Ketentuan Mahar
Ketentuan Mahar
Ketentuan Mahar
Qs AN-NISA Ayat 4: ‘’ Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah
pemberian itu dengan senang hati’’. Jadi status mahar dalam pernikahan adalah wajib, namun
tidak termasuk ke dalam rukun.
Wali adhal merupakan wali pengganti bagi calon mempelai perempuan, hal ini terjadi
karena wali nasab yang sah sesuai dengan ketentuan syarat syarat wali tidak diketahui kabarnya,
keberadaannya, atau ia berada di luar negeri dan tidak dapat kembali untuk menjadi wali bagi
anak perempuannya. Ataupun wali nasab yang masih ada memang tidak mau menjadi wali calon
mempelai wanita tersebut, dengan berbagai alasan yang dimliki wali dari keluarga mempelai
wanita.
Adapun dasar hukum yang dipakai dalam penanganan kasus nikah dan rujuk (wali adhal)
adalah UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat 1, pasal 13, pasal 14 ayat 1 dan
PMA No.30 tahun 2005 tentang Wali Hakim. Munculnya wali adhal berstatus sebagai pengganti
dari wali nasab yang tidak ada, proses permmohonan agar adanya wali adhal dapat dilayangkan
ke pengadilan agama setempat. Jadi status wali adhal di Indonesia boleh asalkan calon mempelai
wanita benar benar tidak mempunyai wali nasab yang lebih utama.
Pasal 2 Peraturan Menteri Agama Nomor 30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim disebutkan
bahwa mengharuskan adanya restu atau ijin wali bagi calon mempelai perempuan yang akan
melangsungkan perkawinan. Adanya wali bagi perempuan merupakan persyaratan yang wajib
dipenuhi. Bila wali enggan memberikan ijin, menurut Pasal 2 Ayat 1 dan 2 Peraturan Menteri
Agama Nomor 30 Tahun 2005 mengharuskan meminta permohonan penetapan wali adhol di
Pengadilan Agama. Peraturan Menteri Agama No 30 Tahun 2005 merupakan solusi dan sebagai
petunjuk teknis bagi calon mempelai perempuan bila walinya enggan menjadi wali. Sedangkan
Pengadilan Agama merupakan instansi yang memutus permohonan tersebut. Putusan yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama dapat dijadikan dasar untuk melengkapi persyaratan (wali)
perkawinan yang masih kurang.
TUGAS 2: STATUS MAHAR DALAM PERNIKAHAN DI INDONESIA DAN ADAT
DAERAH
Mahar adalah pemberian yang wajib dari calon mempelai laki laki untuk calon mempelai
perempuan yang sesuai dengan kesepakatan atau yang sudah di sepakati. Hukum mahar adalah
wajib karena merupakan syarat dalam nikah akan tetapi ada juga yang mengatakan rukun nikah.
Dalil pensyariatan mahar, Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 4:
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan.” Dalam penafsiran terhadap ayat ini menurut Al-Qurtubi berkata, “ Ayat ini
menunjukan bahwa pemberian mahar kepada istri wajib hukumnya. Ini adalah ijma ulama dan
tidak ada satupun dari mereka yang menentang pendapat ini.” (Abu Malik Kamal, 2007:175).
Pasal 30, menjelaskan bahwa bahwa calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada
calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak
Pasal 31, menjelaskan bahwa penentuan mahar bedasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan
yang dianjurkan oleh Islam. Pasal 32, menjelaskan bahwa mahar diberikan langsung kepada
calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya. Pasal 33, menjelaskan bahwa
penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. Apabila calon wanita menyetujui, penyerahan mahar
boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan
penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.
Adapun dalam adat melayu Riau mahar merupakan suatu simbol penghargaan untuk
memuliakan, menghormati dan symbol keinginan untuk membahagiakan perempuan yang akan
menjadi istrnya. Mahar disebutkan pada saat proses ijab qabul atau akad nikah berlangsung,
maka dari kewajiban lelaki untuk memberikan mahar itu harus ditunaikan selama masih dalam
masa perkawinan. Dan dalam adat melayu riau juga ada yang disebut hantaran belanja, hantaran
belanja merupakan bantuan untuk pihak calon mempelai wanita untuk biaya belanja pesta
pernikahan. Hantaran belanja juga tidak wajib untuk menentukan kadarnya dan juga tidak
memiliki kadar minimum yang sudah ditentukan oleh pihak yang memiliki wewenang dalam hal
tersebut. Jadi, jika hantaran belanja sudah diberikan kepada pihak calon pengantin perempuan,
maka pihak yang bersangkutan akan membelanjakannya untuk kebutuhan pesta pernikahan
tersebut.