Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“PEMBERONTAKAN PETANI DI KARESIDENAN BATAVIA TAHUN 1869”

Disusun Oleh:

Rahma Syahrani Azzahrah (A1A222047)

Salsabila Aulia Handayani (A1A222079)

Namira Khusaima (A1A222075)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN OLAH SEJARAH

FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JAMBI

2023
DAFTAR ISI

BAB I .............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................................................... 4
BAB II ............................................................................................................................................ 5
PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 5
A. Daerah Peristiwa .................................................................................................................. 5
B. Munculnya Pemberontakan ................................................................................................ 8
C. Perencanaan Awal Pemberontakan.................................................................................. 10
BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 14
A. Kesimpulan ......................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 15

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sejarah panjang bangsa Indonesia dari masa kerajaan hingga saat ini memiliki
andil terhadap corak kebijakan pertanahan. Tanah memiliki sifat yang sangat berharga,
“tanah menyangkut soal hidup dan penghidupan manusia, tanah adalah sumber dan asal
makanan bagi manusia. Siapa yang menguasai tanah,dia menguasai makanan”
(Mochammad Tauchid, 2009). Dengan nilainya yang sangat berharga, konflik ketegangan
mengenai tanah selalu hadir di tengah-tengah dinamika sosial masyarakat. Setidaknya
ada dua hal yang melatarbelakangi konflik antar manusia dari dulu hingga sekarang ini,
yaitu mempertahankan keturunan dan memperebutkan tanah. Tanah terbagi-bagi akibat
dari adanya stratifikasi sosial, penguasaan produksi, kekuasaan politik dan sebagainya.
Kebijakan mengenai pertanahan sudah dimulai sejak zaman kerajaan. Pada masa
kerajaan, tanah bukanlah sebuah barang yang diperjual belikan. Masyarakat menjalankan
kehidupan bedasarkan perintah raja. Pola pembagian wilayah di kerajaan di Jawa adalah
berupa pembagian tanah bedasarkan penguasaan dan pengawasan, yang diberikan kepada
pejabat yang ditunjuk oleh raja (Harto Juwono, 2013). Masa kejayaan kerajaan-kerajaan
mulai terganggu ketika bangsa penjajah datang ke Indonesia. Dimulai ketika kongsi
dagang VOC datang dan berhasil menaklukan raja-raja yang kemudian mereka
memberlakukan sistem perdagangan Verpelichte Leverantie dan Contingenten yaitu
dengan menyerahkan hasil bumi dengan harga yang sudah ditentukan dan hasil bumi
yang diserahkan dipandang sebagai pajak tanah (Muchsin, 2003). Selain itu VOC juga
membentuk sebuah Lembaga Tanah Partikelir pada tahun 1621, yang mana mereka
menjual tanah- tanah yang berada di bawah kekuasaan VOC kepada orang Arab dan
Cina, namun tidak ada bukti surah jual beli karena pada masa itu belum adanya notaris.
Tanah-tanah partikelir tersebut dicatat dalam catatan “eigendom” milik Belanda (Herman
Soesangoben, 2012). Setelah VOC bangkrut dan kekuasaan pindah ke tangan Inggris
pada tahun 1811, Raffles memberlakukan sistem pajak tanah „Landrent‟. Kemudian
ketika Belanda datang kembali ke Indonesia pada tahun 1830 Van De Bosch menerapkan
sistem tanam paksa „Cultuurstelsel‟, yakni kewajiban menanam 1/5 tanah mereka dengan
tanaman ekspor Eropa.

1
Ketika hak kuasa feodal dihapuskan dan digantikan dengan tanah-tanah yang
diperjual belikan oleh pengusaha swasta dan pemerintah kolonial, terjadilah pembukaan
lahan sebesar- besarnya yang mengakibatkan peningkatan jumlah penduduk di Jawa.
Kelangkaan tanah menyebabkan petani mengalami kehidupan yang semakin sulit.
Kesulitan yang dialami petani tersebut menimbulkan pemberontakan yang melibatkan
petani. Perlawanan, huru-hara, protes, kerusuhan, kekacauan, dan aksi berandalan terjadi
hampir setiap tahun di suatu daerah, sehingga tepat bila dikatakan pergolakan tersebut
bersifat endemis. Sebagian besar gerakan sosial itu terdapat di basis masyarakat.
Berbagai aksi protes terjadi di beberapa tanah partikelir. salah satunya yang terjadi di
Tambun, Bekasi. Tercatat pada tanggal 3 April 1869 muncul sebuah perlawanan di tanah
partikelir Tambun yang dilakukan oleh para Jago5, yang berasal dari berbagai etnis yang
sudah bermukim menjadi petani di tanah partikelir. Para petani yang terlibat dalam
perlawanan tersebut adalah bapak Rama, Arpan, Jungkat, Bapak Nata, Bapak Selan, Dris,
Adiarsa, Bapak Delang, Raden Mustafa, Manan Bapak 5 Etimologi kata Jago ditengarai
berasal dari bahasa Portugis, jogo yang secara harfiah berarti permainan. Mengacu pada
permainan sabung ayam jantan yang muncul di Banten pada tahun 1248. Permainan
sabung ayam ini sangat digemari orang-orang portugis. Kemudian istilah jago ini
berkembang menjadi predikat juara atau jawara sabung ayam, istilah ini muncul di
Banten pada tahun 1810 istilah ini pun berkembang menjadi orang yang ahli bela diri
untuk melindungi masyarakat. Basirun, Bapak Tunda, Raden Sipat alias Arsain, Piun,
Bungsu, Bapak Basirun, Bapak Djiba, Bapak Kollet, Aleng, Budin, dan Simin (Dinas
Kebudayaan Dan Permuseuman Provinsi Jakarta) Para jago tersebut dipimpin oleh
Bapak Rama dalam merencanakan penyerangan. Hal yang menarik dari aksi penyerangan
yang terjadi di Tambun adalah aksi penyerangan tersebut juga melibatkan beberapa
wilayah yang tergabung ke dalam Karesidenan Batavia (Almanak 1869).
Dalam pandangan Ba Rama, tanah-tanah partikelir antara Sungai Citarum dan
Sungai Cisadane adalah milik penduduk, bukan milik tuan tanah. Pendapat tersebut
muncul ketika Ba Rama bertemu dengan Arpan yang masih meyakini pesan almarhum
ayahnya bahwa tanah di Cipamingkis merupakan miliknya. Tanah yang terdapat di
Cipamingkis merupakan tanah di antara Sungai Citarum dan Cisadane. Bedasarkan cerita
Arpan tersebut dia bertekad untuk merebut tanah disekitar Sungai Citarum dan Sungai

2
Cisadane tersebut. Tekad itu semakin berapi-api tatkala Ba Rama pindah ke Ratujaya,
Citayam, Depok. Sumber perjuangan Ba Rama dimulai di Depok, saat itu beliau
mengajak beberapa petani untuk ikut bergabung dalam. Karesidenan Batavia berbatasan
dengan Residentie Bantam. Residentie Krawang dan Residentie Preanger
Regenschappen. Residentie Batavia terdiri dari Stad dan Voorsteden yaitu Afdeeling
Tangerang, Afd Meester Cornelis, Afd Bekassi dan Afd Buitenzorg. merebut tanah-tanah
tersebut. Cara-cara yang dilakukan Bapak Rama untuk menarik perhatian para petani lain
pun membuka sedikit tabir asal usul Bapak Rama. Bapak Rama sepertinya bukanlah
seorang petani biasa karena beliau memiliki kemampuan bela diri dan ilmu kebatinan.
Berita mengenai penyerangan yang dilakukan oleh Bapak Rama dan kawan-
kawannya termuat dalam dua surat kabar yang terbit di Belanda8. Bahkan penyerangan
tersebut menewaskan Asisten Residen Meester Cornelis. Cara mereka dalam meyakinkan
masyarakat untuk ikut bergabung melakukan penyerangan pun khas seorang Jago
Jagoan9, yaitu dengan menjual mantra-mantra dan mengasosiasikan diri dengan
mengubah nama menjadi Pangeran Alibasa serta satu rekannya mengubah nama menjadi
Raden Salah. Meskipun penyerangan mereka tidak mencapai keberhasilan, namun
mereka mampu membuat pasukan kolonial Belanda kewalahan, bahkan pasukan Kolonial
Belanda sampai mengerahkan satu kesatuan kompagnie (dibawah satu Batalion dan
diatas satu detasement). Hal itu yang membuat penulis tertarik untuk membahas
kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial abad ke 19 dan munculnya tanah-tanah
partikelir di sekitar Karesidenan Batavia 8 Bataviaassch Handelsblad, Www.Delpher.Nl,
April 7, 1869. Para Jago dan jagoan yang melakukan perlawanan terhadap para penguasa
di daerah pertanian disebut pemerintah kolonial sebagai bandit sosial.

B. Rumusan Masalah

Masalah yang ingin diangkat oleh penulis adalah bagaimana dan apa sebabnya hal
itu terjadi. sehingga dari permasalahan itu penulis merumuskan masalah yaitu :

a. Apa yang melatarbelakangi terjadinya pemberontakan petani di Karesidenan


Batavia pada tahun 1869 ?
b. Bagaimana Jalannya peristiwa dan peran tokoh petani dalam pemberontakan
petani di Karesidenan Batavia pada 1869 ?

3
c. Bagaimana Usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial dalam menumpas
aksi pemberontakan petani di Karesidenan Batavia tahun 1869 ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Bedasarkan dengan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi terjadinya pemberontakan petani


di karesidenan Batavia pada tahun 1869
b. Untuk mengetahui jalannya peristiwa dan peran tokoh petani dalam peristiwa
pemberontakan petani di Karesidenan Batavia tahun 1869 ini
c. Untuk mengetahui Usaha-usaha yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial dalam
menumpas aksi pemberontakan petani di Karesidenan Batavia tahun 1869

. Hasil penelitian ini memiliki manfaat antara lan :

a. Penelitian ini, diharapkan dapat memperkaya dan memberikan sumbangan bagi


historiografi sejarah yang menjadikan orang Indonesia sebagai pusat kajian dalam
historiografi.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan memberikan sumbangan bagi
ilmu pengetahuan di bidang sejarah dalam pembahasan mengenai serangkain
pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat kelas bawah dalam hal ini petani
terhadap pemerintah kolonial Belanda. Selain itu dapat dijadikan sumber
informasi bagi penulis lain dengan tema sejenis.
c. Bagi penulis, penelitian ini dijadikan sebagai tambahan pengetahuan mengenai
sejarah pemberontakan petani terhadap pemerintah kolonial Belanda

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Daerah Peristiwa

Daerah di sekitar Batavia terbentuk atas daerah inti yang bernama Jakarta, meluas
ke arah timur dan selatan membentuk perkampungan baru. Perkampungan baru tersebut
dikenal sebagai Ommelanden. Wilayah Ommelanden dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
Ommelanden bagian barat yang merupakan Tangerang (Benteng), dan Ommelanden
bagian selatan yaitu Buitenzorg (Bogor). Pada awalnya wilayah Ommelanden dikuasai
oleh kepala daerah dari kalangan bumiputera namun secara administratif kekuasaan
bumiputera itu dirampas dan diletakan di bawah Belanda. Pada abad ke 17, wilayah
Ommelanden ditempati oleh imigran Cina, mereka mencari pekerjaan dari industri gula
yang pada saat itu berkembang di Ommelanden. Bedasarkan sensus heemraden26,
menunjukan bahwa Cina merupakan salah satu etnis yang mendiami wilayah
Ommelanden. Pada tahun 1689 jumlah mereka sebanyak 2.342.136 dan meningkat
menjadi 7.550.137 pada tahun 1719, kemudian pada tahun 1739 jumlahnya telah
mencapai 10.574.138 orang Tionghoa yang mendiami wilayah Ommelanden. Warga
Ommelanden adalah sebutan untuk daerah di luar tembok Batavia Heemraden merupakan
lembaga pemerintah yang memiliki daerah kekuasaan di luar kota Jakarta yang salah satu
tugasnya membuat suatu peta umum dari tanah-tanah yang terletak dalam wilayah
kerjanya. pendatang Cina tersebut mencari nafkah dengan menjadi seorang pedagang,
tukang kayu, dan pengerajin lainnya.
Selain imigran Cina, migran bebas lainnya yang terdapat di wilayah Ommelanden
yang mengalir dalam jumlah besar, mereka berasal dari Pulau Jawa, jumlah mereka pada
tahun 1742 tidak sampai 5.000 orang, namun pada abad ke 19 jumlahnya bertambah
hingga puluhan ribu27. Sebagian besar dari mereka berasal dari Mataram dan Cirebon di
bagian timur dan Banten dibagian barat. Mereka juga menetap di daerah-daerah yang
dikuasai pemerintah kolonial disekitar Batavia atau di tanah kosong di kaki dari
pegunungan di selatan Ommelanden. Beberapa dari mereka bekerja sebagai petani yang
membersihkan daerah hutan perawan dan mengubahnya menjadi sawah, dan yang
lainnya adalah pekerja musiman yang memperkerjakan sendiri dalam kelompok sebagai
buruh di industri gula, pengembala ternak, atau pemotong kayu.

5
Dalam upaya mengendalikan jumlah migran Jawa dan pekerja musiman,
pemerintah kolonial memusatkan mereka di area yang khusus. Orang-orang Jawa tersebut
tersebar di pedesaan dan menetap di tanah milik pribadi, atau bahkan di tanah
perusahaan. Kelompok etnis terkecil yang mendiami wilayah Ommelanden adalah orang
Eropa dan Mestizos. Meskipun jumlah mereka tidak pernah sampai pada 3% dari total
populasi penduduk Ommelanden, namun mereka menikmati status sosial yang tinggi dan
bermain pada peran penting dalam perekonomian.
Pada abad ke 18, pemerintah kolonial menjual tanah di Ommelanden kepada
orang Eropa partikulir dan bangsa-bangsa lain untuk mendapatkan uang secara cepat.
Dengan demikian Ommelanden sudah menjadi wilayah di luar kekuasaan Belanda.
Mencakup sungai Angke di sebelah barat Tangerang dan Bekasi- Kerawang di sebelah
timur, meluas ke selatan hingga Pelabuhan Ratu sampai Bogor. Pemerintahan wilayah
Ommelanden diserahkan kepada pemimpin lokal yang dianugerahi gelar kemiliteran
seperti Kapitan, Leuitenant, dan sebagainya. Karena kurangnya pengawasan pemerintah
kolonial, wilayah ini sering mengalami pergolakan yang dilakukan oleh petani. Hingga
Inggris datang pada tahun 1811, di daerah Ommelanden sudah ditetapkan berbagai sistem
pemerintahan namun keadaan belum juga aman. Kurangnya kontrol dari pemerintah
pusat di Batavia terhadap wilayah Ommelanden membuat serangkaian peristiwa kriminal
terjadi. Kemudian untuk mengantisipasi gangguan keamanan akibat jauhnya wilayah
Ommelanden dengan pusat pemerintahan, maka dibentuklah menjadi satu karesidenan
yaitu Residensi Batavia.
Secara Administratif Karesidenan Batavia merupakan suatu Residentie
(Karesidenan) yang dipimpin oleh seorang residen. Daerah administratif Residentie
Batavia dibagi pula dalam lingkungan-lingkungan yang lebih kecil yang disebut afdeling.
Residentie Batavia terdiri atas Afdeling Stad en Voorsteden, Afdeling Meester Cornelis,
Afdeling Tangerang, Afdeling Buitenzorg dan Afdeling Karawang (Aditya Hatmawan,
2002). Bedasarkan Almanak tahun 1869, Karesidenan Batavia berbatasan dengan
Residen Bantam, Residen Karawang dan Residen Preanger Regenschapen. Yang mana
disetiap Afdeling ditempati oleh seorang Asisten Residen. Pada masa itu dibeberapa
wilayah di Karesidenan Batavia tanah-tanah pertaniannya telah diusahakan oleh penguasa
swasta. Seperti di Landrein Pondok Terong of Ratoe Djaija dimiliki oleh Jo Tjoeta

6
dengan komoditi utamanya padi. Di Landrein Bekasi West. Rawa Posong, Kali Abang
dan Kali Poetih dimiliki oleh Khouw Tjeng Tjoan, beliau juga memiliki tanah di
Tjikoenir, dan Pondok Gede yang semua tanah miliknya disewa oleh Tio Tian Soe yang
mengusahakan padi, kelapa, gula dan kacang. Sementara lahan di Landrein Bekassi Oost
dimiliki oleh Kang Keng. Tiang c.s yang lahannya diusahakan untuk komoditi padi,
kacang dan kelapa.
Dua wilayah yang menjadi tempat terjadinya peristiwa pemberontakan petani
tersebut yakni Tambun dan Ratu Jaya Depok memiliki kesamaan latar belakang yakni
sama-sama merupakan tanah partikelir. Pada tahun 1869 penduduk Bekasi berjumlah
kurang lebih 73.000 orang, terdiri dari 11 orang eropa, 4601 orang Cina, 25 orang Arab
dan sekitar 63.963 sampai 68.600 orang pribumi (Arsip Nasional Republik Indonesia,
Politik Verslag 1869). Penduduk Bekasi sangat mudah percaya dan mereka percaya akan
takhayul. Meskipun mereka beragama Islam namun itu hanya dalam nama saja dan alim
ulama pribumi tidak banyak berpengaruh. Bahkan mereka lebih percaya kepada Dukun
yang mudah mengelabui mereka dengan mengatakan mereka mempunyai kekuatan ghaib
dan dapat melindungi penduduk terhadap penyakit dan panen yang gagal dengan
memberikan jimat. Untuk jimat itu para dukun meminta bayaran. Penduduk Bekasi
dengan mudah percaya dan percaya takhayul itu sangat berbeda dengan penduduk lain di
daerah sekitar Batavia. Penduduk distrik Bekasi berbeda dengan penduduk distrik lain
karena tanah-tanah partikelir di daerah ini tidak memiliki penduduk asli. Pada pembukaan
pertama tanah-tanah partikelir , utamanamya setelah tahun 1822 dan 1823, sewaktu tuan
Jensen dan Trail membangun pabrik gula pertama di tanah karang Congok, para
kontraktor mendatangkan kuli-kuli dari Cirebon melalui Bupati Cirebon. Diperkirakan
mereka menggunakan kesempatan Ini untuk mengurangi penduduk yang mereka tidak
sukai (Arsip Nasional Republik Indonesia , Politik Verslag 1869).
Umumnya penduduk yang berada di wilayah residen Meester Cornelis (termasuk
Bekasi) berprilaku baik. Sebutan ini lebih cocok bagi penduduk yang tinggal di sekitar
Batavia karena mereka lebih sering berinteraksi dengan kaum terpelajar dari keresidenan
Batavia. Namun yang berbeda justru penduduk yang berasal dari perbatasan Buitenzorg
dan Krawang seperti penduduk Tanjung Barat, Pondok Petung, kampung Cikarang dan
Cibereum (daerah Tambun yang terdapat di perbatasan Cibarusah). Kampung Kemejing

7
(di Kedung Gedeh dekat perbatasan Krawang) juga penduduk Pondok Benda tidak bisa
disebut berkelakuan baik. Bahkan penduduk Pondok Petung, kampung Cikarang,
kampung Cibelong lebih cocok disebut pembangkang (Arsip Nasional Republik
Indonesia, Politik Verslag 1869).
Pemilik tanah partikelir Tambun adalah seorang tuan tanah keturunan Cina
bernama bapa (Ba) Bairah, Ba Bairah mempunyai kandang kerbau di hutan kemejing di
tanah Kedung Gedeh. Di kandang tersebut selalu ada 300 sampai 400 ekor kerbau, di
antaranya kerbau-kerbau curian, untuk kemudian dipindahkan ketempat lain. Banyak
penduduk kehilangan kerbau dan tidak menemukan kembali kerbaunya yang hilang. Hal
ini menimbulkan dendam terpendam dari penduduk Tambun dan sekitarnya. Ba Bairah
juga melindungi pencuri-pencuri ternak sehingga di sekitar Tambun orang selalu cemas
akan keamanan kerbaunya.

B. Munculnya Pemberontakan

1. Tokoh-Tokoh Pemberontakan
Gerakan petani dalam melawan tuan tanah yang terjadi di Karesidenan Batavia
tahun 1869 dipimpin dan direkrut oleh petani sendiri. Salah satu pemimpinnya adalah
Ba Rama yang menyerukan perang suci dan menggunakan gelar panembahan khas
gerakan messianisme. Para tokoh-tokoh yang berperan dalam pemberontakan ini akan
dibahas mengenai latar belakang kehidupannya.
1) Ba Rama
Ba Rama di lahirkan di Kuningan, Cirebon. Nama sebenarnya adalah
Moesti Ba Tinggal. Di Kuningan ia bekerja sebagai petani kemudian pindah ke
Gabus daerah Bekasi, sekitar tahun 1866 karena cekcok dengan istrinya yang
diakhiri dengan perceraian. Di Gabus ia tinggal selama tiga tahun dan ia tetap
sebagai petani. Setelah itu ia pindah ke luwicatang daerah Cibarusa yang masuk
dalam Afdeling Buitenzorg. kemudian pindah lagi ke Ratu Jaya dan menjadi
petani disana. Dahulu hidupnya dibiayai oleh mertuanya yang bernama Ma Onja,
setelah Ma Onja wafat ia membuat kebun sayuran dan akhirnya memiliki sawah.
Ia juga mengaku dirinya adalah dukun yang dapat membuat keajaiban. Banyak
pendapat mengenai sosok Ba Rama, Ba Rama dulunya adalah seorang petualang

8
dan kerap menipu orang. Namun adapula yang mengatakan bahwa dia adalah
bekas kepala pemberontak di Bantam dan terlibat dalam kerusuhan di Panter Jati
daerah Indramayu sekitar tahun 1858. Kegemarannya berpindah-pindah tempat
dia lakukan dengan pindah dari Lampung hingga Cilacap pada tahun 1864 dan
kemudian dia datang ke Karesidenan Batavia. dan mempunyai peran besar dalam
kerusuhan di Mauk pada tahun tersebut, setelah itu ia lari ke Cirebon (Arsip
Nasional Republik Indonesia, 1869).
2) Ba Kollot
Ba Kollot dilahirkan di kampung Losarang daerah Cirebon. kemudian ia
pindah ke Parung Serab untuk mencari nafkah sebagai petani. Perkenalkan Ba
Kollot dengan Ba Rama terjadi di Cipamingkis, ketika ia menemani Arpan
menemui juragan Emed untuk minta keterangan adanya lempengan tembaga
bertulisan yang dapat membuktikan hak Arpan atas tanah Cipamingkis (Arsip
Nasional Republik Indonesia, 1869). Beberapa waktu kemudian Ba Rama pindah
ke Ratu Jaya jauh dari rumah Ba Kollot di Parung Serab. Sejak saat itu kedua
orang itu sering bertemu. Ba Kollot mengetahui bahwa Raden Saleh sedang
mencari barang-barang antik untuk koleksi bataviaasch genootschap van kunsten
en wetenschappen (perkumpulan kesenian dan ilmu pengetahuan Batavia). Ia
menawarkan kepada Raden Saleh untuk mencarikan barang-barang kuno dengan
syarat ia diberi surat pernyataan sebagai bukti bahwa ialah orang yg di tunjuk.
Raden Saleh kemudian memberikan surat bukti yang di minta Ba Kollot tersebut.
Ketika Ba Kollot akan ke Solo menemui Raden Saleh, Ba Rama memastikan
dirinya menjadi teman seperjalan Ba kollot. Ia berharap akan bertemu dengan
Raden Saleh yang pada waktu itu berada di Yogyakarta, melalui perantaraan Ba
kollot.
3) Djoengkat Ba Nata
Djongkat Ba Nata di lahirkan di Cirebon dan berumur kira-kira 70 tahun
namun masih berbadan kuat. Ia mengaku dirinya adalah keturunan Ratu Galoeh
dari Ciamis (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1870). Sekitar tahun 1822-1823
ia datang ke Karang Congok daerah Bekasi sebagai kuli mandor dan bekerja pada
tuan Jessen dan Trali. Sejak saat itu ia tinggal bergantian di Karang Congok atau

9
Gabus dan hidup dari hasil beberapa sawah yang dia miliki. Sudah beberapa tahun
ia dianggap sebagai orang yang menderita mono mania. Ia mempunyai daya ingat
yang kuat dan dapat bercerita tentang orang-orang dan peristiwa-peristiwa 40
tahun yang lalu dan berhubungan dengan penggarapan pertama tanah-tanah
Bekasi. karena ia tidak melakukan perbuatan yang menggangu ketenangan
masyarakat, ia di biarkan begitu saja. Ba Nata ini juga menulis dua surat yang tak
jelas isi dan maksudnya, sekembalinya dari pesta di Ratu Jaya bulan Maret 1869,
Surat tersebut disebarkan ke penduduk Bekasi. Dalam surat pertama dia
menyatakan telah di perintah oleh Sultan Solo untuk merebut tanah-tanah antara
Citarum dan Cisadane, yang merupakan milik nenek moyangnya, tanah-tanah itu
telah disewakan oleh nenek moyang selama 8 alip kepada pemerintah. Sejak saat
itu telah lewat 37 alip dan tanah-tanah itu belum juga dikembalikan dan kini dia
mau merebut tanah-tanah itu kembali. Surat kedua di tunjukan kepada Asisten
Residen Meester Cornelis yaitu De Kuijper, dengan bahasa campur aduk dan sulit
dimengerti. Dalam surat itu ia minta supaya Asisten Residen Meester Cornelis
segera menyingkirkan orang-orang

C. Perencanaan Awal Pemberontakan

Ide awal munculnya keinginan untuk memberontak kepada tuan tanah dan
pemerintah kolonial muncul sewaktu Ba Rama masih bertempat tinggal di Luwi Catang
(sebelum pindah ke Ratu Jaya) berkenalan dengan Arpan, melalui Sarpien. Ketika itu
Sarpien dan Arpan sedang dalam perjalanan ke Cipamingkis (Buitezorg) dan singgah ke
Luwi Catang, karena Sarpien hendak membeli padi di Luwi Catang. Kepada Ba Rama,
Arpan menceritakan tujuannya ke Cipamingkis untuk menemui Amboe Maria. Ayah
Arpan, Haji Arsad, yang bertempat tinggal di Rawa Bangke (Bekasi) memberitahu Arpan
bahwa Arpan mempunyai hak atas tanah Cipamingkis, karena tanah itu milik nenek
moyangnya. Hak ini dapat di buktikan dengan beberapa lempengan tembaga bertulisan.
Lempengan tembaga itu berada di tangan seseorang yang bernama Amboe Maria yang
bertempat tinggal di Cipamingkis.
Mendengar maksud tujuan Arpan, Ba Rama yang terkenal sebagai penipu itu
mengelabui Arpan dengan mengatakan bahwa ia sendiri juga keturunan nenek moyang

10
yang sama dengan Arpan. Oleh karena itu apabila Arpan berhasil membuktikan hak nya
atas tanah Cipamingkis, tanah itu harus dibagi dengannya. Arpan, seorang petani yang
sederhana begitu saja pecaya akan pertanyaan Ba Rama mengenai nenek moyang yang
sama seperti Arpan. Dan Arpan menyetujui membagi tanah Cipamingkis dengan Ba
Rama apabila berhasil membuktikan haknya.
Setelah Arpan memperoleh lempengan-lempengan logam yang diambil dari
Amboe Maria, Selanjutnya Ba Rama menemui Ba Kollot untuk menjadi perantaranya
dalam bertanya kepada Raden Saleh. dengan perantaraan Ba kollot yang ditugaskan
Raden Saleh untuk mencari benda-benda kuno, Ia meminta tolong pada Raden Saleh
untuk meneliti hak-hak apa yang di sebutkan dalam lempengan itu. Sesudah melihat
lempengan- lempengan tersebut, Raden Saleh menyatakan bahwa lempengan itu tidak
menunjukkan apa-apa tentang hak-hak itu. Pada kesempatan itu Raden Saleh balik
meminta tolong pada Arpan untuk ikut mencari benda-benda kuno dan Arpan
menyanggupinya. Sekali lagi Arpan ditemani Ba kollot pergi ke Cipamingkis menemui
juragan Emed untuk minta keterangan tentang adanya piring emas yang dapat
membuktikan haknya atas tanah Cipamingkis, tetapi tanpa hasil. Setelah itu Arpan tidak
menghiraukan persoalan itu lagi (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1869)
Sementara itu Ba Rama yang tinggal di Luwi Catang pindah ke Ratu Jaya tidak
jauh dari Ba kollot di Parung Serab. Sejak saat itu kedua orang itu sering berjumpa.
Keduanya berasal dari Cirebon, hal ini merupakan kemudahan untuk saling
mempercayai. Pertemuan antara Ba Rama dan Arpan di Luwi Catang rupanya telah
melahirkan gagasan pada Ba Rama untuk menghasut penduduk melawan Pemerintah.
Alasannya adalah ia mempunyai hak atas tanah-tanah antara Citarum dan Cisadane
karena tanah-tanah merupakan milik nenek moyangnya. Bulan juni 1860 Ba kollot
bersama Ba Rama pergi ke Solo. Tujuannya perjalanan ini tidak jelas karena pernyataan
Ba Rama dan Ba kollot mengenai hal ini berbeda. Ba Rama mengatakan ia menemani Ba
kollot ke Solo karena hendak menemui kakaknya Prawira Admadja di Salatiga dalam
perjalanan ke Solo. Sebaliknya Ba kollot mengatakan bahwa Ba Rama mau menemani Ba
kollot ke Solo karena ia hendak minta dari kakaknya seorang raja yang berkuasa di Solo,
sebuah piring emas yang dapat membuktikan haknya atas tanah Cipamingkis.
Sebelumnya Ba Rama memberitahu Ba Kollot bahwa ia di temui seorang mandor

11
bernama Djamaan dari Kampung Menan (Cipamingkis). Djamaan menanyakan rumah Ba
kollot, karena ada seorang bekas narapidana kerja paksa yang bernama Djalak yang telah
kembali ke kampungnya setelah menjalani hukuman di Solo, untuk memberitahukan Ba
kollot agar pergi ke Solo. Kemudian Raden Saleh yang waktu itu telah berada di Solo
meminta Ba kollot untuk datang menemuinya. Ba kollot memutuskan untuk datang ke
Solo.
Salah satu faktor penting dalam sebuah perencanaan adalah hadirnya seorang
pemimpin yang revolusioner, unsur- unsur ideologi messianic seperti sebuah gelar
panembahan serta Ucapan Djamaa-an ternyata hanya isapan jempol ia telah di bujuk oleh
Ba Rama untuk menceritakan isi jempol itu kepada Ba kollot untuk bekerja
melaksanakan rencana Ba Rama agar ikut pergi ke Solo. asal-usul dari kerajaan (Sartono
Kartodirdjo, 1973) disematkan oleh Ba Rama yang sadar bahawa untuk merebut tanah
Cipamingkis dan juga tanah-tanah antara Citarum dan Cisadane, bahwa sebagai petani
biasa tanpa asal usul yang jelas, tidak mungkin berhasil melaksanakan rencananya.
Jikalau ia tidak dapat menyakinkan penduduk bahwa ia didukung oleh orang-orang
berdarah biru dan berpengaruh, ia tidak akan dapat dukungan penduduk.akhirnya Ba
Rama mempunyai rencana seperti yang diketahui oleh penduduk bahwa Ba kollot bekerja
pada Raden Saleh untuk mencari benda-benda kuno. Juga beberapa waktu sebelumnya
Raden Saleh berangkat ke vorstenlanden (Solo dan Jogya). Ini menjadi alasan bagi Ba
Rama untuk memastikan Ba kollot menjadi teman seperjalannya sehingga dapat
diusahakan agar ia dapat bertemu dengan Raden Saleh melalui Ba kollot. Dalam
perjalanan ke Solo itu ikut pula empat orang yaitu Djamaa-an79, Adjie, Karinan Ba Onja
dan Sarpien.
Kemudian pada bulan Desember 1868, tidak lama setelah kembali dari Solo, di rumah
Aleng, mandor kampung Cibereum, Ba Rama bertemu dengan Djoengkat Ba Nata, Ba
selan dan Dries. Sejak pertemuan di rumah mandor Aleng telah diadakan pembicaraan
mengenai pembuatan tanah yang akan di rebut dari Pemerintah baik di rumah Dries di
kali Jambi, di rumah Aleng, maupun di rumah Ba Rama di Ratu Jaya. Dalam pertemuan-
pertemuan itu juga hadir Raden Moestapha, Menan Ba Basiroen, Ba toenda, Arsain alias
Raden Sipat, Boengsoe, Ba Rabean dan Boedin Ba Simin.

12
Dalam pertemuan-pertemuan tersebut telah disepakati oleh orang-orang itu untuk
merebut kembali tanah-tanah antara Citarum dan Cisadane dari tangan pemerintah. Maka
ditentukan bahwa pada pesta pernikahan anak perempuan ma Onja (Ibu mertua Ba Rama)
yang akan diadakan Ba Rama di Ratu Jaya pada bulan Maret 1869, Pesta pernikahan itu
akan dipakai untuk memperoleh dukungan dalam melaksanakan rencana mereka. Juga
ditetapkan mengenai cara-cara pembagian tanah-tanah tersebut bila berhasil. Ba Toenda
akan memperoleh tanah Kedung Gade, tanah Cikarang di berikan kepada Djoengkat Ba
Nata, Dries dan Raden Moestapha mendapat Teluk Pucung, Arsain dan Boengsoe
mendapat Buitenzorg, sedang Ba kollot mendapat Depok. Tanah-tanah sisa untuk Ba
Rama dan di bawah perebutan Pangeran Alibassa ia akan memegang pucuk pemerintahan
atas semua tanah yang di rebut (Laporan Residen Batavia, 1870). Boedin Ba Simin tidak
memperoleh bagian, tugasnya hanya membangkitkan kepercayaan penduduk akan
kekuatan yg di punyai Ba Rama dan Moersia Ma Karsima, istri Boedin Ba Simin.
Kegiatan-kegiatan persiapan pemberontakan sudah dilakukan sejak bulan
Desember 1868, pertama orang-orang tersebut diatas sibuk membujuk orang-orang untuk
datang ke pesta Ratu Jaya. Untuk mengadakan pesta pernikahan yang meriah, tentu saja
Ba Rama membutuhkan dana sehingga Ba Rama juga mengumpulkan dana dari
penduduk dengan jalan menjual jimat-jimat yang ampuh terhadap penyakit dan kegagalan
panen. Dana tersebut digunakan untuk membiayai pesta tersebut.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Tanah memiliki sifat yang sangat berharga, “tanah menyangkut soal hidup dan
penghidupan manusia, tanah adalah sumber dan asal makanan bagi manusia pada masa
kerajaan, tanah bukanlah sebuah barang yang diperjual belikan. Ketika hak kuasa feodal
dihapuskan dan digantikan dengan tanah-tanah yang diperjual belikan oleh pengusaha
swasta dan pemerintah kolonial, terjadilah pembukaan lahan sebesar- besarnya yang
mengakibatkan peningkatan jumlah penduduk di Jawa. Kelangkaan tanah menyebabkan
petani mengalami kehidupan yang semakin sulit”. Kesulitan yang dialami petani tersebut
menimbulkan pemberontakan yang melibatkan petani.
Para petani yang terlibat dalam perlawanan tersebut adalah bapak Rama, Arpan,
Jungkat, Bapak Nata, Bapak Selan, Dris, Adiarsa, Bapak Delang, Raden Mustafa, Manan
Bapak 5 Etimologi kata Jago ditengarai berasal dari bahasa Portugis, jogo yang secara
harfiah berarti permainan. Basirun, Bapak Tunda, Raden Sipat alias Arsain, Piun,
Bungsu, Bapak Basirun, Bapak Djiba, Bapak Kollet, Aleng, Budin, dan Simin (Dinas
Kebudayaan Dan Permuseuman Provinsi Jakarta) Para jago tersebut dipimpin oleh Bapak
Rama dalam merencanakan penyerangan. Dalam pandangan Ba Rama, tanah-tanah
partikelir antara Sungai Citarum dan Sungai Cisadane adalah milik penduduk, bukan
milik tuan tanah. Pendapat tersebut muncul ketika Ba Rama bertemu dengan Arpan yang
masih meyakini pesan almarhum ayahnya bahwa tanah di Cipamingkis merupakan
miliknya. Tanah yang terdapat di Cipamingkis merupakan tanah di antara Sungai Citarum
dan Cisadane.

14
DAFTAR PUSTAKA

Aditya Hatmawan, “Perkembangan Transportasi Kereta Api Di Batavia 1870-1925”, (skripsi


jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI, 2002): 17

Almanak 1869 (Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, n.d.).

Arsip Nasional Republik Indonesia , Politik Verslag 1869

Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan residen Batavia kepada gubernur jendral Hindia
Belanda tanggal 5 Agustus 1870. Dalam : Prita Wulandari, “Kerusuhan Di Tambun 3
April 1869” (Universitas Indonesia, 1987).

Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan Residen Batavia tanggal 5 Agustus 1869 dalam :
Prita Wulandari, “Kerusuhan Di Tambun 3 April 1869” (Universitas Indonesia, 1987).

Arsip Nasional Republik Indonesia, Laporan Residen Batavia, dalam: Prita Wulandari,
“Kerusuhan Di Tambun 3 April 1869” (Universitas Indonesia, 1987).

Arsip Nasional Republik Indonesia, Politik Verslag 1869

Arsip Nasional Republik Indonesia, Politik Verslag 1869

Dinas Kebudayaan Dan Permuseuman Provinsi Jakarta, “Jakarta Kota Joang” (Jakarta: Dinas
Kebudayaan Dan Permuseuman Provinsi Jakarta, 2003), 85.

Harto Juwono, “Antara Bezitsrecht Dan Eigendomrecht: Kajian Tentang Hak Atas Tanah Oleh
Penduduk,” Jurnal Hukum Dan Peradilan 2 No. 1 (March 2013): 136.

Herman Soesangoben, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan Dan Agraria
(Yogyakarta: STPN Press, 2012).

Laporan Residen Batavia tanggal 5 Agustus 1870,10c LIhat juga laporan Asisten Residen Mr.
Cornelis 1 1869

Mochammad Tauchid, “Masalah Agraria Di Indonesia,” in Masalah Agraria: Sebagai Masalah


Penghidupan Dan Kemakmuran Rakyat Indonesia (Yogyakarta: STPN Press, 2009)

Muchsin, Imam Koeswahyono, and Soimin, Hukum Agraria Dalam Perspektif Sejarah
(Bandung: Refika Aditama, 2007).

Sartono Kartodirdjo, Protest Movement In Rural Java: A Studi Of Agrarian Unrest In The
Nineteenth And Early Twentieth Centuries, (Jakarta: Oxford University Press, 1973)

15

Anda mungkin juga menyukai