Anda di halaman 1dari 3

Faktor yang Mempengaruhi Kesiapan Menikah

Persiapan pernikahan dalam agama Buddha dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti tradisi, budaya, dan ajaran
agama. Meskipun praktik pernikahan dapat berbeda-beda antara komunitas Buddha di berbagai negara dan
sekte-sekte Buddha yang berbeda,
Menurut Walgito (2000), saat akan memasuki dunia pernikahan, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
kesiapan untuk menikah, yaitu sebagai berikut:
a. Faktor biologis
Faktor biologis berkaitan dengan beberapa hal, yaitu; kesehatan, keturunan, dan sexual fitness. Adapun
penjelasan dari faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kesehatan, bahwa keadaan kesehatan seseorang dalam hubungannya dengan perkawinan merupakan
satu faktor penting dan merupakan faktor esensial dalam perkawinan.
2. Keturunan, masalah keturunan ini juga merupakan persoalan dalam perkawinan, karena dalam
perkawinan pasangan suami istri menginginkan keturunan yang baik oleh karena itu masalah keturunan
ini menjadi hal yang perlu mendapat perhatian.
3. Sexual Fitness, terkait dengan apakah individu dapat melakukan hubungan seksual secara wajar atau
tidak.
b. Faktor sosial ekonomi
Faktor ini merupakan faktor yang perlu mendapat pertimbangan dalam perkawinan, sekalipun ada sementara
pihak yang memandang hal ini bukanlah merupakan suatu faktor yang mutlak, namun perlu dipertimbangkan
sebelum menikah.
Contohnya Seorang pasangan yang baru saja lulus dari perguruan tinggi mungkin ingin
menunda pernikahan sampai mereka memiliki pekerjaan yang mapan dan dapat mengatasi
biaya hidup mereka bersama.
d. Faktor psikologis
Kedewasaan dalam sisi psikologis merupakan faktor yang dituntut dalam perkawinan. Hal-hal yang perlu
mendapat perhatian adalah kematangan emosi, toleransi atau kesiapan untuk berkorban, sikap saling pengertian,
saling mengerti akan kebutuhan masing-masing pihak, dapat saling memberi dan menerima kasih sayang, sikap
saling mempercayai, adanya keterbukaan dalam komunikasi, kesiapan diri untuk lepas dari orang tua untuk
hidup mandiri.
Contoh: Kedewasaan emosional membantu pasangan untuk tidak bereaksi berlebihan
terhadap perbedaan pendapat dan konflik dalam pernikahan.

c. Faktor agama dan kepercayaan


Dalam pernikahan faktor agama atau kepercayaan hendaknya menjadi perhatian pasangan. Sebaiknya pasangan
memiliki agama yang sama. Dengan kesamaan agama maka akan meminimalkan munculnya perbedaan yang
terkait dengan agama tersebut.
 Penyelarasan dengan Dharma: Pernikahan harus sesuai dengan ajaran Buddha. Ini berarti
tidak melibatkan tindakan yang bertentangan dengan presepsi dan etika Buddha, seperti
berbohong, mencuri, atau bertindak dengan kekerasan.
Contoh: Pasangan yang akan menikah harus memastikan bahwa pernikahan mereka tidak
bertentangan dengan Prinsip Empat Mulia, seperti tidak menyebabkan penderitaan atau merugikan
orang lain.
Yang paling baik adalah perkawinan antara seorang laki-laki yang baik (dewa) dengan seorang wanita
yang baik (dewi), pasangan terakhir inilah yang dipuji oleh Sang Buddha.
(Anguttara Nikaya II, 57)

Persiapan yang masak adalah penting sekali. Sebelum kawin pihak pria dan wanita seharusnya
melakukan saling pemantauan terhadap pihak lainnya, untuk mengetahui kelebihan dan kekurangan
yang ada. Sehingga kalau ada kekurangan di pihak lainnya yang tidak dapat ditolerir, masih dapat
dilakukan langkah mundur atau putus hubungan.
Apa yang harus dinilai dari pihak wanita ? (Apabila tidak ada masalah dengan penampilan, umur,
faktor keturunan atau status sosial)

1. Keyakinan pada agama


2. Etika/moral
3. Pendidikan
4. Ketrampilan wanita
5. Kematangan emosional
6. Kebijaksanaan
Apa yang harus dinilai dari pihak pria ? (Apabila tidak ada masalah dengan penampilan, umur, faktor
keturunan dan status sosial)
1. Keyakinan pada agama
2. Etika/moral
3. Pendidikan
4. Pekerjaan
5. Tanggung jawab
6. Kebijaksanaan
7.
Keyakinan pada agama : Sebaiknya suami dan isteri mempunyai keyakinan yang sama, artinya
sama-sama beragama Buddha. Setelah keduanya beragama Buddha maka sepantasnya keduanya
memahami dan melaksanakan ajaran Sang Buddha dalam hidup sehari-hari, sehingga diharapkan
keluarganya akan berbahagia, itu yang disebutkan sebagai perkawinan di dalam Dhamma. Setelah
mempunyai keyakinan yang sama, maka selanjutnya dianjurkan untuk memiliki sila yang yang setara,
kemudian memiliki kemurahan hati yang seimbang dan akhirnya keduanya memiliki kebijaksanaan
yang setara.

Etika/Moral : Etika/moral harus menjadi perhatian utama, karena tanpa moral manusia itu seperti
mobil tanpa rem. Alangkah baiknya apabila semua calon pengantin telah menjadi upasaka/upasika
yang handal, yang selalu mentaati Pancasila Buddhis dalam kehidupan sehari-hari. Etika/moral tidak
dibentuk dalam satu hari, namun merupakan hasil kumulatif perkembangan kepribadian sejak masih
di dalam kandungan. Apabila si pacar moralnya tidak baik, lebih baik mundur teratur, daripada sakit
hati dan lebih menderita di kemudian hari. Moral akan mudah sekali rusak karena keserakahan,
kebencian dan kebodohan, akan tetapi pada zaman sekarang ini banyak yang memuji mereka yang
berhasil dalam materi, katanya “Greedy is good”.

Pendidikan: Pada zaman sekarang ini sebaiknya pendidikan formal juga dijadikan ukuran dalam
mencari pasangan hidup, karena pada suatu saat kesenjangan pendidikan yang terlalu jauh akan
mempengaruhi kerukunan dalam keluarga. Pendidikan yang cukup tinggi akan memudahkan
seseorang menerima informasi dari manapun, sehingga tidak tertinggal dalam menentukan sikap.
Pendidikan yang baik misalnya, akan memudahkan seorang janda untuk mencari kerja, apabila
keadaan memaksa.

Ketrampilan wanita: Seorang wanita harus pandai mengurus rumah tangga sebelum memasuki
jenjang perkawinan, kalau tidak tahu ia harus belajar dari yang lebih tahu. Pengetahuan yang harus
dikuasai sangatlah bervariasi, mulai dari mengurus rumah, mengatur uang belanja, belanja ke pasar,
masak di dapur, cuci pakaian dan lain sebagainya; termasuk bagaimana menjadi seorang ibu yang
baik.
Kematangan emosional : Hal ini menunjukkan tingkat kedewasaan seseorang. Seorang wanita yang
belum dewasa akan menuntut perhatian yang berlebih dari suaminya, manja, mudah tersinggung,
keras kepala, mau menang sendiri dan lain sebagainya. Seorang wanita yang matang emosinya akan
bersikap sabar dan mau menunggu dengan bijaksana apabila ada kemelut dalam keluarga, ia akan
berpikir panjang sekali sebelum mengambil keputusan.

Pekerjaan : Pekerjaan bagi laki-laki adalah sangat penting, oleh karena tidak ada wanita yang mau
menikah dengan seorang penganggur. Memang ada laki-laki anak orang kaya yang tidak tahu
bagaimana harus bekerja dan mau kawin, dan ada juga wanita yang mau kawin dengan laki-laki
seperti itu; apakah itu untuk sepanjang waktu?! Jenis pekerjaan yang ditekuni juga harus sesuai
dengan ajaran Sang Buddha, yaitu tidak termasuk jenis mata pencaharian yang harus dihindari.

Tanggung jawab : Hal ini merupakan bagian dari kepribadian seorang laki-laki yang dipupuk sejak
kecil, tidak dibentuk secara mendadak. Memang ada seorang laki-laki yang tampaknya penuh
tanggung jawab, meskipun di lain saat ia akan berubah menjadi pengecut yang tidak bertanggung
jawab. Hal ini menjadi penting karena beban seorang laki-laki yang menjadi kepala keluarga semakin
hari semakin berat, tuntutan semakin bervariasi.

Kebijaksanaan : Pengertian yang benar mengenai Buddha Dhamma dan selalu mengendalikan
pikiran adalah hal yang terpuji, namun ini merupakan hal yang sangat sukar dan langka. Usaha yang
sungguh-sungguh untuk memiliki kebijaksanaan dalam hidup ini adalah sangat menguntungkan hidup
selanjutnya di masa ini dan di masa yang akan datang. Dengan memiliki kebijaksanaan maka segala
keputusan yang diambil bukan karena suka atau tidak suka, bukan karena ikut-ikutan orang lain,
bukan karena takut tidak disukai oleh seseorang, namun karena baik untuk semua pihak di masa
sekarang maupun di masa yang akan datang.

Masa pacaran dapat dipergunakan sebagai masa perkenalan atau masa penjajakan bagi sepasang calon
pengantin. Setiap manusia mempunyai corak kepribadian yang berbeda, dan belum tentu kepribadian
seseorang itu cocok dengan kepribadian orang lain yang dipilihnya sebagai pasangan hidup; oleh
karena itu masa pacaran menjadi sangat penting sebagai persiapan. Bersikap pura-pura atau menutupi
keburukan yang ada seringkali berhasil mengelabui si calon pasangan, sehingga akhirnya akan
membawa akibat yang tidak menyenangkan bagi yang dikelabui karena tidak ada orang yang dapat
dibohongi sepanjang masa.
Apabila ada yang ragu-ragu dengan kepribadian si calon pasangan hidupnya, selidikilah dahulu
dengan seksama, bila perlu diperiksa oleh para ahli. Untuk memeriksa kondisi fisiknya dapat diminta
pertolongan seorang dokter dengan bantuan pemeriksaan laboratorium dan alat-alat kedokteran yang
canggih lainnya, untuk mengetahui corak kepribadiannya dapat diminta pertolongan seorang psikiater
(dokter spesialis jiwa) atau seorang psikologi (ahli jiwa) yang berpengalaman. Pemeriksaan fisik
adalah sangat penting, akan tetapi pemeriksaan jiwa untuk mendeteksi corak kepribadiannya lebih
penting lagi !

Anda mungkin juga menyukai