Local Wisdom Narrative in Environmental Campaign - En.id
Local Wisdom Narrative in Environmental Campaign - En.id
com
Mengutip artikel ini:Ni Wayan Primayanti & Virienia Puspita (2022) Narasi kearifan lokal
dalam kampanye lingkungan hidup, Cogent Arts & Humanities, 9:1, 2090062, DOI:
10.1080/23311983.2022.2090062
Bidang: Seni & Budaya Visual; Komunikasi Media; Studi Budaya; Media &
Komunikasi
© 2022 Penulis. Artikel akses terbuka ini didistribusikan di bawah lisensi Creative Commons
Attribution (CC-BY) 4.0.
Halaman 1 dari 17
Primayanti & Puspita,Seni & Humaniora yang Meyakinkan(2022), 9: 2090062
https://doi.org/10.1080/23311983.2022.2090062
Kata Kunci: Pulau Plastik; analisis naratif; Bali; kearifan lokal; Kampanye
Lingkungan
1. Latar Belakang
Permasalahan sampah plastik di Indonesia memunculkan banyak gerakan lingkungan hidup. Salah satu proyek
tersebut adalah Pulau Plastik, proyek yang dikembangkan oleh Kopernik dan Akar Rumput bekerja sama dengan
aktivis lingkungan hidup asal Bali, Gede Robi. Plastic Island merupakan kampanye kolaboratif dalam menangani
permasalahan plastik sekali pakai di Bali. Plastic Island menggunakan budaya populer sebagai kampanye di media
sosial, tayangan dokumenter pendek, dan iklan layanan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
akan bahaya penggunaan plastik sekali pakai, mengubah perilaku sosial, dan mendorong perubahan
berkelanjutan.
Plastics Island menggunakan komunikasi lingkungan yang menarik sebagai bagian dari pendekatan kampanye unik
untuk mengidentifikasi jawaban dalam konteks yang lebih luas. Salah satu slogan kampanye Pulau Plastik adalah “Bali
Bukan Pulau Plastik” yang dieksplorasi dalam empat serial dokumenter. Keempat serial dokumenter pendek tersebut
ditayangkan di bioskop alternatif dan didistribusikan kepada masyarakat, yang didorong untuk mengamati atau
berpartisipasi dalam kegiatan menonton bersama. Keempat video pendek seri tersebut berjudul (1) Episode Segara Kertih,
(2) Episode Karmaphala, (3) Episode Bedawang Nala, dan (4) Episode Tri Hita Karana. Dongeng-dongeng dalam empat serial
dokumenter pendek tersebut dituturkan dengan menggunakan metode kearifan lokal yakni identitas dan nilai-nilai budaya,
guna melestarikan kehidupan masyarakat Bali yang ramah terhadap lingkungan. Masyarakat Bali mengikuti adat istiadat
dan kepercayaan tradisionalnya yang beragama Hindu dalam situasi ini.
Untuk menganalisis empat serial dokumenter pendek Plastic Island, peneliti menggunakan paradigma cerita
Walter Fisher dalam metode analisis naratif. Uraian cerita yang baik efektif meyakinkan dan membentuk persepsi
orang yang mendengarnya. Persepsi mengarahkan individu untuk menentukan tindakan dan sikapnya serta
mengambil keputusan untuk mendukung atau menolak ide yang diajukan (Fisher,1987).
Selain itu, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Epistemologies of the South karya Boaventura De Sousa
Santos untuk menilai secara kritis suatu solusi yang tidak mengikuti penelitian ilmiah melainkan keyakinan
masyarakat. Pengetahuan alternatif diubah menjadi informasi, yang kemudian dianalisis dan diubah menjadi
pengetahuan ilmiah. Ini adalah jenis ekstraksi kognitif di mana gerakan sosial dapat memberikan pengaruh ketika
mereka menghasilkan tidak hanya bukti ilmiah tetapi juga solusi nyata yang berpotensi mengubah sikap
masyarakat dengan informasi alternatif, yaitu keyakinan dan budaya Bali.
2. Tinjauan Pustaka
Dari segi rasionalitas naratif, harus memuat cerita yang dapat dipercaya masyarakat. Dimana ketika
membangun sebuah sejarah, unsur pengalaman, latar belakang dan budaya, probabilitas dan kesetiaan
narasi dapat dipenuhi. Alasan mengapa narasi tersebut mudah diterima dan familiar adalah karena
memiliki kesamaan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Menganalisis strategi kampanye Pulau Plastik
dengan slogan “Bali Bukan Pulau Plastik”, menghasilkan cerita yang kuat dari sudut pandang masyarakat.
Halaman 2 dari 17
Primayanti & Puspita,Seni & Humaniora yang Meyakinkan(2022), 9: 2090062
https://doi.org/10.1080/23311983.2022.2090062
budaya, kearifan lokal, dan kepercayaan masyarakat Bali. Narasi tersebut diberikan dengan dalih
melestarikan warisan budaya, menegakkan hukum adat, dan mengamalkan ajaran agama. Mereka
dimaksudkan untuk menciptakan cerita yang koheren. Sebab “alasan baik” yang muncul dalam narasi
seringkali lahir dari nilai-nilai yang juga lahir dalam sejarah, budaya, dan masyarakat, sehingga narasi
tersebut menjadi logis dan dapat diterima. Sedangkan wujud khas kehidupan beragama, sosial, budaya,
dan politik, meski diagung-agungkan oleh mereka yang menganut nalar tradisional, adalah karena mereka
tidak sebatas “logika” melainkan mengakui dan menyikapi nilai-nilai yang telah dipupuk sebagai penegasan
kembali terhadap nilai-nilai yang ada. jiwa manusia dan sebagai dasar keberadaan yang luar biasa.
Cerita sering kali membangkitkan emosi yang kuat pada orang yang melihatnya. Hal ini penting karena pemirsa sering
kali memberikan penilaian terhadap cerita yang menyertakannya. Semakin kuat konstruksi cerita, semakin banyak pula
orang yang tertarik secara emosional terhadap cerita tersebut. Menurut Littlejohn dan Foss (2009), cerita sangat penting
untuk memahami dunia.
Hal yang sama juga berlaku pada penelitian ini, dimana Plastic Island menggunakan komunikasi lingkungan sebagai
bagian dari pendekatan kampanye pengurangan penggunaan plastik sekali pakai. Merupakan gerakan yang bertujuan
untuk memberikan pengetahuan tentang pengelolaan lingkungan adaptif, gaya hidup berkelanjutan, dan komunikasi
lingkungan berdasarkan nilai dan simbol kearifan lokal dalam rangka menyelesaikan krisis lingkungan, sehingga
masyarakat Bali dapat berperilaku cerdas dalam menghadapi kesulitan lingkungan.
Santos (2014) selanjutnya mengidentifikasi “Epistemologi Selatan” sebagai pergeseran epistemologi penting
yang diperlukan untuk menciptakan kembali pembebasan sosial global. Hal tersebut melahirkan berbagai gerakan
pembebasan yang tidak semata-mata didasarkan pada pemahaman Barat terhadap dunia. Meskipun mayoritas
penduduk dunia tinggal di belahan bumi selatan, selatan bukanlah suatu pengertian geografis. Ungkapan “Selatan”
mengacu pada metafora penderitaan umat manusia dalam skala dunia akibat kapitalisme dan kolonialisme, serta
penolakan terhadap penyelesaian atau meminimalkan penderitaan tersebut. Akibatnya, mereka menjadi gerakan
antikapitalis, anti-kolonialis, anti-patriarkis, dan anti-imperialis di Selatan.
Halaman 3 dari 17
Primayanti & Puspita,Seni & Humaniora yang Meyakinkan(2022), 9: 2090062
https://doi.org/10.1080/23311983.2022.2090062
Gagasan Santos tentang “Epistemologi Selatan” memberikan landasan baru untuk mempelajari transisi
komunitas. Hal ini memungkinkan kita untuk mempertimbangkan solusi lain daripada hanya
mengandalkan informasi ilmiah, karena jawaban terhadap masalah yang sama di setiap negara berbeda-
beda, seperti yang terlihat pada permasalahan sampah plastik dan plastik sekali pakai di Bali. Karena
penggunaan plastik sekali pakai yang tidak dibatasi, setiap negara mempunyai dilema yang sama dalam
melindungi lingkungan dari sampah plastik. Namun apakah solusi tersebut dapat diterapkan di semua
wilayah? Bahkan saat ini Bali memiliki kekayaan intelektual budaya dan kearifan adat dari para
pendahulunya yang turut membantu dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sebagai jawaban alternatif,
metode Epistemologi Selatan memungkinkan peninjauan kembali otoritas budaya. Pendekatan
Epistemologi Selatan digunakan sebagai analisis kritis dalam karya ini untuk mengenali kehadiran berbagai
sistem pengetahuan sebagai alternatif pengetahuan modern atau terhubung dengan konfigurasi
pengetahuan baru.
keagamaan di Bali adalah ritual penyerahan sesajen pada sehari-hari atau pada hari tertentu. Itulah yang disebut dengan yadnya, yaitu
pengorbanan yang tulus dan suci. Tujuan persembahan adalah untuk mencari keamanan dan perdamaian di alam semesta.
Selain acara keagamaan, Bali mempunyai desa adat yang didalamnya terdapat awig-awig atau aturan.
Masyarakat Bali cenderung mengikuti adat desa awig-awig, dengan mempertimbangkan sanksi aturan
mereka sendiri jika melanggar aturan. Sanksinya beragam, mulai dari teguran, isolasi, hingga akhirnya
pengusiran dari desa. Oleh karena itu, Bali memiliki nilai kolektivisme yang relatif tinggi.
Masyarakat menjaga perdamaian budaya dan adat yang telah terjalin selama berabad-abad.
Menurut Kacen & Lee,2002), seseorang dengan kolektivisme yang kuat umumnya didorong oleh
norma dan tugas kelompok, serta mengutamakan tujuan kelompok. Ciri lain dari budaya ini adalah
anggota harus selalu menjaga perdamaian, rasa ketergantungan yang besar, dan konflik antar
anggota sebisa mungkin dihindari.
Cara pandang masyarakat terhadap kehidupan dibentuk oleh perpaduan antara agama dan adat istiadat. Kepercayaan
masyarakat Bali terhadap Tri Hita Karana, atau keselarasan antara manusia dengan Sang Pencipta, antar manusia, dan
dengan alam semesta. Untuk mempromosikan perdamaian komunal, gagasan ini membela perilaku komunitas. Ini
digunakan dalam berbagai upacara keagamaan di Bali untuk menyucikan segara, atau laut, serta untuk memberikan
pengorbanan kepada makhluk hidup seperti tumbuhan dan hewan. Dan mereka percaya pada simbol kemakmuran seperti
nasi Dewi Sri dan tanda kebijaksanaan Dewi Saraswati. Masyarakat Bali percaya pada karma, yaitu keyakinan bahwa apa
yang terjadi dalam hidup ini akan mempengaruhi kehidupan di masa depan. Apapun yang kita lakukan, baik atau buruk, kita
akan menerima hasil yang sama, meski tidak selalu pada saat yang bersamaan. Sudah menjadi ciri khas masyarakat Bali
untuk selalu menjaga keharmonisan dalam kehidupannya.
3. Metode penelitian
Peneliti menggunakan metode analisis naratif untuk mengamati bagaimana kisah kearifan lokal ini dibangun
dalam kampanye Pulau Plastik. Studi naratif memiliki beragam bentuk dengan praktik analitis yang berbeda-beda
dan berakar dari disiplin ilmu sosial dan humaniora yang berbeda (Daiute & Lightfoot,2004). Sebagai sebuah
metode, studi naratif ini dimulai dengan pengalaman yang terbukti dalam cerita yang dilihat dan diceritakan oleh
individu. Penelitian menyediakan sarana untuk menganalisis dan memahami pengalaman dan cerita tersebut.
Mengikuti Fos (1996), narasi “berfungsi sebagai argumen untuk cara tertentu dalam melihat dan
menafsirkan dunia” (hal. 400). Hal ini memungkinkan para ilmuwan untuk menyelidiki dan menggambarkan
“alam semesta yang kohesif di mana aktivitas sosial terjadi” (Berdayes & Berdayes,1998, P. 109).
Czarniawska (2004) mendefinisikan analisis naratif sebagai desain kualitatif spesifik yang cerita-ceritanya
dipahami sebagai pidato dan teks yang dikaitkan dengan peristiwa dan tindakan dalam suatu rangkaian
waktu. Penelitian ini dilakukan dengan fokus pada pembelajaran individual, pengumpulan data melalui
cerita, pelaporan pengalaman individu, dan klasifikasi makna pengalaman dalam rangkaian waktu.
Halaman 4 dari 17
Primayanti & Puspita,Seni & Humaniora yang Meyakinkan(2022), 9: 2090062
https://doi.org/10.1080/23311983.2022.2090062
Mungkin ada yang lebih tepat mengenai bagaimana budaya mengembangkan cerita dengan menggunakan metodologi
ini. Analisis naratif penulis adalah analisis struktural (Riessman,2008), yang mengalihkan fokus dari bercerita ke
menyampaikan cerita. Perhatiannya juga tertuju pada bentuk, bagaimana seorang pendongeng menciptakan sebuah cerita
yang menarik dengan menggunakan berbagai strategi bercerita, meskipun materi pokoknya masih ada.
Metode struktural ini melihat bagaimana sebuah klausa cocok dengan cerita yang lebih luas. Labov (1981) kemudian
menyesuaikan tekniknya untuk terlebih dahulu menganalisis orang-orang yang bertanggung jawab atas kekerasan tersebut
—cerita pendek yang berpusat pada topik dan diatur secara temporal—tetapi ia tetap mempertahankan elemen dasar
struktur naratif: aksi yang menyusahkan (serangkaian peristiwa atau plot, biasanya dengan krisis dan titik balik); evaluasi
(ketika narator mengambil langkah mundur dari tindakan untuk mengomentari makna dan menyuarakan emosi—yang
merupakan “jiwa” dari sebuah narasi); resolusi (hasil aliran); dan coda (mengakhiri cerita dan membawa aksi kembali ke
masa sekarang). Tidak semua cerita memiliki seluruh komponennya, dan mungkin muncul dalam urutan yang berbeda.
Penelitian naratif adalah praktik yang membosankan, mengingat metodologi dan karakteristik penelitian
deskriptif. Peneliti harus mengumpulkan informasi yang komprehensif tentang subjek penelitian dan
memahami konteks sebenarnya. Hal ini memerlukan identifikasi yang tepat atas sumber-sumber material
untuk kumpulan cerita tertentu untuk mengumpulkan pengalaman individu. Dalam penelitian ini peneliti
mempunyai keuntungan karena sudah mengenal kearifan lokal Bali.
Tujuan utama dari pemutaran film dan pendistribusian program Pulau Plastik adalah untuk (1) mengubah perilaku
masyarakat untuk menolak, mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang, dan (2) mendukung penerapan
kebijakan larangan penggunaan plastik sekali pakai oleh pemerintah Bali. Lebih dari 50 desa di Bali, Lombok, Jawa,
Sumatera, Sulawesi, Timor, dan Papua berpartisipasi dalam episode percontohan Pulau Plastik dalam berbagai kegiatan.
Robi yang berpakaian seperti Celuluk membuat takut orang-orang di tempat berkumpulnya orang banyak. Robi mengumpulkan
plastik untuk keperluan umum dan menggantinya dengan plastik yang dapat digunakan kembali. Gambar di akhir seri
menggambarkan ritual masyarakat berdoa di pantai. Menggambarkan bagaimana umat Hindu Bali menjaga pantai melalui berbagai
ritual yang diturunkan dari nenek moyang mereka. Segara Kertih diterjemahkan menjadi “pemurnian laut”. Sampah plastik yang
dibuang akan berakhir di laut dan mencemari lingkungan. Hal ini bertentangan dengan kepercayaan masyarakat Bali yang
berpendapat bahwa laut adalah tempat suci dimana banyak makhluk hidup hidup dan harus dilestarikan.
Robi kerap menyebut laut kotor dari awal hingga akhir video. Laut menyediakan sumber penghidupan
bagi umat manusia, khususnya masyarakat Bali. Laut merupakan tempat suci bagi umat Hindu karena
digunakan untuk pembersihan dan penyucian hampir dalam setiap proses keagamaan. Narasi yang
dibangun berdasarkan kepercayaan Hindu, yang menyatakan bahwa laut adalah istana Dewa Baruna.
Sebagai wujud rasa syukur dan persembahan kepada penguasa laut, Segara Kertih, diadakan upacara suci
khusus. Selain upacara, juga dilakukan ritual lain seperti Melasti (rangkaian Nyepi) dan nganyud (rangkaian
Ngaben).
Halaman 5 dari 17
Primayanti & Puspita,Seni & Humaniora yang Meyakinkan(2022), 9: 2090062
https://doi.org/10.1080/23311983.2022.2090062
ItuGambar 1Di atas adalah adegan dalam episode “Segara Kertih”, dimana umat Hindu melakukan ritual ngayud,
yaitu dengan mengapungkan abu setelah prosesi ngaben (kremasi) atau sebagai perlambangan roh dalam
rangkaian dedaunan dan bunga. Ritual Ngayud melambangkan manusia terbebas dari kehidupan alam semesta
dan menuju kesucian abadi.
Kampanye ini mengajak penonton untuk melestarikan laut tidak hanya dalam ritual tetapi juga dalam perilaku
sehari-hari di episode Segara Kertih. Contoh paling mendasar adalah menghindari pembuangan sampah,
khususnya sampah plastik, ke laut. Tanpa disadari, sampah merupakan penyebab utama pencemaran laut.
Ironisnya kita mencemari bumi dengan sampah plastik. Dengan menggunakan ajaran Segara Kertih, nenek
moyang kita merancang strategi untuk melestarikan laut dan isinya sebagai sumber kehidupan bagi seluruh dunia.
Kesetiaan naratif mengacu pada komitmen terhadap narasi cerita di mana cerita yang diciptakan identik
dengan yang dibuat dan hidup di Bali. Dalam episode Segara Kertih, ketika keyakinan akan penjernihan laut
mengubah perilaku masyarakat untuk berhenti membuang sampah ke laut, penunjukan cerita sebagai
solusi berkontribusi pada kesetiaan narasi.
Selanjutnya episode ini menampilkan makhluk menakutkan bernama Celuluk. Bali mempunyai masyarakat yang
hidup di dua dunia: sekala (dunia nyata) dan niskala (dunia mimpi). Celuluk merupakan salah satu spesies yang
hidup di Niskala. Dalam filsafat Hindu, Celuluk digambarkan sebagai monster mengerikan yang mengganggu
kehidupan manusia, dan dikaitkan dengan kampanye “Bali Bukan Pulau Plastik”. Dalam episode ini, Celuluk
diibaratkan sebagai roh pendendam yang menghantui umat manusia ketika lingkungannya tercemar sampah
plastik. Narasi-naratif tersebut kemudian memberikan peringatan kepada masyarakat akan bahaya sampah plastik
terhadap lingkungan. Alhasil, keakuratan penuturan simbol Celuluk pun dipercaya dalam kehidupan nyata. Berikut
simpulan simbol-simbol yang dihasilkan dan analisis narasi dalam serial dokumenter episode Segara Kertih yang
terangkum dalamTabel 1.
Menurut Littlejohn dan Foss (2009), studi komunikasi lingkungan akan menyelidiki ide-ide seperti
budaya inti dan kritik retorika. Narasi lingkungan yang mengamati sifat manusia atau pasangan
budaya-alam sebagai faktor pengatur ideologis yang menemukan narasi lingkungan yang dominan
dapat direproduksi atau dihancurkan. komunikasi semua orang, mulai dari masyarakat umum
hingga aktivis lingkungan hidup. Dalam episode kali ini, Pulau Plastik mengenang kembali wawasan
kearifan lokal dan mengajak masyarakat untuk menerapkan kembali nilai-nilai agama Hindu.
Halaman 6 dari 17
Primayanti & Puspita,Seni & Humaniora yang Meyakinkan(2022), 9: 2090062
https://doi.org/10.1080/23311983.2022.2090062
Ritual ibadah umat Hindu Bali Sudah menjadi rahasia umum jika
masyarakat Bali kerap melakukan
ritual peribadahan di sumber air,
termasuk laut. Pemujaan ini
dilakukan karena masyarakat
percaya bahwa laut adalah sumber
penyucian dan kesucian. Narasi
membuang sampah plastik ke laut
bertolak belakang dengan
keyakinan bahwa laut harus tetap
bersih dan murni (Segara Kertih).
memilah sampah berdasarkan ukuran rumah tangga, memisahkan sampah organik dan anorganik. Robi meminta
masyarakat pedesaan memilah sampah sebagai bagian dari proses pemilahan sampah.
Olivier Pouillon, pendiri Kono dan Gringgo Trash Tech, juga diwawancarai oleh Robi. Ia meminta agar
Olivier mendidik orang lain cara memilah sampah. Sampah yang telah dipilah, terutama botol plastik,
disalurkan ke bank sampah I Nyoman Astawa. Saat Navicula selesai tampil, Robi menarik perhatian
penonton, dan pengendara band tidak menggunakan plastik.
Plot berlanjut dengan Pulau Plastik mencari seseorang yang tidak menggunakan plastik saat berbelanja di salah
satu department store di Denpasar. Setelah beberapa waktu berlalu, seseorang dipilih untuk membawa tas
belanjaannya sendiri. Walikota Denpasar, Ida Bagus Rai Mantra, memberikan kesaksian mendukung Perwali No
36/2018 yang melarang penggunaan plastik sekali pakai.
Dalam filosofi budaya Hindu Bali, Karmaphala merupakan keyakinan mendasar umat Hindu yang
mengakui akibat dari perbuatan. Robi mengupas bagaimana sampah yang dibuang sembarangan oleh
masyarakat akan merusak kehidupan dan bagaimana dampak buruk tersebut akan kembali ke asalnya di
episode kedua ini. Inilah bagaimana makna narasi karmaphala diangkat. Apa yang kita tanam, itulah yang
akan kita panen, sesuai narasi yang dibangun.
Subak merupakan tempat suci di Bali yang memiliki sistem irigasi. Hal ini dikarenakan Subak memberikan
manfaat yang sangat besar bagi sawah yang banyak airnya. Membuang sampah ke sungai yang kemudian
menumpuk di sawah tentu saja akan mencemari kawasan keramat sehingga menimbulkan penderitaan
bagi para petani. Subak merupakan sistem irigasi di Bali yang mengairi sawah sehingga seluruhnya dapat
diairi. Sumber airnya nyata, begitu pula tempat keramat yang disebutkan dalam film.Gambar 2
menunjukkan bagaimana aktivitas Subak ini digambarkan dalam film. Masyarakat Bali melakukan ritual
untuk menjaga kesucian sumber air pada hari-hari tertentu. Kesetiaan narasi episode ini bisa dikatakan
tepat.
Cerita berlanjut dengan Robi yang memilah sampah organik dan anorganik dari skala rumah tangga hingga skala desa.
Ada juga cerita tentang karmaphala, dan bagaimana pengelolaan sampah yang baik akan memberikan imbalan bagi
pengelolanya. Meski penanganan sampahnya cukup sederhana, namun kelalaiannya berdampak buruk.
Robi mewawancarai Ida Bagus Rai Mantra, Walikota Denpasar, tentang dilema pengelolaan sampah di Bali.
Kantong plastik sekali pakai sudah dilarang di toko-toko dan kedai makanan di Denpasar mulai tahun 2019.
Peraturan ini mempertimbangkan sejumlah faktor, salah satunya adalah permasalahan yang semakin berkembang.
Halaman 7 dari 17
Primayanti & Puspita,Seni & Humaniora yang Meyakinkan(2022), 9: 2090062
https://doi.org/10.1080/23311983.2022.2090062
Gambar 2. Masyarakat
membersihkan sistem irigasi subak.
sampah plastik di Denpasar, Bali. Inisiatif positif ini diharapkan membuahkan hasil positif, karena
permasalahan sampah tentunya akan membatasi minat pengunjung ke Bali.
Kisah Karmaphala berlanjut hingga akhir video ini. Langkah yang baik akan memberikan hasil yang
baik. Pada kenyataannya, cara kita mengelola sampah dan membatasi penggunaan plastik sekali
pakai untuk melindungi lingkungan akan membawa hasil positif, yaitu melindungi bumi. Simbol-
simbol keyakinan yang muncul dalam episode ini menunjukkan kesetiaan narasi. Berikut rangkuman
analisis naratif rasionalitas pada episode Karmaphala yang dapat dilihat pada Meja 2.
Walter Fisher (1984) menyampaikan hal serupa, menggambarkan perspektif naratif sebagai metafora aliran pengalaman
manusia. Semua wacana nasehat dibangun di atas landasan cerita. Menghitung dan menceritakan kembali adalah cerita
yang kita ceritakan pada diri kita sendiri dan orang lain untuk menciptakan alam semesta keberadaan yang bermakna,
Halaman 8 dari 17
Primayanti & Puspita,Seni & Humaniora yang Meyakinkan(2022), 9: 2090062
https://doi.org/10.1080/23311983.2022.2090062
terlepas dari bentuknya. Setiap model penghitungan dan penceritaan kembali merupakan teknik menghubungkan
kebenaran tentang kondisi manusia, namun karakter, konflik, keteguhan hati, dan gaya narator akan berbeda-beda.
Selanjutnya, Robi dan Putu Evie dari Trash Hero memberikan sedotan bambu kepada pedagang kaki lima yang
masih menggunakan sedotan plastik. Robi menawarkan solusi kepada pemilik warung makan sebagai pengganti
kemasan plastik menjelang akhir cerita. Setidaknya, strategi ini sangat efektif dalam meminimalisir penggunaan
plastik sekali pakai.
Bedawang atau Bedawang Nala, dalam mitologi Bali, adalah seekor kura-kura raksasa yang membawa seluruh dunia di
punggungnya. Ia merupakan keberangkatan dari Antaboga dalam legenda penciptaan dunia. Dunia manusia didukung oleh
dia dan dua naga. Akan terjadi gempa bumi dan ledakan gunung berapi di bumi jika bergerak.
Kisah itulah yang muncul di awal video ini. Robi bertanya-tanya bagaimana keseimbangan alam akan
dipulihkan jika hewan milik Tuhan lainnya, seperti penyu, terancam oleh aktivitas manusia. Kaitannya
terlihat dalam kepercayaan Hindu Bali, dimana penyu dianggap sebagai penyeimbang kosmis. Penyu-penyu
dalam serial ini didasarkan pada video viral di mana seekor penyu menelan sedotan plastik.
Dapat dilihat digambar 3, dalam salah satu adegan, terlihat seorang penyelamat mengeluarkan sedotan plastik
yang sudah lama tertancap di hidung penyu. Jerami tersebut diketahui telah mengeras dan menghambat
pernapasan penyu.
Robi dan teman-teman pahlawan sampahnya menawarkan sedotan bambu kepada pedagang kaki lima untuk menghindari bahaya
penggunaan sedotan plastik yang mengganggu keseimbangan alam. Para pedagang telah diberitahu bahwa sedotan plastik ini dapat
membahayakan nyawa anjing berusia puluhan tahun. Penyu dianggap suci dalam agama Hindu dan direpresentasikan sebagai
penyeimbang alam semesta.
Dalam filsafat Hindu, penyu atau kura-kura merupakan tempat bersemayamnya Dewa Wisnu, Dewa yang
digambarkan sebagai pemelihara alam semesta. Bhedwangnala berasal dari kata Kawi “bheda,” yang berarti
ditutupi jerami.
Halaman 9 dari 17
Primayanti & Puspita,Seni & Humaniora yang Meyakinkan(2022), 9: 2090062
https://doi.org/10.1080/23311983.2022.2090062
berarti lain, kelompok, atau pembedaan. Sedangkan “wang” berarti kebetulan dan “nala” berarti api. Bhedawang
Nala dengan demikian merupakan kelompok yang menjamin adanya api. Penafsiran api ini dapat merujuk pada api
literal (alias magma) dan simbol energi kekuatan kehidupan. Bhedawang Nala berarti “kekuatan bumi yang
diciptakan Tuhan untuk dipelihara dan dikembangkan” karena letaknya yang rendah. Kura-kura yang dikenal
dengan nama Bedawang Nala ini akhirnya digunakan untuk membangun Padmasana, sebuah tempat suci Hindu
tempat umat Hindu menyembah Tuhan.
Episode ini menunjukkan kesetiaan naratif dengan memberikan skenario yang masuk akal. Penuturan
Bedhawang Nala, seperti halnya mitologi Hindu, adalah tentang bagaimana keberadaan sampah plastik di perairan
mengancam kehidupan penyu. Cara menjaga keseimbangan penyu sekaligus menjaga keseimbangan alam
semesta adalah dengan tidak membuang sampah sembarangan. Berikut ini rangkuman analisis naratif simbol-
simbol dalam episode Bedawang Nala, seperti tampak padaTabel 3.
Konsep manusia sebagai pendongeng menunjukkan bentuk keseluruhan dari keseluruhan kumpulan simbol.
Menurut Fisher (1984), simbol-simbol dihasilkan dan disebarluaskan sebagai kisah-kisah yang mengatur
pengalaman manusia dan menginspirasi orang lain untuk hidup di dalamnya guna membangun cara hidup
bersama dalam komunitas di mana kisah-kisah yang membentuk kehidupan seseorang diperbolehkan. Bedhawang
Nala tampil sebagai lambang narasi keseimbangan terkait alam semesta dalam serial dokumenter episode ini.
Narasi justru mendistorsi dan bukan mencerminkan masa lalu. Cara pendongeng memilih untuk menyampaikan
peristiwa dan membuatnya menarik bagi orang lain dipengaruhi oleh imajinasi dan kepentingan strategisnya
(Riessman, 2008). Narasi berguna dalam penelitian karena pendongeng menafsirkan masa lalu, bukan sekadar
mengulanginya. “Kebenaran” cerita naratif terletak pada pergeseran hubungan antara masa lalu, masa kini, dan
masa depan, bukan pada representasi setia realitas sebelumnya.
Padagambar 4, pemeran utama, Robi, berbicara dengan sulinggih, atau pemimpin ritual Bali. Mengingat sampah
ini dari sudut pandang agama menggambarkan plastik secara negatif. Dengan menggunakan konsep tas sukla
(bersih), praktik masyarakat Bali membeli alat salat dengan plastik diterjemahkan ke dalam tas belanja.
Dalam adegan terakhir, Robi dan bandnya, Navicula, melakukan konser musik untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Rangda seolah menakut-nakuti masyarakat yang terus menggunakan kemasan plastik sekali pakai menjelang akhir konser.
Halaman 10 dari 17
Primayanti & Puspita,Seni & Humaniora yang Meyakinkan(2022), 9: 2090062
https://doi.org/10.1080/23311983.2022.2090062
Dalam agama Hindu dan Bali, Tri Hita Karana mengacu pada tiga hubungan yang harus seimbang.
Manusia-Tuhan, manusia-manusia, dan manusia-alam adalah tiga hubungan yang disebutkan. Narasi yang
tercipta pada episode terakhir serial film pendek kampanye “Bali Bukan Pulau Plastik” adalah bagaimana
manusia harus menjaga keharmonisan alam. Hal ini berkaitan dengan keseimbangan alam semesta melalui
pelestarian ketiga hubungan tersebut.
Ilustrasi tersebut menggambarkan Robi ikut serta dalam operasi koperasi membersihkan candi Hindu yang
kotor dan penuh sampah plastik. Berbeda dengan gagasan harmoni Tri Hita Karana. Setelah itu, Robi mengajak
para pemuda Bali untuk membersihkan pura tersebut agar kesuciannya kembali kembali.
Gambar 5menunjukkan orang-orang membersihkan Pura Lempuyang. Dalam adegan ini, banyak pelajar
Bali yang membersihkan area suci Pura Lempuyang, salah satu pura terbesar di Bali. Hal ini dilakukan untuk
mengembalikan kesucian pura dari kotoran masyarakat saat melakukan kegiatan keagamaan. Oleh karena
itu, konsep plastik menjadi leteh, atau kotor dalam bahasa Bali, menjadi inti cerita video ini. Seorang
pemuka agama Hindu di Bali, menurut Robi, menilai konsep plastik itu kotor. Dengan menciptakan narasi
bahwa plastik itu kotor, umat Hindu dilarang membawa plastik ke kuil. Membawa plastik ke kuil dikaitkan
dengan membuat kuil menjadi najis. Membawa sarana salat plastik bukanlah jawabannya. Penggunaan
plastik untuk menutupi yadnya atau sesaji yang berharga dapat mencemari kesucian pura.
Halaman 11 dari 17
Primayanti & Puspita,Seni & Humaniora yang Meyakinkan(2022), 9: 2090062
https://doi.org/10.1080/23311983.2022.2090062
Umat Hindu di Bali sering kali menutupi area sembahyang mereka dengan plastik (seperti yang terlihat
pada gambarGambar 6), karena dianggap sukla, atau bersih. Namun perilaku ini berbahaya bagi
lingkungan. Akibatnya, Pulau Plastik menciptakan narasi bahwa plastik mencemari lingkungan dan
penerapannya terbatas. Hal ini berbahaya bagi lingkungan dan memberi label leteh (kotor) pada plastik.
Konsep “sukla” dan “leteh” dalam arti kesetiaan penuturan berbeda dengan kepercayaan masyarakat setempat,
dimana “sukla” kabarnya diasosiasikan dengan fasilitas yang bersih, modern, dan murni. Kalau dilihat dari
kebiasaan masyarakat Bali yang membungkus sarana upacara dengan plastik baru dan bersih, kebersihannya tetap
terjaga. Namun, integritas narasinya berubah secara signifikan, dengan kata “leteh”, yang merupakan kebalikan
dari “sukla”, yang digambarkan sebagai tidak membawa plastik ke dalam tempat ibadah. Membawa plastik ke
tempat ibadah atau pura akan mengakibatkan pura menjadi kotor akibat sampah plastik tersebut. Masyarakat
diimbau untuk menghindari penggunaan plastik dan mencari alternatif lain seperti daun pisang, tas pakai ulang,
atau media non-plastik lainnya.
Karena tas yang dapat digunakan kembali tidak dijamin bersih dan murni atau “sukarela”, terdapat
kontroversi di masyarakat. Namun pada episode kali ini, digunakan seorang Sulinggih atau tokoh agama
yang membenarkan narasi dalam video pendek tersebut untuk memperkuat plot. Narator berharap narasi
yang dibangun dapat diapresiasi dengan baik di masyarakat.
Plastic Island menyoroti bagaimana pengurangan plastik sekali pakai secara tidak langsung akan
menyeimbangkan alam semesta, mulai dari perlindungan terhadap hewan dan tumbuhan, serta sesama
manusia, karena tidak akan terjadi penumpukan sampah plastik yang berdampak pada perekonomian dan
pariwisata. Terakhir, buku ini mengeksplorasi hubungan kita dengan kodrat Tuhan dan cara kita
menjaganya. Berikut rangkuman analisis naratif melalui simbol-simbol pada episode Tri Hita Karana, dan
dapat dilihat padaTabel 4.
Perlu dicatat bahwa narasi adalah gaya komunikasi universal. Namun, hal ini dapat bersifat spesifik
dan efektif untuk populasi sasaran tertentu. Pertama, cerita mewakili pengalaman dunia dengan
bertindak berdasarkan berbagai indera, akal dan emosi, kecerdasan dan imajinasi, serta fakta dan
nilai umum pada saat yang bersamaan. Kedua, probabilitas dan fidelitas naratif tidak diajarkan
karena diperoleh melalui kemampuan dan pengalaman melalui pendidikan dan menjadi mahir
dalam memahami dan menerapkan prinsip-prinsip ini, seperti halnya Pulau Plastik.
Halaman 12 dari 17
Primayanti & Puspita,Seni & Humaniora yang Meyakinkan(2022), 9: 2090062
https://doi.org/10.1080/23311983.2022.2090062
narasi kampanye yang merekonstruksi kearifan lokal dan kepercayaan Bali sebagai nasihat untuk berbuat
baik bagi lingkungan. Meski masyarakat tidak menyadari bahwa nilai tersebut disisipkan sebagai tindakan
persuasif dalam komunikasi lingkungan, namun cerita ini diterima begitu saja karena memiliki probabilitas
naratif dan kesetiaan naratif berdasarkan pengalaman dan nilai-nilai bersama.
“Bali Bukan Pulau Plastik” merupakan serial dokumenter yang menceritakan pengetahuan alternatif yang ada
selama puluhan tahun namun terlupakan demi modernitas. Menurut Santos (2014), kami tidak kehabisan alternatif.
Yang hilang adalah perspektif alternatif terhadap jawaban-jawaban lainnya. Informasi adalah
Halaman 13 dari 17
Primayanti & Puspita,Seni & Humaniora yang Meyakinkan(2022), 9: 2090062
https://doi.org/10.1080/23311983.2022.2090062
diterjemahkan menjadi pengetahuan alternatif, yang selanjutnya dievaluasi dan diubah menjadi
pengetahuan ilmiah.
Kami belajar bahwa ekologi pengetahuan didasarkan pada premis pragmatis bahwa sangat penting untuk
mengevaluasi intervensi nyata di masyarakat dan alam yang diberikan oleh berbagai bentuk pengetahuan dalam
narasi serial dokumenter Pulau Plastik. Pendekatan ini berfokus pada hubungan antara pengetahuan dan hierarki
yang dibangun di antara keduanya, karena tidak akan ada praktik nyata tanpa adanya pengetahuan. Dibandingkan
dengan hierarki pengetahuan yang bersifat tunggal, universal, dan abstrak, ekosistem pengetahuan lebih memilih
hierarki yang didasarkan pada konteks, dengan mempertimbangkan hasil tertentu yang dimaksudkan atau dicapai
oleh berbagai aktivitas pengetahuan (Santos,2014).
Santos (2014) juga menunjukkan bahwa kita harus membedakan dua skenario. Yang pertama adalah keputusan
antara intervensi-intervensi yang bersaing dalam dominan sosial yang sama di mana berbagai bentuk informasi
saling bertabrakan. Dalam skenario ini, prinsip kehati-hatian harus mengarah pada keputusan berdasarkan
penilaian demokratis atas manfaat dan kerugian, bukan berdasarkan hierarki pengetahuan yang abstrak. Hal ini
memunculkan kembali kearifan lokal sebagai pengetahuan alternatif dalam perubahan bertahap yang tidak dapat
diperkirakan oleh pemahaman barat. Beragam mode kehadiran, ide, atau perasaan; metode memahami waktu dan
hubungan antara manusia dan non-manusia; cara menghadapi masa lalu dan masa depan; dan pengorganisasian
kehidupan secara kolektif merupakan contoh keberagaman.
Setiap episode serial dokumenter Bali Bukan Pulau Plastik menghadirkan perspektif berbeda tentang bagaimana
kearifan adat masyarakat Bali berkembang menjadi pengetahuan alternatif untuk memecahkan tantangan. Dalam
episode “Segara Kertih” misalnya, para aktor dokumenter secara ilmiah menggambarkan keadaan ikan yang
tercemar mikroplastik yang membahayakan tubuh. Masyarakat membuang plastik ke sumber air, terutama laut,
dimana plastik tersebut dikonsumsi oleh ikan dan tertinggal di dalam tubuhnya. Ketika manusia mengkonsumsi
ikan, mikroplastik pada ikan tersebut dapat menyebabkan kanker jika mengendap di dalam tubuh manusia. Ketika
kisah ini diceritakan kepada masyarakat Bali, khususnya masyarakat menengah ke bawah, belum tentu mereka
akan memahami penjelasan ilmiah tentang mikroplastik, dan tidak akan menghentikan mereka untuk membuang
sampah plastik ke laut. Dongeng dari kearifan lokal tersebut kemudian dipadukan dengan simbol keagamaan,
seperti lautan sebagai lokasi keramat atau “Segara Kertih”. Masyarakat masih mengingat kepercayaan tradisional
yang melarang mencemari situs suci. Masyarakat Bali tidak percaya pada takhayul karena mereka menganggap
apa yang disebut “larangan” telah dilanggar. Mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka.
Sanksinya berupa “teguran” tidak langsung yang akan diterimanya saat ini atau di kemudian hari. Masyarakat Bali
menjadi sasaran narasi yang memadukan informasi ilmiah dengan pengetahuan alternatif yang berasal dari
kepercayaan populer.
Para pemain memperkenalkan metode irigasi Subak dari sejarah tradisional masyarakat Bali dalam
episode “Karmaphala”. Sistem irigasi yang sudah berusia ribuan tahun di beberapa negara Asia digantikan
pada tahun 1960an dengan teknik irigasi modern yang didukung oleh para aktivis revolusi hijau. Sistem
irigasi kuno di Bali, Indonesia, didasarkan pada pengetahuan leluhur, pertanian, dan hidrologi dan diawasi
oleh Dewi-Danu, dewi air dalam agama Hindu (Callicott,2001: 89–90). Transisi ini mempunyai dampak yang
signifikan terhadap pertanian padi ketika hal itu terjadi. Sungguh mengerikan bahwa sistem ilmiah harus
ditinggalkan demi sistem yang lama. Tragedi yang sebenarnya, bagaimanapun, adalah dugaan
ketidakcocokan antara dua sistem pengetahuan yang dirancang untuk melakukan intervensi yang sama—
irigasi sawah—sebagai akibat dari pemeriksaan situasi yang tidak tepat yang disebabkan oleh penilaian
abstrak (berdasarkan validitas pengetahuan modern yang universal) mengenai nilai-nilai relatif dari sistem
pengetahuan. berbagai jenis pengetahuan. Sebuah model numerik—salah satu bidang sains yang paling
sulit—bertahun-tahun kemudian membuktikan bahwa rantai air yang ditangani oleh pendeta Dewi-Danu
secara signifikan lebih berhasil dibandingkan sistem irigasi ilmiah yang dilacak (Callicott,2001: 94).
Oleh karena itu, masyarakat Bali beranggapan bahwa melestarikan warisan leluhur merupakan hal yang penting bagi
eksistensi komunal. Temuan fakta Pulau Plastik dalam episode Karmaphala menunjukkan bagaimana sampah plastik
mencemari sistem irigasi atau Subak. Pulau Plastik menggunakan cerita “Karmaphala” sebagai hukuman jika tidak
Halaman 14 dari 17
Primayanti & Puspita,Seni & Humaniora yang Meyakinkan(2022), 9: 2090062
https://doi.org/10.1080/23311983.2022.2090062
memelihara sistem irigasi dengan baik. Masyarakat Bali percaya bahwa perbuatan baik dan jahat sama-sama mempunyai
karma, atau akibat dari perbuatan baik dan buruk. Ketika nenek moyang kita mewariskan sistem irigasi yang dirancang
dengan baik, kita harus berhati-hati untuk menghindari konsekuensi negatif di masa depan.
Pengetahuan non-ilmiah yang tersebar di antara bawahan masuk dan keluar dari praktik ilmiah,
dihormati, dan praktik sosial yang mereka pertahankan, krisis dan bencana dapat dihindari.
Menghargai pengetahuan non-ilmiah tidak berarti meremehkan informasi ilmiah dalam ekosistem
pengetahuan. Hal ini memerlukan penerapan kontra-hegemoni melalui pengetahuan ilmiah. Di satu
sisi, ia menyelidiki prosedur ilmiah alternatif epistemologi jamak (Santos,2014).
Bentuk pengetahuan masyarakat pedesaan dan masyarakat adat membantu pelestarian keanekaragaman hayati, yang ironisnya,
kini terancam karena meningkatnya inisiatif berbasis ilmu pengetahuan (Santos dkk.,2007). Sekali lagi, budaya muncul sebagai cerita
yang kredibel untuk menjelaskan kembali pengetahuan alternatif dalam ranah perlindungan alam semesta.
Alih-alih berwacana, Pulau Plastik menyajikan kisah-kisah yang mengarah pada solusi. Pulau Plastik
menggambarkan simbol penyu sebagai penyeimbang dalam episode “Bedhawang Nala.” Menyinggung topik yang
diangkat yaitu penyu yang ditemukan terluka setelah memakan sedotan plastik. Masyarakat Bali bisa hidup tanpa
merusak alam sebelum teknologi modern hadir dan masyarakat belum pernah mendengar tentang plastik. Ketika
plastik membantu manusia, hal itu menjadi bahaya bagi lingkungan. Pulau Plastik memberikan solusi dari sejarah
adat yang hilang, seperti membungkus dengan daun kelapa atau pisang dan menggunakan tas anyaman bambu
atau rotan sebagai pengganti kantong plastik. Karena pemahaman saat ini, kekayaan lokal ini menjadi jawaban
yang terlupakan.
Terakhir, Plastic Island memperkenalkan filosofi yang harus dianut masyarakat Bali dalam kehidupan
sehari-hari: “Tri Hita Karana,” yang berarti “hidup selaras dengan alam dan Sang Pencipta.” Gagasan luas
“Tri Hita Karana” diringkas menjadi pengetahuan tentang bagaimana mengubah konsep amalan shalat.
Menurut cerita, penggunaan plastik untuk tujuan suci adalah hal yang “leteh” atau kotor. Gagasan “leteh”
sering dikaitkan dengan benda-benda yang tidak suci atau benda-benda yang bukan “sukla”. Oleh karena
itu, cerita yang tercipta adalah imbauan untuk tidak membawa plastik ke tempat salat, karena dapat
membuat tempat tersebut menjadi “leteh” atau najis. Kisah Pulau Plastik dapat digunakan untuk
menerjemahkan pengetahuan alternatif menjadi informasi, yang selanjutnya dapat dianalisis dan diubah
menjadi pengetahuan ilmiah. Ini adalah jenis ekstraksi kognitif yang memiliki karakteristik tertentu dengan
ekstraksi material sumber daya alam, yang kini menjadi metode akumulasi modal paling umum di banyak
wilayah di dunia. Serial dokumenter ini mengkaji bagaimana pemahaman budaya dan pengetahuan lokal
diterjemahkan ke dalam dongeng yang menginspirasi masyarakat untuk menjaga lingkungan dengan
menghormati leluhur mereka. “Tri Hita Karana” merupakan cara hidup masyarakat Bali yang menyadap
informasi kontemporer yang mengancam keseimbangan eksistensi yang selaras dengan alam.
5. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat ditentukan bahwa empat serial dokumenter pendek yang dikenal
dengan Pulau Plastik memiliki struktur narasi yang sama dengan Pulau Plastik. Nilai-nilai pengetahuan dan
filosofi asli masyarakat Bali tercermin dari persamaannya. Plastic Island meyakini permasalahan
penggunaan dan sampah plastik dapat diatasi dengan berkaca pada pemahaman kearifan lokal yang ada di
kalangan masyarakat Bali.
Penelitian ini mengkaji empat serial dokumenter pendek dari Plastic Island yang menunjukkan koherensi
dan kesetiaan naratif dengan standar masyarakat. Mereka lebih cenderung mengusung paham kearifan
dan keyakinan komunal sehingga informasi yang disampaikan dapat dipercaya. Namun hal ini tidak berarti
bahwa keempat video tersebut memiliki kebenaran narasi yang sempurna. Pada episode Tri Hita Karana,
masyarakat diminta untuk mengubah nalar yang tumbuh dalam diri mereka dan kembali pada praktik
leluhur, dimana masyarakat bisa hidup dan melakukan sesaji atau yadnya tanpa menggunakan plastik pada
masa lalu. Serial ini tidak memiliki gaya narasi yang terjadi di komunitas tradisional Bali. Peraturan desa
atau awig-awig merupakan kebutuhan masyarakat di desa
Halaman 15 dari 17
Primayanti & Puspita,Seni & Humaniora yang Meyakinkan(2022), 9: 2090062
https://doi.org/10.1080/23311983.2022.2090062
ikuti karena ini masalah keyakinan. Jika pemikiran mengenai penggunaan plastik tidak bisa diubah,
sebaiknya dilakukan di desa adat.
Karena pengaruhnya terhadap ide-ide yang muncul sebagai entitas yang dapat dikenali dalam wacana publik,
maka gagasan paradigma naratif harus dipahami. Narasi bagi individu, komunitas, atau masyarakat umum
mempunyai arti penting untuk digunakan sebagai sarana persuasif dalam sebuah kampanye dengan mengevaluasi
koherensi dan integritas narasi penerima pesan.
Narasi yang disuguhkan dengan menghadirkan nilai-nilai kearifan lokal, budaya, dan kepercayaan
masyarakat menjadi solusi bagi pengetahuan alternatif yang tidak terdapat dalam pengetahuan saat ini,
menurut gagasan epistemologi selatan. Masalah yang sama tidak dapat ditangani di setiap negara dengan
pendekatan yang sama. Masing-masing telah mengembangkan berbagai nilai dan pandangan di bidang
tersebut. Santos (2014) mengungkapkannya berdasarkan premis epistemologi selatan. Sebagai permulaan,
visi Tiongkok mengenai dunia jauh lebih besar dibandingkan pemahaman Barat. Hal ini menunjukkan
bahwa dunia dapat berubah dengan cara yang tidak dapat diramalkan oleh filsafat Barat, bahkan oleh
pemikiran kritis. Kedua, keberagaman di dunia tidak terbatas. Beragam mode kehadiran, ide, atau
perasaan; perbedaan cara memandang waktu dan hubungan antara manusia dan bukan manusia; berbagai
metode untuk menghadapi masa lalu dan masa depan; dan cara-cara berbeda dalam mengatur keberadaan
secara kolektif merupakan contoh keberagaman. Karena teori dan konsepsi yang terbentuk di negara-
negara Utara dan diterapkan di kalangan akademisi tidak mengidentifikasi alternatif-alternatif tersebut,
maka luasnya kehidupan alternatif, keramahtamahan, dan hubungan dengan dunia ini sebagian besar sia-
sia. Dalam contoh ini, Pulau Plastik membuat kampanye bertajuk Bali Bukan Pulau Plastik yang bercerita
berdasarkan kearifan lokal. Masyarakat lebih mempercayai nilai-nilai lokal dibandingkan penjelasan ilmiah
terkait pelestarian lingkungan. Nenek moyang masyarakat Bali telah mewariskan informasi yang tidak
didokumentasikan secara lisan namun terbukti mampu mendamaikan kehidupan dengan alam.
Peneliti tidak menyelidiki cerita yang sama di media lain, yang merupakan kelemahan penelitian
ini. Peneliti menganalisis cerita umum dan cerita komunitas tertentu. Hasilnya, pesan tersebut
berhasil karena adanya unsur kedekatan yang bersumber dari pengalaman, pengetahuan, dan cita-
cita masyarakat. Penelitian di masa depan akan mampu mengkaji materi yang lebih rumit. Studi ini
dapat digunakan untuk mengembangkan rencana kampanye yang mempertimbangkan pendekatan
naratif pengetahuan lokal dalam suatu komunitas untuk memastikan bahwa pesan yang
disampaikan berhasil.
Halaman 16 dari 17
Primayanti & Puspita,Seni & Humaniora yang Meyakinkan(2022), 9: 2090062
https://doi.org/10.1080/23311983.2022.2090062
Labov, W.(1981). Tindakan dan reaksi tuturan dalam diri seseorang Santos, BDS, Paula Meneses, M., & Arriscado
narasi akhir. Dalam D. Tannen (Ed.),Menganalisis Wacana: Nunes, J.(2007). Membuka kanon pengetahuan dan
Teks dan Ceramah(hlm.219–247), Washington DC: pengakuan perbedaan. Dalam B. de Sousa Santos (Ed.),
Georgetown University Press. Pengetahuan lain mungkin ada: Di luar epistemologi
Littlejohn, SW, & Foss, KA (2009).Ensiklopedia dari utara(hal.xvix–lxii). Sebaliknya.
teori komunikasi. SAGE.
Riessman, CK (2008). Analisis Narasi. Dalam Lisa M. Diberikan Santos, BDS (2014).Epistemologi Selatan: Keadilan
(Edisi),Metode penelitian kualitatif(Jil. 1&2, hal.539– melawan epistemisida. Grup Routledge Taylor & Fracis.
540). Sage Publications, Inc. Situs web
© 2022 Penulis. Artikel akses terbuka ini didistribusikan di bawah lisensi Creative Commons Attribution (CC-BY) 4.0.
Anda tidak boleh menerapkan ketentuan hukum atau tindakan teknologi yang secara hukum membatasi orang lain untuk melakukan apa pun yang diizinkan oleh lisensi.
Seni & Humaniora yang Meyakinkan(ISSN: 2331-1983) diterbitkan oleh Cogent OA, bagian dari Taylor & Francis Group.
• Visibilitas tinggi dan kemudahan untuk ditemukan melalui situs web Cogent OA serta Taylor & Francis Online
Halaman 17 dari 17