Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM

IMUNOLOGI

PEMERIKSAAN CRP

OLEH
NAMA : RIZKY ARISKA NINGSIH
NIM : 1801072
KELOMPOK : TIGA (3)
TANGGAL : 07 MEI 2020
DOSEN : RAHMAYATI RUSNEDY, M.Si,Apt
ASISTEN : 1. DHEA ANANDA
2. YULINDA ANGGRAINI

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

YAYASAN UNIV RIAU

2020
OBJEK 6

PEMERIKSAAN CRP

I. TUJUAN PRAKTIKUM

Untuk mendeteksi keberadaan CRP dalam serum darah dan mengetahui kadar CRP dalam
serum darah.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Sistem pertahanan tubuh atau sistem imun, pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu
sistem imun non spesifik dan spesifik. Organisme patogen yang masuk ke dalam tubuh dikenal
sebagai benda asing atau antigen. Antigen tersebut pertama akan dikenal oleh sistem imun non
spesifik, selanjutnya akan ditangkap, diolah, dan dipresentasikan kepada sistem imun spesifik.
Tugas ini dilakukan oleh makrofag yaitu sel yang merupakan komponen sistem imun non
spesifik, berperan utama dalam proses fagositosis, dan juga memiliki kemampuan sebagai
antigen presenting cell (APC) yang dapat memberikan sinyal kepada sistem imun spesifik
sehingga teraktivasi dan mampu bereaksi dengan antigen (Baratawidjaya, 2002).

Reaksi-reaksi yang diinduksi oleh infeksi akut disebut sebagai respon fase akut. Respon
ini melibatkan protein-protein yang kadarnya meningkat selama terjadi respon fase akut,
sehingga disebut protein fase akut. Salah satu protein ini yaitu C-Reactive Protein (CRP). CRP
merupakan subunit berbentuk pentamer dan termasuk dalam kelompok protein pentraxin
(Parham, 2000).

C-Reaktif protein adalah salah satu dari protein fase akut yang didapatkan dalam serum
normal walaupun dalam jumlah yang kecil. Pada keadaan-keadaan tertentu dimana didapatkan
adanya reaksi radang atau kerusakan jaringan(nekrosis), yaitu baik yang infektif maupun yang
tidak infektif. Kadar CRP dalam serum dapat mengikat sampai 1000 kali (Handojo, 1982).
Protein C-Reaktif (CRP) adalah suatu protein fase akut yang sangat sensitive dan
bermanfaat karena dapat menunjukkan peningkatan lebih dari 1000 kali kadarnya sebelum
terjadi infeksi. Peradangan yang dicirikan adanya bengkak, panas, kemerahan, dan nyeri ada
hubungannya dengan serangkaian peristiwa kompleks yang disebabkan oleh adanya infeksi.
Pada kondisi ini kadar CRP akan meningkat. Pengukuran CRP dapat dilakukan melalui serum
darah (Speicher dan Smith, 1996).

CRP adalah suatu protein, biasanya ditemukan dalam konsentrasi rendah dalam serum,
yang kadarnya cepat meningkat dalam beberapa jam setelah infeksi, perbarahan atau kerusakan
jaringan. Di samping bersifat imunosupresif, CRP dapat meningkatkan fagositosis, menghambat
fungsi trombosit dan mengaktivasi komplemen. Fungsinya tidak diketahui, tetapi telah
disarankan bahwa CRP mencegah terjadinya autoimunitas terhadap antigen intraseluler yang
dikeluarkan oleh jaringan rusak (Tizard, 1982).

Banyak protein plasma mengikat secara akut sebagai respon terhadap penyakit, infeksi
dan nekrosis jaringan. Protein - protein ini mencakup glikoprotein α-1-asam, α-1-anti tripsin,
serum plasma haptoglogin. Fibrinogen dan protein C-Reaktif (CRP). Yang paling bermanfaat
dari zat-zat tersebut adalah CRP karena berdasarkan cepatnya peningkatan sebagai respon
terhadap penyaki takut dan cepatnya pembersihan setelah stimulus mereda (Sacher, 2004).

CRP dibentuk oleh badan pada saat infeksi. Peranannya ialah sebagai opsonin dan dapat
mengaktifkan komplemen. CRP merupakan protein yang kadarnya cepat meningkat setelah
infeksi atau inflamasi akut. CRP berperan pada pertahanan nonspesifik, karena dengan bantuan
Ca dapat mengikat berbagai molekul yang terdapat pada banyak bakteri dan jamur (Supardi dan
Sukamto, 1999).

Kondisi dimana tidak terjadi infeksi, CRP terdapat dalam plasma darah pada kadar
rendah. Kadarnya akan meningkat selama respon fase akut. Protein-protein fase akut akan terikat
pada struktur yang biasa dijumpai pada patogen tetapi tidak pada sel-sel manusia, kemudian
menginisiasi aktivasi dan fiksasi komplemen melalui jalur yang hampir sama dengan jalur klasik
yang digunakan oleh antibodi (Yotis dan Friedman, 2001).

C-reactif (C-reactive protein, CRP) dibuat oleh hati dan dikeluarkan ke dalam aliran
darah. CRP beredar dalam darah selama 6-10 jam setelah proses inflamasi akut dan destruksi
jaringan. Kadarnya memuncak dalam 48-72 jam. Seperti halnya uji laju endap darah (erithrocyte
sedimentation rate, ESR), CRP merupakan uji non-spesifik tetapi keberadaan CRP mendahului
peningkatan LED selama inflamasi dan nekrosis lalu segera kembali ke kadar normalnya (Rose
et al., 1979).

CRP meningkat 1000 kali atau lebih berperan pada imunitas non spesifik yang dengan
bantuan Ca2+ dapat meningkat berbagai molekul, antara lain fosforolklorin yang ditemukan pada
bakteri atau jamur. Kemudian menggerakkan sistem komplemen dan membantu merusak
organisme patogen dengan cara opsonisasi dengan meningkatkan fagositas (Bratawijaya, 1996).

Dalam waktu yang relttif singkat setelah terjadinya reaksi radang akut atau kerusakan
jaringan. Sintesa dan sekresi dari CRP meningkat dengan tajam dan hanya dalam waktu 12-48
jam setelah mencapai nilai puncaknya. Kadar dari CRP akan menurun dengan tajam bila proses
peradang atau kerusakan jaringan mereda dalam 24-48 jam telah mencapai harga normalnya
kembali (Handojo, 1982).

Fungsi dan peranan CRP dalam tubuh (in vitro) belum diketahui seluruhnya. Banyak
hal- hal yang masih merupakan hipotesa - hipotesa meskipun CRP mempunyai beberapa fungsi
biologik yang menunjukkan peranannya pada proses peradangan dan metabolisme daya tahan
tubuh terhadap injeksi (Handojo,1982).

Beberapa hal yang diketahui mengenai fungsi biologisnya adalah sebagai berikut :

a. Dapat mengikat C-polisakarida dan bergabai laktat melalui reaksi ag;utinasi atau
presipitasi.
b. CRP dapat meningktakan aktivasi san mortalitas sel – sel fagosit seperti granulosit dan
monosit makrofag.
c. CRP dapt mengaktifkan komplemen baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif.
d. CRP dapt menghambat agregasi trombosit baik yang ditimbulkan oleh adrenalin, ADP
ataupun kolagen.
e. CRP mempunyai daya ikat selektif (Selective - binding) terhadap limfost. Dalam hal ini
CRP juga diduga memegang peranan dalam peraturan fungsi tertentu selama proses
peradangan.
III. Alat dan Bahan

1. Lateks CRP : partikel lateks polystyrene yang dilapisi oleh anti-human CRP yang terlarut
dalam buffer.
2. Kontrol positif CRP
3. Glysine-saline buffer (20x concentrate)
4. Pipet plastik sekali pakai
5. Slide kaca untuk pengetesan.

IV. CARA KERJA

A. Pengetesan Metode I (Kualitatif)

1. Biarkan semua reagen dan sampel untuk mencapai suhu ruang.

2. Kocok secara perlahan reagen CRP sebelum digunakan. Teteskan satu tetes reageb ke
lingkaran tes. Teteskan satu tetes penuh serum sampel murni dalam lingkaran tes yang
sama dengan menggunakan pipet plastik dan aduk dengan menggunakan ujung datar
dari pipet plastik.

3. Teteskan satu tetes penuh kontrol positif dan kontrol negatif pada lingkaran kaca slide
dan perlakukan seperti pada no. 2.

4. Perlahan putar sefara mendatar slide kaca selama 3 menit dan perhatikan aglutinasi
yang terjadi di bawah penerangan yang baik.

5. Catat hasil.

B. Pengetesan Metode II (Semikuantitatif)

1. Siapkan sedikitnya 5 tabung dan beri tanda 1:2, 1:4, 1:8, 1:16, 1:32, dst.

2. Gunakan larutan Glysine-Saline buffer untuk melarutkan sampel secara seri, sesuai
dengan prosedur laboratorium.v

3. Ulangi semua step metode I dengan menggunakan sampel yang baru.


V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Kel Kode serum Pengenceran Hasil


1 B 1:4 24 mg/dL
2 B 1:4 24 mg/dL
3 B 1:4 24 mg/dL
4 B 1:4 24 mg/dL
5 B 1:4 24 mg/dL
6 B 1:4 24 mg/dL
7 B 1:4 24 mg/dL
8 B 1:4 24 mg/dL
Perhitungan : 4 x 6 mg/dl = 24 mg/dL

B. Pembahasan

Reaksi imunologik humoral (interaksi antigen antibodi) dapat dibagi menjadi dua
kategori yaitu reaksi primer dan reaksi sekunder. Reaksi primer interaksi Ag-Ab merupakan
permulaan reaksi pengikatan Ag dengan Ab pada tingkat molekuler. Biasanya reaksi ini tidak
nampak dari luar dan berlangsung dengan cepat. Untuk melihat adanya reaksi ini dibutuhkan
suatu inidikator lain, misalnya dengan melabel antigen/antibodi yang bersangkutan dengan
berbagai zat misalnya zat radio aktif, enzim, zat warna fluorosence, dll. Pada reaksi sekunder
interaksi Ag-Ab terjadi langsung sesudah pengikatan awal atau sesudah reaksi primer dan
dapat mengakibatkan presipitasi serta aglutinasi.

Antigen yang ada dalam larutan bila dicampur dengan antibodi yang spesifik
terhadap Ag akan membentuk kompleks Ag-Ab yang besar sehingga kompleks ini akan
mengendap dan terjadi presipitasi. Bila Ag terikat pada suatu partikel contohnya partikel
lateks atau eritrosit maka Ag-Ab akan bereaksi membentuk gumpalan yang disebut aglutinasi.
Reaksi sekunder dapat dilihat dengan mata biasa. Jenis uji lab yang menggunakan uji
presipitasi adalah teknik imunodifusi, sedangkan yang menggunakan uji aglutinasi contohnya
adalah aglutinasi direk, aglutinasi indirek, hema aglutinasi dan indirect hema aglutinasi.

CRP merupakan salah satu protein fase akut yang termasuk ke dalam sistem imun
non-spesifik humoral (molekul terlarut/Kadar CRP akan meningkat pada keadaan infeksi
(peradangan dan kerusakan jaringan). Peningkatan kadar CRP sampai ratusan kali antara lain
terjadi pertama karena infeksi bakteri. Selama respon fase akut, tingkat CRP meningkat pesat
dalam waktu kurang lebih 6 jam mencapai puncaknya pada 48 jam. Kadar CRP akan
meningkat sampai seratus kali lipat dari keadaan normal (kadar CRP normal 0,07-8,2 mg/dl).
Kadar tertinggi tercapai setelah lebih kurang 3 hari dan setelah 2 minggu akan kembali
normal. CRP disintesis dalam organ hati. Peningkatan CRP di dalam sel parenkim hati diduga
dicetuskan oleh interleukin I yang berasal dari makrofag atau monosit yang terstimulasi. CRP
akan berinteraksi dengan protein-protein komplemen untuk melawan infeksi. Penetapan kadar
CRP sangat berguna karena dapat mengetahui perbaikan atau pengurangan keadaan
peradangan atau infeksi dengan cepat.

Prosedur tes yang umumnya digunakan untuk mendeteksi CRP di dalam serum
manusia adalah metode protein aglutinasi atau metode lain yang lebih maju, misalnya
sandwich imunometri. Tes aglutinasi dilakukan dengan menambahkan partikel latex yang
dilapisi antibodi anti CRP pada serum atau plasma penderita sehingga akan terjadi aglutinasi.
Untuk menentukan titer CRP, serum atau plasma penderita diencerkan dengan buffer glisin
dengan pengenceran bertingkat (1/2, 1/4, 1/8, 1/16, 1/32, dan seterusnya) lalu direaksikan
dengan latex. Titer CRP adalah pengenceran tertinggi yang masih terjadi aglutinasi.

Praktikum ini dilakukan dengan cara menambahkan 1 tetes (40 µl) antihuman CRP
antibodi pada masing-masing plate CRP untuk serum darah kemudian masing-masing plate
CRP ditambahkan antihuman CRP antibodi. Masing-masing campuran diaduk dengan
pengaduk dan digoyangkan selama 3 menit. Hasil yang diperoleh semua serum kelompok
menunjukkan aglutinasi pada pengenceran tertinggi yaitu ¼, sedangkan sensitifitas reagennya
6 mg/dl sehingga diperoleh perhitungan CRP 4 x 6 mg/dl yaitu 24 mg/dl. Serum yang
mengandung Ag CRP jika ditambahkan Ab CRP dalam latex maka akan terbentuk kompleks
Ag-Ab, sedangkan apabila serum tidak mengandung Ag CRP maka tidak terbentuk kompleks
Ag-Ab. Adanya ikatan antara antigen dan antibodi dapat diketahui dengan adanya reaksi
aglutinasi namun, serum darah yang diketahui berasal dari orang yang sakit yang diharapkan
mampu menghasilkan aglutinasi karena kadar CRP naik, memiliki kemungkinan lain dimana
tidak terdapat aglutinasi dari serum darah tersebut karena kadar CRP nya telah menurun atau
tingkat infeksi dan peradangannya tidak terlalu tinggi.
Hasil yang positif ini ditandai dengan adanya aglutinasi (penggumpalan)
menunjukkan adanya infeksi bakteri atau peradangan. Aglutinasi ini terbentuk karena adanya
interaksi Ag-Ab yang terjadi langsung setelah pengikatan awal atau sesudah reaksi primer
yang terikat pada satu partikel. Reaksi aglutinasi adalah reaksi antar Ag dan Ab yang terdapat
dipermukaan sel sehingga dibentuk anyaman melalui ikatan silang antara sel-sel itu dengan
perantara antibodi. Reaksi aglutinasi dipakai untuk determinasi kuman dan untuk mengetahui
tipe dari sel-sel tertentu. Selain itu juga dapat dipakai untuk penentuan antibodi di dalam
serum bahkan titernya. Hasil negatif dapat disebabkan karena kelebihan antigen (prozone
effect), dianjurkan untuk pengulangan tes dengan serum yang telah dilarutkan.

Banyak manfaat dari uji CRP untuk mengetahui berbagai macam penyakit akibat
infeksi maupun peradangan, dilihat dari peningkatan konsentrasinya. Dalam diagnosis
banding bakteri Pneumonia, CRP serum dilaporkan bermanfaat untuk membedakan kolitis
ulseratif dari penyakit Crohn. Lupus eritematosus sistemik, sebaliknya dari artritis reumatoid
memperlihatkan sedikit atau tidak ada respon CRP kecuali ada penyakit infeksi berulang.
Pada infark miokard suatu peningkatan tajam kadar CRP serum biasanya sejajar dengan
luasnya enfark. Pada pasien luka bakar, peningkatan CRP serum berkaitan dengan beratnya
luka bakar. Penurunan kadar CRP serum dapat menunjukkan terapi yang berhasil pada
pielonefretis akut. Peningkatan mendadak kadar CRP serum merupakan ginjal.

Peningkatan CRP berkaitan dengan terjadinya infeksi/peradangan atau kerusakan


jaringan. Peningkatan CRP lebih dari 100 kali menunjukan peradangan atau infeksi akut,
terutama karena infeksi bakteri, misalnya penyakit meningitis, tuberculosis dan bronchitis
kronis. penyakit meningitis ini bukan merupakan jenis virus yang begitu berbahaya, namun
jika telah parah dapat mengakibatkan gangguan kesehatan yang serius seperti kerusakan otak,
kurangnya daya ingat, kurang nya kemampuan pendengaran dan bahkan menyebabkan
kematian jika tidak ditangani secara serius. Virus penyebab penyakit meningitis pada awalnya
menginfeksi bagian tubuh penderita dan mengalir masuk ke dalam sel-sel syaraf pusat yaitu
otak manusia. Penyebab utama penyakit meningitis pada dasar nya adalah virus yang dapat
menyerang manusia dalam kondisi kekebalan tubuh seperti apapun. Selain itu juga dapat
disebabkan karena infeksi akibat bakteri atau pun jamur, meskipun ini sangat jarang dijumpai.
Bakteri penyebab meningitis tersebut antara lain : Streptococcus pneumoniae, Neisseria
meningitidis, Haemophilus influenza, Listeria monocytogenes, Mycobacterium tuberculosis
dan Staphylococcus aureus.

VI. KESIMPULAN

1. C-Reaktif protein adalah salah satu dari protein fase akut yang termasuk ke dalam sistem
imun non-spesifik humoral yang didapatkan dalam serum normal walaupun dalam jumlah
yang kecil.
2. Kadar CRP dalam serum dapat meningkat sampai 1000 kali.
3. Peningkatan CRP lebih dari 100 kali menunjukan peradangan atau infeksi akut, terutama
karena infeksi bakteri, misalnya penyakit meningitis, tuberculosis dan bronchitis kronis.
4. Kadar dari CRP akan menurun dengan tajam bila proses peradang atau kerusakan
jaringan mereda dalam 24-48 jam telah mencapai harga normalnya kembali.
5. CRP dapat mencegah terjadinya autoimunitas terhadap antigen intraseluler yang
dikeluarkan oleh jaringan rusak.
6. C-reactif (C-reactive protein, CRP) dibuat oleh hati dan dikeluarkan ke dalam aliran
darah.
7. Test CRP umumnya dilakukan dengan metode protein aglutinasi.
8. Aglutinasi ini terbentuk karena adanya interaksi Ag-Ab yang terjadi langsung setelah
pengikatan awal atau sesudah reaksi primer yang terikat pada satu partikel.
9. Pengulangan tes dengan serum dianjurkan unruk dilarutkan terlebih dahulu agar tidak
menyebabkan hasil negatif karena kelebihan antigen (prozone effect).
10. Dari praktikum ini diperoleh hasil yang sama untuk semua kelompok yaitu pengenceran
tertinggi yang menunjukkan aglutinasi pada pengenceran ¼ dengan sensitifitas reagen 6
mg/dl sehingga hasilnya 24 mg/dl.

VI. JAWABAN PERTANYAAN

1. Apa bedanya protein C-reaktif protein (C-RP), Protein C dan C-Peptida?


Protein C adalah senyawa yang ada dalam tubuh manusia yang ada dalam keadaan tidak
aktif atau diaktifkan. Dalam keadaan teraktivasi, protein C memainkan peran penting
dalam beberapa fungsi biologis penting termasuk pembekuan darah dan kematian sel
terprogram. CRP (C-Reactive Protein) adalah zat alami yang diproduksi sebagai respons
terhadap peradangan akibat suatu penyakit. Singkatnya, kadar protein C-reaktif dalam
darah akan meningkatkan apabila ada peradangan akibat infeksi atau beberapa penyakit
autoimun yang terjadi. C-peptida adalah produk sampingan yang dibuat ketika insulin
diproduksi. Karena itu, mengukur jumlah C-peptida dalam darah menunjukkan berapa
banyak insulin yang diproduksi. Umumnya, produksi C-peptida yang tinggi menunjukkan
produksi insulin yang tinggi pula, dan sebaliknya.
2. Kenapa pemeriksaan CRP dikatakan uji non-spesifik?
Karena CRP merupakan salah satu protein fase akut yang termasuk ke dalam sistem imun
non-spesifik humoral sehingga pemeriksaan CRP tidak bisa menunjukkan keberadaan
organ yang mengalami inlflamasi. Tetapi Pemeriksaan CRP juga telah dikembangkan
menjadi high-sensitivity CRP sehingga dapat digunakan untuk memprediksi terjadinya
penyakit jantung pada masa depan.
3. Kenapa CRP meningkat pada wanita hamil pada trimester akhir?
Pada tahap akhir kehamilan, sistem kekebalan tubuh beralih kembali ke keadaan pro-
peradangan sehingga kadar CRP akan meningkat.
4. Jelaskanlah peningkatan CRP pada penderita penyakit autoimun
Peradangan dapat disebabkan oleh infeksi, tumor, atau penyakit autoimun. CRP
merupakan salah satu dari beberapa protein yang sering disebut sebagai protein fase akut
dan digunakan untuk memantau perubahan-perubahan dalam fase inflamasi akut yang
dihubungkan dengan banyak penyakit infeksi dan penyakit autoimun. Semakin parah
penyakit autoimun, maka peradangan akan semakin parah, sehingga semakin tinggi kadar
CRP. Beberapa keadaan dimana CRP dapat dijumpai meningkat adalah radang sendi
(rheumatoid arthritis), demam rematik, kanker payudara, radang usus, penyakit radang
panggung (pelvic inflammatory disease, PID), penyakit Hodgkin, SLE, infeksi bakterial.

DAFTAR PUSTAKA

Baratawijaya, K. G. 2002. Imunologi Dasar. Jakarta : FKUI Press.

Handojo, Indro. 1982. Serologi Klinik. Surabaya : FK UNAIR.


Parham, P. 2000. The Immune System. London : Garland Publishing.

Rose, N.R, F Milgrom, & C.J.V Oss. 1979. Principles of Imunology. New York : Macmillan
Publishing Co. Inc.
Sacher, Ronald A. Richard, A.Mc Pherson. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium Edisi 2. Jakarta : ECG.
Speicher, C.E dan N.W. Smith. 1996. Pemilihan Uji Laboratorium yang Efektif. Jakarta : EGC.

Supardi, I dan Sukamto. 1999. Mikrobiologi dalam Pengolahan dan Keamanan Pangan.
Bandung : Alumni.
Tizard, S. 1982. Pengantar Imunologi Veteriner. Surabaya : Airlangga University Press.

Anda mungkin juga menyukai