Klement I Bpn-1
Kata orang bijak, hidup itu seperti roda yang berputar. Dalam kehidupan,
terkadang ada badai, bahkan badai yang sangat dahsyat; terkadang juga
tenang dan sangat damai. Tentu, kita semua menginginkan ketenangan,
kedamaian, kestabilan dan kepastian. Itu yang kita harapkan di masa-masa
setelah pandemi ini. Yun. 1:1-17 menyoroti pergulatan nabi Yunus saat
menerima tugas dari Tuhan untuk mewartakan pertobatan kepada orang-orang
di Niniwe. Bagaimana mungkin Tuhan mengutusnya kepada bangsa yang
memusuhi umat-Nya sendiri? Padahal, orang yang jahat meski dihukum!
Demikian kira-kira yang ada dalam pikiran sang nabi saat ia memberontak
untuk menolak perutusan Tuhan. Dalam perjalanan menjauh dari Tuhan itulah,
badai menerjang kapal yang ditumpangi oleh Yunus dan kapal hampir
tenggelam.
Ternyata, pikiran Allah itu bukan pikiran manusia; jalan Allah kadang
berseberangan dengan keinginan manusia. Jalan-Nya adalah kasih dan kasih
ini mengutamakan pengampunan daripada penghukuman. Dalam
perutusannya, Yunus ditantang untuk mengakui Tuhan-nya, Tuhan yang
mengasihi dan mengampuni agar badai yang menerjang kapal dapat menjadi
reda dan penumpang menjadi selamat. Begitupun, di tengah badai kehidupan,
umat beriman diajak untuk mengevangelisasi dirinya dengan mengakui Tuhan
agar mengalami-Nya sebagai Allah yang mengasihi dan mengampuni.
Paroki St. Klement I Bpn-2
Pengantar
Yun 1:1-17 menceritakan awal perjalanan Yunus sebagai seorang nabi. Ia
diutus oleh Tuhan untuk pergi ke kota Niniwe dan menyerukan pertobatan bagi
penduduk kota tersebut. Akan tetapi, ia menolak perutusan itu dengan menjauh dari
Tuhan dan dari tempat ke mana seharusnya ia diutus (1:1-3). Dalam rangka
menjauh itu, Yunus pergi dengan naik kapal (1:4-14), ia dibuang ke laut (1:15-16),
dan ia ditelan seekor ikan besar dan berada di dalam perutnya (1:17–2:10).
Paroki St. Klement I Bpn-3
Untuk memahami cerita dalam Yun 1:1-17, baiklah kita memahami nama kota-
kota yang disebut dalam perikop ini, yaitu Yerusalem, Niniwe, dan Tarsis.
• Yerusalem. Yunus diutus oleh Tuhan ke tanah asing. Meski tidak disebut dalam
Yun 1:1-17, dapat dipastikan bahwa ketika diutus untuk pertama kalinya, Yunus
berada di Yerusalem. Yerusalem merupakan kota tanah air dari orang-orang
Ibrani yang takut akan Tuhan (1:9). Dari Yerusalem, Yunus turun ke Yafo
(sekarang Tel Aviv) di pantai Laut Tengah. Sejak sekitar tahun 480 SM,
terdapat kapal laut yang berangkat dari pelabuhan Yafo ke arah Spanyol.
• Niniwe. Sekitar abad ke-8 SM, di zaman kerajaan Asyur, Niniwe merupakan
kota terbesar di dunia. Luasnya diperkirakan 500 hektar, “tiga hari perjalanan”
(Yun. 3:2) bila dikelilingi. Sedangkan kota Yerusalem saat itu hanya sekitar 20
hektar. Kota Niniwe berjarak sekitar 1120 km dari Yerusalem ke arah timur-
utara. Untuk pergi ke sana dari arah Yerusalem, orang mesti melewati bukit-
bukit dan padang pasir. Tuhan mengutus Yunus, dari sebuah kota kecil
Yerusalem, untuk pergi ke kota yang besar itu, sebuah ibu kota dari sebuah
kerajaan yang untuk pertama kalinya dalam sejarah menyatukan semua
kerajaan beradab dari Mesir hingga Arabia, Teluk Persia, dan Armenia.
• Tarsis. Kemungkinan kota Tarsis terletak di ujung selatan barat dari
Yerusalem, di pesisir Spanyol sekarang. Jaraknya dari Yerusalem sekitar 5300
km. Jadi, Tarsis adalah tempat paling jauh yang berseberangan dengan Niniwe,
tempat Yunus diutus untuk pergi. Nama Tarsis bisa berarti “peleburan logam”.
Di kota itu para pedagang menukarkan “perak, besi, timah putih, dan timah
hitam” (Yeh. 27:12). Menurut Yes. 66:19, Tarsis adalah kota di mana
penduduknya belum pernah mendengar tentang Allah Israel, Allah-nya Yunus.
Cerita dalam Yun 1:1-17 terjadi dalam dua adegan. Adegan pertama (1:1-3)
mengetengahkan Tuhan dan Yunus; sedangkan tempat terjadinya cerita adalah di
jalan menuju Yafo. Adegan kedua (1:14-16) menampilkan tokoh-tokoh: Tuhan,
Yunus, awak kapal, dan nakhoda; cerita terjadi di dalam kapal di atas laut.
Pendalaman Bacaan
Diutus dan Melarikan Diri (ay. 1-3)
Pernyataan dalam Yun. 1:1, “Datanglah firman Tuhan kepada Yunus”,
menegaskan bahwa Yunus adalah seorang nabi. Gambaran Yunus sebagai nabi
dapat ditelusuri dari arti namanya dan nama orang tuanya (“bin Amitai”, lih. 2Raj.
14:25). Kata Ibrani yônâ berarti “burung merpati”. Dalam Kitab Suci, burung merpati
mempunyai karakter: mencari tempat yang aman di atas gunung (Yeh. 7:16; Mzm.
55:6-8) dan mengaduh (Nah. 2:8; Yes. 38:14; 59:11). Di lain pihak, Yunus adalah
“bin Amitai”, yang artinya “putera kebenaranku”.
Tuhan memberi perintah kepada Yunus: “Bangunlah, pergilah ke Niniwe…
berserulah” (Yun 1:2). Inilah misi yang mesti Yunus lakukan. Yunus tidak hanya
diminta untuk pergi dan menyampaikan firman Tuhan seperti para nabi lainnya,
namun ia mesti melakukan perutusan itu di Niniwe, kota musuh dari bangsanya
sendiri. Di sana, ia diperintah untuk mewartakan pertobatan: “berserulah… karena
kejahatannya sampai kepada-Ku”.
Terjadi ironi antara perintah Tuhan “bangunlah, pergilah” dan jawaban Yunus
“bersiap untuk melarikan diri” (Yun 1:3). Bukannya ke Niniwe, Yunus malah pergi ke
arah yang bersebrangan, yaitu ke Tarsis. Dengan melarikan diri ke Tarsis, Yunus
Paroki St. Klement I Bpn-4
menjauhkan diri, mungkin secara rohani dan fisik, dari Tuhan dan dari Niniwe.
Alasan Yunus melarikan diri tidak diceritakan secara jelas. Ketika Tuhan
menyebut kejahatan manusia dan manusia tidak mau bertobat, maka salah satu
yang ada dalam benak orang beriman saat itu adalah bahwa Tuhan akan
membalas kejahatan dengan hukuman sehingga terjadilah keadilan. Dapat terjadi
bahwa Yunus lari ke arah yang berseberangan dengan arah perutusannya karena ia
tidak ingin menjadi alat dari kemurkaan Allah yang akan menghukum kota pendosa;
seakan ia tidak mau terlibat dalam rencana Tuhan untuk mengadili kota yang
menguasai dunia pada waktu itu. Dalam kitab nabi-nabi lain, Kerajaan Asyur dengan
Niniwe sebagai ibu kotanya dikenal sebagai bangsa yang menindas Israel (lih. Yes.
9:3; 14:25) dan yang penuh dengan kejahatan dan dursila (lih. Nah. 1:11; 2:1; 3:19),
serta pertengkaran dan perampasan (lih. Nah. 3:1).
Di ayat 3, terdapat kata dalam Bahasa Ibrani yrd (“turun”) yang
menggambarkan bagaimana Yunus melarikan diri: Yunus “pergi (turun) ke Yafo...
naik (turun ke) kapal”. Kata ini ditemukan lagi dalam 1:5, “Yunus telah turun ke
dalam ruang kapal yang paling bawah… lalu tidur dengan nyenyak”. Semestinya,
nabi yang benar itu selalu siap melayani Tuhan (lih. 1Raj. 17:1), akan tetapi Yunus
melarikan diri dengan mencari tempat yang aman untuk bersembunyi. Dalam
mencari kenyamanan, bila burung merpati cenderung mencari tempat di ketinggian,
sebaliknya Yunus mencari tempat yang paling bawah, dalam ruang kapal yang paling
bawah (1:5), bahkan di dalam perut ikan di dalam laut (1:17).
kapal hampir karam, ialah yang terlebih dahulu mengambil inisiatif, tidak hanya
untuk menyelamatkan kapal dan penumpangnya, namun terutama memanggil Yang
Ilahi. Sementara sang nabi malah seperti orang yang tidak memiliki harapan lagi
untuk hidup, tidak peduli dengan situasi yang menerpa, apalagi berdoa kepada
Tuhan untuk menyelamatkan. Nampaknya, sang nakhoda lebih beriman ketimbang
Yunus.
Ketiga, dalam arti apa awak kapal memahami perkataan Yunus: “aku takut
akan TUHAN, Allah yang empunya langit, yang telah menjadikan lautan dan
daratan?” Yunus mengakui Allahnya sebagai Pencipta, Penguasa dari segala
ciptaan-Nya. Allah menciptakan tiga komponen dalam alam semesta sebagaimana
tertulis dalam Kel. 20:11, “Sebab enam hari lamanya TUHAN menjadikan langit dan
bumi, laut dan segala isinya, dan Ia berhenti pada hari ketujuh.” Inti dari pertanyaan
awak kapal dijawab oleh Yunus dengan menekankan kekuasaan Allah sebagai
pencipta alam.
Dari “takut”nya Yunus bergeser ke “takut”nya para awak kapal:
Mereka“menjadi sangat takut” (Yun. 1:10a). Takutnyamerekaberhubungan dengan
pernyataan tentang Tuhan yang baru saja dikatakan oleh Yunus. Dari apa yang
dikatakan Yunus tersebut, mereka tahu bahwa Yunus “melarikan diri, jauh dari
hadapan TUHAN” (ay. 10c). Inilah penyebab badai! Dalam hal ini, ketakutan Yunus
adalah takut akan Tuhan, bukan takut karena badai, jadi ia sedang pergi menjauh
dari Allahnya.
Allahnya Yunus adalah Penguasa laut, dan Yunus sedang bertengkar
dengan-Nya. Karena itu, ketika para awak kapal menanyakan apa yang harus
mereka buat sehubungan dengan Yunus supaya laut tidak mengamuk lagi, sang nabi
meminta mereka supaya membuangnya ke laut (ay. 11-12). Permintaan Yunus ini
menandakan perubahan dalam kesadarannya: sekarang ia siap menerima
pengadilan Tuhan karena ketidaktaatannya dan ingin membayarnya dengan
hidupnya. Namun yang masih menjadi pertanyaan adalah: Apakah kesiapannya
untuk menjadi korban ini karena ingin menyelamatkan hidup para awak kapal atau
karena ia ingin mati? Besar kemungkinan bahwa bagi Yunus bisa dikatakan
demikian: Lebih baik mati daripada masuk dalam rencana Allah untuk
mempertobatkan Niniwe!
Sebelum para awak kapal membuang Yunus ke laut, mereka masih berusaha
“dengan sekuat tenaga untuk membawa kapal itu kembali ke darat, tetapi mereka tidak
sanggup” (ay. 13). Mereka lebih memikirkan keselamatan bersama ketimbang segera
menyingkirkan orang yang dianggap sebagai penyebab badai. Kegagalan mereka
untuk sampai ke darat mendorong mereka untuk berseru kepada Tuhan, Allahnya
Yunus (ay. 14). Di sini ditemukan lagi hal yang kontras: sementara nabi menolak
untuk berdialog dengan Allahnya, para awak kapal yang tidak mengenal Tuhan
memohon kepada-Nya, bahkan mereka menyerukan nama Tuhan. Dalam
permohonan mereka, para awak kapal menyerahkan diri pada kehendak Tuhan
(“sebab Engkau, Tuhan, telah berbuat seperti yang Engkau kehendaki”) dan
menjelaskan ketakutan mereka akan dosa (“janganlah kiranya Engkau biarkan kami
binasa karena nyawa orang ini dan janganlah Engkau tanggungkan kepada kami
darah orang yang tidak bersalah”). Sekali lagi, sementara sang nabi melarikan diri
untuk menghindari kehendak Tuhan atas dirinya, para awak kapal malah mencari
kehendak-Nya dan keselamatan dari-Nya.
tama dibuang. Peranan para awak kapal aktif, yaitu berdoa dan membuang,
sementara peranan Yunus pasif dengan penuh kesadaran membiarkan diri dibuang.
Laut berhenti mengamuk adalah jawaban Tuhan. Sampai di sini, muncul
pertanyaan: Siapakah sebenarnya yang menjadi alat Allah? Yunus seorang nabi
Allah atau para awak kapal yang baru saja mengenal Tuhan?
Setelah laut tenang, reaksi para awak kapal adalah “sangat takut kepada
Tuhan, lalu mempersembahkan korban sembelihan bagi Tuhan serta mengikrarkan
nazar” (ay. 16). Menghadapi bahaya angin ribut, dikatakan bahwa mereka [hanya]
“takut” (ay. 5). Akan tetapi ketika berhadapan dengan Tuhan, mereka “sangat takut”
(ay. 10, 16). Tuhan lebih membuat takut ketimbang bahaya yang mengancam
kehidupan.
Di hadapan Yang Ilahi, rangkaian tindakan para awak kapal sangat menarik
untuk diperhatikan: dari berteriak kepada allah mereka (ay. 5a) dan membuang undi
(ay. 7), lalu berseru kepada Tuhan (ay. 14), mempersembahkan korban dan
mengikrarkan nazar kepada-Nya (ay. 16). Namun yang perlu digarisbawahi adalah
bahwa para awak kapal mengenal Tuhan karena pengakuan Yunus; atau pengakuan
Yunus akan Tuhan membuat awak kapal mengenal-Nya (ay. 9). Para awak kapal
mengenal Allah dan bertobat karena pengakuan sang nabi yang kenyataannya
sedang menjauhi Allah.
Penjelasan di atas memberi insiprasi bahwa yang dapat dilakukan oleh orang
beriman saat badai krisis kehidupan menerpa dirinya adalah berseru kepada Tuhan,
takut akan Tuhan, membuang ‘beban-beban dosa’ untuk meringankan kapal
kehidupan, dan memercayai keterlibatan dan kuasa Tuhan. Tuhan berkuasa atas
daratan dan lautan; Ia juga berkuasa untuk mengubah badai menjadi tenang.
Di tengah badai krisis, Yunus sungguh ditantang untuk dapat takluk kepada
kehendak Tuhan. Para awak kapal mengingatkan dan mengajaknya untuk berseru
kepada Tuhan agar mereka semua selamat. Inilah tindakan evangelisasi. Seorang
nabi pun mesti terus menerus diingatkan untuk melakukan perannya secara benar.
Meskipun kita terkadang berada dalam situasi badai mengalami masalah penyakit,
ekonomi, ketidakadilan, diskriminasi, dll kita semua dipanggil untuk menjadi nabi,
bukan hanya duduk dalam keterpurukan meratapi nasib tanpa harapan. Bahkan,
berusaha untuk keluar dari keterpurukan, itupun sudah berjalan sebagai nabi. Di
satu sisi, kita diutus mewartakan kebenaran firman Tuhan, di lain sisi kita membuka
telinga, pikiran, hati, dan kehendak untuk terus menerus diperbarui dan diingatkan
oleh Tuhan melalui firman-Nya dan sesama agar kita dapat berperan secara benar
sebagai nabi-nabi Allah yang pengasih dan penyayang.
Evangelisasi diri mesti terus menerus dilakukan agar kita semakin menjadi
nabi yang benar yang memiliki suara hati dari Tuhan sendiri dan bukan nabi palsu.
Tuhan Allah yang pengasih dan penyayang ini ditemukan dalam kehendak-Nya yang
mengutus Yunus sebagai nabi untuk mempertobatkan orang-orang berdosa di Niniwe.
Meski penduduk kota itu jahat, namun Tuhan tidak mau begitu saja menghukum
mereka. Tuhan mengedepankan pengampunan. Benar bahwa “Allah adalah kasih”
(1Yoh. 4:16). Allah yang pengasih dan penyayang seperti inilah yang dalam
evangelisasi diri hendaknya mengisi suara hati dan tindakan umat beriman di zaman
ini. Sebagai nabi, kita menghidupi dua hal, yaitu pertama kasih Allah dan kedua
menjadi nabi kasih-Nya itu.