Anda di halaman 1dari 14

Analisis Interaksi Bawaslu dan Partai Politik

dalam Menangani Hoax Pemilu


Dosen Pengampu:
M. Fazrulzaman Azmi, S.Ipol., M.Si
Mata Kuliah:
Penyelenggara Pemilu/Institusi Politik

Arifka Brilliana 170810210040


Devia Riyani 170810210002
Rangga Wardana 170810210043
Parisya Salma 170810210007
Pradita Aulia Rahma 170810210011

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2023
Pendahuluan
Pada tahun 2024 mendatang, Indonesia sebagai negara demokratis akan
mengadakan Pemilu yang akan menorehkan sejarah baru dimana dalam
proses penyelenggaraan Pemilu kali ini akan diadakan penyelenggaraan
pemilu, pemilihan presiden, dan pilkada digelar secara serentak. Seperti yang
telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), penyelenggaraan
pemungutan suara pemilihan presiden, serta pemilihan anggota DPD, DPR,
DPRD I dan II, digelar pada 14 Februari 2024. Sementara pemilihan kepala
daerah digelar secara serentak pada November 2024. Tentunya hal ini
menjadikan Pemilu 2024 di Indonesia akan menjadi salah satu pemilu yang
paling signifikan dalam sejarah negara ini. Pemilu merupakan kontestasi
politik yang dapat dikatakan sebagai momen yang krusial bagi setiap negara
demokratis,di mana masyarakat berhak untuk memberikan suara dan memilih
pemimpin yang akan mewakili mereka. Pemilu memberikan kesempatan
kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam proses politik dengan
memberikan suara mereka. Melalui pemilu, setiap warga negara memiliki hak
yang sama untuk memilih pemimpin dan mewakili kepentingan mereka.
Dalam konteks demokrasi modern, pemilu sering kali menjadi ajang vital
dalam menentukan perwakilan politik suatu negara. Namun, peranannya yang
penting juga membuat pemilu banyak menghadapi tantangan dalam proses
penyelenggaraannya. Salah satunya adalah penyebaran informasi palsu atau
hoax. Dalam beberapa tahun terakhir, penyebaran hoax atau informasi palsu
telah menjadi tantangan serius dalam konteks pemilu. Hoax dalam konteks
pemilu merujuk pada penyebaran informasi palsu atau menyesatkan yang
bertujuan untuk mempengaruhi pendapat publik, menciptakan kebingungan,
atau memanipulasi hasil pemilu. Hoax dalam pemilu dapat muncul dalam
berbagai bentuk, termasuk dalam bentuk artikel palsu, gambar atau video
yang diubah, pernyataan palsu yang dikaitkan dengan calon atau partai
politik, dan pesan atau informasi yang disebarkan melalui media sosial.Hal ini
tentunya dapat mengganggu integritas pemilu, mempengaruhi persepsi publik,
memicu konflik sosial dan bahkan menciptakan ketidakstabilan politik. Pada
pemilu terakhir, tercatat adanya peningkatan signifikan dalam penyebaran
dan dampak hoax pemilu di media sosial dan platform digital. Hoax-hoax ini
seringkali menyesatkan pemilih, menciptakan kebingungan, dan merusak
kepercayaan publik terhadap proses pemilihan.
Dalam konteks Indonesia, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu)
berperan penting dalam mengawasi dan mengatasi masalah ini. Bawaslu
sebagai lembaga independen di Indonesia yang bertanggung jawab untuk
mengawasi dan menegakkan hukum terkait pemilihan umum. Peran utama
Bawaslu adalah memastikan penyelenggaraan pemilu berlangsung secara
jujur, adil, dan demokratis. Bawaslu memiliki tugas dan wewenang untuk
mengawasi segala bentuk pelanggaran hukum yang terkait dengan pemilihan
umum, termasuk kasus-kasus hoax atau informasi palsu yang berkaitan
dengan pemilu. Namun, menghadapi Pemilu 2024, tantangan penyebaran
hoax diprediksi akan semakin kompleks dan meluas. Dengan kemajuan
teknologi , taktik baru yang digunakan oleh pelaku penyebar hoax, dan
keterlibatan aktor-aktor yang tidak bertanggung jawab, Bawaslu harus
mampu menghadapi tuntutan untuk terus mengembangkan strategi yang
adaptif dan efektif. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang akan
dibahas dalam artikel ini adalah mengenai peranan dan strategi dari Bawaslu
sebagai lembaga independen penyelenggara pemilu dalam mengawasi dan
menghadapi hoax menjelang pemilu 2024 dengan studi kasus Bawaslu Kota
Cimahi.
Hoax dalam Pemilu
Hoax atau berita, kabar, informasi yang bohong atau palsu ini merupakan
berita maupun informasi palsu yang biasanya tersebar melalui media sosial.
Sedangkan dalam KBBI disebut dengan hoaks yang artinya berita bohong.
Hoax sering kali disebar melalui media sosial, pesan teks, email, atau platform
komunikasi lainnya. Maksud dari penyebaran hoax bisa bermacam-macam,
seperti untuk menciptakan kebingungan, menyebarkan ketakutan,
mempengaruhi opini publik, atau mencemarkan reputasi seseorang atau
suatu kelompok, dan juga untuk bersenang-senang yang menguji kecerdasan
dan kecermatan pengguna internet dan media sosial. Perkembangan zaman
yang begitu cepat membuat telepon pintar menjadi salah satu hal tak lepas
dari genggaman manusia, tetapi hal tersebut menimbulkan hal negatif di
dalam nya seperti penyebaran hoax dan itu dapat tersebar dengan sangat
cepat. Lalu tanpa disadari penyebaran berita palsu tersebut berdampak besar
bagi masyarakat luas dan masyarakat dapat dengan mudahnya menganggap
berita tersebut benar.
Ciri-ciri sebuah hoax dapat meliputi:
1. Sumber berita tidak dapat dipercaya dan tidak jelas: Hoax sering kali
tidak memiliki sumber yang dapat diverifikasi atau mengutip sumber
yang tidak jelas atau tidak terpercaya.
2. Lemahnya bukti: Hoax seringkali tidak didukung oleh bukti yang kuat
atau hanya mengandalkan klaim tanpa dasar yang jelas.
3. Menyerang psikologis dengan menyebarkan emosi atau ketakutan: Hoax
sering kali dirancang untuk memanfaatkan emosi atau ketakutan orang,
dengan tujuan menghasilkan reaksi yang kuat atau memperoleh
perhatian yang lebih besar.
4. Adanya kesalahan faktual atau bahkan cacat logika: Hoax seringkali
mengandung kesalahan faktual yang mudah dikenali atau memiliki
logika yang tidak konsisten.
5. Sulit diverifikasi kebenarannya: Hoax seringkali sulit untuk diverifikasi
kebenarannya karena informasi yang diberikan tidak dapat diverifikasi
atau tidak ada sumber yang dapat dipercaya yang dapat memvalidasi
klaim tersebut.
Hoax dalam konteks pemilu mengacu pada penyebaran informasi palsu atau
tidak benar yang bertujuan untuk mempengaruhi pandangan dan keputusan
pemilih, mencemarkan reputasi calon atau partai politik, atau menciptakan
kekacauan dan ketidakstabilan selama proses pemilu. Hoax dalam pemilu bisa
menjadi ancaman serius karena dapat mempengaruhi integritas, keadilan, dan
akuntabilitas pemilu, serta mengganggu proses demokrasi secara
keseluruhan. Beberapa contoh hoax yang sering terjadi pada saat
penyelenggaraan pemilu adalah:
1. Pernyataan palsu tentang calon atau partai politik: Hoax sering kali
menciptakan narasi palsu tentang calon atau partai politik untuk
mencemarkan reputasi mereka atau menggambarkan mereka dalam sisi
negatif yang tidak disukai oleh masyarakat
2. Data pemilih yang palsu: Hoax bisa mencakup penyebaran data pemilih
palsu atau tidak valid untuk menciptakan kebingungan hingga pada
akhirnya dapat mempengaruhi hasil pemilu.
3. Hasil pemilu palsu: Hoax dapat menyebarkan hasil pemilu palsu untuk
mempengaruhi pandangan pemilih, baik dengan cara mengklaim
kemenangan calon tertentu sebelum hasil resmi diumumkan atau
menyebarluaskan klaim kecurangan pemilu yang tidak berdasar.
4. Berita palsu tentang pemilu: Berita palsu atau artikel yang menyesatkan
baik mengenai aturan, lembaga, bahkan kandidat calon dalam pemilu
dapat menyesatkan pemilih dan menyebabkan kebingungan yang
signifikan.
5. Penyebaran foto dan video palsu: Hoax dalam bentuk foto atau video
yang telah dipalsukan dapat digunakan untuk mempengaruhi persepsi
publik tentang suatu kejadian atau kandidat.
Maraknya berita palsu atau hoax ini menjadi perhatian pemerintah, pasalnya
hoax yang penyebarannya begitu cepat ini tentu saja memberikan dampak
besar khususnya dampak yang buruk, pemerintah pun tak diam dan
melakukan berbagai cara seperti maklumat agar dilakukan evaluasi terhadap
media daring yang sengaja memproduksi berita bohong tanpa sumber yang
jelas, dengan judul provokatif dan mengandung fitnah. Menjelang pemilu tak
jarang hoax semakin merajalela, hal itu sengaja dilakukan dengan tujuan
untuk memprovokasi satu sama lain, dampak hoax terhadap pelaksanaan
pemilu ini akan berdampak buruk khususnya bagi calon pemilih yang
kemudian menjadi bingung bahkan merusak akal sehat para pemilih, dampak
buruk lain nya juga dapat mendelegitimasi proses penyelenggaraan pemilu,
dan lebih parah lagi, mampu merusak kerukunan masyarakat yang mengarah
ke disintegrasi bangsa, bagi para calon yang kemudian hari menjadi pilihan
masyarakat, itu juga memberikan mereka dampak yang buruk dengan
pencemaran nama baik mereka di berita palsu atau hoaks tersebut membuat
masyarakat meragukan calon tersebut dan membuatnya menjadi dihindari
sebagai pilihan di pemilu mendatang.
Kasus Hoax partai Peserta Pemilu
1. Kasus Hoax terhadap Partai Hanura
Menurut hasil wawancara dari salah satu anggota Partai Hanura, Dadang
Darmawan, bidang Wakil Ketua bidang organisasi kaderisasi dan
keanggotaan menyebutkan telah menghadapi berbagai kasus hoax yang
menimpa Partai Hanura. Misalnya, sebuah video viral di dunia maya yang
memperlihatkan Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang,
memberikan dukungan kepada Anies Baswedan sebagai calon Presiden
pada Pilpres 2024. Namun, Kodrat Shah, Sekjen DPP Hanura, tidak
membenarkan kabar tersebut dan menyebutnya sebagai ‘hoaks.’ Video
tersebut dikatakan hanya berbicara tentang perlunya pemimpin yang akan
melanjutkan kerja dan program positif dari pemimpin periode sebelumnya,
dan perlunya pemimpin nasional bekerja sama dengan daerah. Menurut
video tersebut, tertulis kalimat provokatif “Resmi | DPK Hanura
mendeklarasikan Anies sebagai calon Presiden”.
Contoh lain, beredar kabar hoax secara online tentang kedatangan Ahok
pada Munas Reformasi Nasional Partai Hanura di Bali pada 4-5 Agustus
2019. Berita tersebut memuat foto memperlihatkan Presiden Joko widodo,
Wiranto, dan beberapa pejabat Hanura keluar dari panggung. Akan tetapi,
bukan itu yang disorot. Sebuah postingan media sosial, seseorang menulis,
“Lihat foto di sebelah kiri. Seseorang yang sangat dikenali. hmm luar biasa.”
Postingan tersebut dikatakan hoax karena foto tersebut sebenarnya adalah
foto tahun 2017 memperingati acara Pelantikan Pengurus Partai Hanura
2016-2020 di Sentul, Bogor.
Berita hoax berikutnya, yaitu menurut akun Facebook bernama Erwin
Demokrat, foto Kepala Kantor Staf Kepresidenan, Moeldoko, diunggah dan
disertai tulisan “Jaket Hanura untuk Pak Moeldoko.” Erwin Demokrat
melanjutkan dengan mengatakan bahwa "Pak Moeldoko akan menggunakan
segala cara yang diperlukan untuk memenangkan kursi ketua partai
Demokrat." Setelah dilakukan penelusuran, Moeldoko berhenti menjadi
kader Partai Hanura sejak 2018 karena ingin berkonsentrasi pada tugasnya
sebagai Kepala Kantor Staf Kepresidenan pada Januari 2018. Oleh karena
itu, klaim Erwin Demokrat bahwa Moeldoko adalah kader partai Hanura
masuk dalam kategori “misleading content”.
2. Kasus Hoax terhadap Partai PKS
Menurut hasil wawancara dari salah satu anggota Partai PKS, menyatakan
bahwa kasus hoax yang paling banyak terjadi berkaitan dengan unsur
agama. PKS dianggap tidak menganut Pancasila. Ditambah dengan
interpretasi bahwa tidak menganut Pancasila berarti komunis itu
disampaikan oleh salah satu anggota DPRD, Hidayat Nur Wahid. Namun
setelahnya hal tersebut itu diverifikasi hoax oleh Kominfo. Mengenai hal ini,
kadang-kadang masyarakat secara langsung melakukan stigmatisasi bahwa
sebuah partai islam tidak berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Namun,
kenyataannya tidak demikian sebagaimana yang tertuang dalam AD/ART
PKS, walaupun berlandaskan islam tapi tetap mengakui UUD 1945 itu
adalah aturan yang apa aturan tertinggi dan Pancasila sebagai ideologi
bangsa.
Kasus hoax berikutnya, beredarnya kasus di berbagai platform media sosial
Facebook bahwa pembunuhan Sukardi bersifat politis, seperti yang tertera
dalam postingan bahwa Sukardi adalah relawan PKS dari Desa Kalipapan di
Kecamatan Negeri agung, Kabupaten Way Kanan, dan juga anggota KPPS.
Sukardi meninggal dengan dugaan berkaitan hasil pemilu 2019. Namun,
menurut keterangan Kapolres Way Kanan, AKBP Andy siswantoro
menjelaskan kematian Sukardi murni kasus pembunuhan kriminal dan
tidak ada hubungannya dengan politik ataupun pemilu 2019, karena
Sukardi anggota KPPS, sehingga tidak relevan apabila dirinya juga menjadi
anggota partai (Kominfo, 2022).
Sikap Partai dalam Menghadapi Hoax
Media sosial sering digunakan untuk kepentingan politik oleh sebagian
orang dalam meraih simpati masyarakat umum. Media sosial seharusnya
digunakan sebagai alat literasi agar rakyat dapat memahami politik serta
hak dan kewajibannya di arena politik, namun sebagian masyarakat
menggunakan media sosial sebagai alat propaganda dan provokasi politik
untuk menumpas lawan politik. Hoax politik adalah bentuk berita palsu
tentang politik yang digunakan sebagai bentuk propaganda untuk
memanipulasi orang sesuai dengan isi berita. Bentuk kebohongan politik ini
populer di era post-truth.
Post-truth mengacu pada keadaan dimana realita yang terjadi kurang
memberikan pengaruh daripada emosi dan keyakinan dalam membentuk
opini publik. Masalah masyarakat bukanlah bagaimana mendapatkan
berita. Itu adalah ketidakmampuan mereka mencerna informasi/berita yang
benar. Masalahnya terletak pada media informasi alternatif seperti Facebook
atau jejaring sosial lainnya. Menghadapi tahun politik pemilu, peredaran
berita bohong politik telah menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat
dan bangsa. Hate speech terkait suku, agama, ras dan antar golongan
(SARA) dapat merusak keamanan nasional. Jika ketahanan bangsa kita
lemah, maka disintegrasi bangsa akan terjadi. Hal ini mengancam keutuhan
Negara Kesatuan Indonesia.
Perihal ini, berdasarkan hasil wawancara antara kedua partai baik Partai
Hanura maupun PKS Secara garis besar memiliki kesamaan dalam
menyikapi persoalan hoax yang menimpa partai masing-masing, yaitu
seluruh calon anggota DPR maupun DPRD melakukan kegiatan Bimtek
(Bimbingan Teknis) agar dapat mencerminkan segala kebutuhan
masyarakat menjadi sesuatu yang nyata. Selain itu, memberikan pengaruh
positif bagi pelaksanaan visi dan misi, yakni membantu masyarakat yang
tidak mampu dalam bidang kesehatan dan pendidikan, senantiasa
melakukan kegiatan nyata untuk kepentingan masyarakat umum. Bahkan,
dibuatlah suatu tatanan kegiatan yang dilakukan secara rutin setiap bulan
sebanyak 3 kali untuk bertemu dengan masyarakat yang mana dicanangkan
oleh pemerintah untuk mengetahui apa yang menjadi keluhan dan
kekhawatiran masyarakat, seperti persoalan di bidang ekonomi, pendidikan,
dan kesehatan. Inilah yang paling penting bagi seluruh partai politik atau
anggota legislatif.
Disisi lain, Pihak Partai Hanura maupun Partai PKS meyakini adanya
hal-hal terkait kesadaran masyarakat yang berperan dalam mengentaskan
berita hoax, yakni kesadaran operasional dan moral. Kesadaran moral
sangat penting untuk pertumbuhan masyarakat, sebab berbohong dan
menyebarkan kebohongan adalah perbuatan amoral dan tidak ada
pembenaran dalam keyakinan/agama apapun. Kesadaran operasional
merepresentasikan pendidikan tentang penggunaan media digital secara
positif dan memastikan bahwa seluruh elemen baik partai politik maupun
masyarakat umum benar-benar telah memahami, memverifikasi, dan
memvalidasi informasi yang didapatkan sebelum menyebarkannya.
Masing-masing partai pun mengajak masyarakat melalui sosialisasi dan
event kegiatan lainnya untuk memberikan pemahaman dalam mencegah
dan memerangi narasi hoax di sekitarnya. Memulai dari diri pribadi dan
lingkungannya. Kesadaran moral dan operasional adalah upaya kolektif
seluruh elemen masyarakat baik pemerintah, pers, masyarakat sipil, dan
partai politik semuanya dapat berperan menegakkan kampanye ini. Narasi
hoax dapat bergeming selama ada faktual berita yang dipercaya dan
keteguhan akan memperjuangkan kebenaran.
Peran Bawaslu dalam mengatasi Hoax Pemilu dalam Teori Kebijakan
Publik
Pada wawancara yang telah dilakukan, terlihat bagaimana sikap partai
politik dalam mengatasi berita-berita hoax yang diterima. Kedua partai
politik yaitu Partai hanura dan PKS dalam halnya menyikapi berita hoax
tidak menyebutkan bahwa kasus-kasus hoax tersebut dilaporkan kepada
Bawaslu. Badan Pengawas pemilu atau Bawaslu. Padahal, Indonesia sebagai
negara demokratis mempunyai lembaga independen pengawas pemilu yaitu
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yaitu hadir dengan dilengkapi tugas,
wewenang, serta kewajiban yang telah ditentukan. Adanya tugas,
wewenang, dan kewajiban ini telah dicakup dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 mengenai pemilihan umum. Pada dasarnya Bawaslu memiliki
tugas untuk ikut serta menjalankan pemilu dengan melakukan pengawasan
yang mencakup asas luber jurdil, hal ini menjadikan tugas instansi Bawaslu
adalah menyusun perencanaan standar tata laksana dalam penyelenggara
pemilu untuk mengawasi pemilu di setiap tingkatannya.Bawaslu memiliki
tugas untuk mencegah adanya kecurangan seperti persebaran berita hoax
dan juga politik uang. Bawaslu juga bertugas mencegah dan menindak
terhadap hal yang menyangkut pelanggaran pemilu dan sengketa proses
pemilu. Bawaslu juga bertugas untuk mengawasi persiapan penyelenggaran
pemilu yang mencakup; perencanaan dan penetapan jadwal tahapan
pemilu, sosialisasi penyelenggaraan pemilu, dan persiapan lainnya sesuai
dengan perundangan yang ditetapkan. Selain bertugas pada persiapan dan
perancangan, bawaslu juga bertugas pada pelaksanaan penyelenggaraan
pemilu serta melakukan evaluasi setelah berlangsungnya penyelenggaraan
pemilu.
Dalam konteks Bawaslu dan partai politik, teori kebijakan publik dapat
digunakan untuk menganalisis bagaimana kedua entitas ini
mengimplementasikan kebijakan publik yang mengatur tentang penyebaran
berita bohong atau hoax yang tertuang dalam Pasal 28 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) melarang: Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan
kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Dalam adanya kasus hoax
yang menimpa para peserta pemilu baik itu partai politik ataupun calon
kandidat maka seharusnya Bawaslu, yang merupakan lembaga pengawas
pemilu, menjadi lembaga utama yang dituju untuk dapat menyelesaikan
kasus tersebut. Peran Bawaslu dalam menangani kasus hoax Pemilu dapat
mencakup hal-hal berikut:
1. Pencermatan dan Pengawasan: Bawaslu memantau media sosial, situs
web, dan berbagai platform komunikasi lainnya untuk mendeteksi dan
memonitor penyebaran konten hoax yang berkaitan dengan pemilu.
2. Investigasi: Bawaslu melakukan investigasi atas laporan atau temuan
adanya konten hoax yang dapat mempengaruhi integritas pemilu. Jika
ditemukan bukti adanya pelanggaran, mereka dapat melakukan
tindakan tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
3. Pendidikan dan Sosialisasi: Selain melakukan tindakan pencegahan,
Bawaslu juga melakukan kampanye sosialisasi untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang bahaya hoax dan pentingnya berbagi
informasi yang akurat dan terverifikasi.
4. Kerjasama dengan Pihak Terkait: Bawaslu juga bekerja sama dengan
pihak-pihak terkait seperti lembaga penegak hukum, media massa, dan
platform media sosial untuk memperkuat upaya penanggulangan
penyebaran hoax.
5. Penegakan Hukum: Bawaslu memiliki kewenangan untuk menindak
pelanggaran hukum yang terkait dengan pemilu, termasuk penyebaran
hoax yang bertujuan untuk mempengaruhi opini publik dan hasil
pemilu
Akan tetapi, dari pihak partai politik jarang sekali ada yang melaporkan
kasus-kasus hoax yang menimpa partai mereka kepada Bawaslu. Sehingga
pada akhirnya tidak ada interaksi yang terjalin antara Bawaslu dan Partai
Politik dalam hal pengawasan dan penindaklanjutan kasus-kasus hoax yang
terjadi. Bawaslu sebagai lembaga pengawasan juga pada akhirnya tidak
menjalankan apa yang menjadi peran dan fungsi mereka dengan maksimal.
Dalam hal ini setidaknya terdapat beberapa alasan yang mendasari tidak
dilaporkannya kasus hoax kepada bawaslu:
1. Tidak adanya kewajiban: Partai politik tidak memiliki kewajiban hukum
untuk melaporkan kasus hoax ke Bawaslu. Tugas utama Bawaslu
adalah mengawasi proses pemilihan umum dan menangani pelanggaran
terkait pemilu. Hoax, meskipun dapat berdampak pada pemilu, tidak
secara langsung terkait dengan tugas pokok Bawaslu.
2. Prioritas lain: Partai politik memiliki prioritas yang lebih tinggi dalam
menjalankan aktivitas politik mereka. Mereka lebih fokus pada
kampanye, peningkatan basis pemilih, atau pengembangan kebijakan
politik. Sehingga melaporkan kasus hoax ke Bawaslu tidak dianggap
sebagai prioritas yang mendesak bagi mereka.
3. Keterbatasan sumber daya: Partai politik dapat menghadapi
keterbatasan sumber daya, baik dalam hal personel maupun keuangan.
Melaporkan kasus hoax ke Bawaslu bisa membutuhkan waktu, upaya,
dan biaya yang signifikan. Partai politik mungkin memilih untuk
mengalokasikan sumber daya mereka pada hal-hal lain yang dianggap
lebih penting.
4. Perbedaan interpretasi: Terkadang, ada perbedaan interpretasi tentang
apa yang merupakan "hoax" dan apa yang bukan. Apa yang dianggap
sebagai hoax oleh satu pihak mungkin dianggap sebagai pernyataan
politik biasa oleh pihak lain. Partai politik mungkin enggan melaporkan
kasus yang mereka anggap sebagai pernyataan politik sah, meskipun
dapat dipertanyakan kebenarannya.
Bias dalam Pelaporan dan Penanganan Kasus Hoax ke Bawaslu
Dalam proses pelaporan dan penanganan kasus hoax partai politik yang
ditangani oleh bawaslu, terdapat kemungkinan adanya bias dalam proses
tersebut. Ketika Bawaslu menangani kasus hoax atau pelanggaran yang
melibatkan suatu partai politik tertentu, ada risiko persepsi kecondongan atau
keberpihakan yang dapat muncul. Hal ini disebabkan oleh sifat politis dari
konteks tersebut dan interpretasi yang beragam dari masyarakat atau pihak
terkait. Ini dapat menciptakan pandangan negatif dan meragukan
independensi lembaga Bawaslu dan juga pandangan negatif terhadap partai
pelapor yang disinyalir mendapat ‘dukungan’ dari Bawaslu. Hal ini menjadi
kemungkinan salah satu alasan keengganan dari partai politik untuk
melaporkan kasus hoax yang sedang menimpa mereka.
Perlu diketahui bahwa sebagai lembaga independen, Bawaslu memiliki
kewajiban untuk menjalankan tugasnya dengan integritas, objektivitas, dan
independensi. Ini berarti bahwa tindakan dan keputusan yang diambil oleh
Bawaslu haruslah didasarkan pada hukum, bukti, dan fakta yang ada.
Integritas adalah prinsip penting dalam menjalankan tugas-tugas Bawaslu.
Hal ini mencakup kewajiban untuk bertindak sesuai dengan nilai-nilai etika
yang tinggi, menjaga transparansi dalam proses kerja, dan menghindari
konflik kepentingan yang dapat mempengaruhi objektivitas keputusan.
Objektivitas juga sangat penting dalam penanganan kasus hoax atau
pelanggaran lainnya. Bawaslu harus melihat setiap kasus secara netral, tanpa
memihak atau memberikan perlakuan khusus kepada partai politik tertentu.
Ini berarti bahwa semua partai politik harus diperlakukan secara adil dan
setiap pelanggaran harus ditindaklanjuti dengan konsistensi dan berdasarkan
hukum yang berlaku.
Selain itu, independensi Bawaslu juga harus dijaga dengan ketat. Bawaslu
tidak boleh terpengaruh oleh tekanan politik atau intervensi dari pihak-pihak
yang berkepentingan. Kemandirian lembaga harus diperkuat agar dapat
melakukan tugasnya tanpa adanya campur tangan eksternal yang dapat
mempengaruhi proses penanganan kasus. Dengan menjaga integritas,
objektivitas, dan independensi, Bawaslu dapat memastikan bahwa tindakan
dan keputusan yang diambil tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik
tertentu. Hal ini akan membangun kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
ini dan menjaga integritas sistem demokrasi secara keseluruhan.
Tindakan dan keputusan yang diambil oleh Bawaslu harus didasarkan pada
hukum, bukti, dan fakta yang ada, tanpa memihak atau memberikan
perlakuan khusus kepada partai politik tertentu. Untuk meminimalisir
persepsi persepsi kecondongan atau keberpihakan, Bawaslu harus dapat
menjalankan beberapa prinsip untuk mempertahankan independensinya
sebagai lembaga penyelenggara pemilu, antara lain:
1. Adanya transparansi dan komunikasi yang jelas: Bawaslu harus
berkomunikasi secara terbuka dan transparan kepada publik mengenai
kasus yang ditangani, proses penanganan, dan alasan di balik
keputusan yang diambil. Dengan memberikan informasi yang jelas,
Bawaslu dapat mengurangi ruang interpretasi yang dapat menimbulkan
persepsi keberpihakan.
2. Penguatan independensi dan netralitas: Bawaslu harus menjaga
independensinya sebagai lembaga pengawas pemilihan umum. Anggota
Bawaslu haruslah terdiri dari orang-orang yang profesional, tidak
memiliki afiliasi politik yang jelas, dan memiliki integritas yang tinggi.
Keputusan dan tindakan yang diambil harus didasarkan pada fakta,
bukti, dan ketentuan hukum yang berlaku.
3. Konsistensi: Bawaslu harus konsisten dalam penanganan kasus, tidak
memandang dari segi partai politik yang terlibat. Penilaian harus
didasarkan pada kepatuhan terhadap hukum dan keadilan, tanpa
pandang bulu terhadap partai politik tertentu.
4. Berkolaborasi dengan pihak lain: Bawaslu dapat bekerja sama dengan
lembaga pemantau pemilihan umum atau lembaga independen lainnya
untuk memastikan proses penanganan kasus yang adil dan objektif.
5. Pengawasan dan Pertanggungjawaban: Bawaslu harus menjalankan
sistem pengawasan internal dan eksternal yang ketat untuk memastikan
bahwa tindakan dan keputusan yang diambil sesuai dengan
prinsip-prinsip independensi dan integritas. Bawaslu juga harus terbuka
terhadap mekanisme pertanggungjawaban dan pengawasan publik.
Penutup
Dalam kontestasi pemilu di Indonesia, partai politik beserta Bawaslu sebagai
lembaga politik dan lembaga pengawas memiliki peran yang penting dan
signifikan dalam menjaga menjaga keseimbangan dan integritas sistem politik
dan sosial. Partai politik bertanggung jawab untuk memperkenalkan
demokrasi, menghormati hukum, dan memberikan kontribusi positif bagi
masyarakat. Dalam konteks ini, melaporkan kasus hoax ke Bawaslu menjadi
bagian dari tanggung jawab partai politik untuk dapat memastikan adanya
transparansi dan kejujuran dalam proses politik dan pemilihan umum. Hal ini
didasari dari kesadaran bahwa melaporkan kasus hoax ke Bawaslu akan
membantu menjaga integritas pemilu dengan memastikan bahwa pemilihan
umum berlangsung secara adil, bebas dari manipulasi, dan didasarkan pada
informasi yang akurat serta sebagai bentuk komitmen partai politik dalam
menghormati prinsip kejujuran dan keadilan. Selain itu, penyebaran hoax
dapat memperkuat polarisasi dalam masyarakat dan menyebabkan konflik
politik yang meningkat. Partai politik yang melaporkan kasus hoax kepada
Bawaslu akan membantu mengurangi potensi konflik dengan menghadapi dan
menyaring informasi palsu dan juga menjadi contoh bagi pendukungnya
bahwa partai tersebut serius tentang menjaga integritas pemilihan umum dan
bertanggung jawab atas kesatuan sosial, serta yang utama adalah membantu
memperkuat peran dan kredibilitas dari Bawaslu sendiri. Partai politik
memang sudah seharusnya berperan sebagai mitra dalam mendukung upaya
Bawaslu dalam memerangi penyebaran informasi yang salah atau
menyesatkan karena partai politik dianggap sebagai aktor penting dalam
membangun dan menjaga sistem demokrasi yang sehat.

Daftar Pustaka
Gunanto, D. (2020). Politisasi Birokrasi Dalam Pelaksanaan Pilkada di
Indonesia. Independen, 1(2), 87-94.
Haryanti, A., & Pujilestari, Y. (2019). Fungsi Dan Peran Bawaslu Dalam
Pemilu Sebagai Implementasi Penegakan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan
Umum. Jurnal Surya Kencana Dua Dinamika Masalah Hukum
Dan Keadilan, 6(1).
Kumorotomo, W. (2009). Intervensi parpol, politik uang dan korupsi:
Tantangan kebijakan publik setelah pilkada langsung. Makalah
disajikan dalam Konferensi Administrasi Negara. Surabaya, 15.
Muhtadin, M. (2023). Politik Hukum Partai Politik dan Pemilihan
Umum. AHKAM, 2(2), 210-232.
Siswoko, K. H. (2017). Kebijakan Pemerintah Menangkal Penyebaran
Berita Palsu atau ‘Hoax’. Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora,
dan Seni, 1(1), 13-19.
Susanti, E. (2019). Peran Bawaslu Pada Pelaksanaan Pemilihan
Legislatif Berdasarkan Undang-Undang Pemilu Tahun 2017.
PETITUM, 7(2 Oktober), 117-125.

Anda mungkin juga menyukai