Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PERKEKMBANGAN TEORI KEILMUAN MODEL


KARL POPPER

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS


MATA KULIAH : PENGANTAR FILSAFAT ILMU

DOSEN PENGAMPU :
Juwita Finayanti, S.Pd.,M.Pd

Disusun Oleh:
1. Silvia Dwi Armai Zahra (2302103012)
2. Inaya Cahyaning Pramesti (2302103013)
3. Olivia Vernanda Eva Agustina (2302103025)
4. Alya Wahyu Anjani (2302103035)
5. Rafi Aulia Al Afwu (2302103040)
6. Adam Adinanda Bakhtiar (2302103044)

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERISTAS PGRI MADIUN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt karena kami masih
diberi kesehatan dan kesempatan untuk menyelesaikan makalah
“Perkembangan Teori Keilmuan Model Karl Popper” ini sebagai bentuk
pendalaman materi Psikologi Konseling yang merupakan mata kuliah yang
sedang saya tempuh.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita nabi
besar Muhammad saw. Beserta keluarga dan para sahabatnya, yang telah
membimbing dan memberdayakan umat melalui dakwah dan pendidikan
sehingga dapat melaksanakan pengabdiannya kepada Allah swt.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih pada dosen pengampu Mata Kuliah
saya yang telah mencurahkan ilmunya kepada saya yang masih sangat haus ilmu.
Dan tak lupa pula saya ucapkan terimakasih pada teman-teman yang telah
mendukung atau menginspirasi kami dalam menyelesaikan makalah ini. Saya
sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu saya
pihak pemakalah sangat mengharapkan saran-saran yang sekiranya dapat
memperbaiki kesalahan atau kekurangan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi para pembaca.

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Makalah 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Falsifikasi 3
B. Prinsip Falsifikasi sebagai Metode Berfilsafat Ilmu
Pengetahuan (Philosophy of Science) 3
C. Sumber-sumber Pengetahuan: Rasionalisme Kritis 3
BAB III PENUTUP 13
A. Kesimpulan 13
B. Saran 13
DAFTAR PUSTAKA 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Siapa kuat dia yang menang merupakan sebuah prinsip hukum rimba
di hutan, seperti singa yang menjadi raja hutan. Kekuatan, kualitas,
kualifikasinya terbukti karena ia tetap bertahan dalam sebuah ajang bertahan
hidup di tengah persaingan yang ketat untuk mempertahankan kelangsungan
hidup jenisnya. Sama halnya dengan teori, akan menjadi lebih kuat
keabsahannya jika terus bertahan dari sangkalan atau kritik dari teori lain.
Memanggil penyangkalannya menjadi keharusan dalam pengembangannya,
di mana penyangkalan itu sendiri perlu disangkal, dan seterusnya dikritisi
kembali oleh pemikir generasi selanjutnya. Karl Raimund Popper dalam hal
ini hadir untuk mengkritiki beberapa gagasan dasar Lingkaran Wina. Dalam
kritiknya terhadap Lingkaran Wina, Popper terkenal dengan prinsip
falsifikasinya dan kritiknya terhadap kelompok positivistis logis merupakan
pintu masuk ke epistemologinya.
Dalam kaitannya dengan problem filsafat ilmu, pemikiran Popper
sering dikelompokkan menjadi tiga tema, yaitu persoalan induksi, demarkasi,
dan dunia tiga. Popper merupakan praktisi filsafat ilmu yang banyak
mengkritik pola pemikiran para filosof terutama mengenai keyakinan
tradisional tentang induksi, begitu juga soal verifikasi. Maka popper
menjawab semua permasalahan tersebut dengan mengembangkan pola
pemikiran falsifikasi atau disebut juga falsifiabilitas yang merupakan batas
pemisah (demarkasi ) yang tepat, anatara ilmu dengan yang bukan ilmu.
Prinsip falsifikasi digunakan Popper dalam membedakan argumen
ilmiah dan non ilmiah. Prinsip itu sendiri muncul dalam teori epistemologi
yang dikembangkannya dalam filsafat ilmu pengetahuan (philosophy of
science). Oleh karena itu, penjelasan tentang falsifikasi ini dimulai dari
sumber-sumber pengetahuan berkembang ke permasalahan induksi dan
demarkasi. Dalam bagian ini saya juga akan menjelaskan syarat-syarat

1
tumbuhnya pengetahuan sebagai asumsi pre kondisi atas prinsip falsifikasi.
Kemudian karakteristik ilmiah dari falsifikasi itu sendiri dan ciri-ciri dari
prinsip falsifikasi serta konsep Dunia Tiga. Dalam makalah ini, penulis hanya
akan memfokuskan diri pada pembahasan pemikiran Karl Raimond Popper
terutama terkait masalah falsifikasi, yang ia jadikan sebagai prinsip demarkasi
antara ilmu dan bukan ilmu atau antara teori yang meaningfull dan yang
meaningless.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Falsifikasi ?
2. Bagaimana prinsip Falsifikasi Karl Raimund Popper ?
3. Bagaimana sumber pengetahuan menurut pemikiran Karl Raimund
Popper ?

C. TUJUAN MAKALAH
1. Untuk mengetahui pengertian Falsifikasi ?
2. Untuk mengetahui bagaimana prinsip Falsifikasi Karl Raimund Popper ?
3. Untuk mengetahui bagaimana sumber pengetahuan menurut pemikiran
Karl Raimund Popper ?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Falsifikasi
Falsifiabilitas atau refutabilitas adalah kemungkinan bahwa adanya
kemungkinan logis sebuah pernyataan untuk dapat difalsifikasi atau
ditunjukkan salah melalui observasi atau ujicoba empiris. Sesuatu yang bisa
difalsifikasi bukan berarti itu salah, namun berarti bahwa jika pernyataan
tersebut salah, maka kesalahannya dapat ditunjukkan. Klaim bahwa, "tidak
ada manusia yang hidup selamanya" tidak dapat difalsifikasi karena tidak
mungkin untuk dibuktikan salah. Dalam teori, seseorang harus mengamati
seorang manusia hidup selamanya untuk memfalsifikasi klaim tersebut. Di
sisi lain, "semua manusia hidup selamanya" dapat difalsifikasi karena
kematian satu orang manusia dapat membuktikan pernyataan tersebut salah
karena bersifat metafisik.

B. Prinsip Falsifikasi sebagai Metode Berfilsafat Ilmu Pengetahuan


(Philosophy of Science)
Prinsip falsifikasi digunakan Popper dalam membedakan argumen
ilmiah dan non ilmiah. Prinsip itu sendiri muncul dalam teori epistemologi
yang dikembangkannya dalam filsafat ilmu pengetahuan (philosophy of
science). Oleh karena itu, penjelasan tentang falsifikasi ini dimulai dari
sumber-sumber pengetahuan berkembang ke permasalahan induksi dan
demarkasi. Dalam bagian ini saya juga akan menjelaskan syarat-syarat
tumbuhnya pengetahuan sebagai asumsi pre kondisi atas prinsip falsifikasi.
Kemudian karakteristik ilmiah dari falsifikasi itu sendiri dan ciri-ciri dari
prinsip falsifikasi.

C. Sumber-sumber Pengetahuan: Rasionalisme Kritis


Salah satu masalah kontroversial yang dibicarakan oleh Karl Popper
adalah masalah sumber pengetahuan (the sources of knowledge) yang

3
mempertentangkan dua aliran besar dalam sejarah epistemologi yakni,
empirisme dan rasionalisme. Kaum rasionalis berpendapat bahwa sumber
pengetahuan adalah rasio maka pengetahuan itu harus dicari dalam alam
pikiran atau rasio itu (in the realm of the mind). Sedangkan kaum empiris
berpendapat bahwa pengetahuan bersumber pada pengalaman empiris.
Popper mengafirmasi apa yang pernah dilakukan oleh Immanuel Kant untuk
menjembatani keduanya.
Ia sependapat dengan Kant bahwa tak mungkin pengetahuan adalah
suatu tiruan atau impresi realitas. Ia mendukung gagasan sentral Kant bahwa
teori-teori ilmiah adalah buatan manusia dan bahwa kita mencoba
mendesakkannya berlaku atas dunia. Ia membenarkan pandangan Kant bahwa
pengetahuan bersifat a priori secara genetis atau psikologis. Teori-teori itu
adalah hasil penemuan kita, tetapi mungkin saja teori-teori kita hanya dugaan
yang kurang beralasan (ill-reasoned), konjektur, hipotesis yang imajinatif dan
berani. Dalam pada itu kita dapat menemukan bahwa kita jatuh dalam sikap
dogmatis untuk berpegang teguh pada teori-teori itu, pun kalau teori itu salah.
Sikap kita dalam situasi itu adalah bersikap kritis, menemukan kegagalan
dalam argumentasi itu dalam realitas. Dalam hal itu kita bergerak dari fase
tidak kritis menuju ke fase kritis.
Popper membedakan istilah rasionalisme dalam arti luas dan dalam
arti sempit. Dalam arti luas, rasionalisme dipakai untuk kegiatan intelektual
dan juga pengamatan dan percobaan (observations and experiment). Dalam
arti sempit rasionalisme dipakai untuk dipertentangkan dengan empirisme.
Dalam arti sempit, rasionalisme diagungkan di atas pengamatan dan
percobaan. Kemudian Popper menggunakan kata rasionalisme untuk
dipertentangkan dengan irasionalisme sebagai suatu sikap yang
mengandalkan perasaan dan nafsu dalam menganalisa realitas.
Dalam keberpihakannya pada emprisime, Popper menegaskan bahwa
dalam ilmu pengetahuan hanya pengamatan dan pengalaman boleh
memutuskan diterima atau ditolaknya pernyataan-pernyataan ilmiah,
termasuk hukum dan teori. Dalam pengalaman, teori itu mengalami

4
penyangkalan (refutasi atau falsifikasi) terhadap teori. Alasannya suatu teori
tak dapat diteguhkan (verifikasi), melainkan hanya dapat disangkal
(falsifikasi). Dalam arti itu refutasi atau falsifikasi yang gagal merupakan
penguatan (corroboration) terhadap teori yang coba direfutasikan.
Dengan ini, Popper hendak menunjukkan bahwa prinsip falsifikasi
membuat kita mampu belajar dari kesalahan-kesalahan kita melalui
penunjukan kesalahan dan juga koreksi-koreksi. Pengamatan memperoleh
peranan yang jatmika dan penting sebagai ujian yang mungkin bisa
membantu kita dalam menemukan kesalahan-kesalahan kita. Peranan yang
sama diberikan kepada penalaran rasional (rational argument) untuk
mengkritik usaha-usaha kita dalam menjelaskan realitas.
Popper memodifikasi teori Immanuel Kant tentang teori ilmiah. Kant
menegaskan bahwa “akal kita tidak menarik hukum-hukumnya dari alam …
melainkan mendesakkannya atas alam.” Popper mengkritik argumen yang
terlalu radikal itu. Ia menambahkan bahwa akal memang mampu memahami
realitas secara intuitif, tetapi kita tidak memaksakan melainkan menanyakan
jawaban-jawaban negatif tentang kebenaran teori-teori kita. Hanya lewat
pengujian yang kritis dan ketat inilah keketatan ilmiah dan logika masuk ke
dalam kekuatan empiris.

1. Masalah Induksi
Secara historis, Popper lebih dahulu menghadapi problem
demarkasi dari pada induksi. Tetapi Popper menemukan kekuatan dari
kriteria falsifiabilitas setelah solusi terhadap problem induksi. David Hume
adalah filsuf empiris yang mempersoalkan metode induksi, yaitu masalah
keabsahan dari Explanatory Universal Theory (teori hukum universal),
seperti sistem teoretis dan hipotesis-hipotesis, yang berdasar pada prosedur
induktif. Popper mengkritisi problem induksi Hume dari sisi problem logis
dan problem psikologis.
Dari sisi problem logis, pertanyaan dasarnya ialah: Apakah kita
bisa secara rasional menjustifikasi kesimpulan-kesimpulan umum yang

5
abstrak, dari sejumlah pengalaman partikular yang terjadi berulang kali?
Popper menjawab, ‘tidak’. Alasannya kita tidak bisa secara logis
memberikan justifikasi terhadapnya, berapa pun jumlah pengalaman
partikular yang sering terjadi. Untuk masalah ini pendapat Hume memang
benar.
Dari sisi problem psikologis Hume bertanya: Bagaimana mungkin
semua orang yang berakal justru mau mengharapkan dan percaya bahwa
apa yang tidak dialami (abstrak) itu akan terbentuk dengan hal yang
dialami? Mengapa kita semua mengharapkan hal semacam itu dengan
keyakinan teguh? Hal ini menurut Hume disebabkan oleh kebiasaan,
asosiasi dan repetisi-repetisi. Pengalaman asosiasi seperti ini menurut
Hume bisa mendatangkan manfaat praksis. Dalam masalah ini Popper
menolak jawaban Hume.
Popper berpendapat bahwa pengetahuan yang bersumber pada
psikologisme belaka pada akhirnya mencampakkan hukum ilmiah rasional
pada dasar yang tidak kokoh, baik dalam kawasan logika maupun
pengalaman justru karena sifatnya yang irasional dan abstrak. Dalam hal
ini Popper juga mengkritik Kant yang menerapkan logika probabilitas
pada metode induksi. Popper menemukan jawaban yang psikologis dan
irasional yang akhirnya membuat para ilmuwan ada dalam situasi infinite
regress.
Oleh karena itu, Popper mengusulkan metode deduktif sebagai
metode penemuan ilmu pengetahuan. Metode deduktif ini merupakan
jawaban atas bagaimana kesalahan- kesalahan genetis psikologis tersebut
dapat diidentifikasikan, diuji, dan diredusir, atau dihilangkan dengan
metode yang tepat. Dalam hal ini Popper menekankan fungsi kritik dalam
menganalisis sumber pengetahuan yang bersifat manusiawi.

2. Masalah Demarkasi
Solusi Popper atas problem induksi ternyata mengarahkan
perhatiannya secara lebih serius kepada problem demarkasi. Problem batas

6
antara pengetahuan ilmiah dan yang non ilmiah. Problem demarkasi
sendiri dirumuskan Popper sebagai problem mengenai bagaimana
menemukan sebuah kriteria yang bisa membedakan antara ilmu- ilmu
empiris dari matematika, logika serta sistem-sistem metafisik. Bagi Popper
problem induksi membangkitkan persoalan baru, yaitu bagaimana
menentukan kriteria seputar demarkasi ilmiah yang tepat.
Dalam hal ini kriteria verifiabilitas bukanlah suatu kriteria
demarkasi ilmu melainkan terlebih kriteria pemaknaan. Logika induktif
dan prinsip verifiabilitas mengakibatkan pengetahuan yang bukan ilmiah
(metafisika) tidak bermakna sama sekali (non sense). Popper menolak
identifikasi antara kriteria demarkasi dan logika induktif karena dapat
mengaburkan kedua-duanya. Popper juga menolak identifikasi antara ilmu
pengetahuan dengan pernyataan dasar empiris yang bercorak tangguh.
Popper lantas mengusulkan kriteria demarkasi yang baru.

3. Falsifiabilitas sebagai Kriteria Masalah Demarkasi


Popper merumuskan sebuah kriteria demarkasi, yaitu kriteria
falsifiabilitas (kemampuan dan kemungkinan untuk disalahkan atau
disangkal) dan refutabilitas (kemampuan atau kemungkinan untuk ditolak),
dan testabilitas (kemampuan untuk diuji). Setiap pernyataan ilmiah pada
dasarnya mengandung kemampuan disangkal (refutability in principle).
Popper hendak menegaskan bahwa ilmu pengetahuan empiris harus bisa
diuji deduktif dan terbuka kepada kemungkinan falsifikasi empiris.
Kriteria demarkasi didasarkan pada suatu asimetri logis antara
verifiabilitas dan falsifiabilitas. Hal ini muncul dari bentuk logis
pernyataan-pernyataan universal. Pernyataan-pernyataan universal tidak
bersumber dari pernyataan tunggal, tetapi bisa bertentangan dengannya.
Maka dengan bantuan suatu inferensi deduktif murni dapat ditarik suatu
pernyataan tunggal, falsifiabilitas terhadap pernyataan-pernyataan
universal. Logika deduktif membuat generalisasi empiris atau pernyataan
universal dapat diuji dan disangkal secara empiris, tetapi tidak dapat

7
dibenarkan. Hal itu menegaskan bahwa hukum-hukum ilmiah pada
dasarnya dapat diuji dan disangkal secara empiris, tetapi tidak dapat
dibenarkan atau dibuktikan secara induktif.

4. Syarat Pertumbuhan Pengetahuan


Prinsip falsifikasi Popper berada dalam konteks pembuktian
kebenaran pernyataan ilmiah. Popper merumuskan PP1 TS1 EE PP2
sebagai sebuah proses pertumbuhan pengatahuan yang ilmiah. Rumusan
Popper di atas hendak menegaskan bahwa, ‘sains mulai dari problem dan
berakhir dengan problem’.
a. Problem
Prinsip falsifikasi muncul karena adanyan problem sentral yang
digumuli Popper, yaitu problem pertumbuhan pengetahuan ilmiah.
Popper berpendapat bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya diawali
dan diakhiri dengan problem-problem. Penegasan Popper ini kiranya
dimengerti dalam konteks tentativitas dan konjekturalitas dari setiap
pemecahan ilmiah. Dasar filosofisnya adalah ketegangan eksistensial
antara pengetahuan dan ketidaktahuan yang makin menegaskan
karakter falsifiabilitas dari suatu pemecahan masalah. Semakin
tersingkap pengetahuan, disadari semakin terbatas ketidaktahuan. Inilah
dasar dari prinsip falsifikasi, yaitu keterbatasan hakiki yang terkandung
dalam pengetahuan insani.
Dengan demikian prioritas pada problem harus dikembalikan
kepada fakta dasar insani, yaitu wilayah ketidaktahuan kita yang tidak
terbatas. Ini yang lebih dikenal sebagai prinsip falsifiabilitas. Popper
hendak mengajarkan kepada kita bahwa problem bukan menjadi bahan
pengamatan saja, tetapi lebih pada analisa atas logika situasi. Sebelum
mengambil keputusan atas sebuah masalah kita harus mempelajari
polemik serta bentrokan opini dari mereka yang berkompeten dalam
problem yang sedang dihadapi.

8
b. Teori
Teori atau sistem teoretis mendefinisikan ilmu empiris. Teori
atau pernyataan universal mentransendensikan pengalaman empiris dan
juga pernyataan harian. Bahasa harian selalu merupakan “interpretasi
terhadap fakta-fakta dalam terang teori- teori.” Hal yang sama belaku
juga untuk setiap observasi ilmiah. Observasi ilmiah selalu
membutuhkan bahasa untuk menjelaskannya. Dalam hal ini, kita dapat
menemukan adanya kaitan antara hukum-hukum universal dengan
pengalaman. Popper memberikan dua alasan. Pertama, hukum- hukum
universal membantu kita memahami pengalaman kita. Pengalaman
hanya dapat diinterpretasikan di dalam cahaya harapan-harapan atau
teori-teori yang transendental. Kedua, seorang teoritisian adalah
seorang manusia yang berusaha menerangkan pengalamannya tentang
realitas.
Penjelasan tersebut dilakukan dengan dugaan-dugaan yang
tentatif. Setiap teori pada prinsipnya bersifat sementara waktu dan
bersyarat. Para ilmuwan bertugas untuk menguji dan menyeleksi teori-
teori, yang menjadi problem ilmiah. Dalam hal ini Popper
memperkenalkan suatu kriteria kemajuan bagi teori-teori itu. Teori
tersebut harus bisa bertahan dalam pengujian-pengujian yang khusus.
Pengujian tersebut dengan menggunakan prinsip falsifikasi yang
bersifat kritik rasional.
c. Kritik
Popper menegaskan bahwa kritik adalah syarat yang mutlak
dalam kemajuan ilmiah. Dalam bukunya Objective Knowledge, ia
menegaskan, “Tesis saya yang pertama adalah bahwa titik berangkat
kita dalam pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan harian, dan bahwa
instrumen yang lebih kuat dari perkembangan ilmiah ialah kritik.”Kritik
yang dimaksudkan oleh Popper adalah kritik yang rasional. Kritik
rasional menjadi instrumen utama demi perkembangan kemajuan
ilmiah. Kritik juga merupakan pendorong yang utama dalam

9
perkembangan intelektual dan kemajuan ilmiah.
Dalam pada itu, ilmu pengetahuan bersifat kritis dan tentatif,
tetapi juga penebakan dan pendugaan sementara, membutuhkan kritik
dan pengujian yang kritis. Pengujian kritis hendaknya dilaksanakan dari
pelbagai segi. Pengujian kritis ini yang memungkinkan perbaikan dan
kemajuan ilmiah selangkah demi selangkah.

5. Ciri-ciri Prinsip Falsifikasi


Dalam hubungannya dengan praksis hidup, prinsip falsifikasi
menjadi sebuah metodologi problem solving dengan ciri-ciri sebagai
berikut.
a. Objektif
Popper tidak pernah menyangkal adanya pengetahuan subjektif, akal,
kegiatan mental dan sebagainya. Walaupun begitu Popper hendak
menegaskan bahwa teori tentang pengetahuan subjektif ini haruslah
bersifat objektif. Teori yang objektif adalah teori yang dapat
diargumentasikan, yang dapat dihadapkan pada kritik rasional, lebih-
lebih suatu teori yang dapat diuji dan bukan hanya teori yang mengarah
kepada intuisi subjektif.
b. Rasional
Ide objektivitas Popper erat kaitannya dengan ide rasionalitas, karena
kedua- duanya bertumpu pada pendekatan kritis dan semata-mata
didasarkan pada tradisi kritis. Dalam hal ini objektivitas ilmiah sangat
bertumpu pada kritik timbal balik yang mengena pada masalah yang
dipersoalkan. Konsekuensi lanjut dari aktivitas itu adalah evaluasi
kritis, di mana kita dapat menemukan dan membuang kesalahan pada
ranah ilmu pengetahuan, berjalan dengan sadar untuk menemukan
kontradiksi-kontradiksi. Dalam hal ini sifat rasional ditampakkan dalam
hubungan antara problem, teori dan kritik atasnya. Sebab setiap teori
rasional mampu memecahkan setiap problem tertentu, dan dapat
dipahami hanya dalam hubungannya dengan situasi problem yang

10
hubungannya dapat didiskusikan secara rasional. Dengan demikian kita
dapat mengetahui bahwa yang rasional dan objektif menurut Popper
bersifat rigid, dalam arti bersifat ilmiah.
c. Kritis
Ciri kritis dari prinsip falsifikasi termasuk dalam mekanisme
pertumbuhan pengetahuan itu sendiri. Hal itu muncul dari kriterium
falsifiabilitas yang memungkinkan manusia untuk mengembangkan
pengetahuannya dengan metode trial and error. Proses penemuan
kesalahan itu makin sempurna dengan cara menemukan secara sadar
dan aktif kesalahan-kesalahan sehingga dengan cepat pula
menyingkirkannya.
d. Evolusioner
Salah satu ciri prinsip falsifikasi adalah evolusioner, di mana prosedur
penemuan dan pembuangan kesalahan atau refutasi atas teori-teori yang
tidak tangguh seperti seleksi alamiah Darwinian. Jadi boleh dikatakan
bahwa suatu teori mengalami pertumbuhan secara evolutif. Dalam hal
ini proses pertumbuhan pengetahuan manusiawi tercakup dalam proses
evolusi non-manusiawi. Sebagai manusia yang memiliki rasio yang
memiliki daya kritis, maka manusia menggunakannya dalam konteks
metode ilmiah, yakni dengan kritik yang sadar akan kesalahan-
kesalahan. Ciri evolusioner falsifikasi Popper nampak dalam penegasan
Popper bahwa kritik tersebut harus bersifat sedikit demi sedikit
(piecemeal).
e. Realistis
Sifat realistis prinsip falsifikasi sebenarnya berkaitan erat dengan
pandangan realisme Popper yang bersifat metafisis. Walaupun Popper
tidak pernah secara tegas memisahkan pemikirannya yang metafisis.
Dalam hal ini ia mempertemukan teorinya ini dengan epistemologi
Darwin dengan mengidentikkan keduanya dalam kasus logika
situasional.

11
f. Pluralitas
Ide pluralitas prinsip falsifikasi terkait erat dengan ide emergence dunia
yang berlawanan dengan reduksionisme dan monisme. Untuk
menjelaskan ide tersebut Popper menggunakan argumen yang bertumpu
pada konjektur bahwa terdapat suatu pertumbuhan yang benar yang
datang dari pertumbuhan ilmiah. Sifat emergence itu sendiri datang dari
sifat teori dan pengetahuan yang objektif. Konsekuensinya, muncullah
pembedaan antara pikiran yang subjektif dan yang objektif. Walaupun
kedua-duanya memiliki hubungan yang kausal, tapi tak dapat saling
berhadapan dalam hubungan logis.

12
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Falsifiabilitas atau refutabilitas adalah kemungkinan bahwa adanya
kemungkinan logis sebuah pernyataan untuk dapat difalsifikasi atau
ditunjukkan salah melalui observasi atau ujicoba empiris. Sesuatu yang bisa
difalsifikasi bukan berarti itu salah, namun berarti bahwa jika pernyataan
tersebut salah, maka kesalahannya dapat ditunjukkan.
Prinsip falsifikasi digunakan Popper dalam membedakan argumen
ilmiah dan non ilmiah. Prinsip itu sendiri muncul dalam teori epistemologi
yang dikembangkannya dalam filsafat ilmu pengetahuan (philosophy of
science). Oleh karena itu, penjelasan tentang falsifikasi ini dimulai dari
sumber-sumber pengetahuan berkembang ke permasalahan induksi dan
demarkasi. Dalam bagian ini saya juga akan menjelaskan syarat-syarat
tumbuhnya pengetahuan sebagai asumsi pre kondisi atas prinsip falsifikasi.
Kemudian karakteristik ilmiah dari falsifikasi itu sendiri dan ciri-ciri dari
prinsip falsifikasi.
Sumber-sumber Pengetahuan: Rasionalisme Kritis
a. Masalah Induksi
b. Masalah Demarkasi
c. Falsiabilitas sebagai masalah Demarkasi

B. SARAN
Dengan membaca dan menganalisis pemikiran dasar Karl Raimund
Popper ini di harapkan dapat menambah dan memperdalam pemahaman
mengenai cabang cabang dan pemikiran yang berkaitan tentang ilmu
pengetahuan.

13
DAFTAR PUSTAKA

Muslih Mohammad, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar,2014

Drs. Beni Ahmad Soebani, M.Si, Filsafat Ilmu, Bandung: Pustaka Setia, 2009

Drs. A. Susanto, MP.d, Filsafat Ilmu, Jakarta, Bumi Aksara, 2013

http://citraputraraharjo.blogspot.com/2013/10/falsifikasi-karl-popper.htmdi
unduh pada tanggal 4 November 2023

http://panjikeris.wordpress.com/2012/03/22/teori-falsifikasi-karl-popper di unduh
pada tanggal 4 november 2023

Komarudin, Falsifikasi Karl Popper Dan Kemungkinan Penerapannya Dalam


Keilmuan Islam, Jurnal At-Taqaddum, Volume 6, Nomor 2, Nopember 2014

Muslih, Mohammad, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Belukar, 2008

14

Anda mungkin juga menyukai