Anda di halaman 1dari 2

“Pencegahan dan Penanggulangan Konflik Umat Beragama”,

(oleh Hamam Syafei, S. Ag. (Penyuluh Agama Islam)

Pluralitas agama dan umatnya merupakan sebuah keniscayaan, sebuah realitas social
yang tak terbantahkan oleh siapapun, dan karenanya pengingkaran terhadapnya berarti
pengingkaran terhadap “hukum alam” itu sendiri. Dalam paradigma teologis Islam,
pluralitas atau kemajemukan merupakan sunnatullah atau hukun alam, sebab hidup sendiri
dan menyendiri secara mutlak dalam ketunggalannya yang Esa hanyalah menjadi sifat Allah
SWT., Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian pengingkaran terhadap pluralitas
merupakan pengingkaran terhadap sifat dan kekuasaan Allah.

Pada dasarnya pluralitas agama dapat berpotensi mewujudkan kehidupan yang


harmoni dan toleransi di antara umat pemeluknya karena agama yang marupakan wahyu ilahi
yang sarat dengan nilai-nilai normative, selalu mengajarkan kebaikan dan kebenaran. Tak
satupun agama di muka bumi ini yang mengajarkan dan/atau memerintahkan keburukan,
kejahatan dan perilaku negative lainnya.

Pengakuan eksistensi pluralitas social oleh Islam, disertai penekanan betapa


pentingnya prinsip saling mengenal yang dapat melahirkan rasa saling pengertian, saling
memahami, saling menghormati dan toleransi di antara elemen masyarakat guna menjalin
kebersamaan dan kehidupan yang harmoni. (QS Al-Hujurat : 13). Islam juga menegaskan
bahwa persaudaraan dapat mencegah permusuhan dan kehancuran (QS Ali Imran : 103).
Bahkan kata suadara/persaudaraan ini disebutkan sebanyak 52 kali dalam, Alquran.

Faktor dominan penunjang persaudaraan adalah adanya unsure persamaanm dan


karenanya Islam menganjurkan untuk selalu mencarri titik temu dalam berinteraksi, bukan
sebaliknya. Bukan saja antar sesama muslim, melainkan juga dengan non muslim sekalipun.
(QS Ali Imran : 64). Di antara kiat memperoleh titik temu adalah dengan berdialog,
berkomunikasi dan bermusyawawah. (QS Al-Syura : 38).

Masalah kerukunan umat beragama seringkali terusik oleh beberapa penyebab, di


antaranya ialah :
1. Penyiaran agama,
2. Bantuan keagamaan luar negeri,
3. Perkawinan antar pemeluk agama,
4. Pendidikan agama,
5. Perayaan hari besar keagamaan,
6. Penodaan agama,
7. Kegiatan kelompok sempalan,
8. Pendirian rumah ibadah)
Adapun pencegahan konflik yang dapat dilakukan oleh beberapa pihak adalah sebagai
berikut :
1. Memberikan bekal pendidikan keagamaan sejak dini kepada seetiap pemeluk agama agar
umat memiliki wawasan keagamaan yag memadai dan tidak terjebak ke dalam sikap
egois, eksklusiv dan fanatik yang membabi buta. Semakin tinggi kualitas pemahaman
keagamaan akan semakin kecil tingkat resistensinya untuk melakukan hal-hal yang dapat
memicu konflik keagamaan.
2. Memberikan pencerahan dan meluruskan pemahaman yang keliru, oleh orang yang
memiliki kapasitas dan kompetensi keagamaan yang memadai, melalui berbagai media
yang ada, seperti media cetak, elektronik, ormas keagamaan dan lain sebagainya agar
umat tidak terjerumus ke dalam sikap ektrimisme dan radikalisme.
3. Melakukan dialog intern dan antar umat beragama secara periodic yang dilandasi oleh
ketulusan dan kejujuran untuk kepentingan yang lebih besar guna mewujudkan toleransi
dan kerukunan yang sejati. Komunikasi dan Dialog; bukan untuk mengorek luka lama,
melainkan untuk koreksi dan introspeksi, belajar dari pengalaman; bukan untuk
menghakimi tapi untuk mencari solusi, bukan mencari titik perbedaan melainkan untuk
mencari titik temu; mengokohkan nilai-nilai humanisme, memanusiakan manusia sesuai
dengan fitrah dan kodratnya.
4. Membuat regulasi/undang-undang tentang kerukunan umat beragama guna mengatur tata
kehidupan beragama, yang sekaligus dapat dijadikan acuan yuridis manakala terjadi
konflik keagamaan.

Adapun pencehan konflik yang laen yang dapat dilakukan oleh beberapa pihak adalah
dalam berinteraksi terkadang seseorang terjebak ke dalam perselisihan dan kesalahpahaman
baik disengaja ataupun tidak disengaja, yang tidak tertutup kemungkinan berujung pada
konflik, termasuk konflik keagamaan. Apabila hal yang demikian benar-benar terjadi, maka
syariat Islam menawarkan beberapa alternatif solusi yaitu :
1. Melalui jalan musyawarah mufakat untuk berdamai (QS Al-Syura : 38; Ali Imran 159:
Al-Nisa’ : 128; Hud : 88) ,
2. Melalui jasa pihak ketiga (individu, lembaga/organisasi atau pemerintah) untuk dijadikan
sebagai mediator atau arbitrase/ tahkim ( QS Al-Nisa’ : 35),
3. Melalui proses peradilan ( QS al-Nisa’ : 105)

Penyelesaian perkara melalui peradilan harus melalui proses pembuktian yang tidak
sederhana, rumit dan berliku-liku serta harus mengacu kepada hukum formil dan materiil. Di
samping itu proses pengadilan akan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit dan juga
akan memunculkan adanya pihak yang kalah dan pihak yang menang yang identik dengan
pihak yang puas dan yang tidak puas. Artinya proses peradilan, betapapun sang hakim
berupaya memutuskan perkara seadil-adilnya, masih tetap saja menyisakan masalah, yaitu
adanya rasa dendam yang berkepanjangan. Oleh karena itu, penyelesaian konlik melalui
peradilan merupakan alternatif alternatif terakhir. Wallahua’lam bisshawab.

Anda mungkin juga menyukai