Anda di halaman 1dari 13

Monogenisme dan Poligenisme

(Refleksi Teologis Keselamatan Kristiani)

I. Pengantar
Ajaran tradisional Gereja tentang monogenisme yang berakar pada pandangan Gereja
tentang dosa asal mendapat bandingan dari teori evolusi Darwin yang memiliki implikasi pada
munculnya teori poligenisme. Dengan kata lain, pandangan Gereja bahwa manusia berasal dari
satu keturunan, yaitu Adam dan Hawa (bdk. Kej 2: 7), karena kemajuan ilmu pengetahuan,
mendapat bandingan dari teori yang mengatakan bahwa manusia berasal dari banyak keturunan
(poligenisme). Perkembangan pemikiran baru mengenai asal usul nenek moyang ini memiliki
pengaruh yang cukup besar bagi teologi keselamatan dalam Gereja Katolik.
Gereja sendiri tetap berpegang pada prinsip monogenisme, di mana karena Adam,
manusia pertama, seluruh keturunan berasal. Gereja juga percaya bahwa Yesuslah Adam ke dua
yang membawa keselamatan bagi seluruh umat manusia. Namun Gereja juga tidak serta merta
menolak teori evolusi, yang ditolak adalah poligenisme itu sendiri. Karena meyakini
monogenisme maka manusia memerlukan penebusan dari Yesus sendiri sang Adam kedua.
Menurut konsep Katolik, untuk memperoleh keselamatan di dunia akhirat, manusia
memerlukan penebusan eksternal, di luar dirinya. Tuntunan Allah bagi umatnya bukan semata-
mata memberikan ajaran moral tentang bagaimana berbuat baik dan menghindari yang jahat
namun, dengan ajaran-ajaran yang ada manusia dibawa pada keselamatan itu sendiri. Adanya
imam sebagai pengantara dan Yesus Kristus sebagai imam dan pengantara agung, manusia
dimungkinkan memperoleh penebusan dan keselamatan itu. Seperti telah digambarkan secara
indah dalam kitab Wahyu, hanya Anak Domba dari suku Yehuda yang telah disembelih itulah
yang mampu membuka kitab yang dimeterai, karena Dialah yang telah membeli umat-Nya
dengan darah-Nya sendiri (bdk. Why 5: 1-14).
Bila dibandingkan dengan ajaran agama lain, Buddha misalnya, dikatakan di sana bahwa
dalam agama Buddha tidak ada konsep penebus yang ekternal karena manusia menebus dirinya
sendiri. Dalam Agama Katolik, konsep keselamatan didapat melalui sebuah penebusan. Di dalam
Yesuslah orang-orang Katolik memperoleh keselamatan (bdk. Kis 4: 12). Dalam Gereja Katolik,
diadakan kurban misa yang adalah penghadiran kembali kurban Kritus. Dengan demikian, orang-
1
orang Katolik percaya dan beriman bahwa Yesuslah yang telah menebus dan memberikan
keselamatan. Peristiwa Salib Yesus memberikan gambaran yang cukup jelas, bahwa kematian-
Nya di Salib adalah untuk menebus manusia (bdk. 1Kor 1:30; Gal 3:13, 4:5; Ibr 9:15).
Sebelum sampai pada pendalaman lebih lanjut tentang refleksi teologis keselamatan
Kristiani, kita akan melihat lebih dahulu perbandingan antara monogenisme, dosa asal, teori
evolusi dan poligenisme.

II. Dosa Asal dan Monogenisme


II.1. Konsep Dosa Asal dalam Teologi Penciptaan
Dosa asal bukanlah dosa dalam arti pelanggaran hukum Allah yang biasa di mana
seseorang dengan kehendak bebas melakukannya. Dosa asal adalah suatu konsekuensi dosa
orang tua pertama manusia yaitu Adam. Melalui dia anugerah-anugerah ini diberikan kepada
seluruh ras manusia. Oleh karena dosanya ia menghilangkan anugerah-anugerah itu untuk
dirinya sendiri, dan dihilangkan juga untuk keturunan-keturunannya. Sekarang kehilangan atau
ketiadaan rahmat Ilahi, konsekuensi utama dari dosa, berarti kehilangan kebaikan-kebaikan
supernatural yang Allah peruntukkan bagi manusia, dan karenanya disebut noda atau dosa asal
manusia.1
Konsekuensi-konsekuensi lain dari dosa Adam adalah kematian, dan nafsu, atau
pemberontakan dari nafsu-nafsu terendah terhadap akal budi dan kehendak. Dosa asal tidak
begitu merusak kekuatan-kekuatan alami kita seperti membuatnya tidak mampu terhadap
kebaikan-kebaikan natural: ia menghilangkan rahmat-rahmat yang kita butuhkan untuk
kebaikan-kebaikan di luar kemampuan alami kita. Semua ini didasarkan pada Kitab Suci,
terutama dalam surat Rasul Paulus kepada umat di Roma 5 : “Sebab itu, sama seperti dosa telah
masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut; demikianlah maut itu telah
menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.”
Di dalam Kitab Suci, diceritakan bahwa karunia-karunia Allah yang supernatural hanya
diberikan kepada seorang Adam, hanya Adam yang berbuat dosa dan karenanya kehilangan
karunia-karunia itu. Hanya Adam yang diusir dari taman Firdaus. Dengan demikian, konsep dosa

1
http://www.ekaristi.org/forum/viewtopic.php?p=72915&sid=bc1f1b59ff0276c4f56d1b3124389e4, akses tanggal 3
November 2009.
2
asal perlu mengikutsertakan penebusan Yesus Kristus. 2 Sehingga rahmat yang telah terhalangi
karena ketidaktaatan Adam dipulihkan karena ketaatan Yesus Kristus. Aktualisasi nyata
pembebasan orang-orang Kristen dari belenggu dosa asal yaitu dengan pembaptisan. Iman
Kristen menyatakan bahwa dengan pembaptisan seluruh dosa-dosa dihapuskan.

II.1.1. Kitab Suci


Dalam kitab Kejadian bab 3 diuraikan bagaimana manusia pertama jatuh dalam dosa.
Manusia melanggar apa yang telah dilarang Tuhan dan malah mendengarkan bujukan setan.
Karena mereka ingin untuk menyamai Allah dengan memakan buah terlarang supaya mengetahui
apa yang baik dan yang jahat, mereka kehilangan rahmat yang sudah mereka terima. Dosa karena
ketidaktaatan akan perintah Allah inilah yang membawa hukuman bagi manusia dan istrinya
(Lih. Kej 3: 16-19).
Dan mengenai penebusan atau pengampunan dosa dalam Perjanjian Lama, Tuhan telah
berfirman kepada Musa, bahwa agar seseorang memperoleh pengampunan atas dosa atau
pelanggarannya, seseorang tersebut harus mempersembahkan binatang kurban dan membawanya
kepada imam untuk dipersembahkan kepada Tuhan (bdk. Im 5: 15-16,18). Seseorang tidak dapat
menebus dirinya sendiri, dengan demikian fungsi imam terlihat nyata bahwa mereka adalah
pengantara antara Allah dan manusia.
Dalam Kitab Perjanjian Baru, Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma pasal 5 ayat
19, menuliskan: “karena ketidaktaatan satu orang, semua orang menjadi orang berdosa”. Satu
orang yang dimaksud merujuk pada Adam sebagai manusia pertama. Konsekuensi dari dosa
manusia pertama ini yaitu membuat keturunan berikutnya turut menanggung dosanya. Namun,
karena ketaatan satu orang, yaitu Yesus Kristus, semua orang memperoleh keselamatan (bdk. Rm
5: 18).
Mengenai penebusan, Yesus sebagai imam agung menjadi pengantara dan sekaligus
sebagai korban yang tak bercela yang mendamaikan manusia dengan Allah (1Tim 2:5; Ibr 7:25,
8:6, 9:15, 12:24). Dengan demikian ada pengantara antara Allah dan manusia yang fungsinya
sebagai penebus atau pendamai. Dan pribadi Kristuslah yang menggenapi dan menyempurnakan,
karena Dialah Imam Agung Allah, Adam kedua, pribadi yang taat pada Allah.

2
Petrus Maria Handoko, Dicipta untuk Dicinta: Antropologi Teologis Fundamental, (diktat) Malang: STFT
Widya Sasana, 1996,, hal. 102.
3
II.1.2. Ajaran Bapa Gereja
a. Yustinus: Yesus lahir dan mengalami penyaliban bukan untuk kepentingannya sendiri,
melainkan untuk semua manusia.
b. Ireneus: Kita semua ambil bagian dalam dosa Adam. Oleh karena ketidaktaatan satu
orang semua orang telah jatuh dalam dosa, dan oleh karena ketaatan satu orang semua
orang berdosa diselamatkan (Rm 5: 19).
c. Tertulianus: keyakinan akan dosa asal sudah dipraktekkan dalam pembaptisan bayi.
Anak-anak yang dibaptis sudah menerima pengampunan dosa.
d. Agustinus: Agustinus bertitik tolak pada fakta penebusan Kristus yang universal, maka
latarbelakang mengenai ajaran dosa asal adalah pandangan mengenai rahmat itu. 3

II.1.3. Ensiklik Humani Generis


Ensiklik Humani Generis yang dikeluarkan oleh Paus Pius XII rupanya berangkat dari
kesadaran bahwa adanya perkembang pandangan baru mengenai poligenisme yang
mengoncangkan iman orang-orang Kristiani. Karena dengan berkembangnya pandangan
poligenisme, ajaran Gereja mengenai dosa asal diragukan. Dalam Ensiklik ini pula dirumuskan
penolakan terhadap pandangan poligenisme.
Poligenisme dengan jelas menolak Adam sebagai satu-satunya nenek moyang yang
menurunkan banyak keturunan. Pandangan bahwa umat manusia sekarang ini berasal dari
banyak nenek moyang dengan sendirinya meruntuhkan teori atau pandangan Gereja mengenai
dosa asal. Namun, Paus Pius XII mengajak orang-orang Kristiani untuk tetap berpegang pada
ajaran iman Kristiani yang tetap berpegang pada ajaran tentang dosa asal yang berasal dari satu
keturunan yaitu Adam dan Hawa (monogenisme).4

II.1.4. Para Teolog Modern


II.1.4.1. Pandangan Beberapa Teolog Modern
a. Piet Schoonenberg, SJ: Menawarkan teori bahwa dosa asal dapat diidentifikasikan
dengan dosa dunia (bdk. Yoh 12: 31, 15: 18). Ada yang disituasikan menandai kurangnya
3
Eduardo P. Hontiveros, SJ., The Creator: A Texkbook in Theological Anthropology, Quezon City: Loyola
School Theology, 1988, hal102-103.
4
Bdk. Pius XII, Humani Generis, http://www.vatican.va/holy_father/pius_xii/encyclicals/documents/hf_p-
xii_enc_12081950_humani-generis_en.html, akses tanggal 3 November 2009.
4
rahmat, situasi ketidakberdayaan, dan kematian terhadap kasih serta kehidupan ilahi.
Dalam pandangan ini, dosa asal memiliki kekuatan untuk membentuk ada yang
disituasikan.5 Dengan demikian, dosa asal mewariskan situasi penuh dosa di mana
dibutuhkan penebusan Kristus.6 Situasi penuh dosa ini diwariskan melalui pengaruh
lingkungan di masa lampau seperti: keteladanan moral yang buruk, pemahaman
pandangan hidup yang materialistis, ketidakadilan rasial serta struktur ekonomi dan
politik yang tidak adil. Dengan demikian manusia tidak lagi membawa berkat, bahkan
bias menjadi penghalang rahmat bagi manusia yang lain.

b. Alfred Vanneste: Dosa asal adalah kebutuhan universal dari semua manusia demi
Kristus. Kebutuhan universal yang dimaksud adalah bahwa semua manusia baik yang
kecil maupun yang sudah dewasa berada dalam keadaan dosa dan tidak dapat mengasihi
Allah dengan sepenuh hati tanpa rahmat Kristus. Dosa asal merupakan fomes peccati
yang secara virtual mengandung seluruh dosa aktual sejak eksistensi awal manusia.
Konkupisensia natural inilah yang membawa seluruh diri pada dosa yang sama sekali
tidak sesuai dengan rahmat Kristus.7

II.1.4.2. Kritik terhadap Shoonenberg dan Vanneste


Schoonenberg dengan teori ini sebenarnya ingin mengakomodasi konsep
poligenisme dalam perumusan teologi modern dengan menghilangkan peran Adam dan
Hawa sebagai manusia pertama yang mewariskan dosa asal. Ia menganggap dosa asal
sebagai sebuah situasi yang diwariskan, tetapi darimana pewarisan itu berasal tidak
dijelaskan. Padahal iman Katolik mengajarkan bahwa Adam dan Hawa adalah pribadi
historis dalam Kitab Suci yang menurunkan generasi manusia secara biologis dan
teologis (kodrat).
Sama halnya dengan Schoonenberg, Vanneste dan teori-teori modern yang lain
cenderung berangkat dari kebenaran dasar Kristiani tentang penebusan melalui Kristus.
Titik berangkat teori para teolog modern ini bukan lagi mitos-mitos mengenai asal-usul
5
Schoonenberg, Sin and Men, Indiana: University of Notre Dame Perss, 1965, hal. 180-181.
6
Eduardo P. Hontiveros, SJ, Sin and Men, Indiana: University of Notre Dame Perss, 1965, hal. 111-115. Situasi
penuh dosa diwariskan melalui pelbagai pengaruh lingkungan, pengaruh dunia yang sudah terbentuk oleh aneka
dosa seluruh manusia di masa lampau (keteladanan buruk, keburukan moral, penerimaan akan filosofi yang salah).
7
Eduardo P. Hontiveros, SJ, Sin and Men, Indiana: University of Notre Dame Perss, 1965, hal. 114-115.
5
manusia dan juga kebenaran historis Kitab Suci mengenai Adam dan Hawa. Untuk
mengalihkan pembicaraan mengenai penyebab historis dosa asal, Vanneste berbicara
mengenai dosa dan penebusan Kristus. Kebanyakan teologi modern berpendapat bahwa,
secara historis tidak diketahui siapakah “pendosa pertama” itu, tetapi dosanya harus
ditempatkan pada awal sejarah manusia (entah sebagai dosa individual maupun dosa
kolektif) karena semua umat manusia dan semua orang ada dalam keadaan dosa dan
membutuhkan penebusan Kristus.8

II.2. Monogenisme
Monogenisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa seluruh ras manusia
diturunkan dari satu pasangan atau satu manusia individual, yaitu Adam. Monogenisme
dimunculkan oleh Konsili Trente dalam pengajarannya tentang dosa asal (DS 1511-1514).
Pernyataan paling eksplisit mengenai monogenisme tertuang dalam ensiklik Humani Generis
Paus Pius XII yang dikeluarkan pada tahun 1950.9
Teologi klasik menganut monogenisme biologis dan teologis. 10 Artinya dosa Adam
membuat segala keturunannya menjadi celaka, sebab Tuhan menetapkan Adam sebagai “bapa
bangsa manusia.” Ini mengandaikan dua hal: pertama, bangsa manusia merupakan turunan dari
satu pasangan (monogenisme historis dan biologis), dan kedua Tuhan menetapkan bahwa Adam
memperoleh bagi seluruh bangsa manusia apa yang diterimanya sendiri, yakni “rahmat
pengudus” dan “anugerah luar biasa”, yakni bebas dari maut dan bebas dari konkupisensia
(monogenisme teologis).
Namun demikian kesatuan teologis umat manusia itu berasal dari Kristus (Ef 1:9-10),
bukan dari Adam, seolah-olah Adamlah yang memperoleh rahmat penebusan dari seluruh umat
manusia. Penebusan manusia berasal dari Kristus dan bersifat universal artinya menjangkau pula
sejarah kemalangan yang diawali oleh dosa Adam. Inilah kritik teologi modern terhadap teologi
klasik.
Monogenisme biologis lebih mendapatkan tantangan dari poligenisme daripada
monogenisme teologis. Hal ini dikarenakan, poligenisme dengan teori evolusinya serta bukti-
8
Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hal. 176.
9
http://www.ekaristi.org/forum/viewtopic.php?p=72934&sid=8be754c3a21ce741c2e52c6bffb9e260, akses tanggal
3 November 2009.
10
Nico Syukur Dister, Op. Cit., hal. 174.
6
bukti dari Kitab Suci sendiri (misalnya Kej 3) menunjukkan bahwa ada banyak nenek moyang
manusia dan bukan hanya Adam dan Hawa. Poligenisme kemudian menggerogoti monogenisme
biologis terutama berkaitan dengan bagaimana dosa asal itu ditularkan. Bila dosa asal hanya
berdampak pada keturunan Adam dan Hawa saja, bagaimana bisa semua manusia terkena dosa
asal?

III. Teori Evolusi dan Poligenisme


3.1. Teori Evolusi
Secara umum proses evolusi adalah perubahan atau perkembangan yang terjadi secara
sangat lambat dan lama dari sebuah kondisi yang sederhana (rendah) ke arah kondisi yang lebih
kompleks (tinggi). Ada 4 macam teori evolusi: evolusi biologi, kosmogenik, kultural, dan
ideologis. Ketiga macam teori evolusi yang pertama diterima oleh Gereja Katolik karena
memperhitungkan intervensi Allah dalam penciptaan manusia, sementara evolusi ideologis
ditolak karena mengandung unsur materialisme yang cenderung mengarah ke atheise. Evolusi
ideologis menihilkan adanya perancangan sengaja di alam Materi adalah segala-galanya bagi
teori evolusi ini sehingga tidak ada peran Tuhan (atheis).
Evolusi biologi pada makhluk manusia didasarkan pada ciri-ciri morfologis (ciri lahir)
organisme. Misalnya, salah satu klasifikasi morfologis-fisologis manusia bersama dengan
makhluk hidup lainnya adalah menyusui keturunannya dan diklasifikasi sebagai hewan
mammalia bersama dengan berbagai jenis binatang lainnya yang juga menyusui. Dalam
golongan mammalia terdapat sub-golongan yang disebut dengan primat dengan ciri-ciri dapat
berjalan diatas kedua kakinya, pada sub-golongan ini manusia diklasifikasi bersama dengan
berbagai jenis tupai, monyet hingga sejenis gorilla.
Evolusi kosmogenis didasarkan pada perubahan lingkungan abiotik di mana manusia
itu tinggal. Sementara itu, evolusi kultural manusia didasarkan pada pertambahan kompleksitas
perilaku manusia yang lebih kurang diacu melalui keterampilan menciptakan dan menggunakan
alat bantu yang membuat kehidupan manusia lebih mudah dan efisien dan memberi pengaruh
pada ciri fisiologis manusia, misalnya bentuk gigi dan rahang manusia yang berubah karena
adanya faktor pengolahan makanan (ada hubungan dengan meningkatnya kapasitas otak dan
intelektualitas, berkembangnya bahasa dan peradaban).

7
Kitab Suci tidak berbicara mengenai evolusi. Kitab Suci hanya menjelaskan bahwa tiap
makhluk diciptakan secara spesifik tanpa menjalani suatu proses perkembangan atau evolusi
tertentu. Lantas mengenai penciptaan manusia, manakah yang benar teori evolusi ataukah Kitab
Suci? Pandangan Gereja mengenai evolusi berkaitan erat dengan pandangan Gereja mengenai
bagaimana kisah penciptaan dalam kitab Kejadian harus ditafsirkan. Dalam kitab Kejadian dapat
disampaikan sejumlah fakta historis tentang penciptaan manusia walaupun cara penuturan
penulis tidak seturut cara dan standar penulisan karya historis modern. Fakta-fakta historis yang
ditampilkan dalam kisah penciptaan Kitab Kejadian ini membentuk dasar-dasar utama kebenaran
agama Katolik. Namun demikian pada prinsipnya Kitab Suci tidak berbicara mengenai teknis
bagaimana penciptaan itu dilakukan
Secara resmi Gereja tidak mendukung atau menolak teori evolusi, sikap Gereja adalah
memberi kebebasan kepada para anggotanya untuk menyetujui atau tidak. Umat beriman
kristiani bebas untuk menerima kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan oleh kemajuan
ilmu pengetahuan. Sikap ini didasari bahwa teori evolusi walaupun secara ilmiah memiliki
probabilitas kebenaran yang besar, pada prinsipnya hal itu masih tetap sebuah teori, dan untuk
memastikan kebenarannya itu adalah tugas para ilmuwan, alasan lainnya adalah karena teori ini
tidak berhubungan secara langsung dengan ajaran iman Kristen mengenai manusia dan
penciptaan.
Sikap Gereja terhadap teori evolusi dinyatakan oleh Paus Pius XII dalam ensiklik
Humani Generis yang berbunyi:
“Magisterium tidak melarang kemajuan ilmu pengetahuan manusia dan teologi suci, penelitian
dan diskusi, di antara orang-orang yang berpengalaman dalam bidang-bidang yang berkaitan
dengan ajaran evolusi, sejauh hal itu dikenakan kepada asal mula tubuh manusia yang berasal
dari materi yang hidup yang telah ada sebelumnya. Ajaran iman Katolik yang tetap dipegang
teguh adalah bahwa jiwa manusia diciptakan langsung oleh Allah. Kedua pendapat, baik yang
setuju dengan evolusi maupun yang tidak, hendaknya dipertimbangkan dan dinilai dengan serius,
bebas, dan teliti, dan harus dipastikan bahwa semua siap untuk tunduk kepada keputusan Gereja,
yang kepadanya Kristus telah memberikan misi untuk menafsirkan Kitab Suci secara otentik dan
untuk mempertahankan dogma-dogma iman.”11

Paus Yohanes Paulus II dalam pidatonya kepada para anggota Akademi Sains Kepausan
tanggal 22 Oktober 1996 juga menyatakan bahwa:
“Pengetahuan-pengetahuan baru telah menuntun manusia untuk mengetahui bahwa evolusi lebih
dari sebuah hipotesis” dan “dalam ensikliknya Humani Generis, pendahulu saya Pius XII telah
11
Pius XII, Humani Generis, http://www.vatican.va/holy_father/pius_xii/encyclicals/documents/hf_p-
xii_enc_12081950_humani-generis_en.html.
8
menyatakan bahwa tidak ada pertentangan antara evolusi dan ajaran iman tentang manusia dan
panggilannya, dalam kondisi bahwa seseorang tidak kehilangan pandangan terhadap beberapa
poin yang tidak dapat diperdebatkan”.12

3.2. Poligenisme
Poligenisme adalah teori yang menyatakan bahwa ada banyak pasangan nenek moyang
awal manusia. Teori evolusi membuat poligenisme lebih masuk akal daripada monogenisme
karena kemungkinan benarnya yang besar.13 Dosa pertama pun mungkin merupakan perbuatan
yang dilakukan bersama-sama oleh kelompok, dalam arti bahwa masyarakat sebagai keseluruhan
tidak lagi menuju kepada kesatuan dengan Kristus. Masyarakat pertama menjadi masyarakat
pendosa, dan “dosa pertama” ini menentukan perkembangan umat manusia ke arah diri sendiri
dan berpaling dari Allah (Kristus). Selanjutnya dosa-dosa pribadi melaksanakan dan
meneguhkan “orientasi salah” itu dan menjadi unsur-unsur konkret dalam perkembangan sejarah
kemalangan.
Pandangan Gereja terbuka terhadap teori evolusi, akan tetapi terhadap teori poligenisme
Gereja bereaksi negatif. Poligenisme dianggap tidak sesuai dengan iman Katolik yang
menyatakan bahwa dosa terjadi karena satu orang yaitu Adam. Paus Pius XII dalam ensiklik
Humani Generis mengatakan mengatakan:
“Ketika ada pendapat yang didasarkan pada dugaan mengenai poligenisme, putra-putri Gereja
tidak memiliki kebebasan untuk mempercayai dugaan ini. Hal ini disebabkan karena umat tidak
bisa berpegang pada pendapat yang menyatakan bahwa setelah Adam, ada manusia lain yang
tidak mendapatkan sifat keturunannya dari Adam. Ataupun pendapat yang menyatakan bahwa
Adam menyimbolkan lebih dari satu orang manusia. Pendapat seperti ini tidak mungkin
direkonsiliasikan dengan ajaran Gereja, yang diajarkan oleh wahyu kebenaran dan otoritas
mengajar Gereja mengenai dosa asal yang berasal dari dosa yang dilakkukan oleh satu individu
Adam, yang kemudian diturunkan ke semua generasi dan hadir di setiap manusia sebagai bagian
dari manusia itu sendiri.”14

Dari sini nampak bahwa pandangan poligenisme ditolak karena tampaknya pandangan itu
menggerogoti dasar ajaran mengenai dosa asal, yang menurut Kitab Suci berasal dari
pelanggaran satu orang saja (Rom 5:15). Selanjutnya juga ditegaskan bahwa Paus Pius XII

12
http://www.carmelia.net/index.php?option=com_content&view=article&id=147:evolusi-dan-
iman&catid=35:bahasa-Indonesia&Itemid-97, akses tanggal 7 November 2009.
13
Nico Syukur Dister, Op. Cit., hal. 175.
14
Pius XII, Humani Generis, http://www.vatican.va/holy_father/pius_xii/encyclicals/documents/hf_p-
xii_enc_12081950_humani-generis_en.html.
9
menolak sejumlah pandangan yang menyatakan bahwa Adam merupakan representasi dari
sekumpulan manusia.

IV. Refleksi Teologis Keselamatan Kristiani


Dalam meneropong perdebatan antara monogenisme dan poligenisme, Iman Katolik
mengingatkan pada kita bahwa sebenarnya antara iman dan ilmu pengetahuan tidak mungkin
terjadi pertentangan. Dalam Katekismus Gereja Katolik no. 159 dikatakan:
“Walaupun iman melampaui akal budi, tidak dapat terjadi pertentangan yang sejati antara iman
dan akal budi. Karena Allah yang sama yang mewahyukan misteri-misteri dan mencurahkan
iman telah memberikan juga cahaya akal budi kepada pikiran manusia, Allah tidak dapat
menyangkal diriNya sendiri, dan kebenaran tidak dapat berkontradiksi dengan kebenaran”.

Sementara itu dalam Katekismus no. 283 juga dikatakan:


“Pertanyaan tentang asal mula dunia dan manusia telah menjadi obyek dari banyak studi ilmiah
yang secara luar biasa telah memperkaya pengetahuan kita mengenai zaman, dan dimensi
kosmos, perkembangan bentuk kehidupan dan pemunculan manusia. Semua penemuan ini
mengundang kita untuk lebih mengagumi keagungan Sang Pencipta, mengajak kita untuk
bersukur kepadaNya karena segala karyaNya dan pengertian serta kebijaksanaan yang Ia berikan
kepada para ahli dan peneliti.”

Berkat perkembangan teori evolusi akhirnya teologi modern berusaha menjelaskan


konsep dosa asal dengan cara baru. Setiap manusia lahir dalam keadaan dosa, bukan karena
kesalahannya sendiri, melainkan karena keadaan konkret umat manusia yang berupa keadaan
dosa dan yang berdasarkan kesalahan pada awal mula. “Situasi dosa” yang diwarisi manusia
hanya bisa dimengerti dalam keseluruhan data antropologis teologis, artinya manusia dilihat
secara menyeluruh, termasuk unsur struktural manusia. “Situasi dosa” ini nampak paling jelas
dalam dosa-dosa pribadi. Memang “situasi dosa” ini tidak bisa disamakan dengan dosa pribadi,
dan hanya bisa dibandingkan dalam arti analog, sebab manusia mewarisi “situasi dosa” ini tanpa
keputusan bebas pribadinya.15 “Situasi dosa” ini menyangkut tatanan ontologis, bukan hanya
sosiologis.
Dosa asal diteruskan bukan sebagai “warisan”, melainkan sebagai partisipasi dalam
sejarah kemalangan yang berdasarkan sejarah keselamatan. Secara historis tidak diketahui
siapakah pendosa pertama itu, tetapi dosanya harus ditempatkan pada awal sejarah manusia

15
Petrus Maria Handoko, Dicipta untuk Dicinta: Antropologi Teologis Fundamental, (diktat) Malang: STFT
Widya Sasana, 1996, hal. 99.
10
(entah sebagai dosa individual, entah sebagai dosa kolektif) sebab seluruh umat manusia dan
semua orang ada dalam keadaan dosa dan memerlukan penebusan Kristus.
Dalam agama Buddha tidak ada konsep penebus karena manusia menebus dirinya sendiri.
Tujuan praktis dari etika Budhisme sebenarnya adalah menuntun manusia pada kebahagiaan
tertinggi atau pembebasan atau keselamatan akhir. Untuk mencapai hal itu setiap individu
bertanggungjawab terhadap keberuntungan dan kemalangannya sendiri lewat pemahaman dan
usaha-usaha. Dengan demikian keselamatan individu adalah hasil pengembangan moralnya
sendiri dan bukan merupakan pemberian lewat perantara eksternal. Peran Sang Buddha adalah
memberi nasihat untuk pengikutnya soal cara terbaik untuk mencapai kebahagiaan individu dan
orang lain dan juga menyadarkan manusia akan sifat dan keberadaannya. Dalam hal ini individu
diajak untuk tidak menghakimi kesalahan orang lain dengan berbagai kategori seperti jahat,
buruk, bodoh, tak berguna, dan lain-lain karena dengan menghakimi, individu justru akan
mendatangkan kesedihan pada dirinya dan orang lain. Dalam rumusan singkat dapat dikatakan,
“Buatlah baik, jauhkanlah segala yang jahat, sucikanlah hati setiap orang, inilah jalan Buddha.” 16
Memberikan derma atau dana kepada orang lain merupakan cara praktis bagi umat Buddha untuk
mengasihi sesama.17

V. Penutup dan Kesimpulan


Orang yang sudah ditebus, sudah dibaptis sudah bukan pendosa lagi dan sudah mampu
mengalahkan kecondongan untuk berbuat dosa itu tetap mengalami pengaruh dari dosa. Hal ini
dikarenakan ia tetap condong untuk menutup diri atas dirinya sendiri (konkupisensi).
Kecondongan ini dapat membahayakan iman (orientasi kepada Kristus) dan dapat membuat
manusia jatuh dalam dosa (keadaan putus hubungan dengan Allah). Baik konkupisensi maupun
dosa asal adalah lingkungan dalam mana rahmat harus dilaksanakan. Sikon manusia bukan dosa
atau rahmat, melainkan perjuangan dengan pertolongan rahmat untuk mengatasi dosa. Pada
prinsipnya dalam Kristus sang kepala, dosa dan setan telah dikalahkan. Akan tetapi, kesatuan
manusia dengan Kristus berarti bahwa pergumulan Kristus dengan setan harus dilaksanakan

16
Stephanus Ozias Fernandez, Citra Manusia Budaya Timur dan Barat, Ende: Nusa Indah, 1990, hal. 78.
17
Jotidhammo Thera dan Rudy Ananda Limiadi (eds), Panduan Tripitaka, Klaten: Vihara Bodhivamsa, 2000. Hal.
29.
11
dalam hidup manusia sendiri. Dosa yang pada dasarnya sudah dikalahkan dalam kebangkitan
Kristus harus tetap dikalahkan dalam hidup setiap orang sampai kebangkitan pada akhir zaman.
Keyakinan Kristiani tentang penciptaan manusia dapat diungkapkan dengan kata-kata
“Deus creavit me sine me” yang artinya Allah menciptakan saya tanpa saya. Dengan kata lain
kita diciptakan seturut kehendak Allah sendiri tanpa campurtangan manusia atasnya. Namun
demikian “Deus non salvabit me sine me”, yang artinya Allah tidak akan menyelamatkan saya
tanpa saya. Dengan kata lain, kita harus berpartisipasi dalam penebusan diri kita juga.
Keselamatan kita di akhirat juga ditentukan bagaimana kita bekerjasama dengan Allah
mengalahkan kuasa dosa. Hal ini menunjukkan bahwa konsep keselamatan dalam Buddha tidak
serta merta bertentangan dengan konsep Kristiani bahwa kita juga harus mengusahakan hidup
yang selaras dengan kehendak Tuhan (ada kerjasama antara Allah dan manusia), meskipun kita
sudah ditebus oleh Salib Kristus sendiri.

Daftar Pustaka:

12
 Alkitab, Jakarta: LAI, 1994.
 Dister, Nico Syukur, Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, Yogyakarta:
Kanisius, 2004.
 Fernandez, Stephanus Ozias, Citra Manusia Budaya Timur dan Barat, Ende: Nusa Indah,
1990.
 Handoko, Petrus Maria, Dicipta untuk Dicinta: Antropologi Teologis Fundamental,
(diktat) Malang: STFT Widya Sasana, 1996.
 Hontiveros, SJ, Eduardo P., Sin and Men, Indiana: University of Notre Dame Perss, 1965.

 Hontiveros, SJ., Eduardo P., The Creator: A Texkbook in Theological Anthropology,


Quezon City: Loyola School Theology, 1988.
 KWI, Katekismus Gereja Katolik, Ende: Arnoldus, 1995.
 Schoonenberg, Sin and Men, Indiana: University of Notre Dame Perss, 1965.
 Thera, Jotidhammo dan Rudy Ananda Limiadi (eds), Panduan Tripitaka, Klaten: Vihara
Bodhivamsa, 2000.

Internet:
 http://www.carmelia.net/index.php?option=com_content&view=article&id=147:evolusi-
dan-iman&catid=35:bahasa-Indonesia&Itemid-97, akses tanggal 7 November 2009.
 http://www.ekaristi.org/forum/viewtopic.php?
p=72915&sid=bc1f1b59ff0276c4f56d1b3124389e4, akses tanggal 3 November 2009.
 http://www.ekaristi.org/forum/viewtopic.php?
p=72934&sid=8be754c3a21ce741c2e52c6bffb9e260, akses tanggal 3 November 2009.
 Pius XII, Humani Generis,
http://www.vatican.va/holy_father/pius_xii/encyclicals/documents/hf_p-
xii_enc_12081950_humani-generis_en.html, akses tanggal 3 November 2009.

13

Anda mungkin juga menyukai