Pluralitas agama dan umatnya merupakan sebuah keniscayaan, sebuah realitas social
yang tak terbantahkan oleh siapapun, dan karenanya pengingkaran terhadapnya berarti
pengingkaran terhadap “hukum alam” itu sendiri. Dalam paradigma teologis Islam,
pluralitas atau kemajemukan merupakan sunnatullah atau hukun alam, sebab hidup sendiri
dan menyendiri secara mutlak dalam ketunggalannya yang Esa hanyalah menjadi sifat Allah
SWT., Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian pengingkaran terhadap pluralitas
merupakan pengingkaran terhadap sifat dan kekuasaan Allah.
Adapun pencehan konflik yang laen yang dapat dilakukan oleh beberapa pihak adalah
dalam berinteraksi terkadang seseorang terjebak ke dalam perselisihan dan kesalahpahaman
baik disengaja ataupun tidak disengaja, yang tidak tertutup kemungkinan berujung pada
konflik, termasuk konflik keagamaan. Apabila hal yang demikian benar-benar terjadi, maka
syariat Islam menawarkan beberapa alternatif solusi yaitu :
1. Melalui jalan musyawarah mufakat untuk berdamai (QS Al-Syura : 38; Ali Imran 159:
Al-Nisa’ : 128; Hud : 88) ,
2. Melalui jasa pihak ketiga (individu, lembaga/organisasi atau pemerintah) untuk dijadikan
sebagai mediator atau arbitrase/ tahkim ( QS Al-Nisa’ : 35),
3. Melalui proses peradilan ( QS al-Nisa’ : 105)
Penyelesaian perkara melalui peradilan harus melalui proses pembuktian yang tidak
sederhana, rumit dan berliku-liku serta harus mengacu kepada hukum formil dan materiil. Di
samping itu proses pengadilan akan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit dan juga
akan memunculkan adanya pihak yang kalah dan pihak yang menang yang identik dengan
pihak yang puas dan yang tidak puas. Artinya proses peradilan, betapapun sang hakim
berupaya memutuskan perkara seadil-adilnya, masih tetap saja menyisakan masalah, yaitu
adanya rasa dendam yang berkepanjangan. Oleh karena itu, penyelesaian konlik melalui
peradilan merupakan alternatif alternatif terakhir. Wallahua’lam bisshawab.