Anda di halaman 1dari 14

GENERASI Z DAN SAKRAMEN TOBAT

Mata Kuliah: Morah dan Tobat


Dosen Pengampu:
Dr. CB. Kusmaryanto SCJ.

Disusun oleh:
SAPTONO (FT. 3729; NIM: 216312005)

FAKULTAS TEOLOGI WEDABHAKTI


YOGYAKARTA
2022
Generasi Z dan Sakramen Tobat

Pengantar

Sebagai orang Katolik, sakramen tobat bukanlah kata yang asing untuk didengar.
Sakramen tobat menjadi satu dari tujuh sakramen yang ada diyakini oleh Gereja Katolik.
Sakramen tobat sampai sekarang masih dilakukan atau dipraktikkan dalam kehidupan
beriman. Namun dengan perkembangan zaman, orang menjadi ‘enggan’ untuk menerima
sakramen tobat. Memang belum ada yang meneliti tentang hal ini. Lebih dari itu, tidak bisa
digeneralisasi paktek dan penghayatan iman umat Katolik di Indonesia. Namun ada fenomena
di mana kamar pengakuan dosa menjadi jarang dikunjungi.1

Fenomena itu akan berubah ketika memasuki masa adven atau pra paskah. Umat
Katolik akan mengantri untuk menerima sakramen tobat. Bukan maksud menyimpulkan
tetapi kalau dilihat dari hal itu, ada keyakinan umum bahwa frekuensi umat Katolik, termasuk
kaum muda, menerima sakramen tobat hanya dua kali setahun. Frekuensi itu mungkin akan
berbeda dengan para biarawan-biarawati dan imam yang menerima sakramen tobat lebih dari
dua kali dalam satu tahun.2

Hal yang menjadi menarik adalah bahwa kaum muda sekarang berada di Generasi Z.
Generasi Z merupakan generasi yang mampu mengaplikasikan semua kegiatan dalam satu
waktu atau yang dikenal dengan multitasking. Generasi Z memiliki ciri khas yang berbeda
dengan generasi sebelumnya. Generasi Z sangat dekat dengan gawai dan internet sehingga
menyukai permainan dunia maya dan beraktualisasi di dalamnya dibandingkan dengan
permainan tradisional yang seringkali menuntut perjumpaan langsung. Mereka lebih
menyukai komunikasi jarak jauh. Tumbuh lebih cepat secara fisik dan memiliki pemikiran
yang cepat, tetapi mereka kurang perduli terhadap Kesehatan karena kurangnya pola hidup
yang tidak sehat. Mereka lebih fokus pada karir dan pendidikan sehingga memiliki banyak
informasi dan pengatahuan yang holistik.3

Pola pikir yang cepat membuat Generasi Z tidak menyukai proses. Mereka lebih
menyukai yang simple dan cepat. Karena itu mereka seringkali konsumtif dalam

1
Robertus Joko Sulistyo, “Dosa Dan Rahmat Sakramen Pengakuan - Dosa Bagi Remaja”, Jurnal Pendidikan
Agama Katolik 7 (2012): 119.
2
E. Pranawa Dhatu Martasudjita, “Pemahaman Sabda Pengampunan Allah Dalam Sakramen Tobat Menurut
Karl Rahner,” Diskursus 17 (2018): 149.
3
Mannheim, K., “The Problem of Generations. Essay on the Sociology of Knowledge, 24 (1952): 276-324.

2
menggunakan sesuatu. Berkaitan dengan kebutuhan pribadi, mereka juga lebih memilih
menggunakan toko online atau onlineshop dalam berbelanja. Selain itu mereka juga biasanya
melakukan sesuatu demi kepentingan atau kesenangan sendiri. Ini termasuk dalam kategori
hedonis yang dapat diartikan sebagai pandangan yang menganggap kesenangan dan
kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup.4 Mereka sangat berpikir logis.

Dalam pengetahuan tentang pendidikan orang muda menjadi terbuka terhadap


pandangan dunia dan juga berpikir logis. Karena pandangan logis itu sering kali membuat
pemahaman yang kabur tentang arti dosa, tobat dan dasar sakramen tobat. Apalagi jika
mereka berhadapan dengan orang Kristen lain, bisa jadi ada anggapan bahwa sakramen tobat
jadi karangan Gereja Katolik saja karena tidak ada dasarnya dalam Kitab Suci. Tulisan ini
hendak memberikan pemahanan yang jelas tentang dosa, tobat dan dasar dari sakramen tobat.
Dengan pemahaman yang jelas dan berdasar menjadikan Generasi Z mantap dalam menerima
sakramen tobat dan memanfaatkan kesempatan setiap kali berbuat dosa atau Gereja
mengadakan sakramen tobat.

Dosa

Ada bayak pengertian tentang dosa. Pengertian dosa tidak hanya diartikan dalam
ajaran Gereja, tetapi juga ada beberapa tokoh Gereja yang memberikan pendapatnya tentang
arti dosa. Karena itu beberapa pengertian dosa akan disampai di sini. Katekismus Gereja
Katolik (KGK) memberikan dua pengertian tentang dosa. Hal itu tertuang dalam KGK nomor
18495 dan nomor 18506. Dengan demikian dosa adalah "cinta diri yang meningkat sampai
menjadi penghinaan Allah" (Agustinus, civ. 14,28). Karena keangkuhan ini, maka dosa
bertentangan penuh dengan ketaatan Yesus (Bdk. Flp 2:6-9) yang melaksanakan keselamatan.
Dari dua ajaran Gereja itu, dosa dapat simpulkan dengan perbuatan atau tindakan yang

4
https://kbbi.web.id/hedonisme
5
“Dosa adalah satu pelanggaran terhadap akal budi, kebenaran, dan hati nurani yang baik; ia adalah satu
kesalahan terhadap kasih yang benar terhadap Allah dan sesama atas dasar satu ketergantungan yang tidak
normal kepada barang-barang tertentu. Ia melukai kodrat manusia dan solidaritas manusiawi. Ia didefinisikan
sebagai "kata, perbuatan, atau keinginan yang bertentangan dengan hukum abadi" (Agustinus, Faust. 22,27)
Dikutip oleh Tomas Aqu., s. th. 1-2,71,6, obj. 1”
6
Dosa adalah satu penghinaan terhadap Allah: “Terhadap Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa
dan melakukan apa yang Kauanggap jahat" (Mzm 51:6). Dosa memberontak terhadap kasih Allah kepada kita
dan membalikkan hati kita dari Dia. Seperti dosa perdana, ia adalah satu ketidaktaatan, satu pemberontakan
terhadap Allah, oleh kehendak menjadi "seperti Allah" dan olehnya mengetahui dan menentukan apa yang
baik dan apa yang jahat (Kej 3:5)

3
menyebabkan putusnya hubungan antara manusia dengan Tuhan seperti yang dimaksudkan
oleh Kees Mass, dosa menekankan adanya relasi atau hubungan yang terputus.7

Paus Yohanes Paulus II juga memberikan pendapatnya tentang pengertian dosa. Dosa
dalam arti yang tepat, selalu merupakan tindakan pribadi. Dosa merupakan tindakan
kebebasan dari pihak individu itu sendiri bukan komunitas atau kelompok. Meskipun kadang
dosa juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang kuat. Tetapi dalam banyak kasus, factor
eksternal dapat melemahkan rasa tanggungjawab penyesalannya. 8 Sedangkan menurut
Yohanes Cure dari Ars mengartikan dosa merupakan salah satu peristiwa hidup yang erat
kaitannya dengan kematian.

Kata ‘dosa’ yang dalam bahasa inggris ‘sin’ diartikan sebagai pemisahan diri. Seperti
halnya Adam dan Hawa yang memisahkan diri dari Allah. 9 Allah adalah sumber hidup bagi
mereka tetapi karena godaan ingin seperti Allah yang berpangpal pada neurosa. Neurosa
adalah sesuatu yang bagikan penyakit tumbuh dalam hidup, yaitu ketidakmampuan untuk
menerima diri sebagai manusia yang terbatas. Ketidakmampuan untuk menerima diri ini sulit
untuk diubah karena sifat dan corak kepribadian tumbuhnya lama. 10 Dengan perasaan ingin
seperti Allah, Adam dan Hawa berarti ingin hidup sendiri tanpa ketergantungan dari Allah.
Itu berarti meniadakan relasi dengan Allah. Tanpa relasi dengan Allah, Allah pencipta
kehidupan berarti kematian.

Dosa menjadikan bertentangan dengan sifat kebaikan Allah yang ada dalam
kehidupan manusia. Bernard Haring berpendapat secara teologis mencirikan tiga dosa dasar
yang bertitik tolak dari Injil Yohanes. Tiga ciri dasar dosa itu adalah pertama, hilangnya
keselamatan (loss of salva hamartia), kedua, melawan kehendak Allah (opposition to the
divine will; anomia) dan ketiga adalah pelanggaran keadilan (violation of the justice owing to
God; adikia). Dosa itu juga ditunjukkan oleh Haring dalam bentuk konkrit dalam kehidupan.
Bentuk konkrit dari dosa itu adalah kesombongan, kemarahan, keserakahan, percabulan,
kerakusan.11

7
Kees Maas, Teologi Moral Tobat, (Ende: Nusa Indah, 1999): 20.
8
Paus Yohanes Paulus II, Reconciliation And Penance, tersedia dari https://www.vatican.va/content/john-paul-
ii/en/apost_exhortations/documents/hf_jp-ii_exh_02121984_reconciliatio-et-paenitentia.html diakses 10 Juni
2022.
9
Michael Marsch, Penyembuhan Melalui Sakramen, 80-81 seperti dikutip oleh Laurentius Dhie S. Sakramen
Tobat di Tengah Globalisasi (Yogyakarta: Kanisius, 2015), 15.
10
Dr. B. Keiser SJ, “Tobat Dalam Hidup Orang Beriman,” dalam Rahmat Bagi Manusia Lemah, ed. Dr. Tom
Jacobs, SJ, (Yogyakarta: Kanisius), 51.
11
Bernard Haring, The law of christ Vol. 1: General Moral Theology, (1965), 342, seperti dikutip Laurentius
Dhie S. Sakramen Tobat di Tengah Globalisasi, 16.

4
Schoonenberg berpendapat bahwa dosa-dosa yang telah disebutkan oleh Haring
mengakibatkan kerusakan (destruktif) bagi pendosa. Ada dua aspek kerusakan yang
diakibatkan dari pelaku dosa yakni aspek internal dan eksternal. Secara internal, pendosa
merusak baik tata lahir dan batinnya sendiri. Dosa melemahkan orang untuk melakukan nilai-
nilai keutamaan dalam hidupnya. Sedangkan yang eksternal, dosa merusak relasi orang
dengan sesamanya maupun dengan Tuhan karena ia menolak kasih Allah yang telah
diberikan sehingga berada di luar kasih tersebut. Keterpisahan dari kasih Allah membuatnya
merasakan kegelisahan, kebimbangan dan orientasi hidup. Hal inilah yang mengganggu
ketentraman hati dari pendosa karena kegelisahan itu akan masuk ke relung hati.12

Selain dua ciri dosa dasar, dosa memiliki tiga dimensi. Pertama ialah dimensi teologal
Kristologis yang memaksudkan bahwa dosa yang dilakukan manusia bersifat sekaligus juga
adikodrati. Secara hakiki, kematian berarti kegelapan. Karena itu tidak mampulah manusia
mengatasi kegelapan itu dalam penyerahannya kepada Allah. Hanya karena Allah
mendatangi manusia dalam Kristus, manusia dapat mati dalam Tuhan. Kematian dalam
Kristus tidak lain dari kematian orang beriman yang sudah dalam hidupnya berada dalam
Kristus.13 Dimensi ini termasuk dosa melawan Tuhan karena tidak menghargai karya
keselamatan Allah melalui Yesus Kristus. Kedua adalah dimensi sosial-eklesial. Dimensi
sosial-eklesial yang dimakduskan adalah bahwa dengan berdosa, orang melukai sesama dan
secara khusus juga Gereja, umat Allah. Dalam dimensi ini sangat kentara dalam LG 11
“Mereka yang menerima sakramen tobat memperoleh belaskasih dari Allah pengempunan
atas penghinaan yang dibuat terhadap-Nya sekaligus diperdamaikan lagi dengan Gereja.”14
Dimensi ketiga adalah dimensi personal-transperseonal. Dimensi ini dimaksudkan bahwa
dosa tidak lain adalah perbuatan seorang pribadi, actus humanus karena itulah
pertanggungjawaban atas dosa juga terhadap diri sendiri bukan orang lain. 15 Karena itulah,
pertobatan pribadi dibutuhkan.

Tobat dalam Kitab Suci

Seperti halnya pengertian tentang dosa, pengertian tentang tobat juga ada beberapa
macam. Kali ini, pengertian tobat akan di dasarkan pada pandangan yang ada di Kitab Suci.

12
Laurentius Dhie S., Sakramen Tobat di Tengah Globalisasi (Yogyakarta: Kanisius, 2015): 16
13
Tom Jacobs SJ, “Sakramen Pengurapan Orang Sakit” dalam Rahmat Bagi Manusia Lemah, 104.
14
Tom Jacobs SJ, “Sakramen Tobat”, dalam Rahmat Bagi Manusia Lemah, 84.
15
Robertus Joko Sulistyo, “Dosa Dan Rahmat Sakramen Pengakuan - Dosa Bagi Remaja”, 121.

5
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, tobat biasanya dikaitkan dengan bencana dan
penderitaan. Karena bencana dan penderitaan, orang menganggap itu sebagai sebuah dosa
dan perlu adanya pertobatan. Pertobatan itu bisanya diungkapkan dengan upacara kultis (Ezr.
9:13; Neh. 9: 36-37), berpuasa (Neh. 9:26, Yun 1:13), berkurban (Im 16:1-9). Di antara
semua itu, pertobatan yang paling penting adalah pertobatan batin, hati dan sikap yang
tampak dalam kehidupan sosial. Hal itu serupa dengan apa yang disampaikan oleh Nabi
Yesaya 58: 6-716. Pertobatan harus disadari sebagai karunia dari Allah. Allahlah yang
menganugerahkan hati untuk manusia sehingga mau bertobat.17

Dalam ibadat pertobatan, ada pengakuan dosa yang dilakukan di depan umum (Yos.
7). Ibadat sebagai bentuk pertobatan memang bukanlah sesuatu yang buruk, hal yang terpuji.
Pertobatan menjadi tidak bermakna tanpa adanya perubahan atau pertobatan hati. Karena
itulah nabi-nabi dalam Perjanjian Lama seringkali memberikan kritik terhadap apa yang
dilakukan oleh orang-orang pada zaman itu. Pertobatan yang diungkapkan dalam tindakan
menjadi bentuk perbaikan diri yang nyata.

Pertobatan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru sedikit berbeda karena pertobatan
menghubungkan penyembuhan. Dalam Perjanjian Baru memberikan tiga ungkapan berkaitan
paham tobat. Hal itu terungkap dalam kata menyesal, membalik dan bertobat. Menyesal
dalam bahasa Yunani metamelomai. Kata menyesal dipakai lima kali dalam Perjanjian Baru
yakni dalam injil Matius 21:30 dituliskan “…Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga.”
Sedangkan diayat 32 dituliskan “… Dan meskipun kamu melihatnya, tetapi kemudian kamu
tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya kepadanya”. Matius 27: 3 “Pada waktu Yudas,
yang menyerahkan Dia, melihat, bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati, menyesallah ia.”
Dalam 2Kor 7:8, “Jadi meskipun aku telah menyedihkan hatimu dengan suratku itu, namun
aku tidak menyesalkannya. Memang pernah aku menyesalkannya, karena aku lihat, bahwa
surat itu menyedihkan hatimu? kendatipun untuk seketika saja lamanya?,” Dan dalam Ibr
7:21 “…Tuhan telah bersumpah dan tidak akan menyesal: Engakau adalah imam untuk
selama-lamanya.” Kata menyesal selalu dikaitkan dengan tindakan yang sudah terjadi.
Tindakan yang mengarah pada kegagalan yang membuat frustasi. Karena itu, menyesal

16
“Bukan! Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan
melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk,
supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang
tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak
menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!”
17
Laurentius Dhie S., Sakramen Tobat di Tengah Globalisasi, 26.

6
sebenarnya jadi ungkapan negative dalam hal ini. Upaya sungguh-sungguh dalam
memperbaiki menjadi sebuah tobat.18

Kedua adalah kata membalik. Kata ini lebih sering digunakan dalam Kitab Suci (36
kali). Penggunaan kata membalik seringkali memiliki arti yang biasa. Di sini tidak akan
ditampilkan semua mengenai kata tersebut tetapi sebagai contoh dalam Luk 11:24 “…Aku
akan kembali ke rumah itu.” Dalam kalimat ini memang tidak langsung ditunjukkan dengan
kata membalik seperti pada kata menyesal, tetapi dasarnya ialah berputar, mengubah arah.
Demikian juga dalam Mrk. 4: 12 “Sekalipun melihat, mereka tidak menanggap, selakipun
mendengar, mereka tidak mengerti, supaya mereja jangan berbalik danmendapat ampun”.
Dalam kalimat ini, ada hubungannya dengan Tuhan sebagai arah hidup dan mendapat arti
religius.19

Ketiga adalah kata bertobat. Kata bertobat seakan-akan menjadi tujuan dan puncak
dari semua proses ini. Hal itu tampak dalam Mrk. 1:15 yang mengatakan “Bertobatlah dan
percayalah kepada Injil.” Seperti kata membalik, kata bertobat juga umum digunakan dalam
Perjanjian Baru yakni sebanyak 34 kali dengan tambahan 22 kali kata bendanya metanoia.
Ketiga kata ini menjadi memiliki arti dan kekhususan ketika digunakan dalam kisah
perumpamaan anak yang hilang dalam Injil Lukas 15: 11-32. Dalam kisah itu, proses
pertobatan tampak sangat jelas terjadi dalam diri putra bungsu yang mendapat pengampunan
dari Bapa dengan diterima kembali.20

Dari ketiga kata yang memberikan paham tentang tobat belum menunjukkan kejelasan
atau spesifik kaitan antara pengampunan dosa dengan penyembuhan. Agar lebih jelas, dapat
dilihat dari teks lainnya atau kisah lainnya yakni dalam kisah penyembuhan yang dilakukan
oleh Yesus kepada orang yang lumpuh dalam Mrk. 2: 1-12. Dalam kisah itu, Yesus tidak
hanya menyembuhkan orang lumpuh tetapi juga menganugrahkan pengampunan dosa “Hai
anak-Ku, dosamu sudah diampuni”. Tindakan Yesus menyembuhkan dan memberikan
pengampunan menjadi tindakan yang menyeluruh karena bukan hanya fisik yang
disembuhkan tetapi juga dosanya diampuni. Pengampunan dosa yang dilakukan oleh Yesus
menunjukkan bahwa Yesus memiliki kuasa untuk mengampuni.

18
Tom Jacobs, “Tobat menurut Perjanjian Baru,” 13.
19
Tom Jacobs, “Tobat menurut Perjanjian Baru,” 14.
20
Ibid. 16.

7
Dasar Kitab Suci Sakramen Tobat

Sakramen tobat oleh Kristus bukanlah sesuatu yang disimpulkan secara tidak
langsung dari praktik Gereja. Pengampunan dosa secara sacramental adalah bagian dari
disiplin pastoral para rasul dan muncul dari kata-kata eksplesit Kristus seperti yang dicatat
dalam injil Matius 18. Penginjil menyatukan berbagai pernyataan tentang topik kasih
persaudaraan dan pengampunan, kesederhanaan dan kerendahan hati dan perhatian khusus
yang harus ditunjukkan kepada anggota komunitas yang lebih lemah. Hal itu berkaitan juga
dengan Gereja perdana yang membuat prosedur dalam kasus pertengkaran atau pelanggaran
serius dari salah satu saudara. Aturan itu ada dalam Mat. 18: 15-17:

"Apabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia
mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatnya kembali. Jika ia tidak
mendengarkan engkau, bawalah seorang atau dua orang lagi, supaya atas
keterangan dua atau tiga orang saksi, perkara itu tidak disangsikan. Jika ia tidak
mau mendengarkan mereka, sampaikanlah soalnya kepada jemaat. Dan jika ia
tidak mau juga mendengarkan jemaat, pandanglah dia sebagai seorang yang tidak
mengenal Allah atau seorang pemungut cukai.”

Dari teks itu hendak disampaikan bahwa, setiap usaha harus dilakukan untuk membujuk
saudara yang berdosa agar memperbaiki diri. Matius menambahkan sebagai pembenaran atas
sikap keras kepala terhadap orang yang tidak mau mematahuhi Gereja dengan menggunakan
perkataan Yesus “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini
akan terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.” (ayat
18).21

Istilah mengikat dan melepaskan yang diberikan oleh Yesus kepada para murid
menimbulkan banyak penafsiran. Istilah mengikat dan melepaskan berasal dari kenabian dan
memiliki dua arti yang berbeda tetapi terkait. Pertama adalah untuk menyatakan bahwa
sesuatu dilarang atau di sisi lain diizinkan. Kedua ialah memberlakukan larangan pengucilan
atau menghapus larangan tersebut begitu larangan itu diberlakukan. Hal itu seperti yang
dilakukan oleh Petrus kepada orang yang melakukan inces dengan menjatuhkan hukuman
kepada mereka (bdk. 1Kor 5).

Perkataan Yesus itu dipercayai sebagai penugasan terhadap para rasul. Penugasan
tersebut memberikan secara resmi kepada para rasul otoritas yang luas dan komprehensif
terhadap komunitas Kristen. Beberapa penafsir percaya bahwa itu adalah dasar dan mungkin
satu-satunya dasar yang disebut amanat eklesiologis. Amanat untuk memberitakan injil dan
21
Kevin McNamara, “Penance: Sacrament of Reconciliation,” The Furrow (1985), 4.

8
dalam pewartaan itu diberi kekuatan spiritual yang menyertainya, yang diberikan Yesus
kepada para rasul.

Secara mudah pesan dari injil tersebut adalah bahwa Gereja memiliki kuasa untuk
mengeluarkan orang berdosa dari komunitasnya dan pengusiran itu disahkan di surga. Namun
di sisi lain, Gereja juga memiliki kekuatan untuk mengembalikan atau pendosa dapat diterima
kembali ke dalam komunitas Gereja. Ini berarti bahwa orang yang telah diampuni boleh
mengambil bagian kembali dalam kerajaan Surga dan di pulihkan dengan persahabatan
dengan Bapa Surgawi.

Teks Matius itu sedikit berbeda dengan parallelnya yakni Yohanes 20: 21-23. Dalam
Yohanes dituliskan:

Maka kata Yesus sekali lagi: "Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa
mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu.” Dan sesudah
berkata demikian, Ia mengembusi mereka dan berkata: "Terimalah Roh Kudus.
Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu
menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada."

Yohanes membuat eksplisit sesuatu yang tidak disebutkan yakni mengampuni dosa dan
menolak dosa. Oleh karena itu para rasul diberi kuasa rohani yang luas dalam komunitas
Kristen. Karena dari kuasa yang diberikan oleh Yesus tersebut, para rasul memiliki pengaruh
yang menentukan pada keselamatan. Berdasarkan otoritas itu, orang yang membandel
dikeluarkan dari Gereja tetapi ada pertimbangan bagi yang mau menyesalinya, pengampunan
sangat ditekankan. Orang berdosa tidak disingkirkan tanpa dapat kembali lagi, tetapi perlu
dilihat keseriusannya dalam menyesali dosanya.22

Penafsir Jerman Bernama Rudolf Schnackenburg memberikan komentar bahwa kuasa


sacramental yang dipertanyakan itu harus jelas dari pentahbisan para rasul dengan Roh untuk
jabatan ini. Yohanes membalik urutan pengikatan dan pelepasan. Penyebutan pertama untuk
memaafkan dosa kemudian tentang mempertahankan. Ini kemungkinan langsung dari efek
baptisan. Para rasul diberi kuasa pertama untuk mengampuni melalui pembaptisan. Dengan
tobat, mereka berupaya mempertahankan mereka yang berdosa. Pemberian Roh untuk tujuan
pengampunan dosa hanya bermanfaat bagi mereka yang akan dibaptis ini aneh dengan
mengabaikan anggota komunitas Kristen yang membutuhkan pengampunan untuk diampuni.

22
Kevin McNamara, “Penance: Sacrament of Reconciliation,” 5-6.

9
Dari dua teks dasar Matius dan Yohanes memberikan fakta bahwa Gereja melihat teks-teks
ini sebagai dasar yang kuat untuk Sakramen Tobat.23

Makna Sakramen Tobat

Sakramen tobat merupakan sakramen karunia yang diberikan Kristus kepada Gereja-
Nya. Sakramen pelaksanaanya terjadi dalam tiga unsur yakni materia sacramenti, forma dan
pelayan sakramen. Materia Sacramenti yakni tindakan atas benda-benda. Formanya adalah
kata-kata dan pribadi pelayan yang menerimakan sakramen dengan kehendak untuk
melakukan apa yang dikehendaki Gereja. Apabila ada salah satu unsur dari ketiga hal ini
maka tidak terjadi sakramen.24 Penting dan harus diingat bahwa pelayan sakramen (biasanya
orang tertahbis) mewakili Kristus sendiri dan bersama Gereja. Maka sakramen sebagai tanda
dan kehadiran Allah memiliki makna teologis di dalamnya.

a. Rekonsiliasi dengan Allah25


Ketika orang jatuh ke dalam dosa relasi dengan Allah mengalami keretakan
bahkan terputus dan dosa menjadi bagian realitas orang beriman karena hanya orang
beriman yang dapat mengenal dirinya telah melakukan dosa. Hubungan yang retak
membutuhkan rahmat pengampunan dari Allah. Pengampunan itu diterima melalui
sakramen tobat. Meski demikian dalam keberdosaan itu orang perlu menyadari diri
sebagai pendosa yang beriman. Hal itu akan membawa pada Kesehatan jiwa karena
ada kesadaran telah melakukan tindakan kejahatan atau dosa dan kesadaran itu
menuntun pada keterbukaan hati untuk berbalik dan berani bertanggungjawab atas apa
yang telah dilakukan. Dengan kesadaran dan tanggungjawab inilah kemungkinan
orang akan berubah.
Sakramen tobat menjadi berdaya guna karena adanya dosa. Sakramen tobat
mendamaikan kembali relasi manusia dengan Allah yang retak. Rahmat pendamaian
selalu ditawarkan oleh Allah kepada manusia. Tawaran itu hadir secara nyata dalam
diri Yesus Kristus yang menjadi pendamai. Pendamaian itu terjadi karena sengsara,
wafat dan kebangkitan Kristus. Karena itulah absolusi dirumuskan dengan kata-kata
“Allah Bapa yang berbelas kasih telah mendamaikan dunia dengan diri-Nya melalui
wafat dan kebangkitan Putra-Nya.” Pendamaian ini menunjukkan inisiatif Allah.

23
Ibid. 7.
24
E. Mattasudjita Pr, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral, (Yogyakarta:
Kanisius, 2007): 168.
25
Laurentius Dhie S., Sakramen Tobat di Tengah Globalisasi, 38-42.

10
Yesus yang menjadi manusia sebagai bentuk solidaritasnya terhadap manusia
berdosa. Ia yang tidak berdosa menjadi sama dengan manusia yang berdosa. Dalam
arti inilah, Ia wafat karena senasib dengan manusia yang harus mengalami kematian
karena dosa-dosa. Karena Yesus telah menyerahkan diri demi untuk melepaskan dosa-
dosa melepaskan manusia, manusia menjadi sehidup dengan Dia dalam kebangkitan-
Nya. Ia menjadi saudara dalam kematian karena itu manusia diterima Allah dalam
kebangkitan. Maka melalui sakramen tobat, manusia bertemu dengan Allah dengan
perantaraan Kristus yang adalah Penyelamat manusia. Ia datang bukan untuk dilayani
tetapi melayani orang lemah sekaligus menyembuhkan mereka dari sakit serta
menebus dosa mereka.

b. Rekonsiliasi dengan Gereja


Sakramen tobat tidak hanya mendamaikan diri manusia yang berdosa dengan Allah
tetapi juga dengan Gereja karena dosa tidak hanya memisahkan dari Allah tetapi juga
dengan warga Gereja. Karena itu pertobatan juga menuntut adanya perdamain dengan
orang yang dilukai oleh dosa tersebut. Inilah dimensi sosial dari pengampunan dosa.
Paus Yohanes Paulus II dalam anjuran apostoliknya pada tanggal 2 Desember 1984
yang berjudul reconciliation and penance menekankan bahwa:
“Tak ada dosa, bahkan dosa yang paling rahasia, dosa yang paling pribadi,
yang hanya berurusan dengan orang yang melakukan dosa itu sendiri. Dari
tingkat kekerasan yang lebih kecil sampai yang lebih besar, setiap dosa
berdampak bagi seluruh tubuh Gereja dan bagi keluarga umat (No. 16).26

Pandangan Paus Yohanes Paulus II ini menunjukkan bahwa memang dosa selalu
terkait dengan Gereja. Persekutuan dalam persaudaraan memang terputus akibat dosa
akan tetapi sakramen tobat memperbaharui dan mengikatnya kembali. Hal ini
menunjukkan bahwa pengampunan yang diberikan oleh Yesus memberikan pengaruh
atau dampak dalam relasi dengan komunitas. Pendamaian dengan Gereja tidak dapat
dipisahkan dari pendamaian dengan Allah sendiri dan turut serta di dalam dampak
relasi dengan semua makhluk dan alam lingkungan.27

c. Rekonsiliasi dengan semua makhluk dan alam lingkungan.

26
Laurentius Dhie S., Sakramen Tobat di Tengah Globalisasi, 43.
27
Ibid. 45.

11
Dalam Kitab Kejadian 1: 28-2928 seringkali dijadikan pembenaran untuk
mengekploitasi alam. Perkembangan teknologi yang juga semakin memudahkan
untuk penyalahgunaan alam yang ada. Hal itu terlihat dari kerusakan-kerusakan alam
yang berdampak pula bagi para penghuninya. Alam sudah memberikan apa yang
dibutuhkan untuk kehidupan manusia. Dengan perusakan alam, manusia
menunjukkan bahwa penolakannya terhadap kasih yang Allah berikan.
Setiap orang dipanggil untuk membangun relasi dengan seluruh ciptaan yang telah
diselamatkan oleh Kristus. Karena keserakahan yang terjadi akibat hedonisme,
manusia mengabaikan hal itu. Sebab itulah umat beriman kembali diingatkan untuk
memelihara keutuhan ciptaan. Tugas ini memang tidak mudah namun sedianya ada
pertisipasi dalam pelestarian atau pemeliharaan di tengah kerusakan itu. Akar dari
rusaknya relasi manusia dengan alam adalah kerusakan relasi manusia dengan Allah.
Pada saat Allah memperhatikan manusia, di sanalah manusia disadarkan untuk segera
kembali memperbaiki perbuatan yang keliru. Perusakan alam merupakan bentuk dosa
manusia.
Dengan demikian, dosa manusia tidak berakibat pada rusaknya relasi dengan Allah
dan Gereja, tetapi juga rusaknya alam. Rusaknya relasi itu dapat diperbaiki atau
diperdamaikan dengan sakramen tobat. Sebagai bukti dari pertobatan, manusia harus
membangun semangat rekonsiliasi dengan alam yang diwujudkan dengan perbuatan
atau sikap yang ramah dengan alam sekitar. Maka terciptalah pengampunan dosa dan
pembaruan hidup bagi manusia yang bertobat karena telah berbalik dari perbuatan
dosanya.

Penutup
Dosa memiliki banyak pengertian. Namun pada intinya, dosa merupakan keretakan
atau terputusnya relasi dengan Allah. Dosa merupakan tindakan pribadi, meskipun factor
eksternal juga mempengaruhi. Relasi yang terputus dengan Allah, Sang Sumber Hidup
membuat manusia mengalami kematian. Allah tidak menghendaki kematian karena itu Allah
berinisiatif untuk menyelamatkan manusia. Penyelamatan itu terlaksana dalam diri Yesus
Kristus, dengan sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Karena itu, kematian di dalam Kristus,
28
“Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: "Beranakcuculah dan bertambah banyak;
penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas
segala binatang yang merayap di bumi." Berfirmanlah Allah: "Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala
tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan
menjadi makananmu.”

12
atau orang beriman, akan mengalami kebangkitan bersama Kristus. Hal itu akan terjadi pada
orang yang percaya.

Kepercayaan kepada Kristus diungkapkan dengan membuka hati pada pertobatan.


Pertobatan yang paling penting adalah pertobatan batin, hati dan sikap yang tampak dalam
kehidupan sosial bukan hanya dalam perkataan saja. Pertobatan sejati akan dibarengi dengan
perbuatan-perbuatan yang baik untuk kembali membangun relasi yang telah rusak akibat
dosa. Hal itu akan tampak dari perubahan atau berbalik dari kebiasaan-kebiasaan yang dahulu
telah dilakukan.

Pertobatan menjadi dasar untuk memperolah pengampunan dari dosa. Pengampunan


dosa yang dilakukan oleh Yesus menunjukkan bahwa Yesus memiliki kuasa (Mrk. 2: 1-12).
Kuasa atau otoritas itu diberikan kepada para rasul dan penggantinya (Yoh. 20: 21-23).
Dengan otoritas itu, Gereja melalui para pelayannya memiliki kuasa untuk mengeluarkan
orang berdosa dari komunitasnya. Di sisi lain, Gereja juga memiliki kekuatan untuk
mengembalikan atau pendosa dapat diterima kembali ke dalam komunitas Gereja. Ini berarti
bahwa orang yang telah diampuni boleh mengambil bagian kembali dalam kerajaan Surga
dan di pulihkan dengan persahabatan dengan Allah, Gereja dan seluruh ciptaan. Maka
melalui Sakramen Tobat, yang merupakan sakramen karunia yang diberikan Kristus kepada
Gereja-Nya dan melalui pelayan-Nya, rahmat pengampunan diberikan kepada orang yang
bertobat.

Daftar Pustaka
Buku:

Alkitab, Jakarta - Bogor: Lembaga Alkitab Indonesia, 1983

Dhie S., Laurentius. Sakramen Tobat di Tengah Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius, 2015

Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, SJ, Jakarta: Dep. Dokpen
KWI-Obor, 2012

Jacobs, Tom. SJ, edt. Rahmat Bagi Manusia Lemah. Yogyakarta: Kanisius, 1987

Katekismus Gereja Katolik, diterjemahankan dan diterbitkan oleh Konferensi Waligereja


Indonesia, Jakarta: Dep. Dokpen KWI-Obor, 2007

Maas, Kees, Teologi Moral Tobat. Ende: Nusa Indah, 1999

13
Mattasudjita, E. Pr, Sakramen-sakramen Gereja: Tinjauan Teologis, Liturgis dan Pastoral.
Yogyakarta: Kanisius, 2007

Jurnal dan Web:

Dhatu Martasudjita, E. Pranawa. “Pemahaman Sabda Pengampunan Allah Dalam Sakramen


Tobat Menurut Karl Rahner,” Diskursus 17 (2018): 147-176.

Joko Sulistyo, Robertus. “Dosa Dan Rahmat Sakramen Pengakuan - Dosa Bagi Remaja”,
Jurnal Pendidikan Agama Katolik 7 (2012): 119-125.

Mannheim, K., “The Problem of Generations. Essay on the Sociology of Knowledge, 24


(1952): 276-324.

McNamara, Kevin. “Penance: Sacrament of Reconciliation,” The Furrow 36 (1985): 3-17.

Paulus II, Paus Yohanes. “Reconciliation And Penance,” tersedia dari


https://www.vatican.va/content/john-paul-ii/en/apost_exhortations/documents/hf_jp-
ii_exh_02121984_reconciliatio-et-paenitentia.html diakses 10 Juni 2022.

https://kbbi.web.id/hedonisme

14

Anda mungkin juga menyukai