Anda di halaman 1dari 4

Ujaran kebencian (Hate Speech) dan Buzzer dalam

kampanye pemilihan kepala daerah dihubungkan dengan


hak kebebasan berpendapat melalui media sosial

Semenjak dilahirkan, manusia memiliki hak-hak dasar yang disebut sebagai hak asasi
manusia. Hak tersebut melekat pada diri seseorang karena kodratnya sebagai manusia yang
tidak dapat dicabut oleh siapapun. Hak ini berlaku juga bagi mereka yang menjalankan proses
kampanye Pemilihan Umum (Pemilu). Dalam proses kampanye pemilu, setiap peserta
menggunakan hak kebebasan berpendapat dalam berorasi. Hal tersebut dilakukan untuk
meyakinkan masyarakat agar memilih peserta pemilu tersebut. selain itu, kebebasan
berpendapat dalam berorasi juga dapat digunakan untuk menjatuhkan lawan calon peserta
pemilu. Secara umum upaya-upaya seperti ini tidak dapat dihindarkan dalam proses
kampanye pemilu. Dalam kampanye Pilkada, kerap kali ditemukan ujaran kebencian (Hate
Speech) untuk menjatuhkan lawan atau calon lain. Maksud dari hate speech ini dilakukan
agar para pemilih tidak memilih calon yang bersangkutan, Tetapi sampai sekarang belum ada
kasus hate speech yang di bawa ke pengadilan. Namun maraknya ujaran kebencian
berdampak besar dalam proses Pilkada. Perlu disadari bahwa terdapat kemungkinan bahwa
calon kepala daerah menggunakan usaha tidak terpuji ini untuk menjatuhkan lawannya. Tidak
sedikit masyarakat bahkan calon kepala daerah dan pendukungnya beranggapan bahwa
ujaran kebencian adalah bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi dan
merupakan strategi untuk memenangkan kontestasi. Ujaran kebencian tersebut tentu saja
dapat menjadikan seorang calon kepala daerah sebagai pelanggar ketentuan hukum pidana.
Selain merugikan lawan, hal tersebut juga dapat menjadi pedang bermata dua bagi pelaku.
Sangat berbahaya apabila ujaran yang dianggap sebagai hate speech dilakukan dengan tidak
sengaja dan digunakan oleh lawan pelaku untuk dijadikan bahan pelaporan ke pihak berwajib.
Kemungkinan ini sangat besar mengingat belum ada standar yang jelas mengenai ketentuan
hukumnya.
Buzzer merupakan istilah baru sejak media sosial marak digunakan. Buzzer dikenal sebagai
salah satu aktor paling penting dalam penggalangan opini di dunia maya yang menjalankan
fungsi pemasaran untuk menjual sebuah produk. Strategi pemasaran yang diterapkan para
buzzer secara umum, terbagi dua yaitu melalui kampanye negatif dan positif. Hanya saja,
pemakaian istilah buzzer di media sosial cenderung diidentikkan dengan penggunaan strategi
kampanye negatif sehingga membuat istilah tersebut terkesan negatif. Tujuan dari studi ini
adalah untuk mendapatkan gambaran tentang fungsi ganda para buzzer politik melalui media
sosial dalam Pilkada dan Pemilu Indonesia. Hasil studi menyimpulkan bahwa media sosial
merupakan media yang paling efektif digunakan oleh buzzer politik. Profesi sebagai buzzer di
media sosial dianggap cukup menjanjikan karena memiliki penghasilan yang tinggi. Namun
kehadiran buzzer dalam ajang Pilkada dan Pemilu selalu dipandang negatif karena berperan
sebagai marketing yang memperkenalkan branding pasangan calon namun juga menjadi
aktor dalam proses penyebaran black campaign calon pasangan lainnya. Sehingga fenomena
hoaks, ujaran kebencian, fitnah dan kampanye negatif lainnya tumbuh subur akibat
penyebaran pesan-pesan yang dilakukan para buzzer. Kondisi ini semakin diperparah karena
belum adanya aturan yang khusus mengatur tentang cara kerja buzzer politik jika melanggar
aturan karena kegiatan kampanye negatif tadi. Ini juga disebabkan para buzzer ini sebagian
besar memiliki akun anonim yang merahasiakan identitas mereka. Sehingga sulit juga aparat
penegak hukum untuk melacak keberadaan mereka.
Kampanye dalam konteks komunikasi, merupakan segala kegiatan yang bersifat membujuk.
Dalam kampanye terjadi serangkaian tindakan komunikasi yang ditujukan untuk membujuk
sejumlah besar khalayak. Bahkan untuk mencapai efek yang diharapkan, penting sekali untuk
mengenal siapa khalayak, apa yang dinilai penting dan tidak penting oleh khalayak. Dengan
kata lain perlu untuk menggali budaya dari khalayak yang akan dipersuasi (Loisa dan
Setyanto, 2012). Kampanye merupakan bagian penting dalam sebuah perlehatan besar
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) maupun Pemilihan Umum (Pemilu), yang tujuannya untuk
mempengaruhi pemilih. Cangara (2011) menjelaskan bahwa kampanye adalah aktivitas
komunikasi yang ditujukan untuk memengaruhi orang lain agar ia memiliki wawasan, sikap
dan perilaku sesuai dengan kehendak atau keinginan penyebar atau pemberi. Namun dalam
kegiatan kampanye, kampanye negatif hingga black campaign (kampanye hitam) yang tujuan
menjatuhkan pasangan calon lainnya kerap terjadi. Black campaign sendiri bisa diartikan
sebagai kampanye kotor, yakni kampanye untuk menjatuhkan lawan dengan menggunakan
isu negatif yang tidak berdasar. Dahulu kampanye hitam ini juga dikenal sebagai whispering
campaign, yakni kampanye melalui mulut ke mulut, namun sekarang ini kampanye tersebut
mengalami perubahan modus dengan menggunakan media massa sebagai penyebar
informasi. Kini black campaign yang menyudutkan kandidat banyak disebar melalui SMS,
internet dan gosip dari mulut ke mulut. Bahkan dengan perkembangan teknologi informasi
yang makin canggih, lawan politik seseorang dapat direkayasa dalam bentuk foto dan gambar
video amoral (Cangara, 2011). Bahkan sejak fenomena buzzer politik mulai dikenal, dapat
dikatakan bahwa merekalah aktor yang paling bertanggung jawab atas penyebaran black
campaign.

Media sosial juga merupakan media yang paling efektif digunakan oleh buzzer politik. Hampir
semua keberhasilan pemasaran baik umum maupun politik jaman sekarang salah satunya
karena menggunakan media sosial. Karakteristiknya yang unik menjangkau banyak followers
dan berjejaring memudahkan media ini digunakan oleh para buzzer untuk melakukan
pemasaran. Kehadiran buzzer sebagai salah satu aktor kunci dalam pemasaran politik di
media sosial ini tidak dapat dipandang sebelah mata. Karena dalam sejarahnya khusus di
Indonesia, peran buzzer menjadi sangat penting dalam mengantar pasangan calon pemimpin
bangsa menjadi pemenang sekaligus mengalahkan pasangan lain. Saat ini profesi sebagai
buzzer di media sosial dianggap cukup menjanjikan karena memiliki penghasilan yang cukup
tinggi. Sayang sekali kehadiran buzzer dalam ajang Pilkada maupun Pemilu selalu dipandang
negatif. Karena kehadiran buzzer tidak saja semata-mata sebagai marketing yang
memperkenalkan branding pasangan calon namun juga menjadi aktor yang paling
bertanggungjawab dalam proses penyebaran black campaign calon pasangan lainnya. Tidak
heran jika fenomena hoax, ujaran kebencian, fitnah dan kampanye negatif lainnya tumbuh
subur akibat penyebaran pesan-pesan yang dilakukan oleh para buzzer. Kondisi ini semakin
diperparah karena belum adanya aturan yang khusus mengatur tentang cara kerja buzzer
politik jika melanggar aturan karena kegiatan kampanye negatif tadi. Ini juga disebabkan para
buzzer ini sebagian besar memiliki akun anonim (akun siluman) yang merahasiakan identitas
mereka. Sehingga sulit juga aparat penegak hukum untuk melacak keberadaan mereka.
Meski bisa saja, para pelakunya di jerat dengan menggunakan UU Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE), Surat Edaran tentang Ujaran Kebencian atau Peraturan Komisi Pemilihan
Umum tentang larangan menyebarkan kampanye negatif. Meskipun kerja buzzer yang
semakin masif pada Pilkada maupun Pemilu baik secara positif maupun negatif, masyarakat
tetaplah harus memiliki pendirian dalam menetapkan pasangan calon yang diinginkan.
Masyarakat seharusnya tidak terpengaruh dan langsung percaya dengan pesan-pesan
buzzer yang cenderung menjatuhkan pasangan calon tertentu yang pada akhirnya terlibat
dalam konflik antar pendukung calon pasangan yang berkepanjangan di media sosial. Apalagi
hingga terlibat dalam pertikaian dengan menggunakan ujaran kebencian dan membantu
penyebaran hoax dan isu SARA yang menjantuhkan pasangan calon lainnya. Mari menjadi
pemilih dan pendukung yang bijak.

'Literasi Cerdas Bermedia Sosial'


Berita bohong atau hoaks kini banyak bersliweran ditemui sehari-hari. Media sosial dan
grup Whatsapp menjadi salah satu media yang digunakan untuk menyebarkan
berita hoaks. Seiring dengan kemajuan teknologi, hoax juga bermacam-macam bentuknya.
Seperti survey yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) pada tahun
2019. Berita hoax dari tulisan sebanyak 79,7%, foto editan 57,8%, foto dengan caption palsu
66,3%, video editan(dipotong-potong) 45,70%, video dengan caption atau narasi palsu 53,2%,
berita/foto/video lama diposting kembali 69,20%. Selalu ada oknum tertentu yang menyebarkan
informasi bohong, sehingga membuat masyarakat resah dan percaya terhadap berita tersebut.
Menyadari hal itu, Anda dapat melakukan langkah-langkah untuk menghindari hoax sekaligus
membantu menghentikan penyebarannya di media sosial. Simak cara berikut ini:

Hati-hati dengan judul provokatif


Berita hoax seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif, misalnya
dengan langsung menudingkan jari ke pihak tertentu. Isinya pun bisa diambil dari berita
media resmi, hanya saja diubah-ubah agar menimbulkan persepsi sesuai yang
dikehendaki sang pembuat hoaks.

Cermati alamat situs


Untuk informasi yang diperoleh dari website atau mencantumkan link, cermatilah alamat
URL situs dimaksud. Berita yang berasal dari situs media yang sudah terverifikasi
Dewan Pers akan lebih mudah diminta pertanggungjawabannya.

Menurut catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43 ribu situs di Indonesia
yang mengklaim sebagai portal berita. Dari jumlah tersebut, yang sudah terverifikasi
sebagai situs berita resmi tak sampai 300. Artinya terdapat setidaknya puluhan ribu situs
yang berpotensi menyebarkan berita palsu di internet yang mesti diwaspadai.

Periksa fakta
Perhatikan dari mana berita berasal dan siapa sumbernya? Apakah dari institusi resmi
seperti KPK atau Polri? Perhatikan keberimbangan sumber berita. Jika hanya ada satu
sumber, pembaca tidak bisa mendapatkan gambaran yang utuh.

Hal lain yang perlu diamati adalah perbedaan antara berita yang dibuat berdasarkan
fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti,
sementara opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita, sehingga memiliki
kecenderungan untuk bersifat subyektif.
Cek keaslian foto
Di era teknologi digital saat ini , bukan hanya konten berupa teks yang bisa
dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto atau video. Ada kalanya pembuat
berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca.

Cara untuk mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google,
yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Images. Hasil
pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga
bisa dibandingkan.

Waspada dengan bentuk forward messages


Pernahkah Anda mendapatkan pesan yang diteruskan dari media sosial? Tentu pernah!
Maraknya berita hoax dari media sosial tentu sangat meresahkan. Biasanya oknum hoax akan
menyebarkan ke banyak orang dengan dalih isinya meminta untuk segera diteruskan ke banyak
orang, berupa ancaman jika Anda tidak meneruskan pesan tersebut, atau mendapatkan hadiah.
Jika Anda menerima pesan seperti itu, segera hapus dan abaikan!

Laporkan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika jika menemukan berita hoax


Apabila Anda menemukan berita hoax, sebaiknya Anda segera melaporkan konten tersebut ke
Kementerian Komunikasi dan Informatika agar berita hoax segera ditindak tegas. Anda bisa
melakukan screen capture disertai url link lalu kirim filenya ke aduankonten@mail.kominfo.go.id.
Tak usah khawatir Anda terancam, karena kerahasiaan pelapor akan dijamin.

Tips dari The Washington Post di bawah ini bisa juga dijadikan sebagai pelajaran:
1. Banyak orang sebenarnya tidak membaca konten yang mereka bagikan. Mereka
hanya membaca judulnya. Untuk mencegah Anda sendiri menjadi penyebar hoaks,
hilangkanlah kebiasaan membagikan konten tanpa membaca isinya secara menyeluruh.
2. Orang sering tidak mempertimbangkan legitimasi sumber berita
Situs berita hoax bisa muncul tiap saat, tetapi kita sebenarnya bisa menghindari
jebakannya dengan bersikap lebih hati-hati melihat sebuah situs. Sikap hati-hati ini juga
berlaku bagi narasumber yang mereka kutip, minimal dengan mencari referensi lanjutan
di Google atau situs lain yang sudah terpercaya.
3. Orang cenderung mudah kena bias konfirmasi
Orang punya kecenderungan untuk menyukai konten yang memperkuat kepercayaan
atau ideologi diri atau kelompoknya. Hal ini membuat kita rentan membagikan konten
yang sesuai dengan pandangan kita, sekalipun konten tersebut hoax. Jika Anda
membaca berita yang betul-betul secara sempurna mengukuhkan keyakinan Anda,
Anda harus lebih berhati-hati dan tidak buru-buru memencet tombol Share.
4. Orang mengukur legitimasi konten dari berita terkait
Sebuah berita belum tentu bukan hoax hanya karena Anda melihat konten terkait di
media sosial. Jangan buru-buru menyimpulkan lalu ikut membagikannya. Kadang-
kadang, hoax memang diolah dari berita media terpercaya, hanya saja isinya sudah
diplintir.
5. Waspada dengan bentuk forward messages
Pernahkah Anda mendapatkan pesan yang diteruskan dari media sosial? Tentu pernah!
Maraknya berita hoax dari media sosial tentu sangat meresahkan. Biasanya oknum hoax akan
menyebarkan ke banyak orang dengan dalih isinya meminta untuk segera diteruskan ke banyak
orang, berupa ancaman jika Anda tidak meneruskan pesan tersebut, atau mendapatkan hadiah.
Jika Anda menerima pesan seperti itu, segera hapus dan abaikan!

6. Makin sering orang melihat sebuah konten, makin mudah mereka


mempercayainya
Hanya karena banyak teman-teman Anda share berita tertentu, bukan berarti berita
tersebut pasti benar. Alih-alih langsung mempercayai dan membagikannya, Anda bisa
mencegah ikut ramai-ramai termakan hoax dengan melakukan pengecekan lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai