Anda di halaman 1dari 10

SALMAN AL-FARISI

Pahlawan yang akan kita sekarng ini berasal dari persia. Dari Persia ini pula agama
islam nanti dianut oleh orang-orang mukmin yang tidak sedikit jumlahnya dari kalangan
mereka muncul pribadi-pribadi yang tiada banding, baik dalm keimanan, keilmuan,
keagamaan maupun persoalan keduniaan.
Salah satu keistimewaan dan keagungan islam adalah setiap islam memasuki suatu
negeri, maka dengann keajaiban luar biasa segala keahlihan, kemampuan dan kejeniusan
yang tersembunyi dari warga dan penduduk negeri itu di bangkitkan, sehingga muncullah
para filosof, dokter, ahli hukum, ahli astronomi, penemu dan ahli matematika yang semuanya
muslim.
Ternyata bahwa tokoh-tokoh itu berasal dari setiap penjuru dan muncul dari setiap
bangsa, hingga massa-massa perkembangan islam penuh dengan orang-orang jenius dalam
segala bidang, baik cita maupun karsa, yang berlainan tanah air dan suku bangsanya, tetapi
satu agama yakni islam.
Rasulullah SAW sendiri memang telah mengabarkan perkembangan yang penuh
berkah dari agama ini, bahkan belaiu telah menepati janji yang benar dari Rabbnya Yang
Maha Besar lagi Maha Mengetahui, bahwa suatu hari nanti tidak ada lagi baginya jarak
pemisah dan waktu, hingga sejauh mata memandang akan menyaksikan panji-panji islam
berkibar diseluruh muka bumi, serta di istana-istana para penduduknya.
Salman Al-Farisi sendiri turut menyaksikan hal tersebut, karena ia terlibat dan
mempunyai hubungan erat dengsn kejadian itu. Peristiwa itu terjadi pada perang Khandaq
pada tahun 5 Hijriyah. Awalnya, beberapa orang pemuka yahudi pergi ke Makkah untuk
memobilisasi orang-orang musyrik dan membentuk pasukan gabungan untuk menghadapi
Rasulllah SAW dan kaum muslimin. Meraka berjanji akan memberikan bantuan dalam
perang penetuan yang akan mecabut akar agama baru ini.
Siasat dan taktik perang pun diatur secara licik. Tentara Quraisy dan Ghathafan akan
menyrang kota Madinah dari depan, sedangkan bani Qraidzah akan menyerangnya dari
belakang barisan kaum muslimin sehingga mereka akan terjepit dari 2 arah. Dengan
demikian, mereka akan hancur lebur dan hanya tinggal kenangan saja.
Semikianlah suatu hari kaum muslimin tiba-tiba melihat kedatangan pasukan besar
mendekat dan membawa perbekalan banyak dan persenjtaan lengkap untuk mengahncurkan
kota Madinah. Kaum muslimin panik dan mereka bagaikan kehilangan akal melihat hal yang
tidak diduga-duga itu. Keadaan mereka dituliskan di dalam Al-Qur’an, dalm firman Allah
SWT:
Yaitu (ketika) mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika
penglihatan(mu) terpana dan hatimu menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu
berprasangka yang bukan-bukan terhadap Allah. (Al-Ahzab: 10)
24 ribu prajurit dibawah pimpinan Abu Safyandan Uyainah bin Hishn menyatroni
kota Madinah dengan tujuan hendak mengepung dan melepaskan serangan penentuan agar
mereka terbebas dari rasulullah SAW, agama serta sahabatnya.
Pasukan ini tidak saja terdiri dari orang-orang Quraisy, tetapi juga terdiri dari berbagi
kabilah dan kelompok-kelompok berkepentingan yang menganggap islam sebagai lawan
membahayakan mereka. Peristiwa ini merupakan percobaan akhir dan penentuan bagi pihak-
pihak musuh islam, baik induvidu, kelompok, suku maupun golongan yang memiliki
kepentingan sendiri.
Kaum muslimin menyadari bahwa mereka sedang dalam keadaan yang gawat.
Rasulullah SAW pun mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah. Meraka semua
tentu saja setuju untuk melawan, tetapi apa yang harus mereka lakukan untuk melawan?
Ketika itulah tampil seorang yang berbadan tinggi dan berambut lebat. Dialah orang
yang disayangi dan dihormati oleh Rasulullah SAW itulah dia Salman Al-Farisi. Dari tempat
ketinggian ia melayangkan pandangan meninjau sekitar Madinah dann bahwa ternyata bahwa
kota itu terlindungi oleh gunung dan bukit-bukit batu yang mengelilinginya. Namun, di sana
juga terdapat daerah terbuka yang luas dan terbentang panjang, hingga dengan mudah akan
dapat diserbu musuh untuk memasuki benteng pertahanan.
Di negerinya Salman telah mempunyai pengalaman luas tentang setrategi dan siasat
perang. Karena itu ia mengajukan suatu usulan kepada Rasulullah SAW yaitu suatu rencana
yang belum pernah dikenal oleh orang-orang Arab dalam peperangan mereka selama ini.
Rencana tersebut adalah menggali parit sebagai perlindungan sepanjang daerah terbuka di
sekitar Madinah. (Kisah yang menyebutkan bahwa Salman Al-Farisi yang mengusulkan
strategi parit tidak memiliki sanad. Lihat: As-Sirah An-Nabawiyah Ahs-Shahihah, Al-Umar:
ll/420)
Hanya Allah SWT yang lebih mengetahui apa yang akan dialami kaum muslimin
dalam peperangan itu seandainya mereka menggali parit terbentang di hadapannya, mereka
merasa terpukul melihat hal yang tidak disangka-sangka itu, sehingga tidak kurang sebulan
lamanya kekuatan mereka hanya mendekam di kemah-kemah, tanpa daya untuk menerobos
Madinah. Akhirnya pada suatu malam Allah SWT mengirim angin topan yang menerbangkan
kemah-kemah dana memporak-porandakan kesatuan mereka.
Abu Safyan pun memerintahkan anak buahnya agar kembali pulang ke kampung
mereka, dalam keadaan yng berputus asa serta menderita kekalahan pahit.
Pada waktu menggali parit, Salman tidak ketinggalan bekerja bersama dengan kaum
muslimin. Mereka menggali tanah dengan penuh semangat. Tidak ketinggalan Rasulullah
SAW juga membawa cangkul dan bekerja bersama mereka. Tidak disangka ditempat
penggalian Salman bersama rekan-rekannya, cangkul mereka terbentur oleh sebuah batu
besar. Salman adalah seorang yang berperawakan besar dan bertenaga kuat. Sekali ayun
lengannya yang kuat akan dapat membelah abtu dan memecahkannya berkeping-keping.
Tetapi ia tidak berdaya mengahadapi batu besar ini, sedangkan bantuan dari rekan-rekannya
hanya menghasilkan kegagalan belaka.
Salman menghampiri Rasulullah SAW dan meminta ijin untuk mengalihkan jalur
parit dari garis semula, guna menghindari batu besar yang tidak tergoyahkan itu. Rasulullah
SAW pun pergi bersama Salman untuk melihat sendiri keadaan tempat dan batu besar
tersebut. Setelah melihat batu itu, Rasulullah SAW meminta cangkul dan menyuruh para
sahabat agar mundur agar terhindar dari pecahan-pecahan batu itu nanti.
Rasulullah SAW lalu membaca basmallah dan mengangkat kedua tangannya yang
mulia yang sedang memegang erat cangkul itu. Beliau menghantamkan cangkul ke batu besar
itu pun terbelah dan cari celah belahannya yang besar keluar percikan api yang tinggi yang
menerangi.
Salman mengatakan, “Aku melihat percikan api itu menerangi pinggiran Madinah.”
Sementara itu Rasulullah SAW mengucapkan takbir, Allah Maha Besar! Aku telah dikarunai
kunci-kunci istana negeri Persia dan percikan api tadi tampak olehku dengan nyata istana-
istana Kerajaan Hirah dan kota-kota raja Persia. Sungguh, Umatku akan menguasai semua
itu.”
Kemudian Rasulullah SAW mengangkat cangkul itu kembali dan memukulkan ke
batu kali kedua. Fenomena yang sama terjadi lagi. Pecahan batu besar itu menyemburkan
kilatan api yang tinggi dan menerangi. Rasulullah SAW pun bertakbir kembali, “Allah Maha
Besar! Aku telah dikarunai kunci-kunci negeri Romawi dan tampak nyata olehku istana-
istana megahnya. Sungguh umatku akan menguasainya.”
Kemudian beliau memukulkan cangkul itu untuk kali ketiga dan batu besar itupun
hancur lebur, serta menimbulkan kilatan api yang terang benderang. Rasulullah SAW
mengucapkan kalimat tahlil dan diikuti oleh kaum muslimin. Rasulullah SAW menceritakan
kepada mereka bahwa beliau sekarang melihat istana-istana di Syria, Sana’a dan daerah-
daerah lain yang suatu ketika nanti akan berada di bawah naungan bendera Allah SWT yang
berkibar. Dengan keimanan yang penuh kaum muslimin pun serentak berseru, “Inilah yang
dijanjikan Allah SWT dan Rasul-Nya. Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya.”(Riwayat dari
Salman disebutkan dalam Sirah Ibnu Ishaq. Riwayat yang semisal juga terdapat dalam Shahih
Al-Bukhari, Sunan An-Nasa’i dan Musnad Ahmad dari Jabir bin Abdullah dan Al-Barra’ bin
Azib)
Salman lah yang mengajukan saran untuk membuat parit dan dia pula yang
menemukan batu yang telah memancarkan rahasia-rahasia yang akan terjadi di massa
mendetang, yakni ketika ia meminta tolong kepada Rasulullah SAW. Ia bersiri di samping
Rasulullah SAW menyaksikan cahaya dan mendengar berita gembira itu. Dia masih hidup
ketika kabar gembira itu menjadi kenyataan. Ia sendiri nelihat, mengalami dan merasaknnya.
Ia menyaksikan penahlukan kota-kota di Persia dan Romawi, istana di Sana’a, Mesir, Syria
dan Iraq. Ia menjadi saksi seluruh penjuru bumi seakan berguncang keras oleh seruan
mempesona penuh berkah yang berkumandang dari pencak menara tinggi di setiap pelosok,
memancarkan sinar hidayah dna petunjuk Allah SWT.
Lihatlah Salman sedang dan duduk di bawah naungan sebatang pohon yang rindang,
sedangkan di negerinya yang jauh di Madain sana, teman-teman dekatnya sedang
membicarakan petualangan berat yang dialaminya demi mencari kebenaran dan mengisahkan
kepada mereka bagaimana ia berpindah dari agama nenek moyangnya bangsa Persia menuju
agama Nasrani dan terkahir jatuh ke pelukan agama islam.
Sungguh ia telah meninggalkan kekayaan berlimpah dari orang tuanya dan merelakan
dirinya jatuh ke dalam lembah kemiskinan demi kebebasan pikiran dan jiwanya. Dalam
pengembaraan mencri kebenaran itu ia pernah dijusl di pasar budak, hingga akhirnya bertemu
dengan Rasulullah SAW dan beriman kepadanya. Semua itu dibahas oleh rakan-rakannya di
seberang sana.
Sekarang marilah kita dekati majlisnya yang mulia dan dengarkan kisah yang
manakjubkan yang diceritakannya:
“Aku berasal dari Asbahan (kota di tengah Iran, terletak antara Tehran dan Syiraz),
warga suatu desa yang bernama Ji (Jayyan). Ayahku seorang kepala kampung di daerah itu
dan aku merupakan hamba Allah yang paling disayang olehnya. Aku sangat taat menjalani
agama Majusi, hingga akhirnya diserahi tugas sebagai penjaga api yang bertanggung jawab
atas nyala dan tidak membiarkannya padam.
Ayahku memiliki sebidang tanah. Suatu hari aku disuruhnya ke sana. Dalam
perjalanan ke tempat tujuan aku melewati sebuah gereja milik kaum Nasrani. Aku mendengar
mereka sedang mengadakan “Kebaktian”, lalu aku masuk ke dalam untuk melihat apa yang
mereka lakukan.
Aku kagum melihat cara beribadah mereka. Aku berkata di dalam hati, ini lebih baik
daripada apa yang aku anut selama ini. Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari
terbenam, dan tidak jadi pergi ke tanah milik ayahku serta tidak pula kembali pulang, hingga
ayah mengirim orang untuk menyusulku. Kerana agama mereka menarik perhatianku, aku
menanyakan kepada orang-orang Nasrani dari mana asal-usul agama mereka. Mereka
menjawab, “dari Syria.”
Ketika aku telah berada di hadapan ayahku, aku bercerita kepadanya, “Aku tadi
melewati suatu kaum yang sedang melakukan upacara beribadatan di gereja. Upacara mereka
amat memikat hatiku. Aku merasa agama mereka lebih baik dari agama kita.” Setelah itu
kami berdebat dan akhirnya kakiku diikat ddan aku dipenjarakan.
Aku mengirim berita kepada orang-orang Nasrani bahwa aku telah menganut agama
mereka. Aku juga berpesanbila rombongan dari Syria datang, aku hendaknya di kabari
sebelum mereka kembali, karena aku akan ikut bersama mereka kesana. Permintaan itu
mereka kabulkan.
Aku memutus rantai yang membelenggu kaki dan meloloskan diri dari penjara, lalu
bergabung dengan rombongan itu menuju Syria. Ketika telah tiba di tempat tujuan, aku
menanyakan siapakah ahli dalam agam itu. Ada seorang yang mengatakan kepadaku bahwa
orang yang aku maksud adalah Uskup, pemilik Gereja. Aku pun mendatanginya dan
menceritakan keadaanku.
Akhirnya aku tinggal bersamanya sebagai pelayan, sekaligus melaksanakan ajaran
mereka dan belajar. Namun Uskup ini adalah sosok yang tidak baik dalam menjalankan
ajaran agamanya. Pasalnyam ia mengumpulkan sedekah dari orang-orang dengan alasan
untuk dibagikan, anmun ternyata disimpan untuk dirinya sendiri.
Tatkala ajalnya telah dekat, aku bertanya kepadanya,”seperti yang anda ketahui,
takdir Allah SWT atas diri anda telah dekat massanya. Apkah yang harus lakukan dan
sebaiknya yang harus kuhubungi?” ia menjawab “Anakku, tidak seorangpun yang menurut
pengetahuanku yang sama langkahnya dengan aku, kecuali seorang pemimpin yang tinggal di
Mosul.”
Ketika ia wafat, aku berangkat ke Mosul dan menghubungi pendeta yang
disebutkannya. Aku menceritakan kepadanya pesan dari Uskup tadi dan aku tinggal
bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah SWT.
Kemudian tatkala ajalnya telah dekat pula, kutanyakan kepadanya siapa yang harus
aku ikuti. Ia pun menunjukkan kepadaku seorang yang sholih yang tinggal di Nashibin. Aku
mendatanginya dan menceritakan keadaanku, lalu tinggal bersamanya selama waktu yang
dikehendaki Allah SWT.
Ketikan ia mendekati ajalnya, aku menanyakan hal yang sama kepadanya. Aku
diperintahkan olehnya agar menghubungi seorang pemimpin yang tingghal di Amuria,(Kota
ini terletak di jalur kafilah dagang antara Mosul dan Syams. Jaraknya sejauh 6 hari perjalanan
dari Mosul.) suatu kota yang termasuk wilayah Romawi. Aku berangkat ke sana dan tinggal
bersamanya. Sebagai bekal hidup, aku beternak sapi dan beberapa ekor kambing.
Saat ajal hampir menjemputnya, aku pun menanyakan kepadanya, “Siapakah yang
engkau wasiatkan agar aku mengikutinya?” ia menjawab, “Anakku, tidak ada seorangpun
yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat kupercayakan engkau kepadanya.
Tetapi, sekarang telah dekat datangnya massa kebangkitan seorang nabi yang mengikuti
agama Ibrahim AS yang lurus. Ia nanti akan hijrah ke suatu tempat yang ditumbuhi kurma
dan terletak di antara dua bidang tanah berbatu hitam. Seandainya kamu dapat pergi
kesana, temuailah dia. Ia mempunyai tanda-tanda yang jelas dan gamblang: ia tidak mau
makan sedekah, namun bersedia menerima hadiah dan dipundaknya ada cap kenabian yang
engkau melihatnya, engkau pasti akan mengenalinya.”
Suatu hari suatu rombongan datang, lalu akumenanyakan dari mana asal mereka.
Akhirnya aku mendapatkan jawaban bahwa mereka berasal dari jazirah Arab, maka aku
katakan kepada mereka, “Maukan kalian membawaku ke negeri kalian dan sebagai
imbalannya kuberikan kepada kalian sapi-sapi dan kambing-kambingku ini?” mereka
menjawab, “Baiklah.”
Akhirnya mereka membawaku ikut dalam perjalanan hingga di suatu negeri yang
bernama Wadil Qura.(Sebuah lembah yang terletak diantara Madinah dan Syams. Jaraknya
lebih dekat ke Madinah) Di tempat itulah mereka mendzalimi diriku. Mereka menjualku
kepada seorang Yahudi. Ketika tampak olehku banyak pohon kurma, aku berharap kiranya
negeri ini yang disebutkan pendeta kepadaku dulu, yakni yang akan menjadi tempat hijrah
Nabi yang ditunggu. Ternyata dugaanku tidak benar.
Mulai saat itu aku tinggal bersama orang yang membeliku, hingga suatu hari datang
seorang Yahudi Bani Quraidzah yang membeliku dari yang membeli diriku sebelumnya. Aku
dibawanya ke Madinah dan demi Allah SWT baru saja kulihat negeri itu, aku pun yakin
itulah negeri yang disebutkan dulu.
Aku tinggal bersama orang Yahudi tersebut dan bekerja di perkebunan kurma milik
Bani Quraidzah, hingga tiba waktu Allah SWT mengutus Rasul-Nya, lalu hijrah ke Madinah
dan singgah di Bani Amr bin Auf di Quba’.
Suatu harim ketika aku berada di puncak pohon kurma sementara majikanku duduk
dibawahnya, tiba-tiba seorang Yahudi saudara sepupunya datang menghampirinya dan
mengatakan, “Celakalah Bani Qailah! Mereka berkerumun mengelilingi seorang laki-laki di
Quba’ yang datang dari Makkah dan mengaku seorang nabi.”
Demi Allah SWT, tubuhku bergetar hebat mendengar ucapan orang itu hingga pohon
kurma itu bagi terguncang dan hampir saja aku jatuh menimpa majikanku. Aku segera turun
dan berkata kepada orang tadi, “Apa katamu? Ada berita apakah?”
Majikanku mengangkat tangan lalu meninjuku dengan sekuatnya, dan membentakku,
“Apa urusanmu dengan ini, kembalilah bekerja!” Aku pun kembali bekerja.
Setelah hari petang, aku mengumpulkan segal yang ada padaku, lalu keluar menemui
Rasulullah SAW di Quba’. Aku menjumpai beliau sedang duduk bersama beberapa orang
anggota rombongan. Lalu berkata padanya, “Tuan-tuan adalah perantau yang sedang dalam
kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai persediaan yang telah kuniatkan untuk sedekah.
Setelah mendengar keadaan tuan-tuan, aku beroiki bahwa tuan-tuanlah yang lebih layak
menerimanya dan makanan itu kubawa kesini.” Aku pun meletakkan makanan itu dihadapan
beliau.
“Makanlah dengan menyebut nama Allah SWT,” sabda Rasulullah SAW kepada para
sahabatnya. Tetapi beliau tidak mengulurkan tangannya untuk menjamah makanan itu. Aku
berkata dalam hati, “Demi Allah SWT, ini satu dari tanda-tandanya, ia tidak mau memakan
harta sedekah.”
Setelah itu aku pulang dan keesokan harinya aku kembali menemui Rasulullah SAW
sambil membawa makanan. Aku berkata kepadanya, “Aku melihat tuan tidak sudi memakan
sedekah, tetapi aku mempunyai sesuatu yang ingin kuserahkan kepada tuan sebagai
sedekah,” Kemudian aku meletakkan makanan itu di hadapan beliau. “Makanlah dengan
menyebut nama Allah SWT,” sabda beliau kepada sahabat dan beliau pun turut makan
bersama mereka. Aku kembali berbisik dalam hati, “Demi Allah SWT, inilah tanda yang
kedua, bahwa ia bersedia menerima hadiah.”
Setelah itu aku pulang dan tinggal ditempatku beberapa lama. Kemudian aku pergi
mencari Rasulullah SAW dan berjumpa di Baqi’, saat sedang mengiring jenazah dan
dikelilingi oleh sahabat-sahabatnya. Beliau memakai 2 lembar kain lebar, yang satu
dipakainya untuk sarung dan yang satu lagi sebagai baju.
Aku mengucapkan salam kepada beliau dan kemudian menyejajarkan tubuhku
didekat beliau dan menceritakan kisahku seperti yang telah kuceritakan tadi. Kemudian aku
masuk islam dan perbudakan menjadi penghalan bagiku untuk menyertai perang Badar dan
Uhud.
Suatu hari, Rasulullah SAW bersabda kepadaku,”Mintalah kepada majikanmu agar
ia bersedia membebaskanmu dengan menerima uang tebusan.” Akupun meminta kepada
majikanku agar aku dibebaskan sebagimana dititahkan oleh Rasulullah SAW, sedangkan
beliau menyuruh para sahabat untuk membantuku dalam persoalan keuangan. Akhirnya aku
dimerdekakan oleh Allah SWT dan hidup sebagai seorang muslim yang bebas merdeka, serta
mengambil bagian bersama Rasulullah SAW dalam perang Khandaq dan peperangan
selanjutnya.
Dengan kalimat-kalimat yang jelas dan menyejukkan, Salman menceritakan kepada
kita upaya dan perjuangan suci nan mulia dan agung untuk mencari hakikat keagamaan, yang
akhirnya dapat sampai kepada agama Allah SWT dan menjadi jalan hidup terakhir yang haru
ditempuhnya.
Nah, manusia ulung seprti apakah sebenarnya dia? Keistimewaan apakah yang
mampu mengangkat jiwanya yang agung dan melecut kemauannya yang keras untuk
mengatasi segala kesulitan dan mengubah sesuatu yang mustahil menjadi mungkin baginya?
Kehausan dan kecintaan terhadap kebenaran seperti apakah yang menyebabkan Salman Al-
Farisi rela meninghalkan kampung halaman beserta harta benda dan segala macam
kesenangan? Dia harus menempuh daerah yang belum dikenal dengan segala halangan dan
beban penderitaan dan pindah dari suatu daerah ke daerah yang lain, dari satu negeri ke
negeri lain, tidak dikenal letih atau lelah, disamping tidak lupa ibadah secara tekun.
Pandangnnya yang tajam selalu memperhatikan hikmah yang ada pada manusia,
kehidupan dan jalan hidup mereka yang berbeda dan tujuannya yang utama tidak pernah
menyimpang dari semula yang tiada lain adalah mencari kebenaran. Pengorbanan uang mulia
ia lakoni demi mencari hidayah Allah SWT, bahkan ia pernah dijual sebagai budak. Akhirnya
Allah SWT menganugerahkan ganjaran yang setimpal kepadanya hingga dipertemukan
dengan kebenaran (islam) dan dengan Rasul-Nya, lalu dikarunai usia lanjut hingga ia dapat
menyaksikan dengan kedua matanya bagaimana panji-panji Allah SWT berkibaran di seluruh
pelosok dunia, sementara umat islam mengisi ruanganan dan sudut-sudutnya denga hidayah
dan petunjuk Allah SWT serta dengan kemakmuran dan keadilan.
Apa yangkita harapkan akan terjadi pada keislaman seorang tokoh yang tulus dan
bertekad baja seperti itu? Sungguh orang keislaman Salman Al-Farisi adalah keislaman
orang-orang utama dan takwa. Orang-orang menyerupakan Salman Al-Farisi dengan Umar
bin Khathab dalam hal kecerdasan, kesahajaan dan kebebasan dari pengaruh dunia.
Ia pernah tinggal bersama Abu Darda disebuah rumah beberapa harinya. Abu Darda
telah terbiasa beribadah pada malam dan berpuasa pada waktu siang. Salman Al-Farisi
melihatnya terlalu berlebihan dalam beribadah. Suatu hari Salman Al-Farisi bermaksud
mencegah niat Abu Darda justru berkata,”Apakah engkau hendak melarangku berpuasa dan
shalat karena Allah SWT?”
Salman Al-Farisi menjawab,”Kedua matamu mempunyai hak atas dirimu, demikian
pula keluargamu mempunyai hak atas dirimu. Berpuasalah dan (jangan lupakan hak untuk)
berbukalah, shalatlah dan (jangan lupakan jatah untuk) tidurlah.”
Ketika peristiwa itu sampai ke pendengaran Rasulullah SAW beliau
bersabda,”Salman Al-Farisi telah kenyang dengan ilmu.”
Rasulullah SAW sendiri sering memuji kecerdasan Salman Al-Farisi serta ketinggian
ilmunya, sebagaiman beliau memuji akhlak dan agamanya. Pada waktu perang Khandaq,
kaum Anshar berdiri dan berkata,”Salman dari golongan kami.” Kaum Muhajirin pun bangkit
dan berkata, “Tidak, ia dari golongan kami.” Rasulullah SAW pun memanggil mereka semua
bersabda,”Salman Al-Farisi adalah bagian dari kami, Ahlul Bait.”
Salman Al-Farisi memang layak mendapatkan kehormatan itu. Ali bin Abi Thalib
menggelari salman dengan “Lukmanul Hakim”. Ketika Salman Al-Farisi telah wafat, Ali bin
Abi Thalib detanya dengan pemberian gelar itu. Ia menjawab,”Ia adalah seorang yang berasal
dari kami dan kembali pada kami, Ahlul Bait. Siapa diantara kalian yang menyamai
Lukmanul Hakim (maksudnya Salman Al-Farisi)? Ia telah dikarunai ilmu yang pertama dan
juga ilmu yang terkahir. Ia telah membaca kitab yang pertama dan juga kitap yang terakhir. Ia
bagaikan alutan yang airnya tidak pernah kering.”
Salman Al-Farisi telah mendapatkan kedudukan mulia dan derajat utama di dalam
hati semua sahabat. Pada massa kekhalifahan Umar bin Khathab, Salman Al-Farisi datang
berkunjung ke kota Madinah. Umar bin Khathab melakukan penyambutan yang setahu kita
belum pernah dilakukannya kepada siapapun juga. Umar bin Khathab mengumpulkan para
sahabat dan menghimbau dengan seruan,”Marilah kita pergi menyambut Salman Al-Farisi.”
Kemudian Umar bin Khathab keluar bersam mereka menuju pinggiran Madinah untuk
menyambutnya.
Sejak bertemu dan beriman kepada Rasulullah SAW, Salman Al-Farisi hidup bersama
seorang musli yang merdeka, sebagi pejuang dan selalu berbakti. Ia mengalami massa
Khilafah Abu Bakar, kemudian massa Amirul Mukminin Umar bin Khathab, lalu massa
Khliafah Utsman bin Affan dan pada massa inilah ia kembali ke hadirat Rabbnya.
Pada tahun-tahun kejayaan umat islam panji-panji islam telah berkibar diseluruh
penjuru, harta benda yang tidak sedikit jumlahnya mengalir ke Madinah sebagai pusaat
pemerintahan, baik sebagai fa’i maupun jizyah, untuk kemudian diatur pembagiannya
menurut ketentuan islam, hingga negara mampu memberikan gaji dan tunjangan tetap. Ketika
itu banyak tanggung jawab pemerintahan di semua tingkatannya, sehingga banyak pula
pekerjaan dan peluang jabatan sebagai konsekuensi logisnya.
Dalam kesepatan yang dibuka luas untuk meraih jabatan itu, di manakah kita dapat
menemukan Salman Al-Farisi? dimanakah kita dapat menjumpainya saat kekayaan dan
kejayaan, kesenangan dan kemakmuran terbentang itu? Bukalah mata anda lebar-lebar!
Apakah Anda tidak melihat seorang tua berwibawa duduk disana, di bawah naungan
pohon, sedang menjalin anyaman untuk dijadikan bakul atau keranjang? Itulah dia Salman
Al-Farisi! Perhatikanlah lagi dengan cermat! Perhatikanlah baik-baik jubahnya yang sangat
pendek, sehingga hanya sampai sebatas lutut saja. Itulah dia, orang tua yang berwibawa dan
hidup dalam kesederhanaan meskipun banyak harta.
Tunjangan yang diperolehnya tidaklah sedikit, antara 4 ribu sampai 6 ribu setahun.
Namun, semua itu ia bagi-bagikan hingga habis. Ia menolak meski hanya untuk mengambil 1
dirham saja dan mengatakan,”Aku membeli bahan anyaman dengan uang 1 dirham, lalu
kuanyam dan kujual seharga 3 dirham. 1 dirham kuambil untuk modal lagi, 1 dirham
berikutnya untuk nafkah keluargaku sedangkang 1 dirham sisanya untuk sedekah. Seandainya
Umar bin Khathab melarangku berbuat demikian, aku tidak akan berhenti!”
Lantas bagaimana dengan kita, wahai umat Rasulullah SAW? Apa yang ada dipikiran
kita tentang kehormatan manusia dimana saja dan kapan saja? Sebagian orang ketika
mendengar kehidupan sebagian sahabat yang sangat bersahaja, seperti Abu Bakar, Umar,
Abu Dzar dan lain-lain, langsung berpikir bahwa itu disebabkan suasana lingkungan padang
pasir, dimana orang Arab mendapatkan ketenteraman hatinya dengan kesederhanaan. Nah,
sekarang kita berhadapan dengan seorang putra Persia, suatu negeri yang terkenal dengan
kemewahan dan kesenangan serta hidup boros.
Salman Al-Farisi yang sedang kita ceritakan ini bukanlah dari golongan miskin atau
bawahan, melainkan dari golongan kaya dan kelas tinggi. Mengapa sekarang (setelah
memeluk islam) menolak harta, kekayaan dan kesenangan? Mengapa ia memilihkehidupan
bersahaja, tidak lebih dari 1 dirham tiap harinya, yang diperoleh dari hasil jerih payahnya
sendiri?
Mengapa ia menolak jabatan? Ia lebih memilih menghindari dunia itu dan
mengatakan, “Seandainya kamu bisa hidup dengan memakan tanah, asal tidak membawahi 2
orang, maka lakukanlah!”
Mengapa ia menolak pangkat dan jabatan serta mau menerima jika mengapalai
sepasukan tentara yaang pergi menuju medan perang? Kecuali dengan suasana tiada seorang
pun yang mampu memikul tanggung jawab kecuali dia, ia bersedia melakukannya dengan
hati murung dan jiwa merintih. Tetapi, mengapa ketika memegang jabatan yang mesti
dipikulnya, ia tidak mau menerima tunjungan yang diberikan kepadanya secara padahal itu
halal baginya?
Hisyam meriwayatkan dari Al-Hasan dari Al-Hasan,”Tunjangan Salman Al-Farisi
sebanyak 5 ribu setahun, namun ia berpidato di hadapan 30 ribu orang dengan separuh
mantelnya dijadikan alas duduknya dan separuh lagi untuk menutupi badannya. Jika
tunjangannya datang, ia membagi-bagikannya sampai habis. Untuk makan, ia mengandalkan
hasil usaha kedua tangannya.”
Mengapa itu jalan hidup yang ia pilih dan sangat zuhud dari keinginan dunia, padahal
ia seorang putra Persia yang biasa tenggelam dalam kesenangan dan dipengaruhi arus
kemajuan? Merilah kita dengar jawaban yang diberikannya ketika berada diatas pembaringan
menjelang ajal: kala ruhnya yang mulia telah bersiap-siap untuk kembali menemui Rabbnya
Yang Maha Tinggi lagi Maha Penyayang.
Sa’ad bin Abi Waqash datang menjenguknya, maka Salman Al-Farisi menangis.
Sa’ad bertanya, “Apa yang engkau tangisi, wahai Abu Abdillah? Padahal Rasulullah SAW
wafat dalam keadaan ridha terhadapmu.”
Salman Al-Farisi menjawab, “Demi Allah SWT, aku menangis bukan karena takut
mati ataupun mengharap kemewahan dunia, melainkan karena Rasulullah SAW telah
menyampaikan suatu pesan kepada kita, dalam sabdanya, “Hendaklah bagian setiap kalian
dari kekayaan dunia ini seperti bekal seorang pengendara.” Padahal, harta milikku beginio
banyaknya.
Sa’ad berkata sendiri, “Aku perhatikan, tidak ada yang tampak disekelilingku kecuali
1 piring dan sebuah wadah untuk bersuci.”
Sa’ad lalu berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdillah, berilah kami suatu pesan yang
akan kami ngat selalu dirimu!”
Dia bertutur, “Wahai Sa’ad ingatlah Allah SWT tentang keinginanmu ketika engkau
sedang berkehendak: twntang keputusanmu ketika enhgkau sedang memutuskan dan tantang
apa yang ada di tanganmu ketika engkau sedang membagi.”
Itulah rupanya yang telah membuat hati Salman Al-Farisi menjadi kaya dan puas. Ia
telah memenuhinya dengan zuhud terhadap dunia dan segala harta dan pengkat dengan segala
pegaruhnya. Itulah pesan Rasulullah SAW kepadanya dan kepada semua sahabatnya: agar
mereka tidak memiarkan dunia menguasai mereka dan tidak mengambil bagian darinya,
kecuali sekedar bekal seporang pengendara.
Salman Al-Farisi telah memenuhi pesan itu sebaik-baiknya, namun air matanya masih
jatuh berderai ketika ruh nya telah siap untuk berangkat : khawatir bila ia telah melampai
batas yang ditetapkan. Tidak terdapat di ruangannya kecuali sebuah piring makannya dan
sebuah wadah untuk minum dan tempat wudhu. Meski demikian ia menganggap dirinya
sebagai orang yang berharta banyak. Nah, bukankah kami telah ceritakan kepada anda bahwa
ia mirip sekali dengan Umar bin Khathab?
Pada hari-hari ia bertugassebagai gubernur di Madain, keadaannya tidak sedikitpun
berubah. Seperti yang telah kita ketahui, ia menolak untuk menerima gaji sebagai gubernur,
1 dirham sekalipun. Ia tetap mengambil nafkahnya dari hasil menganyam, sedang pakaiannya
tidak lebih dari sehelai mantel. Bajunya sudah tua itu berlomba dengan kesederhanaan dan
kesahajaannya.
Suatu hari ketika ia sedang berjalan dis suatu jalan, seseorang yang datang dari Syria
menjumpainya. Orang itu membawa buah tin dan kurma. Rupanya beban itu sangat berat,
hingga membuatnya kelelahan. Ketika ia melihat Salman Al-Farisi yang tampak sebagai
orang biasa dan dari golongan orang miskin, orang itu hendak menyuruhnya membawa buah-
buahan dengan diberi imbalan atas jerih payahnya bila ia sampai ke tempat tujuan.
Dia memberi isyarat datang kepadanya dan Salman Al-Farisi pun menurut dengan
patuh. Orang dari Syria itu berkata, “Tolong bawakan barangku ini!” Barang itu pun dipikul
oleh Salman Al-Farisi, lalu mereka berdua berjalan bersama-sama.
Ditengah perjalanan mereka berdua berpapasan dengan satu rombongan. Salman Al-
Farisi memberi salam kepada mereka, dan mereka pun berhenti dan menjawab, “Semoga
keselamatan juga dilimpahkan kepada gubernur.”
Orang dari Syria itu bergumam sendiri, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepada
gubernur? Gubernur mana yang mereka maksudkan?” keheranannya kian bertambah ketika
dilihatnya sebagian dari anggota rombongan segera menuju beban yang dipikul oleh Salman
Al-Farisi dengan maksud hendak menggantikannya. Mereka berkata, “Berikanlah kepada
kami, wahai gubernur!”
Sekarang orang Syria itu paham bahwa kulinya tiada lain adalah Salman Al-Farisi,
gubernur Madain. Orang itu pun sangat menyesal dan mengungkapkan permintaan maaf dari
mulutnya. Ia mendekaat untuk menarik beban itu dari tangannya, tetapi Salman Al-Farisi
menolak dan menggelengkan kepala sembari berkata, “Tidak, sebelum kuantarkan sampai ke
rumahmu.”
Suatu ketika Salman Al-Farisi pernah ditanyai orang, “Apa sebabnya Anda tidak
menyukai jabatan sebagai gubernur?” ia menjawab, “Kerana manis waktu memegangnya,
tetapi pahit waktu melepaskannya!”
Kali lain, seorang sahabat memasuki rumah Salman Al-Farisi, didapatinya dia sedang
duduk merebus tepung, maka sahabat itu bertanya, “Kemanakah pelayan?” ia menjawab,
“Aku suruh untuk suatu keperluan dan aku tidak ingin ia harus melakukan du pekerjaan
sekaligus.”
Ketika kita hendak membicarakan tentang rumah Salman Al-Farisi, hendaknya kita
benar-benar ingat, bagaimana rumahnya. Ketika hendak mendirikan bangunan yang
berlebihan disebut rumah, Salman Al-Farisi bertanya kepada tukangnya, “Bagaimana model
rumah yang hendak Anda dirikan?”
Tukang bangunan ini adalah seorang arif fan bijaksana. Ia mengetahui kesederhanaan
dan sifat Salman Al-Farisi yang tidak suka bermewah-mewahan. Ia menjawab, “Jangan
khawatir, rumah itu merupakan bangunan yang dapat digunakan bernaung kala panas dan
tempat berteduh kala hujan. Andainya anda berdiri, kepala anda akan sampai pada langit-
langitnya dan jika anda berbaring, kaki anda akan terantuk pada dindingnya.” Salman Al-
Farisi pun berkata, “Benar, seperti itulah seharusnya rumah yang akan anda bangun.”
Tak satu pun barang berharga dalam kehidupan dunia ini yang digemari atau
diutamakan oleh Salman Al-Farisi, kecuali suatu barang yang memang amat diharapkan dan
dianggap penting, nahkan telah dititipkan kepada istrinya untuk disimpan ditempat yang
tersembunya dan aman. Ketika dalam sakit yang berakhir pada ajalnya, yaitu pada pagi hari
kepergiannya, ia memanggil istrinya untuk mengambil titipannya dahulu. Ternyata barang itu
hanyalah seikat kasturi yang diperolehnya waktu pembebasan Jalula dahulu. Berang itu
sengaja untuk wangi-wangian pada hari wafatnya.
Kemudian ia menyuruh sang istri agar mengambil secangkir air. Salman Al-Farisi
menaburkan bubuk kasturi itu ke dalam cangkir dan mengaduknya dengan tangan, lalu
berkata pada istrinya, “Percikkanlah air ini ke sekelilingku. Sekarang telah hadir dihadapanku
makhluk Allah SWT yang tidak suka makanan, tetapi gemar wangi-wangian.”
Setelah selesai, ia berkata kepada istrinya, “Tutupkanlah pintu dan turunlah!” perintan
itupun dituruti oleh istrinya. Tidak lama diantara waktu itu dan istrinya kembali masuk, ruh
yang beroleh berkah itu telah meninggalkan dunia dan berpisah dari jasadnya. Dia telah
mencapai alam yang tinggi, dibawa terbang oleh sayap kerinduan. Kerinduan unruk
memenuhi janjinya, bertemu lagi dengan Rasulullah SAW dengan kedua sahabat beliau, Abu
Bakar dan Umar serta tokoh-tokoh mulia lainnya dari golongan syuhada dan orang-orang
utama.
Salman Al-Farisi...
Telah lama Salman Al-Farisi menantikan itu dalam kerinduan dan dahaga
Hari ini rindu itu telah terobati dan dahaga itu pun telah hilang
Semoga ridha dan rahmat Allah SWT menyertainya

16:25 27/08/2022

Anda mungkin juga menyukai