Anda di halaman 1dari 3

Saat masa awal kuliah dan memulai kehidupan indekos, kegiatan saya dan teman-teman

seangkatan sangat banyak sehingga kami sering makan di luar. Ketika makan di luar bersama
teman-teman, saya senang sekali jika ada teman yang makannya banyak dan bersedia
menghabiskan makanan saya. Entah karena alasan apa, tapi sering sekali tiba-tiba saya
kekenyangan, atau kurang menyukai makanannya, atau tiba-tiba ingin makanan lain.
Sehingga seringkali ada makanan saya yang tidak habis. Kalau sedang tidak beruntung dan
tidak ada teman yang bersedia menghabiskan makanan saya, biasanya saya diberi ceramah
panjang lebar mengenai masalah kelaparan yang terjadi di dunia, sambil diperlihatkan foto
anak-anak kelaparan di Ethiopia, untuk menyadarkan betapa tidak bersyukurnya saya atas
makanan yang saya miliki. Saat itu saya berpikir betapa teman-teman saya sangat kejam dan
“kalau sudah kenyang ya mau bagaimana lagi?”.
Seiring berjalannya waktu dan semakin saya belajar mengenai perubahan iklim, saya sadar
bahwa teman-teman saya benar dan saya yang kejam. Ternyata Indonesia adalah salah satu
negara penghasil sampah makanan terbesar di dunia, di mana 23 sampai 48 juta ton sampah
makanan terbuang setiap tahunnya. Untuk berpikir bahwa saya salah satu yang berkontribusi
terhadap sampah makanan tersebut, meskipun hanya sebagian kecil, tetap saja membuat saya
merasa bersalah. Ironisnya lagi, terdapat 26,36 juta orang Indonesia hidup di bawah garis
kemiskinan, dan surplus makanan yang berpotensi menjadi sampah makanan itu sebenarnya
bisa memberi mereka makan. Ketika mempelajari hal ini, saya sadar bahwa sebenarnya ada
yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah food waste ini.
Saya mulai dari hal-hal yang kecil namun tetap harus dilakukan, seperti menghabiskan
makanan saya sendiri. Saya akhirnya sadar bahwa ada yang bisa dilakukan untuk
menghindari kekenyangan, seperti membawa bekal supaya saya bisa mengatur porsi saya
sendiri, atau pesan ½ porsi ketika makan di luar, dan pesan makanan untuk sharing bersama
teman-teman saya. Ketika menjadi panitian
Pertama kali saya mengenal Food Bank adalah ketika menjadi Ketua Divisi Digital
Marketing Forestshare ITB, acara tahunan Himpunan Mahasiswa Rekaya Kehutanan ‘Selva’
ITB berupa seminar nasional dengan tema perubahan iklim dan kehutanan. Pada saat itu, saya
dan tim membuat pre-event berupa Instagram Live dengan @foodcycleindonesia. Saya
mempelajari bahwa food loss dan food waste di Indonesia mencapai 23 – 48 juta ton setiap
tahunnya. Sementara itu terdapat 26,36 juta orang Indonesia hidup di bawah garis
kemiskinan, dan surplus makanan yang berpotensi menjadi sampah makanan itu sebenarnya
bisa didistribusikan kembali untuk mereka yang membutuhkan. Sejak saat itu, saya sangat
tertarik dengan konsep Food Bank ini. Sampai akhirnya saya mengikuti kegiatan volunteer
dengan River Clean Up Indonesia yang saat itu bekerja sama dengan Food Bank Bandung.
Pada akhir Juli lalu, saya berkesempatan untuk mengikuti kegiatan volunteer dengan Food
Bank Bandung. Kegiatan tersebut sangat berkesan dan membuat saya ‘ketagihan’ untuk
berpartisipasi lagi dan bahkan berpartisipasi lebih lanjut. Sehingga saya tertarik untuk
mengikuti program magang di Food Bank Bandung.
Nama saya Fairuz Labibah. Sebagai mahasiswa Biomanajemen, saya banyak mempelajari
konsep sustainability, rantai pasok pangan, sampai food waste management. Dari program
studi keilmuan saya, saya dipersiapkan untuk merespons kebutuhan akan tenaga ahli profesi
yang mampu mengelola sumber daya hayati dan lingkungan hidup, serta meningkatkan nilai
tambah bioproduk atau nilai kawasan ekosistem secara berkelanjutan. Maka dari itu, saya
tidak sabar untuk mengaplikasikan apa yang saya pelajari di perkuliahan dan berkontribusi
langsung di Food Bank Bandung khususnya di Partnership-track.
Saya percaya bahwa dalam melakukan aksi yang besar seperti pengelolaan food waste, kita
perlu bekerja sama dengan berbagai pihak yang saling menguntungkan untuk menjalankan
misi sosial dan lingkungan yang kita miliki. Bagi saya sendiri, untuk menjadi garda terdepan
dalam memerangi perubahan iklim, “spreading awareness” harus dibarengi dengan aksi yang
nyata. Maka dari itu, sangat mungkin untuk dimulai dari hal yang paling dekat dengan
kehidupan sehari-hari, yaitu makanan. Rencana saya selama magang adalah untuk mengajak
sebanyak-banyaknya komunitas, khususnya komunitas pecinta kuliner di Bandung, dalam
rangka edukasi isu food loss dan food waste, serta memperkenalkan konsep dan praktik Food
Bank Bandung. Dari komunitas pecinta kuliner, saya yakin dapat terhubung dengan calon-
calon mitra lainnya. Misalnya restoran atau catering favorit mereka yang tertarik dengan
konsep Food Bank. Terutama catering wedding yang sangat berpotensi menghasilkan food
waste. Selain komunitas, saya juga memiliki ide untuk Food Bank Bandung supaya dapat
bermitra dengan brand kemasan ramah lingkungan, agar ketika kita berusaha mengurangi
sampah makanan, kita juga tidak menambah sampah kemasan. Beberapa calon mitra
kemasan ramah lingkungan yang potensial adalah plepah, ecovative, tokonolsampah. Selain
penting untuk diinisiasi, kemitraan ini juga perlu dijaga dengan monitoring dan evaluasi agar
dapat terus berjalan dengan baik untuk terus membantu penerima manfaat.
Saya memproyeksikan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik di masa depan
sehingga dunia ini dapat terbebas dari krisis iklim, dan saya ingin menjadi bagian dari orang-
orang yang membuat hal tersebut terwujud. Maka dari itu, saya berharap dapat bergabung
dalam program magang Food Bank Bandung.

Anda mungkin juga menyukai