Anda di halaman 1dari 19

AKUNTANSI PAJAK PENGHASILAN

Oleh:
Yuyun Khatirina
(01044882326004)

PROGRAM PROFESI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2023
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Akuntansi pajak merupakan peranan yang penting bagi perusahaan yang


bergerak di bagian jasa terutama bagi perusahaan yang besar dan jangkauannya
tidak hanya di dalam negeri bahkan luar negeri. Perusahaan yang telah
berkembang pesat telah melakukan banyak transaksi-transaksi yang terjadi.
Dengan begitu pengenaan pajaknya juga relatif besar.

Akuntansi perpajakan tidak hanya berfungsi untuk mengetahui jumlah pajak


yang perlu dibayarkan oleh wajib pajak. Akuntansi perpajakan berfungsi sebagai
strategi untuk perencanaan perpajakan masa depan yang berasal dari data
pembayaran pajak serta menjadi bahan penilaian kinerja perusahaan selama
periode sebelumnya.

Dalam memahami akuntansi perpajakan kita terlebih dahulu harus memahami


definisi terminologi yang digunakan dalam akuntansi perpajakan, mengetahui
jenis atau macam pajak dalam laporan keuangan serta dsar dari pengenaan pajak
itu sendiri.

1.2. Rumusan Masalalah


Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apa definisi terminologi akuntansi pajak penghasilan?
2. Apa saja pajak dalam laporan keuangan?
3. Apa yang dimaksud dengan dasar pengenaan pajak (DPP)?

1.3. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menjabarkan:
1. Definisi terminologi akuntansi pajak penghasilan.
2. Jenis-jenis pajak dalam dalam laporan keuangan.
3. Pengertian dasar pengenaan pajak (DPP).
2. PEMBAHASAN
2.1. Definisi Terminologi dalam Akuntansi Perpajakan
Beberapa definisi terminologi pajak penghasilan sebagai berikut:
• Aset pajak tangguhan : Jumlah pajak penghasilan yang dapat dipulihkan
pada periode masa depan sebagai akibat adanya (i) perbedaan temporer
dapat dikurangkan; (ii) akumulasi rugi pajak belum dikompensasi; dan (iii)
akumulasi kredit pajak belum dimanfaatkan, dalam hal peraturan pajak
mengizinkan.
• Beban pajak (penghasilan pajak) : jumlah gabungan pajak kini dan pajak
tangguhan yang diperhtungkan dalam menentukan laba rugi pada suatu
periode.
• Laba Akuntansi : Laba atau rugi selama suatu periode sebelum dikurangi
beban pajak.
• Laba kena pajak atau laba fiskak ( rugi pajak atau rugi fiskal ): Laba (rugi)
selama suatu periode yang dihitung berdasarkan peraturan yang ditetapkan
oleh otoritas perpajakan untuk menghitung pajak penghasilan yang terutang.
• Liabilitas pajak tangguhan : Jumlah pajak penghasilan terutang pada periode
masa depan sebagai akibatnya, adanya perbedaan temporer kena pajak.
• Pajak kini : Jumlah pajak penghasilan yang terutang (dipulihkan) atas laba
kena pajak (rugi pajak) untuk suatu periode.
• Perbedaan temporer dapat dikurangkan : Perbedaan temporer yang
menimbulkan jumlah yang dapat dikurangkan dalam penentuan laba kena
pajak (rugi pajak) perieode masa dePos yang berkaitan dengan pajak dapat
dikatakan sebagai postingan yang paling terkenal dalam laporan keuangn.
Bekan hanya dalan Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprebensif Lain,
pos-pos yang berkaitan dengan pajak tahapan berada dalam Laporan Posisi
Keangan dan Laporan Ares Kas. Hasil perhitungan pajak di akhir tahun,
Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain pada Pos Beban /
Manfaat Pajak Penghasilan Kini dan Beban Pajak Penghasilan
Tangguhan. pan ketika jumlah tercatat aset atau liabilitas dipulihkan atau
diselesaikan.
• Perbedaan temporer kena pajak : Perbedaan temporer menimbulkan jumlah
kena pajak dalam penentuan laba kena pajak (rugi pajak) periode masa
depan ketika jumlah tercatat aset atau liabilitas dipulihkan atau diselesaikan.

2.2. Pajak dalam Laporan Keuangan


1. Pajak Penghasilan
Pos terkait pajak penghasilan dapat dikatakan menjadi pos yang paling banyak
tersebar dalam laporan keuangan. Bukan hanya dalan Laporan Laba Rugi dan
Penghasilan Komprebensif Lain, pos-pos yang berkaitan dengan pajak
Penghasilan juga terdapat dalam Laporan Posisi Keangan dan Laporan Ares Kas.
Hasil perhitungan pajak penghasilan perusahaan di akhir tahun, disajikan dalam
Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif Lain pada Pos Beban /
Manfaat Pajak Penghasilan Kini dan Beban Pajak Penghasilan Tangguhan.

Contoh Penyajian Pajak Penghasilan dalam Laporan Laba Rugi dan Penghasilan
Komprehensif Lain:

Pada bagian laporan laba rugi dari Laporan Laba Rugi dan Penghasilan
Komprehensif lain, beban pajak penghasilan (baik kini maupun tangguhan)
pertama kali diletakkan tepat setelah perhitungan laba sebelum pajak. Bila
perusahaan tidak memiliki operasi yang dihentikan, maka nilai laba sebelum pajak
dikurangi beban pajak penghasilan akan dilaporkan sebagai laba bersih. Namun
jika perusahaan memiliki operasi yang dihentikan, maka nilai laba sebelum pajak
dikurangi beban pajak penghasilan akan dilaporkan terlebih dahulu sebagai laba
tahun yang berjalan dari operasi dilanjutkan. Dalam kasus ini, nilai laba bersih
dihitung dari penjumlahan laba tahun berjalan dari operasi dilanjutkan dan
keuntungan atau kerugian dari operasi dihentikan yang disajikan setelah pajak
(net of tax).

Sedangkan pada bagian komprehensif lain dari Lapora Laba Rugi dan Penghasilan
Komprehensif Lain, setiap komponen tahapan tahapan konprehennif lain dapat
disajikan dalan junlah neto (setelah dikarangi pajak penghasilan terkait ) atau
disajikan dalam jumlah bruto (sebelum dikurangi pajak). Bila komponen
penghasilan komprehensif lain disajikan secara bruto, maka total pajak terkait
komponen yang disajikan dalam satu baris disajikan dalam satu pos (line)
tersendiri tepat sebelum penyajian jumlah laba komprehensif.

Pengakuan pajak tangguhan juga akan mengurus pos Aset Pajak Tangguhan atau
Deferred Tax asset (DTA) dan / atau Liabilitas Pajak Tangguhan atau Deferred
Tax Liabiliity (DTL) yang akan disajikan dalam Laporan Posisi Keuangan. Aset
Pajak Tangguhan boleh disajikan secara saling hapus (off-set) dalam laporan
keuangan tersendiri, namun penyajian Aset Pajak Tangguhan dan Liabilitas Pajak
Tangguhan secara saling hapus tersebut tidak diperkenankan dalam laporan
keuangan. Konsolidasian.

Pajak penghasilan yang dipotong / dipungut oleh pihak lain (witholding taxes)
yang dapat dikreditkan dalam penghitungan pajak tahap akhir tahun dan angsuran
Pajak Penghasilan (PPh 25) yang dibayar oleh perusahaan juga akan disajikan
sebagai aset dalam Laporan Posisi Keuangan pada pos Pajak Penghasilan Dibayar
Dimuka (prepaid tax). Bila perusahaan mengalami lebih bayar pembayaran pajak
dan berhak memperoleh restitusi, pos Piutang Restitusi pajak juga akan disajikan
sebagai aset dalam Laporan posisi Keuangan. Sementara bila perusahaan
melakukan pemotongan pajak penghasilan yang belum dilunasi akan dilaporkan
sebagai liabilitas dalam Laporan Posisi Keuangan puda pos Utang Pajak
Penghasilan (PPh 29). Adapun nilai kas yang telah dikeluarkan perusahaan untuk
membayar pajak akan diberikan pada bagian arus keluar untuk aktivitas operasi
dalam Laporan Arus Kas.

Banyaknya pos terkait pajak penghasilan dalam laporan keuangan tidak lepas dari
status perusahaan sebagai Wajib Pajak (WP) Badan. Sebagai WP Badan,
perusahann nemiliki kewajiban memolong pajak atas penghasilan yang diterima
pihak lain (misalnya PPh 21, PPh 23, PPh 26). Pajak-pajak yang dipotong oleh
perusahaan dengan cara seperti ini tidak dicatat sebagai beban pph pada pos
sendiri, disajikan sebagai pajak dalam Laporan Posisi Keuangan sampai saat
perusahaan melakukan pembayaran ke kas negara. Di sisi lain sebagai WP
Badan, perusahaan juga dapat memiliki kredit pajak dari penghasilan pajak yang
dipotong / dipungut pihak lain (misalnya PPh 22 dan PPh 23) disamping
perusahaan juga memiliki kewajiban untuk membayar langsung PPh Badan-nya
sendiri (misalnya PPh 25 dan PPh 29 ). Kredit pajak dan pajak yang dibayar
sendiri oleh perusahaan tersebut disajikan sebagai prepaid tax (aset) dalam
Laporan Posisi Keuangan.

2. Pajak Lainnya
Selain pajak penghasilan, perusahaan sebenarnya juga memiliki transaksi yang
berkaitan dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Daerah. Pemenuhan
kewajiban perusahaan untuk melunasi Pajak Dakrah seperti Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) akan melaporkan langsung sebagai beban di luar pos Beban
Pajak Penghasalan dalam Laporan Laba Rugi dan Penghasilan Komprehensif
Lun. Sedangkan terkait PPN, perusahaan akan mencatat PPN Masukan yang
dapat dikreditkan dari perolehan barang / jasa kena pajak seolah sehagai pajak
prabayar terlebih dahulu. Di Nisi lain, penusahaan akan mencatat PPN Keluaran
dari penyerahan barang kena pajak seolah-olah sebagai utang pujak terlebih
dahulu, Pala akhir masa pujak. akan menutup PPN Keluaran pada PPN Masukan
dimaksed Jan mencatat selisihnya.
3. Jurnal Standar Akuntansi Pajak Penghasilan
Pencatatan perhitungan pajak penghasilan sebenarnya dapat dilakukan
menggunakan ayat jurnal standar pada Ilustrasi berikut. Standar Jurnal tersebut
hanya perlu disesuaikan nilainya dengan ketentuan tarif pajak penghasilan yang
berlaku untuk transaksi yang menjadi objek pajak.
Pada posisi perusahaan sebagai pemberi kerja, saat mengakui beban (membayar
penghasilan) maka perusahaan memiliki kewajiban untuk memotong PPh sesuai
ketentuan yang berlaku atas transaksi yang menjadi objek pajak. Contohnya, bila
objek transaksi adalah pemberian penghasilan kepada pegawai maka perusahaan
memotong PPh 21 atau PPh 26, sedangkan bila objek transaksi adalah
pembayaran sewa atau jasa maka perusahaan dapat memotong PPh 23. Pajak yang
dipotong perusahaan terlebih dahulu akan dicatat sebagai utang PPh yang akan
dilunasi dengan penyetoran ke kas negara pada awal bulan berikutnya. Pada posisi
ini, perusahaan juga memiliki kewajiban untuk membuat Bukti Potong (Bupot)
PPh dan menyerahkannnya kepada pihak penerima penghasilan. Bupot PPh
digunakan sebagai dokumentasi pemotongan pajak yang dilakukan perusahaan
dan sebagai dasar kredit pajak pada akhir tahun pihak yang menerima
penghasilan.

Pada posisi sebaliknya, saat perusahaan mengakui pendapatan (menerima


penghasilan) maka perusahaan akan dipotong PPh akan dipotong oleh pihak lain
sebagai pemotong atau pemugut PPh sesuai ketentuan yang berlaku. Pajak yang
dipotong atau dipungut pihak lain tersebut (seperti PPh 23 atau PPh 22) terlebih
dahulu akan dicatat sebagai PPh Dibayar Dimuka dan dapat menjadi kredit pajak
di akhir tahun dengan catatan perusahaan telah menerima / memiliki Bupot PPh
sebagai dokumentasi pemotongan pajak dari pihak lain.

Selain itu, perusahaan juga memiliki kewajiban untuk membayar angsuran PPh 25
setiap bulan yang juga akan dicatat dengan PPh dibayar dimuka. Pembayaran
angsuran ini didokumentasikan dalam Surat Setoran Pajak (SPP). Di akhir tahun ,
angsuran PPh 25 yang telah dibayar perusahaan akan menjadi pengurang pajak
terutang (sebagai pajak yang telah dibayar sendiri) saat perhitungan PPh badan.

Pada akhir tahun, perusahaan melakukan dan mendokumentasikan perhitungan


PPh Badan Terutang dalam Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Badan atau SPT
1771. Nilai PPh Badan yang terutang dalam SPT akan dicatat sebagai Beban
Pajak penghasilan kini (current income tax expense). Jumlah PPh badan yang
terutang kemudian dikurangi dengan total kredit pajak (seperti PPh 22 dan PPh
23) untuk menghitung nilai pajak yang masih harus dibayar sendiri. Bila total
angsuran PPh 25 yang telah dibayar perusahaan masih lebih kecil dibanding
jumlah pajak yang masih harus dibayar sendiri, maka perusahaan akan
melaporkan kurang bayar dalam SPT PPh Badan dan mencatat kurang bayar
tersebut sebagai Utang PPh 29. Sebaliknya bila total angsuran total PPh 25 yang
telah dibayar perusahaan lebih besar dibandingkan jumlah pajak yang masih
harus dibayar sendiri, maka perusahaan akan melaporkan lebih bayar dalam SPT
PPh Badan dan berhak mengajukan restitusi dan lebih bayar tersebut akan dicatat
sebagai Piutang Restitusi.

Bila menggunakan Standar Akuntansi Keuangan untuk Entitas Tanpa


Akuntabilitas Publik (SAK ETAP), proses pencatatan akuntansi terkait pajak
penghasilan cukup sampai saat penghitungan PPh Badan akhir tahun, tanpa perlu
mencatat pengakuan pajak tangguhan. Namun bila mengikuti ketentuan dalam
PSAK 46, maka perusahaan perlu membuat satu jurnal tambahan untuk mencatat
pengakuan pajak tangguhan.

Dalam mencatat pengakuan pajak tangguhan, perusahaan tidak dapat langsung


menghitung beban / manfaat pajak tangguhan karena nilai beban / manfaat pajak
tangguhan baru dapat diketahui setelah perusahaan menghitung nilai aset dan
liabilitas pajak tangguhan.

Dalam pencatatan pengakuan pajak tangguhan, perusahaan tidak dapat langsung


menghitung beban / manfaat pajak tangguhan karena nilai beban / manfaat pajak
tangguhan baru dapat diketahui setelah perusahaan menghitung nilai aset dan
liabilitas pajak tangguhan. Bila nilai liabilitas Pajak tangguhan lebih besar dari
aset pajak tangguhan,maka perusahaan akan mengakui dan mencatatat selisihnya
sebagai Beban Pajak Penghasilan Tagguhan ( deferred income tax expense ).
Sebaliknya bila nilai liabilitas Pajak tangguhan lebih kecil dari aset pajak
tangguhan, maka perusahaan akan mengakui dan mencatat selisihnya sebagai
manfaat pajak penghasilan tangguhan ( deferred income tax benefit ). Dengan
Demikian Nilai Beban Pajak Penghasilan menurut akuntansi ( beban pajak
komersial ) sama dengan jumlah pajak kini dan pajak tangguhannya, sementara
nilai beban pajak penghasilan menurut fiskal sama dengan jumlah yang diakui
sebagai beban pajak penghasila kini saja. Sehingga nilai beban pajak komersial
dapat lebih besar dari beban pajak fiskal bila terdapat beban pajak penghasilan
tangguhan atau nilai beban pajak komersial dapat lebih kecil dari beban pajak
fiskal bila terdapat manfaat pajak penghasilan tangguhan.

Dalam mencatat pengakuan pajak tangguhan perlu juga diperhatikan bahwa


meskipun aset pajak tangguhan dan liabilitas pajak tangguhan dapat disajikan
secara saling hapus dalam laporan keuangan tersendiri, namun pengakuan aset
pajak tangguhan dan liabilitas pajak tangguhan dalam jurnal tetap harus dipisah.
Hal ini disebabkan oleh karena perusahaan harus dapat mengidentifikasi secara
spesifik jumlah aset pajak tangguhan dan libilitas pajak tangguhan yang akan
dipulihkan dan diselesaikan dimasa depan.

Perbedaan Penghitungan Pajak Secara Komersial dan Fiskal

Penghitungan PPh secara komersial didasarkan pada PSAK, sedangkan


penghitungan PPh secara fiskal didasarkan pada Undang – Undang (UU) PPh (
UU No.36 / 2008).

Sumber : Modul CA Pelaporan Korporat

PPh secara akuntansi dihitug dari laba komersial sebelum pajak (earnings before
tax) yang merupakan penjumlahan dari seluruh pendapatan (revenues) maupun
keuntungan (gains) dikurangi dengan seluruh beban (expenses) yang timbul dalam
pelaksanaan aktivitas perusahaan maupun kerugian (losses) selama satu tahun
buku, tanpa terkecuali. Sementara PPh secara fiskal dihitung dari laba fiskal (laba
kena Pajak) yang merupakan penjumlahan dari seluruh penghasilan yang menjadi
objek pajak (taxable income) dikurangi seluruh biaya yang dapat dikurangkan
(deductible expenses) atau dalam pengertian fiskal dikenal sebagai biaya untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (Biaya 3M).

Pada praktiknya, perusahaan akan terlebih dahulu menghitung laba komersial


sebelum pajak untuk kemudian melakukan proses yang disebut dengan
rekonsiliasi fiskal, guna melakukan penyesuaian - penyesuaian yang dibutuhkan
agar memperoleh nilai laba fiskal. Penyesuaian – penyesuaian tersebut dikenal
sebagai koreksi fiskal yang dapat dibagi menjadi koreksi fiskal positif (bila
efeknya menambah laba fiskal) dan koreksi fiskal negatif (bila efeknya
mengurangi laba fiskal). Seluruh penyesuaian laba atau koreksi fiskal yang dibuat
ketika melakukan rekonsilliasi fiskal merangkum seluruh perbedaan nilai antara
laba komersial sebelum pajak dengan laba fiskal.

Selanjutnya, seluruh perbedaan yang dirangkum dalam koreksi fiskal dimaksud


dapat dipisahkan menjadi perbedaan permanen dan temporer. Perbedaan
permanen tidak menimbulkan konsekuensi tambahan dalam pencatatan akuntansi.
Sedangkan perbebedaan temporer dapat menimbulkan konsekuensi pencatatan
akuntansi lanjutan berupa pengakuan aset/dan atau liabilitas pajak tangguhan serta
beban atau manfaat pajak penghasilan tangguhan.

Bila merujuk pada UU PPh yang berlaku di Indonesia, pada dasarnya terdapat 4
sumber perbedaan yang membuat diperlukannya penyesuaian atau koreksi fiskal .
Keempat sumber tersebut adalah :

1. Penghasilan objek PPh final


2. Penghasilan yang bukan objek pajak;
3. Biaya yang tidak boleh dikurangkan (nondeductible expenses); dan
4. Penyesuaian atas perbedaan cara pengukuran secara komersial (akuntansi)
dengan fiskal.
Ketentuan mengenai objek pajak PPh Final diatur dalam Pasal 4 ayat 2 UU PPh.
Penghasilan yang dikenai PPh Final terdiri dari :
1. Bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara,
dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi
pribadi;
2. Hadiah Undian;
3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif
yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh
perusahaan modal ventura;
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan tanah dan/atau bangunan; dan
5. Penghasilan dari usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah
dan/atau bangunan.

Ketentuan mengenai penghasilan yang bukan objek pajak diatur dalam Pasal 4
ayat 4 UU Pajak Penghasilan. Adapun Penghasilan yung kecualikan dari objek
pajak terdiri dari :
1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan
amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
pemerintah dan yang dikirim oleh penerima zakat yang berhak atau
sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang
diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang
dibentuk atan disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh
penerima sumbangan yang berhak;
2. Harta hibahan yang diterima oleh keluanga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan,
badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara
pihak-pihak yang bersangkutan;
3. Warisan;
4. Harta ternasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai
pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
5. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan, kecual yang dibenkan oleh bukan WP. WP yang
dikenakan pajak'secara final atau WP yang menggunakan norma
pxnghitungan khusus (deemed profit);
6. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa. asuransi dwiguna. dan asufansi beasiswa;
7. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai WP dalam negeri, koperasi, BUMN,BUMD, dari penyertaan modal
pada badan usaha yang didirikkan dan bertempat kedudukan di indonesia
dengan syarat dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan dan bagi
perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan
saham pad badan yang
memberikan dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor.
8. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan menteri keuangan (Menkeu).
9. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun;
10. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggola dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang
unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
11. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan
menjalankan usaha alau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan
pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan mikro, kecil,
menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan(PMK)
dan sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia.
12. Beasiswa.
13. Sisa lebih yang diterima stau diperoleh badan atau lembaga nirlaba
yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian
dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang
membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan
prasaran kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam
jangka waku paling lama empat tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut;
dan
14. Bantuan atau santunan yang berasal dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS).

Ketentuan mengenai biaya yang tidak dikurangkan diatur dalam Pasal 9 Ayat I
UU Pajak Penghasilan. Biaya yang tidak dikurangkan oleh WP Badan terdiri
dari:

1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang berasal dari perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

2. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang


saham, sekutu, atau anggota;

3. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, termasuk piutang tak tertagih


untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna
usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan, konsumen, dan perusahaan
yang membiayai, cadangan untuk usaha asuransi termasuk bantuan sosial yang
dibentuk oleh BPJS, cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS), cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan,
cadangan penanaman kembali untuk usaha kehutanan, dan cadangan biaya
penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk
pengolahan limbah industri untuk usaha pengeloaan limbah industri;
4. Penggantian atua imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan
dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan;

5. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan pada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai habungan istimewa sebagai imbalan
sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;

6. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan;

7. Pajak penghasllan;

8. Gaji yang terarah kepada anggota persckutuan, firma, atau perseroan


komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; dan

9. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang
perpajakan.

Dari keempat sumber perbedaan yang membuat diperlukannya koreksi fiskal, tiga
sumber yaitu penghasilan objek PPh final, penghasilan yang bukan objek pajak,
dan biaya yang tidak boleh dikurangkan, merupakan sumber perbedaan permanen
karena hanya diakui sebagai pendapatan atau beban secara komersial (akuntansi)
namun tidak diperhitungkan sebagai penghasilan atau sebagai biaya secara fiskal
dalam perhitungan pajak penghasilan pada akhir tahun. Hanya penyesuaian atas
perbedaan cara pengukuran secara komersial dengan fiskal yang merupakan
sumber perbedaan temporer.

Dengan kata lain, pencatatan akuntansi untuk pajak tangguhan yang berasal dari
beda temporer hanya akan timbul bila akuntansi maupun fiskal (pajak) sama-sama
mengakui suatu pendapatan dan beban, namun dengan cara yang berbeda.
Sedangkan bila suatu pendapatan dan beban hanya diakui secara akuntansi namun
tidak secara pajak, atau sebaliknya, maka perbedaan tersebut merupakan beda
permanen yang tidak menimbukan pencatatan akuntansi tambahan. Contoh beda
temporer adalah depresiasi dan amortisasİ serta biaya yang diestimasi, seperti
penyisihan piutang, penyisian persediaan, dan manfaat pensiun.

2.3. Dasar Pengenaan Pajak


Terminologi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) memiliki pengertian yang berbeda
antara fiskal dan akuntansi kormersial. Pengertian DPP secara fiskal adalah total
Jumlah yang akan dikalikan dengan tarif pajak terkait untuk memperoleh nilai
pajak terutang. Sedangkan pengertian DPP secara akuntansi komersial adalah
jumlah nilai buku fiskal (fiscal book value) dari suatu aset atau liabilitas, yang
dapat berbeda dengan jumlah tercatat atau nilai buku komersial (accounting book
value) dari aset atau Liabilitas tersebut. Pemahaman terhadap DPP secara
akuntansi komersial ini sangat penting dalam akuntansi pajak berdasarkan PSAK
46. Dalam penghitungan pajak tangguhan, PSAK 46 membandingkan nilai DPP
(nilai buku fiskal) dengan jumlah tercatat (accounting book value) untuk
menghitung nilai beda temporer yang mengakibatkan timbulnya pajak
tangguhan .

Contoh perbandingan antara DPP aset dengan jumlah tercatat adalah mesin
dengan biaya perolchan sebesar Rp100 memiliki akumulasi penyusutan sebesar
Rp20. Namun untuk tujuan pajak, akumulasi penyusutan mesin adalah sebesar
Rp30. Sehingga DPP mesin adalah sebesar Rp70 sementara jumlah tercatat mesin
adalah sebesar Rp80. Dengan demikian terdapat perbedaan temporer sebesar
Rp10.
3. KESIMPULAN
Akuntansi pajak merupakan peranan yang penting bagi perusahaan yang
bergerak di bagian jasa terutama bagi perusahaan yang besar dan jangkauannya
tidak hanya di dalam negeri bahkan luar negeri.

Akuntansi perpajakan tidak hanya berfungsi untuk mengetahui jumlah pajak


yang perlu dibayarkan oleh wajib pajak. Akuntansi perpajakan berfungsi sebagai
strategi untuk perencanaan perpajakan masa depan yang berasal dari data
pembayaran pajak serta menjadi bahan penilaian kinerja perusahaan selama
periode sebelumnya.

Untuk memahami akuntansi dalam perpajakan terlebih dahulu harus memahami


definisi terminologi akuntansi pajak penghasilan, jenis-jenis pajak dalam laporan
keuangan dan dasar pengenaan pajak. Pajak dalam laporan keuangan meliputi
pajak penghasilan, PPN, PBB serta lainnya yang memiliki tarif berbeda-beda.

Terminologi Dasar Pengenaan Pajak (DPP) memiliki pengertian yang berbeda


antara fiskal dan akuntansi kormersial. Pengertian DPP secara fiskal adalah total
Jumlah yang akan dikalikan dengan tarif pajak terkait untuk memperoleh nilai
pajak terutang. Sedangkan pengertian DPP secara akuntansi komersial adalah
jumlah nilai buku fiskal (fiscal book value) dari suatu aset atau liabilitas, yang
dapat berbeda dengan jumlah tercatat atau nilai buku komersial (accounting
book value) dari aset atau Liabilitas tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

IAI. (2021). Pelaporan Korporat: Modul Chartered Accountant. Ikatan Akuntan

Indonesia (IAI).

Anda mungkin juga menyukai