Absen: 21
Kelas: 7.6
MANUSA YADNYA
Manusa Yadnya adalah suatu upacara suci yang bertujuan memelihara hidup, mencapai
kesempurnaan dalam kehidupan dan kesejateraan manusia selama hidupnya.Upakara/upacara oton
(otonan) yang biasanya di rayakan setiap 6 bulan sekali di dalam kalender wuku Bali.
Penjelasan:
1.Megedong-Gedongan
Megedong-Gedongan merupakan upacara adat Hindu Bali dalam rangkaian
upacara adat kehamilan. Bertemunya Kama Jaya (Sperma) dan Kama Ratih (Ovum)
menciptakan wujud manusia dalam bentuk bayi. Upacara Megedong-Gedongan
adalah upacara pertama yang ditujukan kepada bayi dalam kandungan sang ibu
ketika berusia 5 bulan Bali (kurang lebih 6 bulan dalam kalender masehi). Pada usia
tersebut, bayi telah dianggap memiliki wujud yang lebih sempurna dan telah
berwujud manusia. Upacara Megedong-Gedongan memiliki tuuan untuk menyucikan
bayi dalam kandungan. Masyarakat Hindu Bali percaya dengan dilakukannya
upacara ini, bayi dalam kandungan tidak mudah gugur (abortus). Upacara ini juga
bertujuan untuk menguatkan sang anak dan sang ibu agar persalinan berjalan
lancar. Disamping itu sang bayi diharapkan setelah lahir dapat memiliki budi yang
luhur, menjadi seorang anak yang berguna bagi keluarga, masyarakat, dan negara,
serta selalu siberikan keselamatan dalam hidup. [1]
Walaupun merupakan budaya dari satu suku yakni suku Bali, namun penerapan
upacara Megedong-Gedongan di setiap daerah di Bali sangat bervariasi. Hal ini
sangat bergantung dengan kebiasaan upacara yang berkembang di
masyarakat desa adat.
Upacara ini dilaksanakan pada waktu bayi baru dilahirkan. Upacara ini
adalah sebagai ungkapan kebahagiaan atas kehadiran si kecil di dunia.
Sarana :
Tata Cara :
1. Bayi yang baru lahir diupacarai dengan banten dapetan, canang sari,
canang genten, sampiyan dan penyeneng. Tujuannya agar atma / roh
yang menjelma pada si bayi mendapatkan keselamatan.
Upacara ini merupakan cetusan rasa bahagia dan terima kasih dari kedua
orang tua atas kelahiran anaknya, walaupun disadari bahwa hal tersebut
akan menambah beban baginya.
Upacara kepus puser atau pupus puser adalah upacara yang dilakukan
pada saat puser bayi lepas.
Sarana :
4. Segehan empat buah dengan warna merah, putih, kuning, dan hitam.
Masingmasing berisi bawang, jahe dan garam.
Waktu Upacara kepus puser dilaksanakan pada saat bayi sudah kepus
pusernya, umumnya pada saat bayi berumur tiga hari. Tempat Upacara
ini dilaksanakan di dalam rumah terutama di sekitar tempat tidur si bayi.
Pelaksana Untuk melaksanakan upacara ini cukup dipimpin oleh
keluarga yang tertua (sesepuh), atau jika tidak ada, orang tua si bayi.
Tata Cara :
1. Puser bayi yang telah lepas dibungkus dengan kain putih lalu
dimasukkan ke dalam “ketupat kukur” (ketupat yang berbentuk burung
tekukur) disertai dengan rempah-rempah seperti cengkeh, pala, lada dan
lain-lain, digantung pada bagian kaki dari tempat tidur si bayi.
Tata Cara :
Upacara yang dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari, atau tiga
bulan dalam hitungan pawukon.
Waktu Upacara ini dilakukan pada saat anak berusia 105 hari. Bila
keadaan tidak memungkinkan, misalnya, keluarga itu tinggal di rantauan
dan ingin upacaranya dilangsungkan bersama keluarga besar sementara
si anak terlalu kecil untuk dibawa pergi jauh, upacara bisa ditunda.
Biasanya digabungkan dengan upacara 6 bulan. Tempat Seluruh
rangkaian upacara bayi tiga bulan dilaksanakan di lingkungan rumah.
Pelaksana Upacara ini dipimpin oleh Pandita atau Pinandita.
Tata Cara :
Upacara yang dilakukan setelah bayi berumur 210 hari atau enam bulan
pawukon. Upacara ini bertujuan untuk menebus kesalahan-kesalahan
dan keburukan-keburukan yang terdahulu, sehingga dalam kehidupan
sekarang mencapai kehidupan yang lebih sempurna.
Sarana
Waktu Upacara wetonan dilaksanakan pada saat bayi berusia 210 hari.
Pada saat itu kita akan bertemu dengan hari yang sama seperti saat
lahimya si bayi (pancawara, saptawara, dan wuku yang sama).
Selanjutnya boleh dilaksanakan setiap 210 hari, semacam memperingati
hari ulang tahun. Tentu saja semakin dewasa, semakin sederhana
bantennya.
Tata cara:
Upacara yang dilakukan pada saat anak tumbuh gigi yang pertama.
Upacara ini bertujuan untuk memohon agar gigi si anak tumbuh dengan
baik.
Sarana :
Upacara besar : Petinjo kukus dengan ayam atau itik, dilengkapi dengan
tataban.
Waktu Upacara ini dilaksanakan pada saat bayi tumbuh gigi yang
pertama dan sedapat mungkin tepat pada waktu matahari terbit. Tempat
Keseluruhan rangkaian upacara dilaksanakan di rumah. Pelaksana
Upacara ini dipimpin oleh seorang pandita / pinandita atau salah seorang
anggota keluarga tertua.
Tata Cara :
Sarana :
2. Canang sari.
Tata Cara :
Upacara ini dilaksanakan pada saat anak menginjak dewasa. Upacara ini
bertujuan untuk memohon ke hadapan Hyang Samara Ratih agar
diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak.
Sarana :
Tata Cara :
penerusnya.
Perasaan getar-getar asmara itu dibentengi melalui dua jalur yaitu, jalur
niskala, membersihkan jiwa anak dengan mengadakan Upacara yang
disebut Raja Sewala dan jalur sekala, dengan memberikan wejangan-
wejangan yang bermanfaat bagi dirinya.
Upacara Raja Sewala ini sesuai dengan apa yang diungkapkan didalam
Agastya Parwa bahwa, disebutkan ada tiga perbuatan yang dapat
menuju sorga, yaitu: Tapa (pengendalian), Yadnya (persembahan yang
tulus iklas) dan Kirti (perbuatan amal kebajikan) Upacara Raja Sewala
merupakan Yadnya (persembahan yang tulus iklas) yang membuat
peluang bagi keluarganya untuk masuk sorga.
Nilai pendidikan
Upacara Raja Sewala/meningkat dewasa yang dilakukan oleh umat
Hindu adalah merupakan salah satu jenis Upacara Manusa Yadnya yang
bertujuan untuk memohon kehadapan Sanghyang Widhi Waça (Tuhan
Yang Maha Esa) dalam menifestasinya sebagai Sang Hyang Semara
Ratih, agar orang itu dibimbing, sehingga ia dapat mengendalikan
dirinya dalam menghadapi Pancaroba. Pada masa pancaroba ini
seseorang sangat rentan terhadap godaan-godaan khususnya godaan dari
Sad Ripu yaitu: Kroda (sifat marah), Loba (rakus/tamak), Kama
(nafsu/keinginan), Moha (kebingungan), Mada (kemabukan), dan
Matsarya (rasa iri hati).
●
(10). Upacara potong gigi (mepandes / metatah)
Upacara ini bertujuan untuk mengurangi pengaruh Sad Ripu yang ada
pada diri si manak.
Sarana :
1. Sajen sorohan dan suci untuk persaksian kepada Hyang Widhi Wasa.
3. Sajen peras daksina, ajuman dan canang sari, kelapa gading dan
sebuah bokor.
Tata Cara :
5. Orang yang diupacari diberi pengganjal dari tebu dan giginya mulai
diasah, bila sudah dianggap cukup diberi pengurip-urip.
Acuan
Selain itu disebutkan bahwa Bethara Gana lahir dari Dewi Uma setelah
Dewa Siwa dibangunkan Dari tapa semadhinya oleh Dewa Semara
(Asmara) namun kemudian Dewa Siwa menghukum Dewa Semara
bersama istrinya, Dewi Ratih,dengan membakarnya sampai menjadi
abu. kemudian menyebarkan abu tersebut ke dunia dan mengutuk
manusia agar tidak bisa hidup tanpa berpasangan (laki-perempuan)
dalam suami istri. Dalam lontar Sang Hyang yama disebutkan bahwa
upacara potong gigi boleh dilaksanakan bila naka sudah menginjak
dewasa, ditandai dengan menstruasi untuk wanita dan suara yang
membesar untuk pria. Biasanya hal ini muncul di kala usia 14 tahun.
Semaradhana.
Urutan Upacara :
• Mencicipi Sad rasa yaitu enam rasa berupa rasa pahit dan asam
sebagai simbol agar tabah menghadapi peristiwa kehidupan yang
kadang-kadang tidak menyenangkan, rasa pedas sebagai simbol agar
tidak menjadi marah bila mengalamai atau mendengar hal yang
menjengkelkan, rasa sepat sebagai symbol agar taat ada peraturan atau
norma-norma yang berlaku, rasa asin sebagai simbol kebijaksanaan,
selalu meningkatkan kualitas pengetahuan karena pembelajaran diri, dan
rasa manis sebagai symbol kehidupan yang bahagia lahir bathin sesuai
cita-cita akan diperoleh bilamana mampu menhadapi pahit getirnya
kehidupan, berpandangan luas, disiplin, serta enantiasa waspada dengan
adanya sad ripu dalam diri manusia.
Sarana
4. Padengan-dengan/ pekala-kalaan.
5. Pejati.
7. Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya
diberi periuk, bakul yang berisi uang).
8. Bakul.
– Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon
mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga
dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat
menolong meringankan derita orang tua/leluhur.
– Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang
wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala
perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.
Sarana
4. Padengan-dengan/ pekala-kalaan.
5. Pejati.
7. Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya
diberi periuk, bakul yang berisi uang).
8. Bakul.
Tata cara
– Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon
mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga
dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat
menolong meringankan derita orang tua/leluhur.
– Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang
wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala
perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.
Sarana
5. Pejati.
7. Pikulan (terdiri dari cangkul, tebu, cabang kayu dadap yang ujungnya
diberi periuk, bakul yang berisi uang).
8. Bakul.
Tata cara
– Sebagai upacara suci yang tujuannya untuk penyucian diri kedua calon
mempelai agar mendapatkan tuntunan dalam membina rumah tangga
dan nantinya agar bisa mendapatkan keturunan yang baik dapat
menolong meringankan derita orang tua/leluhur.
– Sebagai persaksian secara lahir bathin dari seorang pria dan seorang
wanita bahwa keduanya mengikatkan diri menjadi suami-istri dan segala
perbuatannya menjadi tanggung jawab bersama.
Swasta
Swasta adalah upacara ngaben tanpa memperlibatkan jenazah maupun kerangka mayat, hal ini biasanya dilakukan
karena beberapa hal, seperti: meninggal di luar negeri atau tempat jauh, jenazah tidak ditemukan, dll. Pada upacara ini
jenazah biasanya disimbolkan dengan kayu cendana (pengawak) yang dilukis dan diisi aksara magis sebagai badan
kasar dari atma orang yang bersangkutan.
Ngelungah]
Ngelungah adalah upacara untuk anak yang belum tanggal gigi.
Warak Kruron
Warak Kruron adalah upacara untuk bayi.
Upacara ngaben secara konsepsional memiliki makna dan tujuan sebagai berikut:
1. Dengan membakar jenazah maupun simbolisnya kemudian menghanyutkan abu ke sungai, atau laut memiliki
makna untuk melepaskan Sang Atma (roh) dari belenggu keduniawian sehingga dapat dengan mudah
bersatu dengan Tuhan (Mokshatam Atmanam).
2. Membakar jenazah juga merupakan suatu rangkaian upacara untuk mengembalikan segala unsur Panca
Maha Bhuta (5 unsur pembangun badan kasar manusia) kepada asalnya masing-masing agar tidak
menghalangi perjalan Atma ke Sunia Loka.
3. Bagi pihak keluarga, upacara ini merupakan simbolisasi bahwa pihak keluarga telah ikhlas, dan merelakan
kepergian yang bersangkutan.
Rangkaian upacara
Ngulapin
Upacara untuk memanggil Sang Atma. Upacara ini juga dilaksanakan apabila yang bersangkutan meninggal luar rumah
yang bersangkutan (misalnya di Rumah Sakit, dll). Upacara ini dapat berbeda-beda tergantung tata cara dan tradisi
setempat, ada yang melaksanakan di perempatan jalan, pertigaan jalan, dan kuburan setempat.
Nyiramin/Ngemandusin
Upacara memandikan dan membersihkan jenazah yang biasa dilakukan di halaman rumah keluarga yang
bersangkutan (natah). Prosesi ini juga disertai dengan pemberian simbol-simbol seperti bunga melati di rongga hidung,
belahan kaca di atas mata, daun intaran di alis, dan perlengkapan lainnya dengan tujuan mengembalikan kembali
fungsi-fungsi dari bagian tubuh yang tidak digunakan ke asalnya, serta apabila roh mendiang mengalami reinkarnasi
kembali agar dianugerahi badan yang lengkap (tidak cacat).
Ngajum Kajang
Kajang adalah selembar kertas putih yang ditulisi dengan aksara-aksara magis oleh pemangku, pendeta atau tetua
adat setempat. Setelah selesai ditulis maka para kerabat dan keturunan dari yang bersangkutan akan melaksanakan
upacara ngajum kajang dengan cara menekan kajang itu sebanyak 3x, sebagai simbol kemantapan hati para kerabat
melepas kepergian mendiang dan menyatukan hati para kerabat sehingga mendiang dapat dengan cepat melakukan
perjalanannya ke alam selanjutnya.
Ngaskara]
Ngaskara bermakna penyucian roh mendiang. Penyucian ini dilakukan dengan tujuan agar roh yang bersangkutan
dapat bersatu dengan Tuhan dan bisa menjadi pembimbing kerabatnya yang masih hidup di dunia.
Mameras[
Mameras berasal dari kata peras yang artinya berhasil, sukses, atau selesai. Upacara ini dilaksanakan apabila
mendiang sudah memiliki cucu, karena menurut keyakinan cucu tersebutlah yang akan menuntun jalannya mendiang
melalui doa dan karma baik yang mereka lakukan.
Papegatan[
Papegatan berasal dari kata pegat, yang artinya putus. Makna upacara ini adalah untuk memutuskan hubungan
duniawi dan cinta dari kerabat mendiang, sebab kedua hal tersebut akan menghalangi perjalan sang roh menuju
Tuhan. Dengan upacara ini pihak keluarga berarti telah secara ikhlas melepas kepergian mendiang ke tempat yang
lebih baik. Sarana dari upacara ini adalah sesaji (banten) yang disusun pada sebuah lesung batu dan diatasnya diisi
dua cabang pohon dadap yang dibentuk seperti gawang dan dibentangkan benang putih pada kedua cabang pohon
tersebut. Nantinya benang ini akan diterebos oleh kerabat dan pengusung jenazah sebelum keluar rumah hingga putus.
Pakiriman Ngutang
Di laksanakan setelah upacara papegatan yang dilanjutkan dengan pakiriminan ke kuburan setempat, jenazah beserta
kajangnya kemudian dinaikan ke atas Bade/Wadah, yaitu menara pengusung jenazah (hal ini tidak mutlak harus ada,
dapat diganti dengan keranda biasa yang disebut Pepaga). Dari rumah yang bersangkutan anggota masyarakat akan
mengusung semua perlengkapan upacara beserta jenazah diiringi oleh suara "Baleganjur" (gong khas Bali) yang
bertalu-talu dan bersemangat, atau suara angklung yang terkesan sedih. Di perjalan menuju kuburan jenazah ini akan
diarak berputar 3x berlawanan arah jarum jam yang bermakna sebagai simbol mengembalikan unsur Panca Maha
Bhuta ke tempatnya masing-masing. Selain itu perputaran ini juga bermakna: Berputar 3x di depan rumah mendiang
sebagai simbol perpisahan dengan sanak keluarga. Berputar 3x di perempatan dan pertigaan desa sebagai simbol
perpisahan dengan lingkungan masyarakat. Berputar 3x di muka kuburan sebagai simbol perpisahan dengan dunia ini.
Ngeseng []
Ngeseng adalah upacara pembakaran jenazah tersebut, jenazah dibaringkan di tempat yang telah disediakan, disertai
sesaji dan banten dengan makna filosofis sendiri, kemudian diperciki oleh pendeta yang memimpin upacara dengan
Tirta Pangentas yang bertindak sebagai api abstrak diiringi dengan Puja Mantra dari pendeta, setelah selesai kemudian
barulah jenazah dibakar hingga hangus, Tulang-tulang hasil pembakaran kemudian dikumpulkan dan dirangkai sesuai
posisi tulang belulang itu sendiri pada tubuh saat masih utuh. Rangkaian dilakukan sedapatnya tulang yang terkumpul,
tidak harus lengkap. Rangkaian tulang belulang itu diupacarai kemudian digilas dan dimasukkan ke dalam buah kelapa
gading yang telah dikeluarkan airnya. Sisa tulang lainnya yang bercampur arang kayu dan sulit dikumpulkan dibungkus
kain kafan.
Nganyud[]
Nganyud bermakna sebagai ritual untuk menghanyutkan segala kekotoran yang masih tertinggal dalam roh mendiang
dengan simbolisasi berupa menghanyutkan abu jenazah. Upacara ini biasanya dilaksakan di laut, atau sungai.
Makelud/Ngaroras
Makelud biasanya dilaksanakan 12 hari setelah upacara pembakaran jenazah. Dalam bahasa Bali, 12 adalah roras.
Makna upacara makelud/ngaroras ini adalah melepaskan Ekadasa Indrya (sebelas indria) dan menyucikan kembali
lingkungan keluarga akibat kesedihan yang melanda keluarga yang ditinggalkan. Setiap hari dilepas 1 indria hingga hari
ke-11. Di hari ke-12 dilakukan upacara penyucian. Mengenai Ekadasa Indrya dapat dibaca pada Manawa Dharma
Sastra.
Ngaben massal
Ngaben massal merupakan proses ngaben yang dilakukan oleh lebih dari satu pihak, bisa satu klan, satu desa, atau
lingkup yang lebih luas, cara ini dianggap lebih efisien dan ekonomis, karena pihak yang terlibat tidak hanya satu
lingkup keluarga, dengan asumsi semakin ramai yang mengikuti semakin murah biaya yang dikeluarkan[2
Upacara mamukur biasanya dilanjutkan taua dirangkaikan dengan upacara ngalinggihang dewa pitara yang didalam
sastranya disebut Nilapati di palinggih Kamulan atau Kamimitan di Sanggah atau Pamerajan. Di dalam pustaka Pujapitra
upacara ini disebut atmapratistha yaitu mempratisthakan arwah yang telah suci itu yang disebut dewa pitara. Adapun
upacara adalah upacara terakhir dalam seluruh rangkaian upacara pitra yadnya.
2.2 Tujuan Upacara Mamukur
Upacara mamukur adalah kelanjutan dari upacara ngaben dalam keseluruhan cakupan pira yadnya dalam
aspek adhyatmika. Tujuannya adalah meningatkan lagi kesucian arwah orang yang telah diabenkan, sehingga sampai ke
tingkat dewapitara yang berada dialam dewa atau swarga. Apabila dalam upacara ngaben arwah seseorang baru sampai ke
tingka pitara yang berada di alam pitra atau bhwahloka, maka tingkat kesucian arwahnya itu barulah semi suci atau di dalam
bahasa Bali disebut kedas ( bersih dari kotoran sthulasarira atau badan wadag), belum mencapai sepenuhnya. Di dalam
upacara ngaben terjadi suatu pemisahan jiwatma dengan suksmasarira, sedangkan di dalam upacara mamukur terjadi
pemisahan jiwatma dengan antahkarana , sehingga jiwatma menjadi suci yang disebut dewa pitara dan berada di alam desa
atau swah loka ( swarga). Itulah sebabnya upacara mamukur disebut upacara atmawedana di dalam Pujapitra yaitu suatu
upacara yang memproses peningkatan kesucian daripada jiwatma itu.
Upacara memukur merupakan suatu keharusan bagi umat Hindu untuk dilaksanakan sebagai kelanjutan daripada upaara
ngaben, guna arwah seseorang itu mencapai kesucian sampai tingkat dewapitara, untuk dapat jiwatmanya reinkarnasi atau
menitis kembali kedunia sesuai dengan karmawasana yang masih melekatinya. Apabila tidak diupacarai mamukur, arwah
seseorang itu akan tetap berada di alam pitara dan mengambang tidak bisa reinkarnasi karena jiwatmanya masih dikungkung
oleh antahkarana, sehingga jiwatmanya tidak mendapat kesempatan melaksanaan subhakarma untuk
menembus asubhakarma yang pernah diperbuatnya dimasa kehidupannya yang dahulu yang masih melekatinya
sebagai karmawasana. Dalam hal yang demikian itulah arwahnya akan menyakiti keturunannya sendiri, karena tidak tuntas
B. UPACARA SETELAH NGABEN (MAMUKUR) .membayar hutang jasa
atau pitra rnam kepada leluhurnya, sehingga terjadilah gangguan- gangguan spiritual di lingkungan keluarga keturunannya.
Demikianlah upacara mamukur mengandung suatu tujuan mulia yang meningkatkan lagi kesucian arwah orang yang telah
diabenkan itu untuk bisa mencapai swahloka atau swarga, karena hanya arwah yang telah suci yang dapat mencapai swarga.
Maka dari itu melaksanakan upacara memukur adalah suatu keharusan bagi umat Hindu dalam rangka menyelenggarakan
upacara pitra yadnya scara keseluruhan. Sementara itu ada suatu pandangan dalam masyarakat yang beranggapan di Puri
bekas kerajaan dahulu melaksanakan upacara mamukur atau maligya, maka masyarakat sekitar Puri tersebut tidak berani
mendahului melaksanakan upacara mamukur untuk leluhurnya. Dasar pemikirannya adalah mengkaitkan upacara mamukur
dengan ngiring ke Puri atau ke Griya. Pandangan yang demikian itu beralasan pula, namun tidaklah mesti mengkaitkan
upacara agama bak ngaben maupun mamukur dengan ngiring ke Puri atau Geria, karena upacara agama dapat dilaksanakan
secara individual dan dapat pula dilaksanakan secara kolektif. Sesungguhnya agama itu adalah bersifat individual karena
didasarkan atas rasa dan rasio. Namun dalanm hal- hal tertentu dan ditinjau dari segi efisiensi dan nilai- nilai sosial, maka
beberapa bentuk upacara agama dapat pula dilaksanakan secara kolektif.
2.3 Jenis Upacara Mamukur
Sebagaimana halnya dengan jenis dan macam upacara ngaben, bahwa upacara mamukur juga banyak jenisnya.
Disamping jenisnya banyak, namun juga nama atau istilahnya juga banyak antara lain ada yang disebut dengan nykah
kurung, nyekah tricandi dan nyekah ngangsen. Nyekah kurung mempunyai pengertian yang sama dengan mamukur atau
maligya, sedangkan nyekah tricandi dan nyekah ngangsen mempunyai pengertian lain dengan mamukur dan tidak dapat
dipandang sebagai suatu upacara mamukur ang sebenarnya, melainkan suatu upacara yang hanya bersifat semetara.
Ada tiga jenis upacara mamukur yaitu:
Mamukur Alit
Mamukur Madia
Mamukur Utama
Upacara Mamukur Alit
Dalam mengungkapkan upacara atau banten, baik untuk mamukur alit, mamukur madia, maupun untuk mamukur utama,
bahwa disini akan disajikan jenis dan macam upacara yang digunakan menurut fungsi dan kegunaannya serta tahapan
upacaranya. Upacara- upacara yang dikemukakan di sini adalah merupakan upakara pokok saja menurut ketentuan sastra
agama dan dapat dikembangkan lagi menurut dresta setempat. Adapun upakara- upakara tersebut dapat dideskripsikan
seperti berikut ini.
17. Apabila upacara mamukur diselenggaran secara mabwaka, maka terlebih dahulu diperlukan upakara untuk:
pangalang sasih, alaning dewasa, labaan- labaan, panegdegan dan lain sebagainya.
Tetapi apabila upacara mamukur diselenggarakan dalam rangka tutugsengker upacara pangabenannya, maka upacara dan
upakara tersebut dalam butir 17 ini tidak lagi dilaksanakan.
Kelengkapan upacara
Dalam upacara mamukur alit, tidak menggunakan bukur atau madhya untuk usungan sekah- tunggal ngayut ke laut ( baca:
ke air), cukup menggunakan janggawari saja atau tidak menggunakannya. Dalam hal ini sekah tunggal dijunjung atau
dipangku ketika membawanya ( ngayut) ke laut ( ke air). Ketika upacara mapurwa dhaksina, tidak menggunakan lembu
seperti pada upacara mamukur madia atau utama. Mengenai penggunaan gambelan atau unen- unen, dalam mamukur alit
cukup hanya menggunakan gender saja atau dapat pula tanpa menggunakan gambelan. Demikian pula dalam mencari toya
hening, tidak perlu secara berarak- arakan ( mapeed), melainkan cukup dilakukan oleh dua orang saja yang membawa banten
dan alat- alat tempat toya hening itu.
Mengenai kelengkapan yang lainnya seperti bale payadnyan, balepawedan, peralatan puspalingga dan lain- lain haruslah ada,
walaupun secara sederhana, karena hal itu mengandung arti filosofi yang tinggi. Walaupun wujud puspalingganya sama
dengan puspalingga dalam upacara mamukur madia dan utama, namun wijaksara yang dituliskan dalam pupalingga itu
tidaklah sama dan ada ketentuannya masing- masing seperti yang disebutkan dalam sastra agama.
Tata cara
Tata cara yang dimaksudkan disini adalah tahapan atau eedan upacara mamukur alit secara pokok- pokoknya saja dalam arti
apa yang dilakukan terlebih dahulu dan apa yang dilakukan kemudiannya. Tahapan upacara adalah sangat dipahami untuk
tepatnya penyelenggaraan upacara itu dilaksanakan. Lebih- lebih lagi bagi sulinggih yang muput upacara itu patutlah paham
dengan tahapan penggunaan puja mantra yang digunakan dalam memimpin suatu upacara sehingga sasarannya tepat
mencapai tujuan. Adapun eedan upacara mamukur alit adalah sebagai berikut :
Terlebih dahulu peralatan dan perlengkapan upacara disiapkan. Upakara atau banten diatur letaknya sedemikian
rupa menurut fungsi dan kegunaannya.
Nangget don bingin
Nusuk don beringin dan dilanjutkan dengan membuat puspalingga.
Ngajum nyekah atau puspalingga
Ngarereh toya hening ke tempat yang dinilai suci dengan membawa upakara yang telah ditentukan dan tenpat air.
Malaspas janggawari dengan menggunakan upakara yang telah ditentukan.
Ngaliwet dilakukan ditenpat upacara dipimpin oleh sulinggih yang muput.
Ida Padanda yang muput munggah mapuja.
Pembacaan Putrusaji. Sementara Ida Pedanda mamuja, dilakukan pembacaan pustaka Putrusaji oleh sang walaka.
Tahapan terakhir dari pemujaan Ida Pedanda adalah melakukan pralina bertempat dihadapan sanggah surya dengan
peralatan dan upakara yang telah ditentukan.
Ngaturan papendetan kepada sang dewapitara yang dilinggihkan pada puspalingga.
Ngeseng puspalingga.
Selesai ngeseng, arang puspalingga itu dimasukkan ke dalam kelapa kuning dan dibuat sekah tunggal.
Ngayut sekah tunggal ke laut.
Upacara Mamukur Madia
Sesuai dengan tingkatannya, bahwa upacara yang digunakan dalam memukur madia lebih banyak dan lebih besar dari pada
uoacara yang digunakan dalam upacara mamukur alit. Pada prinsipnya upakara yang digunakan adalah sama dengan
mamukur alit tetapi ada penambahan- penambahan dan pengembangannya sesuai dengan ketentuan sastra agama dan juga
memperhatikan loka dresta serta desa dresta. Upakara yang digunakan dalam upakara mamukur madia dapat dideskripsikan
secara pokok- pokoknya saja seperti di bawah ini.
Pulogembal
Sekartaman
Babangkit sari asoroh
Jarimpen tegeh kakalih
Gebogan tegeh kakalih
Gelar sanga asoroh
9. Upakara mamaca Putrusaji :
Dhaksina gede asiki
Pras suci asoroh
Wastra putih
Segehan atanding
10. Upakara ring harepan sang muput :
Dhaksina gede kakalih
Dhaksina alit kakalih
Suci gede kakalih
Suci alit kakalih
Pras ajuman 3 tanding
Rayunan 3 tanding
Catur sari asoroh
Punya lan wastra putih kuning
Banten padudusan alit asoroh
Canang pamralinan
Eteh- eteh pambralinan
11. Upakara damarkurung :
Pras dhaksina suci asoroh
Saji panunggal atanding
Bungkak nyuhgading makasturi atanding
Payukpere misi yeh hening asiki.
12. Upakara pamelaspas bukur utawi madhya :
Banten pelaspas asiki
Prayascita asiki
Byakala asoroh
Pangulapan asoroh
Banten pamakuhan asoroh
Dhaksina gede asiki
Pras suci asoroh
Wastra putih kuning
Segehan agung atanding
Apabila bukur atau madhya itu memakai atap bertingkat ( tumpang), maka banten pamelaspas ditambah :
Di dalam upacara mapurwadhaksina menggunakan seekor lembu (semestinya lembu-putih) yang terlebih dahulu diberikan
upakara penyucian disertai panganggo yang telah ditentukan. Lembu itu dituntun mengelilingi bale-payadnyan diikuti oleh
sekah puspalingga yang dijunjung di atas kepala atau dipangku di depan dada disertai gagitan yaitu : kidung, tantri atau
kakawin.
Gambelan atau unen-unen yang digunakan dalam memukur madia adalah angkelung, berbeda halnya dengan upacara ngaben
yang menggunakan gambelan gong dan gambang. Kendatipun demikian namun kenyataan di masyarakat, ada juga yang
menggunakan gambelan angkelung pada upacara ngaben. Ditinjau dari arti atau makna kegunaan gambelan dalam
mengiringi upacara pariyadnya, maka akan lebih tepat apabila pada upacara ngaben menggunakan gambelan gong dan
gambang, sedangkan dalam upacara mamukur menggunakan gambelan angkelung dan gong-Iwang. Penggunaan gambelan
ini bersifat luwes, sehingga dalam upacara ngabensudah cukup menggunakan gambelan gong saja tanpa gambelan gambang
dan pada upacara mamukur sudah cukup menggunakan gambelan angkelung saja tanpa menggunakan gambelan gong-
Iwang.
Di dalam upacara mencari toya hening, dilakukan dengan mepaeed atau secara arak-arakan diiringi dengan gambelan. Ini
adalah suatu kawibawaan (gensi) saja, sedangkan kasuksmannya sama saja dengan mencari toya hening
tanpa mepaeed. Yang penting dalam mencari toya hening itu haruslah dengan upakara dan upacara.
Mengenai puspalingga dalam mamukur madia sedikit ada perbedaannya dengan puspalingga dalam mamukur alit.
Perbedaannya antara lain adalah dalam mamukur madia, menur puspalingga mesanglup perak. Demikian
pula wijaksaranya berbeda dengan puspalingga dalam mamukur alit sesuai dengan ketentuannya masing-masing. Perbedaan
lain lagi adalah tingkatan puja-mantra yang digunakan oleh Ida Padanda yang muput, antara puja-mantra yang digunakan
dalam mamukur madia. Perbedaan tingkatan puja-mantra yang digunakan menyebabkan perbedaan lamanya waktu yang
diperlukan oleh Ida Padanda yang muput untuk memimpin upacara mamukur itu.
Tatacara
Tatacara atau edaan upacra mamukur madia, pada prinsipnya tidaklah berbeda dengan tatacara upacara mamukur
alit. Di dalamnya menyelenggarakan suatu yadnya, bahwa tatacara dari pada upacara adalah sangat penting dipahami untuk
tepatnya penyelenggaraan upacara itu dilakukan, sehingga mencapai sasaran yang tepat menurut tujuan dari pada
menyelenggarakan yadnya itu sendiri.
Adapun tatacara atau edaan upacara mamukur madia adalah sebagai berikut :
Diawali dengan mempersiapkan peralatan dan perlengkapan upacara. Upakara atau banten diatur letaknya
sedemikian rupa sesuai dengan fungsi dan kegunaannya masing-masing.
Ngangget don bingin.
Nusuk don bingin dan dilanjutkan dengan membuat sekah puspalingga.
Ngajum sekah puspalingga.
Ngarereh toya hening.
Malaspas bukur atau madhya.
Ngaliwet adalah membuat nasi untuk saji tarpana yang diperuntukan kepada arwah mereka yang diupacarai itu.
Ida Padanda yang muput munggah mapuja.
Ngenyitin damar kurung.
Ngilenang padudusan.
Pembacaan Putrusaji.
Pada tahapan akhir dari pada pemujaan Ida Padanda, dilakukanlah pamralinan.
Ngaturang papendetan kepada sang dewapitara ( arwah yang tekah suci) yang dilinggihkan pada puspalingga.
Ngeseng puspalingga.
Makarya sekah tunggal.
Nganyut sekah tunggal ke laut.
Upacara Mamukur Utama
Upacara mamukur utama lebih banyak menggunakan upakara dari pada upacara mamukur madia, karena beberapa hal yang
dikembangkan. Pengembangannya itu berlandaskan ketentuan- ketentuan dalam sastra agama mengenai upacara mamukur
itu sendiri, disamping itu juga memperhatikan dresta- dresta yang berlaku. Kendatipun demikian namun prinsip- prinsip
upakara yang digunakan adalah sama saja, baik yang digunakan dalam upacara mamukur alit dan mamukur madia, maupaun
yang digunakan dalam upacara mamukur uatama, dapat dideskripsikan secara pokok- pokoknya saja seperti dibawah ini.
Babangkit asoroh
Sasayut sane madan- adan asoroh
Prayascita atanding
Pasucian atanding
Rantasan putih kuning
Gelar sanga asoroh
Sekarura beras kuning
Segehan agung atanding
Banten lembu :
Apabila menggunakan gambelan: angkelung atau gong lwang, maka bantennya sama saja, hanya untuk banten gambelan
angkelung, tipat gongnya diganti dengan tipat dampulan. Banten panguleman juga sama.
Kelengkapan upakara
Sesuai dengan nama mamukur utama, maka kelengkapan upacaranya adalah serba besar dan lengkap. Segala sesuatunya
dilakukan secara upacara mamukur utama, kelengkapan upacaranya menggunakan bukur atau madhya untuk sang walaka
atau ekajati sedangkan untuk sang sulinggih atau dwijati menggunakan padma ngalayang untuk tempat usungan sekah
tunggal ngayut ke laut. Dalam pembuatan bukur atau padma ngalayang itu digunakan ketentuan ukuran ( sikut ) yang utama
pula. Mengenai tingkatan atap ( tumpang) bukurnya adalah menurut kawongannya sesuai dengan drestanya.
Oleh karena upacara mamukur utama itu serba besar, maka tempat upacaranya memerlukan tempat yang agak luas. Maka
dari itu tempat upacaranya biasanya dilakukan ditanah lapang yang agak luasmisalnya sawah, di tegalan atau di halaman
depan dari suatu pamerajan. Ditempat upacara itu dibangun bale payadnyan, bale pawedan, sanggar surya (sanggar tawang)
yang besar, tinggi dan megah serta dikelilingi pagar yang penuh dengan hiasan, sehingga kelihatannya indah, megah dan
semarak.
Di dalam upacara mapurwadhaksina menggunakan seekor lembu putih ( kalau tidak ada bisa diganti dengan lembu biasa).
Untuk di Bali, lembu putih itu biasanya didapatkan di desa Taro Kecamatan Tagalalang Gianyar. Terlebih dahulu lembu itu
dimandikan dan diberikan upakara penyucian serta diberi panganggo yang telah ditentukan untuk itu. Ketika mapurwa
dhaksina, lembu itu dituntun mengelilingi Payadnyan diikuti oleh sekah puspalingga yang dijunjung diatas kepala atau
dipangku di depan dada disertai gagitan yaitu : kidung, tantri atau kakawin.
Unen- unen atau gambelan yang digunakan dalam mamukur utama adalah angkelung atau gong lwang. Oleh karena gong
lwang sangat langka, maka sebagai penggantinya adalah gong gede yang biasa saja. Penggunaan unen- unen atau gambelan
tertentu dalam upacara pitra yadnya, baik pada waktu ngaben dan mamukur, maupun pada waktu ngalinggihang sang
dewapitara adalah mempunyai arti simbolik tersendiri, disamping juga mempunyai nilai psiko religious.
Upacara mencari toya hening dilakukan secara berarak- arakan atau mapeed dengan peralatan atau atribut selengkapnya
diiringi gambelan, sehingga menampakkan suatu suasana yang meriah. Sesungguhnya peed ini hanyalah suatu kewibawaan
saja, sedangkan kasuksmaannya sama saja dengan tata cara mencari toya hening yang sederhana. Yang penting dalam
mencari toya hening itu haruslah dengan upakara dan upacara seperti yang telah ditentukan, karena mempunyai arti penting
secara tersendiri.
Kelengkapan mengenai sekah puspalingga. Dalam mamukur utama, menur sekah puspalingga masanglup emas. Demikian
pula wijaksana yang dituliskan pada buluh sekah puspalingga itu berbeda berbeda dengan yang dituliskan pada buluh sekah
puspalingga dalam mamukur madia dan mamukur alit. Mengenai ini ada ketentuan sastranya untuk dijadikan pegangan,
supaya tidak keliru menyelenggarakannya. Demikian pula puja mantra yang digunakan oleh Ida Padanda yang muput
berbeda tingkatannya antara yang digunakan dalam mamukur alit, mamukur madia dan mamukur utama. Makin tinggi atau
makin besar tingkatan upacaranya, makin tinggi atau makin banyak puja mantra yang digunakan dalam memimpin upacara
itu. Maka dari itulah dalam mamukur utama ini Ida Padanda yang muput akan memerlukan waktu yang cukup lama dalam
memimpin upacaranya. Disebabkan karena banyaknya puja mantra yang digunakan, maka itu didalam upacara mamukur
utama sering menggunakan beberapa orang padanda untuk mupu dengan pembidangan ( among- amongan) masing- masing.
Suatu ciri khas dari pada upacara mamukur utama adalah mengadakan upacara mabhawa yaitu suatu upacara resi bojana
yang besar dihaturkan kepada Ida Padanda yang muput dan juga kepada beberapa wiku atau sulinggih yang menyaksikan
upacara mamukur itu. Di dalam mamukur alit dan mamukur madia, upacara mabhawa itu tidak dilakukan.
Tatacara
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa tatacara atau eedan dari pada suatu upacara adalah sangat penting dipahami untuk
tepatnya penyelenggaraan suatu upacara, guna mencapai tujuan dari pada penyelenggaraan yadnya itu sendiri. Tatacara atau
eedan uoacara mamukur utama, pada prinsipnya tidaklah berbeda dengan eedan upacara mamukur madia. Ada beberapa hal
saja yang nampak berbeda, namun sesungguhnya hal itu hanyalah merupakan pengembangan saja dari pada eedan upacara
mamukur madia, karena disana sini ditambah dan dikembangkan sehingga keadaannya serba mewah, besar dan semarak.
Kendatipun demikian namun penambahan dan pengembangannya itu patutlah sesuai dengan petunjuk sastra agama yang
ada.
Adapun beberapa eedan upacara mamukur utama itu adalah seperti di bawah ini :
Terlebih dahulu upakara atau banten serta peralatan- peralatan upacara dipersiapkan. Upakara atau banten- banten
yang akan digunakan diatur letaknya sedemikian rupa (manjahang banten) sesuai dengan fungsi dan kegunaannya
masing- masing. Dalam hal ini tukang banten berperan penting, mengelompokkan banten- banten yang akan
digunakan sesuai dengan tahapan upacara.
Ngangget don bingin
Nusuk don bingin
Ngajum
Ngarereh toya hening
Madeeng ngunya mapinton
Mapurwadhaksina
Melaspas bukur atau madhya
Ngaliwet
Ida Padanda yang muput muggah mapuja
Ngenyitin damar kurung
Ngilenang pedudusan
Pembacaan Putrusaji
Muspa
Mralina
Ngaturang papendetan
Ngeseng puspalingga
Makarya sekah tunggal
Ngayut sekah tunggal ke laut. Sekah tunggal yang sudah berada di dalam bukur atau madhya atau padma
ngalayang diusung ke laut untuk di anyut.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di Bali ada beberapa istilah yang mempunyai arti sama dengan mamukur yaitu: nyekah, mapararos dan maligya. Namun
istilah yang lazim digunakan adalah mamukur dan maligya. Istilah mamukur selain paling umum digunakan, namun juga
banyak pustaka rontal yang menyebutkannya. Mamukur berasal dari kata bukur. Kata bukur adalah akronim dari kata bu
( bhu) artinya alam, dan kaa ur ( yang berasal dari kata urdhah) artinya atas. Kata bukur artinya alam atas dan
kata mamukur artinya menuju alam atas atau swah loka yang juga disebut swarga yang artinya berada di alam swah.