Anda di halaman 1dari 12

PENETAPAN KADAR CRP SECARA KUALITATIF

Oleh :

Nama : Destia Hasanah


NIM : B1A017007
Rombongan :I
Kelompok :1
Asisten : Fira Revina

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOBIOLOGI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2019
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
C-reactive protein (CRP) adalah protein fase akut yang banyak digunakan
dalam praktik klinis dan juga telah diukur dalam banyak penelitian sebelumnya.
Sintesis CRP diinduksi dalam hati oleh sitokin proinflamasi, terutama interleukin 6
(IL6) sebagai respons terhadap infeksi, peradangan dan kerusakan jaringan
(Chamberlain et al., 2018). CRP ditemukan sekitar 70 tahun yang lalu oleh para
ilmuwan dengan menyelidiki respons inflamasi manusia. Setiap orang menghasilkan
CRP, tetapi dengan jumlah berbeda tergantung pada beberapa faktor, termasuk faktor
genetik dan faktor gaya hidup. Secara umum, orang yang merokok memiliki tekanan
darah tinggi, berat badan berlebih, dan tidak mampu aktif secara fisik cenderung
memiliki kadar CRP yang tinggi, sedangkan orang yang kurus dan atletis cenderung
memiliki kadar CRP yang rendah. Meskipun demikian, hampir setengah variasi
kadar CRP antara setiap orang diwariskan sehingga menunjukkan kadar yang telah
diwariskan orang tua melalui gen-gen yang mereka miliki. Hal ini tidak
mengherankan karena peranan fundamental yang dimiliki CRP dalam inflamasi,
sebuah proses sangat penting untuk penyembuhan luka, untuk menghilangkan bakteri
dan virus, dan untuk berbagai proses kunci yang penting bagi kelangsungan hidup
(Kolb, 1991).
Pemeriksaan CRP sangat umum digunakan untuk mendiagnosa dan
memonitor aktivitas peradangan dan keadaan infeksi. Kadar CRP berkurang pada
kondisi dengan terapi kortikosteroid atau terapi lain yang mendepresi sistem imun.
CRP juga dapat digunakan untuk memonitor pada pemberian terapi kanker dan
infeksi karena kadarnya dapat meningkat dan kembali normal dengan cepat.
Pemeriksaan kadar CRP serial sangat berguna dalam evaluasi diagnostik pada bayi
dengan dugaan infeksi. Pemeriksaan CRP pada orang dewasa berbeda dengan bayi.
Sebelum dilakukan pemeriksaan CRP, pasien harus berpuasa selama 12 jam.
Spesimen diambil dari darah vena ± 5 ml, dikumpulkan dalam botol tanpa anti
koagulan. Selanjutnya segera dikirimkan ke laboratorium patologi klinik atau
laboratorium khusus immunologi (Ganong, 1983).
Banyak penelitian besar menunjukkan bahwa kadar normal CRP pada pria
dan wanita sehat sangat berkaitan dengan risiko serangan jantung, stroke, kematian
tiba-tiba akibat jantung, dan perkembangan penyakit arteri perifer di masa
mendatang. Para dokter juga mengetahui bahwa kadar CRP dapat memprediksikan
kejadian-kejadian koroner rekuren diantara pasien-pasien yang sebelumnya
mengalami penyakit jantung dan dengan demikian prognosis pasien dalam fase akut
sebuah serangan jantung terkait erat dengan kadar CRP. Akan tetapi, penggunaan
CRP yang paling penting sekarang ini adalah dalam pencegahan primer, yakni,
dalam pendeteksian risiko tinggi diantara orang-orang yang belum diketahui
memiliki sebuah penyakit.Orang-orang yang memiliki kadar CRP meningkat
memiliki risiko 2 hingga 3 kali lebih tinggi dibanding risiko mereka yang memiliki
kadar rendah (Oppert et al.,1999).

B. Tujuan
Tujuan dari praktikum Penetapa Kadar CRP secara Kualitatif adalah sebagai
berikut.
1. Mendeteksi keberadaan CRP dalam serum darah
2. Mengetahui kadar CRP dalam serum darah
II. MATERI DAN CARA KERJA

A. Materi

Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah antihuman CRP
antibodi, serum sampel, kontrol positif, dan kontrol negatif.
Alat yang digunakan pada praktikum kali ini adalah plate CRP, mikropipet
20 µL, dan batang pengaduk.

B. Cara Kerja
1. Reagen lateks berisi antihuman CRP dihangatkan hingga mencapai temperatur
kamar, antihuman CRP antibodidi kocok pelan-pelan sampai homogen.
2. Serum dipipetkan sebanyak 40 µl pada plaste CRP.
3. Kontrolpositif, kontrolnegatif, dan serum probandustersebutditetesidengan
antihuman CRP antibodisebanyaksatutetes.
4. Reagen lateks ditambahkan ke dalam plates CRP sebanyak 40 µl (1 tetes).
5. Dicampur dengan batang pengaduk.
6. Plate digoyang-goyang selama ± 2 menit.
7. Diamati hasil yang terbentuk.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Gambar 3.1 Hasil Uji CRP Rombongan I

Interpretasi hasil :
Positif (+) : Aglutinasi kadar CRP > 12mg/L.
Negatif (-): Tidak terjadi aglutinasi kadar CRP < 12 mg/L.
B. Pembahasan

Berdasarkan hasil yang didapat dari rombongan I bahwa pada uji serum,
hasil yang menunjukkan positif hanya 1 kelompok dari ketiga kelompok yang
diberikan kontrol positif yaitu kelompok 1, 2, dan 3. Hal tersebut terjadi karena
antigen di dalam serum tidak bereaksi dengan antibodi atau dengan kata lain pada
serum sampel kadar CRP rendah (tidak sedang terinfeksi) sehingga tidak
teraglutinasi. Hasil pada serum positif kurang sesuai dengan referensi yang
menyatakan bahwa aglutinasi terjadi karena antigen pada serum terikat pada suatu
partikel yaitu pada partikel latex CRP. Hasil negatif berarti bahwa di dalam serum
tidak mengandung konsentrasi CRP atau mengandung kadar CRP yang rendah yaitu
< 6 mg/L yang menandakan tidak terjadinya peradangan infeksi atau kerusakan
jaringan (Baratawidjaya, 2002).
C-Reactive Protein (CRP) merupakan protein fase akut yang dibentuk di hati
(oleh sel hepatosit) akibat adanya proses peradangan atau infeksi. Setelah terjadi
peradangan, pembentukan CRP akan meningkat dalam 4 sampai 6 jam, jumlahnya
bahkan berlipat dua dalam 8 jam setelah peradangan dari keadaan normal (kadar
CRP normal 0,07-8,2 mg/dl). CRP diproduksi oleh hepatosit sebagai respons untuk
proinfl ammatory cytokines seperti interleukin 1 dan 6. Sitokinin yang berperan
didalam CRP yaitu interleukin-6 (IL-6). Calprotektin adalah suatu protein kalsium
dan seng ditemukan di neutrofil dan monosit dan terdiri dari 60% dari kandungan
protein sitosol neutrofil. CRP sudah dapat digunakan untuk mendeteksi suatu
penyakit kepada pasien (Menees, et al., 2015). Sintesa CRP di hati berlangsung
sangat cepat setelah ada sedikit rangsangan (Guyton, 1990). CRP distimulasi oleh
mediator inflamasi seperti IL-6. C-reactive protein berikatan dengan polisakarida
dan peptidopolisakarida yang terdapat pada bakteri, fungi, dan parasit dengan
adanya kalsium. Peningkatan CRP serum dapat ditemukan pada infeksi. Infeksi
bakteri Gram positif dan negatif akut dan sistemik, serta infeksi jamur sistemik
menyebabkan CRP sangat meningkat, bahkan pada pasien yang imunodefisiensi
(Purwanto & Astrawinata, 2019).
Metode kerja yang dilakukan saat praktikum diawali dengan menghangatkan
reagen latex CRP hingga mencapai temperatur kamar, dan antihuman CRP antibodi
dikocok sampai homogen. Langkah selanjutnya adalah kontrol positif, kontrol
negatif dan serum probandus diteteskan masing-masing sebanyak 40 µl pada plate
CRP di tempat yang berbeda. Kontrol positif, kontrol negatif, dan serum probandus
tersebut ditetesi dengan antihuman CRP antibodi sebanyak satu tetes. Masing-
masing campuran diaduk menggunakan batang pengaduk berbeda dan cairan
dilebarkan sepanjang sisi lingkaran, kemudian dihomogenkan selama 2 menit.
Setelah itu, hasil pada plate CRP diamati dan diinterpretasikan. Jika terjadi
aglutinasi berarti kadar CRP dalam serum > 6 mg/L, sedangkan jika tidak terjadi
aglutinasi berarti kadar CRP dalam serum < 6 mg/L. Kadar CRP yang tinggi
menandakan adanya infeksi atau kerusakan jaringan (Susanto et al., 2009).
CRP bertindak sebagai opsonin untuk bakteri, parasit, dan kompleks imun,
mengaktifkan komplemen jalur klasik. CRP juga merupakan indikator yang sensitif
dari adanya peradangan. Hasilnya sangat mendukung adanya peradangan tetapi
tidak memiliki spesifisitas diagnostik. CRP apabila digunakan dengan benar
memiliki peran penting dalam identifikasi peradangan dan infeksi dalam
pengelolaan pasien medis akut (Kelly et al., 2009). Proses peradangan terjadi
aktivitas IL-1 dan IL-6 yang dapat meningkatkan sintesis protein fase akut. C-
Reaktif Protein (CRP) terdapat dalam serum merupakan salah satu protein fase akut
sebagai indikator peradangan atau kerusakan jaringan yang paling sensitif. Protein
ini meningkat pertama kali dengan kadar mencapai lebih dari seribu kali sebelum
infekesi. Proses radang akut kadar CRP serum meningkat dalam waktu 4-6 jam dan
mencapai puncaknya dalam waktu 24-48 jam (Solang, et al., 2014). CRP mencapai
konsentrasi maksimum dalam plasma dalam waktu sekitar 50 jam, menurun setelah
stimulus inflamasi hilang dan memiliki waktu paruh 18 jam. Suatu infeksi terjadi
proses inflamasi yangmenghasilkan sitokin yang merupakan stimulator inti dari
produksi protein fase akut, termasuk protein C-reaktif (C-reactive protein=CRP).
Respons inflamasi akut terjadi kenaikan konsentrasi komponen akan berbeda-beda
sesuai dengan penyebabnya (Idhayu et al., 2016).
CRP diproduksi di hati dibawah rangsangan sitokin seperti IL-6, IL-1 dan
Tumor Necroting Factor α (TNF-α). CRP dapat mengikat dan mengaktifkan reseptor
Fcγ (FcγR) pada monosit dan makrofag (1, 3-6) (Lu et al, 2014). Konsentrasi CRP
dalam keadaan normal adalah 0,0008-0,004 g/L atau 0,08-4 mg/dL sedangkan
dalam keadaan peradangan akut, konsentrasinya kira-kira 0,4 g/l atau 40 mg/dL
dengan waktu respon CRP yaitu antara 6-10 jam (Speicher & Smith, 1996). Puncak
kadar CRP umumnya tercapai dalam 48 jam, kemudian kadarnya akan menurun.
Kadar yang menurun pada pengukuran serial menandakan fase penyembuhan
(resolusi). Sementara itu, apabila kadarnya tetap meningkat menunjukkan adanya
inflamasi atau infeksi (Solang et al., 2014).
CRP mempunyai berbagai fungsi biologis yang menunjukkan peranannya
pada proses peradangan dan mekanisme daya tahan tubuh terhadap infeksi. CRP
berperan sebagai respon imunitas nonspesifik. Beberapa hal yang diketahui tentang
fungsi biologis yaitu CRP dapat mengikat C-polisakarida (CPS) dari berbagai
bakteri melalui reaksi presipitasi/aglutinasi. CRP sebagai opsonin mengikat berbagai
mikroba sehingga dapat meningkatkan aktivitas dan motilitas sel fagosit seperti
granulosit dan monosit/makrofag. CRP dapat mengaktifkan komplemen baik
melalui jalur klasik mulai dengan C1q maupun jalur alternatif. CRP mempunyai
daya ikat selektif terhadap limfosit T. Hal ini diduga CRP memegang peranan dalam
pengaturan beberapa fungsi tertentu selama proses peradangan. CRP mengenal
residu fosforilkolin dari fosfolipid, lipoprotein membran sel rusak, kromatin inti,
dan kompleks DNA-histon. CRP dapat mengikat dan mendetoksikasi bahan toksin
endogen yang terbentuk sebagai hasil kerusakan jaringan (Baratawidjaya, 2002).
Mekanisme aglutinasi yang terjadi pada CRP yaitu terbentuknya bintik-
bintik putih akibat dari reaksi antigen dan antibody. Kontrol positif akibat adanya
reaksi antara antigen dari serum darah sampel dengan antibodi dari reagen positif,
sedangkan pada kontrol negatif dan serum darah tidak terjadi karena tidak terjadi
reaksi antara antigen dari serum darah sampel dengan antibodi dari reagen negatif,
dengan kata lain bahwa serum sampel tidak terdapat CRP yang berarti tidak terjadi
infeksi (peradangan dan kerusakan jaringan, misalnya seperti meningitis, bronchitis,
dan tuberculosis). Aglutinasi yang terjadi menandakan kadar CRP dalam serum > 6
mg/L, sedangkan jika tidak terjadi aglutinasi berarti kadar CRP dalam serum < 6
mg/L (Susanto et al., 2009). Kadar CRP dan kortisol plasma dapat digunakan untuk
menilai keadaan stres metabolik. Kadar kortisol akan meningkat segera setelah
pembedahan, dan kadarnya akan kembali normal pada hari ke-2, ke-4, dan ke-7.
Kadar CRP juga akan meningkat dan terdeteksi dalam 8 jam pasca stimulus. Puncak
kadar CRP umumnya tercapai dalam 48 jam, kemudian kadarnya akan menurun.
Pengukuran serial, kadar yang menurun menandakan fase penyembuhan (resolusi)
(Solang, et al., 2014).
Konsentrasi CRP telah terbukti berkorelasi dengan tingkat keparahan infeksi.
Penurunan cepat konsentrasi CRP dilaporkan berkorelasi dengan respon yang baik
terhadap terapi awal antimikroba pada pasien sepsis, sehingga CRP menjadi
biomarker yang berguna untuk monitoring respon pengobatan. Sebaliknya,
peningkatan CRP pada sepsis dihubungkan dengan peningkatan risiko kegagalan
organ dan/atau kematian (Purwanto & Astrawinata, 2019). Kadar CRP meningkat
setelah adanya trauma, infeksi bakteri, dan inflamasi. Sebagai biomarker, CRP
dianggap sebagai respon peradangan fase akut yang mudah dan murah untuk diukur
dibandingkan dengan penanda inflamasi lainnya. CRP juga dijadikan sebagai
penanda prognostik untuk inflamasi (Dewi et al., 2016).
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:


1. Hasil praktikum menunjukkan hanya pada plate nomor 4 yang ditetesin kontrol
positif menunjukkan terbentuknya aglutinasi dan plate nomor 2, 3, dan 6 yang
ditetesi dengan sampel serum menunjukkan tidak terbentuk aglutinasi
2. Hasil positif pada pemeriksaan CRP secara kualitatif mendiagnosa kadar CRP
dalam sampel >12 mg/L tetapi kadar CRP secara pasti dapat diketahui dengan
melakukan pemeriksaan CRP secara kuantitatif.
DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaya, K. G., 2002. Imunologi Dasar Edisi Ketiga. Jakarta: Fakultas


Kedokteran UI.

Chamberlain, S. R., Cavanagh, J., Boer, P. D., Mondelli, V., Jones, D. N. C., Drevets,
W. C., Cowen, P. J., Harrison, N. A., Pointon, L., Pariante, C. M. & Bullmore, E.
T., 2018. Treatment Resistant Depression and Peripheral C-Reactive Protein. The
British Journal of Psychiatry, 214(1), pp. 1-9.

Dewi, H. N. C., Paruntu, M. E. & Tiho, M., 2016. Gambaran Kadar C-Reactive Protein
(CRP) Serum pada Perokok Aktif Usia >40 Tahun. Jurnal e-Biomedik, 4(2), pp.
1-4.

Ganong, W. F., 1983. Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Guyton, A. C., 1990. Human Physiology and Mechanism of Disease 3rd Edition. New
York: Academic Press Inc.

Idhayu, A. T., Chen, L. K., Suhendro & Abdullah, M., 2016. Perbedaan Kadar C-
Reactive Protein pada Demam Akut karena Infeksi Dengue dan Demam Tifoid.
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 3(3), pp.138-142.

Kelly., P.A, Murphy., A. M. & Hughes, R., 2009. A Retrospective Analysis of the Use
of C-Reactive Protein Assays in The Management of Acute Medical Admissions.
The New Zealand Medical Journal 122(1293), pp.36-40.

Kolb, B. V., 1991. A Review on The Biological Properties of C-Reactive Protein.


Journal of Immunobiology, 183(1), pp. 133-145.

Lu, Jinghua, Kristopher D.M., Lorraine L.M., Ruipeng W., Carolyn M., Terry W., and
Peter S., 2014. Recognition and Functional Activation of The Human IgA
Receptor (FcαRI) by C-Reactive Protein. PNAS, 108(12), pp. 4974-4979.

Menees, S, B., Corey P., Jacob K., Akash, G. & William, D. C., 2015. A Meta-Analysis
of the Utility of C-Reactive Protein, Erythrocyte Sedimentation Rate, Fecal
Calprotectin, and Fecal Lactoferrin to Exclude Infl ammatory Bowel Disease in
Adults With IBS. Journal of Gastroenterology,110, pp. 444-454.

Oppert M., Gleiter, C. H., Muller, C., Reinicke A., Von A.N., Frei U., Eckardt K.U.,
1999. Kinetics and Characteristics of An Acute Phase Response Following
Cardiac Arrest. Intensive Care Med, 25(3), pp. 1386-1394.

Purwanto, D. S., & Astrawinata, D. A. W., 2019. Pemeriksaan Laboratorium sebagai


Indikator Sepsis dan Syok Septik. Jurnal Biomedik (JBM), 11(1), pp. 1-9.

Solang, A. D., Antonius, P., Abdul, L., Yusrina, I., Sri, M., Moh Supriatna. &
Pudjiastuti, 2014. Hubungan Kadar Interleukin-6 dengan Luaran Infeksi
Pascabedah. Sari Pediatri, 16(4), pp. 236-239.
Speicher, E. C. & Smith, J. W., 1996. Pemilihan Uji laboratorium yang Efektif. Jakarta:
ECG.

Susanto H. K., John M. F. & Adam., 2009. Plasminogen Activator Inhibitor-1 and High
Sensitivity C-Reactive Protein in Obesity. The Indonesian Journal of Medical
Science, 2(1), pp. 23-31.

Anda mungkin juga menyukai