Anda di halaman 1dari 49

Nama: I Wayan suwardika

Absen: 21

Kelas: 7.6

Mapel: Agama Hindu

MANUSA YADNYA

Manusa Yadnya adalah suatu upacara suci yang bertujuan memelihara hidup, mencapai
kesempurnaan dalam kehidupan dan kesejateraan manusia selama hidupnya.Upakara/upacara oton
(otonan) yang biasanya di rayakan setiap 6 bulan sekali di dalam kalender wuku Bali.

Contoh pelasanakan Manusa Yadnya

● Upakara/upacara bayi selama didalam kandungan (Gerbha Wadana/pagedong- gedongan)

Penjelasan:

1.Megedong-Gedongan
Megedong-Gedongan merupakan upacara adat Hindu Bali dalam rangkaian
upacara adat kehamilan. Bertemunya Kama Jaya (Sperma) dan Kama Ratih (Ovum)
menciptakan wujud manusia dalam bentuk bayi. Upacara Megedong-Gedongan
adalah upacara pertama yang ditujukan kepada bayi dalam kandungan sang ibu
ketika berusia 5 bulan Bali (kurang lebih 6 bulan dalam kalender masehi). Pada usia
tersebut, bayi telah dianggap memiliki wujud yang lebih sempurna dan telah
berwujud manusia. Upacara Megedong-Gedongan memiliki tuuan untuk menyucikan
bayi dalam kandungan. Masyarakat Hindu Bali percaya dengan dilakukannya
upacara ini, bayi dalam kandungan tidak mudah gugur (abortus). Upacara ini juga
bertujuan untuk menguatkan sang anak dan sang ibu agar persalinan berjalan
lancar. Disamping itu sang bayi diharapkan setelah lahir dapat memiliki budi yang
luhur, menjadi seorang anak yang berguna bagi keluarga, masyarakat, dan negara,
serta selalu siberikan keselamatan dalam hidup. [1]

Adapun langkah-langkah pelaksanaan upacara Megedong-Gedongan ini, diawali


dengan sang ibu akan dimandikan (dalam bentuk siraman) kemudian dilanjutkan
dengan mabyakala dan payascita. Selanjutnya sang ibu akan membawa wadah
rempah-rempah di atas kepalanya dengan tangan kanan menjinjing daun talas yang
diisi dengan air dan ikan yang masih hidup. Tangan kiri suami menggenggam
benang, dimana tangan kanan suami memegang bambu runcing. Kemudian sang
suami akan menggeser benang dan menusukkan bambu runcing menuju daun talas
yang dijinjing oleh istri hingga air dan ikan pada daun tumpah. Setelah prosesi
tersebut selesai, dilakukan persembahyangan guna memohon keselamatan kepada
Tuhan. Terakhir, upacara ini akan ditutup dengan penglukatan dan natab.
[2]

Walaupun merupakan budaya dari satu suku yakni suku Bali, namun penerapan
upacara Megedong-Gedongan di setiap daerah di Bali sangat bervariasi. Hal ini
sangat bergantung dengan kebiasaan upacara yang berkembang di
masyarakat desa adat.

(2). Upacara kelahiran (Jatakarma Samskara).

Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan. Upacara ini
adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si kecil di dunia.

Sarana :

1. Dapetan, terdiri dari nasi berbentuk tumpeng dengan lauk pauknya


(rerasmen) dan buah buahan.

2. Canang sari / canang genten, sampiyan jaet dan penyeneng.

Untuk menanam ari-ari (mendem ari-ari) diperlukan sebuah kendil


(periuk kecil) dengan tutupnya atau sebuah kelapa yang airnya dibuang.
Waktu Upacara Jatakarma dilaksanakan pada waktu bayi baru
dilahirkan dan telah mendapat perawatan pertama.
Tempat Upacara Jatakarma dilaksanakan di dalam dan di depan pintu
rumah. Pelaksana Upacara kelahiran dilaksanakan atau dipimpin oleh
salah seorang keluarga yang tertua atau dituakan, demikian juga untuk
menanam (mendem) ari-arinya. Dalam hal tidak ada keluarga tertua,
misalnya, hidup di rantauan, sang ayah dapat melaksanakan upacara ini.

Tata Cara :

1. Bayi yang baru lahir diupacarai dengan banten dapetan, canang sari,
canang genten, sampiyan dan penyeneng. Tujuannya agar atma / roh
yang menjelma pada si bayi mendapatkan keselamatan.

2. Setelah ari-ari dibersihkan, selanjutnya dimasukkan ke dalam kendil


lalu ditutup. Apabila mempergunakan kelapa, kelapa itu terlebih dahulu
dibelah menjadi dua bagian, selanjutnya ditutup kernbali. Perlu diingat
sebelum kendil atau kelapa itu digunakan, pada bagian tutup kendil atau
belahan kelapa bagian atas ditulisi dengan aksara OM KARA (OM) dan
pada dasar alas kendil atau bagian bawah kelapa ditulisi aksara AH
KARA (AH) .

3. Kendil atau kelapa selanjutnya dibungkus dengan kain putih dan di


dalamnya diberi bunga.

4. Selanjutnya kendil atau kelapa ditanam di halaman rumah, tepatnya


pada bagian kanan pintu ruangan rumah untuk anak Iaki-laki, dan
bagian kiri untuk wanita bila dilihat dari dalam rumah.

Upacara ini merupakan cetusan rasa bahagia dan terima kasih dari kedua
orang tua atas kelahiran anaknya, walaupun disadari bahwa hal tersebut
akan menambah beban baginya.

Kebahagiaannya terutama disebabkan beberapa hal antara lain :

• Adanya keturunan yang diharapkan akan dapat melanjutkan tugas-


tugasnya terhadap leluhur dan masyarakat.
• Hutang kepada orang tua terutama berupa kelahiran telah dapat
dibayar.

(3). Upacara kepus puser

Upacara kepus puser atau pupus puser adalah upacara yang dilakukan
pada saat puser bayi lepas.

Sarana :

1. Banten penelahan: Beras kuning, daun dadap.

2. Banten kumara: Hidangan berupa nasi putih kuning, beberapa jenis


kue, buahbuahan (pisang emas), canang, lengawangi, burat wangi,
canang sari.

3. Banten labaan: Hidangan/ nasi dengan lauk pauknya.

4. Segehan empat buah dengan warna merah, putih, kuning, dan hitam.
Masingmasing berisi bawang, jahe dan garam.

Waktu Upacara kepus puser dilaksanakan pada saat bayi sudah kepus
pusernya, umumnya pada saat bayi berumur tiga hari. Tempat Upacara
ini dilaksanakan di dalam rumah terutama di sekitar tempat tidur si bayi.
Pelaksana Untuk melaksanakan upacara ini cukup dipimpin oleh
keluarga yang tertua (sesepuh), atau jika tidak ada, orang tua si bayi.

Tata Cara :

1. Puser bayi yang telah lepas dibungkus dengan kain putih lalu
dimasukkan ke dalam “ketupat kukur” (ketupat yang berbentuk burung
tekukur) disertai dengan rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada dan
lain-lain, digantung pada bagian kaki dari tempat tidur si bayi.

2. Dibuatkan kumara (pelangkiran) untuk si bayi, tempat menaruh


sesajian.

3. Di tempat menanam ari-ari dibuat sanggah cucuk, di bawahnya


ditaruh sajen segehan nasi empat warna, dan di sanggah cucuk diisi
dengan banten kumara.

4. Tidak ada mantram khusus untuk upacara ini, dipersilakan memohon


keselamatan dengan cara dan kebiasaan masing-masing

●Upakara/upacara bayi berumur 12 sampai 42 hari (Tutug .

(4).A.Upacara bayi umur 12 hari (Upacara Ngelepas Hawon)

Setelah bayi berumur 12 hari dibuatkan suatu upacara yang disebut


Upacara Ngelepas Hawon. Sang anak biasanya baru diberi nama (nama
dheya) demikian pula sang catur sanak atau keempat saudara kita
setelah dilukat berganti nama di antaranya: Banaspati Raja, Sang
Anggapati, Banaspati dan Mrajapati.

Sarana Upakara yang kecil : Peras, Penyeneng, Jerimpen tunggal dll,


semampunya.

Upacara yang biasa (madia) : Peras, Penyeneng, Jerimpen tunggal, di


sini hanya ditambah dengan penebusan.

Upacara yang besar : Seperti upacara madia hanya lebihnya jerimpen


tegeh dan diikuti wali joged atau wayang lemah.

Waktu Upacara ngelepas hawon dilaksanakan pada saat si bayi sudah


berumur genap 12 hari. Tempat Upacara ini dilaksanakan di dalam
rumah pekarangan yaitu di sumur (permandian), di dapur, serta di
sanggah kamulan. Pelaksana Untuk melaksanakan upacara ini dipimpin
oieh keluarga yang paling dituakan.

Tata Cara :

Pelaksanaan upacara ini ditujukan kepada si ibu dan si anak.


Upacaranya dilakukan di dapur, di permandian dan di kemulan
berfungsi memohon pengelukatan ke hadapan Bhatara Brahma, Wisnu
dan Siwa. Inti pokok upacara yang ditujukan :

Kepada si ibu adalah: banten byakaon dan prayascita disertai dengan


tirta pebersihan dan pengelukatan.

Kepada si bayi adalah: banten pasuwungan yang terdiri dari peras,


ajuman, daksina, suci. Soroan alit pengelukatan, dan lainnya.

Banten pengelukatan di dapur, permandian dan kemulan pada pokoknya


sama, hanya saja warna tumpengnya yang berbeda. Yaitu:

· tumpeng merah untuk di dapur


· tumpeng hitam untuk di permandian dan

· tumpeng putih untuk di kemulan.

Inti pokok banten pengelukatan tersebut antara lain: peras dengan


tumpeng, ajuman, daksina, pengulapan, pengarnbian, penyeneng dan
sorotan alit serta periuk tempat tirta pengelukatan.

B. Upacara kambuhan (umur 42 hari)

Upacara ini dilakukan setelah bayi berusia 42 hari. Tujuannya untuk


pembersihan lahir batin si bayi dan ibunya, di samping juga untuk
membebaskan si bayi dari pengaruh-pengaruh negative (mala).

Sarana Untuk upacara kecil:

1. Upakara untuk ibu : Byakala, prayascita, tirtha panglukatan dan


pabersihan.

2. Upakara untuk si bayi : Banten pasuwungan, banten kumara dan


dapetan.

Untuk upacara yang lebih besar

1. Upakara untuk ibu : Byakala, prayascita, tirtha panglukatan dan


pabersihan.

2. Upakara untuk si bayi : Banten pasuwungan, banten kumara,


jejanganan, banten pacolongan untuk di dapur, di permandian dan di
sanggah kamulan serta tataban.

Waktu Upacara kambuhan dilaksanakan pada saat bayi berusia 42 hari.


Tempat Keseluruhan rangkaian upacara kambuhan dilaksanakan di
dalam lingkungan rumah, di dapur, di halaman rumah dan di sanggah
kamulan. Pelaksana Untuk upacara kambuhan dipimpin oleh seorang
pinandita atau pandita.
Tata cara Untuk upacara kecil:

1. Kedua orang tua si bayi mabyakala dan maprayascita.

2. Si bayi beserta kedua orang tua diantar ke sanggah kamulan untuk


natab.

Tata Cara Untuk upacara yang lebih besar :

1. Si bayi dilukat di dapur, di permandian, dan terakhir di sanggah


kamulan.

2. Kedua orang tua si bayi mabyakala dan maprayascita

3 Si bayi beserta kedua orang tuanya natab di sanggah kamulan

Upacara Tutug Kambuhan (Upacara setelah bayi berumur 42 hari),


merupakan upacara suci yang bertujuan untuk penyucian terhadap si
bayi dan kedua orang tuanya. Penyucian kepada si Bayi dimohonkan di
dapur, di sumur/tempat mengambil air dan di Merajan/Sanggah
Kemulan (Tempat Suci Keluarga). Upacara Tutug Sambutan (Upacara
setelah bayi berumur 105 hari), adalah upacara suci yang tujuannya
untuk penyucian Jiwatman dan penyucian badan si Bayi seperti yang
dialami pada waktu acara Tutug Kambuhan. Pada upacara ini nama si
bayi disyahkan disertai dengan pemberian perhiasan terutama gelang,
kalung/badong dan giwang/subeng, melobangi telinga.

Upacara Mepetik merupakan upacara suci yang bertujuan untuk


penyucian terhadap si bayi dengan acara pengguntingan / pemotongan
rambut untuk pertama kalinya. Apabila keadaan ubun-ubun si bayi
belum baik, maka rambut di bagian ubun-ubun tersebut dibiarkan
menjadi jambot (jambul) dan akan digunting pada waktu upacara
peringatan hari lahir yang pertama atau sesuai dengan keadaan. Upacara
Mepetik ini adalah merupakan rangkaian dari upacara Tutug Sambutan
yang pelaksanaannya berupa 1 (satu) paket upacara dengan upacara
Tutug Sambutan.
(5). Upacara nelu bulanin (umur 3 bulan) – Niskramana Samskara

Upacara yang dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau tiga
bulan dalam hitungan pawukon.

Sarana Upakara kecil:

panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara dan tataban.

Sarana Upakara besar:

panglepasan, penyambutan, jejanganan, banten kumara, tataban, pula


gembal, banten panglukatan, banten turun tanah.

Waktu Upacara ini dilakukan pada saat anak berusia 105 hari. Bila
keadaan tidak memungkinkan, misalnya, keluarga itu tinggal di rantauan
dan ingin upacaranya dilangsungkan bersama keluarga besar sementara
si anak terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda.
Biasanya digabungkan dengan upacara 6 bulan. Tempat Seluruh
rangkaian upacara bayi tiga bulan dilaksanakan di lingkungan rumah.
Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh Pandita atau Pinandita.

Tata Cara :

1. Pandita / Pinandita memohon tirtha panglukatan.


2. Pandita / Pinandita melakukan pemujaan, memerciki tirtha pada sajen
dan pada si bayi.

3. Bila si bayi akan memakai perhiasan-perhiasan seperti gelang, kalung


dan lain-lain, terlebih dahulu benda tersebut diparisudha dengan
diperciki tirtha.

4. Doa dan persembahyangan untuk si bayi, dilakukan oleh ibu


bapaknya diantar oleh Pandita / Pinandita.

5. Si bayi diberikan tirtha pengening (tirtha amertha) kernudian ngayab


jejanganan.

6. Terakhir si bayi diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon


keselamatan .

(6). Upacara satu oton – (Otonan)

Upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan
pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan
dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan
sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna.

Sarana

Upakara kecil: Prayascita, parurubayan, jajanganan, tataban, peras, lis,


banten pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah dan sajen
kumara.

Upakara yang lebih besar: Prayascita, parurubayan, jejanganan, tataban,


peras, lis, banten pesaksi ke bale agung (ajuman) sajen turun tanah,
sajen kumara, ditambah gembal bebangkit.

Waktu Upacara wetonan dilaksanakan pada saat bayi berusia 210 hari.
Pada saat itu kita akan bertemu dengan hari yang sama seperti saat
lahimya si bayi (pancawara, saptawara, dan wuku yang sama).
Selanjutnya boleh dilaksanakan setiap 210 hari, semacam memperingati
hari ulang tahun. Tentu saja semakin dewasa, semakin sederhana
bantennya.

Tempat Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan di rumah. Pelaksana


Upacara dipimpin oieh Pandita / Pinandita atau oleh keluarga tertua.

Tata cara:

1. Pandita / Pinandita sebagai pimpinan upacara melakukan pemujaan


untuk memohon persaksian terhadap Hyang Widhi Wasa dengan segala
manifestasinya.

2. Pemujaan terhadap Siwa Raditya (Suryastawa).

3. Penghormatan terhadap leluhur.

4. Pemujaan saat pengguntingan rambut (potong rambut). Ini dilakukan


pertama kali, untuk wetonan selanjutnya tidak dilakukan.

5. Pemujaan saat pawetonan dan persembahyangan

(7). Upacara tumbuh gigi (Ngempugin)

Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama.
Upacara ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan
baik.

Sarana :

Upacara kecil : Petinjo kukus dengan telor.

Upacara besar : Petinjo kukus dengan ayam atau itik, dilengkapi dengan
tataban.
Waktu Upacara ini dilaksanakan pada saat bayi tumbuh gigi yang
pertama dan sedapat mungkin tepat pada waktu matahari terbit. Tempat
Keseluruhan rangkaian upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana
Upacara ini dipimpin oleh seorang pandita / pinandita atau salah seorang
anggota keluarga tertua.

Tata Cara :

1. Pemujaan terhadap Hyang Widhi Wasa dengan mempersembahkan


segala sesajen yang tersedia.

2. Si bayi natab mohon keselamatan.

3. Selesai upacara si bayi diberikan sesajen tadi untuk dinikmatinya dan


selanjutnya gusinya digosok-gosok dengan daging dari sesajen.

(8). Upacara tanggalnya gigi pertama (Makupak)

Upacara ini bertujuan mempersiapkan si anak untuk mempelajari ilmu


pengetahuan.

Sarana :

1. Banten byakala dan sesayut tatebasan.

2. Canang sari.

Waktu Saat si anak untuk pertama kalinya mengalami tanggal gigi.


Upacara ini dapat pula disatukan dengan wetonan berikutnya. Tempat
Keseluruhan rangkaian upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana
Upacara dipimpin oleh keluarga tertua.

Tata Cara :

1. Pemujaan mempersembahkan sesajen kehadapan Hyang Widhi Wasa.


2. Si anak bersembahyang.

3. Setelah selesai sembahyang, dilanjutkan dengan natab sesayut /


tetebasan.

4. Si anak diperciki tirtha.

(9). Upacara menek deha (Rajaswala)

Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Upacara ini
bertujuan untuk memohon ke hadapan Hyang Samara Ratih agar
diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak.

Sarana :

Banten pabyakala, banten prayascita, banten dapetan, banten sesayut


tabuh rah (bagi wanita), banten sesayut ngraja singa (bagi Iaki-laki),
banten padedarian.

Waktu Upacara menginjak dewasa (munggah deha) dilaksanakan pada


saat putra/ putrid sudah menginjak dewasa. Peristiwa ini akan terlihat
melalui perubahan-perubahan yang nampak pada putra-putri. Misalnya
pada anak Iaki-laki perubahan yang menonjol dapat kita saksikan dari
sikap dan suaranya. Pada anak putri mulai ditandai dengan datang bulan
(menstruasi) pertama.

Orang tua wajib melaksanakan upacara meningkat dewasa (munggah


deha) ini. Tempat Upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana Dilakukan
oleh Pandita / Pinandita atau yang tertua di dalam lingkungan keluarga.

Tata Cara :

Dalam upacara meningkat dewasa, pertama-tama putra / putri yang


diupacarai terlebih dahulu mabyakala dan maprayascita. Setelah itu
dilanjutkan dengan natab sesayut tabuh rah (bagi yang putri), sayut raja
singa bagi yang putra.
Ciri-ciri anak telah meningkat dewasa.

Siklus kehidupan makhluk didunia adalah lahir, hidup dan mati


(kembali keasalnya). Manusia hidup di dunia mengalami beberapa
phase yaitu, fase anak-anak, pada fase ini anak dianggap sebagai raja,
semua permintaannya dipenuhi. Phase berikutnya adalah pada masa
anak meningkat dewasa. Saat ini anak itu tidak lagi dianggap sebagai
raja, tetapi sebagai teman. Orang tua memberikan nasehat kepada anak-
anaknya dan anak itu bisa menolak nasehat orang tuanya bila kondisi
dan lingkungannya tidak mendukung, artinya terjadi komunikasi timbal
balik atau saling melengkapi. Dan yang terakhir adalah phase tua, di sini
anak tadi menjadi panutan bagi

penerusnya.

Sebagai tanda dari kedewasaan seseorang adalah suaranya mulai


membesar /berubah/ngembakin (bahasa Bali) bagi laki-laki dan bagi
perempuan pertama kalinya ia mengalami datang bulan. Sejak saat ini
seseorang mulai merasakan getar-getar asmara, karena Dewa Asmara
mulai menempati lubuk hatinya. Bila perasaan getar-getar asmara ini
tidak dibentengi dengan baik akan keluar dari jalur yang sebenarnya.

Perasaan getar-getar asmara itu dibentengi melalui dua jalur yaitu, jalur
niskala, membersihkan jiwa anak dengan mengadakan Upacara yang
disebut Raja Sewala dan jalur sekala, dengan memberikan wejangan-
wejangan yang bermanfaat bagi dirinya.

Upacara Raja Sewala ini sesuai dengan apa yang diungkapkan didalam
Agastya Parwa bahwa, disebutkan ada tiga perbuatan yang dapat
menuju sorga, yaitu: Tapa (pengendalian), Yadnya (persembahan yang
tulus iklas) dan Kirti (perbuatan amal kebajikan) Upacara Raja Sewala
merupakan Yadnya (persembahan yang tulus iklas) yang membuat
peluang bagi keluarganya untuk masuk sorga.

Nilai pendidikan
Upacara Raja Sewala/meningkat dewasa yang dilakukan oleh umat
Hindu adalah merupakan salah satu jenis Upacara Manusa Yadnya yang
bertujuan untuk memohon kehadapan Sanghyang Widhi Waça (Tuhan
Yang Maha Esa) dalam menifestasinya sebagai Sang Hyang Semara
Ratih, agar orang itu dibimbing, sehingga ia dapat mengendalikan
dirinya dalam menghadapi Pancaroba. Pada masa pancaroba ini
seseorang sangat rentan terhadap godaan-godaan khususnya godaan dari
Sad Ripu yaitu: Kroda (sifat marah), Loba (rakus/tamak), Kama
(nafsu/keinginan), Moha (kebingungan), Mada (kemabukan), dan
Matsarya (rasa iri hati).

Pada Upacara ini juga terselip nilai pendidikan. Anak diberikan


wejangan-wejangan yang menyatakan bahwa dirinya telah tumbuh
dewasa, apapun yang akan diperbuatnya akan berakibat juga kepada
orang tuanya. Jadi anak itu tidak bebas begitu saja menerjunkan diri
dalam pergaulan dimasyarakat. Dia harus tahu mana yang pantas untuk
dilakukan dan mana yang dilarang. Dalam hal ini anak-anak juga
merasa mendapat perhatian dari orang tuanya sehingga menimbulkan
rasa lebih hormat kepada orang tuanya.

Melalui Upacara Raja Sewala/Meningkat dewasa ini diharapkan


seseorang dapat meningkatkan kesucian pribadinya sehingga mampu
memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang buruk.


(10). Upacara potong gigi (mepandes / metatah)

Upacara ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu yang ada
pada diri si manak.

Sarana :

1. Sajen sorohan dan suci untuk persaksian kepada Hyang Widhi Wasa.

2. Sajen pabhyakalan prayascita, panglukatan, alat untuk memotong gigi


beserta perlengkapannya seperti: cermin, alat pengasah gigi, kain untuk
rurub serta sebuah cincin dan permata, tempat tidur yang sudah dihias.

3. Sajen peras daksina, ajuman dan canang sari, kelapa gading dan
sebuah bokor.

4. Alat pengganjal yang dibuat dari potongan kayu dadap. Belakangan


dipakai tebu, supaya lebih enak rasanya.

5. Pengurip-urip yang terdiri dari kunyit serta pecanangan lengkap


dengan isinya.

Waktu Upacara ini dilaksanakan setelah anak meningkat dewasa, namun


sebaiknya sebelum anak itu kawin. Dalam keadaan tertentu dapat pula
dilaksanakan setelah berumah tangga. Tempat Seluruh rangkaian
upacara potong gigi dilaksanakan di rumah dan di pemerajan. Pelaksana
Upacara potong gigi dilaksanakan oleh Pandita/Pinandita dan dibantu
oleh seorang sangging (sebagai pelaksana langsung).

Tata Cara :

1. Yang diupacarai terlebih dahulu mabhyakala dan maprayascita.

2. Setelah itu dilanjutkan dengan muspa ke hadapan Siwa Raditya


memohon kesaksian.
3. Selanjutnya naik ke tempat upacara menghadap ke hulu. Pelaksana
upacara mengambil cincin yang dipakai ngerajah pada bagian-bagian
seperti: dahi, taring, gigi atas, gigi bawah, lidah, dada, pusar, paha
barulah diperciki tirtha pesangihan.

4. Upacara dilanjutkan oieh sangging dengan menyucikan peralatannya.

5. Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai
diasah, bila sudah dianggap cukup diberi pengurip-urip.

6. Setelah diberi pengurip-urip dilanjutkan dengan natab banten peras


kernudian sembahyang ke hadapan Surya Chandra dan Mejaya-jaya.

Acuan

Sumber sastra mengenai upacara potong gigi adalah lontar Kala


Pati,kala tattwa, Semaradhana, dan sang Hyang Yama.dalam lontar kala
Pati disebutkan bahwa potong gigi sebagai tanda perubahan status
seseorang menjadi manusia sejati yaitu manusia yang berbudi dan suci
sehingga kelak di kemudian hari bila meniggal dunia sang roh dapat
bertemu dengan para leluhur di sorga Loka.Lontar Kala tattwa
menyebutkan bahwa Bathara Kala sebagai putra Dewa Siwa dengan
Dewi Uma tidak bisa bertemu dengan ayahnya di sorga sebelum
taringnya dipotong. Oleh karena itu, manusia hendaknya menuruti jejak
Bathara kala agar rohnya dapat bertemu dengan roh leluhur di
sorga.dalam lontar Semaradhana disebutkan bahwa Bethara Gana
sebagai putra Dewa Siwa yang lain dapat mengalahkan raksasa
Nilarudraka yang menyerang sorgaloka dengan menggunakan potongan
taringnya.

Selain itu disebutkan bahwa Bethara Gana lahir dari Dewi Uma setelah
Dewa Siwa dibangunkan Dari tapa semadhinya oleh Dewa Semara
(Asmara) namun kemudian Dewa Siwa menghukum Dewa Semara
bersama istrinya, Dewi Ratih,dengan membakarnya sampai menjadi
abu. kemudian menyebarkan abu tersebut ke dunia dan mengutuk
manusia agar tidak bisa hidup tanpa berpasangan (laki-perempuan)
dalam suami istri. Dalam lontar Sang Hyang yama disebutkan bahwa
upacara potong gigi boleh dilaksanakan bila naka sudah menginjak
dewasa, ditandai dengan menstruasi untuk wanita dan suara yang
membesar untuk pria. Biasanya hal ini muncul di kala usia 14 tahun.

Tujuan Upacara Potong Gigi

Tujuan upacara potong gigi dapat disimak lebih lanjut dari


lontarkalapati dimana disebutkan bahwa gigi yang digosok atau
diratakan dari gerigi adalah enam buah yaitu dua taring dan empat gigi
seri di atas. Pemotongan enam gigi itu melambangkan symbol
pengendalian terhadap sad Ripu (enam musuh dalam diri manusia).
Meliputi kama (hawa nafsu), Loba (rakus), Krodha (marah), mada
(mabuk), moha (bingung), dan Matsarya (iri hati). Sad Ripu yang tidak
terkendalikan ini akan membahayakan kehidupan manusia, maka
kewajiban setiap orang tua untuk menasehati anak-anaknya serta
memohon kepada Hyang Widhi Wasa agar terhindar dari pengaruh sad
ripu.Makna yang tersirat dari mitologi Kala Pati, kala Tattwa, dan
Semaradhana ini adalah mengupayakan kehidupan manusia yang selalu
waspada agar tidak tersesat dari ajaran agama (dharma) sehingga di
kemudian hari rohnya dapat yang suci dapat mencapai surge loka
bersama roh suci para leluhur, bersatu dengan Brahman (Hyang
Widhi).Dalam pergaulan mudamudi pun diatur agar tidak melewati
batas kesusilaan seperti yang tersirat dari lontar

Semaradhana.

Upacara potong gigi biasanya disatukan dengan upacara Ngeraja Sewala


atau disebutkan pula sebagai upacara “menek kelih”, yaitu upacara
syukuran karena si anak sudah menginjak dewasa,meninggalkan masa
anak-anak menuju ke masa dewasa.

Urutan Upacara :

1. Setelah sulinggih ngarga tirta,mereresik dan mapiuning di Sangah


Surya,maka mereka yang akan mepandes dilukat dengan padudusan
madya,setelah itu mereka memuja Hyang raitya untuk memohon
keselamatan dalam melaksanakan upacara.
2. Potong rambut dan merajah dilaksanakan dengan tujuan mensucikan
diri serta menandai adanya peningkatan status sebagai manusia yaitu
meningalkan masa anak-anak ke masa remaja.

3. Naik ke bale tempat mepandes dengan terlebih dahulu menginjak


caru sebagai lambing keharmonisan,mengetukkan linggis tiga kali
(Ang,Ung,Mang) sebagai symbol mohon kekuatan kepada Hyang Widhi
dan ketiak kiri menjepit caket sebagai symbol kebulatan tekad untuk
mewaspadai sad ripu.

4. Selama mepandes,air kumur dibuang di sebuah nyuh gading afar


tidak menimbulkan keletehan.

5. Dilanjutkan dengan mebiakala sebagai sarana penyucian serta


menghilangkan mala untuk menyongsong kehidupan masa remaja.

6. Mapedamel berasal dari kata “dama” yang artinya bijaksana.Tujuan


mapedamel setelah potong gigi adalah agar si anak dalam kehidupan
masa remaja dan seterusnya menjadi orang yang bijaksana,yaitu tahap
menghadapi suka duka kehidupan,selalu berpegang pada ajaran agama
Hindu,mempunyai pandangan luas,dan dapat menentukan sikap yang
baik, karena dapat memahami apa yang disebut dharma dan apa yang
disebut adharma.Secara simbolis ketika mepadamel,dilakukan sebagai
berikut :

• Mengenakan kain putih,kampuh kuning,dan selempang samara ratih


sebagai symbol restu dari Dewa Semara dan Dewi Ratih (berdasarkan
lontar Semaradhana tersebut).

• Memakai benang pawitra berwarna tridatu (merah,putih,hitam) sebagai


symbol pengikatan diri terhadap norma-norma agama.

• Mencicipi Sad rasa yaitu enam rasa berupa rasa pahit dan asam
sebagai simbol agar tabah menghadapi peristiwa kehidupan yang
kadang-kadang tidak menyenangkan, rasa pedas sebagai simbol agar
tidak menjadi marah bila mengalamai atau mendengar hal yang
menjengkelkan, rasa sepat sebagai symbol agar taat ada peraturan atau
norma-norma yang berlaku, rasa asin sebagai simbol kebijaksanaan,
selalu meningkatkan kualitas pengetahuan karena pembelajaran diri, dan
rasa manis sebagai symbol kehidupan yang bahagia lahir bathin sesuai
cita-cita akan diperoleh bilamana mampu menhadapi pahit getirnya
kehidupan, berpandangan luas, disiplin, serta enantiasa waspada dengan
adanya sad ripu dalam diri manusia.

7. Natab banten,tujuannya memohon anugerah Hyang Widhi agar apa


yang menjadi tujuan melaksanakan upacara dapat tercapai.

8. Metapak,mengandung makna tanda bahwa kewajiban orang tua


terhadap anaknya dimulai sejak berada dalam kandungan ibu sampai
menajdi dewasa secara spiritual sudah selesai,makna lainnya adalah
ucapan terima kasih si anak kepada orang tuanya karena telah
memelihara dengan baik,serta memohon maaf atas kesalahan-kesalahan
anak terhadap orang tua,juga mohon doa restu agar selamat dalam
menempuh kehidupan di masa datang.

Demikianlah sekilas makna dari upacara potog gigi atau


mepandes.Istilah lainnya yang digunakan untuk Upacara ini di Bali
adalah mesangih.

●upkara/upacara perkawinan (pawiwahan)


(11). Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)

Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha


Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah
mengikatkan diri sebagai suami-istri.

Sarana

1. Segehan cacahan warna lima.

2. Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa).

3. Tetabuhan (air tawar, tuak, arak).

4. Padengan-dengan/ pekala-kalaan.

5. Pejati.

6. Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan).

7. Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya
diberi periuk, bakul yang berisi uang).

8. Bakul.

9. Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan


dengan benang putih.

Waktu Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya


(ala-ayuning dewasa). Tempat Dapat dilakukan di rumah mempelai
Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hokum adat setempat (desa, kala,
patra). Pelaksana Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi /
Pemangku.
Tata cara

1. Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu


mempelai mabhyakala dan maprayascita.

2. Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah


Pesaksi sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara
mempelai Iaki-laki dengan mempelai wanita disertai pula dengan
perobekan tikar dadakan oleh mempelai Iaki-laki.

3. Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan


natab banten dapetan. Bagi Umat Hindu upacara perkawinan
mempunyai tiga arti penting yaitu :

– Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon
mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga
dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat
menolong meringankan derita orang tua/leluhur.

– Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang
wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala
perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.

– Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat


Hindu menganut sistim patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula
untuk mengikuti sistim patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin
mengikuti sistem patrilinier (garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau
nyentana yaitu mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai Kepala
Keluarga.

Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman Merajan/Sanggah


Kemulan ( Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua
mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga )
sampai tiga kali dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa
sok pedagangan ( keranjang tempat dagangan) yang laki memikul tegen-
tegenan (barang-barang yang dipikul) dan setiap kali melewati “Kala
Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah) kedua mempelai
menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga.

Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian mempelai laki


berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala isinya yang
ada pada sok pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan
dengan merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah),
menanam pohon kunir, pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong
dibelakang sanggar pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci Keluarga)
dan diakhiri dengan melewati “Pepegatan” (Sarana Pemutusan) yang
biasanya digunakan benang didorong dengan kaki kedua mempelai
sampai benang tersebut putus

12. Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)

Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha


Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah
mengikatkan diri sebagai suami-istri.

Sarana

1. Segehan cacahan warna lima.

2. Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa).

3. Tetabuhan (air tawar, tuak, arak).

4. Padengan-dengan/ pekala-kalaan.

5. Pejati.

6. Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan).

7. Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya
diberi periuk, bakul yang berisi uang).
8. Bakul.

9. Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan


dengan benang putih.

Waktu Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya


(ala-ayuning dewasa). Tempat Dapat dilakukan di rumah mempelai
Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hokum adat setempat (desa, kala,
patra). Pelaksana Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi /
Pemangku.

Tata cara

1. Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu


mempelai mabhyakala dan maprayascita.

2. Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah


Pesaksi sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara
mempelai Iaki-laki dengan mempelai wanita disertai pula dengan
perobekan tikar dadakan oleh mempelai Iaki-laki.

3. Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan


natab banten dapetan. Bagi Umat Hindu upacara perkawinan
mempunyai tiga arti penting yaitu :

– Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon
mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga
dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat
menolong meringankan derita orang tua/leluhur.

– Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang
wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala
perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.

– Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat


Hindu menganut sistim patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula
untuk mengikuti sistim patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin
mengikuti sistem patrilinier (garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau
nyentana yaitu mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai Kepala
Keluarga.

Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman Merajan/Sanggah


Kemulan ( Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua
mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga )
sampai tiga kali dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa
sok pedagangan ( keranjang tempat dagangan) yang laki memikul tegen-
tegenan (barang-barang yang dipikul) dan setiap kali melewati “Kala
Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah) kedua mempelai
menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga.

Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian mempelai laki


berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala isinya yang
ada pada sok pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan
dengan merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah),
menanam pohon kunir, pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong
dibelakang sanggar pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci Keluarga)
dan diakhiri dengan melewati “Pepegatan” (Sarana Pemutusan) yang
biasanya digunakan benang didorong dengan kaki kedua mempelai
sampai benang tersebut putus

12. Upacara Perkawinan (Pawiwahan / Wiwaha)

Hakekatnya adalah upacara persaksian ke hadapan Tuhan Yang Maha


Esa dan kepada masyarakat bahwa kedua orang yang bersangkutan telah
mengikatkan diri sebagai suami-istri.

Sarana

1. Segehan cacahan warna lima.

2. Api takep (api yang dibuat dari serabut kelapa).

3. Tetabuhan (air tawar, tuak, arak).


4. Padengan-dengan/ pekala-kalaan.

5. Pejati.

6. Tikar dadakan (tikar kecil yang dibuat dari pandan).

7. Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya
diberi periuk, bakul yang berisi uang).

8. Bakul.

9. Pepegatan terdiri dari dua buah cabang dadap yang dihubungkan


dengan benang putih.

Waktu Biasanya dipilih hari yang baik, sesuai dengan persyaratannya


(ala-ayuning dewasa). Tempat Dapat dilakukan di rumah mempelai
Iaki-laki atau wanita sesuai dengan hokum adat setempat (desa, kala,
patra). Pelaksana Dipimpin oleh seorang Pendeta / Pinandita / Wasi /
Pemangku.

Tata cara

1. Sebelum upacara natab banten pedengan-dengan, terlebih dahulu


mempelai mabhyakala dan maprayascita.

2. Kemudian mempelai mengelilingi sanggah Kamulan dan sanggah


Pesaksi sebanyak tiga kali serta dilanjutkan dengan jual beli antara
mempelai Iaki-laki dengan mempelai wanita disertai pula dengan
perobekan tikar dadakan oleh mempelai Iaki-laki.

3. Sebagai acara terakhir dilakukan mejaya-jaya dan diakhiri dengan


natab banten dapetan. Bagi Umat Hindu upacara perkawinan
mempunyai tiga arti penting yaitu :

– Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon
mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga
dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat
menolong meringankan derita orang tua/leluhur.

– Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang
wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala
perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.

– Penentuan status kedua mempelai, walaupun pada dasarnya Umat


Hindu menganut sistim patriahat (garis Bapak) tetapi dibolehkan pula
untuk mengikuti sistim patrilinier (garis Ibu). Di Bali apabila kawin
mengikuti sistem patrilinier (garis Ibu) disebut kawin nyeburin atau
nyentana yaitu mengikuti wanita karena wanita nantinya sebagai Kepala
Keluarga.

Upacara Pernikahan ini dapat dilakukan di halaman Merajan/Sanggah


Kemulan ( Tempat Suci Keluarga) dengan tata upacara yaitu kedua
mempelai mengelilingi Sanggah Kemulan ( Tempat Suci Keluarga )
sampai tiga kali dan dalam perjalanan mempelai perempuan membawa
sok pedagangan ( keranjang tempat dagangan) yang laki memikul tegen-
tegenan (barang-barang yang dipikul) dan setiap kali melewati “Kala
Sepetan”(upakara sesajen yang ditaruh di tanah) kedua mempelai
menyentuhkan kakinya pada serabut kelapa belah tiga.

Setelah tiga kali berkeliling, lalu berhenti kemudian mempelai laki


berbelanja sedangkan mempelai perempuan menjual segala isinya yang
ada pada sok pedagangan (keranjang tempat dagangan), dilanjutkan
dengan merobek tikeh dadakan (tikar yang ditaruh di atas tanah),
menanam pohon kunir, pohon keladi (pohon talas) serta pohon endong
dibelakang sanggar pesaksi/sanggar Kemulan (Tempat Suci Keluarga)
dan diakhiri dengan melewati “Pepegatan” (Sarana Pemutusan) yang
biasanya digunakan benang didorong dengan kaki kedua mempelai .
A. NGABEN
Upacara Ngaben terdiri dari 5 jenis:

Ngaben Sawa Wedana[


Sawa Wedana adalah upacara ngaben dengan melibatkan jenazah yang masih utuh (tanpa dikubur terlebih dahulu) .
Biasanya upacara ini dilaksanakan dalam kurun waktu 3-7 hari terhitung dari hari meninggalnya orang tersebut.
Pengecualian biasa terjadi pada upacara dengan skala Utama, yang persiapannya bisa berlangsung hingga sebulan.
Sementara pihak keluarga mempersiapkan segala sesuatu untuk upacara maka jenazah akan diletakkan di balai adat
yang ada di masing-masing rumah dengan pemberian ramuan tertentu untuk memperlambat pembusukan jenazah.
Dewasa ini pemberian ramuan sering digantikan dengan penggunaan formalin. Selama jenazah masih ditaruh di balai
adat, pihak keluarga masih memperlakukan jenazahnya seperti selayaknya masih hidup, seperti membawakan kopi,
memberi makan disamping jenazah, membawakan handuk dan pakaian, dll sebab sebelum diadakan upacara yang
disebut Papegatan maka yang bersangkutan dianggap hanya tidur dan masih berada dilingkungan keluarganya.

Ngaben Asti Wedana


Asti Wedana adalah upacara ngaben yang melibatkan kerangka jenazah yang pernah dikubur. Upacara ini disertai
dengan upacara ngagah, yaitu upacara menggali kembali kuburan dari orang yang bersangkutan untuk kemudian
mengupacarai tulang belulang yang tersisa. Hal ini dilakukan sesuai tradisi dan aturan desa setempat, misalnya ada
upacara tertentu di mana masyarakat desa tidak diperkenankan melaksanakan upacara kematian dan upacara
pernikahan maka jenazah akan dikuburkan di kuburan setempat yang disebut dengan upacara Makingsan ring Pertiwi
(Menitipkan di Ibu Pertiwi).

Swasta
Swasta adalah upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat, hal ini biasanya dilakukan
karena beberapa hal, seperti: meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini
jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan
kasar dari atma orang yang bersangkutan.

Ngelungah]
Ngelungah adalah upacara untuk anak yang belum tanggal gigi.

Warak Kruron
Warak Kruron adalah upacara untuk bayi.
Upacara ngaben secara konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut:

1. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki
makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah
bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam).
2. Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca
Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak
menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka.
3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan
kepergian yang bersangkutan.
Rangkaian upacara
Ngulapin
Upacara untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal luar rumah
yang bersangkutan (misalnya di Rumah Sakit, dll). Upacara ini dapat berbeda-beda tergantung tata cara dan tradisi
setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.
Nyiramin/Ngemandusin
Upacara memandikan dan membersihkan jenazah yang biasa dilakukan di halaman rumah keluarga yang
bersangkutan (natah). Prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung,
belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali
fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya, serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi
kembali agar dianugerahi badan yang lengkap (tidak cacat).
Ngajum Kajang
Kajang adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta atau tetua
adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan
upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat
melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan
perjalanannya ke alam selanjutnya.

Ngaskara]

Ngaskara bermakna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan
dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya yang masih hidup di dunia.

Mameras[

Mameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila
mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang
melalui doa dan karma baik yang mereka lakukan.

Papegatan[

Papegatan berasal dari kata pegat, yang artinya putus. Makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan
duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan sang roh menuju
Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang
lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada sebuah lesung batu dan diatasnya diisi
dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon
tersebut. Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.
Pakiriman Ngutang
Di laksanakan setelah upacara papegatan yang dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta
kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tidak mutlak harus ada,
dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan
mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara "Baleganjur" (gong khas Bali) yang
bertalu-talu dan bersemangat, atau suara angklung yang terkesan sedih. Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan
diarak berputar 3x berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha
Bhuta ke tempatnya masing-masing. Selain itu perputaran ini juga bermakna: Berputar 3x di depan rumah mendiang
sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga. Berputar 3x di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol
perpisahan dengan lingkungan masyarakat. Berputar 3x di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.

Ngeseng []

Ngeseng adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan, disertai
sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan
Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta, setelah selesai kemudian
barulah jenazah dibakar hingga hangus, Tulang-tulang hasil pembakaran kemudian dikumpulkan dan dirangkai sesuai
posisi tulang belulang itu sendiri pada tubuh saat masih utuh. Rangkaian dilakukan sedapatnya tulang yang terkumpul,
tidak harus lengkap. Rangkaian tulang belulang itu diupacarai kemudian digilas dan dimasukkan ke dalam buah kelapa
gading yang telah dikeluarkan airnya. Sisa tulang lainnya yang bercampur arang kayu dan sulit dikumpulkan dibungkus
kain kafan.

Nganyud[]

Nganyud bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang
dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, atau sungai.
Makelud/Ngaroras
Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari setelah upacara pembakaran jenazah. Dalam bahasa Bali, 12 adalah roras.
Makna upacara makelud/ngaroras ini adalah melepaskan Ekadasa Indrya (sebelas indria) dan menyucikan kembali
lingkungan keluarga akibat kesedihan yang melanda keluarga yang ditinggalkan. Setiap hari dilepas 1 indria hingga hari
ke-11. Di hari ke-12 dilakukan upacara penyucian. Mengenai Ekadasa Indrya dapat dibaca pada Manawa Dharma
Sastra.

Ngaben massal

Prosesi Ngaben masal

Ngaben massal merupakan proses ngaben yang dilakukan oleh lebih dari satu pihak, bisa satu klan, satu desa, atau
lingkup yang lebih luas, cara ini dianggap lebih efisien dan ekonomis, karena pihak yang terlibat tidak hanya satu
lingkup keluarga, dengan asumsi semakin ramai yang mengikuti semakin murah biaya yang dikeluarkan[2

Upacara mamukur biasanya dilanjutkan taua dirangkaikan dengan upacara ngalinggihang dewa pitara yang didalam
sastranya disebut Nilapati di palinggih Kamulan atau Kamimitan di Sanggah atau Pamerajan. Di dalam pustaka Pujapitra
upacara ini disebut atmapratistha yaitu mempratisthakan arwah yang telah suci itu yang disebut dewa pitara. Adapun
upacara adalah upacara terakhir dalam seluruh rangkaian upacara pitra yadnya.
2.2 Tujuan Upacara Mamukur
Upacara mamukur adalah kelanjutan dari upacara ngaben dalam keseluruhan cakupan pira yadnya dalam
aspek adhyatmika. Tujuannya adalah meningatkan lagi kesucian arwah orang yang telah diabenkan, sehingga sampai ke
tingkat dewapitara yang berada dialam dewa atau swarga. Apabila dalam upacara ngaben arwah seseorang baru sampai ke
tingka pitara yang berada di alam pitra atau bhwahloka, maka tingkat kesucian arwahnya itu barulah semi suci atau di dalam
bahasa Bali disebut kedas ( bersih dari kotoran sthulasarira atau badan wadag), belum mencapai sepenuhnya. Di dalam
upacara ngaben terjadi suatu pemisahan jiwatma dengan suksmasarira, sedangkan di dalam upacara mamukur terjadi
pemisahan jiwatma dengan antahkarana , sehingga jiwatma menjadi suci yang disebut dewa pitara dan berada di alam desa
atau swah loka ( swarga). Itulah sebabnya upacara mamukur disebut upacara atmawedana di dalam Pujapitra yaitu suatu
upacara yang memproses peningkatan kesucian daripada jiwatma itu.
Upacara memukur merupakan suatu keharusan bagi umat Hindu untuk dilaksanakan sebagai kelanjutan daripada upaara
ngaben, guna arwah seseorang itu mencapai kesucian sampai tingkat dewapitara, untuk dapat jiwatmanya reinkarnasi atau
menitis kembali kedunia sesuai dengan karmawasana yang masih melekatinya. Apabila tidak diupacarai mamukur, arwah
seseorang itu akan tetap berada di alam pitara dan mengambang tidak bisa reinkarnasi karena jiwatmanya masih dikungkung
oleh antahkarana, sehingga jiwatmanya tidak mendapat kesempatan melaksanaan subhakarma untuk
menembus asubhakarma yang pernah diperbuatnya dimasa kehidupannya yang dahulu yang masih melekatinya
sebagai karmawasana. Dalam hal yang demikian itulah arwahnya akan menyakiti keturunannya sendiri, karena tidak tuntas
B. UPACARA SETELAH NGABEN (MAMUKUR) .membayar hutang jasa
atau pitra rnam kepada leluhurnya, sehingga terjadilah gangguan- gangguan spiritual di lingkungan keluarga keturunannya.
Demikianlah upacara mamukur mengandung suatu tujuan mulia yang meningkatkan lagi kesucian arwah orang yang telah
diabenkan itu untuk bisa mencapai swahloka atau swarga, karena hanya arwah yang telah suci yang dapat mencapai swarga.
Maka dari itu melaksanakan upacara memukur adalah suatu keharusan bagi umat Hindu dalam rangka menyelenggarakan
upacara pitra yadnya scara keseluruhan. Sementara itu ada suatu pandangan dalam masyarakat yang beranggapan di Puri
bekas kerajaan dahulu melaksanakan upacara mamukur atau maligya, maka masyarakat sekitar Puri tersebut tidak berani
mendahului melaksanakan upacara mamukur untuk leluhurnya. Dasar pemikirannya adalah mengkaitkan upacara mamukur
dengan ngiring ke Puri atau ke Griya. Pandangan yang demikian itu beralasan pula, namun tidaklah mesti mengkaitkan
upacara agama bak ngaben maupun mamukur dengan ngiring ke Puri atau Geria, karena upacara agama dapat dilaksanakan
secara individual dan dapat pula dilaksanakan secara kolektif. Sesungguhnya agama itu adalah bersifat individual karena
didasarkan atas rasa dan rasio. Namun dalanm hal- hal tertentu dan ditinjau dari segi efisiensi dan nilai- nilai sosial, maka
beberapa bentuk upacara agama dapat pula dilaksanakan secara kolektif.
2.3 Jenis Upacara Mamukur
Sebagaimana halnya dengan jenis dan macam upacara ngaben, bahwa upacara mamukur juga banyak jenisnya.
Disamping jenisnya banyak, namun juga nama atau istilahnya juga banyak antara lain ada yang disebut dengan nykah
kurung, nyekah tricandi dan nyekah ngangsen. Nyekah kurung mempunyai pengertian yang sama dengan mamukur atau
maligya, sedangkan nyekah tricandi dan nyekah ngangsen mempunyai pengertian lain dengan mamukur dan tidak dapat
dipandang sebagai suatu upacara mamukur ang sebenarnya, melainkan suatu upacara yang hanya bersifat semetara.
Ada tiga jenis upacara mamukur yaitu:

 Mamukur Alit
 Mamukur Madia
 Mamukur Utama
Upacara Mamukur Alit
Dalam mengungkapkan upacara atau banten, baik untuk mamukur alit, mamukur madia, maupun untuk mamukur utama,
bahwa disini akan disajikan jenis dan macam upacara yang digunakan menurut fungsi dan kegunaannya serta tahapan
upacaranya. Upacara- upacara yang dikemukakan di sini adalah merupakan upakara pokok saja menurut ketentuan sastra
agama dan dapat dikembangkan lagi menurut dresta setempat. Adapun upakara- upakara tersebut dapat dideskripsikan
seperti berikut ini.

1. Upacara ngangget don bingin :


 Pras daksina suci kalih soroh
 Tipat kelanan atanding
 Bantal kelanan atanding
 Rayunan atanding
 Pangulapan asoroh
 Prayascita atanding
 Byakala asoroh
 Pasucian canang rebong
 Wastra putih kuning
 Tikeh klasa abidang
 Wastra putih rurub tikeh klasa
 Eteh- eteh :galah ( juan) bambu kuning berisi satsat dan pada ujungnya
 Wastra putih rurub tikeh klasa
 Eteh- eteh :galah ( juan) bambu kuning berisi satsat dan pada ujungnya berisi tiuk sudhamala.
( Mengenai upacara ini mengikuti dresta setempat)

2. Upacara nusuk don bingin :


 Ajuman putih kuning atanding
 Canang sagenep atanding
 Pras dhaksina asoroh
 Segehan atanding
 Tatabuhan
 Sekarura beras kuning
3. Upakara ngajum sekah :
 Pras dhaksina suci asoroh
 Ajuman putih kuning atanding
 Pasucian atanding
 Rantasan putih kuning
 Canang gantal atanding
 Segehan atanding
4. Upakara mapurwa dhaksina :
 Pras dhaksina suci asoroh
 Sakakura beras kuning
 Rantasan putih
 Prayascita atanding
 Byakala atanding
 Segehan
 Tatabuhan
5. Upakara ngarereh toya hening :
 Pras dhaksina suci kalih soroh
 Tipat kelanan atanding
 Bantal kelanan atanding
 Rayunan atanding
 Jaja mamanisan atanding
 Pangulapan asoroh
 Byakala asoroh
 Segehan atanding
 Tatabuhan
6. Upakara ngaliwet :
 Pras dhaksina suci asoroh
 Pangulapan asoroh
 Prayascita atanding
 Segehan nasi barak atanding
 Tatabuhan
 Eteh- eteh ngaliwet sajangkepnyane.
7. Upakara ring sanggar surya pamukuran
Banten munggah ring surya :

 Catur sari asoroh


 Ardhanareswari asoroh
 Guru paduka asoroh
 Sasayut sidhapurna atanding
 Sasayut mertadewa atanding
 Sasayut pabresihan atanding
 Sasayut sidhakarya atanding
 Sasayut mertasari atanding
( Mengenai bentuk- bentuk banten sasayut, disebutkan dalam taka rontal Indik Tatandingan Banten).

Banten ring sor surya :

 Babangkit alit asoroh


 Gelarsanga asoroh.
Banten harepan surya ring sor :

 Caru bebek blangkalung asoroh


 Pagenian asoroh
 Gelarsanga asoroh
 Segehan agung atanding
 Tatabuhan
8. Upakara ring payadnyan
Banten ring sekah sange :

 Pras dhaksina suci asoroh


 Catur sari asoroh
 Dhaksina mapayas asiki
 Puspaijo asiki
 Saji tarpana asoroh
 Sasayut pangideran lalima
 Jaja mamanisan atanding
 Gebogan tegeh asiki
 Beruk misi yeh kumkuman asiki
 Beruk misi yeh ambuh asiki
 Beruk kakocor misi yeh hening asiki
 Lilin mawadah kakelenting asoroh
 Cawan mawadah kakelenting asoroh
 Wastra putih kuning
 Base kinangan atanding.
Banten ring sekah puspalingga :

 Pulogembal miwah sekar taman asoroh


 Dhaksina mapayas asiki
 Puspaijo asiki
 Guru paduka asoroh
 Saji tarpana asoroh
 Dyuskamaligi atanding
 Banten pebresihan asoroh
 Gebigan tegeh asiki
 Sasayut pangideran lalima
 Wastra putih kuning
 Base kinangan atanding
 Sangsangan putih kuning kakalih
 Beruk misi yeh kumkumang asiki
 Beruk misi yeh ambuh asiki
 Beruk kakosor misi yeh hening asiki
 Lilin mawadah kakelenting asoroh
 Cawan mawadah kakelentingan asoroh
 Blayag, entil, tipat, pesor pada makelan
 Pasucian atanding
 Gelarsanga asoroh
 Segehan agung atanding
 Tatabuhan
 Sumbu kakalih genahang ring harep panyadnyan madaging payukpere misi toya hening
9. Upakara mamaca Putrusaji :
 Dhaksina gede pras suci asoroh
 Wastra putih
 Segehan atanding

10. Upakara ring harepan sang muput :
 Dhaksina gede pras suci kalih soroh
 Catur sari asoroh
 Rayunan kalih pajeg
 Punia sakabuatan
 Padudusan alit asoroh
 Praspancawara atanding
 Eteh- eteh pamralinan sajangkepnyane.
11. Upakara damar kurung :
 Pras dhaksina suci asoroh
 Tipat kelanan atanding
 Saji muncuk kuskusan atanding
 Bungkak kelapa gading makasturi asiki
 Payuk pere misi toya hening asiki.
12. Upakara pamelaspas janggawari :
 Pras dhaksina suci asoroh
 Banten pelaspas atanding
 Pangulapan asoroh
 Prayascita atanding
 Byakala asoroh
 Wastra putih
 Segehan agung

13. Upakara nunas tirtha ke Pura dan juga ke Kawitan :
 Pras dhaksina suci asoroh
 Segehan atanding

14. Upakara ngayut sekah tunggal :
 Pras dhaksina suci kalih soroh
 Tipat kelanan atanding
 Bantal kelanan atanding
 Prayascita atanding
 Pangulapan asoroh
 Byakala asoroh
 Banten pakelem asoroh madaging : bebek hidup, ayam hidup, tegen- tegenan lebeng matah
 Gelarsanga asoroh
 Segehan agung

15. Upakara untuk jukung ( bila panganyutannya menggunakan jukung) :
 Pras dhaksina suci asoroh
 Tipat kelanan atanding
 Bantal kelanan atanding
 Prayascita atanding
 Pengulapan asoroh.
( Mengenai ini menurut dresta yang berlaku setempat).

16. Upakara untuk gambelan :


 Pras dhaksina soda asoroh
 Segehan atanding

( untuk mamukur alit, gambelan yang digunakan hanyalah gender saja).

17. Apabila upacara mamukur diselenggaran secara mabwaka, maka terlebih dahulu diperlukan upakara untuk:
pangalang sasih, alaning dewasa, labaan- labaan, panegdegan dan lain sebagainya.
Tetapi apabila upacara mamukur diselenggarakan dalam rangka tutugsengker upacara pangabenannya, maka upacara dan
upakara tersebut dalam butir 17 ini tidak lagi dilaksanakan.
Kelengkapan upacara
Dalam upacara mamukur alit, tidak menggunakan bukur atau madhya untuk usungan sekah- tunggal ngayut ke laut ( baca:
ke air), cukup menggunakan janggawari saja atau tidak menggunakannya. Dalam hal ini sekah tunggal dijunjung atau
dipangku ketika membawanya ( ngayut) ke laut ( ke air). Ketika upacara mapurwa dhaksina, tidak menggunakan lembu
seperti pada upacara mamukur madia atau utama. Mengenai penggunaan gambelan atau unen- unen, dalam mamukur alit
cukup hanya menggunakan gender saja atau dapat pula tanpa menggunakan gambelan. Demikian pula dalam mencari toya
hening, tidak perlu secara berarak- arakan ( mapeed), melainkan cukup dilakukan oleh dua orang saja yang membawa banten
dan alat- alat tempat toya hening itu.
Mengenai kelengkapan yang lainnya seperti bale payadnyan, balepawedan, peralatan puspalingga dan lain- lain haruslah ada,
walaupun secara sederhana, karena hal itu mengandung arti filosofi yang tinggi. Walaupun wujud puspalingganya sama
dengan puspalingga dalam upacara mamukur madia dan utama, namun wijaksara yang dituliskan dalam pupalingga itu
tidaklah sama dan ada ketentuannya masing- masing seperti yang disebutkan dalam sastra agama.
Tata cara
Tata cara yang dimaksudkan disini adalah tahapan atau eedan upacara mamukur alit secara pokok- pokoknya saja dalam arti
apa yang dilakukan terlebih dahulu dan apa yang dilakukan kemudiannya. Tahapan upacara adalah sangat dipahami untuk
tepatnya penyelenggaraan upacara itu dilaksanakan. Lebih- lebih lagi bagi sulinggih yang muput upacara itu patutlah paham
dengan tahapan penggunaan puja mantra yang digunakan dalam memimpin suatu upacara sehingga sasarannya tepat
mencapai tujuan. Adapun eedan upacara mamukur alit adalah sebagai berikut :
 Terlebih dahulu peralatan dan perlengkapan upacara disiapkan. Upakara atau banten diatur letaknya sedemikian
rupa menurut fungsi dan kegunaannya.
 Nangget don bingin
 Nusuk don beringin dan dilanjutkan dengan membuat puspalingga.
 Ngajum nyekah atau puspalingga
 Ngarereh toya hening ke tempat yang dinilai suci dengan membawa upakara yang telah ditentukan dan tenpat air.

 Malaspas janggawari dengan menggunakan upakara yang telah ditentukan.
 Ngaliwet dilakukan ditenpat upacara dipimpin oleh sulinggih yang muput.
 Ida Padanda yang muput munggah mapuja.
 Pembacaan Putrusaji. Sementara Ida Pedanda mamuja, dilakukan pembacaan pustaka Putrusaji oleh sang walaka.
 Tahapan terakhir dari pemujaan Ida Pedanda adalah melakukan pralina bertempat dihadapan sanggah surya dengan
peralatan dan upakara yang telah ditentukan.
 Ngaturan papendetan kepada sang dewapitara yang dilinggihkan pada puspalingga.
 Ngeseng puspalingga.
 Selesai ngeseng, arang puspalingga itu dimasukkan ke dalam kelapa kuning dan dibuat sekah tunggal.
 Ngayut sekah tunggal ke laut.
 Upacara Mamukur Madia
Sesuai dengan tingkatannya, bahwa upacara yang digunakan dalam memukur madia lebih banyak dan lebih besar dari pada
uoacara yang digunakan dalam upacara mamukur alit. Pada prinsipnya upakara yang digunakan adalah sama dengan
mamukur alit tetapi ada penambahan- penambahan dan pengembangannya sesuai dengan ketentuan sastra agama dan juga
memperhatikan loka dresta serta desa dresta. Upakara yang digunakan dalam upakara mamukur madia dapat dideskripsikan
secara pokok- pokoknya saja seperti di bawah ini.

1. Upacara ngangget don bingin :


 Pras daksina suci kalih soroh
 Tipat kelanan atanding
 Bantal kelanan atanding
 Rayunan atanding
 Jaja mamanisan atanding
 Prayascita atanding
 Pangulapan asoroh
 Byakala asoroh
 Tikeh klasa abidang
 Rantangan putih kuning
 Wastra putih aled din bingin
 Lantaran wastra putih
 Pasucian canang rebong
 Segehan agung atanding
 Tatabuhan
 Alatnya adalah: galah (juan) bambu kuning berisi satsat dan tiuksudamala.
2. Upakara nusuk don bingin :
 Pras dhaksina suci asoroh
 Ajuman putih kuning atanding
 Rayunan atanding
 Rantasan putih kuning
 Pasucian atanding
 Sekarura beras kuning
 Segehan atanding

3. Upakara ngajum sekah :
 Pras dhaksina suci asoroh
 Rayunan atanding
 Ajuman putih kuning atanding
 Pasucian atanding
 Rantasan putih kuning
 Jaja mamanisan atanding
 Canang bantal sagenep asoroh
 Panyeneng asiki
 Minyak wangi
 Segehan atanding
 Tatabuhan
4. Upakara mapurwa- dhaksina :
Terlebih dahulu ngadegang sanggah surya alit ( tidak berisi sorsurya). Banten munggah di surya yaitu :

 Dhaksina gede sarwa pat asiki


 Pras suci gede asoroh
 Rantasan putih kuninh sapradeg
 Tipat kelanan atanding
 Bantal kelanan atanding
 Rayunan apajeg
 Sasayut sane madan- adan asoroh.
Banten di natar di harepan surya :

 Pras dhaksina suci asoroh


 Gelar sanga asoroh
 Segehan agung atanding

Banten lembu :

 Dhaksina gede pras suci asoroh


 Prayascita atanding
 Pangulapan asoroh
 Byakala asoroh
 Sasayut: pamiakkala, laramararadan, pabresihan pada atanding
 Segehan agung atanding

Panganggon lembu :

 Wastra putih kuning


 Pecut mapontang selaka
 Padang lepas apesel
 Paso misi yeh anyar
 ( lembu mapayas, mapun minyak wangi, masekar pucukbang).
Banten pangangon lembu :

 Pras dhaksina suci asoroh


 Wastra putih kuning
 Nasi takilan maulam karangan asiki
 Kuwud abungkul

Pajekjekan lembu :

 Lantaran wastra putih


 Kawangen pengerekan
 Beras kuning sekarura
 Emas sekala
 Jinah bolong.
5. Upakara ngarereh toya hening :
 Pras dhaksina suci asoroh
 Tipat kelanan atanding
 Bantal kelanan atanding
 Rayunan atanding
 Pasucian atanding
 Rantasan putih kuning
 Prayascita atanding
 Pamgulapan asoroh
 Yakala asoroh
 Segehan agung atanding

( Mengenai ini mengikuti dresta yang berlaku setempat)
6. Upakara ngaliwet :
 Pras dhaksina suci asoroh
 Prayascita atanding
 Pangulapan asoroh
 Byakala asoroh
 Segehan barak atanding
 Tatabuhan
 Beras maseruh ping 11 lan
 Eteh- eteh ngaliwet sajangkepnyane.
7. Upakara ring sanggah surya pamukuran :
Banten sane munggah ring surya :

 Catur rebah asoroh


 Pancasaraswati asoroh
 Ardhanareswari asoroh
 Rantasan putih kuning saperadeg
 Guru paduka atanding
 Puspaijo asiki
 Sasayut caturbhuwana atanding
 Sasayut mertadewa atanding
 Sasayut sidhapurna atanding
 Sasayut mertasari atanding
 Sasayut pabresihan atanding
 Sasayut sidhakarya atanding
 Sasayut prayascitaluwih atanding
 Wedhya asoroh.
Banten ring sor surya :

 Babangkit sari asoroh


 Pulogembal
 Sekartaman
 Gelar sanga asoroh.
Banten ring natar harepan surya :

 Caru panca mustika asoroh


 Pegenian asoroh
 Gelarsanga asoroh

8. Upakara ring payadnyan :
Banten ring harepan sangge :

 Pras daksina suci asoroh


 Dhaksina mapayas asiki
 Puspaijo asiki
 Gurupaduka soroh
 Catur sari asoroh
 Saji tarpana asoroh
 Sasayut sane maadan- adan 5 tanding
 Jaja mamanisan atanding
 Gebogan adulang
 Beruk misi yeh kumkuman asiki
 Beruk misi yeh ambuh asiki
 Beruk kakocor misi yeh hening asiki
 Lilin mawadah kakelentingan
 Cawan mawadah kakelentingan
 Rantasan putih kuning
 Pasucian atanding
 Base kinangan atanding.
Banten ring sekah utawi puspalingga :

 Pras dhaksina suci asoroh


 Dhaksina mapayas asiki
 Puspaijo asiki
 Guru paduka soroh
 Catur sari asoroh
 Saji tarpana soroh
 Sasayut sane maadan- adan 5 tanding
 Gebogan adulang
 Dyuskamaligi atanding
 Banten pabresihan atanding
 Praspancawara atanding
 Beruk misi yeh kumkuman asiki
 Beruk misi yeh ambuh asiki
 Beruk kakocor misi yeh hening asiki
 Rantasa putih kuning
 Pasucian atanding
 Base kinangan atanding
 Lilin mawadah kakelentingan
 Cawan mawadah kakelentingan
 Sangsangan putih kuning kakalih
 Sumbu kakalih diharepan bale payadnyan genah payuk pere misi toya hening.
Banten ring harepan payadnyan :

 Pulogembal
 Sekartaman
 Babangkit sari asoroh
 Jarimpen tegeh kakalih
 Gebogan tegeh kakalih
 Gelar sanga asoroh

9. Upakara mamaca Putrusaji :
 Dhaksina gede asiki
 Pras suci asoroh
 Wastra putih
 Segehan atanding

10. Upakara ring harepan sang muput :
 Dhaksina gede kakalih
 Dhaksina alit kakalih
 Suci gede kakalih
 Suci alit kakalih
 Pras ajuman 3 tanding
 Rayunan 3 tanding
 Catur sari asoroh
 Punya lan wastra putih kuning
 Banten padudusan alit asoroh
 Canang pamralinan
 Eteh- eteh pambralinan
11. Upakara damarkurung :
 Pras dhaksina suci asoroh
 Saji panunggal atanding
 Bungkak nyuhgading makasturi atanding
 Payukpere misi yeh hening asiki.
12. Upakara pamelaspas bukur utawi madhya :
 Banten pelaspas asiki
 Prayascita asiki
 Byakala asoroh
 Pangulapan asoroh
 Banten pamakuhan asoroh
 Dhaksina gede asiki
 Pras suci asoroh
 Wastra putih kuning
 Segehan agung atanding

Apabila bukur atau madhya itu memakai atap bertingkat ( tumpang), maka banten pamelaspas ditambah :

 Babangkit mulam guling asoroh


 Gelar sanga.
( ini menrut loka dresta yang berlaku setempat).

13. Upakara nunas tirtha ke Pura dan juga ke Kawitan :


 Pras dhaksina suci asoroh
 Segehan

14. Upakara nganyut sekah tunggal :
Banten katur ka Surya :

 Dhaksina gede asiki


 Pras suci asoroh.
Banten katur ke segara :

 Dhaksina gede asiki


 Pras suci asoroh
 Prayascita atanding
 Pangulapan asoroh
 Byakala asoroh
 Tipat kelanan atanding
 Sasayut sidapurna atanding
 Sasayut sidakarya atanding
 Sasayut pabresihan atanding
 Pasucian atanding
 Rantasan putih kuning
 Banten pakelem asoroh jangkep saha bebek hidup, ayam hidup, tegen- tegenan lebeng matah
 Gelarsanga asoroh
 Segehan agung atanding

Banten jukung ( bila menganyutannya memakai jukung) :

 Pras dhaksina suci asoroh


 Tipat kelanan atanding
 Bantan kelanan atanding
 Prayascita atanding
 Byakala asoroh
 Pangulapan asoroh
 Segehan

( Mengenai ini adalah menurut dresta dari nelayan yang akan mengemudikan jukung yang membawa sekah tunggal itu ke
tengah laut).

15. Upakara untuk gambelan :


Untuk mamukur madia, gambelan yang biasa dipakai adalah angkelung. Adapun ukaranya adalah :

 Dhaksina gede pras suci asoroh


 Nasi punjungan mulam karangan atanding
 Tipat dampulan mulam taluh maguling abungkul
 Segehan atanding

Banten panguleman angkelung :

 Pras dhaksina suci asoroh


 Nasi punjungan mulam karangan atanding
 Ulam babakaran atanding
 Segehan atanding

16. Sebagai halnya dengan upacara mamukur alit, bahwa apabila dilakkan secara mabwaka, maka terlebih dahulu
diperlukan upakara: pangalangsasih, alaningdewasa, labaan- labaan, panegdegan dan sebagainya.
Kelengkapan upacara
Upakara mamukur madia, kelengkapan upacaranya menggunakan bukur atau madhya untuk sang walaka atau ekajati,
sedangkan untuk sang sulinggih atau dwijati menggunakan padma ngelayang untuk tempat usungan sekah tunggal ngayut ke
laut. Mengenai tingkatan atap ( tumpang) bukurnya adalah menurut kawongannya sesuai dengan drestanya.

Di dalam upacara mapurwadhaksina menggunakan seekor lembu (semestinya lembu-putih) yang terlebih dahulu diberikan
upakara penyucian disertai panganggo yang telah ditentukan. Lembu itu dituntun mengelilingi bale-payadnyan diikuti oleh
sekah puspalingga yang dijunjung di atas kepala atau dipangku di depan dada disertai gagitan yaitu : kidung, tantri atau
kakawin.
Gambelan atau unen-unen yang digunakan dalam memukur madia adalah angkelung, berbeda halnya dengan upacara ngaben
yang menggunakan gambelan gong dan gambang. Kendatipun demikian namun kenyataan di masyarakat, ada juga yang
menggunakan gambelan angkelung pada upacara ngaben. Ditinjau dari arti atau makna kegunaan gambelan dalam
mengiringi upacara pariyadnya, maka akan lebih tepat apabila pada upacara ngaben menggunakan gambelan gong dan
gambang, sedangkan dalam upacara mamukur menggunakan gambelan angkelung dan gong-Iwang. Penggunaan gambelan
ini bersifat luwes, sehingga dalam upacara ngabensudah cukup menggunakan gambelan gong saja tanpa gambelan gambang
dan pada upacara mamukur sudah cukup menggunakan gambelan angkelung saja tanpa menggunakan gambelan gong-
Iwang.

Di dalam upacara mencari toya hening, dilakukan dengan mepaeed atau secara arak-arakan diiringi dengan gambelan. Ini
adalah suatu kawibawaan (gensi) saja, sedangkan kasuksmannya sama saja dengan mencari toya hening
tanpa mepaeed. Yang penting dalam mencari toya hening itu haruslah dengan upakara dan upacara.
Mengenai puspalingga dalam mamukur madia sedikit ada perbedaannya dengan puspalingga dalam mamukur alit.
Perbedaannya antara lain adalah dalam mamukur madia, menur puspalingga mesanglup perak. Demikian
pula wijaksaranya berbeda dengan puspalingga dalam mamukur alit sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Perbedaan
lain lagi adalah tingkatan puja-mantra yang digunakan oleh Ida Padanda yang muput, antara puja-mantra yang digunakan
dalam mamukur madia. Perbedaan tingkatan puja-mantra yang digunakan menyebabkan perbedaan lamanya waktu yang
diperlukan oleh Ida Padanda yang muput untuk memimpin upacara mamukur itu.
Tatacara
Tatacara atau edaan upacra mamukur madia, pada prinsipnya tidaklah berbeda dengan tatacara upacara mamukur
alit. Di dalamnya menyelenggarakan suatu yadnya, bahwa tatacara dari pada upacara adalah sangat penting dipahami untuk
tepatnya penyelenggaraan upacara itu dilakukan, sehingga mencapai sasaran yang tepat menurut tujuan dari pada
menyelenggarakan yadnya itu sendiri.
Adapun tatacara atau edaan upacara mamukur madia adalah sebagai berikut :
 Diawali dengan mempersiapkan peralatan dan perlengkapan upacara. Upakara atau banten diatur letaknya
sedemikian rupa sesuai dengan fungsi dan kegunaannya masing-masing.
 Ngangget don bingin.
 Nusuk don bingin dan dilanjutkan dengan membuat sekah puspalingga.
 Ngajum sekah puspalingga.
 Ngarereh toya hening.

 Malaspas bukur atau madhya.
 Ngaliwet adalah membuat nasi untuk saji tarpana yang diperuntukan kepada arwah mereka yang diupacarai itu.
 Ida Padanda yang muput munggah mapuja.
 Ngenyitin damar kurung.
 Ngilenang padudusan.
 Pembacaan Putrusaji.
 Pada tahapan akhir dari pada pemujaan Ida Padanda, dilakukanlah pamralinan.
 Ngaturang papendetan kepada sang dewapitara ( arwah yang tekah suci) yang dilinggihkan pada puspalingga.
 Ngeseng puspalingga.
 Makarya sekah tunggal.
 Nganyut sekah tunggal ke laut.
Upacara Mamukur Utama
Upacara mamukur utama lebih banyak menggunakan upakara dari pada upacara mamukur madia, karena beberapa hal yang
dikembangkan. Pengembangannya itu berlandaskan ketentuan- ketentuan dalam sastra agama mengenai upacara mamukur
itu sendiri, disamping itu juga memperhatikan dresta- dresta yang berlaku. Kendatipun demikian namun prinsip- prinsip
upakara yang digunakan adalah sama saja, baik yang digunakan dalam upacara mamukur alit dan mamukur madia, maupaun
yang digunakan dalam upacara mamukur uatama, dapat dideskripsikan secara pokok- pokoknya saja seperti dibawah ini.

1. Upakara ngangget don bingin :


 Dhaksina pras suci kalih soroh
 Tipat kelanan kalih tanding
 Bantal kelanan kalih tanding
 Rayunan atanding
 Jaja mamanisan atanding
 Prayascita atanding
 Pangulapan asoroh
 Byakala asoroh
 Rantasan putih kuning
 Pasucian canang rebong
 Tikeh klasa abidang
 Wastra putih aled don bingin
 Lantaran wastra putih
 Segehan agung atanding
 Tatabuhan
 Alatnya adalah: galah ( juan) bambu kuning berisi satsat dan pada ujungnya berisi tiuk sudamala.
( Mengenai upakara ini mengikuti dresta yang berlaku setempat).

2. Upakara nusuk don bingin :


 Pras dhaksina suci asoroh
 Ajuman putih kuning atanding
 Rayunan atanding
 Rantasab putih kuning
 Pasucian atanding
 Sekarura beras kuning
 Segehan atanding
 Tatabuhan
3. Upakara ngajum sekah :
 Pras dhaksina suci asoroh
 Rayunan atanding
 Ajuman putih kuning atanding
 Prayascita atanding
 Panyeneng asiki
 Minyak wangi
 Rantasan putih kuning
 Jaja mamanisan atanding
 Canang gantal sagenep asoroh
 Segehan atanding
 Tatabuhan
4. Upakara mapurwadhaksina :
Terlebih dahulu ngadegang sanggah surya ( tidak berisi sor surya).

Banten munggah di surya yaitu :

 Dhaksina gede sarwa pat siki


 Pras suci gede asoroh
 Banten ardhanareswari asoroh
 Rantasan putih kuning saperadeg
 Rayunan kalih pajeg
 Tipat kelanan kalih tanding
 Bantal kelanan kalih tanding
 Sasayut sane madan- adan 5 tanding.
Banten ring natar ring harepan surya :

 Babangkit asoroh
 Sasayut sane madan- adan asoroh
 Prayascita atanding
 Pasucian atanding
 Rantasan putih kuning
 Gelar sanga asoroh
 Sekarura beras kuning
 Segehan agung atanding
Banten lembu :

 Dhaksina gede pras suci asoroh


 Prayascita atanding
 Pangulapan asoroh
 Byakala asoroh
 Ayaban praspangambyan asoroh
 Sasayut pamiakkala atanding
 Sasayut raramararadan atanding
 Sasayut pabresihan atanding
 Segehan agung atnding
Panganggo lembu :

 Wastra putih kuning saparadeg


 Pecut mapontang emas
 Tanduk lembune masanglup emas
 Yeh anyar mawadah paso misi padanglepas apesel
( Lembune mapaya, mapun minyak wangi, masekar pucuk bang).

Banten panganggon lembu :

 Pras dhaksina suci asoroh


 Nasi takilan mulam karangan asiki
 Wastra putih kuning saperadeg
 Kuwud abungkul
 Capil asiki
Pajekjekan lembu :

 Lantaran wastra putih


 Kawangen pangerekan
 Sekarura beras kuning
 Emas selaka
 Mirah
 Jinah bolong.
5. Upakara ngarereh toya hening :
 Pras dhaksina suci kalih soroh
 Tipat kelanan atanding
 Bantal kelanan atanding
 Rayunan kalih tanding
 Prayascita atanding
 Pangulapan asoroh
 Byakala asoroh
 Pasucian atanding
 Segehan agung kalih tanding
( Mengenai ini mengikuti dresta yang berlaku setempat).

6. Upakara madeeng ngunya mapinton :


 Pulogenbal sarad asoroh
 Babangkit dangsil asoroh
 Gayah utuh asoroh
 Saji tar[ana asoroh
 Pasucian atanding
 Rantasan putih kuning saperadeg
 Segehan agung atanding
 Tatabuhan
 Pras dhaksina suci asoroh, untuk setiap Pura atau Kawitan yang dituju.
7. Upakara ngaliwet :
 Pras dhaksina suci asoroh
 Prayascita atanding
 Byakala asoroh
 Pangulapan asoroh
 Segehan nasi barak atanding
 Pasucian
 Tatabuhan
 Beras maseruh ping 11 lan
 Eteh- eteh ngeliwet sajangkepnyane.
8. Upakara ring sanggah surya pamukuran :
Banten sane munggah ring surya :

 Catur niri asoroh


 Pancasaraswati asoroh
 Gana asoroh
 Papuweran asoroh
 Banten masang lingga asoroh
 Ardhanareswari asoroh
 Wedhya asoroh
 Rantasan putih saparadeg
 Rantasan kuning saparadeg
 Pasucian lingga sajangkepnyane.
Banten ring sor surya :
 Babangkit asoroh
 Pulogembal
 Sekartaman
 Pagenian asoroh
 Gelarsanga asoroh
Banten ring natar harepan surya :

 Caru panca sanak asoroh


 Caru angsa putih asoroh
 Titimamah asoroh
 Babangkit asoroh
 Pagenian asoroh
 Gelarsanga asoroh
9. Upakara ring Payadnyan :
Banten ring ulon sangge :

 Pras dhaksina suci asoroh


 Dhaksina mapayas asiki
 Puspaijo asiki
 Gurupaduka asoroh
Banten ring harepan sangge :

 Dhaksina gede pras suci asoroh


 Catur lebah asoroh
 Saji tarpana soroh
 Sasuyut sane madan- adan 9 tanding
 Dyuskamaligi atanding
 Banten pabresihan atanding
 Beruk misi yeh kumkuman asiki
 Beruk misi yeh ambuh asiki
 Beruk kakocor misi yeh hening asiki
 Lilin wadah kakelentingan asoroh
 Cawan mawadah kakelentingan asoroh
 Base kinangan atanding
 Pasucian atanding
 Rantasan putih kuning saparadeg
 Gabogan tegeh kalih
 Sangsangan kakalih gantungan ring bale payadnyan.
Banten rimg ulon sekah puspalingga :

 Pras dhaksina suci asoroh


 Dhaksina mapayas asiki
 Puspoijo asiki
 Gurupaduka asoroh.
Banten ring harepan sekah pupalingga :

 Pras dhaksina suci asoroh


 Catur rebah asoroh
 Saji tarpana asoroh
 Dyuskamaligi atanding
 Banten pabresihan atanding
 Rantasan putih kuning saparadeg
 Pasucian atanding
 Base kinangan atanding
 Beruk misi yeh kumkuman asiki
 Beruk misi yeh ambuh asiki
 Beruk kakocor misi yeh hening asiki
 Lilin mawadah kakelentingan asoroh
 Cawan mawadah kakelentingan asoroh
 Gebogan tegeh kakalih
 Jarimpen tegeh kakalih
Banten ring harepan Payadnyan :

 Taman pulogembal sarad asoroh


 Babangkit dangsil asoroh
 Gayah utuh asoroh ( ulam suci)
 Gelar sanga asoroh
 Tatabuhan
 Sumbu misi payuk pere misi yeh hening kakalih
 Sumbu misi asep kakalih.
10. Upakara mamaca Putrusaji :
 Dhaksina gede asiki
 Pras suci asoroh
 Wasrea putih
 Segehan atanding
 tatabuhan
11. Upakara ringharepansang muput :
 Dhaksina gede kakalih
 Suci gede kakalih
 Pras dhaksina suci kalih soroh
 Catur asoroh
 Rayunan kalih pajeng
 Punya sajangkepnyane
 Wastra putih kuning saparadeg
12. Upacara mralina :
 Dhaksina gede suci asoroh
 Menyan
 Astanggi
 Sekar tunjung putih (masurat wijaksara)
 Piring sutra
13. Upakara padudusan alit :
 Praspancawara atanding
 Praskara atanding
 Pajajiwan atanding
 Pungun-pungun atanding
 Mretasanjiwani atanding
 Pangrabodan asiki
 Prayascita atanding
 Byakala asoroh
 Bungkak-kelapa mawarna 5 soroh
 Isuh-isuh atanding
 Sok shudamala asiki
 Penyeneng gede asiki
 Sekah-dewa asiki
 Sekarura beras-kuning
 Sosolan bebek putih miwah ayam-putihhidup pada siki
14. Upacara pemlaspas bukur utawi madya
 dhaksina gede sarwa pat siki
 pras suci asoroh
 taman pulogembal asoroh
 bebangkit asoroh
 banten palaspas atanding
 prayascita atanding
 pangulapan asoroh
 byakala asoroh
 gelarsanga asoroh
 segehan agung atanding
 banten pemakuhan atanding
 tetabuhan
( ini menurut dresta dari undagi tukang bukur )

15. Upakara damar kurung :


 Pras dhaksina suci asoroh
 Saji kasturi asoroh
 Saji panunggal asoroh
 Kelapa kuning makasturi asiki
 Payuk pere misi toya hening asiki
16. Upakara nunas tirtha ke pura dan ke kawitan
 Pras dhaksina suci asoroh
 Segehan
 Tatabuhan
17. Upakara penganyutan bukur (maleburawu)
Terlebih dahulu ngadegang sanggah surya, munggah banten:

 Dhaksina gede suci asoroh


 Ardhanareswari asoroh
 Rantasan putih kuning
Banten katur ke segara ( ke air )

 Dhaksina gede suci asoroh


 Babangkit asoroh
 Prayascita asroh
 Pangulapan asoroh
 Byakala asoroh
 Pasucian atanding
 Lis gede isuh-isuh
 Gelarsanga asoroh
 Segehan agung atanding
 Tatabuhan
Banten pakelem ke segara

 Dhaksina gede suci acoroh


 Tegen tegenan lebeng-matah
 Bebek idup asiki
 Ayamhidup asiki
 Segehan agung atanding
 Tatabuhan
Banten harepan sang muput

 Dhaksina gede suci asoroh


 Pras dhaksina gede suci asoroh
 Rayunan apajeg
 Tipat kelan atanding
 Bantal kelanatanding
 Rantasan putih kuning
 Segehan atanding
 Tatabuhan
Banten jukung

 Dhaksina gede suci asoroh


 Prayascita atanding
 Byakala asoroh
 Pangulapan asoroh
 Tipat kelan atanding
 Bantal kelan atanding
(ini menurut dresta setempat)

Banten sang mamanjang jukung

 Dhaksina gede asoroh


 Wastra putih
 Segehan
 Tatabuhan
18. Upakara untuk gambelan :
Apabila memakai gambelan gong, maka bantennya sebagai berikut :

 Dhaksina gede pras suci asoroh


 Nasi punjungan mulam karangan atanding
 Tipat gong mulam taluh maguling abungkul
 Segehan atanding
 Tatabuhan
Banten panguleman gong :

 Pras dhaksina suci asoroh


 Nasi punjungan mulam karangan atanding
 Ulam babakaran atanding
 Segehan atanding

( Ini menurut dresta berlaku setempat).

Apabila menggunakan gambelan: angkelung atau gong lwang, maka bantennya sama saja, hanya untuk banten gambelan
angkelung, tipat gongnya diganti dengan tipat dampulan. Banten panguleman juga sama.

Kelengkapan upakara
Sesuai dengan nama mamukur utama, maka kelengkapan upacaranya adalah serba besar dan lengkap. Segala sesuatunya
dilakukan secara upacara mamukur utama, kelengkapan upacaranya menggunakan bukur atau madhya untuk sang walaka
atau ekajati sedangkan untuk sang sulinggih atau dwijati menggunakan padma ngalayang untuk tempat usungan sekah
tunggal ngayut ke laut. Dalam pembuatan bukur atau padma ngalayang itu digunakan ketentuan ukuran ( sikut ) yang utama
pula. Mengenai tingkatan atap ( tumpang) bukurnya adalah menurut kawongannya sesuai dengan drestanya.

Oleh karena upacara mamukur utama itu serba besar, maka tempat upacaranya memerlukan tempat yang agak luas. Maka
dari itu tempat upacaranya biasanya dilakukan ditanah lapang yang agak luasmisalnya sawah, di tegalan atau di halaman
depan dari suatu pamerajan. Ditempat upacara itu dibangun bale payadnyan, bale pawedan, sanggar surya (sanggar tawang)
yang besar, tinggi dan megah serta dikelilingi pagar yang penuh dengan hiasan, sehingga kelihatannya indah, megah dan
semarak.

Di dalam upacara mapurwadhaksina menggunakan seekor lembu putih ( kalau tidak ada bisa diganti dengan lembu biasa).
Untuk di Bali, lembu putih itu biasanya didapatkan di desa Taro Kecamatan Tagalalang Gianyar. Terlebih dahulu lembu itu
dimandikan dan diberikan upakara penyucian serta diberi panganggo yang telah ditentukan untuk itu. Ketika mapurwa
dhaksina, lembu itu dituntun mengelilingi Payadnyan diikuti oleh sekah puspalingga yang dijunjung diatas kepala atau
dipangku di depan dada disertai gagitan yaitu : kidung, tantri atau kakawin.

Unen- unen atau gambelan yang digunakan dalam mamukur utama adalah angkelung atau gong lwang. Oleh karena gong
lwang sangat langka, maka sebagai penggantinya adalah gong gede yang biasa saja. Penggunaan unen- unen atau gambelan
tertentu dalam upacara pitra yadnya, baik pada waktu ngaben dan mamukur, maupun pada waktu ngalinggihang sang
dewapitara adalah mempunyai arti simbolik tersendiri, disamping juga mempunyai nilai psiko religious.

Upacara mencari toya hening dilakukan secara berarak- arakan atau mapeed dengan peralatan atau atribut selengkapnya
diiringi gambelan, sehingga menampakkan suatu suasana yang meriah. Sesungguhnya peed ini hanyalah suatu kewibawaan
saja, sedangkan kasuksmaannya sama saja dengan tata cara mencari toya hening yang sederhana. Yang penting dalam
mencari toya hening itu haruslah dengan upakara dan upacara seperti yang telah ditentukan, karena mempunyai arti penting
secara tersendiri.

Kelengkapan mengenai sekah puspalingga. Dalam mamukur utama, menur sekah puspalingga masanglup emas. Demikian
pula wijaksana yang dituliskan pada buluh sekah puspalingga itu berbeda berbeda dengan yang dituliskan pada buluh sekah
puspalingga dalam mamukur madia dan mamukur alit. Mengenai ini ada ketentuan sastranya untuk dijadikan pegangan,
supaya tidak keliru menyelenggarakannya. Demikian pula puja mantra yang digunakan oleh Ida Padanda yang muput
berbeda tingkatannya antara yang digunakan dalam mamukur alit, mamukur madia dan mamukur utama. Makin tinggi atau
makin besar tingkatan upacaranya, makin tinggi atau makin banyak puja mantra yang digunakan dalam memimpin upacara
itu. Maka dari itulah dalam mamukur utama ini Ida Padanda yang muput akan memerlukan waktu yang cukup lama dalam
memimpin upacaranya. Disebabkan karena banyaknya puja mantra yang digunakan, maka itu didalam upacara mamukur
utama sering menggunakan beberapa orang padanda untuk mupu dengan pembidangan ( among- amongan) masing- masing.

Suatu ciri khas dari pada upacara mamukur utama adalah mengadakan upacara mabhawa yaitu suatu upacara resi bojana
yang besar dihaturkan kepada Ida Padanda yang muput dan juga kepada beberapa wiku atau sulinggih yang menyaksikan
upacara mamukur itu. Di dalam mamukur alit dan mamukur madia, upacara mabhawa itu tidak dilakukan.

Tatacara
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa tatacara atau eedan dari pada suatu upacara adalah sangat penting dipahami untuk
tepatnya penyelenggaraan suatu upacara, guna mencapai tujuan dari pada penyelenggaraan yadnya itu sendiri. Tatacara atau
eedan uoacara mamukur utama, pada prinsipnya tidaklah berbeda dengan eedan upacara mamukur madia. Ada beberapa hal
saja yang nampak berbeda, namun sesungguhnya hal itu hanyalah merupakan pengembangan saja dari pada eedan upacara
mamukur madia, karena disana sini ditambah dan dikembangkan sehingga keadaannya serba mewah, besar dan semarak.
Kendatipun demikian namun penambahan dan pengembangannya itu patutlah sesuai dengan petunjuk sastra agama yang
ada.

Adapun beberapa eedan upacara mamukur utama itu adalah seperti di bawah ini :

 Terlebih dahulu upakara atau banten serta peralatan- peralatan upacara dipersiapkan. Upakara atau banten- banten
yang akan digunakan diatur letaknya sedemikian rupa (manjahang banten) sesuai dengan fungsi dan kegunaannya
masing- masing. Dalam hal ini tukang banten berperan penting, mengelompokkan banten- banten yang akan
digunakan sesuai dengan tahapan upacara.
 Ngangget don bingin
 Nusuk don bingin
 Ngajum
 Ngarereh toya hening
 Madeeng ngunya mapinton
 Mapurwadhaksina
 Melaspas bukur atau madhya
 Ngaliwet
 Ida Padanda yang muput muggah mapuja
 Ngenyitin damar kurung
 Ngilenang pedudusan
 Pembacaan Putrusaji
 Muspa
 Mralina
 Ngaturang papendetan
 Ngeseng puspalingga
 Makarya sekah tunggal
 Ngayut sekah tunggal ke laut. Sekah tunggal yang sudah berada di dalam bukur atau madhya atau padma
ngalayang diusung ke laut untuk di anyut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di Bali ada beberapa istilah yang mempunyai arti sama dengan mamukur yaitu: nyekah, mapararos dan maligya. Namun
istilah yang lazim digunakan adalah mamukur dan maligya. Istilah mamukur selain paling umum digunakan, namun juga
banyak pustaka rontal yang menyebutkannya. Mamukur berasal dari kata bukur. Kata bukur adalah akronim dari kata bu
( bhu) artinya alam, dan kaa ur ( yang berasal dari kata urdhah) artinya atas. Kata bukur artinya alam atas dan
kata mamukur artinya menuju alam atas atau swah loka yang juga disebut swarga yang artinya berada di alam swah.

Anda mungkin juga menyukai