Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH FARMAKOLOGI KLINIK

"AGONIS DAN ANTIADRENERGIK"

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 4 KELAS S1-4B

RIZKY ARISKA NINGSIH (1801072)

SUCI RAMAHI (1801073)

SYALSHABILAH (1801074)

ULFA SEFA FELYANI (1801075)

VINOLA LEGITA (1801076)

DOSEN PENGAMPU :

Dra. ADRIANI SUSANTY, M.Farm, Apt

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI IMU FARMASI RIAU

YAYASAN UNIVERSITAS RIAU

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah
tentang "Agonis dan Antiadrenergik". Dan juga penulis berterima kasih kepada Ibu
Adriani Susanti, M.Farm, Aptselaku Dosen mata kuliah Farmakologi Klinik yang
telah memberikan tugas ini kepada kami.

Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Agonis dan Antiadrenergik. Penulis juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan
dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, penulis berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.

Pekanbaru, Maret 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................2
1.3 Tujuan......................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................3
2.1 Pengertian Sistem Saraf Otonom.............................................................................3
2.2 Obat-Obat Otonom..................................................................................................4
2.2.1 Definisi Obat Otonom...................................................................................4
2.2.2 Cara Kerja Obat Otonom...............................................................................4
2.2.3 Penggolongan Obat-Obat Otonom................................................................4
2.3 Obat-Obat Adrenergik.............................................................................................5
2.4 Agonis Adrenergik..................................................................................................5
2.4.1 Pengertian Agonis Adrenergik......................................................................5
2.4.2 Jenis Agonis Adrenergik...............................................................................6
2.4.2.1 Agonis Adrenergik Langsung...........................................................6
2.4.2.2 Agonis Adrenergik tak Langsung.....................................................7
2.4.3 Mekanisme Kerja..........................................................................................8
2.4.4 Penggolongan Agonis Adrenergik................................................................8
2.4.4.1 Agonis Selektif reseptor α₁...............................................................9
2.4.4.2 Agonis Selektif Reseptor α₂..............................................................9
2.4.4.3 Agonis Reseptor β1.........................................................................10
2.4.4.4 Agonis Selektif Reseptor β2............................................................10
2.4.5 P Farmakodinamik, Efek Samping, Kontraindikasi Agonis Adrenergik....11
2.5 Antagonis Adrenergik............................................................................................11
2.5.1 Definisi Antagonis Adrenergik...................................................................11

ii
2.5.2 Jenis Antagonis Adrenergik........................................................................12
2.5.2.1 Antagonis Adrenoseptor..................................................................12
2.5.2.2 Penghambat Saraf Adrenergik........................................................12
2.6 Penyakit Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)......................................................15
2.6.1 Definisi........................................................................................................15
2.6.2 Etiologi........................................................................................................15
2.6.3 Patofisiologi dan Patogenesis.....................................................................15
2.6.3.1 Patofisiologi....................................................................................16
2.6.3.2 Patogenesis......................................................................................16
2.6.4 Epidemiologi dan Prevalensi.......................................................................18
2.6.3.1 Epidemiologi...................................................................................18
2.6.3.2 Prevalensi........................................................................................18
BAB III PENUTUP.....................................................................................................21
3.1 Kesimpulan......................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Farmakologi atau ilmu khasiat obat adalah ilmu yang mempelajari


kemampuan obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya,
kegiatan fisiologi, resorpsi dan nasipnya didalam organisme hidup. Untuk
menyelidiki semua interaksi antara obat dan tubuh manusia khususnya, serta
penggunaan pada pengobatan penyakit, disebut farmakologi klinis. Ilmu khasiat obat
ini mencakup beberapa bagian yaitu farmakognosi, biofarmasi, farmakokinetik dan
farmakodinamika, toksikologi dan farmakoterapi.

Farmakologi mempunyai keterkaitan khusus dengan farmasi, yaitu ilmu


mengenai cara membuat, memformulasi, menyimpan dan menyediakan obat. Obat
didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati,
mendiagnosis penyakit/gangguan atau menimbulkan suatu kondisi tertentu.

Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak. Fungsi
sistem saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan (antagonis). Dua perangkat
neuron dalam komponen otonom pada sistem saraf perifer adalah neuron aferen atau
sensorik dan neuron eferen atau motorik. Neuron aferen mengirimkan impuls ke
sistem saraf pusat, dimana impuls itu diinterprestasikan. Neuron eferen menerima
impuls (informasi) dari otak dan meneruskan impuls ini melalui medulla spinalis ke
sel-sel organ efektor.

Serat eferen terbagi dalam sistem simpatis dan parasimpatis. Sistem simpatis
disalurkan melalui serat torakolumbal, dalan sistem ini termasuk ganglia pravertebal
dan ganglia terminal. Sistem parasimpatis atau kraniosakral outfloe disalurkan
melalui syaraf otak ke III, IX, X, dan N. pelvikus yang berasal dari bagian sacral
segmen 2, 3, dan 4. Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem simpatis dan
parasimpatis memperlihatkan fungsi yang antagonistik yaitu bila yang satu
menghambat fungsi maka yang lain memicu fungsi tersebut.

1
1.2 Rumusan Masalah

- Apa yang dimaksud dengan sistem saraf otonom?


- Apa yang dimaksud dengan obat otonom?
- Apa saja penggolongan obat agonis dan antaidrenergik?
- Bagaimana mekanisme kerja kerja, farmakodinamik, kontraindikasi, dan efek
samping obat agonis dan antiadrenergik?
- Apa penyakit terkait dengan obat agonis dan antiadrenergic dan bagaimana
etiologi, patonegenesis, patofisiologi, epidemiologi, dan perevalensinya?

1.3. Tujuan

- Memahami Apa yang dimaksud dengan sistem saraf otonom


- Memahami Apa yang dimaksud dengan obat otonom
- Memahami penggolongan obat agonis dan antaidrenergik
- memahami bagaimana mekanisme kerja kerja, farmakodinamik,
kontraindikasi, dan efek samping obat agonis dan antiadrenergik
- Memahami penyakit terkait dengan obat agonis dan antiadrenergk dan
bagaimana etiologi, patonegenesis, patofisiologi, epidemiologi, serta
perevalensinya

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sistem Saraf Otonom

Sistem saraf otonom adalah sistem saraf yang bergantung pada sistem saraf
pusat, dan antara keduanya dihubungkan urat-urat saraf aferen dan eferen. Juga
memiliki sifat seolah olah sebagai bagian sistem saraf pusat, yang telah bermigrasi
dari saraf pusat guna mencapai kelenjar, pembuluh darah, jantung, paru-paru, dan
usus. Karena sistem saraf otonom itu terutama berkenaan dengan pengendalian organ-
organ dalam secara tidak sadar, kadang-kadang disebut juga susunan saraf tidak
sadar.

Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak maupun
dari sumsum tulang belakang dan menuju organ yang bersangkutan. Dalam sistem ini
terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur membentuk sinapsis yang kompleks
dan juga membentuk ganglion. Urat saraf yang terdapat pada pangkal ganglion
disebut urat saraf pra ganglion dan yang berada pada ujung ganglion disebut urat
saraf post ganglion.

Sistem saraf otonom berfungsi untuk mempertahankan keadaan tubuh dalam


kondisi terkontrol tanpa pengendalian secara sadar. Sistem saraf otonom bekerja
secara otomatis tanpa perintah dari sistem saraf sadar. Sistem saraf otonom juga
disebut sistem saraf tak sadar, karena bekerja diluar kesadaran.

Struktur jaringan yang dikontrol oleh sistem saraf otonom yaitu otot jantung,
pembuluh darah, iris mata, organ thorakalis, abdominalis, dan kelenjar tubuh. Secara
umu, sistem saraf otonom dibagi menjadi dua bagian, yaitu sistem saraf simpatis dan
sistem saraf parasimpatis.

Sistem saraf otonom merupakan sistem saraf yang bekerja tanpa disadari atau
tanpa perintah sistem saraf pusat. Sistem saraf otonom merupakan gabungan saraf

3
sensorik dan saraf motorik. Gangguan pada sistem saraf otonom dapat mempengaruhi
setiap bagian atau proses tubuh. Gangguan saraf otonom mungkin reversibel atau
progresif.

Setelah sistem saraf otonom menerima informasi tentang tubuh dan


lingkungan eksternal, maka sistem saraf otonom akan meresponnya dengan
merangsang proses tubuh, biasanya melalui saraf simpatik, atau menghambat proses
tubuh, biasanya melalui saraf parasimpatis.

2.2 Obat-Obat Otonom

2.2.1 Definisi Obat-Obat Otonom

Obat otonom yaitu obat yang bekerja pada susunan syaraf otonom, mulai
dari sel saraf sampai sel efektor. Obat ini berpengaruh secara spesifik dan bekerja
pada dosis kecil. Efek suatu obat otonom dapat diperkirakan jika respon berbagai
organ otonom terhadap impuls syaraf otonom diketahui (Deden Dermawan, 2015).

Obat-obat otonom adalah obat yang dapat memengaruhi penerusan impuls


dalam sistem saraf otonom dengan jalan mengganggu sintesa, penimbunan,
pembebasan, atau penguraian neurotransmitter atau memengaruhi kerjanya atas
reseptor khusus. Akibatnya adalah dipengaruhinya fungsi otot polos dan organ
jantung dan kelenjar (Tjay & Rahardja, 2002).

2.2.2 Cara Kerja Obat Otonom

Obat otonom mempengaruhi transmisi neuro-hormonal dengan cara


menghambat atau mengintensifkannya. Terdapat beberapa kemungkinan pengaruh
obat pada transmisi sistem kolinergik dan adrenergik yaitu :

1. Menghambat sintesis atau pelepasan transmitor


2. Menyebabkan pelepasan transmitor
3. Berkaitan dengan reseptor
4. Menghambat destruksi transmitor (Deden Dermawan, 2015)

2.2.3 Penggolongan Obat-Obat Otonom

Secara anatomi susunan saraf otonom terdiri atas praganglion, ganglion


dan pascaganglion yang mempersarafi sel efektor. Serat eferen persarafan otonom

4
terbagi atas sistem persarafan simpatis dan parasimpatis. Berdasarkan macam saraf
otonom tersebut, maka obat otonomik digolongkan menjadi :

Saraf Parasimpatis

 Parasimpatomimetik atau Kolinergik : Efek obat golongan ini menyerupai


efek yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf parasimpatis.
 Parasimpatolitik atau Antagonis Kolinergik : Menghambat timbulnya efek
akibat aktivitas susunan saraf parasimpatis.

Saraf Simpatis
 Simpatomimetik atau Adrenegik : Efek obat golongan ini menyerupai efek
yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf simpatis.
 Simpatolitik atau Antagonis Adrenegik : Menghambat timbulnya efek
akibat aktivitas susunan saraf simpatis.

2.3 Obat-Obat Adrenergik

Obat golongan ini disebut obat adrenergik karena efek yang ditimbulkan nya
mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efrk neurotransmiter norepinefrin
dan epinefrin (yang disebut juga noradrenalin dan adrenalin). Golongan obat ini
disebut juga obat simpatik atau simpatomimetik (Farmakologi dan Terapi, 2007).

2.4 Agonis Adrenergik

2.4.1 Pengertian Agonis Adrenergik

Agonis adrenergic merupakan obat yang memacu atau meningkatkan


syaraf adrenergik. Obat ini bereaksi menyerupai neurotransmitter norepinefrin
pada syaraf simpatik untuk kemudian berinteraksi dengan reseptor adrenergic,
sehingga dinamakan juga simpatomimetik atau andrenomimetik. Aksi sistem
syaraf simpatik melibatkan dua tipe reseptor adrenergic yaitu α dan β (Agung
Endro N, 2012).

Efek aktivasi pada dua tipe reseptor adrenergic dapat terbagi terbagi
menjadi 4 yaitu :

1. Reseptor α1 adrenergik, banyak terdapat pada otot polos pembuluh darah.


Aktivasi oleh agonis menyebabkan kontriksi pembuluh darah.

5
2. Reseptor α2 adrenergik, terdapat pada ujung syaraf postganglion simpatik dan
terlibat pada “autoinhibitory feedback” . Aktivasi oleh agonis menyebabkan
penghambatan pelepasan norepinefrinoleh ujung syaraf simpatik.
3. Reseptor β1 adrenergik, terdapat pada jantung. Aktivasi oleh agonis
menyebabkan frekuensi dan kekuatan denyut jantung.
4. Reseptor β2 adrenergik, terdapat pada otot polos uterus dan pernafasan.
Aktivasi oleh agonis menyebabkan relaksasi (Agung Endro N, 2012).

Kerja obat adrenergic dapat dibagi dalam 7 jenis :

1. Perangsangan perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa
dan terhadap kelenjar liur dan keringat.
2. Penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah
otot rangka.
3. Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan
kekuatan kotraksi.
4. Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernapasan, peningkatan
kewaspadaan, aktivitas psikomotor, dan pengurangan nafsu makan.
5. Efek metabolic,misalnya peningkatan glikogenesis dihati dan otot lipofisis
dan pelepasan asam lemak bebas dri jaringan lemak.
6. Efek endokrin misalnya mempengaruhi efek insulin, renin, dsn hormone
hipofisis.
7. Efek prasinaptik dengan alibat hambatan atau peningkatan pelepasan
neurotransmitter NE dan Ach. (deden dermawan, 2015)

obat agonis
adrenergik

agonis agonis
adrenergik adrenergik
langsung tidak langsung

2.4.2 Jenis Agonis Adrenergik

2.4.2.1 Agonis Adrenergik Langsung

Obat ini berinteraksi dan mengaktivasi reseptor adrenergic. Namun


demikian, perbedaan obat obat golongan ini adalah spesifisitas terhadap
subtype reseptor adrenergic pada table berikut:

6
Agonis adrenergic α1 α2 β1 β2

Norepinefrin + + + -
Epinefrin + + + +
Fenilefrin + - - -
Oksimetazolin + - - -
Klonidin - + - -
α1 - + - -
metilnorepinefrin
Dobutamin - - + -
Isoprenalin - - + +
Terbutalin - - - +
Salbutamol - - - +
Metaprenalin - - - +

2.4.2.2 Agonis Adrenergik tak Langsung

Obat ini bereaksi dengan cara meningkatkan konsentrasi norepinefrin


pada celah sinaptik. Pada konteks ini, agonis langsung pada reseptor
adrenergiknyaadalah norepinefrin.

Peningkatan konsterasi norepinefrin setidaknya melalui 2 jalan yaitu :

1. Merangsang pelepasan simpanan norepinefrin dari ujung syaraf


2. Menghambat proses pengambilan kembali (reuptake) norepinefrin ke
ujung syaraf.

Obat golongan pertama berinteraksi dengan ujung sel syaraf simpatik


dalam melepaskan simpanan norepinefrin dari ujung syaraf simpatik.
Senyawa tersebut mempunyai struktur kimia mirip dengan norepinefrin,
namun gugus OH aromatiknya dihilangkan untuk mengurangi afinitasnya
pada reseptor. Senyawa tersebut dapat menembus ke ujung sel saraf
postganglion simpatik dengan bantuan transporter. Contoh senyawa
golongan ini adalah tiramin, amfetamin, efedrin, dan fenilpropanolamin
(norefedrin, atau oksiamfetamin). Setelah masuk ujung sel syaraf simoatik,
obat ini masuk ke vesikel sinaptikuntuk bertukar dengan norepinefrin yang
keluar dari vesikel menuju ke sitosol, dengan bantuan VAMP (transporter
monoamine vesikuler). Beberapa norepinefrin langsung mengalami
degradasi oleh MAO , sedangkan beberapa norepinefrin mengalami
pelepasan dari ujung saraf menuju celah sinaptik untuk ditukarkan dengan

7
senyawa obat dengan bantuan transporter norepinefrin (NA transporter).
Proses pelepasan ini tidak membutuhkan Ca2+ atau kenaikan potensial aksi
dan proses eksositosis vesikel.

Obat yang kedua, menghambat reuptake norepinefrin menuju ujung


sel syaraf simpatetik. Proses reuptake ini digunakan untuk mengendalikan
pelepasan norepinefrin dari ujung syaraf. Apabila proses ini dihambat,
konsentrasi norepinefrin disinaps meningkat sehingga efek adrenergic juga
akan meningkat. Contoh obatnya : antidepresan trisiklik (imipramin,
desimipramin) dan kokain. Pada kondisi depresi, terjadi penurunan
konsentrasi norepinefrin di SSP, sehingga desimipramin dapat digunakan
untuk memacu transmisi simpatetik. Namun, obat tersebut seperti kokain
mempunyai efek samping perifer yaitu takikardi dan disritmia jantung.

2.4.3 Penggolongan Agonis Adrenergik

A. Katekolamin (endogen : epinefrin , norepinefrin dan dopamine; sintetik :


isoprotenol hidroklorida dan dobutamine )

Obat adrenergik yang termasuk katekolamin pada umumnya


menimbulkan efek adrenergic melalui kerja langsung pada reseptor
adrenergic.

B. Non katekolamin (fenilepinefrin,meteprotenol, dan albuterol )


Obat non-katekolamin efeknya sebagian melalui pelepasan
norephineprin endogen dan sebagian lagi akibat kerja langsung pada reseptor
adrenergic. Perbandingan antara kerja langsung dan kerja tidak langsung pada
berbagai non katekolamin sangat bervariasi tergantung dari obatnya,
jaringannya, dan spesiesnya.
Berbeda dengan katekolamin, kebanyakan nonkatekolamin dapat
diberikan secara oral, dan banyak di antaranya mempunyai masa kerja yang
cukup lama. Hal ini disebabkan oleh resistensi obat-obat terhadap COMT
( karena non-katekolamin ) dan MAO ( karena mempunyai substitusi pada
atom C-α ), dan juga karena diberikannya dalam jumlah yang relative besar.
Berbeda dengan katekolamin yang sukar melewati sawar darah otak,
fenilisopropilamin yang tidak mempunyai gugus OH di cincin benzene
maupun pada atom C-β, misalnya amfetamin dan metamfetamin melewatinya
dengan mudah dan ditemukan dalam jaringan otak dan cairan serebrospinal

8
dalam kadar yang tinggi. Hal ini merupakan salah satu sebab bagi efek
sentralnya yang relative kuat.

2.4.4 Mekanisme Kerja

2.4.4.1Agonis Selektif Reseptor α₁

α₁ agonis dalam golongan ini termasuk metoksiamin, fenilefrin,


mefentermin, metaraminol dan midodrin. Obat obat ini digunakan untuk
menaikan tekanan darah pada hipotensi atau syok, berdasarkan kerjanya pada
reseptor α₁ pembuluhan darah. Metoksamin dan fenilefrin bekerja secara
langsung pada reseptor α₁, sedangkan mefentermin dan metaraminol bekerja
secara langsung dan tidak langsung. Midodrin adalah prodrug yang setelah
pemberian oral, diubah menjadi desglimidodrin, suatu α₁ agonis yang bekerja
langsung.

 Metoksamin merupakan agonis reseptor α₁ yang hampir murni, dan


kerjanya secara langsung. Obat ini tidak mempengaruhi reseptor β₁ maupun
β₂.
 Fenilefrin adalah agonis selektif reseptor α₁, efeknya mirip metoksamin.
Obat ini juga digunakan sebagai dekongestan nasal.
 Mefentermin bekerja langsung maupun melalui penglepasan NE endogen,
dan mempunyai banyak persamaan dengan efedrin. Obat ini digunakan
untuk mencegah hipotensi, yang seringkali menyertai anesthesia spinal.
 Metaraminol mempunyai kerja langsung pada reseptor α vascular dan kerja
tidak langsung. Obat ini digunakan untuk pengobatan hipotensi atau untuk
menghentikan serangan takikardia atrial paroksismal, terutama yang
menyertai hipotensi.

2.4.4.2 Agonis Selektif Reseptor α₂

Klonidin adalah prototype α₂ agonis, awalnya dikembangkan


sebagaidekongestan nasal karena efek vaskonstriksinya. Klonidin ialah
antihipertensi yang merupakan α₂ agonis. Obat ini merangsang adrenoreseptor
α₂ di SPP maupun di perifer, tetapi efek antihipertensinya terutama akibat
perangsangan reseptor α₂ di SPP. Obat lain yang bekerja serupa dengan
klonidin ialah guanabenz dan guanfasin.

Klonidin menyebabkan kenaikan tekanan darah segera setelah


pemberian IV. Efek ini tampaknya akibat perangsangan reseptor α₂ pada otot

9
polos pembuluh darah yang menimbulkan vasokonstriksi. Klonidin mempunyai
afinitas yang tinggi untuk reseptor di sini meskipun dengan efektivitas yang
rendah. Efek vasokonstriksi ini hanya sebentar dan tidak terlihat pada
pemberian oral. Lalu disusul dengan efek hipotensif akibat perangsangan
adrenoreseptor α₂ di SSP

2.4.4.3 Agonis reseptor β1

Dobutamin. Struktur senyawa ini mirip dopamine, tetapi dengan


substitusi aromatic yang besar pada gugus amino. Dobutamin merupakan
camuran rasemik dari kedua isomer I dan D. isomer I adalah α 1-agonis yang
poten sedangkan isomer d α1-bloker yang poten. Sifat agonis isomer/dominan,
sehingga terjadi vasokontriksi yang lemah melalui aktivasi reseptor α1. Isomer d
10 kali lebih poten sebagai agonis reseptor β daripada isomer I dan lebih
selektif untuk reseptor β1 daripada β2.

Dobutamin menimbulkan efek inotropic yang lebih kuat daripada efek


kronotropik dibandingkan isoproterenol. Hal ini mungkin disebabkan karena
resistensi perifer yang relative tidak berubah sehingga tidak menimbulkan
reflex takikardi, atau karena reseptor α1 di jantung menambah efek inotropic
obat ini. Pada dosis yang menimbulkan efek inotropic yang sebanding, efek
dobutamin dalam meningkatkan automatisitas nodus SA kurang dibanding
isoproterenol, tetapi peningkatan konduksi AV dan intraventikular oleh ke-2
obat ini sebanding. Dengan demikian, infus dobutamin akan meningkatkan
kontraktilitas jantung dan curah jantung, hanya sedikit meningkatkan denyut
jantung, sedangkan resistensi perifer relative tidak berubah.

2.4.4.4 Agonis Selektif Reseptor β2

β2-agonis dalam golongan ini termasuk metaproterenol (orsiprenalin),


salbutamol (albuterol), terbutalin, fenoterol, formoterol, prokaterol, salmaterol,
pirbuterol, bitolterol, isoetarin, dan ritodrin. Pada dosis kecil, kerja obat-obat ini
pada reseptor β2 jauh lebih kuat daripada kerjanya pada reseptor β1. Tetapi bila
dosisnya ditinggikan, selektivitas hilang, misalnya pada pasien asma,
salbutamol kira-kira sama kuat dengan isoproterenol sebagai btonkodilator (bila
diberikan sebagai aerosol), tetapi jauh lebih lemah dari isoproterenol sebagai
stimulan jantung. Tetapi bila dosis salbutamol ditinggikan 10 kali lipat,
diperoleh efek stimulan jantung yang menyamai efek isoproterenol.

Melalui aktivitas reseptor β2, obat-obat ini menimbulkan relaksasi otot


polos bronkus, uterus dan pembuluh darah otot rangka. Aktivasi reseptor β1

10
yang menghasilkan stimulasi jantung, oleh dosis yang sama, jauh lebih lemah.
Obat-obat ini, yang hanya menimbulkan sedikit perubahan tekanan darah,
dikembangkan terutama untuk pengobatan asma bronkial. Selektivitas obat-obat
ini terhadap reseptor β2 tidak sama untuk setiap obat, misalnya metaproterenol
kurang selektif dibandingkan dengan salbutamol. Ridotrin, terbutalin, dan
fenoterol digunakan (sebagai infus) untuk menunda kelahiran prematur.

2.4.5 Farmakodinamik, Efek Samping, Kontraindikasi Agonis Adrenergic

Farmakodinamik

A. Bersifat inotropic
B. Bronkodilator
C. Hipertensi
D. Tremor dan gelisah

Efek Samping

Efek samping sering kali muncul apabila dosis ditingkatkan atau obat
bekerja non selektif (bekerja pada beberapa reseptor). Efek samping yang
sering timbul adalah hipertensi, takikardi, palpitasi, aritmia, tremor, pusing,
kesulitan berkemih, mual dan muntah.

Kontraindikasi

A. Tidak boleh digunakan pada ibu hamil


B. Sesuaikan dosis pada penderita yang mendapat antidepresi trisiklik
C. Tidak boleh digunakan untuk pada penderita stenorsis subaorta, anoreksia,
insomnia dan estenia.

2.5 Antagonis Adrenergik (Penghambat Adrenergik )

2.5.1 Definisi Antagonis Adrenergik

Penghambat adrenergic atau adrenolitik ialah golongan obat yang


menghambat perangsangan adrenergic. Berdasarkan tempat kerjanya, golongan
obat ini dibagi atas antagonis adrenoseptor dan penghambat saraf adrenergic.

2.5.2 Jenis Antagonis Adrenergik

2.5.2.1 Antagonis Adrenoseptor

11
Antagonis adrenoseptor atau adrenoseptor bloker ialah obat yang
menduduki adrenoseptor sehingga menghalanginya untuk berinteraksi dengan
obat adrenergic, dengan demikian menghalangi kerja obat adrenergic pada sel
efektornya. Ini berrti adrenoseptor bloker mengurangi respon sel efektor
adrenergic terhadap perangsangan saraf adrenergic maupun terhadap obat
adrenergic eksogen. Untuk masing-masing adrenoseptor α dan β ada
penghambatnya yang selektif. Antagonis adrenoseptor α atau α bloker memblok
hanya reseptor α dan tidak menduduki reseptor β. Sebaliknya Antagonis
adrenoseptor β atau β bloker memblok hanya reseptor β dan tidak menduduki
reseptor α.

2.5.2.2 Penghambat Saraf Adrenergik

Penghambat saraf adrenergik ialah obat yang mengurangi respon sel


efektor terhadap perangsangan saraf adrenergic, tetapi tidak terhadap obat
adrenergic eksogen. Obat golongan ini bekerja pada ujung saraf adrenergic,
mengganggu pelepasan atau penyimpanan norepinefrin.

a. α blocker.
Penggolongan dan indikasi obat α blocker :
1. α blocker nonselektif :
a) Derivate haloalkilamin (dibenamin dan fenoksibenzamin ) : untuk
pengobatan feokromositoma, pengobatan simtomatik hipertofi
prostat benigna dan untuk persiapan operasi.
b) Derivate imidazolin (fentolamin dan telazolin) : mengatasi
hipertensi, pseudo-obstruksi usus dan impotensi.
c) Alkaloid ergot (ergonovin, ergotamine dan ergotoksin) :
meningkatkan tekanan darah, untuk stimulasi kontraksi uterus
setelah partus, mengurangi nyeri migren dan untuk pengobatan
demensia senelis.
2. α₁ Blocker Selektif :
Derivate kuinazolin (prazosin, terazosin, doksazosin, trimazosin dan
bunazosin) : untuk pengobatan hipertensi, gagal jantung kongesif,
penyakit vaskuler perifer, penyakit Raynaud dan hipertrofi prostat
benigna (BPH)
3. α₂ Blocker Selektif : (Yohimbin) untuk pengobatan impotensi,
meningkatkan TD,
farmakodinamik :
1) menimbulkan vasodilatasi dan venodilatasi
2) menghambat reseptor serotonin

12
3) merangsang sekresi asam lambung, saliva, air mata dan keringat
4) kontriksi pupil

Efek samping :

1) hipotensi postural
2) iskemia miokard dan infark miokard
3) takikardi dan aritmia
4) hambatan ejakulasi dan espermia yang reversible
5) kongesti nasal
6) pusing, sakit kepala, ngantuk, palpasi edema perifer dan nausea
7) tekanan darah menurun
b. β Blocker
Jenisnya adalah propranolol yang menjadi prototype golongan obat
ini. Sehingga sampai sekarang semua β blocker baru selalu dibangdingkan
dengan propranolol.
Farmakodinamik :
1) mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas miokard
2) menurunkan tekanan darah dan resistensi perifer
3) sebagai antiaritma
4) bronkokontriksi
5) mengurangi efek glikemia
6) peningkatan asam lemak dalam darah
7) menghambat tremor dan sekresi renin

Efek Samping :

1) gagal jantung dan bradiaritmia


2) bronkospasme
3) gangguan sirkulasi perifer
4) gejala putus obat (serangan angina, infark miokard, aritmia ventrikuler
bahkan kematian)
5) hipoglikemia dan hipotensi
6) efek sentral (rasa lelah, gangguan tidur dan depresi)
7) gangguan saluran cerna (nausea, muntah, diare atau konstipasi)
8) gangguan fungsi libido (penurunan libido dan impotensi)
9) alopesia, retensi urine, miopati dan atropati

Indikasi :

13
Pada umumnya obat obat antiadrenergic di gunakan untuk
pengobatan angina pectoris, aritmia, hipertensi, infark miokard,
kardiomiopati obstruksi hipertrofik, feokromositoma, tirotoksokosis,
glaucoma, tremor esensial dan ansietas.

Kontraindikasi :

1) hati hati penggunaan β blocker pada penderita dengan pembesaran


jantung dan gagal jantung
2) hati hati penggunaan pada penderita asma, syok kardiogenik, penyakit
hati dan ginjal
3) tidak boleh digunakan pada penyakit vascular perifer dan penyakit
paru obstruktif menahun (PPOM)
c. Penghambat saraf adrenergic
Penghambat saraf adrenergic menghambat aktivitas saraf adrenergic
berdasarkan gangguan sintesis atau penyimpanan dab pelepasan
neurotransmitor di ujung saraf adrenergic.
Penggolongan dan indikasi obat penghambat saraf adrenergic :
1) guanetidin dan guanadrel (ismelin dan hylorel) : sebagai antihipertensi
2) reserpine : sebagai antihipertensi (lebih efektif bila dikombinasikan
dengan obat diuretic
3) metirosin : menghambat enzim tirosin hidroksilase, sebagai adjuvant
dari fenoksibenzamin pada pengobatan feokrositoma maligna

Farmakodinamik :

1) menyebabkan respon triafasik terhadap tekanan darah


2) menyebabkan vasodilatasi, venodilatasi dan penurunan curah jantung
3) retensi air dan garam
4) meningkatkan motilitas saluran cerna

Efek samping :

1) hipotensi ortostatik dan hipotensi postural


2) diare
3) hambatan ejakulasi
4) retensi urine
5) sedasi, ansietas dan tidak mampu berkonsentrasi
6) depresi psikotik atau gangguan psikis lainnya
7) hidung tersumbat
8) edema

14
Kontraindikasi :

1) tidak boleh diberikan pada penderita dengan riwayat depresi


2) tidak boleh dikonsumsi bersamaan dengan alcohol

2.6 Penyakit Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)

2.6.1 Definisi

Benign prostatic hyperplasia (BPH), atau dikenal juga sebagai pembesaran


prostat jinak, merupakan pembesaran kelenjar prostat yang bersifat jinak yang
dapat menyebabkan sumbatan pada urethra pars prostatika, sehingga menyebabkan
terhambatnya aliran urin keluar dari kandung kemih. Penyakit ini merupakan salah
satu penyakit urologi yang paling sering ditemukan dalam praktik kedokteran
sehari-hari yang ditandai dengan adanya gejala saluran kemih bawah (lower
urinary track syndrom).

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya


dinyatakan sebagai pembesaran prostat jinak (PPJ), merupakan suatu penyakit
yang biasa terjadi. Ini di lihat dari frekuensi terjadinya BPH di dunia, di Amerik
secara umum dan di Indonesia secara khususnya. Di dunia, diperkirakan bilangan
penderita BPH adalah seramai 30 juta, bilangan ini hanya pada kaum pria kerana
wanita tidak mempunyai kalenjar prostat, maka oleh sebab itu, BPH terjadi hanya
pada kaum pria.

2.6.2 Etiologi

Etiologi BPH belum jelas namun terdapat faktor risiko umur dan beberapa
hormon androgen. Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia
30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan
patologik anatomi yang ada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%,
usia 80 tahun sekitar 80%, dan usia 90 tahun 100% (Arief Mansjoer, 2000).

15
Prostat merupakan alat tubuh yang bergantung kepada endokrin dan dapat
pula dianggap undangan (counter part). Oleh karena itu yang dianggap etiologi
adalah karena tidak adanya keseimbangan endokrin. Namun menurut Syamsu
Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 etiologi dari BPH adalah:

 Adanya hiperplasia periuretral yang disebabkan karena perubahan


keseimbangan testosteron dan estrogen.o Ketidakseimbangan endokrin.
 Faktor umur / usia lanjut.
 Unknown tidak diketahui secara pasti.

2.6.3  Patofisiologi dan  Patogenesis

2.63.1 Patofisiologi

Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga


perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap
awal setelah terjadi pembesaran prostad, resistensi pada leher buli-buli dan
daerah prostad meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang
sehingga timbul sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor disebut fase
kompensasi, keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi/terjadi
dekompensasi sehingga terjadi retensi urin. Pasien tidak bisa mengosongkan
vesika urinaria dengan sempurna, maka akan terjadi statis urin. Urin yang
statis akan menjadi alkalin dan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri
(Baradero dkk, 2009).

Obstruksi urin yang berkembang secara perlahan-lahan dapat


mengakibatkan aliran urin tidak deras dan sesudah berkemih masih ada urin
yang menetes, kencing terputus-putus (intermiten), dengan adanya obstruksi
maka pasien mengalami kesulitan untuk memulai berkemih (hesitansi). Gejala
iritasi juga menyertai obstruksi urin. Vesika urinarianya mengalami iritasi dari
urin yang tertahan tertahan didalamnya sehingga pasien merasa bahwa vesika
urinarianya tidak menjadi kosong setelah berkemih yang mengakibatkan
interval disetiap berkemih lebih pendek (nokturia dan frekuensi), dengan
adanya gejala iritasi pasien mengalami perasaan ingin berkemih yang
mendesak/ urgensi dan nyeri saat berkemih /disuria.

Tekanan vesika yang lebih tinggi daripada tekanan sfingter dan


obstruksi,akan terjadi inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan

16
refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita
harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkanhernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapatmenyebabkan terbentuknya batu
endapan didalam kandung kemih. Batuini dapat menambah keluhan iritasi dan
menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan
bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De
jong, 2005).

2.6.3.2 Patogenesis

Teori dehidrotestosteron (DHT)

Telah disepakati bahwa aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron


menjadi dehidrotestosteron (DHT) dalam sel prostat menjadi faktor terjadinya
penetrasi DHT ke dalam inti sel yang dapat menyebabkan inskripsi pada RNA
sehingga menyebabkan terjadinya sintesis protein. Proses reduksi ini difasilitasi
oleh enzim 5-α-reduktase.

Teori hormon

Estrogen berperan pada insiasi dan maintenance pada prostat manusia.

Faktor interaksi stroma dan epitel

Hal ini banyak dipengaruhi oleh growth factor. Basic Fibroblast Growth
Factor (b-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan
konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. b-
FGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.

Teori kebangkitan kembali (reawakening)

Reinduksi dari kemampuan mesenkim sinus urogenital untuk


berproliferasi dan membentuk jaringan prostat (Arief Mansjoer, 2000).

2.6.4 Epidemiologi dan Prevalensi

17
2.6.4.1 Epidemiologi
Epidemiologi benign prostatic hyperplasia meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Di Indonesia, penelitian menunjukkan benign prostatic
hyperplasia mengenai hampir 50% laki-laki di atas 50 tahun.

Epidemiologi benign prostatic hyperplasia meningkat seiring dengan


bertambahnya usia. Di Indonesia, penelitian menunjukkan benign prostatic
hyperplasia mengenai hamper 50% laki-laki di atas 50 tahun.

Global

Angka kejadian benign prostatic hyperplasia meningkat seiring dengan


bertambahnya usia. benign prostatic hyperplasia merupakan tumor jinak yang
paling sering terjadi pada pria, yaitu sekitar 8% pada pria usia 41-50 tahun,
50% pada pria usia 51-60, dan >90% pada pria di atas 80 tahun. Pada usia 55
tahun, sekitar 25% pria mengalami gejala obstruktif saluran kemih dan pada
usia 75 tahun 50% pria mengalami pelemahan pancaran urin (weak stream).
[9,11,12]

Indonesia

Epidemiologi hiperplasia prostat jinak di Indonesia kurang tercatat


dengan baik. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa benign prostatic
hyperplasia mengenai hampir 50% laki-laki Indonesia di atas usia 50 tahun
dan sebanyak 20% laki-laki dengan lower urinary tract symptoms (LUTS)
dinyatakan menderita benign prostatic hyperplasia.

Mortalitas
Hiperplasia prostat jinak tidak menyebabkan kematian. Mortalitas
benign prostatic hyperplasia juga semakin menurun dari tahun ke tahun dan
hampir mendekati nol. Angka mortalitas benign prostatic hyperplasia adalah
sekitar 0.5-1.5 per 100.000 kasus dan umumnya terjadi karena komplikasinya.

2.4.2 Prevalensi
Angka kejadian benign prostatic hyperplasia meningkat seiring
dengan bertambahnya usia. benign prostatic hyperplasia merupakan tumor
jinak yang paling sering terjadi pada pria, yaitu sekitar 8% pada pria usia 41-
50 tahun, 50% pada pria usia 51-60, dan >90% pada pria di atas 80 tahun.
Pada usia 55 tahun, sekitar 25% pria mengalami gejala obstruktif saluran

18
kemih dan pada usia 75 tahun 50% pria mengalami pelemahan pancaran urin
(weak stream).
Prevalensi BPH yang bergejala pada pria 40-49 tahun mencapai
hampir 15%, usia 50-59 tahun prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada
usia 60 tahun mencapai angka sekitar 43%.

Dunia

Dalam Survei Perawatan Nasional Ambulatory Medis (1993-2010)


mengidentifikasi lebih dari 101 juta kunjungan rawat jalan untuk pria dengan
diagnosis BPH. Di dunia, hampir 30 juta pria menderita BPH. Pada usia 40
tahun sekitar 40%, usia 60-70 tahun meningkat menjadi 50% dan usia lebih
dari 70 tahun mencapai 90% (Sampekalo et al., 2015).
Penelitian Sepuluh kondisi penyakit yang paling menonjol dan mahal
pada pria di atas 50 tahun di Amerika Serikat adalah BPH. Sebuah tinjauan
berbasis masyarakat pada tahun 2000 menunjukkan prevalensi BPH tinggi,
dengan hampir 8 juta kunjungan dokter untuk diagnosis primer atau sekunder
mengenai BPH.

Office of Health Economic Inggris telah mengeluarkan proyeksi


prevalensi BPH bergejala di Inggris dan Wales beberapa tahun ke depan.
Pasien BPH bergejala yang berjumlah sekitar 80.000 pada tahun 1991,
diperkirakan akan meningkat menjadi satu setengah kalinya pada tahun 2031.

Indonesia

Sebagai gambaran hospital prevalence, di RS Cipto Mangunkusumo


ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak yang dirawat selama tiga tahun
(1994-1997) dan di RS Sumber Waras sebanyak 617 kasus dalam periode
yang sama (Birowo, Ponco, 2004).

Penelitian oleh Mahendrakrisna, D. (2016) ditemukan bahwa angka


kejadian BPH terbanyak pada kelompok usia 61-70 tahun (38,2%) dengan
rata-rata usia 65,75. Usia termuda adalah 46 tahun dan usia tertua adalah 86
tahun. Rata-rata lama rawat inap selama 5 hari, dan paling banyak kateter
dicabut sebelum keluar rumah sakit sebanyak 60 orang (75,9 %).
Hasil studi pendahuluan menunjukkan bahwa kejadian BPH tertinggi
kedua berada di wilayah Kabupaten Gianyar setelah Kabupaten Tabanan yaitu
30 % dari 284 subyek pada tahun 2015. Pada tahun 2016 jumlah kasus BPH di
RSUD Sanjiwani sebanyak 200 kasus.

19
Pekanbaru

Data yang diperoleh sebanyak 60 subjek yang memenuhi kriteria


inklusi. Distribusi frekuensi pasien BPH berdasarkan umur di Klinik Urologi
RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau pada bulan Desember 2013 hingga
Januari 2014, dapat dilihat pada tabel.

BAB III

PENUTUP

20
3.1. Kesimpulan

Obat golongan ini disebut obat adrenergik karena efek yang ditimbulkan nya
mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efrk neurotransmiter norepinefrin
dan epinefrin. Obat adrenergik terbagi dua, yaitu agonis adrenergik dan antagonis
adrenergik.

Agonis adrenergic merupakan obat yang memacu atau meningkatkan syaraf


adrenergik. Obat ini bereaksi menyerupai neurotransmitter norepinefrin pada syaraf
simpatik untuk kemudian berinteraksi dengan reseptor adrenergic, sehingga
dinamakan juga simpatomimetik atau andrenomimetik. Agonis adrenergik bekerja
secara langsung dan secara tak langsung.

Penghambat adrenergic atau adrenolitik ialah golongan obat yang


menghambat perangsangan adrenergic. Berdasarkan tempat kerjanya, golongan obat
ini dibagi atas antagonis adrenoseptor dan penghambat saraf adrenergic.

DAFTAR PUSTAKA

Baradero, dkk, (2009). Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Endokrin.

21
Jakarta : EGC.

Dermawan, Deden. 2015. Farmakologi Untuk Terapi. Jakarta : Gosyen Publishing.

Fitriana, Nadya dkk. 2014. Hubungan Benign Prostate Hypertrophy Dengan


Disfungsi Ereksi di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau.
https://www.neliti.com/publications/187816/hubungan-benign-prostate-
hypertrophy-dengan-disfungsi-ereksi-di-rsud-arifin-achm, diakses pada 08
Januari 2020.
Mansjoer, Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta : Media
Aesculapius
Nugroho, Agung Endro. 2012. Farmakologi : Obat-obat Penting Dalam
Pembelajaran Ilmu Farmasi dan Dunia Kesehatan. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.

Sjamsuhidajat, R. & Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC

Tjay dan Rahardja. 2002. Obat-obat Penting, Khasiat, Pengunaaan dan Efek


Sampingnya. Edisi V. Jakarta : PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia

22

Anda mungkin juga menyukai