Anda di halaman 1dari 2

Pendidikan dan Kelas Sosial

Kelas sosial, modal kultural, ideologi bakat

Saya ingin memulai tulisan ini dengan penjelasan mengenai modal kultural dalam proses sosialisasi
kelas sosial dalam pendidikan menurut Bordieu. Hal itu dikarenakan referensi yang sulit dibaca. Hal tersebut
membuat saya memutuskan untuk menempatkan hal sulit di posisi pertama. Haryatmoko (2003) menjelaskan
adanya mitos mengenai kesempatan yang sama di sekolah. Hal tersebut diperkuat oleh ideologi bakat. Cerita
sukses seperti Si Anak Singkong seakan memberikan harapan bahwa semua bisa menjadi sukses. Padahal
kenyataan tidak demikian.

Haryatmoko lebih jauh menjelaskan bahwa latar belakang keluarga sangat menentukan kesuksesan
anak. Dia melihat bahwa modal sosial memainkan peranan penting. Orang yang lulus dari perguruan tinggi
dipengaruhi faktor-faktor hubungan sosial untuk menemukan pekerjaan. Di sini kita bisa melihat sekaligus isu
mengenai ketidaksteraan dan bahwa pendidikan tidak selalu menjamin mobilitas vertikal.

Ideologi bakat berasal dari keluarga yang mampu. Anak-anak yang dibesarkan dengan lingkungan
mendukung seperti ketersediaan buku dan teknologi memudahkannya belajar. Proses belajarnya dianggap
sebagai asal mula bakat. Bahwa anak itu memiliki semacam unsur bawaan yang membuatnya lebih unggul
ketimbang orang lain. Padahal mereka menjadi “berbakat” karena dibantu oleh lingkungan yang bagus.

Selain ideologi bakat, ketidaksteraan sosial juga tercipta dari budaya konsumerisme. Meskipun sekolah
sudah membuat peraturan bahwa seluruh siswa harus memakai seragam yang diwajibkan, namun mereka
tetap bisa menunjukkan kelas sosial mereka lewat berbagai macam barang seperti handphone, sepatu dan
kendaraan. Hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan awal sekolah yang katanya ingin menyetarakan seluruh
siswa.

Gabungan antara ideologi bakat, budaya konsumerisme, dan penguasaan pengetahuan seperti bahasa
inggris dan selera musik membentuk modal kultural. Modal kultural lah salah satu yang membuat reproduksi
sosial terjadi. Alih-alih menjadi “the great equalizer” sekolah hanya menjadi arena baru untuk pamer dan
menunjukkan kekuasaan.

Selanjutnya yang saya ingin bahas adalah cerita dari Ballantine dkk. Diceritakan bahwa Caitlin berhasil
mendapatkan penghargaan bernama “Beat the Odds”. Penghargaan itu diberikan pada mereka yang berasal
dari latar belakang sulit. Setelah mendapat penghargaan tersebut, Caitlin lanjut kuliah dan bisa mendapatkan
Phd. Kisah Caitlin adalah makanan baru untuk melanjutkan mitos tadi, yakni semua orang berkesempatan sama
untuk sukses.

Ballantine dkk menjelaskan bahwa ternyata nama penghargaan itu malah menyetujui adanya
ketidaksteraan sosial pada pendidikan. Ada pesan tersirat bahwa hanya beberapa orang yang berasal dari
keluarga kurang mampu bisa sukses. Kalimat “beat the odds” sendiri membuat Caitlin sebagai pejuang dan
dalam keadaan dirugikan.

Lagi-lagi pembahasan akan mengkritik pandangan sekolah sebagai “The Great Equalizer”. Pandangan
ini membuat mitos bahwa adanya prinsip meritokrasi yang dilaksanakan di sekolah. Semua orang bisa
mencapai mimpi mereka jika mereka berusaha. Padahal kenyataannya tidak. Dan pembahasan selanjutnya
akan mengucilkan pandangan tersebut.

Ketidaksetaraan sosial, bagian penting dalam membahas pendidikan dan kelas sosial, muncul paling
awa dari keluarga. Melvin Kohn (1959) menjelaskan bahwa adanya perbedaan interaksi pada keluarga kelas
pekerja dan keluarga kelas menengah. Keluarga kelas pekerja lebih banyak mengajarkan mengenai kepatuhan.
Sedangkan keluarga kelas menengah mengajarkan motivasi dan tanggung jawab. Artinya adalah anak dari
keluarga kelas menengah lebih kreatif ketimbang anak dari keluarga kelas pekerja. Karena mereka diajarkan
tentang cara mengatur diri sendiri. Prinsip kepatuhan yang diterima oleh anak dari kelas pekerja membuatnya
menjadi “Yes Man” dan tidak bisa berpikir kritis.

Hal yang senada juga dijelaskan oleh Bordieu dengan gagasannya yakni reproduksi sosial. Dia
menjelaskan bahwa anak dari keluarga kelas menengah lebih mudah sukses ketimbang anak dari keluarga kelas
pekerja. Hal tersebut disebabkan perbedaan modal kultural. Anak dari kelas menengah selalu diuntungkan
karena memiliki modal kultural yakni selera, baju, dan gaya bahasa. Hal tersebut akhirnya dibawa ke lingkungan
sekolah

Bordieu berargumen bahwa sekolah tidaklah netral. Sekolah menginginkan anak muridnya untuk
memiliki modal kultural yang sesuai. Gaya bahasa yang sopan diutamakan. Pengetahuan yang sesuai dengan
kurikulum juga menjadi penting. Anak kelas pekerja yang gemar menggambar akan kalah ketika berhadapan
dengan anak dari kelas menengah yang sudah les bahasa inggris. Kemampuan bahasa Inggris lebih disukai oleh
guru. Akhirnya, anak kelas pekerja dianggap tidak kompeten dan malas karena tidak dapat mengikuti kurikulum
yakni berbahasa inggris.

Kritik terhadap sekolah sebagai “The Great Equalizer” dilanjutkan oleh penelitian Annette Lareau
(2003). Dia menyebut ada tiga aspek yang membedakan antara keluarga kelas pekerja dan keluarga kelas
menengah. Aspek pertama adalah kehidupan sehari-hari. Anak dari kelas pekerja lebih sering bersosialisasi
dengan saudara ketika waktu senggang. Sedangkan anak dari kelas menengah dimasukkan pada les piano dan
pramuka. Aspek kedua adalah interaksi dengan otoritas. Keluarga dari kelas pekerja tidak akan banyak
berbicara ketika bertemu dengan guru misal saat pembagian rapor. Sedangkan keluarga dari kelas menengah
biasanya akan membuat anaknya terbiasa jika berbicara dengan otoritas atau para pakar misalnya dokter.
Aspek ketiga adalah penggunaan bahasa. Anak dari kelas pekerja biasanya tidak akan diajarkan atau terbiasa
dengan negosiasi. Sedangkan anak dari kelas menengah diajari cara berbahasa yang baik dan kemampuan
negosiasi.

Jika tadi pembahasan bersifat mikro, maka penjelasan selanjutnya akan bersifat makro. Penelitian
yang dilakukan oleh Azzizah (2015) menyimpulkan bahwa adanya ketimpangan pendidikan di daerah Timur
Indonesia. Hal tersebut bisa dilihat dari data yang dia temukan. Dari aspek infrastruktur, angka gedung sekolah
dan guru di daerah Timur tergolong rendah. Pada tahun 2011 hingga 2013 ada pertumbuhan angka guru.
Namun itu belum mencukupi pada daerah Timur. Jumlah siswa di daerah Barat juga lebih besar 30% dari
daerah Timur. Sudahlah infrastruktur kurang memadai, ternyata angka kehadiran sekolah juga masih kecil. Hal
tersebut disebabkan oleh adanya ketimpangan sosial yang terjadi di daerah Timur Indonesia

Anda mungkin juga menyukai