Anda di halaman 1dari 6

1.

Kasus pada masa kebuntingan


a. Abortus
Abortus adalah ekspulsi atau pengeluaran fetus yang suda mati pada tahap
kehamilan atau sebelum partus normal (Ball dan Peters, 2004). Abortus dapat
terjadi pada berbagai umur kebuntingan dari 42 hari sampai saat akhir masa
kebuntingan. Abortus dapat terjadi bila kematian fetus di dalam uterus disertai
dengan adanya kontraksi dinding uterus sebagai akibat kerja secara bersama-sama
dari hormon estrogen, oksitosin, dan prostaglandin F2α pada waktu terjadinya
kematian fetus itu. Oleh karena itu, fetus yang telah mati terdorong keluar dari
saluran alat kelamin (Hardjopranjoto, 1995).

Penyebab abortus secara garis besar dapat dibedakan menjadi 2, yaitu abortus
karena sebab-sebab infeksi dan abortus karena sebab-sebab non infeksi.

Faktor penyebab: berbagai faktor non-infeksius dapat menyebabkan terjadinya


abortus, diantaranya:
- Racun, misalnya nitrat dan beberapa racun pada tanaman;
- Stress fisiologi;
- Trauma;
- Faktor nuntrisional misalnya defisiensi vitamin A, iodium dan selenium
(Ball dan Peters, 2004)

Abortus karena infeksi:


1. Brucellosis
Sifat dan kejadian: Brucellosis adalah penyakit hewan menular yang secara
primer menyerang sapi, kambing, babi dan sekunder beberapa jenis hewan
lainnya dan manusia. Brucellosis disebabkan bakteri Brucella abortus.
Abortus karena B. abortus umumnya terjadi dari bulan ke-6 sampai ke-9
periode kebuntingan. Kejadian abortus berkisar antara 5-90% di dalam suatu
kelompok ternak tergantung pada berat ringan infeksi, daya tahan hewan
bunting, virulensi organisme dan faktor-faktor lainnya (Toelihere, 1985)

Terjadinya keguguran setelah 5 bulan merupakan petunjuk kunci untuk


menemukan penyakit ini. Seekor sapi betina setelah keguguran itu masih
mungkin bunting lagi tetapi tingkat kelahiran akan rendah dan tidak teratur
(Blakely & Bade, 1991). Sedangkan, menurut Akoso (1990), terjadinya
keguguran karena penyakit ini biasanya pada usia kebuntingan 7 bulan.
Kemungkinan selaput janin akan tertinggal lama dan menyebabkan sapi
menjadi mandul adalah merupakan gejala penyakit ini.

Proses: Permulaan infeksi brucellosis terjadi pada kelenjar limfe


supramamaria. Pada uterus, lesi pertama terlihat pada jaringan ikat antara
kelenjar uterus mengarah terjadinya endometritis ulseratif, kotiledon kemudian
terinfeksi disertai terbentuknya eksudat pada lapisan alltokhorion. Pada sapi
bunting yang terinfeksi bakteri Brucella akan menyebabkan abortus dan
kematian fetus. Aborsi terjadi karena Brucella banyak terdapat di vili khorion,
kemudian terjadi penghancuran jaringan yang kejadiannya mencapai 5-90%,
pada umur kebuntingan 6 sampai 9 bulan kebuntingan. Kematian fetus terjadi
karena gangguan fungsi plasenta disamping adanya endotoksin. Fetus biasanya
tetap tinggal di uterus selama 24-72 jam setelah kematian. Selaput fetus
menderita oedematous dengan lesi dan nekrosa (Imam, 2023).

Penanganan Induk :

- Pengawasan lalu lintas ternak;

- Pemisahan ternak terinfeksi dari ternak yang sehat;

- Pensucihamaan dengan mengirigasi vagina menggunakan antibiotic atau


desinfektan.

Penanganan Fetus : Fetus dan sisa-sisa hasil abortus dikeluarkan dari saluran
reproduksi induk dan setelah itu dibakar (Direktorat Keswan, 2014).

2. Mumifikasi fetus
Definisi : Fetus mati dan masih berada di dalam uterus, dimana cairan janin
akan terserap sehingga fetus mengeras (Jackson, 2004).
Faktor Penyebab :
- Infeksius: Bovine Viral Diarrhea (BVD), leptospirosis, jamur, Neospora
caninum;
- Mekanik: torsi uterus, plasenta yang rusak, torsi korda umbilical;
- Faktor lainnya: kelainan: kelainan genetic, hormon abnormal, kromosom
abnormal
(Levebvre, 2015)
Proses : Terjadi kematian fetus, absorbs cairan plasenta, pelekatan membrane
fetal dan dinding uterus, massa dari fetus menjadi coklat menghitam, terasa
keras berbentuk tulang, tidak berbau (Levebre, 2015).

Ciri Spesifik : Ukuran fetus tidak sesuai dengan usia kebuntingan (Levebre,
2015).

Cara pemeriksaan:
- Palpasi per-rektal: uterus mengencang dan fetus sulit untuk ditemukan.
Fremitus tidak terasa, dan corpus luteum mungkin dapat terpalpasi.
- USG per-rektal: fetus terlihat namun ada detak jantung fetus
(Jackson, 2004)

Penanganan: Dapat dilakukan infeksi PGF2α untuk mengeluarkan fetus,


pembersihan uterus, induksi kembali estrus sapi untuk inseminasi. Apabila
tidak ada respon saat penanganan, dapat dilakukan injeksi kembali PGF2α
dengan kombinasi PGE2 atau dilakukan histerotomi (Levebvre, 2015).

3. Maserasi Fetus

Definisi : Kematian fetus di dalam uterus dengan diikuti lisisnya korpus


luteum, terbukanya cervix dan masuknya bakteri ke dalam uterus. Hal ini
menyebabkan terjadinya infeksi pada fetus dan fetus membusuk (Jackson,
2004)

Faktor Penyebab: Trichomonas foetus dan jamur (Affandy et al., 2007)


Proses : Fetus mati di dalam uterus induk, namun saat itu corpus luteum
mengalami lisis sehingga terjadi dilatasi serviks. Karena serviks dilatasi, maka
bakteri masuk ke dalam uterus dan mengontaminasi fetus dan cairan amniun.
Fetus yang terendam sekian lama di dalam cairan amnion terkontaminasi
bakteri akan hancur seperti bubur, dan cairannya akan keluar perlahan-lahan
melalui vulva. Yang tersisa di dalam uterus hanya tulang dari fetus (Affandy et
al., 2007).

Ciri Spesifik :
- Rahim teraba tebal, keras, tidak ada fremitus, ditemukan adanya krepitasi
tulang fetus;
- Induk sapi mengeluarkan leleran akibat fetus membusuk dan terurai akibat
kontaminasi bakteri di dalam uterus karena adanya dilatasi serviks;
- Induk mengalami demam, anoreksia, depresi, serta penurunan produksi susu
(Fasseha, 2020)

Cara pemeriksaan:
- Inspeksi leleran yang keluar dari vulva induk, biasanya berbau busuk dan
menyengat;
- Palpasi per-rektal: ditemukan serpihan tulang fetus;
- USG dan X-ray akan terlihat fragmen-fragmen tulang fetus
(Jackson, 2004)

Penanganan :
- Injeksi prostaglandin untuk menginduksi estrus. Namun car aini tidak
disarankan karena jika fetus dan produk maserasi keluar, tulang fetus dapat
melukai uterus induk;
- Penanganan manual dengan mengeluarkan fetus dengan alat-alat kebidanan;
- Operasi Caesar untuk mengeluarkan produk maserasi dan tulang
(Fasseha, 2020)
4. Torsi Uteri
Definisi : Rotasi uterus pada masa kebuntingan dengan berbagai sudut, mulai
dari 45 hingga 360o (Jackson, 2004)
Faktor Penyebab:
- Instabilitas uterus hewan;
- Pergerakan fetus yang tinggi;
- Ukuran fetus yang terlalu besar;
- Lemahnya tonus otot uterus;
- Hewan terjatuh atau terpleset
(Divers dan Peek, 2007; Noakes et al., 2001)

Proses : Terjadi perputaran uterus pada sumbu longitudinal yang disebabkan


oleh berbagai faktor. Kebanyakan kasus torsi uteri berputar ke arah yang
berlawanan dengan arah jarum jam (Noakes et al., 2001).

Ciri Spesifik : - Hewan gelisah; - Tahap kelahiran yang tidak segera


melanjutkan ke tahap kedua; - Anoreksia; - Konstipasi; - Takikardi. (Noakes et
al., 2001)

Cara pemeriksaan: Palpasi per-vaginal didapati posisi abnormal pada jalur


kelahiran induk, tangan tidak bisa menemukan dan melewati anterior serviks.
Bagian vagina menyempit dan teraba bentukan berpilin (Jackson, 2004)

Penanganan : - Rotasi fetus melalui vagina dengan merotasi fetus ke arah yang
berlawanan dengan torsi uterus menggunakan tangan melalui serviks; - Rotasi
tubuh sapi dengan metode “rolling” dengan cara merotasikan tubuh fetus
searah dengan torsi; - Laparotomi yang dilakukan pada sapi yang berdiri, pada
sesbelah kiri atau kanan fossa sublumbar. Manipulasi dilakukan dengan
merotasi uterus secara intraabdominal

2. Bedah
a. Persiapan operasi
b. Fluid therapy
c. Anastesi
d. Teknik operasi laparotomi
e. Perawtan pasca operasi
f. Proses kesembuhan luka
g. Membuat resep terapi dan pencegahan

Anda mungkin juga menyukai