Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

FILSAFAT EMPIRISME, FRAGMATISME


DAN POSITIFISME

Oleh :

KELOMPOK 6
1. ABDUL RASYID
2. LISNAWATI
3. HARDIANTI RUSDIANA

PRODI PERBANKAN SYARI’AH


FAKULTAS SYARI'AH
INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI
(IAIH) PANCOR
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha


Esa, karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan
sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah
berkontribusi dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun
dengan baik dan rapi.
Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para
pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang
bersifat membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
Pancor, 10 Januari 2020
Tim penyusun

Kelompok 6

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara historis filsafat merupakan induk ilmu, dalam
perkembangannya ilmu makin terspesifikasi dan mandiri, namun mengingat
banyaknya masalah kehidupan yang tidak bisa dijawab oleh ilmu, maka
filsafat menjadi tumpuan untuk menjawabnya. Filsafat memberi penjelasan
atau jawaban substansial dan radikal atas masalah tersebut. Sementara ilmu
terus mengembangakan dirinya dalam batas-batas wilayahnya, dengan tetap
dikritisi secara radikal. Proses atau interaksi tersebut pada dasarnya
merupakan bidang kajian Filsafat Ilmu, oleh karena itu filsafat ilmu dapat
dipandang sebagai upaya menjembatani jurang pemisah antara filsafat
dengan ilmu, sehingga ilmu tidak menganggap rendah pada filsafat, dan
filsafat tidak memandang ilmu sebagai suatu pemahaman atas alam secara
dangkal.
Filsafat atau falsafat, berasal dari bahasa Yunani. Kalimat ini berasal
dari kata philosophia yang berarti cinta pengetahuan. terdiri dari kata philos
yang berarti cinta, senang, suka dan kata, sedangkan kaa Sophia berarti
pengetahuan, hikmah, dan kebijaksanaan. Dengan demikian filsafat adalah
cinta kepada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada hikmah dan
kebiaksanaan.
Pada dasarnya filsafat ilmu merupakan kajian filosofis terhadap hal-
hal yang berkaitan dengan ilmu, dengan kata lain filsafat ilmu merupakan
upaya pengkajian dan pendalaman mengenai ilmu (Ilmu
Pengetahuan/Sains), baik itu ciri substansinya, pemerolehannya, ataupun
manfaat ilmu bagi kehidupan manusia. Pengkajian tersebut tidak terlepas dari
acuan pokok filsafat yang tercakup dalam bidang ontologi, epistemologi,
dan axiologi dengan berbagai pengembangan dan pendalaman yang dilakukan
oleh para ahli.
Tak dapat dipungkiri, zaman filsafat modern telah dimulai, dalam
era filsafat modern, dan kemudian dilanjutkan dengan filsafat abab ke- 20,

1
munculnya berbagai aliran pemikiran, yaitu: Rasionalisme, Emperisme,
Kritisisme, Idealisme, Positivisme, Evolusionisme, Materalisme, Neo-
kantianisme, Pragmatisme, Filsafat Hidup, Fenomenologi, Eksistensialisme
dan Neo-Thomisme. Namun didalam pembahasan kali ini penulis hanya
membahas aliran empirisme, pragmatisme dan positivisme.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat di tarik
rumusan masalahnya sebagai berikut :
1. Bagiamana penjelasan tentang aliran filsafat empirisme?
2. Bagiamana penjelasan tentang aliran filsafat pragmatisme?
3. Bagiamana penjelasan tentang aliran filsafat positivisme?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Filsafat Empirisme
1. Sejarah Aliran Empirisme
Aliran empirisme ini dipelopori oleh John Locke, filosof Inggris
yang hidup pada tahun 1632-1704. Gagasan pendidikan Locke dimuat
dalam bukunya “Essay Concerning Human Understanding” . Aliran
empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292) dan Thomas Hobes
(1588-1679), namun mengalami sistematisi pada dua tokoh berikutnya,
John Locke dan David Hume.
2. Pengertian Empirisme
Beberapa pemahaman tentang pengertian empirisme cukup
beragam, namun intinya adalah pengalaman. Di antara pemahaman
tersebut antara lain:
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan
bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme
menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan
dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga
eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.
Empirisme secara etimologis berasal dari kata bahasa Inggris
empiricism dan experience.Kata-kata ini berakar dari kata bahasa
Yunani έμπειρία (empeiria) yang berarti pengalaman Sementara menurut
A.R. Laceyberdasarkan akar katanya Empirisme adalah aliran dalam
filsafat yangberpandangan bahwa pengetahuan secara keseluruhan atau
parsial didasarkankepada pengalaman yang menggunakan indera.
Para penganut aliran empiris dalam berfilsafat bertolak belakang
dengan para penganut aliran rasionalisme. Mereka menentang pendapat-
pendapat para penganut rasionalisme yang didasarkan atas kepastian-
kepastian yang bersifat apriori. Menurut pendapat penganut empirisme,
metode ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori tetapi posteriori,

3
yaitu metode yang berdasarkan atas hal-hal yang datang, terjadinya atau
adanya kemudian.
Bagi penganut empirisme sumber pengetahuan yang memadai itu
adalah pengalaman. Yang dimaksud dengan pengalaman disini adalah
pengalaman lahir yang menyangkut dunia dan pengalaman bathin yang
menyangkut pribadi manusia. Sedangkan akal manusia hanya berfungsi
dan bertugas untuk mengatur dan mengolah bahan-bahan atau data yang
diperoleh melalui pengalaman.
3. Ajaran-ajaran pokok Empirisme
a. Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang
dibentuk dengan menggabungkan apa yang dialami.
b. Pengalaman inderawi adalah satu-satunya sumber pengetahuan, dan
bukan akal atau rasio.
c. Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data
inderawi.
d. Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara
tidak langsung dari data inderawi (kecuali beberapa kebenaran
definisional logika dan matematika).
e. Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang
realitas tanpa acuan pada pengalaman inderawi dan penggunaan panca
indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk mengolah bahan bahan
yang di peroleh dari pengalaman.
f. Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa
pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan.
4. Jenis-jenis Emperisme
a. Empirio-Kritisisme
Disebut juga Machisme. Sebuah aliran filsafat yang bersifat
subyaktif - idealistik. Aliran ini didirikan oleh Avenarius dan Mach.
Inti aliran ini adalah ingin “membersihkan” pengertian pengalaman
dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya,
sebagai pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan

4
konsep dunia sebagai kumpulan jumlah elemen-elemen netral atau
sensasi-sensasi (pencerapan-pencerapan). Aliran ini dapat dikatakan
sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara
sembunyi- sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral
filsafat. Aliran ini juga anti metafisik.
b. Empirisme Logis
Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan
problem filosofis dan ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada
pandangan-pandangan berikut:
1) Ada batas-batas bagi Empirisme. Prinsip system logika formal
dan prinsip kesimpulan induktif tidak dapat dibuktikan dengan
mengacu pada pengalaman.
2) Semua proposisi yang benar dapat dijabarkan (direduksikan)
pada proposisi-proposisi mengenai data inderawi yang kurang
lebih merupakan data indera yang ada seketika
3) Pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat kenyataan yang
terdalam pada dasarnya tidak mengandung makna.
c. Empiris Radikal
Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat
dilacak sampai pada pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat
dilacak secara demikian itu, dianggap bukan pengetahuan. Soal
kemungkinan melawan kepastian atau masalah kekeliruan melawan
kebenaran telah menimbulkan banyak pertentangan dalam filsafat.
Ada pihak yang belum dapat menerima pernyataan bahwa
penyelidikan empiris hanya dapa memberikan kepada kita suatu
pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan bahwa
pernyataan- pernyataan empiris, dapat diterima sebagai pasti jika tidak
ada kemungkinan untuk mengujinya lebih lanjut dan dengan begitu
tak ada dasar untuk keraguan. Dalam situasi semacam ini, kita tidak
hanya berkata: Aku merasa yakin (I feel certain), tetapi aku yakin.
Kelompok falibisme akan menjawab bahwa: tak ada pernyataan

5
empiris yang pasti karena terdapat sejumlah tak terbatas data inderawi
untuk setiap benda, dan bukti-bukti tidak dapat ditimba sampai habis
sama sekali.
5. Tokoh-tokoh Empirisme
a. Jonh Locke (1673-1704)
Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di
Oates Inggris. Ia juga ahli politik, ilmu alam, dan kedokteran.
Pemikiran John termuat dalam tiga buku pentingnya yaitu essay
concerning human understanding, terbit tahun 1600; letters on
tolerantion terbit tahun 1689-1692; dan two treatises on government,
terbit tahun 1690. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap aliran
rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah
rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia
yang diperoleh melalui panca indera.
b. David Hume (1711-1776).
David Hume lahir di Edinburg Scotland tahun 1711 dan wafat tahun
1776 di kota yang sama. Hume seorang nyang menguasai hukum,
sastra dan juga filsafat. Karya tepentingnya ialah an encuiry
concercing humen understanding, terbit tahun 1748 dan an encuiry
into the principles of moral yang terbit tahun 1751.
6. Kelebihan dan Kelemahan Empirisme
a. Kelebihan empirime adalah pengalaman indera merupakan sumber
pengetahuan yang benar, karena faham empiris mengedepankan
fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
b. Sedangkan kelemahan empirisme cukup banyak Prof. Dr. Ahmad
Tafsir mengkritisi empirisme atas empat kelemahan, sebagai berikut.
1) Indra terbatas. Benda yang jauh kelihatan kecil. Apakah
benda itu kecil benda itu kecil? Tidak. Keterbatasan kemampuan
indera ini dapat melaporkan objek salah.

6
2) Indera menipu. Pada orang yang sakit malaria, gulara rasanya
pahit, udara panas dirasakan dingin. Ini akan menimbulkan
pengetahuan empiris yang salah juga.
3) Objek yang menipu. Contohnya ilusi, fatamorgana. Jadi,
objek itu sebenarnya tidak sebagaimana ia tangkap oleh alat
indera; ia membihongi indera. Ini jleas dapat menimbulkan
inderawi yang salah.
4) Indera dan objek sekaligus. Dalam hal ini indera (di sini mata)
tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan, dan
kerbau itu juga tidak dapat memperlihatkan badannya secara
keseluruhan. Jika melihatnya dari depan, yang kelihatan adalah
kepala kerbau, dan kerbau pada saat itu memang tidak mampu
sekaligus memperlihatkan ekornya. Kesimpulannya ialah
empirisme lemah karena keterbatasan indera manusia.
7. Implementasi bagi Perkembangan Studi Keilmuan
Empirisme memiliki andil yang besar dalam ilmu, yaitu dalam
pengembangan berpikir induktif. Dalam ilmu pengetahuan, sumbangan
utama adalah lahirnya ilmu pengetahuan modern dan penerapan metode
ilmiah untuk membangun pengetahuan. Selain daripada itu, tradisi
empirisme adalah fundamen yang mengawali mata rantai evolusi ilmu
pengetahuan sosial, terutama dalam konteks perdebatan apakah ilmu
pengetahuan sosial itu berbeda dengan ilmu ala m. Sejak saat itu empirisme
menempati tempat yang terhormat dalam metodologi ilmu pengertahuan
sosial. Acapkali empirisme di paralelkan dengan tradisi positivisme.
Namun demikian keduanya mewakili pemikiran filsafat ilmu yang berbeda.
Sedangkan dalam Islam, Empirisme dalam Islam mempunyai peran
penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan seperti ilmu Fiqh yang
bebasis empiris, yaitu (ibadah mumalah), shalat, zakat, puasa, dan haji.
Empirisme lahir dan terjebak kepada afirmasi rasio praksis dan
menegasikan rasio murni sehingga muncul dogmatisme empiris sendiri,
terlebih dengan membangun kecurigaan/ ketidakpercayaan/ menegasikan

7
(skeptisis) terhadap epistema yang lainnya telah banyak dianut oleh
pendidikan modern, inilah bukti kenaifannya.

B. Silsafat Fragmatisme
1. Sejarah Kemunculan Pragmatisme
Pragmatisme sebagai suatu gerakan dalam filsafat lahir pada akhir
abad ke-19 di Amerika. Karena itu sering dikatakan bahwa pragmatisme
merupakan sumbangan yang paling orisinal dari pemikiran Amerika
terhadap perkembangan filsafat dunia. Pragmatisme dilahirkan dengan
tujuan untuk menjebatani dua kecenderungan berbeda yang ada pada
saat itu. Kedua kecenderungan yang mau dijembatani itu yakni,
pertantangan yang terjadi antara “yang spekulatif” dan “yang praksis”.
Tradisi pemikiran yang spekulatif bersumber dari warisan filsafat
rasionalistik Descartes dan berkembang melalui idealisme kritis dari
Kant, idealisme absolut Hegel serta sejumlah pemikir rasionalistik
lainnya.[6] Warisan ini memberikan kepada rasio manusia kedudukan
yang terhormat kerena memiliki kekuatan instrinsik yang besar. Warisan
ini pulalah yang telah mendorong para filsuf dan ilmuwan-ilmuwan
membangun teori-teori yang mengunakan daya nalar spekulatif rasio
untuk mengerti dan menjelaskan alam semesta. Akan tetapi, di pihak
lain ada juga warisan pemikiran yang hanya begitu menekankan
pentingnya pemikiran yang bersifat praksis semata (empirisme). Bagi
kelompok ini, kerja rasio tidak terlalu ditekankan sehingga rasio
kehilangan tempatnya. Rasio kehilangan kreativitasnya sebagai instrumen
khas manusiawi yang mampu membentuk pemikiran dan mengarahkan
sejarah. Hasil dari model pemikiran ini yakni munculnya ilmu-ilmu
terapan. Termasuk di dalamnya yakni Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK).
2. Pengertian Pragmatisme
Pragmatism berasal dari kata pragma yang berarti guna. Pragma
berasal dari kata yunani. Maka pragmatisme adalah suatu aliran filsafat

8
abad ke -20 yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang
membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang
bermanfaat secara praktis.
Pragmatisme merupakan teoriu kebenaran yang mendasarkan
diri kepada criteria tentang fungsi atau tidaknya suatu pernyataan dalam
lingkup ruang dan waktu tertentu.
Menrut teori ini, suatu kebenaran suatu pernyataan di ukur dengan
menggunakan criteria fungsional. Suatu pernyataan benar jika pernyataan
tersebut memiliki fungsi atau kegunaan dalam kehidupan praktis.
Jadi, kebenaran menurut paham ini bukan kebenaran yang di lihat dari
segi etik, baik atau buruk, tetapi kebenaran yang di dasarkan pada
kegunaannya
3. Tokoh Pragmatisme Dan Pemikirannya
1. Charles Sandre Peirce ( 1839 M )
Dalam konsepnya ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan
berpengaruh bila memang memuat hasil yang praktis. Pada
kesempatan yang lain ia juga menyatakan bahwa, pragmatisme
sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika, dan bukan teori
kebenaran, melainkan suatu teknik untuk membantu manusia dalam
memecahkan masalah. Dari kedua pernyataan itu tampaknya Pierce
ingin menegaskan bahwa, pragmatisme tidak hanya sekedar ilmu
yang bersifat teori dan dipelajari hanya untuk berfilsafat serta
mencari kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena tidak pernah
memikirkan hakekat dibalik realitas, tetapi konsep pragmatisme lebih
cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan
persoalan yang dihadapi manusia. Peirce mengemukakan dua metode
yaitu metode pragmatik dan prosedur penetapan makna. Yang
dimaksud metode pragmatik merupakan sebuah ide yang kita
pikirkan itu bisa menjadi jelas. Metode pragmatik bukan
dimaksudkan untuk menetapkan makna semua ide melainkan untuk

9
konsep intelektual yang dimiliki struktur argumentatif atas fakta
obyektif.
2. William, James (1842-1910)
Lahir di new York, pada tahun 1842. Setelah belajar ilmu kedokteran
di universitas Harvard, ia kemudian pada tahun 1855-1860 belajar di
Inggris, prancis, Swiss, dan Jerman. memperkenalkan ide-idenya
tentang pragmatism kepada dunia. Ia ahli dalam bidang seni,
psikologi, anatomi, fisiologi, dan filsafat. Pemikiran filsafatnya lahir
karena dalam sepanjang hidupnya mengalami konflik antara
pandangan ilmu pengetahuan dengan pandangan agama. Ia
beranggapan, bahwa masalah kebenaran tentang asal/tujuan dan
hakikatnya bagi orang Amerika terlalu teoritis. Ia menginginkan
hasil-hasil yang konkrit. Dengan demikian, untuk mengetahui
kebenaran dari idea tau konsep haruslah diselidiki konskuensi-
konskuensi praktisnya.
3. Jhon Dewey
Ia dilahirkan di Burlingtonpada tahun 1859. Setelah menyelesaikan
studinya di Baltimore ia menjadi guru besar di bidang filsafat dan
kemudian juga bidang pendidikan pada universitas-universitas di
Mionnesota, Michigan, Chicago (1894-1904), dan akhirnya
universitas Columbia (1904-1929). Menurut Dewey, penyelidikan
adalah transformasi yang terawasi atau terpimpin dari suatu keadaan
yang tertentu. Penyelidikan berkaitan dengan penyusunan kembali
pengalaman yang di lakukan dengan sengaja. Oleh karena itu,
penyelidikan dengan penilaiannya adalah suatu alat (instrumenth).
Jadi yang di maksud dengan instrumentalisme adalah suatu usaha
untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konmsep-
konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan
dalam bentuknya yang bermacam-macam itu, dengan cara pertama-
tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-

10
penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai
konsekuensi- konsekuensi di masa depan.
4. Ciri Khas Pragmatisme
Seperti yang kita lihat dalam uraian sebelumnya, secara umum
orang memakai istilah pragmatisme sebagai ajaran yang mengatakan
bahwa suatu teori itu benar sejauh sesuatu mampu dihasilkan oleh teori
tersebut. Misalnya sesuatu itu dikatakan berarti atau benar bila berguna
bagi masyarakat. Sutrisno lebih lanjut menyatakan bahwa pragmatisme
lebih merupakan suatu teori mengenai arti daripada teori tentang
kebenaran.
Menurut Peirce kebenaran itu ada bermacam-macam. Ia sendiri
membedakan kenajemukan kebenaran itu sebagai berikut : Pertama,
trancendental truth yang diartikan sebagai letak kebenaran suatu hal itu
bermukim pada kedudukan benda itu sebagai benda itu sendiri.
Singkatnya letak kebenaran suatu hal adalah pada “things as things”.
Kedua, complex truth yang berarti kebanaran dari pernyataan-
pernyataan. Kebenaran kompleks ini dibagi dalam dua hal, yaitu
kebenaran etis disatu pihak dan kebanaran logis dipihak lain. Ketiga, yaitu
ide tentang kaitan salah satu bentuk pasti dari obyek yang diamati oleh
penilik, ciri khas pragmatisme merupakan ,etode untuk ,e,astikam arti
ide-ide di atas.
5. Kekuatan dan Kelemahan Pragmatisme
a. Kekuatan Pragmatisme.
1) Pragmatisme mengarahkan aktivitas manusia untuk hanya sekedar
mempercayai pada hal yang sifatnya riil, indrawi, dan yang
manfaatnya bisa dinikmati secara praktis pragmatis dalam
kehidupan sehari-hari.
2) Pragmatisme telah berhasil mendorong berfikir yang liberal,
bebas, dan selalu menyangsikan segala yang ada. Berangkat dari
sikap skeptis tersebut, pragmatisme telah mampu mendorong dan
member semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba

11
membuktiakn suatu konsep lewat penelitian-penelitian,
pembuktian-pembuktian dan eksperimen- eksperimen sehingga
muncullah temuan-temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan
dan teknologi yang mampu mendorong secara dahsyat terhadap
kemajuan di bidang sosial dan ekonomi.
3) Sesuai dengan coraknya yang “sekuler” pragmatisme tidak mudah
percaya pada “kepercayaan yang mapan”. Suatu kepercayaan
dapat di terima apabila terbukti kebenarannya lewat pembuktian
yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya suatu
yang sacral dan mitos. Dengan coraknya yang terbuka,
kebanyakan kelompok pragmatisme merupakan pendukung
terciptanya demokratisasi, kebebasan manusia, dan gerakan-
gerakan progresif dalam masyarakat modern.
b. Kelemahan Pragmatisme:
1) Pada perkembangannya pragmatisme sangat mendewakan
kemampuan akal dalam upaya mencapai kebutuhan kehidupan,
maka sikap seperti ini menurus kepada sikap hateisme.
2) Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat
pragmatisme adalah suatu yang nyata, praktis, dan langsung dapat
di nikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptakan
pola pikir masyarakat yang materialis. Manusia berusaha keras
untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan yang bersifat rohaniah,
maka dalam otak masyarakat pragmatisme trelah di hinggapi oleh
penyakit materialism.
3) Untuk mencapai tujuan materialismenya, manusia mengejarnya
dengan berbagai cara, tanpa mempedulikan lagi bahwa dirinya
merupakan anggota dari masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa
mengenal batas waktu hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan
materinya, maka dalam struktur masyarakatnya manusia hidup
semakin egois individualis. Dari sini masyarakat pragmatisme
menderita penyakit humanisme.

12
6. Implementasi Filsafat Pragmatisme
Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan
agar subjek didik saat belajar di sekolah tak berbeda ketika ia berada di
luar sekolah. Oleh karenanya, kehidupan di sekolah selalu disadari
sebagai bagian dari pengalaman hidup, bukan bagian dari persiapan untuk
menjalani hidup. Di sini pengalaman belajar di sekolah tidak berbeda
dengan pengalaman saat ia belajar di luar sekolah. Pelajar menghadapi
problem yang menyebabkan lahirnya tindakan penuh dari pemikiran yang
relative. Di sini kecerdasan disadari akan melahirkan pertumbuhan dan
pertumbuhan akan membawa mereka di dalam beradaptasi dengan dunia
yang berubah. Ide gagasan yang berkembang menjadi sarana keberhasila.
a. Instrumemtalisme
Dewey berpendapat bahwa berpikir sebagai alat untuk memecahkan
masalah. Dengan demikian maka ia mengesampingkan penelitian ilmu
murni yang secara langsung berkaitan dengan kehidupan konkret.
b. Eksperimentalisme
Kita menguji kebenaran suatu peoposisi dengan melakukan
percobaan. Dengan demikian maka tidak ada kebenaran yang pasti
dan dapat dijadikan pedoman dalam bertindak. Misalnya: suatu UU
terus menerus diuji. Lantas, kapan masyarakat bisa menjadikan UU
itu sebagai pedoman untuk bertindak? Pendek kata dalam hidup
bermasyarakat, kita memerlukan kebenaran yang ditetapkan, bukan
terus-menerus diuji.
c. Pendidikan
Dewey menekankan pendidikan formal berdasarkan minat anak-anak
dan pelajaran yang diberikan hendaknya disesuaikan dengan minat
anak-anak. Dengan pandangan yang demikian maka pelajaran yang
berlangsung di sekolah tidak difokuskan karena minat setiap anak itu
berbeda-beda. Demikian juga dengan pelajaran-pelajaran pokok yang
harus diajarkan kepada anak-anak tidak dapat diterapkan dengan baik.
d. Moral

13
Penolakan dewey terhadap gagasan adanya final end berdasarkan
finalis kodrat manusia dan sebagai gantinya ia menekankan peran
ends-in-view, membuat teorinya jatuh pada masalah ”infinite regress”
(tidak adanya pandangan yang secara logis memberi pembenaran
akhir bagi proses penalaran. Karena adanya final end yang berlaku
universal ditolak dan yang ada adalah serangkaian ends - in-view
maka pembenaran terhadap ends-in-view tidak pernah dilakukan
secara defenitif. Akibatnya tidak ada tolak ukur yang tegas untuk
menilai tindakan itu baik atau tidak.
C. Filsafat Positifisme
1. Sejarah Filsafat Positivisme
Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar
1825). Prinsip filosofik tentang positivisme dikembangkan pertama kali
oleh seorang filosof berkebangsaan Inggeris yang bernama Francis Bacon
yang hidup di sekitar abad ke-17 (Muhadjir, 2001). Ia berkeyakinan bahwa
tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori
akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu
harus melakukan observasi atas hukum alam.
Pada paruh kedua abad XIX muncullah Auguste Comte (1798-
1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang menggunakan
istilah ini kemudian mematoknya secara mutlak sebagai tahapan paling
akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat dalam karya utamanya
yang berjudul Course de Philosophie Phositive, Kursus tentang Filsafat
Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid (Achmadi, 1997).
2. Pengertian Positivisme
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama
artinya dengan faktual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut
positivisme, pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta.
Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh
istimewa dalam bidang pengetahuan. Oleh karena itu, filsafat pun harus
meneladani contoh tersebut. Maka dari itu, positivisme menolak cabang

14
filsafat metafisika. Menanyakan “hakikat” benda-benda, atau “penyebab
yang sebenarnya”, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta
dan hubungan yang terdapat antara fakta- fakta (Praja, 2005).
Jadi, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu
alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan
menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak
mengenal adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data empiris.
Positivisme dianggap bisa memberikan sebuah kunci pencapaian hidup
manusia dan ia dikatakan merupakan satu-satunya formasi sosial yang
benar-benar bisa dipercaya kehandalan dan dan akurasinya dalam
kehidupan dan keberadaan masyarakat.
Comte sering disebut “Bapak Positivisme“ karena aliran filsafat yang
didirikannya tersebut. Positivisme adalah nyata, bukan khayalan. Ia
menolak metafisika dan teologik. Jadi menurutnya ilmu pengetahuan harus
nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan.
Positivisme merupakan suatu paham yang berkembang dengan sangat
cepat, ia tidak hanya menjadi sekedar aliran filsafat tapi juga telah
menjadi agama humanis modern . Positivisme telah menjadi agama
dogmatis karena ia telah melembagakan pandangan dunianya menjadi
doktrin bagi ilmu pengetahuan. Pandangan dunia yang dianut oleh
positivisme adalah pandangan dunia objektivistik. Pandangan dunia
objektivistik adalah pandangan dunia yang menyatakan bahwa objek-objek
fisik hadir independen dari mental dan menghadirkan properti- properti
mereka secara langsung melalui data indrawi. Realitas dengan data
indrawi adalah satu. Apa yang dilihat adalah realitas sebagaimana adanya.
Seeing is believing (Syaebani, 2008).
Tugas khusus filsafat menurut aliran ini adalah mengoordinasikan
ilmu-ilmu pengetahuan yang beraneka ragam coraknya. Tentu saja maksud
positivisme berkaitan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme.
Positivisme pun mengutamakan pengalaman. Hanya saja berbeda dengan
empirisme Inggris yang menerima pengalaman batiniah atau subjektif

15
sebagai sumber pengetahuan, positivisme tidak menerimanya. Ia hanya,
mengandalkan pada fakta-fakta.
3. Perkembangan Positivisme
Auguste Comte dilahirkan pada tahun 1798 di kota Monpellir
Perancis Selatan. Ayah dan ibunya menjadi pegawai kerajaan dan
merupakan penganu t agama Katolik yang cukup tekun. Ia menikah
dengan seorang pelacur bernama Caroline Massin yang kemudian dia
menyesali perkawinan itu. Dia pernah mengatakan bahwa perkawinan itu
adalah satu-satunya kesalahan terbesar dalam hidupnya. Dari kecil
pemikiran-pemikiran Comte sudah mulai kelihatan, kemudian setelah ia
menyelesaikan sekolahnya pada jurusan politeknik di Paris 1814-1816,
dia diangkat menjadi sekretaris oleh Saint Simon yaitu seorang pemikir
yang dalam merespon dampak negatif renaissance menolak untuk kembali
pada abad pertengahan akan tetapi harus direspon dengan
menggunakan basis intelektual baru, yaitu dengan berfikir empirik dalam
mengkaji persoalan-persoalan realitas sosial. Pergulatan intelektual dengan
Saint Simon inilah yang kemudian membuat pola fikir Comte berkembang.
Karena ketidak cocokan Comte dengan Saint Simon akhirnya ia
memisahkan diri dan kemudian Comte menulis sebuah buku yang berjudul
“System of Positive Politics, Sistem Politik Positif” tahun 1824. Berawal
dari pemikiran Plato dan Aristoteles, Comte mencoba menggabungkannya
menjadi positivistik (Purwanto, 2008).
Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme yaitu:
a. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada
Sosiologi (positivisme sosial dan evolusioner), walaupun perhatiannya
juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte
dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya
Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
b. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme –
berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan
Avenarius (positivisme kritis). Keduanya meninggalkan pengetahuan

16
formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu
ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan
ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung
dengan subyektivisme. Perkembangan positivisme tahap terakhir
berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath,
Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain (positivisme logis). Serta
kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap
ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua
kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis,
positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap
ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur
penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
4. Ciri-Ciri Positivisme
Ciri-ciri Positivisme antara lain:
a. Objektif/bebas nilai. Dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai
mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dari realitas dengan
bersikap bebas nilai. Hanya melalui fakta-fakta yang teramati dan
terukur, maka pengetahuan kita tersusun dan menjadi cermin dari
realitas (korespondensi).
b. Fenomenalisme, tesis bahwa realitas terdiri dari impresi-impresi. Ilmu
pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi
tersebut. Substansi metafisis yang diandaikan berada di belakang
gejala - gejala penampakan ditolak (antimetafisika)
c. Nominalisme, bagi positivisme hanya konsep yang mewakili realitas
partikularlah yang nyata.
d. Reduksionisme, realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat
diamati.
e. Naturalisme, tesis tentang keteraturan peristiwa-peristiwa di alam
semesta yang meniadakan penjelasan supranatural (adikodrati).
Alam semesta memiliki strukturnya sendiri dan mengasalkan
strukturnya sendiri.

17
f. Mekanisme, tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan
prinsip- prinsip yang dapat digunakan untuk menjelaskan mesin-
mesin (sistem-sistem mekanis). Alam semesta diibaratkan sebagai
giant clock work (Syaebani, 2008).

18
5. Implementasi Filsafat Positivisme
Salah satu cita-cita bangsa Indonesia ialah menciptakan generasi-
generasi penerus bangsa yang tidak hanya cerdas dari segi kognitif saja
melainkan juga cerdas secara emosi dan spriritual melalui bidang
pendidikan.
Melalui filsafat positivisme, pendidikan diarahkan kepada hal baik
dalam segi intelektual dan berbagai bidang kehidupan untuk menciptakan
anak didik yang sempurna baik lahir maupun batinnya. Peserta didik
diasah dalam kemampuannya melihat, menemukan fakta-fakta,
menganalisis sesuatu, serta mentransfer ilmu kepada lingkungannya.
sehingga diharapkan dapat terbentuknya anak bangsa yang kreatif,
berkarakter, serta mampu berkontribusi dalam pembangunan bangsa agar
lebih baik dan mampu bersaing dengan negara asing.
6. Fungsi Filsafat Positivisme
Berdasarkan uraian pada bagian terdahulu kiranya dapat
dikatakan mengenai, fungsi filsafat positivisme yaitu.
a. Perkembangan yang diberi konotasi sebagai kemajuan memberikan
makna bahwa positivisme telah mempertebal optimisme. Hal
tersebut melahirkan pengetahuan yang positif yang terlepas dari
pengaruh-pengaruh spekulatif, atau dari hukum-hukum yang
umum. Berkat pandangan positivisme orang'tidak sekedar
menghimpun f a kt a , t a p i ia b e ru p a ya me ra ma l ma s a
depa n , ya n g a ntara lain turut mendorong perkembangan teknologi
b. Kemajuan dalam bidang fisik telah menimbulkan berba gai imp
likasi da la m seg i keh idupan. Dengan kata la in, f ungsi filsafat
positivisme ini berperan sebagai pendorong timbulnya
perkembangan dan kemajuan yang dira sakan sebagai kebutuhan.
c. Dengan adanya penekanan dari filsafat positivisme terhadap segi
rasional ilmiah, maka berf ungsi pula kemampuannya untuk
menerangkan kenyataan, sedimikian rupa hingga keyakinannya
akan kebenaran semakin terbuka.

19
7. Kelebihan dan Kelemahan Positivisme
a. Kelebihan Positivisme
1) Positivisme lahir dari faham empirisme dan rasional, sehingga
kadar dari faham ini jauh lebih tinggi dari pada kedua faham
tersebut.
2) Hasil dari rangkaian tahapan yang ada didalamnya, maka
akan menghasilkan suatu pengetahuan yang mana manusia akan
mempu menjelaskan realitas kehidupan tidak secara spekulatif,
arbitrary, melainkan konkrit, pasti dan bisa jadi mutlak, teratur
dan valid.
3) Dengan kemajuan dan dengan semangat optimisme, orang
akan didorong untuk bertindak aktif dan kreatif, dalam artian tidak
hanya terbatas menghimpun fakta, tetapi juga meramalkan masa
depannya.
4) Positivisme telah mampu mendorong lajunya kemajuan disektor
fisik dan teknologi.
5) Positivisme sangat menekankan aspek rasionali-ilmiah, baik
pada epistemology ataupun keyakinan ontologik yang
dipergunakan sebagai dasar pemikirannya
b. Kelemahan Positivisme
1) Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis
sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan
bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia
tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.
2) Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak
dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan
banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan,
Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu
didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan
keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivistik

20
berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya
kepada agama semakin meningkat.
3) Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga
manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada.
Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan.
4) Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris
sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.
5) Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu
yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal
tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu
diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak
sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak
saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan
kajian.
6) Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia
sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincar – seakan
setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk
mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada
puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic
8. Tokoh-tokoh Positivisme
a. Auguste Comte ( 1798 – 1857 )
b. John Stuart Mill ( 1806 – 1873 )
c. H. Taine ( 1828 – 1893 )
d. Emile Durkheim (1852 – 1917 )

21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan diatas dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Filsafat mempunyai banyak aliran dan terus berkembang sejalan dengan
perubahan zaman.
2. Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti
tindakan, perbuatan. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan
bahwa yang benar apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan
perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis.
3. Dalam paham empirisme, pengalaman sebagai sumber utama
pengetahuan, baik pengalaman lahiriyah yang menyangkut dunia
maupunpengalaman batiniyah yang menyangkut pribadi manusia.
Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman atauempiri melalui alat
indera. Paham empirisme ini dipertentangkan dengan paham rasionalisme
yang mengatakan akal (rasio) sebagai sumber pengetahuan.
4. Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak
aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak mengenal
adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data empiris. Positivisme
dianggap bisa memberikan sebuah kunci pencapaian hidup manusia dan
ia dikatakan merupakan satu-satunya formasi sosial yang benar-benar bisa
dipercaya kehandalan dan dan akurasinya dalam kehidupan dan
keberadaan masyarakat.

B. Saran-Saran
Filsafat mempunyai banyak aliran dan kajiannya sangat luas. Makalah
ini mungkin belum membahas secara detail jadi masih perlu pengembangan
pembahasan setiap aliran oleh penyusun tugas berikutnya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2010), 182


Juhaya S. Praja, Prof., Dr. 2003. Aliran-aliran Filsafat dan Etika Prenada
Media: Jakarta
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, Fislasat Umum, Remaja Rosda Karya, Bandung,
2003, hal.144.
Waris, Filsafat Umum (Ponorogo: Stain Po Press, 2009),
http://nuramaliyahramadhanyamelfadiliam.blogspot.co.id/2017/01/aliran
empirisme-dalam-pendidikan.html ( diakses 11 April 2018)

23

Anda mungkin juga menyukai