Anda di halaman 1dari 24

Interaksi Antigen dan Antibodi

Gambar 06. Jalur Perkembangan Limfosit


(sumber: Kimball, 1983:542)

Pada gambar 06 dapat dilihat jalur perkembangan limfosit. Antibodi diproduksi oleh Limfosit B.
Limfosit B memerlukan bantuan dari anak perangkat limfosit T agar dapat bereaksi terhadap
antigen-antigen tertentu. Antibodi merupakan suatu zat kimia (protein plasma) yang dapat
mengidentifikasi antigen. Ketika sel limfosit B mengidentifikasi antigen, dengan cepat sel akan
bereplikasi untuk menghasilkan sejumlah besar sel plasma. Sel plasma lalu menghasilkan
antibodi dan melepaskan ke dalam cairan tubuh. Antibodi memiliki struktur seperti huruf Y
dengan dua lengan dan satu kaki. Struktur tiga dimensi suatu molekul antibodi dapat dilihat pada
gambar 07.

Gambar 07. Skematik Struktur Tiga Dimensional Suatu Molekul Antibodi


(sumber: Kimball, 1983:545)

Antibodi (bahasa Inggris: antibodi, gamma globulin) adalah glikoprotein dengan struktur
tertentu yang disekresi dari pencerap limfosit-B yang telah teraktivasi menjadi sel plasma,
sebagai respon dari antigen tertentu dan reaktif terhadap antigen tersebut. Sistem imunitas
manusia ditentukan oleh kemampuan tubuh untuk memproduksi antibodi untuk melawan
antigen. Antibodi dapat ditemukan pada darah atau kelenjar tubuh vertebrata lainnya, dan

digunakan oleh sistem kekebalan tubuh untuk mengidentifikasikan dan menetralisasikan


benda asing seperti bakteri dan virus. Molekul antibodi beredar di dalam pembuluh darah
dan memasuki jaringan tubuh melalui proses peradangan. Mereka terbuat dari sedikit
struktur dasar yang disebut rantai. Tiap antibodi memiliki dua rantai berat besar dan dua
rantai ringan.Rantai berat dan rantai ringan dapat dilihat pada gambar 07.
Terdapat beberapa tipe berbeda dari rantai berat antibodi, dan beberapa tipe antibodi yang
berbeda, yang dimasukan ke dalam kelas (en:isotype) yang berbeda berdasarkan pada tiap
rantai berat. Lima isotype antibodi yang berbeda diketahui berada pada tubuh mamalia dan
memainkan peran yang berbeda dan menolong mengarahkan respon imun yang tepat untuk
tiap tipe benda asing berlainan yang masuk ke dalam tubuh, yaitu: IgG, IgM, IgA, IgD dan
IgE, yang mempunyai perbedaan area C.
IgG merupakan antibodi yang paling banyak terdapat dalam tubuh manusia. Dihasilkan
hanya dalam waktu beberapa hari dan memiliki masa hidup beberapa minggu sampai
beberapa tahun. IgG banyak terdapat pada darah, sistem getah bening, dan usus. Mengikuti
aliran darah, IgG akan langsung menuju benda asing dan menghambatnya begitu berhasil
mendeteksi. Antibodi ini mempunyai efek antibakteri yang kuat dan penghancur antigen.lgG
melindungi tubuh dari bakteri dan virus, serta menetralkan asam yang ada dalam racun.
lgA yaitu antibodi yang terdapat pada bagian yang peka, misalnya air mata, liur, ASI, darah,
lendir, getah lambung, dan usus. Kepekaan daerah tersebut berhubungan langsung dengan
kecenderungan bakteri dan virus yang suka pada media lembab. IgM merupakan antibodi
yang terdapat pada darah dan getah bening. Pada saat tubuh bertemu dengan benda asing,
IgM yang pertama dihasilkan tubuh untuk melawan benda asing tersebut. Janin mampu
memproduksi IgM pada usia kehamilan enam bulan. Jika ada kuman atau bakteri yang coba
menyerang, produksi IgM janin akan meningkat. Untuk mengetahui apakah janin telah
terinfeksi atau tidak, bisa dilihat kadar IgM dalam darah. Imunoglobulin D (IgD) juga
terdapat dalam darah dan getah bening. IgD tak mampu bekerja sendiri, tetapi menempelkan
diri ke permukaan sel-sel T, lalu membantu sel T menangkap antigen. Imunoglobulin E (IgE)
merupakan antibodi yang beredar dalam aliran darah dan bertanggung jawab memanggil
antibodi lain untuk berperang melawan zat asing. IgE kadang menimbulkan reaksi alergi.
Karena itu, pada tubuh orang yang sedang alergi, kadar IgE-nya tinggi.
Antibodi memiliki kemampuan spesifik untuk mengikat determinat site dari antigen atau
yang disebut dengan determinan antigenik. Untuk lebih jelasnya ikatan antara dua molekul
antigen dengan dengan situs pengikatan antigen di daerah-daerah variabel pad anti bodi dapat
dilihat pada gambar 08.

Gambar 08. Skematik Ikatan Antara 2 Molekul Antigen dengan Situs pengikat Antigen
(sumber: Kimball, 1983:548)

Antigen merupakan zat kimia yang masuk ke dalam tubuh dan dapat merangsang terbentuknya
antibodi.Antigen memiliki struktur tiga dimensi dengan dua atau lebih determinant
site.Determinant site merupakan bagian dari antigen yang dapat melekat pada bagian sisi

pengikatan pada antibodi.Antigen dapat berupa protein, sel bakteri, atau zat kimia yang
dikeluarkan oleh suatu mikroorganisme.
Antibodi adalah molekul protein (immunoglobulin) yang memiliki satu atau lebih tempat
perlekatan (combining sites) yang disebut paratope (Brownlee, 2007).Antigen adalah molekul
asing yang mendatangkan suatu respon spesifik dari limfosit. Salah satu cara antigen
menimbulkan respon kekebalan adalah dengan cara mengaktifkan sel B untuk mensekresi
protein yang disebut antibodi. Istilah antigen sendiri merupakan singkatan antibodi-generator
(pembangkit antibodi).Masing-masing antigen mempunyai bentuk molekuler khusus dan
merangsang sel-sel B tertentu untuk mensekresi antibodi yang berinteraksi secara spesifik
dengan antigen tersebut (Campbell, 2004).Interaksi antigen antibodi merupakan interaksi
kimiawi yang dapat dianalogikan dengan interaksi enzim dengan substratnya.Spesifitas kerja
antibodi mirip dengan enzim (Sadewa, 2008).
Kompleksitas antara antigen-antibodi terjadi saat antiserum dicampur dalam perbandingan 1:1
dengan antigen. Ikatan antara antigen-antibodi terjadi karena kekuatan kimia dan molekuler
yang dibangkitkan antara faktor antigen dan area pengikat antigen pada Fab end molekul
antibodi. Faktor antigen berasal dari permukaan molekul dan dalam reaksinya dengan
imunoglobulin akan cocok dengan salah satu reseptor imunoglobulin. Ikatan yang terjadi antara
antigen dan molekul imunoglobulin walaupun sangat spesifik namun ikatannya lemah dan
reversibel. Ikatan elektrostatik yang didapatkan dari interaksi antara beban positif dan negatif
dalam molekul antigen dan antibodi, ikatan hidrogen, dan kekuatan intermolekul tipe Van der
Waals adalah yang terpenting. Beberapa contoh penerapan adanya reaksi antigen-antibodi.
a) Golongan darah dan transfusi darah
Tes aglutinasi adalah pendiagnosa yang berguna untuk mendeteksi dan mengukur antibodi
spesifik dalam serum pasien, untuk mengidentifikasi antigen seperti bakteri dan virus (yang
dikenal dengan antisera) serta untuk menentukan golongan darah.Hemaglutinasi adalah
aglutinasi sel darah merah oleh antibodi yang spesifik untuk antigen membran sel.
Pemeriksaan golongan darah adalah contoh dari hemaglutinasi. Molekul antibodi dengan satu
reseptor pengikat dan satu reseptor bebas terikat pada antigen membentuk jembatan (linkage)
antara 2 mokelul antigen.Ikatan silang antigen-antibodi ini berlanjut membentuk pola
geometris komplek tiga dimensi sampai menghasilkan satu kelompok besar.Aglutinasi ini
terjadi bila ukuran antigen lebih dari 2 m (Nolte, 1977).
Golongan darah ditentukan oleh kehadiran atau ketidakhadiran antigen.Struktur kimia
antigen golongan darah disusun oleh rantai gula panjang berulang-ulang yang disebut fukosa,
yang dengan sendirinya membentuk antigen O bagi golongan darah O. Fukosa juga berperan
sebagai dasar dari golongan darah lainnya. Golongan darah A adalah antigen O (fukosa)
ditambah gula yang disebut N-asetil galactosamin yang ditambahkan pada ujungnya.
Golongan darah B adalah fukosa ditambah gula berbeda, D-galactosamin, pada
ujungnya.Golongan darah AB adalah fukosa ditambah N-asetil galactosamin dan Dgalactosamin.Rantai gula panjang berulang-ulang ini seperti antena, yang memproyeksi
keluar dari permukaan sel-sel kita, mengawasi antigen asing. Masing-masing golongan darah
memproduksi antibodi terhadap golongan darah lainnya.Inilah mengapa kita bisa menerima
transfusi dari sebagian golongan darah tetapi tidak dari yang lainnya. Antibodi golongan
darah ini tidak berada di sana untuk memperumit transfusi, tetapi lebih untuk melindungi
tubuh dari zat-zat asing, seperti bakteri, virus, parasit dan beberapa makanan nabati yang
mirip antigen golongan darah asing. Ketika sistem kekebalan tubuh berusaha
mengidentifikasi karakter yang mencurigakan, salah satu hal pertama yang dicarinya adalah

antigen golongan darah. Jika sistem kekebalan tubuh bertemu salah satu zat yang mirip
golongan darah yang berbeda, ia akan menciptakan antibodi untuk melawannya. Reaksi
antibodi ini dikarakteristikkan oleh proses yang disebut aglutinasi (penggumpalan sel). Ini
berarti antibodi melekat pada antigen dan menjadikannya sangat lengket. Ketika sel, virus,
parasit dan bakteri digumpalkan, mereka melekat satu sama lain dan menggumpal, yang
menjadikan tugas pembuangan mereka lebih mudah. Ini lebih seperti memborgol kriminal
menjadi satu. Mereka menjadi tidak berbahaya daripada ketika dibiarkan bergerak dengan
bebas. Aglutinasi merupakan konsep penting dalam analisis golongan darah. Antibodi
golongan darah ini, yang seringkali disebut isohemaglutinin, merupakan antibodi paling kuat
dalam sistem kekebalan tubuh, dan kemampuan mereka untuk menggumpalkan sel-sel
golongan darah yang berbeda sangat kuat sehingga bisa diamati dengan cepat di slide kaca
dengan mata biasa.
b) Pencangkokan jaringan dan transplantasi organ
Kompleks histokompatibilitas mayor (MHC), yang merupakan sidik jari protein yang unik
untuk setiap individu, bertanggung jawab atas stimulasi penolakan pencangkokan jaringan
dan transplantasi organ. Molekul MHC asing bersifat antigenik dan menginduksi respon
kekebalan melawan jaringan atau organ yang didonorkan itu. Untuk meminimalkan
penolakan, upaya-upaya telah dilakukan untuk sedekat mungkin mencocokkan MHC
jaringan donor dengan MHC jaringan resipien (penerima).

FISIOLOGI IMUN DAN MEKANISME PERTAHANAN

Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleksterhadap
antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat melibatkan berbagai
macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dansitokin yang saling
berinteraksi secara kompleks. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme pertahanan
non spesifik dan mekanisme pertahanan spesifik.
Substansi asing yang bertemu dengan system itu bekerja sebagai antigen, anti melawan, + genin
menghasilkan. Contohnya jika terjadi suatu substansi terjadi suatu respon dari tuan rumah,
respon ini dapat selular, humoral atau keduanya. Antigen dapat utuh seperti sel bakteri sel tumor
atau berupa makro molekul, seperti protein, polisakarida atau nucleoprotein. Pada keadaan apa
saja spesitas respon imun secara relatif dikendalikan oleh pengaruh molekuler kecil dari
antigendetenniminan antigenic untuk protein dan polisakarida, determinan antigenic terdiri atas
empat sampai enam asam amino atau satuan monosa karida. Jika komplek antigen Yang
memiliki banyak determinan misalnya sel bakteri akan membangkitkan satu spectrum respon
humoral dan selular. Antibodi, disebut juga imunoglobulin adalah glikkoprotein plasma yang
bersirkulasi dan dapat berinteraksi secara spesifik dengan determinan antigenic yang merangsang
pembentukan antibody, antibody disekresikan oleh sel plasma yang terbentuk melalui proliferasi
dan diferensiasi limfosit B. Pada manusia ditemukan lima kelas imunoglobulin, Ig.G, terdiri dari
dua rantai ringan yang identik dan dua rantai berat yang identik diikat oleh ikatan disulfida dan
tekanan non kovalen. Ig G merupakan kelas yang paling banyak jumlahnya, 75 % dari
imunoglobulin serum IgG bertindak sebagai suatu model bagi kelas-kelas yang lain.
Adjuvant Senyawa yang jika dicampur dengan imunogen meningkatkan respon imun
terhadap imunogen : BCG, FCA, LPS, suspensi AL(OH)3
Imunogen senyawa yang mampu menginduksi respon imun
Hapten: Molekul kecil yang tidak mampu menginduksi respon imun dalam keadaan murni,
namun bila berkonyugasi dengan protein tertentu (carrier) atau senyawa BM besar dapat
menginduksi respon imun.
Epitop atau Antigenik Determinan :Unit terkecil dari suatu antigen yang mampu berikatan
dengan antibodi atau dengan reseptor spesifik pada limfosit
Mekanisme pertahanan tubuh
1. Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif atau innate, atau
imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu jenis
antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan
terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan pertahanan khusus
untuk antigen tertentu.

2. Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen adaptif atau imunitas
didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, karena
itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh non
spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau ditimbulkan terlebih dahulu
oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan pertahanan tubuh non spesifik sudah
ada sebelum ia kontak dengan antigen.
Mekanisme Pertahanan Non Spesifik
Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga respons imun
alamiah. Yang merupakan mekanisme pertahanan non spesifik tubuh kita adalah kulit dengan
kelenjarnya, lapisan mukosa dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan enzimnya seperti
kelenjar air mata. Demikian pula sel fagosit (sel makrofag, monosit, polimorfonuklear) dan
komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non spesifik.
Permukaan tubuh, mukosa dan kulit
Permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap penetrasi mikroorganisme. Bila
penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka mikroorganisme yang masuk akan berjumpa dengan
pelbagai elemen lain dari sistem imunitas alamiah.
Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit
Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula silia pada mukosa.
Enzim seperti lisozim dapat pula merusak dinding sel mikroorganisme.
Komplemen dan makrofag
Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai macam bakteri secara langsung
sehingga eliminasi terjadi melalui proses lisis atau fagositosis oleh makrofag atau leukosit yang
distimulasi oleh opsonin dan zat kemotaktik, karena sel-sel ini mempunyai reseptor untuk
komponen komplemen (C3b) dan reseptor kemotaktik. Zat kemotaktik akan memanggil sel
monosit dan polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme dan memfagositnya.
Protein fase akut
Protein fase akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat adanya kerusakan jaringan.
Hati merupakan tempat utama sintesis protein fase akut. C-reactive protein (CRP) merupakan
salah satu protein fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali protein khas ini dikenal
karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari pneumokok. Interaksi CRP ini juga akan
mengaktivasi komplemen jalur alternatif yang akan melisis antigen.

Sel natural killer (NK) dan interferon


Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang dihuni virus atau sel tumor. Interferon
adalah zat yang diproduksi oleh sel leukosit dan sel yang terinfeksi virus, yang bersifat dapat
menghambat replikasi virus di dalam sel dan meningkatkan aktivasi sel NK.
Mekanisme Pertahanan Spesifik
Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas
spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang
diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti
sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme pertahanan
spesifik disebut juga respons imun didapat.
Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen yang merupakan
ligannya. Di samping itu, respons imun spesifik juga menimbulkan memori imunologis yang
akan cepat bereaksi bila host terpajan lagi dengan antigen yang sama di kemudian hari. Pada
imunitas didapat, akan terbentuk antibodi dan limfosit efektor yang spesifik terhadap antigen
yang merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi antigen. Sel yang berperan dalam imunitas
didapat ini adalah sel yang mempresentasikan antigen (APC = antigen presenting cell =
makrofag) sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing
berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T akan meregulasi respons
imun dan melisis sel target yang dihuni antigen. Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel
plasma dan memproduksi antibodi yang akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen
dan lisis antigen oleh komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandung
antigen yang dinamakan proses antibody dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC). Limfosit
berperan utama dalam respon imun diperantarai sel. Limfosit terbagi atas 2 jenis yaitu Limfosit
B dan Limfosit T. Berikut adalah perbedaan antara Limfosit T dan Limfosit B.
Limfosit B

Limfosit T

Dibuat di sumsum tulang yaitu sel


Dibuat di sumsum tulang dari sel
batang yang sifatnya
batang yang pluripotensi(pluripotent
pluripotensi(pluripotent stem cells) dan stem cells) dan dimatangkan di Timus
dimatangkan di sumsum tulang(Bone
Marrow)
Berperan dalam imunitas humoral

Berperan dalam imunitas selular

Menyerang antigen yang ada di cairan Menyerang antigen yang berada di


antar sel
dalam sel
Terdapat 3 jenis sel Limfosit B yaitu :

Terdapat 3 jenis Limfosit T yaitu:

Limfosit B plasma,
memproduksi antibodi

Limfosit B pembelah,
menghasilkan Limfosit B dalam
jumlah banyak dan cepat

Limfosit B memori, menyimpan


mengingat antigen yang pernah
masuk ke dalam tubuh

Limfosit T pempantu (Helper T


cells), berfungsi mengantur
sistem imun dan mengontrol
kualitas sistem imun

Limfosit T pembunuh(Killer T
cells) atau Limfosit T Sitotoksik,
menyerang sel tubuh yang
terinfeksi oleh patogen

Limfosit T surpressor
(Surpressor T cells), berfungsi
menurunkan dan menghentikan
respon imun jika infeksi berhasil
diatasi

Imunitas selular
Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan
komponen sistem imun lainnya. Limfosit T adalah limfosit yang berasal dari sel pluripotensial
yang pada embrio terdapat pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa, lalu pada sumsum
tulang. Dalam perkembangannya sel pluripotensial yang akan menjadi limfosit T memerlukan
lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur.
Di dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan molekul tertentu pada permukaan
membrannya yang akan menjadi ciri limfosit T. Molekul-molekul pada permukaan membran ini
dinamakan juga petanda permukaan atau surface marker, dan dapat dideteksi oleh antibodi
monoklonal yang oleh WHO diberi nama dengan huruf CD, artinya cluster of differentiation.
Secara garis besar, limfosit T yang meninggalkan timus dan masuk ke darah perifer (limfosit T
matur) terdiri atas limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD4 dan limfosit T dengan
petanda permukaan molekul CD8. Sel limfosit CD4 sering juga dinamakan sel T4 dan sel
limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi monoklonal yang dipakai adalah keluaran Coulter
Elektronics).
Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga terjadi penataan kembali gen
(gene rearrangement) untuk nantinya dapat memproduksi molekul yang merupakan reseptor
antigen dari sel limfosit T (TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus, setiap limfosit T sudah
memperlihatkan reseptor terhadap antigen diri (self antigen) biasanya mengalami aborsi dalam
timus sehingga umumnya limfosit yang keluar dari timus tidak bereaksi terhadap antigen diri.
Secara fungsional, sel limfosit T dibagi atas limfosit T regulator dan limfosit T efektor. Limfosit
T regulator terdiri atas limfosit T penolong (Th = CD4) yang akan menolong meningkatkan
aktivasi sel imunokompeten lainnya, dan limfosit T penekan (Ts = CD8) yang akan menekan

aktivasi sel imunokompeten lainnya bila antigen mulai tereliminasi. Sedangkan limfosit T
efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang melisis sel target, dan limfosit T yang
berperan pada hipersensitivitas lambat (Td = CD4) yang merekrut sel radang ke tempat antigen
berada.
Pajanan antigen pada sel T
Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD = T dependent antigen), artinya antigen
akan mengaktifkan sel imunokompeten bila sel ini mendapat bantuan dari sel Th melalui zat
yang dilepaskan oleh sel Th aktif. TD adalah antigen yang kompleks seperti bakteri, virus dan
antigen yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang tidak tergantung pada sel T (TI = T
independent antigen) adalah antigen yang strukturnya sederhana dan berulang-ulang, biasanya
bermolekul besar.
Limfosit Th umumnya baru mengenal antigen bila dipresentasikan bersama molekul produk
MHC (major histocompatibility complex) kelas II yaitu molekul yang antara lain terdapat pada
membran sel makrofag. Setelah diproses oleh makrofag, antigen akan dipresentasikan bersama
molekul kelas II MHC kepada sel Th sehingga terjadi ikatan antara TCR dengan antigen. Ikatan
tersebut terjadi sedemikian rupa dan menimbulkan aktivasi enzim dalam sel limfosit T sehingga
terjadi transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Th aktif dan sel Tc memori.
Sel Th aktif ini dapat merangsang sel Tc untuk mengenal antigen dan mengalami transformasi
blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Tc memori dan sel Tc aktif yang melisis sel target
yang telah dihuni antigen. Sel Tc akan mengenal antigen pada sel target bila berasosiasi dengan
molekul MHC kelas I (lihat Gambar 3-2). Sel Th aktif juga dapat merangsang sel Td untuk
mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Td memori dan sel Td
aktif yang melepaskan limfokin yang dapat merekrut makrofag ke tempat antigen.
Limfokin
Limfokin akan mengaktifkan makrofag dengan menginduksi pembentukan reseptor Fc dan C3B
pada permukaan makrofag sehingga mempermudah melihat antigen yang telah berikatan dengan
antibodi atau komplemen, dan dengan sendirinya mempermudah fagositosis. Selain itu limfokin
merangsang produksi dan sekresi berbagai enzim serta metabolit oksigen yang bersifat bakterisid
atau sitotoksik terhadap antigen (bakteri, parasit, dan lain-lain) sehingga meningkatkan daya
penghancuran antigen oleh makrofag.
Aktivitas lain untuk eliminasi antigen
Bila antigen belum dapat dilenyapkan maka makrofag dirangsang untuk melepaskan faktor
fibrogenik dan terjadi pembentukan jaringan granuloma serta fibrosis, sehingga penyebaran
dapat dibatasi.

Sel Th aktif juga akan merangsang sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
plasma yang mensekresi antibodi (lihat bab tentang imunitas humoral). Sebagai hasil akhir
aktivasi ini adalah eliminasi antigen. Selain eliminasi antigen, pemajanan ini juga menimbulkan
sel memori yang kelak bila terpajan lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan
berdiferensiasi.
Imunitas humoral
Imunitas humoral adalah imunitas yang diperankan oleh sel limfosit B dengan atau tanpa
bantuan sel imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan dilaksanakan oleh imunoglobulin yang
disekresi oleh sel plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu IgM, IgG,
IgA, IgD, dan IgE.
Limfosit B juga berasal dari sel pluripotensial yang perkembangannya pada mamalia dipengaruhi
oleh lingkungan bursa fabricius dan pada manusia oleh lingkungan hati, sumsum tulang dan
lingkungan yang dinamakan gut-associated lymphoid tissue (GALT). Dalam perkembangan ini
terjadi penataan kembali gen yang produknya merupakan reseptor antigen pada permukaan
membran. Pada sel B ini reseptor antigen merupakan imunoglobulin permukaan (surface
immunoglobulin). Pada mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah kelas IgM, dan pada
perkembangan selanjutnya sel B juga memperlihatkan IgG, IgA dan IgD pada membrannya
dengan bagian F(ab) yang serupa. Perkembangan ini tidak perlu rangsangan antigen hingga
semua sel B matur mempunyai reseptor antigen tertentu.
Pajanan antigen pada sel B
Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan dengan bantuan sel Th (bagi
antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim dalam sel B sedemikian rupa hingga terjadilah
transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi dan
membentuk sel B memori. Selain itu, antigen TI dapat secara langsung mengaktivasi sel B tanpa
bantuan sel Th.
Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga infektivitasnya hilang, atau
berikatan dengan antigen sehingga lebih mudah difagosit oleh makrofag dalam proses yang
dinamakan opsonisasi. Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan komplemen
yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks antigen-antibodi pada
sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis serta penghancuran antigen oleh makrofag.
Adhesi kompleks antigen-antibodi komplemen dapat lebih erat karena makrofag selain
mempunyai reseptor Fc juga mempunyai reseptor C3B yang merupakan hasil aktivasi
komplemen.

Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh sel Tc yang mempunyai
reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini disebut antibody-dependent cellular mediated
cytotoxicity (ADCC). Lisis antigen dapat pula terjadi karena aktivasi komplemen. Komplemen
berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi komplemen yang menyebabkan
terjadinya lisis antigen.
Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel memori yang kelak bila
terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi. Hal inilah yang
diharapkan pada imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur panjang, kadar
antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif dan berlangsung dalam waktu
cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi tertentu atau infeksi alamiah. Hal ini disebabkan
karena adanya antigen yang tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan
dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di kemudian hari.
Jumlah normal sel leukosit.
Leukosit adalah sel darah Yang mengendung inti, disebut juga sel darahputih. Didalam darah
manusia, normal didapati jumlah leukosit rata-rata 5000-9000 sel/mm3, bila jumlahnya lebih dari
12000, keadaan ini disebut leukositosis, bilakurang dari 5000 disebut leukopenia. Dilihat dalam
mikroskop cahaya maka sel darah putih mempunyai granula spesifik (granulosit), yang dalam
keadaan hidup berupa tetesan setengah cair, dalam sitoplasmanya dan mempunyai bentuk inti
yang bervariasi, Yang tidak mempunyai granula, sitoplasmanya homogen dengan inti bentuk
bulat atau bentuk ginjal. Terdapat dua jenis leukosit agranuler : linfosit sel kecil, sitoplasma
sedikit; monosit sel agak besar mengandung sitoplasma lebih banyak. Terdapat tiga jenis leukosir
granuler: Neutrofil, Basofil, dan Asidofil (atau eosinofil) yang dapat dibedakan dengan afinitas
granula terhadap zat warna netral basa dan asam.
Granula dianggap spesifik bila ia secara tetap terdapat dalam jenis leukosit tertentu dan pada
sebagian besar precursor (pra zatnya). Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler
dan humoral organisme terhadap zat-zat asingan. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid
dan melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara selsel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung. Jumlah leukosit per mikroliter darah,
pada orang dewasa normal adalah 4000-11000, waktu lahir 15000-25000, dan menjelang hari ke
empat turun sampai 12000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal. Variasi kuantitatif dalam selsel darah putih tergantung pada usia. waktu lahir, 4 tahun dan pada usia 14 -15 tahun persentase
khas dewasa tercapai. Bila memeriksa variasi Fisiologi dan Patologi sel-sel darah tidak hanya
persentase tetapi juga jumlah absolut masing-masing jenis per unit volume darah harus diambil.
Neutrofil

Neutrofil berkembang dalam sum-sum tulang dikeluarkan dalam sirkulasi, selsel ini merupakan
60 -70 % dari leukosit yang beredar. Garis tengah sekitar 12 um, satu inti dan 2-5 lobus.
Sitoplasma yang banyak diisi oleh granula-granula spesifik (0;3-0,8um) mendekati batas resolusi
optik, berwarna salmon pinkoleh campuran jenis romanovky. Granul pada neutrofil ada dua :
- Azurofilik yang mengandung enzym lisozom dan peroksidase.
- Granul spesifik lebih kecil mengandung fosfatase alkali dan zat-zat bakterisidal (protein
Kationik) yang dinamakan fagositin.
Neutrofil jarang mengandung retikulum endoplasma granuler, sedikit mitokonria, apparatus
Golgi rudimenter dan sedikit granula glikogen. Neutrofil merupakan garis depan pertahanan
seluler terhadap invasi jasad renik, menfagosit partikel kecil dengan aktif. Adanya asam amino D
oksidase dalam granula azurofilik penting dalam penceran dinding sel bakteri yang mengandung
asam amino D. Selama proses fagositosis dibentuk peroksidase. Mielo peroksidase yang terdapat
dalam neutrofil berikatan dengan peroksida dan halida bekerja pada molekultirosin dinding sel
bakteri dan menghancurkannya. Dibawah pengaruh zat toksik tertentu seperti streptolisin toksin
streptokokus membran granula-granula neutrofil pecah, mengakibatkan proses pembengkakan
diikuti oleh aglutulasiorganel- organel dan destruksi neutrofil. Neotrofil mempunyai
metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis baik secara arrob maupun
anaerob. Kemampuan nautropil untuk hidup dalam lingkungan anaerob sangat menguntungkan,
karena mereka dapat membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan
nekrotik. Fagositosis oleh neutrfil merangsang aktivitas heksosa monofosfat shunt,
meningkatkan glicogenolisis.
EOSINOFIL
Jumlah eosinofil hanya 1-4 % leukosit darah, mempunyai garis tengah 9um (sedikit lebih kecil
dari neutrofil). Inti biasanya berlobus dua, Retikulum endoplasma mitokonria dan apparatus
Golgi kurang berkembang. Mempunyai granula ovoid yang dengan eosin asidofkik, granula
adalah lisosom yang mengandung fosfatae asam, katepsin, ribonuklase, tapi tidak mengandung
lisosim. Eosinofil mempunyai pergerakan amuboid, dan mampu melakukan fagositosis, lebih
lambat tapi lebih selektif dibanding neutrifil. Eosinofil memfagositosis komplek antigen dan anti
bodi, ini merupakan fungsi eosinofil untuk melakukan fagositosis selektif terhadap komplek
antigen dan antibody. Eosinofil mengandung profibrinolisin, diduga berperan mempertahankan
darah dari pembekuan, khususnya bila keadaan cairnya diubah oleh proses-proses Patologi.
Kortikosteroid akan menimbulkan penurunan jumlah eosinofil darah dengan cepat.
BASOFIL

Basofil jumlahnya 0-% dari leukosit darah, ukuran garis tengah 12um, inti satu, besar bentuk
pilihan ireguler, umumnya bentuk huruf S, sitoplasma basofil terisi granul yang lebih besar, dan
seringkali granul menutupi inti, granul bentuknya ireguler berwarna metakromatik, dengan
campuran jenis Romanvaki tampak lembayung. Granula basofil metakromatik dan mensekresi
histamin dan heparin, dan keadaan tertentu, basofil merupakan sel utama pada tempat
peradangan ini dinamakan hypersesitivitas kulit basofil. Hal ini menunjukkan basofil mempunyai
hubungan kekebalan.
LIMFOSIT
Limfosit merupakan sel yang sferis, garis tengah 6-8um, 20-30% leukosit darah.Normal, inti
relatifbesar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat, anak inti baru terlihat
dengan electron mikroskop. Sitoplasma sedikit sekali, sedikit basofilik, mengandung granulagranula azurofilik. Yang berwarna ungu dengan Romonovsky mengandung ribosom bebas dan
poliribisom. Klasifikasi lainnya dari limfosit terlihat dengan ditemuinya tanda-tanda molekuler
khusus pada permukaan membran sel-sel tersebut. Beberapa diantaranya membawa reseptos
seperti imunoglobulin yang mengikat antigen spesifik pada membrannya. Lirnfosit dalam
sirkulasi darah normal dapat berukuran 10-12um ukuran yang lebih besar disebabkan
sitoplasmanya yang lebih banyak. Kadang-kadang disebut dengan limfosit sedang. Sel limfosit
besar yang berada dalam kelenjar getah bening dan akan tampak dalam darah dalam keadaan
Patologis, pada sel limfosit besar ini inti vasikuler dengan anak inti yang jelas. Limfosit-limfosit
dapat digolongkan berdasarkan asal, struktur halus, surface markers yang berkaitan dengan sifat
imunologisnya, siklus hidup dan fungsi.
MONOSIT
Merupakan sel leukosit yang besar 3-8% dari jumlah leukosit normal, diameter 9-10 um tapi
pada sediaan darah kering diameter mencapai 20um, atau lebih. Inti biasanya eksentris, adanya
lekukan yang dalam berbentuk tapal kuda. Kromatin kurang padat, susunan lebih fibriler, ini
merupakan sifat tetap momosit Sitoplasma relatif banyak dengan pulasan wrigh berupa bim abuabu pada sajian kering. Granula azurofil, merupakan lisosom primer, lebih banyak tapi lebih
kecil. Ditemui retikulim endoplasma sedikit. Juga ribosom, pliribosom sedikit, banyak
mitokondria. Apa ratus Golgi berkembang dengan baik, ditemukan mikrofilamen dan
mikrotubulus pada daerah identasi inti. Monosit ditemui dalam darah, jaingan penyambung, dan
rongga-rongga tubuh. Monosit tergolong fagositik mononuclear (system retikuloendotel) dan
mempunyai tempat-tempat reseptor pada permukaan membrannya. Untuk imunoglobulin dan
komplemen. Monosit beredar melalui aliran darah, menembus dinding kapiler masuk kedalam
jaringan penyambung. DaIam darah beberapa hari. Dalam jaringan bereaksi dengan limfosit dan
memegang peranan penting dalam pengenalan dan interaksi sel-sel immunocmpetent dengan
antigen.

RESPON ANTIBODI TERHADAP KANKER DAN VIRUS POLIO


Respon antibodi terhadap tumor.
Tumor ganas/kanker adalah jenis penyakit yang sangat berbahaya, karena dapat menyebabkan
kematian bagi penderitanya. Sehingga identifikasi prilaku pertumbuhan tumor yang imunogenik
(dapat menstimulasi respon imun) adalah penting dan perlu dilakukan, terutama untuk tujuan
imunoterapi. Melalui simulasi dengan metode Runge Kutta Gill dapatlah dianalisis pertumbuhan
tumor tersebut. Sistem imun CMI (cell-mediated-immunity) tubuh manusia dapat menghambat
dan mengontrol pertumbuhan tumor secara efektif untuk tumor yang masih berada dalam
stadium praklinik ( tumor 1cm = 109 sel ) dalam bentuk immunologic-surveillance.
Berdasarkan hasil simulasi diperoleh bahwa respon model sistem CMI yang dilakukan oleh selsel efektor imun Tc, NK dan Ma terhadap tumor padat (dengan asumsi tumor tumbuh mulai dari l
sel hingga mencapai ukuran maksimum 3.10 ) yang tumbuh secara Gompertz akan dapat
menghambat pertumbuhan tumor, tetapi tidak dapat memperkecil ukuran tumor tersebut.
Simulasi model respon CMI dalam interval waktu 20 hari pertama, menunjukkan bahwa
pertumbuhan tumor mulai konstan ( 1,94.105 sel) pada hari yang ke delapan. Sedangkan model
sistem CMI + ADCC (cell mediated immunity + antibody dependent cell mediated cytotoxicity)
sebagai pengembangan dari model sistem CMI, dapat memberikan hasil simulasi yang lebih
baik, di mana selain pertumbuhan tumor mulai konstan pada hari yang ke delapan sampai dengan
hari yang ke sepuluh ( 2,75.103 sel) juga pertumbuhan tumor tersebut menjadi menurun
eksponensial sampai mencapai ukuran 1,6.103 sel tumor pada hari yang ke lima belas, setelah
itu tumor tidak tumbuh lagi (konstan).
Makrofag telah mengidentifikasikan sel kanker. Ketika melampaui batas menyatukan dengan sel
kanker, makrofag (sel putih yang lebih kecil) akan menyuntkan toksin yang akan membunuh sel
tumo

Respon Imun Terhadap Infeksi Virus Polio


Respon imun/kekebalan alami memegang peranan penting dalam penentuan trofisme jaringan
dan patogenitas virus polio. Pada tikus transgenik CD155, jaringan non syaraf yang tidak
menjadi target replikasi untuk virus polio menunjukkan peningkatan aktivitas gen yang
distimulasi oleh interferon dan respon interferonnya lebih cepat dibandingkan jaringan syaraf.
Hal ini menimbulkan dugaan adanya peran penting interferon dalam melindungi jaringan non
syaraf tersebut. Ketika tikus transgenik CD155 tersebut di-knock out interferon alfa-beta-nya,
titer virus polio di jaringan non syaraf meningkat dan terjadi peningkatan frekuensi paralisis
dibandingkan dengan tikus transgenik CD155 liar . Respon sistem kekebalan humoral berperan
penting dalam perlindungan dan kekebalan jangka panjang. Antibodi yang dihasilkan setelah
infeksi polio virus liar, atau setelah vaksinasi dengan vaksin polio oral (OPV/oral poliovirus
vaccine. Ada yang menyebutnya vaksin polio hidup) atau IPV (inactivated polio vaccine, atau
ada yang menyebutnya vaksin polio mati) dapat mencegah terjadinya poliomielitis karena

mencegah terjadinya viremia, sehingga mencegah infeksi pada sistem syaraf pusat.
Dibandingkan IPV, infeksi virus polio liar atau vaksin polio oral akan menghasilkan produksi
IgG sirkulasi yang lebih banyak dan juga sekresi IgA di usus halus. Akibatnya dosis yang
dibutuhkan oleh virus polio untuk melakukan re-infeksi akan mengalami peningkatan. Selain itu,
jika terjadi re-infeksi, jumlah dan durasi pengeluaran virus polio di tinja akan menurun. Jumlah
dan durasi pengeluaran virus polio di tinja ini berperan besar dalam proses penyebaran virus
polio. Makin banyak dan makin lama virus polio dikeluarkan via tinja oleh si penderita, maka
resiko penyebarannya akan semakin besar.
Selain respon sistem kekebalan humoral, sistem kekebalan seluler mungkin juga berperan besar
dalam menghadapi infeksi virus polio. Secara teoritik, sel T CD4+ membantu sel B dalam respon
kekebalan humoral. Sel T sitolitik mungkin mempunyai peranan dalam proses pembersihan virus
secara langsung dengan cara melisiskan seln yang terinfeksi virus. Sel T gamma atau delta dan
sel NK (yang merupakan bagian dari respon kekebalan alami) mungkin berperan dalam respon
kekebalan adaptif sel T. Meskipun begitu, bagaimana sebenarnya mekanisme sistem kekebalan
seluler dalam menghadapi infeksi virus polio masih belum jelas

REGULASI RESPONS IMUN


Setelah antigen dapat dieliminasi, maka agar tidak terjadi aktivasi sistem imun yang tak
terkendali, maka diperlukan adanya regulasi respons imun. Ada 3 macam mekanisme tubuh
untuk meregulasi respons imun yang sudah terjadi.
Regulasi oleh antibodi yang terbentuk
Antibodi yang terbentuk akibat paparan antigen dapat mempengaruhi produksi antibodi
selanjutnya. Pada waktu kadar antibodi masih rendah, yaitu pada waktu tahap respons
permulaan, antibodi yang terbentuk akan merangsang sel B yang mempunyai kapasitas
memproduksi antibodi dengan afinitas tinggi. Jadi antibodi yang baru terbentuk merupakan
faktor penting untuk mendorong proses maturasi afinitas. Hal ini terjadi karena antibodi yang
terbentuk akan berkompetisi dengan reseptor antigen pada sel B untuk mengikat antigen,
sehingga yang terangsang adalah sel B yang mempunyai daya ikat tinggi terhadap antigen atau
berafinitas tinggi, karena itu antibodi yang dihasilkan juga berafinitas tinggi.
Adanya efek antibodi seperti tersebut dipengaruhi oleh tipe isotip antibodi. Umumnya IgM
mempunyai tendensi untuk meningkatkan produksi antibodi, tetapi IgG lebih sering bersifat
supresif. Di samping itu, pada tahap respons permulaan, pada saat rasio antigen masih lebih
besar daripada antibodi, maka adanya antibodi akan mempermudah kompleks Ag-Ab terfiksasi
pada sel makrofag melalui reseptor Fc, hingga dapat dipresentasikan pada sel Th yang kemudian

merangsang sel B membentuk antibodi. Jadi pada permulaan terjadi peningkatan jumlah maupun
afinitas antibodi. Tetapi bila antibodi sudah ada dalam konsentrasi tinggi, yaitu setelah mencapai
jumlah cukup untuk menetralkan antigen yang ada, antibodi akan merupakan umpan balik
negatif agar tidak terbentuk antibodi yang sama lebih lanjut. Hal ini terjadi karena dengan
terikatnya bagian F(ab)2 antibodi pada epitop antigen maka reseptor antigen pada sel B tidak
akan terangsang lagi oleh epitop antigen tersebut, sehingga tidak terjadi aktivasi dan priming sel
B terhambat (lihat Gambar 3-3).
Di samping itu, antibodi yang bertambah dapat pula merupakan umpan balik negatif melalui
bagian Fc-nya. Sel B selain mempunyai reseptor antigen juga mempunyai reseptor Fc. Dengan
terikatnya antibodi pada reseptor Fc sel B, maka epitop antigen yang terikat pada reseptor
antigen pada sel B tidak dapat mengadakan bridging oleh karena adanya gabungan silang antara
reseptor antigen dan reseptor Fc, sehingga tidak terjadi aktivasi sel B (lihat Gambar 3-4). Tidak
adanya bridging antara suatu reseptor antigen dengan reseptor antigen lainnya pada sel B
mengakibatkan tidak terjadinya aktivasi enzim, sehingga sel B tidak terangsang untuk
mengalami transformasi blast, berproliferasi dan berdiferensiasi, dan akibatnya pembentukan
antibodi makin lama makin berkurang.
Regulasi idiotip spesifik
Akibat stimulasi antigen terhadap sel B akan terbentuk antibodi yang makin lama makin
bertambah. Pada kadar tertentu, idiotip dari antibodi tersebut akan bertindak sebagai stimulus
imunogenik yang mengakibatkan terbentuknya anti-idiotip. Dasar reaksi ini sebenarnya belum
jelas karena merupakan kontradiksi dari self tolerance. Tetapi fakta memang membuktikan
adanya limfosit yang dapat mengenal dan bereaksi dengan idiotip antibodi, karena ada limfosit
yang mempunyai reseptor untuk idiotip ini. Anti-idiotip yang terbentuk juga mempunyai idiotip
hingga akan merangsang terbentuknya anti-idiotip, dan seterusnya.
Pada binatang adanya anti-idiotip ini terlihat pada waktu fase respons imun mulai menurun. Antiidiotip yang terbentuk dengan sendirinya mirip antigen asal, karena itu dinamakan internal
image dari antigen asal. Tetapi adanya antibodi anti-idiotip ini pada respons imun yang normal
tidak akan merangsang kembali terjadinya antibodi terhadap antigen asal. Terbentuknya antiidiotip berturut-turut mengakibatkan jumlah antibodi makin lama makin berkurang. Dapat
dipersamakan seperti batu yang jatuh ke dalam ir dan menimbulkan gelembung air yang
makin lama makin menghilang. Regulasi melalui pembentukan anti-idiotip adalah regulasi untuk
menurunkan respons imun (down regulation) yang dikenal sebagai jaringan imunoregulator dari
Jerne (1974).
Regulasi oleh sel T supresor (Ts)

Dalam tubuh kita terdapat limfosit yang dapat meregulasi limfosit lainnya untuk meningkatkan
fungsinya yang dinamakan sel T helper (Th = CD4). Selain itu terdapat juga limfosit yang
menekan respons imun yang terjadi secara spesifik yang dinamakan sel T supresor (Ts = CD8).
Sel Ts dapat juga diaktifkan pada respons imun normal dengan tujuan mencegah respons imun
yang tak terkendali. Bagaimana cara sel Ts melakukan tugasnya belumlah jelas, tetapi secara in
vitro dapat diketahui bahwa pada aktivasi sel Ts akan dilepaskan faktor spesifik yang akan
menekan respons imun yang sedang berlangsung.
Sel Ts dapat diaktifkan melalui tiga cara, yaitu 1) oleh antigen yang merangsang respons imun
itu sendiri. Antigen merangsang CD4 yang 2H4+ 4B4- untuk mengeluarkan faktor supresi
antigen spesifik yang akan merangsang sel Ts untuk menekan sel efektor, 2) oleh antigen yang
mengadakan bridging antara sel Ts dengan sel limfosit lainnya, seperti sel B dan sel Th, sehingga
Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th, 3) oleh sel B atau sel Th yang mempunyai reseptor idiotip
dari idiotip sel Ts, sehingga sel Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th.
PERKEMBANGAN LIMFOSlT DALAM PROSES IMMUN
Seperti kita ketahui bahwa limfosit yang bersikulasi terutama berasal dari timus dan organ
limfoid perifer, limpa, limfonodus, tonsil dan sebagainya. Akan tetapi mungkin semua sel
pregenitor limfosit berasal dari sum-sum tulang, beberapa diantara limfositnya yang secara relatif
tidak mengalami diferensiasi ini bermigrasi ke timus, lalu memperbanyak diri, disini sel limfosit
ini memperoleh sifat limfosit T, kemudian dapat masuk kembali kedalam aliran darah, kembali
kedalam sum-sum tulang atau ke organ limfoid perifer dan dapat hidup beberapa bulan atau
tahun. Sel-sel T bertanggung jawab terhadap reaksi immune seluler dan mempunyai reseptor
permukaan yang spesifik untuk mengenal antigen asing. Limfosit lain tetap diam disum-sum
tulang berdiferensiasi menjadi limfosit B berdiam dan berkemban.didalam kompertemenya
sendiri. Sel B bertugas untuk memproduksi antibody humoral antibody response yang beredar
dalam peredaran darah dan mengikat secara khusus dengan antigen asing yang menyebabkan
antigen asing tersalutantibody, kompleks ini mempertinggi fagositosis, lisis sel dan sel
pembunuh (killer sel atau sel K) dari organisme yang menyerang. Sel T dan sel B secara
marfologis hanya dapat dibedakan ketika diaktifkan oleh antigen. Tahap akhir dari diferensiasi
sel-sel B yang diaktifkan berwujud sebagai sel plasma. Sel plasma mempunyai retikulum
endoplasma kasar yang luas yang penuh dengan molekul-molekul antibody, sel T yang diaktifkan
mempunyai sedikit endoplasma yang kasar tapi penuh dengan ribosom bebas.
Terjadinya respon imun dari tubuh.
Kepekaan tubuh terhadap benda asing (antigen 0 akan menimbulkan reaksi tubuh yang dikenal
sebagai Respon imun Respon imun ini mempunyai dampak positif terhadap, tubuh yaitu dengan
timbulnya suatu proses imunisasi kekebalan tubuh terhadap antigen tersebut, dan dampak
negatifnya berupa reaksi hypersensitifitas. Hypersensitifitas merupakan reaksi yang berlebihan

dari tubuh terhadap antigen dimana akan mengganggu fungsi sistem imun yang menimbulkan
efek protektif yaitumerusak jaringan. Proses kerusakan yang paling cepat terjadi berupa
degranulasi sel dan derifatnya (antara lain sel basofil, set Mast dan sel plasma) yang melepaskan
mediator-mediatonya yaitu histamin, serotonin, bradikinin, SRS=A, lekotrin Eusinohil
chemotactic Factor (ECF) dan sebagainya. Reaksi tubuh terhadap pelepasan mediator ini
menimbulkan penyakit berupa asthma bronchial, rhinitis aIergika, urtikaria, diaree dan bisa
menimbulkan shock. Secara lambat akan terjadi reaksi kerusakan jaringan berupa sitolisis dari
sel-sel darah merah sitotokis terhadap organ tubuh seperti ginjal (glomeruloneftitis), serum
siknesdermatitis kontak, reaksi tuberculin dan sebagainya, rheumatoid arthritis. coom dan gell
membagi 4 jenis sesitifitas, dimana dapat dilihat apa yang terjadi pada sel-sel leukosit. Pada type
I (padareaksi anafilaktik) terjadi antigen bergabung dengan IgE (imunoglobin tipe E-antibodies
tipe E) yang terikat pada mast sel -sel basofil dan sel plasma. Reaksi terhadap tubuh terjadi
dalam beberapa menit.
Pada type II (pada reaksi sititoksik) dimana antigen mengikat diri pada membran sel, yang pada
penggabungan anti gen mengikat IgG atau IgM yang bebas dalam cairan tubuh akan
menghancurkan sel yang mengikat anti gen tersebut. Reaksi ini terdapat pada tranfusi darah,
anemia hemolitika.
Pada Type III ( reaksi artrhus ) merupakan reaksi anti gen dan antibody komplek dimana gen
bergabung dengan IgG atau IgM menjadi suatu komplek, yang
mengikat diri antara lain sel-sel ginjal, paru-paru dan sendi. Terjadilah aktifitas dari komplemen
(komplemen protein dalam darah) dan pelepasan zat-toksis. Ditemui pada glomerulo nephritis,
serum scness, rheumatk arthritis.
Type IV ( delayed ), antigen merupakan sel protein atau sel asing yang bereaksi dengan limfosit,
limfosit melepaskan mediator aktif yaitu limfokin, terjadi reaksi pada kulit, reaksi pada
tranplantasi, reaksi tuberculin dan dermatitis kontak.

IMONOPATOGENESIS.
Pada Imunopatologi menjelaskan bahwa reaksi alergi diawali dengan tahap sensit, kemudian
diikuti reaksi ale yang terlepas dari sel-sel mast (mastosit) dan atau sel basofil yang berkontak
ulang dengan allergen spesifiknya (IS hizaka, Tomiko dan Ishizaka 1971). Saat ini lebih jelas
terutama pada rhinitis alergika diketahui terdiri dari dua fase (Kaliner 1987, Lichtensin 1988,
pertama reaksi alergi fase cepat (RAFC,immediet phas-allergic reaction), berlangsung sampai
satu jam setelah berkontak alergan kedua, reaksi alergis fase lambat (RAFL, Late phase allergic

reaction) yang berlangsung sampai 24 jam bahkan sampai 48 jam kemudian, dengan puncak
reaksi pada 4 8 jam pertama.
1. Tahap Sensitasi
Pada awal reaksi alergis sebenarnya dimulai dengan respon pengenalan alergan/antigen oleh sel
darah putih yang dinamai sel makrofag, monosit (Brown dkk, 1991) dan atau sel denritik (Mc
William, 1996) Sel-sel tersebut berperan sebagai sel penyaji (antigen presenting cells, sel APC)
dan berada dimukosa (dalam dimukosa hidung), antigen/allergen yang menempel pada
permukaan mukosa ditangkap oleh sel APC, setelah melalui proses internal dalam sel APC, dari
malergen tersebut terbentuk fragmen pendek peptida imunogenik, Frakmen ini bergabung
dengan molekul HLA = kelas II @B heterodimer dalam endoplasmic reticullum sel APC.
Penggabungan yang terjadi akan membentuk komplek peptide-MHC-class II (mayor
histocompatibility comlolex class II) yang kemudian dipresentasikan dipermukaan sel APC;
kepada salah satu limfosit T yaitu Holper-T cell (klon T-CD4 +, dimana Tho), jika selanjutnya
tho ini memiliki molekul reseptor spesifik terhadap molekul komplek peptide MHC-II maka
akan terjadi penggabungan kedua molekul tersebut. Akibat selanjutnya sel APC akan melepas
sitokin Salah satunya Interkulin I (IL-I),sitokin akan mempengaruhi limfosit jenis T-CD4 +
(Tho) yang jika sinyal kostimulator (pro-inflamotori second Signal) induksinya cukup memadai,
maka akan terjadi aktivasi dan proliferasi sel Tho menjadi Th2 dan Th1; sel ini akan
memproduksi sitokin yang mempunyai spectrum luas sebagai molekulimunoregulator, antara
lain interleukin-3 (IL-3), IL-4, IL-5 dan IL-13. Sitokin IL-4 dan IL-13 akan ditangkap
resepiornya pada permukaan limfisit B istirahat (resting B sel), sehingga terjadi aktivasi limfosit
B. Limfosit B ini memproduksi imunoglobulin E (IgE), sedangkan IL-13 dapat berperan sendiri
dalam keadaan IL-4 rendah (Naclerio dkk, 1985, Geha, 1988), sehingga molekul IgE akan
melimpah dan berada di mukosa atau peredaran darah.
2. Reaksi Alergis
Molekul IgE yang beredar dalam sirkulasi darah akan memasuki jaringan dan akan ditangkap
oleh reseptor IgE yang berada pada permukaan sel metacromatik (mastosit atau sel basofil), sel
ini menjadi aktif. Apabila dua light chain IgE berkonta dengan allergen spesifiknya maka akan
terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit/basofil dan akibainya terlepas mediatormediator alergis. Reaksi alergis yang segera terjadi akibat histamin tersebut dinamakan reaksi
alergi fase cepat (RAFC )yang mencapai puncaknya pada 15-20 menit pada paparan alergen dan
berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Sepanjang RAFC mastosit juga melepaskan molekulmolekul kemotaktik (penarik sel darah putih ke organ sasaran). Reaksi alergis fase cepat dapat
berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian
(Kaliner 1987. Lichtenstein 1988). Tanda khas RAFL adalah terlihatnya pertambahan jenis dan
jumlah sel-sel inflamasi yang berakumulasi (berkumpul) di jaringan sasaran. Sepanjang RAFL

(creticos 1998) sel eosiinofil aktif akan melepas berbagai mediator, antara lain basic protein,
leukotriens cytokines, Sedangkan basofil akan melepas histamin, leukotriens dan cytokines.
Disamping itu berbagai sel mononuclear akan melepas histamin releasing factors (HRFs) Yang
akan memacu mastosit dan basofil dan melepas histamin lebih banyak lagi. Sepanjang reaksi
alergi fase cepat (RAFC) dan reaksi alergi fase lambat (RAFL) sel-sel inflamasi dilepaskan
sebagai prodak protein yang merupakan hasil
kenerja DNA sel-sel inflamasi tersebut yang dapat dibagi dalam tiga jenis, Gran dkk
1991;Bocher dkk; Coffman 1994 schleimer dkk 199. Durham and Till 1998 Greticos 1998; Nel
dkk 1998. Mediator-mediator mastosit / basofil dan eosinofil, histamin, prostaglandin,
Leukotrien, ECFA,(eosinofi chemotactic factorof anaphylactic) NCFA (Neutrophil chematactic
factor of anaphylactic), dan kinin. Mediator yang berasal dari sel eosinofil. PAF,LTB4,C5a
kemoaktraktan. LTC4 PAF, ECP;. Molekul-molekul sitokin inductor/stimulator/aktivalator RIA
yang terdiri atas, IL-44 dan IL-33 yang mempengaruhi limfosit B dalam memproduksi IgE. IL-3
dan IL-4 mempengaruhi basofil memproduksi histamin. LTs dan sitokin-sitokin. IL-3 dan IL-5
mempengaruhi sel eosinofil dalam memproduksi protein-protein basa LTs dan sitokin. HRFs
yang mempengaruhi mastosit dan basofil melepas histamin lebih banyak lagi. IL-4
mempengaruhi epitel, IL-13 mempengaruhii endotel dalam memproduksi VCAM (Vascular cell
adhesion molecule). Molekul-molekul activator/survival sel eosinofil, GM=CSF dan IL-3 IL-3
dan IL-5 (inerleukin-3 dan interleukin-5) Fibronektin Molekul sitokin kemoaktraktan bagi sel
eosinofil. IL-5 IL-3.GM=CSF,IL-8 Lain-lain Interaksi EOS aktif dan epitel mukosa hidung
membentuk IL-8, RNTES dan GGM=CSF. Molekul-molekul protein utama produk sel-sel
inflamasi, sel endotel dan mukosa yang berperan langsung menimbulkan alergi adalah antara
lain; histamin, leukotrien, prostak landing, kinin, platelet e activating factor (PAF), sitokin dan
kimokin. Histamin, dapat menggunakan H2 reseptor-mediated-antiinflmnatoriyactivity meliputi
inhibisi penglepasan enzin lisosomal neutrfil, inhibisi pelepasan histamin dari leukosit perifer,
dan aktivasi suppressor T-lymllocytes ( Metcalfe et al, 1981, cit White 1999). Histamin
menggunakan efeknya pada berbagai sel seperti sel oto polos, neuron, sel-sel kelenjar (endokrin
dan Eksokrin, sel-sel darah, dan sel-sel sistem imun (pearce 1991, cit White 1999), Histamin
merupakan vasodilator, konstruktor otot polos, stimulsn pennabilitas vaskuler yang kuat,
stimulan sekresi kelenjar mukosa saluran nafas dansekresi kelenjar lambung. (White 1999).
Leukotrien diproduksi oleh berbagai sel inflanlasi seperti mastosit basofil, eosinofil, neutrofil
dan monosit. Prostaglandin, berasal dari pecahan arachodonic acid membran sel yang paling
banyak diproduksi oleh mastosit paru-paru PGD2 (White 1999). Seperti kita ketahui bahwa efek
biologis dari prostaglandin adalah, memodulasi kontraksi otot polos, penurunan permeabbilitas
vaskuler, rasa gatal dan nyeri, dan agregasi serta degranulasi platelet.(trombosit). Kinin
merupakan hormon peptida yang kuat terbentuk de novo dalam cairan tubuh dan jaringan
sepanjang inflamasi. Tiga jenis-jenis kinin yang penting dalam tubuh adalah bredykinin,
kallilidin (Iysbradykinin) dan met-lys bradykinin. Pada reaksi inflamasi alergi dalam hidung

kinin sangat banyak ditemukan. Platelet activating factor (PAF) merupakan sebuah ether-linked
phospholipid. PAF diproduksi oleh mastosit, macrofag dan eosinofil.
Aktifitas biologisnya meliputi pletelet aktivasi neutrofil,dan kontraksi otot palos, PAF juga
merangsang akumulasi eosinofil ke permukaan endothelium yang merupakan langkah awal
pengerahan eosinofil kedalam jaringan. PAF memacu eosinofil untuk melepas berbagai protein
basa yang menyebabkan peningkatan kerusakan mukosa (terutama oleh MBP) dan menyebabkan
peningkatan ekspresi low-affiniti IgE reseptors pada eosinofil dan monosit. PAF banyak dibentuk
oleh sel eosinofil yang dapat menarik sel eosinofil lainya memasuki jaringan.
Sitikin (cytokine) memainkan peran yang penting sepanjang reaksi alergi fase lambat, mastosit
adalah sumber dari sitokin multifungsi ( Bradding et al 1996) cit White 1999 antara lain:
1. Aktifitas sel-sel inflasi (makrofag, selT, sel B dan eosinofil) diatur oleh IL=1, IL-4, IL-5, IL-6,
TNF- dan GM=CSF.
2. Pertumbuhan dan proliferasi sel B, dan pertumbuhan sel-T-helfer ditingkatkan oleh IL-1.
3. IL-2 memacu proliferasi limfosit T dan aktivasi Limfosit B
4. IL- menyebabkan diferensiasi limfosit B menjadi IgE sekresing plasmasel dan bersama TNF@ meninkatkan pengaturan ekpresi high-dan low affinity IgE reseptor pada sel-sel APC.
5. IL-5 menyebabkan aktivasi limfosit B, diferensiasi dan pemanjangan umur eosinofil.
Leukosit dan turunannya merupakan sel dan struktur dalam tubuh manusia yang didistribusikan
keseluruh tubuh dengan fungsi utamanya melindungi organismo terhadap invasi dan
pengrusakan oleh mikro organisme dan benda asing lainnya. Sel-sel limfosit ini, mempunyai
kemampuan untuk membedakan dirinya sendiri (makromolekuler organisme sendiri) dari yang
bukan diri sendiri (benda asing) dan mengatur penghancuran dan inaktivasi dari benda asing
yang mungkin merupakan molekul yang terisolasi atau bagian dari mikro organisme Semua
leukosit berasal dari sum-sum tulang. kemudian mengalami kematangan pada organ limfoid
lainnya.

KELAINAN SISTEM IMUN: ALERGI


Alergi, kadang disebut hipersensitivitas, disebabkan respon imun terhadap antigen. Antigen yang
memicu alergi disebut allergen. Reaksi alregi terbagi atas 2 jenus yaitu:reaksi alergi langsung dan
reaksi alergi tertunda. Reaksi alergi langsung disebabkan mekanisme imunitas humoral. Reaksi
ini disebabkan oleh prosuksi antibodi IgE berlebihan saat seseorang terkena antigen. Antibodi

IgE tertempel pada sel Mast,leukosit yang memiliki senyawa histamin. Sel mAst banyak terdapat
pada paru-paru sehingga saat antibodi IgE menempel pada sel Mast, Histamin dikeluarkan dan
menyebabkan bersin-bersin dan mata berair. Reaksi alergi tertunda disebabkan oleh perantara sel.
Contoh yang ekstrim adalah saat makrofag tidak dapat menelan antigen atau menghancurkannya.
Akhirnya Limfosit T segera memicu pembengkakan pada jaringan.
KELAINAN SISTEM IMUN: PENOLAKAN ORGAN TRANSPLANTASI
Sistem imun menyerang sesuatu yang dianggap asing di dalam tubuh individu normal, yang
diserang adalah organ transplantasi. Saat organ ditransplantasikan, MHC organ donor dikenali
sebagai senyawa sing dan kemudian diserang. Untuk mengatasi hal ini, ilmuwan mencari donor
transplantasi yang MHC punya banyak kesamaan dengan milik si resipien. Resipien organ
tranplantasi juga diberi obat untuk menekan sistem imun mereka dan menghindarkan penolakan
dari organ transplantasi.
Jika organ tranplantasi mengandung Limfosit T yang berbeda jenisnya dengan Limfosit T milik
donor seperti pada cangkok sumsum tulang, Limfosit T dari organ tranplantasi ini bisa saja
menyerang organ dan jaringan donor. Unutk mengatasi hal ini, ilmuwan meminimalisir reaksi
graft versus host(GVH) dengan cara menghilangkan semua Limfosit T dewasa sebelum
dilakukan tranplantasi.
KELAINAN SITEM IMUN: DEFISIENSI IMUN
Salah satu penyakit defisiensi sistem imun yaitu AIDS(Acquired Immune deficiency Syndrome)
yang disebabkan oleh HIV(Human Immunodeficiency Virus). HIV menyerang Limfosit T
pembantu karena Limfosit T pembantu mengatur jalannya kontrol sistem imun. Dengan
diserangkan Limfosit T pembantu, maka pertahanan tubuh akan menjadi lemah. Defisiensi
sistem imun dapata terjadi karena radiasi yang menyebabkan turunnya produksi limfosit.
Sindrom DiGeorge adalah kelainan sistem imun yang disebabkan karena penderita tidak punya
timus dan tidak dapat memproduksi Limfosit T dewasa. Orang dengan kelainan ini hanya bisa
mengandalkan imunitas humoralnya secara terbatas dan imunitas diperantarai selnya sangat
terbatas. Contoh ekstrim penyakit defisiensi sistem imun yang diturunkan secara genetika adalah
Severe Combined Immuno Deficiency(SCIED). Penderita SCID tidak punya Limfosit B dan T
maka ia harus diisolasi dari lingkungan luar dan hidup dengan betul-betul steril karena mereka
bisa saja mati disebabkan oleh infeksi.

KELAINAN SISTEM IMUN: PENYAKIT AUTOIMUN

Autoimunitas adalah respon imun tubuh yang berbalik menyerang organ dan jaringan sendiri.
Autoimunitas bisa terjadi pada respon imun humoral atau imunitas diperantarai sel. Sebagai
contoh, penyakit diabetes tipe 1 terjadi karena tubuh membuat antibodi yang menghancurkan
insulin sehingga tubuh penderita tidak bisa membuat gula. Pada myasthenia gravis, sistem imun
membuat antibodi yang menyerang jaringan normal seperti neuromuscular dan menyebabkan
paralisis dan lemah. Pada demam rheumatik, antibodi menyerang jantung dan bisa menyebabkan
kerusakan jantung permanen. Pada Lupus Erythematosus sistemik, biasa disebut lupus, antibodi
menyerang bebeagai jaringan yang berbeda, menyebabkan gejalan yang menyebar.
Daftar pustaka
Baratawijaya, karnen,.1996. Immunologi Dasar. Jakarta : gaya baru .
Goodman JW. The Immune Response. In: Stites DP, Terr AI eds. Basic and Clinical
Immunology, 8 ed. Connecticut: Prentice Hall Int. Inc, 1994: 40-9

OLEH:
Nama: IBNU FAISAL S R
Nim:111.001.122
Sgd:10

Fakultas kedokteran uisu


(al-munawwarah)
Jln.sm.raja no:2A MEDAN

Anda mungkin juga menyukai