DISUSUN OLEH :
SYALSHABILAH (1801074)
DOSEN PENGAMPU :
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah
tentang "Agonis dan Antiadrenergik". Dan juga penulis berterima kasih kepada Ibu
Adriani Susanti, M.Farm, Aptselaku Dosen mata kuliah Farmakologi Klinik yang
telah memberikan tugas ini kepada kami.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Agonis dan Antiadrenergik. Penulis juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan
dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, penulis berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................2
1.3 Tujuan......................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................3
2.1 Pengertian Sistem Saraf Otonom.............................................................................3
2.2 Obat-Obat Otonom..................................................................................................4
2.2.1 Definisi Obat Otonom...................................................................................4
2.2.2 Cara Kerja Obat Otonom...............................................................................4
2.2.3 Penggolongan Obat-Obat Otonom................................................................4
2.3 Obat-Obat Adrenergik.............................................................................................5
2.4 Agonis Adrenergik..................................................................................................5
2.4.1 Pengertian Agonis Adrenergik......................................................................5
2.4.2 Jenis Agonis Adrenergik...............................................................................6
2.4.2.1 Agonis Adrenergik Langsung...........................................................6
2.4.2.2 Agonis Adrenergik tak Langsung.....................................................7
2.4.3 Mekanisme Kerja..........................................................................................8
2.4.4 Penggolongan Agonis Adrenergik................................................................8
2.4.4.1 Agonis Selektif reseptor α₁...............................................................9
2.4.4.2 Agonis Selektif Reseptor α₂..............................................................9
2.4.4.3 Agonis Reseptor β1.........................................................................10
2.4.4.4 Agonis Selektif Reseptor β2............................................................10
2.4.5 P Farmakodinamik, Efek Samping, Kontraindikasi Agonis Adrenergik....11
2.5 Antagonis Adrenergik............................................................................................11
2.5.1 Definisi Antagonis Adrenergik...................................................................11
ii
2.5.2 Jenis Antagonis Adrenergik........................................................................12
2.5.2.1 Antagonis Adrenoseptor..................................................................12
2.5.2.2 Penghambat Saraf Adrenergik........................................................12
2.6 Penyakit Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)......................................................15
2.6.1 Definisi........................................................................................................15
2.6.2 Etiologi........................................................................................................15
2.6.3 Patofisiologi dan Patogenesis.....................................................................15
2.6.3.1 Patofisiologi....................................................................................16
2.6.3.2 Patogenesis......................................................................................16
2.6.4 Epidemiologi dan Prevalensi.......................................................................18
2.6.3.1 Epidemiologi...................................................................................18
2.6.3.2 Prevalensi........................................................................................18
BAB III PENUTUP.....................................................................................................21
3.1 Kesimpulan......................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................22
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak. Fungsi
sistem saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan (antagonis). Dua perangkat
neuron dalam komponen otonom pada sistem saraf perifer adalah neuron aferen atau
sensorik dan neuron eferen atau motorik. Neuron aferen mengirimkan impuls ke
sistem saraf pusat, dimana impuls itu diinterprestasikan. Neuron eferen menerima
impuls (informasi) dari otak dan meneruskan impuls ini melalui medulla spinalis ke
sel-sel organ efektor.
Serat eferen terbagi dalam sistem simpatis dan parasimpatis. Sistem simpatis
disalurkan melalui serat torakolumbal, dalan sistem ini termasuk ganglia pravertebal
dan ganglia terminal. Sistem parasimpatis atau kraniosakral outfloe disalurkan
melalui syaraf otak ke III, IX, X, dan N. pelvikus yang berasal dari bagian sacral
segmen 2, 3, dan 4. Secara umum dapat dikatakan bahwa sistem simpatis dan
parasimpatis memperlihatkan fungsi yang antagonistik yaitu bila yang satu
menghambat fungsi maka yang lain memicu fungsi tersebut.
1
1.2 Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Sistem saraf otonom adalah sistem saraf yang bergantung pada sistem saraf
pusat, dan antara keduanya dihubungkan urat-urat saraf aferen dan eferen. Juga
memiliki sifat seolah olah sebagai bagian sistem saraf pusat, yang telah bermigrasi
dari saraf pusat guna mencapai kelenjar, pembuluh darah, jantung, paru-paru, dan
usus. Karena sistem saraf otonom itu terutama berkenaan dengan pengendalian organ-
organ dalam secara tidak sadar, kadang-kadang disebut juga susunan saraf tidak
sadar.
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak maupun
dari sumsum tulang belakang dan menuju organ yang bersangkutan. Dalam sistem ini
terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur membentuk sinapsis yang kompleks
dan juga membentuk ganglion. Urat saraf yang terdapat pada pangkal ganglion
disebut urat saraf pra ganglion dan yang berada pada ujung ganglion disebut urat
saraf post ganglion.
Struktur jaringan yang dikontrol oleh sistem saraf otonom yaitu otot jantung,
pembuluh darah, iris mata, organ thorakalis, abdominalis, dan kelenjar tubuh. Secara
umu, sistem saraf otonom dibagi menjadi dua bagian, yaitu sistem saraf simpatis dan
sistem saraf parasimpatis.
Sistem saraf otonom merupakan sistem saraf yang bekerja tanpa disadari atau
tanpa perintah sistem saraf pusat. Sistem saraf otonom merupakan gabungan saraf
3
sensorik dan saraf motorik. Gangguan pada sistem saraf otonom dapat mempengaruhi
setiap bagian atau proses tubuh. Gangguan saraf otonom mungkin reversibel atau
progresif.
Obat otonom yaitu obat yang bekerja pada susunan syaraf otonom, mulai
dari sel saraf sampai sel efektor. Obat ini berpengaruh secara spesifik dan bekerja
pada dosis kecil. Efek suatu obat otonom dapat diperkirakan jika respon berbagai
organ otonom terhadap impuls syaraf otonom diketahui (Deden Dermawan, 2015).
4
terbagi atas sistem persarafan simpatis dan parasimpatis. Berdasarkan macam saraf
otonom tersebut, maka obat otonomik digolongkan menjadi :
Saraf Parasimpatis
Saraf Simpatis
Simpatomimetik atau Adrenegik : Efek obat golongan ini menyerupai efek
yang ditimbulkan oleh aktivitas susunan saraf simpatis.
Simpatolitik atau Antagonis Adrenegik : Menghambat timbulnya efek
akibat aktivitas susunan saraf simpatis.
Obat golongan ini disebut obat adrenergik karena efek yang ditimbulkan nya
mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efrk neurotransmiter norepinefrin
dan epinefrin (yang disebut juga noradrenalin dan adrenalin). Golongan obat ini
disebut juga obat simpatik atau simpatomimetik (Farmakologi dan Terapi, 2007).
Efek aktivasi pada dua tipe reseptor adrenergic dapat terbagi terbagi
menjadi 4 yaitu :
5
2. Reseptor α2 adrenergik, terdapat pada ujung syaraf postganglion simpatik dan
terlibat pada “autoinhibitory feedback” . Aktivasi oleh agonis menyebabkan
penghambatan pelepasan norepinefrinoleh ujung syaraf simpatik.
3. Reseptor β1 adrenergik, terdapat pada jantung. Aktivasi oleh agonis
menyebabkan frekuensi dan kekuatan denyut jantung.
4. Reseptor β2 adrenergik, terdapat pada otot polos uterus dan pernafasan.
Aktivasi oleh agonis menyebabkan relaksasi (Agung Endro N, 2012).
1. Perangsangan perifer terhadap otot polos pembuluh darah kulit dan mukosa
dan terhadap kelenjar liur dan keringat.
2. Penghambatan perifer terhadap otot polos usus, bronkus, dan pembuluh darah
otot rangka.
3. Perangsangan jantung, dengan akibat peningkatan denyut jantung dan
kekuatan kotraksi.
4. Perangsangan SSP, misalnya perangsangan pernapasan, peningkatan
kewaspadaan, aktivitas psikomotor, dan pengurangan nafsu makan.
5. Efek metabolic,misalnya peningkatan glikogenesis dihati dan otot lipofisis
dan pelepasan asam lemak bebas dri jaringan lemak.
6. Efek endokrin misalnya mempengaruhi efek insulin, renin, dsn hormone
hipofisis.
7. Efek prasinaptik dengan alibat hambatan atau peningkatan pelepasan
neurotransmitter NE dan Ach. (deden dermawan, 2015)
obat agonis
adrenergik
agonis agonis
adrenergik adrenergik
langsung tidak langsung
6
Agonis adrenergic α1 α2 β1 β2
Norepinefrin + + + -
Epinefrin + + + +
Fenilefrin + - - -
Oksimetazolin + - - -
Klonidin - + - -
α1 - + - -
metilnorepinefrin
Dobutamin - - + -
Isoprenalin - - + +
Terbutalin - - - +
Salbutamol - - - +
Metaprenalin - - - +
7
senyawa obat dengan bantuan transporter norepinefrin (NA transporter).
Proses pelepasan ini tidak membutuhkan Ca2+ atau kenaikan potensial aksi
dan proses eksositosis vesikel.
8
dalam kadar yang tinggi. Hal ini merupakan salah satu sebab bagi efek
sentralnya yang relative kuat.
9
polos pembuluh darah yang menimbulkan vasokonstriksi. Klonidin mempunyai
afinitas yang tinggi untuk reseptor di sini meskipun dengan efektivitas yang
rendah. Efek vasokonstriksi ini hanya sebentar dan tidak terlihat pada
pemberian oral. Lalu disusul dengan efek hipotensif akibat perangsangan
adrenoreseptor α₂ di SSP
10
yang menghasilkan stimulasi jantung, oleh dosis yang sama, jauh lebih lemah.
Obat-obat ini, yang hanya menimbulkan sedikit perubahan tekanan darah,
dikembangkan terutama untuk pengobatan asma bronkial. Selektivitas obat-obat
ini terhadap reseptor β2 tidak sama untuk setiap obat, misalnya metaproterenol
kurang selektif dibandingkan dengan salbutamol. Ridotrin, terbutalin, dan
fenoterol digunakan (sebagai infus) untuk menunda kelahiran prematur.
Farmakodinamik
A. Bersifat inotropic
B. Bronkodilator
C. Hipertensi
D. Tremor dan gelisah
Efek Samping
Efek samping sering kali muncul apabila dosis ditingkatkan atau obat
bekerja non selektif (bekerja pada beberapa reseptor). Efek samping yang
sering timbul adalah hipertensi, takikardi, palpitasi, aritmia, tremor, pusing,
kesulitan berkemih, mual dan muntah.
Kontraindikasi
11
Antagonis adrenoseptor atau adrenoseptor bloker ialah obat yang
menduduki adrenoseptor sehingga menghalanginya untuk berinteraksi dengan
obat adrenergic, dengan demikian menghalangi kerja obat adrenergic pada sel
efektornya. Ini berrti adrenoseptor bloker mengurangi respon sel efektor
adrenergic terhadap perangsangan saraf adrenergic maupun terhadap obat
adrenergic eksogen. Untuk masing-masing adrenoseptor α dan β ada
penghambatnya yang selektif. Antagonis adrenoseptor α atau α bloker memblok
hanya reseptor α dan tidak menduduki reseptor β. Sebaliknya Antagonis
adrenoseptor β atau β bloker memblok hanya reseptor β dan tidak menduduki
reseptor α.
a. α blocker.
Penggolongan dan indikasi obat α blocker :
1. α blocker nonselektif :
a) Derivate haloalkilamin (dibenamin dan fenoksibenzamin ) : untuk
pengobatan feokromositoma, pengobatan simtomatik hipertofi
prostat benigna dan untuk persiapan operasi.
b) Derivate imidazolin (fentolamin dan telazolin) : mengatasi
hipertensi, pseudo-obstruksi usus dan impotensi.
c) Alkaloid ergot (ergonovin, ergotamine dan ergotoksin) :
meningkatkan tekanan darah, untuk stimulasi kontraksi uterus
setelah partus, mengurangi nyeri migren dan untuk pengobatan
demensia senelis.
2. α₁ Blocker Selektif :
Derivate kuinazolin (prazosin, terazosin, doksazosin, trimazosin dan
bunazosin) : untuk pengobatan hipertensi, gagal jantung kongesif,
penyakit vaskuler perifer, penyakit Raynaud dan hipertrofi prostat
benigna (BPH)
3. α₂ Blocker Selektif : (Yohimbin) untuk pengobatan impotensi,
meningkatkan TD,
farmakodinamik :
1) menimbulkan vasodilatasi dan venodilatasi
2) menghambat reseptor serotonin
12
3) merangsang sekresi asam lambung, saliva, air mata dan keringat
4) kontriksi pupil
Efek samping :
1) hipotensi postural
2) iskemia miokard dan infark miokard
3) takikardi dan aritmia
4) hambatan ejakulasi dan espermia yang reversible
5) kongesti nasal
6) pusing, sakit kepala, ngantuk, palpasi edema perifer dan nausea
7) tekanan darah menurun
b. β Blocker
Jenisnya adalah propranolol yang menjadi prototype golongan obat
ini. Sehingga sampai sekarang semua β blocker baru selalu dibangdingkan
dengan propranolol.
Farmakodinamik :
1) mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas miokard
2) menurunkan tekanan darah dan resistensi perifer
3) sebagai antiaritma
4) bronkokontriksi
5) mengurangi efek glikemia
6) peningkatan asam lemak dalam darah
7) menghambat tremor dan sekresi renin
Efek Samping :
Indikasi :
13
Pada umumnya obat obat antiadrenergic di gunakan untuk
pengobatan angina pectoris, aritmia, hipertensi, infark miokard,
kardiomiopati obstruksi hipertrofik, feokromositoma, tirotoksokosis,
glaucoma, tremor esensial dan ansietas.
Kontraindikasi :
Farmakodinamik :
Efek samping :
14
Kontraindikasi :
2.6.1 Definisi
2.6.2 Etiologi
Etiologi BPH belum jelas namun terdapat faktor risiko umur dan beberapa
hormon androgen. Perubahan mikroskopik pada prostat telah terjadi pada pria usia
30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini berkembang, akan terjadi perubahan
patologik anatomi yang ada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%,
usia 80 tahun sekitar 80%, dan usia 90 tahun 100% (Arief Mansjoer, 2000).
15
Prostat merupakan alat tubuh yang bergantung kepada endokrin dan dapat
pula dianggap undangan (counter part). Oleh karena itu yang dianggap etiologi
adalah karena tidak adanya keseimbangan endokrin. Namun menurut Syamsu
Hidayat dan Wim De Jong tahun 1998 etiologi dari BPH adalah:
2.63.1 Patofisiologi
16
refluk vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Pada waktu miksi penderita
harus mengejan sehingga lama kelamaan menyebabkanhernia atau hemoroid.
Karena selalu terdapat sisa urin, dapatmenyebabkan terbentuknya batu
endapan didalam kandung kemih. Batuini dapat menambah keluhan iritasi dan
menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat juga menyebabkan sistitis dan
bila terjadi refluk akan mengakibatkan pielonefritis (Sjamsuhidajat dan De
jong, 2005).
2.6.3.2 Patogenesis
Teori hormon
Hal ini banyak dipengaruhi oleh growth factor. Basic Fibroblast Growth
Factor (b-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan
konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. b-
FGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
17
2.6.4.1 Epidemiologi
Epidemiologi benign prostatic hyperplasia meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Di Indonesia, penelitian menunjukkan benign prostatic
hyperplasia mengenai hampir 50% laki-laki di atas 50 tahun.
Global
Indonesia
Mortalitas
Hiperplasia prostat jinak tidak menyebabkan kematian. Mortalitas
benign prostatic hyperplasia juga semakin menurun dari tahun ke tahun dan
hampir mendekati nol. Angka mortalitas benign prostatic hyperplasia adalah
sekitar 0.5-1.5 per 100.000 kasus dan umumnya terjadi karena komplikasinya.
2.4.2 Prevalensi
Angka kejadian benign prostatic hyperplasia meningkat seiring
dengan bertambahnya usia. benign prostatic hyperplasia merupakan tumor
jinak yang paling sering terjadi pada pria, yaitu sekitar 8% pada pria usia 41-
50 tahun, 50% pada pria usia 51-60, dan >90% pada pria di atas 80 tahun.
Pada usia 55 tahun, sekitar 25% pria mengalami gejala obstruktif saluran
18
kemih dan pada usia 75 tahun 50% pria mengalami pelemahan pancaran urin
(weak stream).
Prevalensi BPH yang bergejala pada pria 40-49 tahun mencapai
hampir 15%, usia 50-59 tahun prevalensinya mencapai hampir 25%, dan pada
usia 60 tahun mencapai angka sekitar 43%.
Dunia
Indonesia
19
Pekanbaru
BAB III
PENUTUP
20
3.1. Kesimpulan
Obat golongan ini disebut obat adrenergik karena efek yang ditimbulkan nya
mirip perangsangan saraf adrenergik, atau mirip efrk neurotransmiter norepinefrin
dan epinefrin. Obat adrenergik terbagi dua, yaitu agonis adrenergik dan antagonis
adrenergik.
DAFTAR PUSTAKA
21
Jakarta : EGC.
Sjamsuhidajat, R. & Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC
22