Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat-Nya sehingga Buku Saku Penatalaksanaan Kedaruratan
Adiksi NAPZA di FKTP ini dapat selesai disusun. Penyalahgunaan
NAPZA merupakan masalah besar yang terus menjadi perhatian dan
mempengaruhi banyak orang di dunia. Saat ini di Indonesia telah terjadi
peningkatan prevalensi penyalahgunaan NAPZA. Hasil penelitian dari
Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Riset dan Inovasi Nasional
(BRIN) dan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 menyebutkan
bahwa angka prevalensi setahun terakhir meningkat dari 1,8% di tahun
2019 menjadi 1,95% pada tahun 2021 atau menjadi hampir 3,7 juta jiwa
penduduk telah melakukan penyalahgunaan NAPZA.
Berdasarkan data-data tersebut, Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dalam hal ini
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) menjadi institusi pelayanan kesehatan yang akan
pertama kali menghadapi masalah kedaruratan di masyarakat termasuk kedaruratan yang
disebabkan oleh adiksi NAPZA karena letak Puskesmas yang umumnya berada di tengah-tengah
lingkungan tempat tinggal dan dapat paling cepat diakses oleh masyarakat terutama untuk
Puskesmas yang berada di wilayah pedesaan, terpencil atau sangat terpencil jauh dari rumah
sakit rujukan, maka tenaga kesehatan yang bertugas di Puskesmas diharapkan memiliki
kemampuan untuk menghadapi keadaan kedaruratan adiksi NAPZA sebagai langkah awal
penyelamatan hidup orang dengan gangguan penggunaan NAPZA.
Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Kesehatan Jiwa berkolaborasi dengan
organisasi profesi terkait serta melibatkan perwakilan dari lintas program, lintas sektor, dinas
kesehatan, rumah sakit dan petugas kesehatan Puskesmas menyusun Buku Saku
Penatalaksanaan Kedaruratan Adiksi NAPZA di FKTP dalam rangka mendukung tugas tenaga
kesehatan di Puskesmas untuk memberikan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan masyarakat,
khususnya untuk penatalaksanaan kedaruratan adiksi NAPZA pada orang yang membutuhkan
sehingga dapat distabilkan keadaannya sebelum dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut
seperti rumah sakit.
Akhir kata, saya sampaikan terima kasih dan apresiasi yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dan mendukung tersusunnya buku saku ini. Semoga Tuhan
senantiasa melindungi serta memberikan hikmat dan kebijaksanaan kepada kita untuk bersama-
sama mewujudkan masyarakat Indonesia yang sehat baik jiwa dan raga serta terhindar dari
gangguan penggunaan NAPZA.
i
Daftar Isi
ii
II. Hal-hal penting dalam penanganan kegawatdaruratan psikiatrik pada orang/klien/pasien
dengan gangguan penggunaan NAPZA .......................................................................33
1. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menangani klien/pasien gaduh gelisah ......33
2. Hal-hal yang perlu diperhatikan lainnya ..................................................................35
3. Indikator Keberhasilan Manajemen Kedaruratan Adiksi NAPZA ..............................35
III. Rujukan ......................................................................................................................36
Kepustakaan .............................................................................................................................37
Tim Penyusun ...........................................................................................................................38
Lampiran ...................................................................................................................................39
iii
Algoritma Penatalaksanaan Kedaruratan Adiksi NAPZA
Pasien kedaruratan datang di FKTP
Pasien masih
gaduh gelisah
Rujuk ke
Rumah Sakit (RS)
1
Manajemen ABC
A. Manajemen Airway
Triple Airway Maneuver : Ekstensi kepala (head tilt & chin lift), angkat angulus mandibula,
buka mulut
Oropharyngeal airway
2
Laryngeal Mask Airway
3
Intubasi Endotrakea
B. Breathing Support
Sungkup muka
4
C. Circulation Support
Kompresi jantung luar
Kompresi dada
Frekwensi 100-120x/mnt
Kedalaman 4-5 cm
5
Daftar Istilah
6
22. Dysphoric mood: Suatu kondisi dimana seseorang mengalami perasaan depresi yang
intens, ketidakpuasan dan dalam beberapa kasus ada ketidakpedulian terhadap dunia di
sekitar mereka.
23. Dystonia: Tonisitas otot yang tidak teratur.
24. Euforia: Kondisi mental dan emosional dimana seseorang mengalami perasaan
kesejahteraan, kegembiraan, kebahagiaan dan sukacita.
25. Fatigue: Suatu keadaan (disebut juga kelelahan, keletihan, kelesuan) biasanya dikaitkan
dengan melemahnya atau menipisnya sumber daya fisik dan/atau mental seseorang, mulai
dari keadaan umum kelesuan hingga keadaan tertentu yang diinduksi oleh aktivitas. Sensasi
terbakar di dalam otot seseorang. Kelelahan fisik menyebabkan ketidakmampuan untuk terus
berfungsi pada tingkat aktivitas normal sesorang. Meski tersebar luas dalam kehidupan
sehari-hari, kondisi ini biasanya menjadi sangat terlihat saat aktivitas berat. Kelelahan mental
sebaliknya paling sering bermanifetasi sebagai keadaan somnolen (kantuk).
26. FKTP adalah singkatan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
27. Gejala Putus Zat (Withdrawal/Sakaw) adalah kumpulan gejala yang terjadi setelah
menghentikan atau mengurangi penggunaan NAPZA, sesudah penggunaan berulang kali,
biasanya berlangsung lama dan atau dalam jumlah yang banyak.
28. Halusinasi: Gangguan persepsi sensori tentang suatu objek atau gambaran dan pikiran
yang sering terjadi tanpa adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem
penginderaan.
29. Hendaya: Gangguan dalam fungsi sebagai manusia di kehidupan sehari-hari.
30. Hiperaktifitas otonom: Peningkatan sistem saraf otonom terutama fungsi sistem saraf
simpatik, mengakibatkan gejala fisiologis yang berhubungan dengan kecemasan dan
ketakutan (misal: berkeringat, jantung berdebar, mulut kering, pusing, sakit perut).
31. Hipersomnia: Rasa kantuk yang berlebihan yang dibuktikan dengan tidur malam yang
berkepanjangan, kesulitan mempertahankan keadaan terjaga di siang hari atau episode tidur
siang hari yang tidak diinginkan.
32. Hipertermi: Suatu kondisi dimana suhu tubuh berada di atas normal.
33. Hiperventilasi: Pernapasan cepat dan dalam yang tidak normal, dapat disebabkan karena
kecemasan atau stres emosional. Hal ini menurunkan kadar karbon dioksida dalam darah
dan menghasilkan gejala seperti pusing, jantung berdebar, mati rasa dan kesemutan di
anggota gerak, berkeringat dan dalam beberapa kasus dapat menimbulkan pingsan.
34. Ide kebesaran: Suatu ide/waham yang cenderung merasa bahwa dirinya berkuasa, hebat,
cerdas, memiliki status sosial yang lebih tinggi serta meyakini bahwa dirinya telah melakukan
penemuan penting atau memiliki talenta yang hebat.
35. Ide paranoid: Suatu ide/waham yang cenderung merasa ketakutan, kekhawatiran akan
dikejar sesuatu yang menakutkan.
36. Ilusi: Kesalahan persepsi atau misinterpretasi terhadap stimulus eksternal yang nyata.
37. Inappropriate: Ketidaksesuaian dalam konteks antara mood dengan situasi yang ada.
38. Inhalansia: Salah satu dari berbagai zat volatil yang dapat dihirup untuk menghasilkan efek
memabukkan.
39. Insomnia: Keluhan subyektif tentang kesulitan tidur atau mempertahankan tidur atau
kualitas tidur yang buruk.
40. Intoksikasi (Overdosis) adalah kumpulan gejala yang disebabkan oleh penggunaan
NAPZA dalam dosis cukup tinggi.
7
41. Kegawatdaruratan merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami ancaman
kehidupan dan apabila tidak dilakukan pertolongan/tindakan dengan cepat dan tepat dapat
menyebabkan cacat atau meninggal.
42. Kegawatdaruratan penggunaan NAPZA adalah gangguan fisik, psikologis dan perilaku
yang disebabkan oleh kondisi intoksikasi dan putus penggunaan Narkotika, Psikotropika dan
Zat Adiktif lainnya (NAPZA) sehingga dapat mengancam kehidupan apabila tidak dilakukan
penanganan dengan segera.
43. Kejang jenis grandmal disebut juga kejang tonik klonik dimana seseorang dapat mengalami
keadaan kontraksi otot dan relaksasi secara bergantian, tidak dapat dikontrol dan dapat
disertai dengan hilang kesadaran.
44. Koma: Suatu keadaan dimana seseorang kehilangan kesadaran secara utuh.
45. Konstriksi pupil: Suatu keadaan dimana ukuran pupil mata mengecil, disebut juga dengan
miosis.
46. Lakrimasi: Proses mengeluarkan air mata, disebut juga menangis, terutama dalam keadaan
pengeluaran air mata secara masif.
47. Letargi: Keadaan penurunan aktivitas mental ditandai dengan kelesuan, mengantuk, tidak
aktif dan kewaspadaan berkurang.
48. NAPZA: Akronim dari Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya.
49. Neuropati: Penyakit pada sistem saraf terutama mengenai sistem saraf tepi.
50. Nistagmus: Gerakan bola mata yang tidak disengaja dan cepat. Gerakan dapat berupa
rotasi, horizontal, vertikal atau campuran.
51. Persistent ataxia: Ketidakmampuan untuk melakukan gerakan yang disadari secara
terkoordinasi yang dipertahankan, biasanya merupakan gambaran beberapa penyakit yang
mengenai sistem saraf.
52. Piloereksi: Peninggian sementara rambut yang menutupi permukaan kulit yang disebabkan
oleh kontraksi otot piloerector yang melekat pada folikel rambut, merupakan gerakan tidak
disengaja, diarahkan oleh sistem saraf simpatik dan ditimbulkan oleh stimulus misal terkejut,
ketakutan, rasa dingin.
53. Retardasi psikomotor: Perlambatan gerakan dan ucapan yang umum terlihat.
54. Rinorrhea: Cairan yang keluar dari lubang hidung.
55. Sedasi: Pemberian obat penenang untuk menghasilkan keadaan tenang atau tidur.
56. Stupor: Keadaan lesu, gangguan kesadaran dimana individu mengalami disorientasi, tidak
responsif dan tidak bergerak.
57. Tachypnoe: Gerakan napas yang cepat dan abnormal.
58. Takikardi: Peningkatan denyut jantung diatas normal, diatas 100 kali per menit.
59. Tremor: Suatu keadaan gemetar tubuh atau bagian tubuh yang tidak disengaja karena
sebab neurologis atau psikologis.
60. Waham: Keyakinan yang salah berdasarkan kesimpulan yang salah tentang realitas
eksternal yang dipegang teguh terlepas dari apa yang diyakini hampir semua orang dan
terlepas dari apa yang merupakan bukti atau bukti nyata yang tidak dapat disangkal atau
sebaliknya.
8
BAB I LATAR BELAKANG
9
Dalam rangka menanggapi masalah ketergantungan narkotika, psikotropika dan
zat adiktif lainnya (NAPZA) yang semakin marak di Indonesia sejak tahun 1980-an,
Pemerintah melalui Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa telah
menetapkan kebijakan bahwa 10% kapasitas tempat tidur Rumah Sakit Jiwa (RSJ)
dialokasikan untuk pasien ketergantungan NAPZA. Dalam beberapa tahun terakhir
hampir semua RSJ mengembangkan pelayanan NAPZA dan dari hasil evaluasi
ditemukan bahwa pelayanan NAPZA yang telah tersedia di RSJ belum dipergunakan
secara optimal. Program wajib lapor yang telah ditetapkan sejak tahun 2011 belum secara
merata dilaksanakan oleh semua RSJ. Sebagian besar pasien yang dirawat tidak murni
karena ketergantungan NAPZA tapi merupakan pasien dengan Dual Diagnosis
(Gangguan jiwa dan Ketergantungan NAPZA).
Kasus-kasus Dual Diagnosis dan kasus-kasus intoksikasi akut yang dirawat jalan
ataupun rawat inap, menghadapkan tenaga kesehatan pada kasus-kasus kedaruratan
yang harus ditangani di FKTP sesuai dengan tingkat kewenangan dan kompetensinya.
Standar Pelayanan dan Terapi Gangguan Penggunaan NAPZA yang telah
ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 421 Tahun 2010 dan Pedoman
Penatalaksanaan Medik Gangguan Penggunaan NAPZA melalui Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 422 Tahun 2010 memerlukan pembaruan baik dalam hal kebijakan
maupun penyesuaian dengan kompetensi tenaga kesehatan yang akan menghadapi
kasus-kasus kedaruratan adiksi NAPZA di FKTP.
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa yang ditetapkan melalui
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/Menkes/73/2015 menetapkan beberapa
kondisi medis terkait penyalahgunaan NAPZA yang mungkin memerlukan penanganan
kegawatdaruratan di fasilitas pelayanan kesehatan, yaitu :
• Delirium akibat intoksikasi zat atau akibat putus zat;
• Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat Psikoaktif yang meliputi
intoksikasi akut, putus zat; dan
• Kondisi medis penyerta lain yang disebabkan oleh gangguan penggunaan NAPZA
(seperti dual diagnosis dan sebagainya).
10
BAB II KEDARURATAN KARENA GANGGUAN PENGGUNAAN ATAU ADIKSI
NAPZA
11
A. Klasifikasi NAPZA Berdasarkan Efek Yang Ditimbulkan :
DEPRESAN STIMULAN HALUSINOGEN
Alkohol Amfetamin LSD
Benzodiazepin Metamfetamin PCP
Opioid Kokain Kanabis (dosis tinggi)
Solven Magic mushrooms
Kanabis (dosis rendah)
INTOKSIKASI
DEPRESAN STIMULAN HALUSINOGEN
12
22. Nyeri dada 21. Pandangan mata kabur
23. Perasaan labil 22. Refleks menurun
24. Perubahan kesadaran 23. Retardasi psikomotor
25. Penurunan tekanan 24. Sensasi waktu berjalan
darah atau peningkatan lambat
tekanan darah 25. Sulit berdiri
26. Rasa dingin 26. Tremor
27. Retardasi psikomotor
28. Waspada berlebih
13
B. Penatalaksanaan Umum Kedaruratan Adiksi NAPZA
Pasien harus dibedakan sesuai dengan kondisi klinis, apakah dalam kondisi emergensi,
non emergensi, akut atau kronis. Secara rinci kondisi klinis pasien NAPZA dibagi menjadi
:
a. Kondisi Intoksikasi Akut/Overdosis
b. Kondisi Putus Zat
I. Penilaian
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada pasien dan orang yang mengantarnya. Anamnesis
meliputi tanda dan gejala yang ada, waktu timbul gejala, perilaku yang menyertai,
intensitas dan frekuensi gejala, gejala yang mengarah pada gangguan organik,
misalnya demam, kejang dan trauma. Pada anamnesis juga ditanyakan penggunaan
NAPZA : jenis, lama penggunaan, toleransi dosis, gejala putus zat, pengobatan untuk
penggunaan NAPZA sebelumnya.
2. Pemeriksaan Fisik
14
Pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan fisik secara menyeluruh.
3. Pemeriksaan Status Mental
Perasaan, pikiran dan perilaku.
4. Pemeriksaan Penunjang
- Darah lengkap;
- Tes urin untuk NAPZA jika tersedia;
- SGOT/SGPT;
- Ureum/Creatinin.
II. Diagnosis Banding
- Diagnosis banding dengan penggunaan NAPZA lainnya
- Delirium yang disebabkan kondisi organik
- Gangguan psikotik
III. Psikofarmaka
1. Tata laksana Umum Intoksikasi
1. Penanganan kondisi medis umum.
2. Pemantauan tanda-tanda vital.
3. Evaluasi tingkat kesadaran serta jalan nafas pasien
- Observasi tanda vital setiap 15 menit selama 4 jam
- Evaluasi perlunya pemberian oksigen
- Pasien dipuasakan untuk menghindari aspirasi
2. Tata laksana Umum Putus Zat
1. Penanganan kondisi medis umum.
2. Pemantauan tanda-tanda vital.
16
B. Konstriksi Pupil (atau dilatasi pupil akibat anoksia dari overdosis berat) dan satu
(atau lebih) gejala-gejala di bawah ini berkembang selama atau segera setelah
penggunaan Opiat :
- Tidak sadar
- Pernafasan pelan dan dangkal
C. Tidak disebabkan oleh gangguan fisik atau mental lainnya.
Diagnosis Diferensial : Intoksikasi zat psikoaktif lain atau campuran
Pemeriksaan Penunjang : Laboratorium, termasuk urinalisis
Terapi Overdosis Opiat :
• Lakukan penanganan sesuai kegawatdaruratan (sesuai algoritma).
• Lakukan Naloxone Challenge Test :
- Berikan 0,2-0,4 mg Naloxone I.V. setiap 5 menit atau dengan injeksi bahu
subkutan dan intramuskuler.
- Awasi secara ketat tanda-tanda dini gejala putus zat seperti : dilatasi pupil,
tachypone, lakrimasi, rinore atau berkeringat.
- Bila tidak ada reaksi terlihat, setelah 15-30 menit, dosis kedua 0,4 mg I.V.
atau 0,4-0,8 mg s,c dapat diberikan dan perhatikan reaksinya.
• Rujuk pasien ke rumah sakit apabila dibutuhkan perawatan lebih lanjut.
19
berjalan lambat, hendaya daya nilai, penarikan diri) yang berkembang selama
atau segera setelah penggunaan Kanabis.
C. Dua (atau lebih) dari gejala-gejala di bawah ini yang berkembang dalam dua jam
penggunaan Kanabis :
1. Kemerahan Konjungtiva
2. Peningkatan Nafsu Makan
3. Mulut Kering
4. Takikardi
D. Gejala-gejala tersebut bukan disebabkan oleh gangguan fisik atau mental
lainnya.
Diagnosis Diferensial : Intoksikasi Halusinogen
Pemeriksaan Penunjang : Urinalisis
Terapi Intoksikasi Kanabis :
• Umumnya tidak diperlukan farmakoterapi khusus, tetapi mungkin supportive
“talking down” (Ciptakan suasana yang tenang, Ajak bicara tentang apa yang
dialami, Jelaskan kondisi ini bersifat sementara dan dalam waktu 4-8 jam akan
menghilang)
• Bila ansietas berat, berikan golongan Benzodiazepine, misalnya :
- Lorazepam 1-2 mg oral
- Chlordiazepoxide 10-50 mg oral
• Diazepam 10-30 mg per oral atau parenteral, diulang setiap jam bila diperlukan
(hati-hati depresi pernafasan, dosis maksimal pemberian Diazepam parenteral
adalah 20 mg/hari).
• Apabila gejala psikotik menonjol maka dapat diberikan Haloperidol 1-2 mg per
oral.
• Bila gejala psikotik menonjol, dapat diberikan Haloperidol 1-2 mg oral atau
intramuskular; dapat diulangi setiap 20-30 menit.
• Rujuk pasien ke rumah sakit.
20
D. Gejala-gejala tersebut di atas tidak disebabkan oleh gangguan fisik atau mental
lainnya.
Diagnosis Diferensial : - Intoksikasi Benzodiazepine/Barbiturat
- Hipoglikemia
- Trauma kepala
- Hepatic Encephalopati
- Ensefalitis
- Diabetik Ketoasidosis
- Hematoma Subdural
- “Post Ictal Status”
- Penyebab lain ataxia seperti penyakit neurodegeneratif
Pemeriksaan Penunjang : - Laboratorium
- Urinalisis
Terapi Intoksikasi Alkohol :
• Hipoglikemia : 50 mg Dextrose 40%
• Koma :
- Posisikan pasien dalam posisi mantap atau posisi recovery.
- Observasi ketat tiap 15 menit (kesadaran, T, N, RR).
- Injeksi Thiamine 100 mg I.V untuk profilaksis terjadinya Wernicke
Encephalopathy, lalu 50 ml Dextrose 50% I.V (tidak boleh terbalik).
- Berikan 0,4-2 mg Naloxone bila ada riwayat/kemungkinan pemakaian
Opioida.
• Problem perilaku :
- Petugas keamanan dan perawat siap bila pasien agresif.
- Terapis harus toleran dan tidak membuat pasien takut atau merasa
terancam.
- Buat suasana yang tenang dan bila perlu tawarkan makan.
- Berikan dosis rendah sedatif, misalnya : Lorazepam 1-2 mg oral atau
Haloperidol 5 mg oral bila kelihatannya pasien akan agresif atau boleh injeksi
Haloperidol 5 mg intra muskular bila sudah agresif dan atau Diazepam injeksi
10 mg I.M.
• Apabila kesadaran menurun maka rujuk pasien ke rumah sakit.
Dosis :
• Bikarbonat (NaHCO3):
- 500 mmol/L : berikan 250-500 ml atau lebih dalam 1-2 jam sampai hiperventilasi
terkoreksi (Respiration Rate < 20 kali /menit).
- 167 mmol/L : berikan 1000-1500 ml atau lebih dalam 1-2 jam sampai
hiperventilasi terkoreksi (Respiration Rate < 20 kali /menit).
- Jika hanya obat oral yang tersedia : bikarbonat tablet 500 mg (=6 mmol), 6-10
tablet setiap jam sampai hiperventilasi terkoreksi (Respiration Rate < 20 kali
/menit).
• Asam Folat : 50 mg IV atau oral (contohnya : tablet 5 mg) setiap 6 jam selama
24-48 jam.
• Jika perlu diintubasi : pasien harus dihiperventilasi (Respiration Rate > 25 kali
/menit) (sampai dipindahkan ke fasilitas dengan ICU), berikan antidot (etanol
oral/intravena) tanpa menunda-nunda, berikut dosisnya :
22
ETANOL 5% 10% 20% 40% ETANOL
ETANOL ETANOL ETANOL (spirit)
(bir) (minuman (anggur
anggur) fortifikasi)
Dosis awal 15 ml/kg 7,5 ml/kg 4 ml/kg 2 ml/kg
Dosis minum (per jam) 2 ml/kg/jam 1 ml/kg/jam 0,5 ml/kg/jam 0,25 ml/kg/jam
(bukan peminum rutin)
Dosis minum (per jam) 4 ml/kg/jam 2 ml/kg/jam 1 ml/kg/jam 0,5 ml/kg/jam
(peminum rutin)
23
- Trauma kepala
- Hepatic Encephalopati
- Ensefalitis
- Diabetik Ketoasidosis
- Hematoma Subdural
- “Post Ictal Status”
- Penyebab lain ataxia seperti penyakit neurodegeneratif
Pemeriksaan Penunjang : - Laboratorium
- Darah : Alcohol Blood Level
- Urinalisis
- Breath Analyzer Test
Terapi Intoksikasi Alkohol :
• Hipoglikemia : 50 mg Dextrose 40%
• Koma :
- Tidurkan pasien terlentang dan posisi “face down” untuk mencegah aspirasi.
- Observasi ketat tiap 15 menit (kesadaran, T, N, RR).
- Injeksi Thiamine 100 mg I.V. untuk profilaksis terjadinya Wernicke
Encephalopathy, lalu 50 ml Dextrose 40% I.V. (tidak boleh terbalik).
- Berikan 0,4-2 mg Naloxone bila ada riwayat/kemungkinan pemakaian Opioida.
• Problem perilaku :
- Petugas keamanan dan perawat siap bila pasien agresif.
- Terapis harus toleran dan tidak membuat pasien takut atau merasa terancam.
- Buat suasana yang tenang dan bila perlu tawarkan makan.
- Berikan dosis rendah sedatif, misalnya : Lorazepam 1-2 mg oral atau
Haloperidol 5 mg oral bila kelihatannya pasien akan agresif atau boleh injeksi
Haloperidol 5 mg intra muskular bila sudah agresif.
ALCOHOL BLOOD LEVEL YANG BERHUBUNGAN DENGAN GEJALA SSP
KONSENTRASI (g/dl) PEMINUM SPORADIK PEMINUM KRONIK
0.050 (taraf pesta) Euforia Tak tampak gejala
0.075 Suka berkumpul (gregarious) Sering masih belum tampak
Suka ngomel (garrolous) gejala
0.100 (intoksikasi secara Tidak terkoordinasi Gejala minimal
hukum*)
0.125 – 0.150 Perilaku tak terkontrol Menyenangkan, mulai
euforia, kurang koordinasi
0.200 – 0.250 Hilang kewaspadaan, Membutuhkan usaha untuk
Lethargy mempertahankan
emosi/kontrol motorik
0.300 – 0.350 Stupor sampai Koma Mengantuk, lamban
Lebih dari 0.500 Fatal, mungkin membutuhkan Koma
hemodialisis
*) di beberapa tempat (seperti California) 0.080 sudah ditetapkan intoksikasi secara hukum.
24
• Rujuk pasien ke rumah sakit.
26
E. Gejala-gejala tersebut tidak disebabkan oleh gangguan fisik atau mental
lainnya.
Diagnosis Diferensial : - Intoksikasi Amfetamin
- Intoksikasi PCP
- Intoksikasi Anticholinergic
- Gangguan Schizophreniform
- Delirium
- Dementia
- Gangguan Mood yang berat : - psikotik depresi
- bipolar disorder
Pemeriksaan Penunjang : - Urinalisis
- EKG
- Darah
Terapi Intoksikasi Halusinogen :
• Intervensi Non Farmakologik :
- Lingkungan yang tenang, aman dan mendukung.
- Reassurance : bahwa obat tersebut dapat menimbulkan gejala-gejala itu; dan
ini akan hilang bersamaan dengan bertambahnya waktu (“talking down”).
• Intervensi Farmakologik :
Pilihan untuk “bad trip” atau serangan “panik”:
- Diazepam 10-30 mg oral.
- Lorazepam 1-2 mg oral.
- Fenobarbital 30-120 mg oral 2-3 kali sehari.
• Rujuk pasien ke rumah sakit.
30
• Bila ada kejang akibat putus zat maka atasi dengan golongan Benzodiazepin
(Diazepam 5 mg yang disuntikkan I.V secara perlahan).
• Dapat juga diberikan Thiamine 100 mg via NGT, ditambah 4 mg Magnesium
Sulfat dalam 1 liter 5% Dextrose/normal saline selama 1-2 jam.
• Bila terjadi Delirium Tremens harus dirujuk (rujuk pasien ke rumah sakit).
Delirium Tremens ditandai dengan penurunan kesadaran dan perilaku yang
gaduh gelisah dan dapat disertai dengan kejang setelah kondisi putus
penggunaan alkohol.
D. NON PSIKOFARMAKA
I. Intervensi Psikososial
Kedaruratan adiksi NAPZA memerlukan penatalaksanaan dalam waktu yang tepat
dan keahlian interpersonal. Suatu keadaan krisis yang terjadi karena gangguan
penggunaan NAPZA menjadi bagian penatalaksanaan petugas kesehatan di FKTP untuk
membantu orang dengan kedaruratan adiksi NAPZA dan jika memungkinkan
menyebabkan terjadinya perubahan perilaku untuk kesehatan pasien sehingga suatu
pelayanan krisis tidak hanya sesederhana mengumpulkan data lalu mengirim pasien ke
tempat lain, namun diperlukan proses interpersonal yang terjadi antara pasien dan staf di
Instalasi Gawat Darurat FKTP.
Penatalaksanaan psikososial termasuk didalamnya adalah beberapa bentuk
konseling, psikoterapi, pelatihan sosial dan pelatihan vokasional. Penatalaksanaan ini
bermanfaat untuk menyediakan dukungan, edukasi dan panduan kepada orang-orang
yang mengalami gangguan penyalahgunaan NAPZA beserta keluarganya.
Tujuannya adalah pasien gangguan penyalahgunaan NAPZA beserta keluarganya
mampu mengurangi efek negatif dari penggunaan zat, dampak buruk baik secara fisik,
mental, sosial, kultural dan memahami dampak hukum. Intervensi psikososial juga akan
berdampak mengurangi kesulitan dalam mengerjakan kegiatan di rumah, sekolah,
pekerjaan dan segera mampu meningkatkan fungsi dan kualitas hidupnya.
Terdapat 3 komponen dari intervensi psikososial yang dilakukan pada suatu
keadaan kedaruratan, yaitu :
32
a. Membangun hubungan (Building an Alliance), wawancara dilakukan dengan
menciptakan dan memelihara hubungan terapeutik petugas dan pasien.
b. Menghadapi krisis melalui proses stabilisasi dan intervensi, menenangkan pasien dan
keluarga adalah mutlak harus dilakukan karena pasien dan keluarga sering kali tidak
mampu menyelesaikan masalah atau melakukan coping secara efektif.
c. Melakukan psikoterapi, yang dilakukan adalah melibatkan proses tukar pikiran dan
ekspresi perasaan antara pasien dan petugas, diawali dengan menjalin hubungan yang
baik agar pasien mau terlibat dalam terapi, tujuannya adalah pasien mampu kembali
ke tingkat fungsi sebelumnya dan tujuan terapi yang terakhir adalah untuk
menghasilkan perubahan perilaku keluar dari penyalahgunaan NAPZA. Ada 4 hal yang
harus dilakukan dalam psikoterapi, yaitu :
1. Penenteraman (reassurance);
2. Pemberian contoh dan insentif;
3. Pemberian informasi;
4. Respek, pengertian dan kehangatan emosional.
RS UMUM/RS JIWA/RSKO
RS PROVINSI
PUSKESMAS/KLINIK
RSU KAB/KOTA
SWASTA
DARURAT/NON DARURAT
MASYARAKAT/PENGGUNAAN
NAPZA
36
Kepustakaan
1. Safar P, Bircher NG. 1988. Cardiopulmonary Cerebral Resuscitation: Basic and Advanced
Cardiac and Trauma Life Support : an Introduction to Resuscitation Medicine. Saunders.
2. Kurniadi, Hartati. dkk. 2000. Standar Terapi RS Ketergantungan Obat. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, RS. Ketergantungan
Obat.
3. Lubis, D.B. dan Elvira S.D. 2005. Penuntun Wawancara Psikodinamik dan Psikoterapi.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Sadock B.J. & Sadock V.A. 2010. Kaplan & Sadok’s, Synopsis of Psychiatry: Behavioral
Science / Clinical Psychiatry, 10th Edition. New York: Lippincott Wliiliams & Wilkins.
5. Duckworth, K. dan Freddman, J. 2012. Psychososial Treatment, Review Article, National
Alliance on Mental Illness. http://bit.ly/1K1RUwc . Diakses pada 27 November 2022.
6. American Psychiatric Association. 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, Fifth Edition. London: American Psychiatric Publishing.
7. Maslim, Rusdi. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III
dan DSM-5. Jakarta: PT Nuh Jaya – Jakarta.
8. Meany, PA dkk. Circulation July 23, 2013. Cardiopulmonary Resuscitation Quality:
Improving Cardiac Resuscitation Outcomes Both Inside and Outside the Hospital A
Consensus Statement From the American Heart Association.
9. Budi A.K. & Jessica P. (Eds). 2016. Prinsip dan Praktik Keperawatan Kesehatan Jiwa
Stuart (1st ed.). Singapura: Elsevier Singapore.
10. Hagberg and Benumof's. October 9, 2017. Hagberg and Benumof's Airway Management.
4th Edition.
11. Maramis, Albert dkk. 2018. Buku Saku Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Psikiatrik di
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Jakarta: Direktorat Bina Kesehatan Jiwa,
Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.
12. EMACC-WG/MSF Norway/Oslo University Hospital. 2019. Methanol Poisoning Protocol
Intersection Document (1st edition 2019).
13. Panchal et al. 2020;142(suppl 2): 366–S468. Adult Basic and Advanced Life Support:
2020 AHA Guidelines for CPR and ECC. Circulation.
14. Communication Skills in Mental Health and Addiction. NursingAnswers.net.
https://nursinganswers.net/assignments/communication-skills-in-mental-health-and-
addiction.php?vref=1. 7th May 2020. Web. Diakses pada 13 November 2022.
15. Olasveengen, TM dkk. 2021. European Resuscitation Council Guidelines 2021: Basic Life
Support. Resuscitation. European Resuscitation Council. Elsevier.
16. Wu, K. dan Baker J. 2022. Patient Communication In Substance Abuse Disorders.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549858/ [Updated 2022 Jul 25]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. Diakses pada 13 November 2022.
37
Tim Penyusun
Kementerian Kesehatan RI
Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat
Direktorat Kesehatan Jiwa
Jakarta, 2022
Kontributor :
RSKO Jakarta; dr. Lidya Heryanto, Sp.KJ; dr. Dedi Atila, Sp.An- KIC; Ns. Adek Setiyani, S.Kep.,
M.Kep., Sp.Kep.J; Ira Miranti, S.Si., MHSM, Apt.; Mohammad Irsad, S.Psi., M.Psi., Psikolog;
Punto Dewo, SKM, M.Kes; Intan Kusumawati, SKM, MKM; dr. Rondang Rosmawati Nababan,
Sp.KJ; dr. Siti Jamilah; dr. Fitria Pratiwi; dr. Faudila Novita Ladyana; dr. Ria Rizky D.Siregar;
Dina Melinda, AMK; dr. Intan Soraya; dr. Jonathan Aditama.
Editor :
drg. Luki Hartanti, MPH;
dr. Husni Arbie;
dr. Hasyati Dwi Kinasih;
Intan Oktavia, M.Psi;
Muhamad Aby Al-Hafidz, S.Kom.
Diterbitkan oleh :
Kementerian Kesehatan RI
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya dalam bentuk dan
dengan cara apapun juga, baik secara mekanis maupun elektronik termasuk
fotocopy, rekaman dan lain-lain tanpa seijin tertulis dari penerbit.
38
Lampiran
39