpa menggunakan alat atau melakukan
tindakan rnedis.
2. Panggil pasien yang dapat berjalan dan kumpulkan di area pengumpulan/ collecting
area.
3. Nilai pasien yang tidak dapat berjalan, mulai dari posisi yang terdekat dengan
penolong.

PT SMS Indonesia | Smart 136 | P a


TINDAKAN, EVAKUASI & TRANSPORTASI

TRIAGE Survei Primer

START
METTAG
Resusitasi & Stabilisasi
UGD
Evakuasi
Survei

Transporrtasi Sukender

UGD RS Rujukan Tindakan Definitife


D. LANGKAH-LANGKAH TRIAGE DIBENCANA
1. Langkah 1 : Airway (Jalan Nafas)
a. Tidak bernapas, buka jalan napas, jika kembali bernafas : Merah, jika tetap tidak
bernapas: Hitam
2. Langkah 1: Respiration (breathing)
a. Pernapasan > 30 kali/menit atau < 10 kali/menit: Merah
b. Pernapasan 10 - 30/ menit: tahap berikut
3. Langkah 2 : Cek perfusi (radial pulse) atau Capillary Refill Test (kuku atau bibir
kebiruan)
a. Bila > 2 detik: Merah
b. Bila < 2 detik: tahap berikut
c. Bila pencahayaan kurang, cek nadi radialis, bila tidak teraba/lemah: Merah
d. Bila nadi radialis teraba: tahap berikut
4. Langkah 3 : Mental Status
a. Berikan perintah sederhana kepada pnderita, jika dapat mengikuti: Kuning
b. Bila tidak dapat mengikuti perintah: Merah Tindakan yang harus cepat
dilakukan: Buka jalan napas, bebaskan benda asing atau darah (obstruksi
jalan napas)
Berikan napas buatan segera jika pasien tidak bernapas
Balut tekan dan tinggikan jika ada luka terbuka/ perdarahan
Setelah melakukan langkah 1- 3 dan memberikan tanda/kartu kepada pasien, lekas
untuk menuju ke pasien lain yang belum dilakukan triage. Triage selalu dievaluasi untuk
menghindari kemungkinan terjadi kesalahan pada waktu triage.
Setiap penolong harus mengerti dan memahami konsep triage dengan menggunakan
cara START, karena cara ini sangatlah bagus dan efektif serta mudah untuk diterapkan.
Agar penolong terampil dan cekatan dalam triage harus sering dilakukan simulasi bencana
(disasterdrill), sehingga dapat menambah kemampuan dan keterampilan penolong.
Triage dilakukan dalam kondisi dimana pasien lebih dari satu, sedangkan untuk
jumlah petugas terbatas. Hal termudah dalam membantu pasien adalah dengan
dilakukannya START, penilaian pasien sangat cepat terutama dalam kondisi bencana.
Sistem penanganan pada saat bencana tidak semua orang dapat menjadi pengatur
atau bergerak sesuai dengan bagiannya. Semua harus berkoordinasi dan terkoordinasi
dalam suatu sistem yang dapat diterapkan untuk kelancaran penanganan bencana. Dalam

PT SMS Indonesia | Smart 137 | P a g


hal ini terutama pemerintah harus memahami konsep penanganan bencana. Pimpinan atau
pemegang komando pada saat bencana adalah pemerintah setempat atau pihak kepolisian,
sebagai contoh jikabencana terjadi di daerah kabupaten, maka sebagai pimpinan adalah
bupati setempat, atau jika terjadi di tingkat propinsi maka gubernur yang menjadi
pimpinan, dan jika terjadi mencapai tingkat nasional maka sebagai pimpinan adalah
pimpinan negara/presiden.
Setiap pemerintah daerah telah memiliki standar atau satuan pelaksana
penanggulangan bencana, ini dapat diterapkan oleh pemerintah setempat. Untuk lebih
menguasai dan memahami secara teknis harus diadakan latihan simulasi penanganan
bencana secara rutin.
Hal yang harus diperhatikan pada saat penanganan bencana dan seorang
pemimpinharus peka adalah tentang struktur komando, operasional, logistik, perencanaan
dan keuangan. Hal di atas sangat mendukung dan harus memiliki konsep yang bagus
sehingga tidak ada yang dilalaikan dalam penanganan bencana. Semua struktur tersebut
harus memiliki penanggungjawab dari bagian masing-masing, sehingga ada pembagian
tugas yang sesuai dengan fungsinya. Maka dari itu seorang pemimpin tim kesehatan
harus dapat menganalisa tingkat kebutuhan bantuan dengan mengamati dan Melaporkan
jumlah pasien, jumlah ambulans yang dibutuhkan, jumlah petugas medis yang harus ada
(dokter perawat, ahli gizi, ahli sanitasi, dan lainnya), kebutuhan petugas lain (tim rescue,
pemadam kebakaran, polisi, dan koordinasi dengan rumah sakit setempat atau rumah sakit
rujukan. Jika hal-hal tersebut di atas sudah memiliki konsep dan sistem yang baik, maka
diharapkan koodinasi dan kerja sama yang baik dari semua unsur yang ada di area bencana
akan tercipta, sehingga penanganan bencana khususnya bagi para pasien dapat mencapai
tujuan yaitu meminimalkan pasien yang ada dengan cepatnya mendapat bantuan dari tim
bantuan bencana.
Untuk tim kesehatan, harus mempunyai pimpinan yang sudah terlatih dan lihai dalam
penanganan bencana diharapkan hal-hal yang akan menjadi keperluan dan dukungan
terhadap pertolongan kepada pasien dapat diterapkan dengan baik. Hal yang harus
dipersiapkan dan sebagai antisipasi dalam kesehatan adalah logistik dibutuhkan untuk
sistem rujukan pasien, terapi atau obat-obatan yang akan diberikan.

PT SMS Indonesia | Smart 138 | P a


ALOGARITMA START

Luka Kecil – Bisa Jalan RESPIRASI

Tidak Ya
HIJA

Posisi Jalan Napas <30/menit >30/menit

Respirasi: tidak Respirasi: Ya PERFUSI

MERAH MERAH
HITAM

Denyut Radial: Tidak Denyut Radial: Ya


Atau
>2 detik – Refill
Kapiler - <2detik STATUS MENTAL

Kontrol Perdarahan Tidak Dapat Dapat Mengikuti


Mengikuti Perintah
Perintah sederhana
sederhana
MERAH

MERAH KUNING

PT SMS Indonesia | Smart 139 | P a g


X

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM

Setelah melaksanakan pelatihan ini peserta mampu memahami Sistem


Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu di Indonesia

Setelah menyelesaikan pelatihan ini peserta dapat:


TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS
Menjelaskan pengertian sistem
.1 penanggulangan gawat darurat
terpadu.

Merumuskan maksud dan tujuan dari .2


Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT).

Menjelaskan fase – fase didalam .3


penanggulangan gawat darurat terpadu.

Menguraikan komponen – komponen yang terlibat pada setiap .4


fase pelayanan gawat darurat yang terpadu.

Mengatur sistem penanganan kegawat daruratan terpadu di lingkungannya.5

Melaksanakan simulasi sistem penanganan kegawatdaruratan terpadu .6


dalam kehidupan sehari-hari

PT SMS Indonesia | Smart 140 | P a


SPGDT (SYSTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT TERPADU)

A. PENDAHULUAN
Keberhasilan penanggulangan korban gawat darurat tergantung pada beberapa
kondisi, yaitu: kecepatan ditemukan, kecepatan respon tenaga kesehatan, kemampuan dan
kualitas tenaga kesehatan dan kecepatan minta tolong. Semakin cepat korban ditemukan,
semakin cepat pula korban dapat diselamatkan. Namun bukan berarti tanpa halangan.
Misalnya, korban gawat darurat di lokasi yang sangat sulit dijangkau membutuhkan teknik
cara yang lebih baik dalam menemukan mereka. Pertimbangan bila kecelakaan terjadi di
daerah yang sulit, mungkin perlu dilakukan penyisiran secara foto satelit. Kecepatan respon
tenaga kesehatan baik yang ada di rumah sakit, di ambulance, atau di komunitas menjadi
sangat penting dalam memperbesar harapan hidup bagi korban dengan kondisi kegawat
daruratan.
Kemampuan dan kualitas tenaga kesehatan akan sangat menentukan probabilitas
kualitas hidup korban setelah terjadi kecelakaan. Semakin terlatih petugas kesehatan dan
diimbangi dengan pengetahuan yang baik, maka dalam melakukan tugasnya menolong
korban lebih baik, khususnya probabilitas harapan hidup korban.
Korban gawat darurat biasanya tidak mampu meminta pertolongan, karena kondisinya
sendiri pun tidak memungkinkan untuk itu. Misalnya apabila kesadaran korban menurun.
Sehingga diharapkan ada orang lain yang meminta tolong kepada petugas terlatih atau
petugas kesehatan untuk memberikan bantuan yang diperlukan sesuai kondisi korban. Maka
semakin cepat meminta tolong, semakin cepat pula mendapatkan pertolongan. Untuk itu
segala upaya perlu dilakukan untuk dapat meminta bantuan secepatnya.
Kematian karena trauma dapat terjadi sesaat setelah kejadian, dalam perjalanan ke
rumah sakit, saat di rumah sakit atau setelah pulang dari rumah sakit. American College Of
Surgeon menguraikan distribusi kematian akibat trauma yang dikenal dengan Trimodal
Death Distribution yang terbagi dalam beberapa puncak kematian akibat trauma sebagai
berikut:
1. Puncak Pertama
50% kematian akibat trauma terjadi beberapa detik atau beberapa menit setelah
kejadian. Kematian dini umumnya karena laserasi otak, batang otak, spinal cord level
tinggi, jantung aorta, dan pembuluh darah besar lainnya (hanya sedikit dari kelompok
pasien ini dapat diselamatkan). Akibat beratnya cedera, hanya sedikit dari kelompok ini.
Keberhasilan penanggulangan kelompok ini hanya dapat ditemui di daerah perkotaan
tertentu yang memiliki sarana pra rumah sakit dan transportasi yang cepat dan baik.
2. Puncak Kedua
35% kematian terjadi dalam 1-2 jam setelah trauma. Periode waktu ini dikenal dengan
The Golden Hour. Kematian disebabkan oleh trauma kepala berat (Hematoma subdural
atau extradural), Trauma thoraks (Hematotoraks atau Pneumothorax), trauma abdomen
(ruptur limpa atau laserasi hati), Fraktur femur atau pelvis dengan perdarahan masif,
multifple trauma dengan perdarahan. Pencegahan kematian harus dilakukan secara agresif
dalam periode 1-2 jam setelah trauma dengan melakukan penilaian dan resusitasi yang
tepat dan cepat, yang merupakan prinsip dasar dari Basic Trauma Life Support (BTLS).
3. Puncak Ketiga
15% kematian terjadi beberapa hari atau beberapa minggu setelah kejadian.
Kebanyakan terjadi karena sepsis dan gagal sistem organ multiple. Kualitas
penanggulangan pada setiap periode berdampak pada periode ini, sehingga orang pertama
dan setiap individu yang terlibat dalam penanggulangan pasien gawat darurat trauma akan
mempunyai dampak langsung pada hasil akhir jangka panjang. Berdasarkan uraian di
atas, maka diperlukan suatu system penanggulangan pasien gawat darurat mulai dari
tempat kejadian sampai dengan rumah sakit. Sistem tersebut dikenal dengan sistem
penanggulangan pasien gawat darurat secara terpadu (SPGDT). SPGDT merupakan suatu
alur penanganan pasien gawat darurat yang berkesinambungan dan terintegrasi/terpadu
dalam suatu sistem dengan melibatkan seluruh komponen dan sumberdaya, sehingga
pasien mendapatkan pertolongan secara cepat dan tepat dari mulai tempat kejadian, di
rumah sakit dan setelah keluar dari rumah sakit.

PT SMS Indonesia | Smart 141 | P a g


B. DEFINISI SPGDT
SPGDT adalah merupakan suatu sistem dimana koordinasi merupakan unsur utama
yang bersifat multi sektor dan harus ada dukungan dari berbagai profesi bersifat multi
disiplin dan multi profesi untuk melaksanakan dan penyelenggaraan suatu bentuk layanan
terpadu bagi penderita gawat darurat baik dalam keadaan sehari hari maupun dalaam
keadaan bencana dan kondisi kondisi kejadian luar biasa. Didalam memberikan pelayanan
medis SPGDT dibagi menjadi 3 sub sistem yaitu : Sistem pelayanan pra rumah sakit, sistem
pelayanan di rumah sakit dan sistem pelayanan antar rumah sakit. Ketiga sub sistem ini
tidak terpisahkan satu sama lain yang bersifat saling terkait didalam pelaksanaan sistem.
Prinsip Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu
Prinsip dari SPGDT adalah memberikan pelayanan yang cepat, cermat dan tepat
dimana tujuannya adalah untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan (time saving
is life and limb saving) terutama ini dilakukan sebelum dirujuk di rumah sakit yang dituju.
Ada 3 fase pelayanan :
1. Sistem pelayanan medik pra rumah sakit
2. Sistem pelayanan medik antar rumah sakit
3. Sistem pelayanan medik di rumah sakit

C. JENIS SPGDT
SPGDT dibagi menjadi 2 yaitu:
1. SPGDT-S (Sehari-Hari)
SPGDT-S adalah rangkaian upaya pelayanan gawat darurat yang saling terkait
yang dilaksanakan ditingkat Pra Rumah Sakit – di Rumah Sakit – antar Rumah Sakit dan
terjalin dalam suatu sistem. Bertujuan agar korban/ pasien tetap hidup. Meliputi berbagai
rangkaian kegiatan sebagai berikut :

a. Sistem Pelayanan Medik Pra Rumah Sakit (Pre Hospital Phase)


Diketahui adanya penderita gawat darurat oleh masyarakat
Penderita gawat darurat itu dilaporkan ke organisasi pelayanan penderita gawat
darurat untuk mendapatkan pertolongan medik.
Pertolongan di tempat kejadian oleh anggota masyarakat awam atau awam
khusus (satpam, pramuka, polisi, dan lain – lain)
Pengangkutan penderita gawat darurat untuk pertolongan lanjutan dari tempat
kejadian ke rumah sakit (sistim pelayanan ambulans)
Keberhasilan pertolongan penderita gawat darurat pada fase ini ditentukan oleh
beberapa hal, sebagai berikut :
Kecepatan dan ketepatan dalam menemukan melakukan pertolongan sesaat
setelah kejadian. Biasanya yang pertama kali menemukan dan melakukan
pertolongan adalah orang awam dan awam khusus disekitar tempat kejadian.
Kemudahan akses meminta pertolongan ke pusat komunikasi gawat darurat
Kecepatan responsen time ambulans gawat darurat kelokasi kejadian dan
meneruskan pertolongan.
Ketepatan dalam memilih rumah sakit rujukan.
Didalam penyelengaraan sistem pelayanan pra rumah sakit harus membentuk
atau mendirikan pusat pelayanan yang bersifat umum dan bersifat emergency dimana
bentuknya adalah suatu unit kerja yang disebut PSC (public safety center). PSC ini
merupakan suatu unit kerja yang memberikan pelayanan teruatama yang bersifat
emergency bisa merupakan UPT Dinas Kesehatan Kabupaten atau Kota.
Dilandasi aspek time management sebagai implementasi time saving is life
and limb saving yang mengandung unsur quick respons dan ketepatan. Unsur
kecepatan dipenuhi oleh subsistem transportasi dan komunikasi, unsur ketepatan
dipenuhi oleh kemampuan melakukan pertolongan.
1) Peran dirjen Pelayanan Medik Kemenkes RI terkait PSC:
- Kualitas pelayanan & fasilitas pelayanan.

PT SMS Indonesia | Smart 142 | P a


- Promotif, kuratif dan rehabilitatif continuum. Pencegahan primer (health
promotion dan specific protection). Pencegahan sekunder berupa deteksi
dini dan pengobatan serta pembatasan cacat. Pencegahan tertier berupa
rehabilitasi medik maksimal.
2) Kebijakan Depkes-Pelayanan Medik :
- Pedoman sertifikasi teknologi.
- Pedoman penerapan dan pengembangan teknologi
- Standar akreditasi sarana, prasarana.
- Standar pendidikan dan pendayagunaan nakes
- Penetapan pedoman pembiayaan.
3) Paradigmapelayanan medik :
- Pergeseran orientasi dari professional driven menjadi client driven.
- Pelayanan medik terintegrasi, holistic-continuum.
- Evidence based medicine : fakta yang benar.
- Medicine by law. Industri pelayanan medik mengandung unsur ekonomi,
sosial, profesional. Undang-undang perlindungan konsumen tidak dapat
diterapkan.
4) Kebijakan Depkes terkait PSC :
- Menyediakan pelayanan prima pra RS.
- Mengusahakan geomedic mapping (sumber daya sarana dan prasarana,
lokasi permasalahan: mempermudah koordinasi dan penggerakan
sumberdaya kesehatan dan non kesehatan).
- Komunikasi dan transportasi.
- Koordinasi dengan polisi/SAR, BNPB, BPBD
5) Strategi bentuk-kembang PSC :
- Administrasi dan manajemen.
Pengembangan visi, misi, strategi, kebijakan dan langkah-langkah.
- SDM (terdiri dari berbagai unsur, yaitu unsur kesehatan (termasuk
ambulance), unsur pemadam kebaran, usur kepolisian, unsur linmas serta
masyarakat sendiri yang bergerak dalam bidang pertolongan bagi
masyarakat)
- Teknologi.
Pengembangan teknologi medik dan non medik dan penunjangnya.
- Pembiayaan.
Public goods, public private maupun private goods
6) Kata kunci pembentukan PSC :
- Save community.
- Time saving is life and limb saving.
- Preparedness, prevention, mitigation, quick response dan rehabilitation.
- Administrasi-manajemen, SDM, teknologi dan pembiayaan.

PT SMS Indonesia | Smart 143 | P a g


Sistem Penanggulangan Pasien Gawat 9. Pasien yang telah selesai mendapat
Darurat Terpadu (SPGDT) perawatan di rumah sakit pulang
Berikut ini gambaran pelaksanaan Sistem kerumahnya dengan sehat atau
Penanggulangan Pasien Gawat Darurat memerlukan perawatan jalan / kontrol.
Terpadu :
1. Ketika terjadi kecelakaan atau Adapun Komponen-komponen yang
kegawatdaruratan medis maka pasien terlibat dalam SPGDT, Antara lain:
akan terlebih dahulu ditemukan oleh
orang awam yang ada disekitarnya. 1. Orang Awam/First Responder
2. Orang awam bertugas untuk Pada saat kejadian kecelakaan yang
mengamankan terlebih dahulu diri pertama kali tiba di lokasi kejadian
sendiri, lingkungan dan pasien. adalah orang awam atau masyarakat
3. Setelah mengamankan lingkungan dan umum. Orang awam menerut perannya
pasien, orang yang pertama kali dalam masyarakat dibedakan menjadi
menemukan pasien harus dua:
mengaktifkan SPGDT dengan cara a) Orang awam biasa
meminta bantuan kepada pusat Orang awam biasa atau
komunikasi gawat daruratan masyarakat umum biasanya adalah
(Dispatcher). orang yang berada paling dekat
4. Dispatcher yang menerima panggilan dengan lokasi kejadian. Apabila
harus melakukan bimbingan kejadian terjadi di jalan raya maka
pertolongan awal kepada penolong yang pertama kali menemukan pasien
pertama. Setelah itu dispatcher adalah pengendara kendaraan,
mendistribusikan informasi kepada pejalan kaki, anak sekolah, pedagang
polisi, pemadam kebakaran, rescue dan disekitar lokasi dan lain-lain. Apabila
ambulans gawat darurat yang terdekat kejadian di lokasi pabrik maka yang
dengan lokasi kejadian. menemukan pasien adalah karyawan
5. Petugas yang datang ke lokasi bertugas yang bekerja di tempat tersebut.
untuk melanjutkan pertolongan Secara spontan sebagian dari mereka
sebelumnya. Selain itu polisi bertugas akan melakukan pertolongan
mengamankan lingkungan pemadam terhadap pasien sesuai dengan
petugas memadamkan api dan pengetahuannya.
memeriksa potensi kebakaran, rescue Permasalahannya adalah masih
berfungsi untuk mengeluarkan pasien sangat sedikit orang awam yang
yang terjepit atau terperangkap. mendapat pelatihan khusus dalam
6. Petugas Ambulans Gawat Darurat melakukan pertolongan pada pasien
bertugas untuk melakukan stabilisasi gawat darurat, sehingga tidak jarang
pasien di tempat kejadian dan pertolongan yang diberikan justru
membawa pasien ke rumah sakit menambah cedera / menimbulkan
rujukan yang sudah dihubungi dan cedera baru kepada pasien (misal :
ditunjuk oleh dispatcher. kelumpuhan yang terjadi akibat
7. Sesampainya di rumah sakit rujukan, kesalahan pemindahan pada pasien
petugas ambulans dan petugas IGD trauma dengan patah tulang leher).
melakukan serah terima pasien. Untuk mewujudkan sistem
Petugas IGD melanjutkan tindakan penanggulangan gawat darurat
sebelumnya melakukan tindakan terpadu orang awam seharusnya
invasif dan pemeriksaan penunjang memiliki kemampuan untuk :
yang diperlukan. Petugas IGD yang - Mengamankan diri sendiri,
menentukan rujukan selanjutnya ke lingkungan dan pasien
Kamar Operasi, ICU, ruang perawatan - Meminta tolong ke pusat
atau rumah sakit lain yang lebih komunikasi gawat darurat
mampu - Membebaskan jalan napas
8. Apabila akan melakukan rujukan ke secara manual.
rumah sakit lain maka petugas IGD - Memberikan napas buatan pada
harus menghubungi Dispatcher lagi pasien yang mengalami henti
untuk mencari rumah sakit rujukan 1 napas.
yang tepat.
PT SMS Indonesia | Smart 141 | P a g
- Menghentikan perdarahan, memperhatikan jenis perlukaan dan
melakukan pembidaian, cedera pasien.
mengatasi syok secara manual
atau melakukan kompresi 2. Pusat Komunikasi Gawat Darurat /
jantung luar. Crisis Center
- Mengangkat dan memindahkan Pusat komunikasi gawat darurat
pasien dengan benar serta adalah bagian yang sangat vital dalam
melakukan mobilisasi pada sistem penanggulangan pasien gawat
kecurigaan cedera tulang darurat. Setiap lapisan masyarakat harus
belakang dan cedera tulang leher bisa mengakses ke sarana ini semudah
b) Orang awam khusus mungkin. Saran panggilan darurat Ini
Orang awam khusus maksudnya berupa line telepon dengan sistem
adalah orang yang bekerja pada hunting, radio komunikasi, fasilitasi
pelayanan masyarakat atau mempunyai internet, dan faksimili.
tanggung jawab terhadap keamanan dan Di Indonesia terdapat 3 nomor
kenyamanan masyarakat yaitu Polisi, panggilan darurat, 119 untuk ambulans
pemadam kebakaran, Satpol PP, Satuan gawat darurat, 113 untuk pemadam
Pengamanan (SATPAM), Tim SAR dan kebakaran dan 110 untuk kepolisian.
tentara. Sesuai dengan Ketiga nomor tersebut seharusnya
tanggungjawabnya kepada masyarakat, berada dalam satu atap dan terintegrasi
orang awam khusus seharusnya dilatih dalam satu sistem pelayanan. Namun
khusus untuk melakukan pertolongan kenyataannya sampai dengan saat ini
kepada pasien gawat darurat di lokasi ketiga nomor tersebut masih terpisah
kejadian. Pengetahuan mereka harus dimasing-masing institusi sehingga
lebih baik dibandingkan orang awam pelayanan yang diselenggarakan tidak
biasa. Kemampuan yang harus dimiliki optimal. Sebagai contoh apabila terjadi
oleh orang awam khusus adalah : kecelakaan lalu lintas yang melibatkan
- Mengamankan diri sendiri, banyak kendaraan dan terjadi ledakan
lingkungan dan pasien. serta kebakaran pada kendaraan-
- Meminta tolong ke pusat komunikasi kendaraan tersebut maka masyarakat
gawat darurat. harus melakukan 3 panggilan darurat,
- Membebaskan jalan napas secara yaitu memanggil polisi ke 110,
manual atau menggunakan alat yang memanggil pemadam kebakaran/ rescue
tidak invasif. ke 113 dan memanggil ambulans ke 119.
- Memberikan napas buatan dan Hal ini mengakibatkan keterlambatan
oksigenisasi. dalam pertolongan, dan pertolongan
- Menghentikan perdarahan, yang diberikan bukan merupakan suatu
melakukan pembidaian, mengatasi pertolongan yang terpadu. Semua
syok secara manual atau melakukan panggilan darurat akan diterima oleh
kompresi jantung luar petugas operator yang selalu siaga 24
- Mengangkat dan memindahkan jam. Operator yang siaga di pusat
pasien dengan benar serta melakukan komunikasi gawat darurat disebut
imobilisasi pada kecurigaan cedera Dispatcher. Petugas inilah yang akan
tulang belakang dan cedera tulang menerima semua panggilan darurat dan
leher mendistribusikan informasi kepada
- Petugas keamanan/ polisi bertugas pihak terkait. Secara umum Dispatcher
untuk menjaga keamanan dan harus memiliki kemampuan sebagai
ketertiban lokasi kejadian dan orang berikut :
yang berada di sekitar lokasi kejadian a) Menerima panggilan darurat dari
dan orang yang berada di sekitar seluruh lapisan masyarakat yang
lokasi kejadian. Selain itu polisi memerlukan bantuan.
berkewajiban untuk menjaga barang Mengumpulkan data yang diperlukan
bukti. dalam pertolongan:
- Pemadam kebakaran / rescue  Nama pemanggil
bertugas untuk mengeluarkan pasien  Nomor telepon pemanggil
yang terjepit atau yang berada pada  Kejadian / masalah
posisi yang sulit dengan tetap  Lokasi kejadian

PT SMS Indonesia | Smart 142 | P a g


 Jumlah pasien b.Off Line Medical Direction
 Kondisi pasien
Yaitu dokter atau sekumpulan
b) Melakukan pengecekan ulang untuk
dokter (komite medis yang bekerja
memastikan kebenaran informasi
untuk menyusun protokol-protokol
yang masuk ke sarana pusat
(Standard operating procedure)
komunikasi gawat darurat
pertolongan pasien gawat darurat
c) Mendistribusikan informasi kepada
pada fase pra rumah sakit. Protokol
pihak-pihak terkait seperti polisi,
tersebut dijadikan sebagai bahan
pemadam kebakaran dan ambulans
acuan oleh petugas untuk
gawat darurat.
melakukan tindakan medis dan
d) Membimbing pemanggil bantuan
pertolongan di tempat kejadian dan
atau orang yang terdekat dengan
selama perjalanan kerumah sakit
pasien / lokasi kejadian untuk
rujukan
melakukan pertolongan sementara
sebelum petugas datang. Keterlambatan
e) Melakukan komunikasi dua arah Kemungkinan
dalam pertolongan 1 Menit berhasil
dengan pemanggil bantuan dan
petugas yang berangkat ke lokasi 93%
kejadian.
f) Menghubungi Unit Gawat Darurat (98 dari 100)
rumah sakit yang sesuai dengan 4 Menit 50%
kondisi pasien. (50 dari 100)
g) Menginformasikan kondisi jalan dan 10 Menit 1%
membimbing ambulans yang (1 dari 100)
membawa pasien ke rumah sakit.
3. Medical Direction
4. Ambulans Gawat Darurat /
Medical Direction adalah dokter atau
Emergency Ambulance
sekumpulan dokter (komite medik) yang
Sistem penanggulangan gawat
bertanggungjawab terhadap kualitas
darurat terpadu harus didukung oleh
pelayanan dan tindakan medis yang
pelayanan ambulans gawat darurat
dilakukan pada fase pra rumah sakit.
yang memadai dari segi jumlah,
Medical direction dibedakan menjadi
kelengkapan peralatan dan
dua, yaitu :
kemampuan petugasnya. Keberhasilan
a. On Line Medical Direction
pelayanan ini diukur dengan kecepatan
Yaitu dokter yang memonitor waktu tanggap / response time dari
langsung pelayanan pra rumah sakit mulai panggilan bantuan sampai
dan membimbing petugas dalam dengan tiba dilokasi kejadian. Waktu
melakukan pertolongan di lokasi tanggap / response time ideal adalah
kejadian dan selama perjalanan kurang dari 8 menit setelah panggilan
menuju rumah sakit rujukan. bantuan sampai dengan ambulans tiba
Dokter tersebut berada di pusat di lokasi kejadian. Setiap menit
komunikasi gawat darurat dan keterlambatan response time akan
berinteraksi langsung dengan berpengaruh terhadap keberhasilan
petugas dilapangan dengan pertolongan terhadap pasien. berikut
menggunakan telepon atau radio ini adalah rasio keterlambatan dan
komunikasi. Keberadaannya tentu kemungkinan berhasil dalam
sangat bermanfaat untuk melakukan pertolongan pada pasien
meningkatkan kualitas pelayanan yang mengalami henti napas dan henti
karena petugas di lapangan dapat jantung. Untuk mengantisipasi
berkonsultasi langsung terutama keterlambatan tersebut maka
dalam melakukan tindakan- seharusnya orang awam dilatih agar
tindakan pertolongan lanjut mampu menolong terlebih dahulu
(advance) dan pemberian obat- sebelum petugas profesional datang.
obatan darurat. Berdasarkan kelengkapan peralatan,
petugas dan jenisnya ambulans
dibedakan menjadi beberapa kategori.

PT SMS Indonesia | Smart 143 | P a g


Tipe Ambulance - Rebreathing Mask
a. Transport Ambulance - Non Rebreathing Mask
Ambulans transport digunakan  Peralatan Circulation
untuk pasien yang sakit ringan - Traumatic Bandage/ Balut
atau berobat jalan. Ambulans Cepat
transport juga digunakan untuk - Surgical Tape / Plester
pasien yang diperkirakan tidak - Steril Gauze / Kassa steril
akan mengalami kegawatan - Elastic Bandage / balutan
selama dalam perjalanan. elastis
Petugas yang mengoperasikan - Roll Bandage / balutan
terdiri dari 1 orang perawat dan 1 gulung
orang pengemudi ambulans. - Tensimeter
Peralatan yang ada dalam - Stetoscope
transport ambulance merupakan - Alumunium Foil
peralatan yang sangat sederhana  Peralatan Extrication &
meliputi : Tabung oksigen dengan Stabilization
kanul atau masker, tensi meter, - Neck Collar / Bidai Leher
thermometer, tandu, kursi roda - Long Spine Board
dan alat komunikasi. - Scoop Sthrecher
b.Basic Ambulance - Splint / bidai
Basic Ambulance digunakan - Extrication Device
untuk menangani pasien yang - Safe tyBelt
tidak memerlukan peralatan - Traction Splint
invasif / advance. Peralatan yang  Lain-lain
tersedia hanya peralatan dasar - Alat Pelindung Diri : Sarung
untuk menyelamatkan jiwa pasien tangan, masker, kacamata,
dilokasi kejadian sampai dengan baju pelindung, kap kepala,
ke rumah sakit. Petugas yang sepatu pelindung.
mengoperasikan basic ambulance - Antiseptik
adalah 2 orang perawat yang - Gunting
terlatih Basic life support, - Pinset
ekstrikasi dan stabilisasi. - Pen Light
Sebaiknya kedua orang perawat - Peralatan komunikasi
tersebut bisa mengemudikan c.Advance Ambulance
ambulans untuk menghemat Advance ambulance digunakan
personil. Apabila keduanya tidak untuk melakukan pertolongan
bisa mengemudi maka perlu terhadap pasien gawat darurat
tambahan satu orang pengemudi. yang kritis. Peralatan yang
Peralatan yang tersedia di tersedia bisa digunakan untuk
basic ambulance merupakan melakukan tindakan-tindakan
peralatan penanganan gawat medis yang definitif / invasif dan
darurat yang tidak invasif. pemberian obat-obat darurat.
Peralatan tersebut meliputi : Petugas yang mengoperasikan
 Peralatan Airway Advance Ambulans adalah
- Suction Pump With Canule petugas yang paling
- Orophryngeal Airway berpengalaman dalam penanganan
(OPA) pasien darurat dan kritis. Petugas
- Nasopharyngeal Airway tersebut harus menguasai tindakan
(NPA) definitif dan pengoperasian alat
- Mouthgag advance. Bila perlu salah satu dari
- Magil Forcep petugas tersebut dokter gawat
- Tounge Spatel darurat. Peralatan yang tersedia
- Gastric Tube pada advance ambulance sampai
 Peralatan Breathing dengan Basic ambulance degan
- Tabung Oksigen penambahan peralatan advance
- Nasal canule sebagai berikut :
- Simple mask  Peralatan Airways

PT SMS Indonesia | Smart 144 | P a g


- ETT (Endo Tracheal Tube)  Tinggi kabin memungkinkan
- Laryngoscope petugas untuk berdiri dan tetesan
- Cricothyroidotomy Needle infus berjalan lancar.
- Laryngeal Masks  Kabin memungkinkan untuk
 Peralatan Breathing meletakan peralatan secara aman.
- Pulse Oxymetri  Dinding kabin terbuat dari bahan
- Portable ventilator yang mudah dibersihkan dan
 Peralatan Circulation dilakukan desinfeksi.
- AED (Automatic External
Defibrilation)
- Defibrilator
- ECG Monitor
- IV line Catheter
- Foley Catheter
 Cairan dan obat gawat darurat
- IV line catheter
- Infusion Fluid / cairan infus Gambar: Ambulans Darat
(RL, NACL 0,9%, Dextrose
5%, Dextrose 10%) b.Ambulans Laut/ Sea Ambulance
- Infusion Set Ambulans laut dioperasikan di
- Obat darurat sirkulasi daerah kepulauan, tempat wisata laut,
(epineprin, atropin, dan lain- dan pertambangan lepas pantai /
lain) ―offshore‖. Petugas ambulans laut
- Obat darurat pernapasan harus dilengkapi dengan kemampuan
- Obat Alergi berenang, sea survival, dan pertolongan
- Anti bisa korban tenggelam. Hal ini tentu berbeda
- Anti racun dengan kemampuan petugas ambulans
- Dan lain-lain darat.

Jenis Ambulance
Tipe ambulans berdasarkan daerah
operasi dan jenisnya ambulans dibedakan
menjadi beberapa kategori sebagai berikut :
a. Ambulans Darat/ Ground Ambulance
Ambulans darat adalah ambulans
yang umum ada di sekitar kita.
Ambulans darat digunakan untuk
melakukan pertolongan di
Gambar: Ambulans Laut & Udara
tempatkejadian dan melakukan
transportasi ke rumah sakit rujukan.
c.Ambulans Udara/ Air Ambulance
Selain itu digunakan untuk melakukan
Ambulans udara dioperasikan untuk
rujukan antar rumah sakit dan pulang
evakuasi pasien VIP, evakuasi antar
perawatan.
pulau, evakuasi ke luar negeri, atau
Berikut ini ada beberapa syarat yang
evakuasi dari pedalaman / laut ke kota
harus diperhatikan dalam membangun
besar. Petugas ambulans udara harus
sebuah ambulans, terutama ambulans
mendapat pelatihan khusus, karena ada
gawat darurat:
beberapa pasien dengan kasus tertentu
 Luar/lebar kabin ambulans
beresiko untuk berada di ketinggian. Hal
memungkinkan untuk pasien
ini terkait dengan perubahan tekanan
terlentang dengan leluasa tanpa
atmosfir di darat dan udara. Beberapa
harus menekuk kaki atau bagian
tipe ambulans udara yang digunakan
tubuh lain.
adalah sebagai berikut: Helikopter,
 Luas dan lebar kabin ambulans
Rotary wing dan Fixed Wing.
memungkinkan petugas untuk
Berikut ini adalah keuntungan dan
memonitor kondisi pasien dan
kerugian memakain ambulans udara.
melakukan tindakan medis di
Keuntungan:
dalamnya.
PT SMS Indonesia | Smart 145 | P a g
- Transportasi cepat dan lancar tidak - Transportasi yang layak
ada hambatan lalu lintas tersedia sesuai dengan
- Akses menuju tempat kejadian keadaan penderita
cepat. Untuk memfasilitasi
- Dapat menghindari rambu lalu pengamana evakuasi, maka
lintas, kereta api, gunung dan diperlukan kontrol lalu lintas oleh
penghalang lainnya kepolisian untuk memastikan
- Perjalanan masih mungkin kelancaran jalur lalu lintas antar
dilakukan meskipun kondisi jalan rumah sakit dan post medis
tidak mendukung maupun pos komando lapangan.
- Jika ambulans darat tidak Pos medis dapat menyampaikan
memungkinkan ke pos komando lapangan agar
- mencapai lokasi kejadian dengan penderita dapat dilakukan
cepat. evakuasi bila sudah dalam
- Jika kualitas pertolongan di lokasi keadaan stabil.
kejadian tidak memungkinkan
- Sangat jarang terjadi kecelakaan c. Sistem Pelayanan Medik Intra
ambulans udara dibandingkan Rumah Sakit (Hospital Phase)
ambulans darat Hospital Disaster Plan
Kerugian: Didalam rumah sakit
- Di daerah perkotaan ambulans darat sendiri harus membuat suatu
lebih cepat dibandingkan ambulans perencanaan untuk
udara. menghadapi kejadian
- Cuaca buruk dapat menghambat bencana yang disebut
perjalanan ambulans udara. hospital disater plan, baik
- Tingkat kebisingan yang tinggi bersifat intra hospital disaster
mungkin akan menghambat plan maupun extra hospital
komunikasi petugas dan pasien. disater plan dimana kejadian
- Keterbatasan tempat dan tersebut menyebabkan
keterbatasan berat beban yang korban massal.
dibawa akan membatasi akses ke Pertolongan di unit gawat
pasien. darurat
- Biaya operasional sangat tinggi. Berikut ini klasifikasi
- Kecelakaan ambulans udara lebih pelayanan Instalasi Gawat
sedikit tertolong Darurat berdasarkan
b. Sistem Pelayanan Medik Antar
Keputusan Menteri
Rumah Sakit
Kesehatan Nomor 856/
Merupakan suatu bentuk pelayanan
Menkes/SK/IX/2009
transportasi yang ditujukan dari pos
komando rumah sakit lapangan menuju mengenai Standar Instalasi
rumah sakit rujukan atau transportasi Gawat Darurat (IGD) Rumah
antar rumah sakit baik dikarenakan Sakit (dinilai dan kualifikasi
adanya bencana yang terjadi diumah tenaga IGD);
sakit, dimana pasien harus dievakuasi - Instalasi Gawat Darurat
dan dipindahkan ke rumah sakit lainnya. (IGD) Level I
Pelaksanaan harus menggunakan sarana Di IGD hanya terdapat
prasarana yang memenuhi kriteria syarat dokter umum (telah
standart evakuasi, diantaranya: mengikuti pelatihan
- Penderita dalam keadaan yang kegawatdaruratan
stabil seperti GELS, ATLS,
- Penderita telah diberi peralatan ACLS, dll)
yang standart untuk transportasi - Instalasi Gawat Darurat
- Faskes penerima sudah diberi (IGD) Level II
informasi terlengkap dan siap Di IGD terdapat dokter
menerima penderita umum (telah mengikuti
pelatihan
kegawatdaruratan

PT SMS Indonesia | Smart 146 | P a g


seperti GELS, ATLS, d. Fase Pasca RS
CLS, dll) yang on site Fase ini adalah periode
24 jam, dan dokter
spesialis bedah, obgyn, dimana pasien/ pasien keluar dari
anak, dan penyakit rumah sakit baik sembuh, cacat
dalam yang on call.
atau harus menjalani perawatan
- Instalasi Gawat Darurat
(IGD) Level III lanjutan di rumah atau melakukan
Di IGD terdapat dokter kontrol ke rumah sakit. Fase ini
umum (telah mengikuti
pelatihan adalah fase dimana pasien telah
kegawatdaruratan menyelesaikan masa perawatan
seperti GELS, ATLS,
ACLS, dll) yang on site terhadap perlukaan atau penyakit
24 jam, dokter spesialis yang dihadapinya untuk kembali
bedah, obgyn, anak, dan
ke rumahnya. Tetapi kepulangan
penyakit dalam yang on
site, serta dokter pasien bisa sembuh total, sembuh
spesialis lain yang on dengan cedera atau masih
call. Terdapat dokter
PPDS yang on site 24 memerlukan perawatan
jam (RS. Pendidikan) selanjutnya (berobat
- Instalasi Gawat Darurat
(IGD) Level IV jalan/kontrol). Informasi
Di IGD hanya terdapat mengenai perkembangan pasien
dokter umum (telah
setelah perawatan di rumah sakit
mengikuti pelatihan
kegawatdaruratan harus selalu dimonitor. Hal ini
seperti GELS, ATLS, dapat dijadikan bahan evaluasi
ACLS, dll) yang on site
24 jam, dokter PPDS keberhasilan dari sistem
yang on site 24 jam, penanggulangan pasien gawat
dokter 4 besar spesialis
ditambah dokter darurat terpadu. Selain itu pasien
spesialis anestesi yang sebaiknya diberikan pendidikan.
on site, dokter spesialis
lain on call, serta
terdapat dokter semua
jenis subspesialis yang
on call.
Pertolongan di kamar bedah
(jika diperlukan)
Pertolongan di ICU/
ICCU/HCU

PT SMS Indonesia | Smart 147 | P a g


2. SPGDT-B (Bencana)
SPGDT-B adalah kerja sama antar unit pelayanan Pra Rumah Sakit dan Rumah
Sakit dalam bentuk pelayananan gawat darurat terpadu sebagai khususnya pada
terjadinya korban masal yg memerlukan peningkatan (eskalasi) kegiatan pelayanan
sehari – hari. Secara umum bertujuan untuk menyelamatkan korban sebanyak –
banyaknya.
Secara khusus SPGDT-B bertujuan untuk:
a. Mencegah kematian dan kecacatan, sehingga dapat hidup dan berfungsi kembali
dalam masyarakat sebagaimana mestinya.
b. Merujuk melalui sistem rujukan untuk memperoleh penanganan yang lebih
memadai.
c. Menanggulangi korban bencana.
Prinsip mencegah kematian dan kecacatan :
a. Kecepatan menemukan penderita.
b. Kecepatan meminta pertolongan.
Kecepatan dan kualitas pertolongan yang diberikan :
a. Ditempat kejadian.
b. Dalam perjalanan kepuskesmas atau rumah-sakit.
c. Pertolongan dipuskesmas atau rumah-sakit.
Adapun hal-hal yang dilakukan saat terjadi bencana adalah:
Melaksanakan pelayanan kasus GD
Melaksanakan penilaian kebutuhan & dampak yang terjadi pada aspek
kesehatan. pelayanan gabungan Depkes, TNI dan POLRI
Membuat pos pelayanan kesehatan
Pemberian makanan dan bahan makanan penyediaan air bersih, sanitasidarurat,
imunisasi
Dalam penanggulangan bencana, ada beberapa hal yang perlu kita cermati yaitu
penanggulangan bencana adalah eskalasi penanggulangan gawat darurat sehari – hari,
maupun penanggulangan bencana tidak akan berhasil kalau penanggulangan gawat
darurat sehari – hari dan bencana buruk, karena hal tersebut dapat terjadi di setiap tempat,
baik di kota maupun di desa. Walaupun Peristiwa akan terjadinya bencana tidak dapat
diprediksi, akan tetapi kalau sudah ada persiapan makajika bencana itu terjadi sudah pada
posisi siap sehingga meminimalkan korban dan kerusakan. Bencana itu sendiri dapat
terjadi setiap saat dan di setiap tempat seperti:Di dalam rumah sakitnya sendiri, Korban
bencana yang dibawa ke IGD/ RS, Bencana dalam kota (urban), Bencana diluar kota
(rural), Bencana diluar pulau (regional), dan ataupun Bencana nasional
Mencermati kondisi tersebut maka semua rumah sakit wajib mempunyai
―Hospital Disaster Plan‖ sesuai dengan keadaan dan kondisi setempat. Untuk daerah
rural atau diluar pulau maka sebaiknya didatangkan bantuan dari daerah urban, jika:
Tingkat penanggulangan gawat darurat sehari – hari di bawah standar nasional (ada /
tidaknya spesialis empat besar / ahli bedah).
Jumlah korban melebihi kemampuan petugas / ahli bedah
Bantuan yang didatangkan adalah dengan memindahkan sarana Rumah Sakit (IGD,
kamar operasi, ICU, Farmasi, Rontgen, Laboratorium, Dapur, Keamanan) ke Pra Rumah
Sakit. Ambulance Gawat Darurat dalam keadaan bencana dapat berfungsi sebagai Rumah
Sakit lapangan.

PT SMS Indonesia | Smart 148 | P a g


D. ASPEK LEGAL KEBIJAKAN SISTEM PENANGGULANGAN GAWAT DARURAT
(SPGDT) DI INDONESIA
Kerjasama antar unit pelayanan Pra RS dan RS dalam bentuk pelayanan Gawat
Darurat Terpadu pada pasien massal yang memerlukan peningkatan (eskalasi) kegiatan
pelayanan sehari-hari.Tujuan : menyelematkan pasien sebanyak-banyaknya.
Bencana adalah suatu rangkaian peristiwa yang mengakibatkan kerugian pada
penderitaa diantaranya kerugian harta benda, kerusakan lingkungan, sarana & prasarana
(infrastruktur) yg memerlukan pertolongan dan bantuan khusus. Oleh karena itu sebagai
team kesehatan harus mengetahui terkait payung hukum, berikut Aspek legal Kebijakan
pelayanan gawat darurat di Indonesia:
Keppres No.03/2001 Bakornas penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi
Perpres No.83/ 2005 tentang BAKORNAS penanggulangan bencana
UU No.24/2007 tentang penanggulangan bencana
Perpres No.8/2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Perpem No.21/2008 tentang penyelenggaran penanggulangan bencana
UU No.36 th 2009 tentang Kesehatan
Per. Kapolri No.17/2009 tentang managemen penanggulangan
bencana InPres No.4/2013 tentang progam dekade keselamatan jalan
Perka BNPB No.03/2016 tentang sistim komando penanganan darurat bencana
Permenkes No.19/2016 tentang SPGDT
Permenkes No.47/2018 tentang pelayanan Kegawatdaruratan

KESIMPULAN
Sistem penanggulangan pasien gawat darurat terpadu yang baik akan terwujud apabila
ada komitmen yang kuat dari pemerintah yang berwenang. Hal ini sehubungan dengan
tingginya investasi yang harus ditanamkan dan perlunya koordinasi yang baik antar institusi
terkait. Penanganan pasien gawat darurat dari mulai fase pra rumah sakit dan rumah sakit harus
menjadi satu kesatuan dan berkesinambungan. Keberhasilan pertolongan di rumah sakit sangat
ditentukan oleh kualitas pertolongan pada fase pra rumah sakit. Angka kematian terbesar pada
trauma berat adalah pada fase pra rumah sakit. Oleh karena itu sangat penting untuk
memberikan pelatihan kepada masyarakat agar mampu melakukan pertolongan kepada dirinya
sendiri dan orang di sekitarnya ketika terjadi kegawatdaruratan.

PT SMS Indonesia | Smart 149 | P a g


XI

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM

Setelah mengikuti materi ini pesertadiharapkan mampu mengetahui tentanggambaran EKG

strip

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

Setelah mengikuti pelatihan ini peserta di-harapkan mampu untuk :

1. Menyebutkan definisi elektrokardiogram

2. Menyebutkan fungsi EKG

3. Menyebutkan jenis-jenis sandapan EKG

4. Membaca irama EKG normal di monitor jantung dan EKG strip

5. Mengidentifikasi aritmia di monitor jantung dan EKG strip

PENDAHULUAN

Ganguan irama jantung dan serangan jantung merupakan kasus penyakit dan kematian

tertinggi di Indonesia berhubungan dengan pola makan dan gaya hidup yang berlebihan.

Masyarakat umumnya tidak mengenal tanda dan gejala serangan jantung, sebagai petugas

kesehatan sangat penting mengetahui tanda dan gejala serta penatalaksaan gangguan irama

jantung yang dapat mengancam nyawa.

Gambaran EKG merupakan elemen penting untuk mengetahui apakah pasien

mengalami kegawat daruratan jantung, dimana kegawat daruratan jantung masih merupakan

penyebab kematian nomer satu di seluruh Negara. Diharapkan dengan semakin banyaknya

petugas kesehatan dapat membaca interprestasi EKG, pasien dapat mendapatkan pertolongan

yang tepat dan cepat, sehingga dapat menyelematkan pasien tersebut.

PT SMS Indonesia | Smart 150 | P a g


EKG NORMAL & ARITMIA

A. ANATOMI JANTUNG
Otot jantung
merupakan otot
yang mempunyai
keistimewaan
tersendiri
dibandingkan
dengan otot
lainnya. Otot
jantung
mempunyai suatu
sistem yanng
dapat memberikan
suatu implus
rangsangan
kontraksi sendiri
(Automaticity)
dan meneruskan
rangsangan
tersebut keseluruh
otot jantung
(disebut proses
Konduksi). Setiap
aktifitas baik
kontraksi dan relaksasi dari otot jantung akan memberikan perubahan potensiial aksi
kelistrikan yang dapat kita lihat dengan merekaam perubahan tersebut pada alat perekam
khusus Jantung terdiri dari 4 ruang yaitu 2 ruang yang berdinding tipis disebut atrium dan
2 ruang yang berdinding tebal disebut Ventrikel. Mempunyai 4 katup Atrioventrikuler
(Trikuspid dan Biskupid) dan 2 katup Semilunar (Pulmonal dan Aorta). Terdiri dari 3
lapisan Epikardium, Miokardium dan Endokardium
Arteri koroner adalah cabang pertama dari sirkulasi sistemik. Sirkulasi koroner terdiri
dari arteri koroner kanan dan kiri. Arteri koronerkiri (Left Main Coronary Artery-LMCA)
mempunyai dua cabang besar yaitu, Ramus Desenden Anterior (Left Anterior Descenden-
LAD) dan Ramus Sirkumpleks (Left Circumplek-LCx). Arteri imi melingkari Jantungg
dalam dua lekukan atomis eksternal yaitu sulkus Atrioventrikular yang melingkari jantung
diantara atrium dan ventrikel dan sulkus inter ventrikel yang memisahkan kedua ventrikrel.
Pertemuan kedua lekuk ini dibagian posterior merupakan bagian yang kritis dipandang dari
sudut anatomis.
Arteri koroner kanan (Right Coronary Artery-RCA) berjalan ke sisi kanan jantung. Pada
sulkus Atrioventrikuler kanan pada dasarnya arteri koronariaa kanan memberi makan padaa
Atrium dan ventrikel kanan juga dinding sebelah kanan dari ventrikel kiri. Meskipun
Nodus SA (Sino Atrial Node) letaknya di Atrium kanan tetapi hanya 55% kebutuhan
nutrisinya dipasok oleh Arteri Coronaria kanan sedang 42% lainnya dipasok oleh cabang
Arteri Sirkumplek Kiri.
Didalam otot jantung terdapat jaringan khusus yang menghantarkan aliran listrik dan
memiliki sifat – sifat khusus yaitu:
1. Otomatisasi : kemampuan untuk menimbulkan listrik secara spontan
2. Ritmisasi : pembentukan impuls yang teratur
3. Daya konduksi : kemampuan untuk menyalurkan impuls
4. Daya rangsang : kemampuan untuk bereaksi terhadap rangsangan
Berdasarkan sifat tersebut maka secara spontan dan teratur jantung dapat
menghasilkan impuls – impuls yang disalurkan melalui sistem hantar untuk merangsang otot
jantung dan bisa menimbulkan konduksi. Bila sistem konduksi berfungsi normal, maka
atrium berkontraksi kira – kira 1/6 detik lebih dulu dari kontraksi ventrikel sehingga

PT SMS Indonesia | Smart 151 | P a g


memungkinkan pengisian ekstra pada ventrikel sebelum ventrikel ini memompa darah ke
sirkulasi sistemik
Pacemaker adalah sesuatu / unit yang dapat menghasilkan impuls listrik secara terus
menerus, teratur dan otomatis. Dalam hal ini pacemaker asli dalam jantung disebut sebagai
real pacemaker. Real pacemaker
bekerja sebagai pembentuk impuls
(generator) dan penghantar impuls
(pathways).
1. Pembentuk impuls (generator)
a. Sinus atrial node (SA node)
b. Atrioventrikuler node (AV
node)
c. Serabut purkinje (fiber
purkinje)
2. Penghantar impuls (pathways)
a. Internodal atrium
b. His bundle
c. Right Bundle Branch (RBB)
d. Left Bundle Branch (LBB)

Siklus Kerja Jantung

Jantung
berfungsi memompa
darah ke paru – paru
dan ke seluruh tubuh.
Cara jantung
memompa darah
adalah dengan
melakukan kontraksi
secara bergantian
antara atrium dan
ventrikel, dengan
irama yang teratur dan
terus menerus
sepanjang hidup.
Bekerjanya jantung
didukung oleh dua
sistem yang ada dalam
jantung yaitu sistem
kontraksi dan sistem
konduksi.
Depolarisasi Spontan
Perjalanan impuls Pada orang normal, rangsangan listrik jantung berawal dari SA
Node, dari SA Node ke AV Node, rangsangan dihantarkan melalui Traktus internodal
(arterior, medial, dan posterior), Berkas Hiss dimulai dari AV Node mencapai tepi atas
septum interventrikuler. Dari sini terbagi dua, yaitu sisi kiri yang disebut pars membranosa
dan sisi kanan yang merupakan terusan berkas hiss. Ia berjalan sebagai struktur tunggal
dilapisan subendokard disisi kanan sehingga mencapai dasar muskulus papilaris anterior.
Dari sini terbagi menjadi 3 cabang, yaitu anterior, posterior dan lateral. Yang terakhir ini
menuju dinding lateral ventrikel kanan dan bagian bawah septum membentuk bangunan
seperti kipas, yang akhirnya disebut serabut purkinye. Dalam keadaan tertentu dapat timbul
impuls yang bukan berasal dari SA Node, melainkan dari tempat lain seperti dari atrium
maupun dari ventrikel. Bila terjaadi kegagalan fungsi dari SA Node, maka sistem yang
lainnya dapat mengambil alih SA Node tersebut.

PT SMS Indonesia | Smart 152 | P a g


1. SA Node
Terletak diantara batas vena cava superior dan atrium kanan
Mengeluarkan impuls 60-100 x/menit
Impuls menjalar ke seluruh atrium dan bersama jalur internodal serta bacham
budle menuju AV Node
2. AV Node
a. Terletak disebelah bawah atrium kanan diatara sinus koronarius dan katup
trikuspid bagian septum
b. Mengeluarkan impuls 40-60 x/menit
3. Berkas Hiss
Terletak di septum interventrikuler dan memberikan 2 cabang yaitu :
a. Cabang berkas kiri yang terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian anterior dan posterior
b. Cabang berkas kanan
4. Serabut Purkinye
Serabut purkinye setinggi muskulus papilaris masuk ke otot ventrikel Mengeluarkan
impuls 20-40 x/menit

Pemacu Asli (Native Pacemaker) dan Pemacu Tersembunyi (Latent Pacemaker)


Bagian – bagian dalam sistem konduksi yang sel – selnya mempunyai kemampuan
melakukan depolarisasi spontan disebut sebagai pemacu (pacemaker). Dari uraian
sebelumnya terlihat bahwa ada lebih dari satu pemacu dalam sistem konduksi. Akan tetapi,
walaupun ada lebih dari satu pemacu, dalam kondisi normal hanya ada satu pemacu yang
bekerja. Hal ini dimungkinkan oleh adanya perbedaan rate pada masing-masing pemacu.
Rate dari Simpul SA yang lebih cepat dari rate yang dibangkitkan di tempat lain dalam
sistem konduksi akan membuat sel – sel dalam sistem konduksi menerima rangsangan
impuls dari Simpul SA lebih dulu sebelum sel-sel tersebut sempat melakukan depolarisasi
spontan. Dengan demikian, pada kondisi normal, rate dari semua bagian dalam sistem
konduksi selalu mengikuti rate dari Simpul SA. Oleh karena itu Simpul SA ini disebut
sebagai pemacu asli (native pacemaker).
Pada kondisi tidak normal, ada kemungkinan sistem konduksi tidak dapat menerima
impuls dari Simpul SA. Penyebabnya dapat karena Simpul SA memang tidak
membangkitkan impuls, ataupun karena terjadi hambatan pada sistem konduksi sehingga
impuls dari Simpul SA tidak sampai ke Simpul AV. Jika Simpul AV tidak menerima impuls
dari Simpul SA maka sel – selnya dapat melakukan depolarisasi spontan. Dengan demikian,
pada kondisi tidak normal ini fungsi Simpul SA sebagai pemacu telah diambil alih oleh
Simpul AV. Bila misalnya ternyata Simpul AV ini juga mengalami kegagalan, maka fungsi
pemacu akan diambil alih oleh pemacu di bawahnya, begitu seterusnya. Mekanisme ini
merupakan pengamanan, agar jantung dapat tetap berdenyut walaupun terjadi gangguan
pembangkitan impuls pada Simpul SA. Pemacu – pemacu yang bekerja hanya jika terjadi
kondisi tidak normal ini disebut sebagai pemacu tersembunyi (latent pacemaker).

Siklus Jantung (Cardiac Cycle)


Aktivitas jantung yang dimulai dari keadaan istirahat, kemudian kontraksi atrium,
disusul kontraksi ventrikel, dan kembali istirahat merupakan suatu siklus yang berulang terus
menerus sepanjang hidup. Aktivitas kelistrikan yang mengatur siklus kerja jantung ini dapat
direkam dengan menggunakan alat yang disebut elektrokardiograf, dan hasil rekamannya
disebut elektrokardiogram yang disingkat EKG atau ECG.
Dalam rekaman EKG, satu siklus jantung terdiri atas beberapa gelombang, yaitu
gelombang – gelombang P, Q, R, S, T, dan U. Gelombang – gelombang tersebut
berhubungan dengan aktivitas listrik yang terjadi di dalam jantung. Gelombang P
ditimbulkan oleh depolarisasi atrium; gelombang Q, R, dan S yang bersama – sama
membentuk kompleks QRS ditimbulkan oleh depolarisasi ventrikel; dan gelombang T
ditimbulkan oleh repolarisasi ventrikel. Gelombang U kemungkinan ditimbulkan oleh
repolarisasi serabut Purkinje.

PT SMS Indonesia | Smart 153 | P a g


B. ELEKTROGARDIOGRAFI
Adalah ilmu yang mempelajari aktivitas listrik jantung Elektrokardiogram (EKG) :
adalah suatu grafik yang menggambarkan rekaman listrik jantung. Kegiatan listrik jantung
dalam tubuh dapat dicatat dan direkam melalui elektroda-elektroda yang dipasangi pada
permukaan tubuh.
Manfaat dari Elektrokardiogram secara diagnostik dan evaluasi dapat digunakan
sebagai sarana alat bantu untuk :
Mengetahui gangguan irama jantung (Aritmia)
Mengetahui gambaran Iskemi dan infark pada otot jantung
Mengetahui pembesaran ruang-ruang jantung, atrium dan
ventrikel Mengetahui efek dari obat-obatan seperti (Digitalis, anti
aritmia) Mengetahui gangguan keseimbangan elektrolit
Mengetahui penilaian fungsi pacu jantung
Manfaat sebagai bahan evaluasi untuk mengetahui tingkat keberhasilan dari
pengobatan dan tindakan yang telah dilakukan Untuk memperoleh rekaman EKG,
dipasang elektroda-elektroda di kulit pada tempat – tempat tertentu.

Lokasi penempatan elektroda sangat penting diperhatikan, karena Terdapat 2 jenis


Samdapan (Lead) pada EKG,
yaitu:

1. Sandapan Bipolar
Yaitu merekam perbedaan
potensial dari dua elektroda,
sandapan ini ditandai dengan
angka romawi (I, II, III)
(sadapan ekstermitas)
a. Sandapan I
Merekam beda potensial
antara lengan kanan (RA)
dengan lengan kiri (LA)
dimana lengan kanan
bermuatan (-) dan lengan
kiri bermuatan (+)
b. Sandapan II
Merekam beda potensial
antara lengan kanan (RA)
dengan kaki kiri (LF)
dimana lengan kanan
bermuatan (-) dan kaki
kiri bermuatan (+)
c. Sandapan III
Merekam beda potensial
antara lengan kiri (LA) dengan kaki kiri (LF) dimana lengan kiri bermuatan (-) dan
kaki kiri bermuatan (+)
2. Sandapan Unipolar
Sandapan unipolar ini terbagi 2 yaitu, sandapan unipolar ekstrimitas dan sandapan
unipolar

PT SMS Indonesia | Smart 154 | P a g


a. Sandapan Unipolar Ekstermitas (tambahan)
Merekam besar potensial listrik pada satu ekstermitas, elektroda eksplorasi
diletakkan pada ekstermitas yang akan diukur, gabungan elektroda-elektroda pada
eketermitas yang lain membentuk elektroda indeferen (potensial) sandapan ini
ditulis (aVR, aVL, dan aVF)
Sandapan a VR
Merekam potensi listrik pada lengan kanan (RA) dimana lengan kanan
bermuatan (+) lengan kiri dan kaki kiri membentuk elektroda indeferen
Sandapan a VL
Merekam potensial listrik pada lengan kiri (LA) dimana lengan kiri bermuatan
(+) lengan kanan dan kaki kiri membentuk elektroda indeferen
Sandapan a VF
Merekam potensial listrik pada kaki kiri (LF) dimana kaki kiri bermuatan (+)
lengan kanan dan kiri membentuk elektroda indeferen
b. Sandapan Unipolar Prekordial
Merupakan sadapan V1,V2, V3, V4, V5, dan V6 yang ditempatkan secara
langsung didada
Sandapan V1 ditempatkan di ruang
intercostal IV di kanan sternum
Sandapan V2 ditempatkan di ruang
intercostal IV di kiri sternum
Sandapan V3 ditempatkan di
antara sadapan V2 dan V4
Sandapan V4 ditempatkan di ruang
intercostal V lurus dengan
midklavikula kiri
Sandapan V5 ditempatkan secara
mendatar dengan V4 di garus
axillaris anterior kiri
Sandapan V6 ditempatkan secara
mendatar dengan V4 dan V5
digaris midaxillaris kiri
Bila kita gabungkan dari seluruh sandapan yang ada di atas akan tampak menjadi
seperti pada gambar di bawah ini yang biasanya kita sebut sebagai sandapan lengkap
12 lead/ ECG 12 LEAD Lengkap.

C. Kertas EKG
Kertas EKG merupakan
kertas grafik yang merupakan
garis horizontal vertikal
dengan jarak 1mm (kotak
kecil) garis yang lebih tebal
terdapat pada setiap 5mm di
sebut (kotak besar).
Garis horizontal
menunjukkan waktu dimana
1mm = 0,04 detik, sedangkan
5mm = 0,20 detik. Garis
vertikal menggambarkan
Voltage, dimana I mm=0,1
mv, sedangkan setiap 10mm
= 1 mv
Pada praktek sehari-hari

PT SMS Indonesia | Smart 155 | P a g


perekaman dibuat dengan kecepatan 25 mm/dtk, kalibrasi yang biasa dilakukan
sebelum dan sesudah perekaman adalah 1 mv yang menimbulkan defleksi 10mm. Pada
keadaaan tertentu kalibrasi dapat diperbesar yang akan menimbulkan defleksi 20mm atau
kecil yang akan menimbulkan defleksi 5 mm dan dicatata pada setiap perekman.
Kurva EKG mengambarkan proses listrik yang terjadi pada atrium dan ventrikel. EKG
normal terdiri dari gelombang P, Q, R, S, dan gelombang T kadang terlihat gelombang
U, selain itu ada beberapa interval dan segmen EKG.
Gelombang P merupakan depolarisasi Atrium, normal gelombang P:
Lembar < 0,12 detik
Tinggi < 0.3 mv
Selalu positif di lead II
Negatif di aVR
Kepentingan : mengetahui kelainan di atrium (P mitral/P pulmonal)
Gelombang QRS merupakan depolarisasi ventrikel, normal gelombang QRS:
Lebar 0,06 – 0,12 detik
Tinggi tergantung lead
Kepentingan: mengetahui adanya hipertrovi ventrikel, bundle branch block, dan infark
Gelombang Q Adalah defleksi negatif pertama pada gelombang QRS, normalnya :
Lembar < 0,04 detik
Tinggi (dalamnya) < 1/3 tinggi R
Gelombang R Adalah defleksi positif pertama pada gelombang QRS, gelombang R
umumnya positif di lead I,II, V5 dan V6. Di lead aVR, VI, V2 biasanya hanya kecil atau
tidak ada.
Gelombang S Adalah defleksi negatif setelah gelombang R, di lead aVR, dan V1
gelombang S terlihat besar (dalam) dari V2 sampai V6 terlihat makin kecil dan hilang.
Gelombang T Merupakan gambaran proses repolarisasi ventrikel, gelombang T positif di
lead I, II, III, sampai V6 dan terbalik di aVR.
Normal: <1 mv di lead dada - <0,5 mv di lead ekstermitas – minimal ada 0,1
mv Kepentingan: mengetahui iskemik/infark dan kelainan elektrolit
Gelombang U Adalah gelombang yang timbul sesudah gelombang T dan sebelum
gelombang P berikutnya, penyebab timbulnya gelombang U masih belum diketahui, semua
diduga akibat repolarisasi lambat sistim konduksi interventrikel.
Interval PR
Interval PR di ukur dari awal gelombang P sampai awal gelombang QRS, nilai normal
berkisar antara 0,12-0,20 detik, ini merupakan waktu yang dibutuhkan untuk depolarisasi
atrium dan jalannya impuls melalui berkas hiss sampai pemulaan depolarisasi ventrikel.
Kepentingan: mengetahui kelainan system konduksi
Segmen ST& Q patologis
Segmen ST diukur dari akhir gelombang S sampai awal gelombang T, segmen ini
normalnya isoelektrik, tetapi pada lead prekordial bervariasi dari -05 sampai + 2 mm.
Normal Gelombang Q tidak lebih dari 1/3 gelombang R, bila ada gelombang Q
yang lebih tinggi dari 1/3 R pada lokasi lead – lead yang telah ditentukan maka
dikatakan sebagai kondisi Old Infark atau necrosis (dalam bahasa EKG ACS).
Kepentingan: mengetahui elevasi (pada injury/infark akut) dan depresi (pada iskemik)
Hipertrofi
Menilai adanya hipertrofi atrium kiri maupun kanan dan ventrikel kiri maupun
ventrikel kanan (dalam bahasa EKG Hipertrofi).
Menentukanaxis jantung

PT SMS Indonesia | Smart 156 | P a g


Axis normal berada antara -300 sampai 1100. Lebih dari -300 disebut axis LAD,
lebih dari +1100 disebut Axis RAD dan lebih dari +1800 disebut Axis Extreme
RAD.

D. Cara Menginterprestasi Ekg Strip


Membaca EKG akan mudah dan tepat jika kita melakukannya secara sistematis.
Berikut ini urutan dalam membaca EKG. Bagi pemula dianjurkan ada pendamping
untuk cara membaca dan menginterpretasikan hasil perekaman EKG.
1. Tentukan iramanya teratur atau tidak, dengan cara melihat jarak antara QRS satu
dengan QRS yang lain jaraknya sama atau tidak.
2. Tentukan frekuensi jantung (Heart rate)
Menghitung frekuensi jantung (HR) melalui gambaran EKG dapat dilakukan dengan 3
cara:
300
a. Jumlah kotak sedang antara R−R1

1500
b. Jumlah kotak kecil antaraR−R1

a. Ambil EKG strip sepanjang 6 detik, hitung jumlah gelombang R dalam 6 detik tsb
kemudian dikalikan 10 atau ambil rekaman dalam 12 detik dan kalikan 5.
3. Tentukan gelombang P normal atau tidak, juga lihat apakah setiap gelombang P selalu
diikuti gelombang QRS? (P : QRS)?
4. Tentukan interval PR normal atau tidak
5. Tentukan gelombang QRS normal atau tidak
Irama EKG yang normal impuls (sumber listrik) nya berasal dari Nodus SA, maka

iramanya disebut dengan irama Sinus (Sinur Rhythm)

6. ST Segmen

7. Tentukan gelombang T normal atau tidak

PT SMS Indonesia | Smart 157 | P a g


E. EKG normal
Kriteria Irama Sinus atau EKG normal
Irama :Teratur
Frekuensi jantung (HR) :60 – 100 kali/menit
Gelombang P :Normal, setiap gelombang
P Selalu diikuti gel QRS, T
Interval PR : Normal (0,12 – 0,20 detik)
Gelombang QRS : Normal (0,06 – 0,12) detik
Semua gelombang sama

F. Aritmia / disritmia
Adalah gangguan
denyut jantung yang
meliputi frequensi,
irama dan konduksi
yang dapat
ditimbulkan oleh
karena gangguan
pengeluaran /
pembentukan impuls
maupun gangguan
sistem hantaran /
konduksi atau
keduanya.Klasifikasi
aritmia ( sesuai
dengan prognosis ):
1. Aritmia minor
Ini tidak
memerlukan
tindakan segera
sebab tidak
mengganggu sirkulasi dan tidak berlanjut ke aritmian yang serius, biasanya tidak
memerlukan teraphi
2. Aritmia mayor
Dapat menimbulkan gangguan penurunan curah jantung & dapat berlanjut ke aritmia
yang mengancam jiwa. Memerlukan tindakan segera dan teraphi
3. Aritmia mengancam jiwa
Aritmia yang memerlukan resusitasi segera untuk mencegah kematian
Gangguan EKG:
Gangguan pembentukan impuls
a) Sinus Takikardi ( ST )
b) Sinus Bradikardi (SB )
c) Atrial Fibrilasi ( AF )
d) Atrial Fluter ( Af )
e) Supra Ventrikel Takikardi ( SVT )
f) Ventrikel fibrilasi ( VF )
g) Ventrikel Takikardi ( VT )
h) Irama Junctional
i) Ventrikel Extra Systole ( VES )
Gangguan penghantar impuls:
a. Sinoatrial Block
b. AV Block
c. RBBB
d. LBBB

PT SMS Indonesia | Smart 158 | P a g


Jenis aritmia/disritmia:
1. Sinus Takikardi
Irama :Teratur
Frekwensi HR :100 – 150 x/menit
Gel. P :Normal, setiap gel. P selalu dikuti gel qrs dan
t Interval PR :Normal ( 0,12 – 0,20 detik )
Gel. QRS :Normal ( 0,06 – 0,12 detik )
Catatan :semua gel. Sama

2. Sinus Bradycardi
Irama :Teratur
Frekwensi HR :Kurang dari 60 x/menit
Gel. P:Normal, setiap gel. P selalu dikuti gel qrs dan
t Interval PR :Normal ( 0,12 – 0,20 detik )
Gel. QRS :Normal ( 0,06 – 0,12 detik )
Catatan :Semua gel. Sama

3. Sinus Aritmia
Irama :Tidak teratur
Frekwensi HR :Biasanya antara 60 – 100 x/menit
Gel. P :Normal, setiap gel. P selalu dikuti gel QRS dan T
Interval PR :Normal ( 0,12 – 0,20 detik )
Gel. QRS :Normal ( 0,06 – 0,12 detik )
Takikardi ventrikuler (VT)
Catatan :Semua gel. Sama
Note : Normal pada orang muda, akibat pengaruh pola
pernafasan, meningkat selama inspirasi dan menurun pada fase ekspirasi.

PT SMS Indonesia | Smart 159 | P a g


4. SVT (supra ventrikular tachykardi)
Irama :Teratur
Frekwensi HR :150 – 250 x/menit
Gel. P :Sukar dilihat, kadang terlihat tapi kecil
Interval PR :Tidak dapat dihitung / memendek
Gel. QRS :Normal ( 0,06 – 0,12 detik )

5. Atrial flutter
Irama :Biasanya teratur, bisa juga tidak
Frekwensi HR :Bervarias ( bisa normal, lambat/ cepat )
Gel. P :Tidak normal, seperti gigi gergaji ( saw tooth ), teratur dan
dapat dihitung,tidak semua gel P diikuti QRS ,sehingga frequensi
frequensi atrialtidaksama dengan ventrikel bisa 2:1, 3:1 atau 4:1
Interval PR :Tidak dapat dihitung
Gel. QRS :Normal

6. Atrial fibrilasi (AF)


Irama :Tidak teratur.
Frekwensi HR :Bervariasi (bisa normal, lambat/cepat )
Gel. P :Tidak dapat diidentifikasi,sering terlihat keriting padagaris
base line.
Interval PR :Tidak dapat dihitung
Gel. QRS :Normal ( 0.06 – 0.12 )

PT SMS Indonesia | Smart 160 | P a g


7. Junctional takikardi (JT)
Irama :Teratur,
Frekwensi HR :Lebih dari 100 x/menit
Gel. P :Tidak normal / Tidak ada / ada terbalik didepan
/dibelakang QRS
Interval PR :Tidak dapat dihitung /
memendek. Gel. QRS :Normal (0,06 – 0,12 detik)

8. Ventrikel ekstra sistole (VES)


Irama :Tidak teratur saat munculekstra sistol , karena ada irama yg
muncul lebih awal
Frekwensi HR :Tergantung irama dasarnya
Gel. P :Tidak ada saat timbul ekstrasistole
Interval PR :Tidak ada saat timbul ekstra
sistole Gel. QRS :Melebar > dari 0,12 detik

VES BIGEMINI

VES TRIGEMINI

9. Idioventrikuler rhytem (IVR)

PT SMS Indonesia | Smart 161 | P a g


10. Ventrikuler takikardi (VT)
Irama : Teratur
Frekwensi : > 100 X/ menit
Gelombang P : Tidak terlihat
Interval PR : Tidak ada
Gelombang QRS : > 0,12
detik

11. Ventrikel Fibrilasi (VF)


Irama : Tidak teratur
Frekwensi : Tidak dapat dihitung
Gelombang P : Tidak ada
Interval PR : Tidak ada
Gelombang QRS : Tidak dapat dihitung, bergelombang & tidak teratur

12. Ventrikel Fibrilasi (VF)


Irama :Tidak teratur
Frekwensi HR :< 350 x/menit shg tdk dpt
dihitung Gel. P :Tidak ada
Interval PR :Tidak ada
Gel. QRS :Lebar dan tidak teratur

PT SMS Indonesia | Smart 162 | P a g


13.PEA

14.Asistole

15.Catatan:
Frekuensi jantung yang normal : 60 – 100x/menit
Lebih dari 100 x/menit : Sinus takikardi
Kurang dari 60 x/menit : Sinusbradikardi
150 – 250 x/menit : Takikardiabnormal
250 – 350 x/menit : Flutter
>350 x/menit : Fibrilasi

PT SMS Indonesia | Smart 163 | P a g


XII

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Setelah mengikuti materi ini peserta mampu memberikan asuhan keperawatan gawat darurat
dasar pada Sindrom Koroner Akut (SKA) atau Acute Coronary Syndrome (ACS)

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Setelah mengikuti pelatihan ini peserta di-harapkan mampu untuk :
1. Menjelaskan tentang ACS
2. Mengkaji klien ACS
3. Memberikan asuhan keperawatan pasien ACS
4. Mengintrepestasikan EKG ACS
5. Melakukan pencatatan dan pelaporan secara akurat dan tepat sesuai alur

PENDAHULUAN
suatu fase akut dari Angina Pectoris Tidak Stabil-APTS (terjadi peningkatan nyeri dada baik
frekuensi, durasi dan intensitas nyeri serta tidak dapat diatasi dengan pemberian nitrat). Angina
tersebut dapat terjadi sewaktu – waktu, saat istirahat aupun beraktifitas. Hal ini disebabkan
karena adanya thrombosis akibat dari rupture plak aterosklerosis yang tidak stabil.
Sindrom ini menggambarkan suatu penyakit yang berat dengan mortalitas tinggi. Mortalitas
tidak tergantung pada besarnya prosentase stenosis (plak) koroner, namun lebih sering
ditemukan pada penderita dengan plak kurang dari 50 – 70% yang tidak stabil, yakni fibrouse
cap ―dinding plak‖ yang tipis dan mudah erosi atau rupture.
Oleh karena terjadi perubahan morfologi pembuluh darah koroner, maka lambat laun plak
tersebut menjadi rapuh, pada saat plak yang rapuh tersebut lepas, maka terbentuk sumbatan
pada aliran darah koroner. Di lain pihak pada lapisan pembuluh darah koroner tersebut akan
terjadi kikisan maka inilah pemicu terjadinya thrombus, kadang kejadian ini disertai tanda atau
keluhan dari klien seperti nyeri dada. Keluhan nyeri dada timbul sebagai tanda ―supply‖
oksigen tidak sesuai dengan ―kebutuhan‖ otot jantung. Dengan demikian otot jantung menjadi
iskemi.

PT SMS Indonesia | Smart 164 | P a g


ACUTE CORONARY SINDROME

1. Konsep Acute Coronary Sindrome


adalah kondisi di mana aliran darah menuju ke jantung berkurang secara tiba-tiba.
Nyeri dada seperti tertindih benda berat merupakan bentuk gejala paling umum dari kondisi
ini. Arteri koroner (pembuluh darah jantung) memasok darah yang kaya akan oksigen ke otot
jantung. Jika arteri ini menyempit atau tersumbat akan mengganggu fungsi jantung yang bisa
menyebabkan angina atau serangan jantung.
Istilah ACS sekarang ini banyak digunakan untuk menggambarkan kejadian
kegawatan pada pembuluh darah koroner. ACS merupakan satu sindrom yang terdiri dari
beberapa penyakit koroner yaitu, angina tak stabil (unstable angina), infark miokard non –
elevasi ST, infark miokard dengan elevasi ST, maupun angina pektoris pasca infark atau
pasca tindakan intervensi pada koroner perkutan.
Oleh orang awam, terkadang gejala – gejala sindrom koroner akut disalahartikan
sebagai masuk angin. Pada beberapa kasus yang menyebabkan kematian, orang awam juga
kerap menyebut kondisi ini sebagai angin duduk. ACS merupakan kondisi darurat medis
yang membutuhkan penanganan segera. Kondisi kesehatan ini umum terjadi. Kondisi ini
biasanya terjadi pada orang yang yang berusia di atas 45 tahun, perokok, dan memiliki
riwayat penyakit jantung.
Pada kasus kegawatan kardiovaskuler sering timbul secara mendadak, dan sering pula
terlambat untuk mendapatkan pertolongan. Waktu saat muncul keluhan sampai dengan
pasien dibawa ke IGD merupakan waktu yang sangat penting. Oleh karena itu sangat penting
bagi perawat untuk mengetahui tentang kegawatdaruratan kardiovaskuler dan mampu
memberikan penanganan secara cepat dan tepat pada korban, baik bantuan hidup dasar
(Basic Life Support – BLS) ataupun sampai dengan bantuan hidup lanjut (Advanced Cardiac
Life Support – ACLS). Gradasi APS menurut canadian cardiovaskular society:
- Klas I nyeri dada timbul dg latihan berat seperti berjalan cepat terburu-buru
- Klas II aktivitas sehari-hari agak terbatas, nyeri dada timbul aktivitas lebih
berat seperti berjalan 2 blok, berjalan menanjak
- Klas III aktivitas shari-hari nyata terbatas, nyeri timbul pd wkt aktivitas seperti
naik turun tangga dg kecepatan luar biasa
- Klas IV nyeri timbul waktu istirahat sekalipun, seperti menyapu, mandi
Acute Coronary Syndrome terdiri dari:
A. angina tak stabil (unstable angina)
Yang dimaksud ke dalam angina tidak stabil
(1) Pasien dengan angina yg masih baru dlm 2bl, angina cukup berat & frek
cukup sering > 3x/hr
(2) Pasien dengan angina yg makin bertambah berat, sebelumnya angina
stabil, lalu serangan angina timbul lebih sering & lebih berat sakit
dadanya, sdg presipitasiny ringan
(3) Pasien dengan serangan angina waktu istirahat
B. angina prinzmental
- Sakit dada timbul waktu istirahat
- Sering kali pada pagi hari
- Disebabkan spasme aterosklerosis koroner
- EKG ST elevasi
- Berkembang menjadi AMI
C. STEMI (ST Elevasi Myocard Infraction)
D. NSTE-ACS (Non ST Segment Elevation Acute Coronary Syndrome)

2. Etiologi Acute Coronary Sindrome


a. Timbunan lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah.
b. Sumbatan (trombosit) oleh sel bekuan darah (thrombus).
c. Vasokontriksi
d. Infeksi pada pembuluh darah.

PT SMS Indonesia | Smart 165 | P a g


3. Tanda– Tanda Dan Gejala
Yang paling umum dari kondisi ini adalah:
Dada terasa seperti tertindih benda berat
Nyeri yang terasa samar atau terasa sangat sakit di bagian dada, leher, bahu kiri, lengan
dan menyebar ke bagian bawah (terutama di bagian lengan kiri). Rasa sakit muncul
secara perlahan atau tiba-tiba, menyebar atau terasa menyengat
Tanda – tanda dan gejala lain dari sindrom koroner akut
yaitu: Sesak napas
Detak jantung cepat atau tidak
teratur
Merasa seperti ingin jatuh
Kelelahan yang parah
Otot melemah
Mual atau muntah
Keluar keringat dingin

4. Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko penyakit
jantung koroner dibagi dua yaitu faktor
resiko yang dapat dimodifikasi dan
faktor resiko yang tidak dapat
dimodifikasi. Faktor resiko yang dapat
dimodifikasi antara lain:
Hipertensi
Diabetes
Hiperkolesterolemia
Merokok
Kurang latihan
Diet dengan kadar lemak
tinggi Obesitas
Stress
Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi antara
lain: Riwayat PJK dalam keluarga
Usia di atas 45 tahun
Jenis kelamin laki-laki > perempuan
Etnis tertentu lebih besar resiko terkena PJK

5. Pengkajian Acute Coronary Sindrome


Diagnostik adanya suatu
acute coronary syndrome harus
ditegakkan secara cepat dan
tepat dan didasarkan pada tiga
kriteria (TRIAS AMI
berdasarkan WHO), yaitu
gejala klinis nyeri dada
spesifik, gambaran EKG
(elektrokardiogram), dan
evaluasi biokimia dari enzim
jantung.
Nyeri dada tipikal (angina)
merupakan gejala kardinal
pasien ACS. Nyeri dada atau
rasa tidak nyaman di dada
merupakan keluhan dari
sebagian besar pasien dengan
ACS. Sifat yang spesifik dari
nyeri dada angina adalah sebagai

PT SMS Indonesia | Smart 166 | P a g


berikut dengan Pengkajian OPQRST:
O=Onset :Kapan masalah dimulai, dan apa yang menyebabkan?
P=Provacation :Tanya apa yang memperberat nyeri, apakah posisi? Apakah ketika
menarik npas dalam atau berdebar membuatnya lebih buruk?
>>> dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yaitu aktivitas/ latihan fisik yang berlebihan (tak
terkondisikan, stress emosi, terkejut, udara dingin, waktu dari suatu siklus harian (pagi hari).
Keadaan – keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas simpatis,
sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, frekuensi debar
jantung meningkat, kontraktilitas jantung meningkat, dan aliran koroner juga meningkat.
>>> Palliatif: pada nyeri angina terkontrol dengan nitrat, tetapi pada akut memerlukan
analgetik dosis tinggi seperti morphin.
Q=Quality :Tanyakan jenis nyeri, biarkan pasien menjelaskan keluhannya dengan kata-
kata sendiri, hindaripertanyaan tertutup. Jangan tayakan apakah nyeri seperti
tertindih sebaiknya tanyakan sperti apa nyerinya, beratnnya, tertekan, terbakar,
diiris-iris, ditindih benda, atau seperti tertusuk.
>>> atau dikenal juga dengan sifat nyeri, rasa sakit yang seperti ditekan, seperti terbakar,
ditindih benda berat, seperti ditusuk, seperti diperas atau dipelintir.
R=Radiation :tanyakan dimana nyerinya dan apakah menjalar kebagian tubuh lainnya
>>> substernal, retrosternal, dan prekordial
>>> atau penjalaran nyeri ke arah leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung atau
interskapula, dan dapat juga menjalar ke lengan kanan.
S=Severity :tanyakan tentang skala nyeri dari 0-10, dan evaluasi nyeri setelah dilakukan
tatalaksana
>>> pada nyeri angina lama, nyeri antara 10 sampai dengan 20 menit, dan berulang.
Sedangkan nyeri pada fase akut lebih dari 30 menit dan terjadi terus – menerus.
Adapun gejala yang biasa menyertai adalah mual, muntah, sulit bernafas,
keringat dingin dan lemas.
T=Timing :tanyakan nyeri yang paling lama yang sudah pernah dirasakan prtama kali
timbul, apakah nyeri hilang timbul atau terus mnerus.

NUMERIC SCALE RATE

WONG BAKER SCALE

Presentasi Klinis Nyeri Dada


Berat ringannya nyeri bervariasi. Sulit untuk membedakan angina pektoris tidak stabil/
NSTEMI dan STEMI berdasarkan gejala semata – mata.
a. Unstable angina: gejala angina tidak stabil adalah sama dengan angina stabil, tetapi gejala
dapat disertai:

PT SMS Indonesia | Smart 167 | P a g


Nyeri tambah berat/ angina tambah berat tanpa pemicu/ provokasi apapun
Nyeri tetap bertahan bahkan ketika istirahat
Nyeri bertahan lebih dari lima menit
Tidak respon terhadap ISDN
b. Non – ST Segmen Elevasi Acute Coronary Syndrome (NSTE-ACS), setidaknya dua dari
kriteria berikut:
Gejala nyeri saat istirahat
Terdapat peningkatan serum troponin
Perubahan EKG: elevasi segmen ST tidak hadir, mungkin ada segmen ST normal
atau depresi atau gelombang T inversi
c. ST segmen elevasi miokard infark (STEMI), ditandai dengan gejala dengan elevasi
segmen ST (iskemia transmural). Ada indikasi untuk perawatan mendesak reperfusi, baik
dengan intervensi koronerperkutan atau dengan pemberian agen trombolitik. Serangan
jantung bisa subclassified sebagai gelombang Q atau non – Q wave infark miokard.
6. Penanganan Acute Coronary Sindrome
Penutupan total (Oklusi Total) yang terjadi lebih dari 4 – 6 jam pada arteri koroner
akan menyebabkan nekrosis miokard yang irreversible.
Dalam menangani CS dapat dibagi menjadi:
1. Fase sebelum RS (Pre Hospital Stage), yang kemungkinan tanpa komplikasi atau dengan
komplikasi, harus diperhatikan dengan seksama.
2. Fase RS (hospital stage) yang dimulai di Instalasi Gawat Darurat (IGD), dengan tujuan
untuk pencegahan terjadinya IMA, pembatasan luasnya infark, dan pemeliharaan fungsi
jantung (Miokard)
Tahapan awal dan cepat Pengobatan pasien dengan acute coronary syndrome:
Bedrest
Oksigenasi
Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan oksigen
Nitroglycerin
Berikan sublingual 5 mg tiap 3 – 5 menit untuk gejala yang terus menerus jika diijinkan
dna tidak ada kontraindikasi
Aspirin
Berikan Aspirin 160–325mg dikunyah, pada jam–jam pertama, atau berikan aspirin
supposositoria 300 mg untuk penderita yang mempunyai gangguan pencernaan.
Morphine
Berikan morphine sesuai dengan protap, jika tidak respon dengan pemberian nitrat
sublingual atau spray.
Clopidogrel
Berikan clopidogrel 300 – 600 mg peroral.

Intervensi Diagnostik pada STEMI ONSET <3 Jam


 Pasien dengan STEMI biasanya terjadi total oklusi arteri koroner epicardia
 Tujuan utama dari penatalaksanaan awal adalah terapi reperfusi segera dengan
pemberian terapi fibrinolitik (reperfusi farmakologi) atau PPCI/ PRIMARY
PERCUTANEOUS CORONARY INTERVENTION (reperfusi mekanik)

PT SMS Indonesia | Smart 168 | P a g


XIII

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM & KHUSUS


Peserta diharapkan mampu mempraktikkan team dynamic / dinamika tim yang efektif dalam
melakukan Tatalaksana pada Pasien Kasus Trauma & Henti Jantung, mengetahui peran masing-
masing dan cara komunikasi yang baik.

PENDAHULUAN
Pemberian direct current (DC) shocks untuk kasus jantung telah lama digunakan dan sukses
mengubah irama jantung yang tidak normal menjadi kembali normal. Pada tahun 1775,
Abildgaard melaporkan menggunakan listrik untuk menghidupkan seekor ayam betina dari
kematian.
Pemberian gelombang listrik sementara dapat mengakibatkan depolarisasi dari hampir
semua sel jantung dan mengakibatkan nodus sinus pacemaker kembali normal. Pada keadaan
seperti ventricular Fibrilation (VF) dan ventricular takikardi (VT) tanpa nadi, defibrilasi
mengembalikan ke irama sinus. Saat ini ada 2 jenis alat yang digunakan untuk kardioversi dan
defibrilasi, yaitu gelombang monofasik sinusoidal (gelombang positif) dan gelombang bifasik.

PT SMS Indonesia | Smart Emergency 169 | P a g e


TERAPI ELEKTRIK

A. DEFINISI
Defibrilasi adalah suatu tindakan terapi dengan cara memberikan aliran listrik yang kuat
dengan metode asinkron ke jantung pasien melalui elektroda yang ditempatkan pada
permukaan dada pasien. Tujuannya adalah untuk koordinasi aktivitas listrik jantung dan
mekanisme pemompaan, ditunjukkan dengan membaiknya cardiac output, perfusi jaringan
dan oksigenasi. American Heart Association (AHA) merekomendasikan agar defibrilasi
diberikan secepat mungkin saat pasien mengalami gambaran VT non-pulse atau VF, yaitu
3 menit atau kurang untuk setting rumah sakit dan dalam waktu 5 menit atau kurang dalam
setting luar rumah sakit. Defibrilasi dapat dilakukan diluar rumah sakit karena sekarang ini
sudah ada defibrillator yang bisa dioperasikan oleh orang awam yang disebut automatic
external defibrillation (AED).
Tindakan Resusitasi yang dilakukan dengan kualitas tinggi (‗High-quality‘ CPR) oleh
orang pertama yang menyaksikan korban terkena serangan henti jantung  meningkatkan
2 x lipat angkakeberhasilan tindakan resusitasi.
bila dilakukan cpr, angka keberhasilan hanya turun 3 – 4% setiap menit mulai dari
kolaps sampai dilakukan defibrilasi
angka keberhasilan akan lebih meningkat apabila defibrilasi segera dilakukan saat
terjadi henti jantung yang tersaksikan (49–75%)
B. CHAIN OF SURVIVAL

C. INDIKASI DEFIBRILASI
Defibrilasi merupakan tindakan resusitasi prioritas utama yang ditujukan pada:
Ventrikel fibrilasi (VF)
Ventrikel takikardi tanpa nadi (VT non-pulse)

PT SMS Indonesia | Smart 170 | P a g


Meskipun defibrilasi merupakan terapi definitive untuk VF dan VT non-pulse,
penggunaan defibrilasi tidak berdiri sendiri tetapi disertai dengan resusitasi.
kardiopulmonari (RJP). Peran aktif dari penolong atau tenaga kesehatan pada saat
mendapati pasien dengan cardiac arrest, dimana sebagian besar menunjukkan VF dan
VT, untuk bertahan terbukti meningkat.

D. PRINSIP DEFRIBILASI
Memberikan energi dalam jumlah banyak dalam waktu yang sangat singkat (beberapa
detik) melalui pedal positif dan negative yang ditekankan pas dinding dada atau melalui
adhesive pads yang ditempelkan pada sensing dada pasien. Arus listrik yang mengalir
sangat singkat ini bukan merupakan loncatan awal bagi jantung untuk berdetak, tetapi
mekanismenya adalah aliran listrik yang sangat singkat ini akan mendepolarisasi semua
miokard, menyebabkan berhentinya aktivitas listrik jantung atau biasa disebut asistole.
Beberapa saat setelah berhentinya aktivitas listrik ini, sel-sel pace maker akan ber-
repolarisasi secara spontan dan memungkinkan jantung untuk pulih kembali. Siklus
depolarisasi secara spontan dan repolarisasi sel-sel pacemaker yang reguler ini
memungkinkan jantung untuk mengkoordinasi miokard untuk memulai aktivitas kontraksi
kembali.

E. PEMBAGIAN DC-SHOCK
1. Berdasarkan arus dibagi monofasik dan bifasik
Selama beberapa dekade, defibrillator telah menggunakan bentuk gelombang
monofasic. Dengan bentuk gelombang monofasic, arus mengalir dalam satu arah, dari
satu elektroda ke yang lain, menghentikan jantung sehingga memiliki kesempatan untuk
memulai kembali sendiri. Dengan bentuk gelombang bifasik, arus mengalir dalam satu

PT SMS Indonesia | Smart 171 | P a g


arah pada tahap pertama shock dan kemudian membalikkan untuk tahap kedua. Bentuk
gelombang bifasik sekarang "standar emas" untuk alat defibrilator.
Penelitian menunjukkan bahwa bentuk gelombang bifasik lebih efektif dan
menimbulkan lebih sedikit risiko cedera pada jantung daripada bentuk gelombang
monofasik, bahkan ketika tingkat energi kejut adalah sama. Inilah sebabnya mengapa
produsen defibrillator eksternal sekarang menggunakan bentuk gelombang bifasik di
perangkat mereka. Bentuk gelombang Bifasik menjadi standar baru perawatan di
defibrillator eksternal. Di masa lalu hanya ada satu jenis defibrilasi transthoracic, yaitu
standar sinus gelombang kejut monofasic. Selama bertahun-tahun penelitian, teori
impedansi dan waktu guncangan sudah diperdebatkan untuk dijadikan suatu standar
baku. 6 Studi-studi telah menunjukkan bahwa awalnya ada perubahan segmen ST yang
signifikan terkait dengan energi tinggi defibrilasi, yang dapat berlangsung sampai
beberapa bulan (jika pasien bertahan).
Dengan sistem Bifasik ada yang lebih tinggi tingkat keberhasilan konversi kejutan
awal dari VT (ventrikel takikardi) atau VF (ventrikel fibrilasi) dibandingkan monofasic
(85,2% vs 97,6% monofasic bifasik ), energi dalam Joule secara signifikan kurang (360j
monofasic, 120-200j bifasik) yang akan mempengaruhi kebutuhan cadangan energi,
Bifasik lebih efektif dalam membalikkan VF berkelanjutan Defibrilasi bifasik
menawarkan khasiat sama atau lebih baik pada energi rendah dari gelombang
Monofasic tradisional defibrillator-dengan risiko lebih kecil pasca-shock komplikasi
seperti disfungsi miokard dan luka bakar kulit.
2. Berdasarkan kegunaan
a. Defibrilasi (unsynchronize)
b. Cardioversi (synchronize)
Defibrilasi (unsynchronize)
Ventricular Fibrillasi (VF) Ventricular takikardi (Pulseless VT)
tanpa nadi
Monophasic 360 j Monophasic 360 j
Biphasic 120 – 200 j Biphasic 120 - 200j
Bayi/anak < 8 tahun Bayi/anak < 8 tahun
2-4j/kgbb Maksimal 10j/kgbb 2-4j/kgbb Maksimal 10j/kgbb
Cardioversi (synchronize) Defibrilator monofasik
Jenis disritmia Energy (joule)
VT dengan nadi 50 – 100
SVT 50 – 100
AF 120 – 200
Atrial flutter 50 – 100

F. FAKTOR YANG MENENTUKAN KEBERHASILAN DEFIBRILASI


Lamanya kesuksesan defibrilasi tergantung dari status metabolisme miokard dan jumlah
miokard yang rusak selama periode hipoksia karena arrest. Semakin lama waktu yang
digunakan untuk memulai defibrilasi maka semakin banyak persediaan ATP yang
digunakan miokard untuk bergetar sehingga menyebabkan jantung memakai semua tenaga
sampai habis dan keadan ini akan membuat jantung menjadi kelelahan.
Keadaan dan kondisi miokard Hipoksia, asidosis, gangguan elektrik, hipotermi dan
penyakit dasar jantung yang berat menjadi penyulit bagi pemulihan aktivitas kontraksi
jantung. Besarnya jantung, makin besar jantung, makin besar energi yang dibutuhkan untuk
defibrilasi. Ukuran diameter pedal dewasa yang dianjurkan adalah 8,5-12 cm dan untuk
anak-anak berkisar 4,5-4,8 cm. ukuran pedal terlalu besar membuat tidak semua permukaan
pedal menempel pada dinding dada dan menyebabkan banyak arus yang tidak sampai ke

PT SMS Indonesia | Smart 172 | P a g


jantung. Untuk itu, penggunaan pedal pada anak-anak bisa disesuaikan dengan ukuran
tubuhnya.
Letak pedal hal yang sangat penting tetapi sering kali diabaikan adalah peletakan pedal
pada dinding dada saat dilakukan defibrilasi. Pedal atau pad harus diletakkan pada posisi
yang tepat yang memungkinkan penyebaran arus listrik kesemua arah jantung. Posisi
sternal, pedal diletakkan dibagian kanan atas sternum dibawah klavikula. Pedal apeks
diletakkan disebelah kiri papilla mamae digaris midaksilaris. Pada wanita, posisi pedal
apeks ada di spasi interkosta 5-6 pada posisi mid-axilaris. Pada pasien yang terpasang
pacemaker permanent, harus dihindari peletakan padel diatas generator pacemaker, geser
pedal setidaknya 1 inchi dari tempat itu. Defibrilasi langsung ke generator pacemaker dapat
menyebabkan malfungsi pace maker secara temporary atau permanent. Setelah dilakukan
defibrilasi atau kardioversi harus dicek ambang pacing dan sensibilitasnya serta dilihat
apakah alat masih bekerja sesuai dengan setting program. Hal yang harus diperhatikan pada
saat melakukan defibrilasi adalah posisi pedal atau pads, keduanya tidak boleh saling
menyentuh atau harus benar-benar terpisah.
Energi Pada defibrilator monofasik energi yang diberikan 360 joule, sedangkan pada
defibrilator bifasik 200J. Untuk anak-anak, energi yang diperlukan adalah 2-4 joule/kg BB,
maksimal 9 j/kg BB. Jelli/Gel Saat menggunakan pedal, jangan lupa memberikan jelli
khusus untuk defibrilasi atau kardioversi pada pedal. Jelli berfungai sebagai media
konduksi untuk penghantar arus listrik. Tujuan dari pemberian gel adalah untuk
mengurangi resistensi transtorakal dan mencegah luka bakar pasien. Yang harus
diperhatikan juga adalah jangan sampai gel tersebut teroles dikulit diantara sternum dan
apeks, atau jelli dari salah satu atau ekdua pedal mengalir menghubungkan keduanya pada
saat ditekan ke dada pasien. Jika ini terjadi akan mengakibatkan arus hanya mengalir
dipermukaan dinding dada, aliran arus ke jantung akan missing dan memancarkan bunga
api yang menyebabkan sengatan listrik pasien pada pasien dan alat-alat operator.

G. PERSIAPAN PASIEN
1) Pastikan pasien dan atau keluarga mengerti prosedur yang akan dilakukan
2) Letakkan pasien diatas papan resusitasi pada posisi supine
3) Jauhkan barang-barang yang tersebut dari bahan metal dan air disekitar pasien
4) Lepaskan gigi palsu atau protesa lain yang dikenakan pasien untuk mencegah
obstruksi jalan nafas
5) Lakukan RJP secepatnya jika alat-alat defibrillator belum siap untuk mempertahankan
cardiac output yang akan mencegah kerusakan organ dan jaringan yang irreversible.
6) Berikan oksigen dengan face masker untuk mempertahankan oksigenasi tetap adekuat
yang akan mengurangi komplikasi pada jantung dan otak
7) Pastikan mode defibrillator pada posisi asyncrone
8) Matikan pace maker (TPM) jika terpasang.

H. PROSEDUR DEFIBRILASI
1. Inform concent
2. DC-Shock
3. Troly emergency
4. Oleskan Jelly pada pedal secara merata
5. Pastikan posisi kabel defibrillator pada posisi yang bisa menjangkau sampai ke pasien
6. Nyalakan perekaman EKG agar mencetak gambar EKG selama pelaksanaan
defibrilasi
7. Letakkan pedal pada posisi apeks dan sternum
8. Charge pedal sesuai energi yang diinginkan
9. Pastikan semua clear atau tidak ada yang kontak dengan pasien, bed dan peralatan
pada hitungan ketiga (untuk memastika jangan lupa lihat posisi semua personal
penolong)

PT SMS Indonesia | Smart 173 | P a g


10. Pastikan kembali gambaran EKG adalah VT atau VF non-pulse
11. Tekan tombol pada kedua pedal sambil menekannya di dinding dada pasien, jangan
langsung diangkat, tunggu sampai semua energi listrik
dilepaskan.
12. Nilai gambaran EKG dan kaji denyut nadi karotis
13. Jika kejutan kedua tidak berhasil, lakukan tahapan
ACLS berikutnya
14. Bersihkan jelly pada pedal dan pasien

I. PENEMPATAN PADDLE
Sternum : mid clavicularis dextra 2 jari dibawah
clavicula kanan
Apex : ICS ke 5, anterior sampai lateralis kiri

J. PASCA DEFRIBILASI
2 Evaluasi status neurology. Orientasikan klien terhadap orang, ruang, dan waktu
3 Monitor status pulmonary (RR, saturasi O2)
4 Monitor status kardiovaskuler (TD, HR, Ritme) setiap 15 menit
5 Monitor EKG
6 Mulai berikan obat anti disritmia intravena yang sesuai
7 Kaji apakah ada kulit yang terbakar
8 Monitor elektrolit (Na. K, Cl)
Dokumentasi dan laporan setelah
tindakan
1. Print out EKG sebelum, selama dan sesudah defibrilasi
2. Status neurology, respirasi dan kardioversi sebelum dan sesudah defibrilasi
3. Energi yang digunakan untuk defibrilasi
4. Semua hasil yang tidak diinginkan dan intervensi yang telah diberikan
K. KOMPLIKASI
- Henti jantung-nafas dan kematian
- Anoxia cerebral sampai dengan kematian otak
- Gagal nafas
- Asistole
- Luka bakar
- Hipotensi
- Disfungsi pace-maker

PT SMS Indonesia | Smart 174 | P a g


MANAGEMENT TEAM DYNAMIC

A. DEFINISI
Kerjasama Tim yang efektif sangat menentukan keberhasilan resusitasi. Apabila
kerjasama baik maka dampaknya pasien akan terselamatkan, akan tetapi jika kerjasama
buruk yang terjadi adalah sebaliknya kecacatan atau bisa saja meninggal.
IHCA (In Hospital Cardiac Arrest) adalah kejadian henti jantung atau kegawatdaruratan
didalam rumah sakit yang menjadi fokus penanganan oleh team code blue dan Early
Warning Score System.
Secara international ada beberapa kode yang digunakan dalam kegawatdaruratan di
rumah sakit, namun di Indonesia kode yang digunakan menyesuaikan dengan kebutuhan
rumah sakit. Berikut kode yang digunakan sesuai dengan standart akreditasi rumah sakit:
NAMA KODE SITUASI
Blue Code Kegawatdaruratan medis dalam rumah sakit
Black code Ancaman bom, gempa bumi atau sesuatu yang
mengancam infrastruktur
Red Code Kebakaran
Yellow Code Pencemaran bahan kimia, limbah atau banjir
Pink code Penculikan bayi

B. CHAIN OF SURVIVAL

PT SMS Indonesia | Smart 175 | P a g


ALOGARITMA HENTI JANTUNG LANJUTAN DEWASA

PT SMS Indonesia | Smart 176 | P a g


C. DINAMIKA TEAM
1. Manfaat dan Tujuan

Keefektifan dari tim dinamik meningkatkan kesempatan dalam kesuksesan


resusitasi
Setiap orang dalam tim harus tahu apa yang harus mereka kerjakan
Bagaimana berkomunikasi yang baik dan efektif dalam performa dalam sebuah tim
Kesuksesan dari tim dinamik tergantung dari H-QCPR, keefektifan tim &
komunikasi

2. Elemen dari dinamika team

Role & Responsibilities


Peran dan tanggungjawab yang
jelas Communication
Cara berkomunikasi dan bagaimana berkomiunikasi yang baik
Debriefing
Tanya jawab dan diskusi

3. Peran & Tanggung Jawab yang Jelas


A. Kasus cardiacc arrest

PT SMS Indonesia | Smart 177 | P a g


B. Kasus trauma

AIRWAY

MAHASISWA
RESIDEN
KEDOKTERAN
/KEPERAWATAN
TEAM
LEADER
PERAWAT
TEKNISI
TRAUMA
TRAUMA

- Initial Assesment
- dokumentasi

1. Memahami Keterbatasan Masing-Masing


Leader harus mengetahui keterbatasan setiap anggota
Anggota team tidak boleh mencoba TINDAKAN YANG TIDAK DIKUASAI
2. Menawarakan Intervensi yang Konstruktif
 Komunikasi dua arah antara leader dan anggota team
 Mengkoreksi kesalahan dalam tindakan secara cepat; baik mengenai
obat, dosis serta tindakan pada waktu yang tepat
 Mencegah seseorang melakukan kesalahan
3. Saling berbagi pengetahuan
 Membantu tim untuk perawatan efektif & efisien
 Leader harus sering bertanya untuk mengobservasi & memberikan
feedback termasuk meminta ide-ide yang baik untuk kebaikan pasien
4. Summarize & Reevaluated
 Meringkas & menyaring informasi selama tindakan resusitasi
 Perubahan kondisi pasien , tindakan yang sesuai algoritma
 Mencatat selama perawatan
5. Use Closed-Loop Communication
Instruksi dilakukan dengan menyebut nama
Anggota team terkait mengulangi perintah
Penting untuk mengurangi kesalahpahaman dan kesalahan dalam perawatan
6. Give clear massage
Bahasa yang disampaikan harus ringkas
padat Intonasi suara cukup dapat didengar
oleh tim Bicara secara tenang dan percaya
diri
7. Show Mutual Respect
Saling menghormati secara profesional
Walaupun emosi akan meningkat saat resusitasi tetapi harus tetap bisa
mengontrol keadaan

PT SMS Indonesia | Smart 178 | P a g


8. 8. coaching & debriefing
 CPR coach memperbaiki performa dalam pemberian kompresi dan
ventilasi baik kecepatan, kedalaman maupun interupsi
 Membantu performa dalam tim untuk menjadi lebih baik
 Identifikasi sistem kekuatan & kelemahan

B. PERAN DAN TUGAS


1. Leader
Memastikan anggota telah memiliki sertifikat yang
sesuai (Dokter-> ACLS/ATLS – Perawat-> BTCLS)
Pemandu team
Membagi peran Team
Decisionmaker
Feed back positif
Supervisi
2. Compressor
Melakukan High Quality CPR meminimalkan interupsi
Change in 2 minute
3. Airway
Membuka jalannafas
Lakukan ventilasi dengan BVM teknik E- C Clamp
(sebaiknya petugas ventilasi/airway adalah advance dalam melakukan
intubasi (mulai putaran kedua/setelah SAS Pertama dapat melakukan
intubasi)
4. Defibrilator
Memasang elektroda Defibrilator dan monitor irama jantung
Memberikan elektrikal shock therapy
5. Recorder
Dokumentasikan tindakan
Timer
6. Medication
Memasang infuse
Memberi obat / terapi cairan
7. CPR Coach
Mengawasi High Quality CPR
Memberikan reinforcement positif
Memberi semangat dalam tim

PT SMS Indonesia | Smart 179 | P a g


C. PERAWATAN SETALAH CARDIAC ARREST
Sesuai dengan guideline AHA 2020 setelah korban mengalami henti jantung dan
telah ditolong oleh team code blue, maka team akan menghubungi kembali
callcenter untuk menyatakan code blue clear. Kemudian merencanakan untuk
transportasi pasien ke intensive care atau IGD berdasarkan satatus pasien rawat
inap ataukah non pasien dan menghubungi untuk konsultasi lebih lanjut pada tim
ahli sesuai dengan kebutuhan pasien masing-masing.

PT SMS Indonesia | Smart 180 | P a g


JIKA TERJADI RETURN OF SPONTANEOUS CIRCULATION (ROSC)

Pasien koma :
 Targeted Temperature Management (TTM)
 Pertahankan suhu 32 – 36ºC selama 24 jam
 Beri cairan salin 4ºC
 CT Scan brain
 EEG
 Perawatan intensif

Pasien bangun :
Perawatan intensif

Evaluasi dan cari penyebab dari 5H & 5T Konsul ke ahli


5H :
 Hypovolemia
 Hypoxia
 Hydrogen ion (acidosis)
 Hypo/hyperkalemia
 Hypothermia
5T :
 Tension pnuemothorax
 Tamponade cardiac
 Toxins
 Thrombosis pulmonary
 Thrombosis coronary

PT SMS Indonesia | Smart 181 | P a g


STANDART OPERASIONAL PROSEDUR
Team Dynamic Management (Megacode/Code Blue)

NO PROSEDUR

BLS Survey
1 Danger (Aman diri, aman lingkungan, aman pasien)
2 Cek Respon dengan menepuk bahu, dan memanggil
3 Aktifkan Call for Help
4 Cek nadi karotis, dan cek napas mak.10 detik
5 Menentukan titik kompresi
6 Melakukan CPR kedalaman 5 cm
7 Kecepatan 100 - 120 x/mnt
8 Ratio CPR 30 : 2 (30 kompresi, 2 Ventilasi jika ada BVM)
9 Full chest recoil
10 Minimal interupsi
Bantuan Datang (Tim Code Blue)
Leader

11 Memimpin Tim Code Blue


Compresor
12 Lanjut RJP 30 : 2
Ventilator
13 Memberikan Ventilasi dengan BVM 2 kali ventilasi dengan tehnik E-C Clamp
Defibrilator
14 Pasang monitor
15 Menyampaikan bahwa monitor siap
16 Lakukan SAS (Stop RJP, Analisa irama, Switch / Ganti RJP)
17 VF / VT (Defibrilasi)
18 Asistol / PEA (RJP)
Medicine
19 Pasang IV line
Memberikan obat-obatan injeksi (Epinefrin dan Amiodaron) sesuai dosis, urutan pemberian
dan waktu

Recorder
20 Mencatat kegiatan selama tim dinamik berlangsung

PT SMS Indonesia | Smart 182 | P a g


XIV

TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM


Peserta dapat mengetahui, mengidentifikasi, dan melakukan simulasi pengangkatan,
pemindahan, dan rujukan pada pasien sesuai dengan masalah yang dialaminya.

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS


Setelah mengikuti pelatihan ini peserta di-harapkan mampu untuk :
1. Mengetahui cara pengangkatan, pemindahan, dan tujukan pada pasien sesuai dengan
masalah yang dialaminya dengan baik dan benar.
2. Mengidentifikasi cara pengangkatan, pemindahan, dan rujukan pada pasien yang efektif
sesuai kondisi pasien dan lingkungan.
3. Melakukan pengangkatan, pemindahan, dan rujukan pada pasien yang efektif sesuai
kondisi pasien dan lingkungan
PENDAHULUAN
Hampir selalu setiap melakukan pertolongan terhadap pasien kita harus melakukan
pengangkatan dan pemindahan pasien. Mengangkat dan memindahkan pasien dilakukan pada
saat menuju tempat aman, meletakan pasien ditempat tidur, atau ketika akan membawa pasien
ke fasilitasi kesehatan lebih lanjut.
Pengangkatan dan pemindahan pasien ada yang dilakukan pada saat keadaan darurat
(emergency moving) dan ada yang dilakukan pada saat. Keadaan sudah terkendali (non
emergency moving). Pengangkatan dan pemindahan darurat dilakukan pada saat ada bahaya
api, ledakan, atau tertimpa benda
Seperti pada tahap pertolongan lain, pengangkatan dan pemindahan pasien harus tetap
memperhatikan keselamatan dan keamanan diri sendiri. Pada banyak kasus ketika mengakat
atau memindahkan pasien penolong mengalami gangguan / rasa sakit pada daerah pinggang
akibat cara pengangkatan yang salah.

PT SMS Indonesia | Smart Emergency 183 | P a g e


EVAKUASI & RUJUKAN

A. PRINSIP PENGANGKATAN
Syarat utama dalam mengangkat pasien tentulah keadaan fisik yang baik, yang juga
terlatih dan dijaga dengan baik. Jika anda melakukan pengangkatan dan pemindahan
dengan tidak benar, maka ini dapat mengakibatkan cedera pada penolong. Apabila anda
melakukan cara pengangkatan yang tidak benar ini setiap hari, mungkin akan timbul
penyakit yang menetap. Penyakit yang umum adalah nyeri pinggang bagian bawah (low
back pain), dan ini dapat timbul pada usia yang lebih lanjut.
1. Bayangkan bahwa tubuh anda sebuah menara, tentu saja dengan dasar yang lebih besar
daripada bagian atas. Semakin miring menara itu, semakin mudah runtuh. Karena itu
berusahalah untuk senantiasa dalam posisi tegak, jangan membungkuk ataupun miring.
2. Gunakan paha untuk mengangkat, bukan punggung. Untuk memindahkan sebuah benda
yang berat, gunakan otot dari tungkai, pinggul dan bokong, serta ditambah dengan
kontraksi otot dari perut karena beban tambahan pada otot-otot ini adalah lebih aman.
Jadi saat mengangkat, jangan dalam keadaan membungkuk. Punggung harus lurus.
Gunakan otot di punggung anda selalu dalam keadaan punggung lurus untuk membantu
anda memindahkan atau mengangkat benda yang berat.
3. Guna otot fleksor (otot untuk menekuk, bukan otot untuk meluruskan). Otot fleksor
lengan maupun tungkai lebih kuat daripada otot ekstensor. Karena itu saat mengangkat
dengan tangan, usahakan telapak tangan menghadap ke arah depan.
4. Usahakanlah sedapat mungkin agar titik berat beban sedekat mungkin ke tubuh anda.
Cedera punggung mungkin terjadi ketika anda menggapai dengan jarak yang jauh untuk
mengangkat sebuah benda.
5. Sejauh mungkin pakailah alat untuk mengangkat ataupun memindahkan pasien. tandu
dan brankar merupakan contoh alat yang mempermudah pekerjaan anda.
6. Jarak antara kedua lengan dan tungkai.
7. Saat berdiri sebaiknya kedua kaki agak terpisah selebar bahu. Apabila cara berdiri
kedua kaki jaraknya terlalu lebar akan mengurangi stabilitas. Jarak kedua tangan dalam
memegang saat mengangkat (misalnya saat mengangkat tandu), adalah juga selebar
bahu. Jarak kedua tangan yang terlalu rapat akan mengurangi stabilitas benda yang akan
diangkat, jarak terlalu lebar akan mengurangi tenaga mengangkat.
8. Biasanya kita akan bekerja dengan satu atau beberapa petugas lain. Dalam keadaan
darurat kerja tim hal yang penting. Seluruh anggota tim sebaiknya dilatih dengan teknik
yang tepat. Permasalahan dapat terjadi ketika bentuk fisik maupun tenaga fisik anggota
tim sangat tidak sebanding. Rekan yang kuat dapat cedera jika yang lemah jatuh saat
mengangkat. Petugas yang lemahpun dapat cedera juga jika dia mencoba yang
melakukan hal yang berlebihan. Idealnya rekan dalam mengangkat dan memindahkan
seharusnya mampu dan sama kekuatan dan tingginya.
B. PEMINDAHAN DALAM KEADAAN DARURAT (EMERGENCY MOVING)
Ada kondisi-kondisi tertentu dimana pasien harus dipindah segera dari lokasi kejadian
untuk menghindari bahaya selanjutnya. Dalam kondisi seperti ini penolong tidak lagi
memperhatikan kondisi/masalah pasien, seperti misalnya patah tulang, luka atau gangguan
jalan napas sekalipun. Kondisi-kondisi yang mengharuskan untuk segera memindahkan
pasien adalah sebagai berikut :
1. Kebakaran atau ancaman dari kebakaran
Kebakaran akan dapat merupakan sebuah ancaman berat, bukan hanya pada pasien
tetapi juga pada penolong.
2. Ledakan atau ancaman dari ledakan.
3. Ketidakmampuan untuk melindungi pasien dari bahaya lain di tempat kejadian.
Contoh dari bahaya ini adalah :
 Bangunan yang tidak stabil

PT SMS Indonesia | Smart 184 | P a g


 Mobil terguling, bensin tumpah
4. Adanya bahan berbahaya (Hazardous Material – Hazmat)
5. Orang sekitar yang berperilaku mengancam
6. Kondisi cuaca yang buruk.
7. Terpaksa memindahkan satu pasien agar dapat mencapai pasien yang lain, misalnya
pada kecelakaan bis.
8. Terpaksa memindahkan satu pasien agar dapat mencapai pasien yang lain, misalnya
pada kecelakaan bis
9. Ketika perawatan gawat darurat tidak dapat diberikan karena lokasi atau posisi pasien.
misalnya pada seseorang yang terkena henti jantung-nafas, RJP hanya dapat dilakukan
pada posisi tidur di atas dasar yang keras
Bahaya terbesar pada saat memindahkan pasien cedera (trauma) dalam keadaan
darurat adalah kemungkinan memburuknya suatu cedera tulang belakang. Pilihlah cara
memindahkan pasien yang seaman mungkin, dengan tetap memperhatikan kesegarisan
tulang belakag dengan kepala pasien.
Berikut macam-macam emergency moving:

b. Tarikan lengan bahu (shoulder drag) c. Tarikan baju ( shirt drag)

d. Fire Fighter‘s Drag


e. Tarikan selimut (balnket drag)

(9) PEMINDAHAN PASIEN TIDAK DALAM KEADAAN


DARURAT (NON EMERGENCY MOVING)
Apabila lokasi kejadian sudah dipastikan aman dan tidak ada kemungkinan bahaya susulan
maka pengangkatan dan pemindahan pasien harus dilakukan setelah stabilisasi pasien atau
dengan memperhatikan masalah, cedera dan perlukaannya. Kesalahan dalam pengangkatan pada
cedera tertentu (misalnya: patah tulang leher dan tulang belakang) akan berakibat fatal dan
mengancam nyawa pasien.

Pengangkatan pada kondisi yang aman


harus direncanakan degan baik. Keamanan
dan keselamatan penolong pada saat akan
melakukan pengangkatan harus diperhatikan.
Jangan pernah ragu untuk meminta bantuan
apabila kemampuan penolong dirasakan
belum memadai. Jenis emergency moves
adalah :
Direct Ground Lift (mengangkat langsung dari
tanah)

PT SMS Indonesia | Smart 185 | P a g


C. LOG ROOL
Setiap ada kecurigaan cedera tulang belakang
Tidak boleh memutar pasien semaunya karena dapat mengakibatkan kelumpuhan.
Jika perlu memutar pasien  perhatikan caranya  log roll
Log roll adalah cara memutar pasien seolah-olah menggulingkan sebatang kayu utuh
(log)
Kepala pasien diusahakan selalu segaris terhadap sumbu tubuh.
Untuk mencapai tujuan ini, seorang penolong ditempatkan khusus untuk memegang
kepala pasien dan penolong lainnya di daerah badan pasien.
Penolong minimal 4 orang. 1 orang Mengamankan kepala agar tetap segaris dengan
ktubuh, 3 orang di area tubuh korban.

D. PENGANGKATAN & PEMINDAHAN DENGAN ALAT


Apabila tersedia peralatan untuk mengangkat dan memindahkan pasien maka
sebaiknya tindakan pengangkatan langsung (terutama pada pasien trauma) dihindari untuk
mencegah cedera lebih lanjut.
Ada banyak alat yang tersedia untuk mengangkat dan memindahkan pasien. alat mana
yang akan dipakai tergantung dari keadaan pasien ditemukan, dan jenis penyakitnya.
1. Brankar (strecher)
Sebuah tandu yang mempunyai kaki-kaki ber-roda, ada dua tipe tandu ini diantaranya
tandu statis adalah tandu yang permanen tidak dapat di lipat kakinya dan tandu lipat
adalah tandu yang dapat dilipat kakinya sehingga dapat masuk ke dalam ambulans.
Alat ini harus dilatih dalam pemakaiannya.
2. Tandu sekop/scoope trecher
Hanya untuk memindahkan pasien (dari brankard ke tempat tidur atau sebaliknya).
Bukan alat untuk imobilisasi pasien, bukan alat transportasi, dan jangan mengangkat
scoope strecher hanya pada ujungnya saja karena dapat menyebabkan scoope
melengkung di tengah bahkan sampai patah. Tandu yang terdiri dari 2 (kadang-kadang
4) belahan, yang masing-masing diselipkan dari satu sisi pasien, dan kemudian
diselipkan masing-masing di bawah satu sisi pasien, dan kemudian dapat dikunci.
Sangat ideal untuk mengangkat dari ruangan yang sempit.
Pada saat mengangkat pasien sebaiknya 4 penolong satu di bagian kepala, satu di
bagian kaki, dan masing-masing satu di kiri dan kanan. Ingat: tandu sekop hanya
dipakai untuk mengangkat dan memindahkan, bukan untuk transportasi.
Membuat tandu sendiri:
Anda dapat membuat tandu sendiri dengan 2 tongkat dan satu selimut.
1. Bentangkan selimut di atas lantai
2. Tempatka 1 tongkat sejajar dengan panjang selimut, pada tepi selimut.
3. Lipatkan tepi selimut di atas tongkat sampai 30 cm dari tepi selimut.
4. Lakukan pada sisi yang lain
5. Ketika pasien ditempatka diatas selimut, berat dari tubuh aka mengunci tepi
selimut ke tongkat.
6. Tandu juga dapat dibuat dari 3 atau 4 mantel atau jaket. Pertama menggulung
lengan baju secara terbalik lalu kencangkan jaket dengan lengan baju bagian
dalam mantel. Tempatkan tongkat melalui tiap-tiap lengan baju
3. Long spine board
Alat ini biasanya terbuat dari kayu/fiber yang tidak menyerap cairan. Biasanya
ada lubang dibagian sisinya untuk tali pengikat. Indikasi: untuk pasien yang dicurigai
cedera tulang belakang. Jangan meletakkan pasien di atas lSB terlalu lama (> 2 jam).
Papan punggung ini (Back board) dapat pendek atau panjang (long spine board)
adalah sepanjang tubuh pasien, dan dipakai bila ada kecurigaan pasien ada cedera
tulang belakang. Setelah berada di atas papan punggung panjang, pasien tidak akan

PT SMS Indonesia | Smart 186 | P a g


dipindah lagi (yang dipindah adalah papannya), sehingga tidak perlu bolak-balik
dipindah, kadang-kadang di RS pun pasien akan tetap berada di atas papan ini.
Papan punggung pendek hanya sampai pinggul pasien, dan dapat menstabilkan
pasien sampai pinggul ini digunakan untuk menstabilkan seorang pasien yang berada
pada posisi duduk dengan kecurigaan ada cedera tulang belakang. Jelas bahwa alat ini
dipakai di pra rumah sakit, dan bermanfaat untuk misalnya mengeluarkan pengendara
mobil, dari mobilnya yang tabrakan (mengeluarkan pasien dengan cara yang benar
dikenal sebagai ekstrikasi). Biasanya pasien akan diikat di atas papan.

E. EXTRICATION
Ekstrikasi adalah tehnik-tehnik yang dilakukan untuk melepaskan pasien dari jepitan dan
kondisi medan yang sulit dengan mengedepankan prinsip stabilisasi ABCD. ekstrikasi
dapat dilakukan setelah keadaan aman bagi petugas penolong dan seringkali memerlukan
hal-hal yang bersifat rescue untuk mempermudah pertolongan yang akan dilakukan dan
membebaskan benda-benda yang mempersulit pelaksanaan ekstrikasi contohnya memotong
pintu kendaraan, membuka kap kendaraan, mengangkat pasien dari dasar atau tepi jurang,
menolong pasien terjung payung yang tersangkut di gedung atau pohon-pohon yang tinggi
dan sebagainya. Prinsip stabilitasi Airway, Breathing, Circulation dan disability mutlak
harus dilakukan jika proses ini memerlukan waktu yang cukup lama dan kemampuan
khusus.
1. NECK COLLAR
Digunakan setiap ada kecurigaan fraktur servikal.
2. KENDRICK EKSTRICATION DEVICE (KED)
Alat untuk mempermudah mengeluarkan pasien dari
dalam mobil atau tempat pada saat pasien dalam posisi
dudu.
3. HEAD IMMOBILIZER
Sebagai penahan kepala untuk pasien trauma setelah terpasang neck collar. Alat ini
berfungsi untuk imobilisasi bagian kepala sehingga memudahkan dalam melakukan
tindakan pertolongan.

F. TRANSPORTASI PASIEN DENGAN AMBULANS


Hendaknya dalam proses evakuasi pasien atau merujuk pasien, ambulans yang
digunakan sudah memenuhi standar sebagai ambulans, baik peralatan, petugas maupun
kondisi kendaraan. Proses pengangkatan pasien dengan tandu angkat sering mempersulit
ketika pasien akan dimasukkan ke dalam kendaraan ambulans, dengan brankard dorong
dan bisa melipat sendiri hal ini akan lebih mudah.
Posisi pasien ketika didorong dari tempat awal adalah kaki terlebih dahulu (didepan)
hal ini dimaksudkan agar petugas yang di belakang lebih mudah memonitor kondisi pasien
terutama stabilitas ABCD-nya. Ketika akan memasuki kendaraan ambulans bagian kepala
berada di depan kecuali untuk pasien inpartu, petugas harus selalu memonitor /
mengevaluasi kondisi pasien selama perjalanan dengan intensif karena kondisi pasien
sewaktu-waktu dapat berubah apalagi dalam keadaan keterbatasan ruangan, petugas,
peralatan medis dan juga oksigen. Hal-hal tersebut mengharuskan kita ekstra hati-hati
dalam mempersiapkan segala sesuatu sebelum proses evakuasi dilakukan, termasuk
pentingnya informasi lengkap bagi petugas-petugas yang ada di tempat rujukan.

PT SMS Indonesia | Smart 187 | P a g


KESIMPULAN

Cara mengangkat dan memindahkan pasien sebagai salah satu bagian terpenting dalam
melakukan pertolongan. Penanganan yang benar jika pada saat melakukan pemindahan atau
pengangkatan tidak dilakukan dengan benar, maka kondisi pasien dapat menjadi dalam kondisi
yang buruk. Kekompakan dan kerja sama tim dalam koordinasi setiap tindakan sangatlah
diperlukan, terutama dalam posisi yang benar untuk menghindari terjadinya cedera bagi
penolong. Penolong harus bisa membedakan cara memindahkan dalam kondisi emergency atau
non emergency.

FORMULIR RUJUKAN
DATA PASIEN PEMERIKSAAN DIAGNSTIK
Nama : Data lab.: terlampir
Alamat : Foto rontgen: terlampir
Kota : EKG: terlampir
Umur: JK: BB: Dll
Nama keluarga :
Alamat :
Kota :
No.telp :
WAKTU TERAPI YANG DIBERIKAN
Tanggal : Medikasi: Jumlah:
Tangga cidera : Waktu :
Waktu masuk IGD: Cairan:
Waktu masuk OK : Lain-lain
Waktu saat dirujuk:
RIWAYAT KOMPAK KEADAAN SAAT DIRUJUK

KEADAAN SAAT DATANG PENGELOLAAN SAAT TRANSPORT


Nadi
Tekanan darah
Pernafasan
Suhu
DIAGNOSIS DATA RS YANG MERUJUK
Nama dokter
RS
No.Telp.
DATA RS PENERIMA
Nama dokter
RS
No.Telp.

PT SMS Indonesia | Smart 188 | P a g


STANDART OPERASIONAL PROSEDUR
STABILISASI SPINAL/EVAKUASI

NO PROSEDUR

1 Danger, Aman diri, aman pasien dan aman lingkungan (A3)

2 Menyiapkan alat alat transportasi dan rujukan

3 Stabilkan pasien mulai dari airways, breathing dan circulation

4 Pemasangan Neck Collar

5 Stabilisasi menggunakan KED (Kedrick Extrication Device)

6 Stabilisasi menggunakan Scoope Streacher

7 Aplikasi Teknik Logrooll

8 Stabilisasi menggunakan LSB (Long Spine Board)

9 Pemasangan Head immobilizer

10 Konsultasikan ke dokter atau rujuk ke faskes terdekat

PT SMS Indonesia | Smart 189 | P a g


@smart_emergency @smart_emergency

PT SMS Indonesia | Smart 190 | P a g


UPDATE TATALAKSANA TERKONFIRMASI COVID-19

A. PENDAHULUAN

Pada tanggal 8 Desember 2019, muncul suatu jenis pneumonia baru yang kemudian
menyebar ke seluruh dunia.1 Pneumonia ini kemudian dikenal sebagai corona virus disease
2019 (COVID-19) yang masuk ke Indonesia dan diumumkan secara resmi oleh Presiden RI
pada tanggal 2 Maret 2020.2 Kemudian diketahui bahwa COVID-19 ini disebabkan oleh
virus baru dari golongan virus corona (2019-nCoV). Corona virus adalah kelompok virus
yang dapat menyebabkan penyakit dari gejala ringan sampai berat hingga kematian.
Diketahui dua jenis corona virus yang dapat menyebabkan gejala klinis yang berat yaitu
Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome
(SARS). COVID-19 seringkali berkembang menjadi sebuah pneumonia berat dan
menempatkan penderita pada keadaan kritis.

Wabah infeksi SARS-CoV2 yang terus meningkat dan menyebar luas tentu
berdampak pada upaya resusitasi dan memunculkan kebutuhan untuk memodifikasi praktik
resusitasi yang telah ada. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana memastikan pasien
dengan atau tanpa COVID-19 yang mengalami henti jantung mendapatkan kesempatan
untuk selamat tanpa membahayakan keselamatan penolong – yang tentunya akan dibutuhkan
untuk merawat pasien-pasien berikutnya. Ditambah dengan COVID-19 yang sangat menular,
hal ini tentunya menimbulkan tantangan tersendiri dalam hal respon emergensi dan mungkin
mempengaruhi angka morbiditas maupun mortalitas. Sekitar 12-19% pasien yang positif
COVID-19 membutuhkan perawatan di rumah sakit, dan 3-6% berada pada kondisi kritis.
Komplikasi seperti hipoksemia akibat gagal nafas akut, jejas miokard, aritmia ventrikular,
dan syok banyak dijumpai pada pasien kritis dan menyebabkan pasien tersebut lebih berisiko
mengalami henti jantung.

Upaya resusitasi meningkatkan risiko penularan terhadap tenaga kesehatan karena


berbagai alasan. Pertama, RJP meliputi berbagai prosedur yang menghasilkan aerosol,
termasuk di dalamnya kompresi dada, ventilasi tekanan positif, dan pemasangan alat bantu
nafas lanjut (advanced airway). Selama prosedur ini, partikel virus dapat tersuspensi di udara
dengan waktu paruh kurang-lebih 1 jam dan dihirup oleh orang-orang yang ada di
sekitarnya. Kedua, upaya resusitasi mengharuskan sejumlah penolong untuk bekerja dalam
jarak dekat baik satu sama lain maupun dengan pasien. Terakhir, henti jantung merupakan
kegawatdaruratan dimana kebutuhan pasien untuk mendapat resusitasi dalam waktu cepat
dan hal ini berpotensi menyebabkan kemerosotan praktik kewaspadaan standar untuk
mengontrol infeksi. Hal ini menunjukkan besarnya permasalahan yang dihadapi di Indonesia
sehingga diperlukan pemutus rantai penularan dan intervensi dini untuk menurunkan angka
mortalitas.

Pedoman sementara ini, merupakan perpaduan rekomendasi RJP (Resusitasi Jantung


Paru dari American Heart Assosiation dan Perdatin (Perhimpunan Dokter Spesialis
Anesthesi dan Terapi Intensif Indonesia) yang diterbitkan pada April 2020 dengan konteks
pandemi COVID-19 dan mempertimbangkan patofisiologi COVID-19 yang unik dengan
menjadikan koreksi hipoksemia sebagai tujuan utama. Kami berfokus untuk
menyeimbangkan antara memberikan resusitasi yang cepat dan berkualitas kepada pasien
dengan tetap memperhatikan keamanan penolong. Pernyataan ini berlaku untuk semua
pasien yang terduga/ positif COVID-19 baik dewasa, anak, maupun Bayi kecuali dinyatakan

PT SMS Indonesia | Smart 191 | P a g


secara khusus. Pedoman ini perlu diadaptasi secara lokal didasarkan pada beban penyakit
dan ketersediaan sumber daya.

B. TATALAKSANA RESUSITASI JANTUNG PARU


Prinsip Umum Resusitasi pada Pasien Terduga/ Positif COVID-19 Kurangi paparan
penolong terhadap COVID-19
 Dasar: Penting bagi penolong untuk melindungi diri dan rekan kerja dari paparan
infeksi. Penolong yang terpapar kemudian terinfeksi COVID-19 hanya akan
menurunkan jumlah tenaga kesehatan yang sudah terbatas untuk merespons dan
berpotensi meningkatkan beban kerja tenaga kesehatan jika mereka jatuh ke dalam
kondisi kritis.
 Strategi:
1. Sebelum memasuki tempat kejadian, seluruh penolong harus menggunakan
APD yang sesuai untuk kewaspadaan infeksi airborne maupun droplet.
Sesuaikan dengan rekomendasi APD setempat disesuaikan dengan data
epidemiologi terbaru dan availabilitas APD di masing-masing lokasi.
2. Batasi tenaga kesehatan di dalam ruangan atau di tempat kejadian, sehingga
hanya yang esensial bagi pelayanan yang ada di tempat.
3. Pada kondisi dimana sudah ada protokol dan tersedia fasilitas, pertimbangkan
untuk mengganti kompresi dada manual dengan alat RJP mekanik guna
mengurangi jumlah penolong yang dibutuhkan pada kasus henti jantung
dewasa dan dewasa muda yang memenuhi kriteria tinggi dan berat badan.
4. Komunikasikan dengan jelas status infeksi COVID-19 kepada penolong baru
sebelum mereka sampai di lokasi atau saat memindahkan pasien ke lokasi yang
baru.
Prioritaskan strategi oksigenasi dan ventilasi dengan risiko aerosolisasi yang lebih
rendah

 Dasar: Meskipun intubasi memiliki risiko aerosolisasi yang tinggi, jika pasien
diintubasi dengan pipa endotrakeal yang dilengkapi cuff dan kemudian dihubungkan
ke ventilator dengan sistem penyaring HEPA (high-efficiency particulate air) dan
kateter penghisap dalam tabung (in-line suction catheter), sirkuit tertutup yang
dihasilkan akan menurunkan risiko aerosolisasi dibandingkan metode ventilasi
tekanan positif lain.
 Strategi:
5. Sambungkan penyaring HEPA, jika tersedia, ke ventilasi manual ataupun
mekanis di bagian yang dilalui udara ekshalasi sebelum memberikan bantuan
nafas.
6. Setelah tenaga kesehatan menilai irama dan melakukan defibrilasi sesuai
indikasi, pasien henti jantung direkomendasikan untuk diintubasi menggunakan
pipa yang dilengkapi balon cuff sesegera mungkin. Hubungkan pipa endotrakeal
dengan ventilator yang memiliki penyaring HEPA bila tersedia.
7. Minimalkan kemungkinan gagal intubasi dengan cara:
a) Tugaskan tenaga kesehatan berpengalaman dan gunakan metode yang
memiliki peluang keberhasilan tinggi pada percobaan pertama intubasi
b) Hentikan kompresi dada selama intubasi
8. Jika tersedia videolaringoscope dapat mengurangi partikel aerosolisasi dan
harus dipertimbangkan.
9. Sebelum intubasi, gunakan bag-mask device (atau T-piece untuk neonatus)
dengan penyaring HEPA dan penyekat kedap udara jika tersedia; atau untuk

PT SMS Indonesia | Smart 192 | P a g


dewasa pertimbangkan penggunaan oksigenasi pasif dengan nonrebreathing
mask yang ditutupi dengan masker bedah.
10. Jika intubasi harus ditunda, pertimbangkan penggunaan ventilasi manual
dengan supraglottic airway atau
bag-mask device yang dilengkapi penyaring HEPA bila tersedia

11. Begitu sirkuit tertutup berhasil dipasang, minimalisir diskoneksi alat untuk
mengurangi aerosolisasi.

Pertimbangkan kelayakan untuk memulai dan melanjutkan resusitasi

 Dasar: Resusitasi jantung paru adalah upaya tim berintensitas tinggi yang akan
menyita perhatian penolong dan mungkin mengalihkan fokus penolong dari pasien
lainnya. Dalam konteks COVID-19, risiko paparan pada tim penolong meningkat dan
sumber daya dapat menjadi lebih terbatas, khususnya di wilayah dengan insiden
penyakit yang tinggi. Meskipun luaran henti jantung pada pasien COVID-19 belum
diketahui, mortalitas pasien COVID-19 yang jatuh kritis terbilang tinggi dan
meningkat seiring usia dan komorbiditas, khususnya penyakit kardiovaskular. Oleh
karena itu, masuk akal untuk mempertimbangkan usia, komorbiditas, dan keparahan
penyakit dalam mempertimbangkan kelayakan untuk dilakukan resusitasi dengan
meninjau probabilitas kesuksesan resusitasi terhadap risiko paparan kepada penolong
serta risiko bagi pasien lain yang mungkin terabaikan.
 Strategi:
12. Diskusikan tujuan perawatan dengan pasien COVID-19 atau keluarga terkait
dengan potensi ditingkatkannya level perawatan
13. Sistem kesehatan dan petugas responden pertama/ IGD harus menyusun
peraturan untuk membantu petugas kesehatan di lini pertama dalam menentukan
kriteria memulai dan menghentikan RJP untuk pasien dengan COVID-19, dengan
mempertimbangkan faktor risiko pasien untuk memperkirakan kemungkinan
kesintasan. Stratifikasi risiko dan kebijakan harus dikomunikasikan kepada
pasien atau wali saat mendiskusikan tujuan perawatan.
14. Data yang ada saat ini tidak mencukupi untuk mendukung resusitasi jantung paru
ekstrakorporeal (E-CPR) untuk pasien COVID-19.
Pertimbangan untuk Situasi dan Kondisi Tertentu Henti Jantung di Luar Rumah Sakit

Berikut adalah beberapa pertimbangan khusus untuk kasus henti jantung pada
pasien terduga atau positif COVID-19 yang terjadi di luar rumah sakit. Bergantung kepada
prevalensi lokal penyakit dan bukti persebaran di komunitas, adalah masuk akal untuk
mencurigai adanya COVID-19 pada seluruh kasus henti jantung di luar rumah sakit.

 Penolong awam
RJP oleh penolong yang ada di dekat pasien saat kejadian telah terbukti meningkatkan
sintasan pasien henti jantung di luar rumah sakit, dan angka sintasan tersebut menurun
dengan setiap menit ditundanya RJP dan defibrilasi. Penolong di komunitas
kemungkinan besar tidak memiliki akses terhadap APD yang cukup, dan oleh
karenanya, mereka memiliki risiko lebih tinggi terpapar COVID-19 selama RJP
dibanding petugas kesehatan dengan APD mumpuni. Penolong dengan usia tua dan
memiliki komorbid seperti penyakit jantung, diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung
kronik memiliki risiko tinggi jatuh ke dalam kondisi kritis bila terinfeksi SARS-CoV2.
Meskipun begitu, bila henti jantung terjadi di rumah (seperti dilaporkan pada 70% kasus

PT SMS Indonesia | Smart 193 | P a g


henti jantung di luar rumah sakit sebelum peraturan untuk berada di rumah saja
diterapkan), penolong awam kemungkinan telah terpapar dengan COVID-19.

- Kompresi dada
o Untuk dewasa: penolong awam direkomendasikan melakukan RJP dengan
tangan saja (hands-only CPR) ketika menemukan kasus henti jantung, jika
bersedia dan mampu, terutama jika mereka tinggal di rumah yang sama
dengan korban sehingga telah terpapar dengan korban sebelumnya. Masker
wajah atau penutup kain di area mulut dan hidung yang digunakan oleh
penolong dan/ atau korban dapat menurunkan risiko penularan kepada orang
sekitar yang tidak tinggal di rumah tersebut.
o Untuk anak: penolong awam harus melakukan kompresi dada dan
mempertimbangkan ventilasi mulut ke mulut, jika bersedia dan mampu,
mengingat tingginya kejadian henti nafas pada anak, khususnya jika
penolong tinggal di rumah yang sama dengan korban sehingga telah terpapar
dengan korban sebelumnya. Masker wajah atau penutup kain di area mulut
dan hidung yang digunakan oleh penolong dan/ atau korban dapat
menurunkan risiko penularan kepada orang sekitar yang tidak tinggal di
rumah tersebut, jika penolong tidak bersedia atau tidak dapat melakukan
ventilasi mulut ke mulut.
- Defibrilasi
Karena defibrilasi bukanlah prosedur yang menghasilkan aerosol, penolong awam
dapat menggunakan automated external defibrillation (AED) jika ada untuk
menolong korban henti jantung di luar rumah sakit.
 Penolong tenaga medis
- Telekomunikasi (dispatch)
Telekomunikator/ operator, sesuai dengan protokol lokal yang berlaku,
direkomendaikan melakukan skrining terhadap semua telepon yang masuk
terkait pasien dengan gejala COVID-19 (demam, batuk, sesak nafas) atau telah
diketahui positif COVID-19 atau memiliki kontak dekat dengan pasien positif
lainnya.
 Untuk penolong awam, telekomunikator harus memberikan panduan
mengenai risiko paparan terhadap COVID-19 bagi penolong dan
memberikan instruksi untuk RJP dengan kompresi dada saja seperti di atas
 Untuk penolong medis terlatih/ EMS, telekomunikator harus mengingatkan
tim untuk mengenakan APD jika mencurigai adanya infeksi COVID-19
- Transportasi
o Keluarga dan orang lain yang berkontak dengan pasien terduga atau positif
COVID-19 sebaiknya tidak naik dalam kendaraan yang sama
o Jika kembalinya sirkulasi spontan tidak tercapai setelah upaya resusitasi
optimal telah dilakukan di lapangan, pertimbangkan untuk tidak membawa
pasien ke RS mengingat kemungkinan selamat yang rendah, dan risiko
peningkatan paparan tambahan terhadap tenaga kesehatan lainnya.
Henti Jantung di Lingkungan Rumah Sakit

Berikut adalah beberapa pertimbangan khusus untuk kasus henti jantung pada
pasien terduga atau positif COVID-19 yang terjadi di lingkungan rumah sakit. Panduan
berikut tidak berlaku untuk pasien yang telah diketahui negatif COVID-19, dimana pasien
tersebut dapat menerima BHD dan BHJL standar. Meskipun begitu, adalah masuk akal

PT SMS Indonesia | Smart 194 | P a g


untuk mengurangi tenaga medis di dalam ruangan selama resusitasi berlangsung selama
pandemi dengan tujuan menjaga jarak (social distancing).

 Sebelum henti jantung


o Diskusikan pelayanan lanjutan dan tujuan perawatan dengan semua pasien (atau
wali) yang terduga/ positif COVID-19 begitu sampai di rumah sakit dan apa yang
ingin dilakukan begitu ada perubahan yang signifikan pada klinis pasien
o Monitor ketat tanda dan gejala perburukan klinis untuk meminimalkan kebutuhan
intubasi emergensi yang meningkatkan risiko bagi pasien dan tenaga medis
o Jika pasien berisiko henti jantung, pertimbangkan untuk secara proaktif
memindahkan pasien ke ruangan bertekanan negatif bila ada, untuk
meminimalkan risiko paparan terhadap penolong selama resusitasi
 Tutup pintu jika memungkinkan untuk mencegah kontaminasi ruangan yang berdekatan.
 Untuk pasien yang terintubasi pada saat henti jantung
o Pertimbangkan untuk memberikan pasien ventilator mekanik dengan penyaring
HEPA untuk mempertahankan sirkuit tertutup dan menurunkan aerosolisasi
o Sesuaikan pengaturan ventilator untuk memungkinkan ventilasi asinkron
(sesuaikan pengaturan waktu kompresi dada dengan ventilasi pada bayi baru
lahir). Pertimbangkan saran-saran berikut:
 Tingkatkan FIO2 ke 1.0
 Ubah mode pengaturan menjadi Pressure Control Ventilation (Assist
Control) dan batasi tekanan sesuai kebutuhan untuk menghasilkan
pengembangan dada yang adekuat (target umumnya 6 mL/kg BB ideal untuk
dewasa dan 4-6 mL/kg untuk neonatus)
 Sesuaikan pemicu ke off untuk mencegah ventilator terpicu secara otomatis
saat dilakukan kompresi dada dan mencegah hiperventilasi dan air trapping
 Sesuaikan laju respirasi menjadi 10 kali per menit untuk dewasa dan
anak, dan 30 kali per menit untuk neonatus
 Nilai kebutuhan untuk menyesuaikan positive end-expiratory
pressure untuk menyeimbangkan dengan volume paru dan aliran balik
vena.
 Sesuaikan alarm untuk mencegah alarm fatigue
 Pastikan pipa endotrakueal/ trakeostomi dan sirkuit ventilator aman
untuk mencegah ekstubasi yang tidak terencana
o Jika sirkulasi spontan pasien kembali (ROSC), atur ventilator sesuai dengan
klinis pasien
 Untuk pasien dengan posisi pronasi saat henti jantung
o Pada pasien terduga/ positif COVID-19 yang berada dalam posisi pronasi tanpa
alat bantu nafas lanjut (advanced airway), upayakan untuk reposisi pasien ke
dalam posisi supinasi untuk melanjutkan resusitasi
o Meskipun efektivitas RJP dalam posisi pronasi tidak diketahui secara pasti,
untuk pasien yang berada dalam posisi pronasi dengan alat bantu nafas lanjut
(advanced airway), hindari reposisi ke supinasi kecuali tidak ada risiko lepas
alat bantu nafas dan aerosolisasi. Pertimbangkan untuk menempatkan bantalan
defibrilasi pada posisi anterior-posterior dan berikan RJP dalam posisi pronasi
dengan tangan di posisi standar di atas korpus vertebra T7 atau T10
 Pada pasien post henti jantung
Konsultasikan bagian pengendalian infeksi terkait transportasi pasca resusitasi.

PT SMS Indonesia | Smart 195 | P a g


Algoritma Dengan Beberapa Perubahan Kunci

Beberapa pembaharuan spesifik COVID-19 untuk algoritma Bantuan Hidup


Dasar dan Bantuan Hidup Jantung Lanjut, BHD pada anak, dan henti jantung pada anak
ditunjukkan pada gambar 2-4 berikut, dengan tujuan untuk menggantikan algoritma standar
pada pasien terduga atau positif COVID-19. Pada pasien yang negatif COVID-19, atau tidak
dicurigai COVID-19, resusitasi jantung paru harus dilakukan berdasarkan algoritma yang
standar. Kotak-kotak baru yang spesifik untuk COVID-19 diberi warna kuning, dan panduan
yang spesifik untuk COVID-19 dicetak tebal dan digaris bawah.

Simpulan Penyesuaian Algoritma RJP pada pasien terduga/ positif COVID-19

Kurangi paparan terhadap penolong

 Gunakan APD lengkap sebelum memasuki ruangan/ tempat kejadian


 Batasi jumlah personel
 Pertimbangkan penggunaan alat RJP mekanik pada pasien dewasa dan dewasa
muda yang memenuhi kriteria tinggi dan berat badan.
 Komunikasikan status COVID-19 ke setiap penolong baru

Prioritaskan strategi oksigenasi dan ventilasi dengan risiko aerosolisasi


rendah

 Gunakan penyaring HEPA, bila ada, untuk seluruh ventilasi


 Intubasi di awal menggunakan pipa endotrakeal dengan cuff, bila
memungkinkan
 Tugaskan intubator yang dengan kemungkinan terbesar untuk berhasil
intubasi dalam percobaan pertama
 Hentikan kompresi dada untuk intubasi
 Pertimbangkan penggunaan video laringoskopi bila ada
 Sebelum intubasi, gunakan bag-mask device (atau T-piece pada neonatus)
dengan penyaring HEPA dan penyekat kedap udara
 Untuk dewasa, pertimbangkan oksigenasi pasif dengan nonrebreathing face
mask sebagai alternatif bag-mask device untuk durasi pendek
 Jika intubasi harus ditunda, pertimbangkan supraglottic airway
 Minimalisir diskoneksi sirkuit tertutup

Pertimbangkan kelayakan untuk resusitasi

 Tetapkan tujuan perawatan


 Sesuaikan panduan untuk membantu pengambilan keputusan, dengan
mempertimbangkan faktor risiko pasien terkait kemungkinan untuk bertahan
hidup
©
2020 American Heart Assosiation

PT SMS Indonesia | Smart 196 | P a g


Alogaritma Bantuan Hidup Dasar Pada Kasus Henti Jantung Untuk Pasien
Dewasa Terduga Atau Terkonfirmasi COVID-19

©
2020 American Heart Assosiation

PT SMS Indonesia | Smart 197 | P a g


Alogaritma Bantuan Hidup Dasar Pada Kasus Henti Jantung Untuk Pasien Anak
Terduga Atau Terkonfirmasi COVID-19 untuk 1 penolong

©
2020 American Heart Assosiation

PT SMS Indonesia | Smart 198 | P a g


Alogaritma Bantuan Hidup Dasar Pada Kasus Henti Jantung Untuk Pasien Anak
Terduga Atau Terkonfirmasi COVID-19 untuk 2 penolong atau lebih

©
2020 American Heart Assosiation

PT SMS Indonesia | Smart 199 | P a g


Alogaritma Bantuan Hidup Dasar Lanjutan Pada Kasus Henti Jantung Untuk
Pasien Terduga Atau Terkonfirmasi COVID-19

©
2020 American Heart Assosiation

PT SMS Indonesia | Smart 200 | P a g


TATALAKSANA JALAN NAPAS PADA PASIEN COVID-19
Dari seluruh penderita COVID-19, 80% akan menunjukkan gejala ringan dan tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit, 14% memerlukan perawatan di ruang rawat biasa
dan 5% memerlukan perawatan Intensif. Hal ini berarti hampir 25% pasien yang dirawat di
rumah sakit dapat menjadi pasien kritis, apalagi jika penanganan di ruang rawat biasa tidak
optimal. Dalam kondisi terdapat keterbatasan fasilitas ICU, deteksi dini juga menjadi
sangat diperlukan untuk mengoptimalkan perawatan dengan harapan dapat menurunkan
durasi rawat intensif dan mencakup lebih banyak penderita.
Pada penderita COVID-19, dilakukan pengawasan laju napas, laju nadi, saturasi
oksigen pada udara bebas sebanyak 2 kali sehari. Pada pasien dengan risiko tinggi,
pengawasan dilakukan secara terus menerus. Pasien yang memiliki risiko tinggi adalah
pasien sebagai berikut:
1. Usia tua (>65 tahun)
2. Limfopenia atau trend penurunan
3. Pasien yang memerlukan terapi oksigen
4. Pasien dengan infiltrat paru yang luas memerlukan pengawasan berkelanjutan
Selama pengawasan di rumah sakit, perburukan gejala harus segera di identifikasi. Hal
ini diteliti lebih lanjut oleh Sun dkk, yang menemukan bahwa bila terdapat satu dari tanda
berikut, pasien perlu segera dipindahkan ke ruang rawat intensif. Adapun tanda yang
dimaksud adalah sebagai berikut:
1. SpO2 <93 dengan udara bebas
2. RR 30 kali/menit
3. HR >120 kali/menit
4. Tanda kegagalan organ
Penggunaan keempat parameter perburukan ini memiliki tingkat sensitivitas 95.5% dan
spesifisitas 89.9%. Terdapat berbagai macam pilihan terapi untuk menangani COVID-19.
Namun, belum terdapat suatu kesimpulan baku emas untuk penanganan COVID-19. Oleh
karena itu, penanganan COVID-19 berpusat pada upaya pencegahan perburukan penyakit.
Penanganan ini perlu segera dilakukan untuk mengoptimalkan luaran pasien. Terdapat 3
langkah yang penting dalam pencegahan perburukan penyakit, yaitu sebagai berikut
1. Gunakan high flow nasal canulla (HFNC) atau non-invasive mechanical ventilation
(NIV) pada pasien dengan ARDS atau efusi paru luas. HFNC lebih disarankan
dibandingkan NIV.
2. Pembatasan resusitasi cairan, terutama pada pasien dengan edema paru.
3. Posisikan pasien sadar dalam posisi tengkurap (awake prone position).

PT SMS Indonesia | Smart 201 | P a g


Alur penanganan Dini Pasien Kritis

©2020 PERDATIN

Penanganan Pasien COVID-19 Dengan Gagal Napas

©2020 PERDATIN

PT SMS Indonesia | Smart 202 | P a g


TATALAKSANA JALAN NAPAS PASIEN SUSPEK ATAU
TERKONFIRMASI COVID-19 PADA KASUS EMERGENSI.
1. Persiapan
a. Persiapan institusi (peralatan untuk tatalaksana rutin dan jika terjadi
kesulitan; jumlah staf terlatih yang mencukupi, ketersediaan checklist
intubasi endotrakeal, APD lengkap dan lain-lain) harus dilakukan dengan
baik sebelum terjadi tindakan tatalaksana jalan napas. Jika belum ada, sangat
direkomendasikan untuk menyiapkan secepatnya.
b. Tim dan Perseorangan harus mengetahui persiapan institusi dan skill yang
diperlukan, bagaimana menggunakan APD dengan benar dan mengevaluasi
jalan napas pasien untuk menilai ada tidaknya kesulitan intubasi dan
mempersiapkan tindakan jalan napas yang akan dilakukan. Konsep
MACOCHA (Malampatti, Obstructive sleep apnoea, C-spine movement,
mouth opening, coma, hipoxaemia, non anaestetist intubator) tidak diterima
secara luas, tapi konsep ini valid dan direkomendasikan.
Skor MACHOCA Untuk Prediksi Jalan Npas Sulit

©2020 PERDATIN

2. Menyiapkan troli atau set alat intubasi endotrakeal COVID-19 Pasien yang sakit
kritis seringkali harus diintubasi ditempat dibanding di ICU. Di ICU, intubasi
endotrakeal biasanya dilakukan di satu ruangan. Siapkan troli intubasi
endotrakeal atau set alat yang dapat diambil ke dekat pasien dan
didekontaminasi setelah digunakan.
3. Memiliki strategi Strategi tatalaksana jalan napas (membuat rencana utama atau
rencana cadangan, dan jika terjadi perubahan) harus disiapkan dan mengadakan
briefing tim sebelum melakukan tindakan.
4. Melibatkan sejumlah kecil tenaga yang diperlukan Tidak mungkin melakukan
tindakan sendirian, tetapi staf yang tidak diperlukan sebaiknya tidak memasuki
ruangan tindakan. Petugas lain (runner) harus mengawasi dari luar dan harus
dapat membantu dengan cepat jika diperlukan.
5. Gunakan APD yang benar dan sesuai Dalam situasi emergensi termasuk henti
jantung, APD harus digunakan dan di cek seluruhnya sebelum melakukan
tatalaksana jalan napas dan petugas tidak boleh membuat dirinya terpapar risiko
apapun.
6. Hindari prosedur yang menimbulkan aerosol sepanjang memungkinkan Jika
terdapat alternatif tindakan yang cocok, gunakan. Jika tindakan yang
menimbulkan aerosol dilakukan, kamar yang digunakan dianggap sudah
terkontaminasi. Gunakan APD dan ruangan harus dibersihkan dalam 20 menit.
7. Fokus pada ketepatan waktu dan kepercayaan. Tujuannya adalah untuk
mendapatkan keberhasilan pada saat pertama kali intubasi. Jangan terburu-buru,

PT SMS Indonesia | Smart 203 | P a g


tetapi melakukan setiap usaha sebaik-baiknya yang dapat dilakukan. Usaha yang
berkali-kali meningkatkan risiko kontaminasi kepada petugas lainnya dan
kepada pasien.
8. Gunakan Teknik yang berhasil baik untuk semua pasien, termasuk jika terjadi
kesulitan intubasi.
Teknik yang sebenarnya mungkin berbeda tergantung lokasi dan peralatan.
Jika pelatihan dan peralatan tersedia. sebaiknya meliputi:
1. Penggunaan Safety box aerosol
2. Videolaryngoscope untuk intubasi endotrakeal.
3. Gunakan 2 orang 2 tangan untuk memegang facemask ventilasi dengan VE-grip.
4. Siapkan SGA generasi kedua untuk rescue airway (misal: i-gel, Ambu, Aura
Gain, LMA proseal, LMA Protector)
5. Petugas paling sesuai adalah yang harus sudah mahir melakukan tindakan jalan
napas.
6. Jangan gunakan teknik yang tidak familier atau tidak terlatih.
7. Pastikan semua alat jalan napas yang diperlukan ada di ruangan sebelum
melakukan tindakan intubasi endotrakeal.
a. Monitor termasuk capnograph.
b. Suction yang berfungsi baik.
c. Ventilator yang sudah diatur.
d. Akses intravena yang baik dan lancar.
8. Gunakan checklist intubasi
Checklist digunakan sebagai alat bantu dan harus dicek sebelum memasuki
kamar pasien sebagai bagian dari persiapan.
9. Gunakan Bahasa yang jelas dan closed loop communication Komunikasi akan
menjadi sulit saat menggunakan APD dan petugas bekerja di luar area yang
normal. Gunakan instruksi sederhama. Bicara dengan jelas dan keras tanpa perlu
berteriak. Jika menerima instruksi, ulangi apa yang anda pahami terhadap
pemberi instruksi. Jika anggota tim tidak saling kenal, penggunaan stiker nama
yang ditempelkan di atas kepala dapat membantu komunikasi satu sama lain.

a
Safety Box Aerosol Digital Video Laringoscope

PT SMS Indonesia | Smart 204 | P a g


Manajemen jalan napas setelah intubasi endotrakeal sebagai berikut:
1. Gunakan filter HME dekat dengan pasien, selain humidifier yang
dihangatkan (wet circuit) tapi pastikan kondisi in tidak menyebabkan basah
dan membuat sumbatan.
2. Monitor tekanan balon cuff dengan hati-hati untuk mencegah kebocoran.
3. Monitor dan catat kedalaman endotracheal tube setiap pergantian shift jaga
untuk meminimalkan risiko dislokasi endotracheal tube.
4. Mengatasi risiko dislokasi endotracheal tube. Risiko ini terjadi saat reposisi
pasien termasuk: posisi prone, mengembalikan posisi pasien, aspirasi pipa
nasogastric atau memastikan posisi nasogastric tube (NGT), sewaktu
membersihkan mulut pasien. Tekanan balon cuff dan kedalaman
endotracheal tube harus dicek dan diperbaiki sebelum dan setelah tindakan
tersebut.
5. Suction. Yang disarankan adalah suction endotrakeal tertutup jika tersedia.
6. Kebocoran balon cuff. Jika terjadi kebocoran balon cuff, untuk menghindari
terbentuknya aerosol, pasang tampon faring sembari memberikan oksigen
100% dan mempersiapkan reintubasi. Sebelum reintubasi, segera hentikan
mesin ventilator.
7. Intervensi jalan napas meliputi prosedur fisioterapi, memompa alat bantu
napas, proses transfer, posisi prone, mengembalikan posisi pasien dan
reposisi endotracheal tube.

PT SMS Indonesia | Smart 205 | P a g


DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. (2018). Advanced trauma life support for doctors. instructor
course manual book 1 - sixth edition. Chicago.
American Heart Association. (2020). Advanced Cardiovascular Life Support: Provider Manual.
USA: American Heart Association.
American Heart Association. (2020). Basic Life Support: Provider Manual. USA: American
Heart Association
American Red Cross (2020). First Aid/CPR/AED Participant Manual. USA: StayWell Health &
Safety Solutions
AHA Guidelines Update for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care Part 9: Acute Coronary Syndromes, 2020
AHA/ACC Guidelines for the Management of Patients With Non–ST-Elevation Acute
Coronary Syndromes, 2020
ACCF/AHA Guidelines for the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction, 2015
Suplemen EKG untuk Dokter muda FK UMYECG Review, Jeremy R, Borrof MPAS 2013

Fulde, Gordian. (2011). Emergency medicine 5th edition. Australia : Elsevier.


EKG Interpretation Basic Guide, Britany Samons 2015
12-Lead EKG Confidence, A Step-by-Step Guide, second edition, Jacqueline & Anthony, 2010
Medical training & simulation LLC, 2013
Gindhi, R.M., Cohen, R.A., dan Kirzinger, W.K. (2012). Emergency room use among aults
aged 18-64: early release of estimates from the national health interview survey,
January-June 2011.
Holder, AR. (2010 ). Emergency room liability. JAMA.
Institute for Health Care Improvement. (2011). Nursing assessment form with medical
emergency team (MET) guidelines.
Ishak, 2012. Pemeriksaan radiologi dan laboratorium untuk fisioterapis. Diakses dari
http://www.slideshare.net/IshakMajid/radiologi-laboratorium-a4 tanggal 5 Mei 2013
Lyandra, april, Budhi, Antariksa, Syahrudin. (2011). Ultrasonografi Toraks. Jurnal Respiratori
Inonesia Volume 31 diakses dari http://jurnalrespirologi.org/ tanggal 28 April 2013.
Mancini MR, Gale AT.(2011). Emergency care and the law. Maryland: Aspen Publication.
Practitioner Emergency Medical Technician. (2012). Clinical practice guidelines for pre-
hospital emergency care. Ireland : Pre-Hospital Emergency Care Council. ISBN 978-
0-9571028-2-8.
Balitbang Kemenkes RI (2019).Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta: Balitbang
Kemenkes RI.
Bentz B.G & Hugles C.A. Available at http:// www.AmericanHearing.com.Barotrauma.
Accessed on June, 7th 2019
Hendrik. Etika dan Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC. 2014
Hichliff, Sue dan Sue Norman. Praktik Keperawatan dan Layanan Kesehatan. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. 2014
Arizal fahri . Perawat Profesional . Jakarta: Bima Media Perintis. 2010
Frans Maramis.Hukum Pidana Umum dan tertulis di indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.2012
Henny Yulianita.Legalitas Perawat dalam tindakan medis.Jakarta:EGC.2011
Nursalam, S.(2014). Manajemen Keperawatan: Aplikasi Dalam Praktik Keperawatan
Profesional. Jakarta: Salemba Merdeka
Standar Profesi dan Kode Etik Perawat Indonesia 2016
UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Kondisi Gadar di YanKes PMK 17 2013
UU No. 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
Permenkes Bo.26 tahun 2019 peraturan pelaksana UU No. 38 Th.2014 Tentang Keperawatan

Buku Pedoman penanganan pasien kritis covid-19. PERDATIN. 2020

PT SMS Indonesia | Smart 206 | P a g


BTCLS
Basic Trauma Cardiac Life Support

Redaksi:
©
Copy Right Smart Emergency
(Lembaga Diklat Terakreditas ―B‖ Kemenkes RI & DPP PPNI)
Email: smart.emergency.service@gmail.com
Instagram/Twitter: @smart_emergency
Youtube/Facebook: Smart Emergency
Website: www.smartemergency.id

PT SMS Indonesia | Smart 207 | P a g


PT SMS Indonesia | Smart Emergency 208 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai