Anda di halaman 1dari 3

ANALISIS CERITA RAKYAT TUPAI JANJANG DENGAN FUNGSI FOLKLORE

WILLIAM R BASCON

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Folklore

Dosen Pengampu: Dr. Trisna Kumala Satya D., M. S

Oleh:

Dian Pujiastuti

B0223022

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

2023
Konon, tersebutlah seorang raja di Kampung Siulak, Tuanku Raja Tua dengan
permaisurinya, Puti Lindung Bulan. Perkawinan mereka sudah berlangsung selama dua puluh
tahun, tetapi belum juga mendapat anak. Suatu hari Puti melihat seekor tupai yang sedang
menggirik-girik kelapa kemudian tupai tersebut pindah ke pohon jambu dan memakan buah
jambu yang sudah masak. Tanpa disadarinya Puti berkata, “Jika disebut orang bapak tupai,
ada juga hendak orang panggil Angku Rajo Tuo Bapak Tupai.” Rajo Tuo yang sedang berada
di bawah rumah mendengar apa yang diucapkan Puti, seraya berkata, “O, Lindung Bulan
buruk yang diminta buruk yang datang, baik yang diminta datanglah yang baik, itu tidak baik
untuk diucapkan nanti dikabulkan sama Yang Mahakuasa.” Lantas jawab Puti, “Meskipun
anakku lahir seperti tupai pun aku rela.” Akhirnya, Puti melahirkan anak tupai. Raja Tua
tidak sanggup menerima kenyataan itu, ia memerintahkan bawahannya untuk menangkap si
anak tupai itu. Mengetahui hal tersebut, si anak tupai melarikan diri ke hutan. Anehnya,
semenjak si anak tupai lari, Raja menderita suatu penyakit aneh. Konon, jika semakin jauh
tupai memasuki hutan, semakin parah sakit yang diderita sang Raja Tua hingga ia tidak
sanggup menahannya lagi. Oleh karena itu, Raja Tua dengan rasa terpaksa mau mengakui
tupai itu sebagai anaknya sehingga penyakitnya pun sembuh. Lalu, keajaiban muncul, tiba-
tiba si anak tupai itu menjelma menjadi manusia, sebagai lelaki muda yang tampan, tinggi
dan kekar. Sesudah dimandikan dan dilimaui oleh ibunya, ia dinamakan Lukman Hakim.
Tidak berselang kemudian, Pangeran Lukman pun naik tahta mengantikan ayahnya. Dia
dikawinkan dengan kemenakan ibunya, yang bernama Puti Ameh Urai.

William R. Bascom menyebutkan fungsi cerita rakyat (folklor) ada empat, yaitu:
pertama, sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif;
kedua, sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; ketiga,
sebagai alat pendidikan anak-anak; dan keempat, sebagai alat pemaksa dan pengawas agar
norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif.
Terkait dengan fungsi folkor tersebut, cerita ini mempunyai suatu keinginan atau angan-
angan yang tentu sangat diharapkan oleh tokoh dalam cerita atau kolektif masyarakat di
daerah Kabupaten Kerinci mungkin juga masyarakat yang ada seantero jagat raya ini untuk
memiliki keturunan, mendapatkan gelar sebagai ayah/ibu serta mendapatkan julukan sebagai
ayah/ibu sipulan setelah melangsungkan pernikahan.
Selain itu, ada keinginan seorang ibu dalam cerita ini juga dengan sebagian besar kaum ibu
yang ada di muka bumi ini jika pasangannya atau suaminya diharapkan mau menerima
bagaimanapun bentuk dan rupa anak yang dilahirkannya.

Sebagai alat pengesahan kebudayaan. cerita rakyat ini juga membenarkan sekaligus
mengesahkan pranata dan lembaga kebudayaan yang terdapat pada kebudayaan kerinci.
Setiap kebudayaan tentu mempunyai pranata sosial seperti kerja sama, gotong royong,
kenduri dan saling membantu antar rakyatnya. Hal ini juga tergambar dalam kebudayaan
Kerinci. Bagi masyarakat Kerinci kebudayaan itu disebut dengan Kenduri merupakan acara
adat yang dilakukan saat seorang ibu mulai hamil sampai melahirkan.

Beralih pada fungsi folklor selanjutnya, sebagai alat pendidikan anak. Dalam cerita
Tupai Janjang, ada beberapa nilai kearifan lokal yang dapat dijadikan pengajaran dalam
menjalani kehidupan ini. Di antaranya adalah nilai kasih sayang, sabar, dan mengabdi pada
orang tua. Tokoh Lindung Bulan sangat menyayangi anaknya, sang tupai, walaupun bentuk
lahiriah anaknya seekor binatang, ia tetap menyayanginya.

Pada fungsi terakhir, yaitu sebagai alat pemaksa dan pengawas agar normanorma
masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Bagi masyarakat Kerinci yang menjadi
alat pemaksa dan pengawas agar norma–norma maasyarakat agar selalu dipatuhi oleh
anggota kolektif adalah ninik mamak. Dalam masyarakat Kerinci gelar ninik mamak
diberikan kepada pemimpin tertinggi. Akan tetapi, dia tidak bisa berjalan sendiri tanpa
bermusyawarah dengan pejabat lainnya sesuai dengan kepentingannya. Orang-orang yang
bergelar ninik mamak ini disebut orang empat jenis yang terdiri atas depati ninik mamak,
orang tua cerdik pandai, alim ulama, dan hulubalang (sekarang dinamakan pemuda).

Anda mungkin juga menyukai