1. Tanda-tanda vital
a. Suhu
Selama 24 jam pertama, suhu mungkin meningkat menjadi 38ºC, sebagai
akibat meningkatnya kerja otot, dehidrasi dan perubahan hormonal. Jika
terjadi peningkatan suhu 38ºC yang menetap 2 hari setelah 24 melahirkan,
maka perlu dipikirkan adanya infeksi seperti sepsis puerperalis (infeksi
selama postpartum), infeksi saluran kemih, endometritis (peradangan
endometrium), pembengkakan payudara, dan lan-lain.
b. Nadi
Dalam periode waktu 6-7 jam sesudah melahirkan, sering ditemukan
adanya bradikardia 50-70 kali permenit (normalnya 80-100 kali permenit)
dan dapat berlangsung sampai 6-10 hari setelah melahirkan. Keadaan ini
bisa berhubungan dengan penurunan usaha jantung, penurunan volume
darah yang mengikuti pemisahan plasenta dan kontraksi uterus dan
peningkatan stroke volume. Takikardia kurang sering terjadi, bila terjadi
berhubungan dengan peningkatan kehilangan darah dan proses persalinan
yang lama.
c. Tekanan Darah
Selama beberapa jam setelah melahirkan, ibu dapat mengalami hipotensi
orthostatik (penurunan 20 mmHg) yang ditandai dengan adanya pusing
segera setelah berdiri, yang dapat terjadi hinggan 46 jam pertama. Hasil
pengukuruan tekanan darah seharusnya tetap stabil setelah melahirkan.
Penurunan tekanan intrapeutik atau adanya hipovolemia sekunder yang
berkaitan dengan hemoragi uterus. Peningkatan tekanan sistolik 30
mmHg dan penambahan diastolik 15 mmHg yang disertai dengan sakit
kepala dan gangguan penglihatan, bisa menandakan ibu mengalami
preeklamsia dan ibu dievaluasi lebih lanjut.
d. Pernafasan
Fungsi pernafasan ibu kembali ke fungsi seperti saat sebelum hamil pada
bulan ke enam setelah melahirkan.
2. Sistem Reproduksi
Perubahan fisiologi proses kembalinya (ukuran dan fungsi) sistem reproduksi
ke kondisi sebelum hamil (involusi) 3-4 hari pertama dan berlangsung hingga
minggu keenam post partum.
8
a. Involusi Uterus
Involusi atau pengerutan uterus merupakan suatu proses kembalinya
uterus ke keadaan sebelum hamil. Proses involusi merupakan salah satu
peristiwa penting dalam masa nifas, disamping proses laktasi
(pengeluaran ASI). Uterus ibu yang baru melahirkan masih membesar,
jika diraba dari luar tinggi fundus uteri kira-kia 2 jari dibawah pusat,
sedangkan beratnya lebih kurang 1 kilogram. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya darah dalam dinding rahim mengalir dalam pembuluh-
pembuluh darah yang membesar. Sampai hari kedua, uterus masih
membesar dan setelah itu berangsur-angsur menjadi kecil. Jika diukur
tinggi fundus uteri waktu nifas (sesudah buang air kecil). Pada hari ketiga,
kira-kira 2 atau 3 jari dibawah pusat. Hari ke-lima, pada pertengahan
antara pusat dan simphysis. Hari ketujuh, kira-kira 2 atau 3 jari di atas
simphysis. Hari ke sembilan, kira-kira satu jari diatas symphysis. Dan
setelah hari kesepuluh, biasanya uterus tersebut dari luar tidak teraba lagi.
Semuanya ini disebabkan karena pemberian darah didalam dinding rahim
jauh berkurang, sehingga otot-otot menjadi kecil (S.A Goelam, 1990)
b. Perubahan pada payudara
Ketika laktasi terbentuk, akan teraba benjolan tetapi kantong susu yang
terisi berubah posisi dari hari ke hari. Sebelum laktasi dimulai, payudara
teraba lunak dan keluar cairan kekuningan, yakni kolostrum, dikeluarkan
dari payudara. Setelah laktasi dimulai, payudara teraba hangat dan keras
ketika disentuh. Rasa nyeri akan menetap selama sekitar 48 jam. Susu
putih kebiruan (tampak seperti susu skim) dapat dikeluarkan dari putting
susu.
c. Kontraksi uterus
Intensitas kontraksi uterus meningkat secara bermakna segera setelah bayi
lahir, diduga terjadi sebagai respons terhadap penurunan volume
intrauterin yang sangat besar. Hemostatis pascapartum dicapai terutama
akibat kompresi pembuluh darah intramiometrium, bukan oleh agregasi
trombosit dan pembentukan bekuan. Hormon oksigen yang dilepas dari
kelenjar hipofisis memperkuat dan mengatur kontraksi uterus,
mengompresi pembuluh darah, dan membantu hemostatis. Selama 1
9
Trauma bisa terjadi pada uretra dan kandung kemih selama proses
melahirkan, yakni sewaktu bayi melewati jalan lahir. Dinding kandung kemih
dapat mengalami hiperemesis dan edema, seringkali disertai daerah-daerah
kecil hemoragi.
5. Sistem Endokrin
1) Hormon Plasenta
Selama periode pascapartum, terjadi perubahan hormon yang besar.
Pengeluaran plasenta menyebabkan penurunan signifikan hormon-
hormon yang dproduksi oleh organ tersbut. Penurunan hormon human
placental lactogen (hPL), estrogen, dan kortisol, serta placentalenzyme
insulinase membalik efek diabetogenik kehamilan, sehingga kadar gula
darah menurun secara mencolok setelah plasenta keluar, kadar
terendahnya dicapai kira-kira satu minggu pascapartum.
2) Hormon Hipofisis dan Fungsi Ovarium
Kadar prolaktin meningkat secara progresif sepanjang masa hamil. Pada
wanita menyusui, kadar prolaktin tetap meningkat sampai minggu
keenam setelah melahirkan (Bowes, 1991)
Cairan menstruasi pertama setelah melahirkan biasanya lebih banyak dari
pada normal. Dalam tiga sampai empat siklus, jumlah cairan menstruasi
wanita kembali seperti sebelum hamil.
6. Sistem Gastrointestinal
Penggunaan tenaga pada kala pertama persalinan, menurunkan tonus otot-otot
abdomen yang juga merupakan faktor predisposisi terjadinya konstipasi pada
ibu pasca melahirkan. Fungsi usus besar akan kembali normal pada akhir
minggu pertama dimana nafsu makan mulai bertambah dan rasa tidak
nyaman pada perineum sudah menurun.
Usus besar cenderung seret/tidak lancar setelah melahirkan karena masih
adanya efek progesteron yang tertinggal dan penurunan tonus otot abdomen.
Ibu yang mengalami episiotomi cenderung untuk menunda eliminasi karena
takut terhadap peningkatan eliminasi karena takut terhadap peningkatan nyeri
atau takut akan kemungkinan jahitan episiotomi terlepas. Dengan menolak
atau menunda untuk buang air besar, hal ini bisa menyebabkan konstipasi dan
bahkan akan menimbulkan nyeri yang berlebihan bilamana ibu buang air
13
C. Adaptis Psikologis
1. Proses menjadi orangtua
Menjadi orangtua merupakan faktor pematangan dalam diri seorang wanita atau
pria tanpa memperhatikan apakah anak yang diasuh memiliki hubungan biologis
atau tidak. Steele dan Pollack (1968) menyatakan bahwa menjadi orangtua
merupakan satu proses yang terdiri dari dua komponen. Komponen pertama,
bersifat praktis atau mekanis, melibatkan keterampilan kognitif dan motorik;
komponen kedua, bersifat emosional, melibatkan keterampilan afektif dan
kognitif.
2. Peran orangtua sesudah melahirkan
Untuk orangtua biologis, peran orangtua dimulai selagi kehamilan membesar dan
semakin kuat saat bayi dilahirkan. Selama periode pasca partum, tugas dan
tanggung jawab baru muncul dan kebiasaan lama perlu diubah atau ditambah
dengan yang baru.
3. Tugas dan tanggung jawab orang tua
a. Orangtua harus menerima keadaan anak yang sebenarnya dan tidak terus
terbawa dengan khayalan dan impian yang dimilikinya tentang figur anak
idealnya.
b. Orangtua perlu meyakini bahwa bayinya yang baru lahir adalah seorang
pribadi yang terpisah dari diri mereka artinya seseorang yang memiliki
banyak kebutuhan dan memerluka perawatan.
c. Orangtua harus bisa menguasai cara merawat bayinya
d. Orangtua harus menetapkan kriteria evaluasi yang baik dan dapat dipakai
untuk menilai kesuksesan atau kegagalan hal-hal yang dilakukan pada bayi.
15
4. Penyesuaian ibu
Perubahan peran seorang ibu memerlukan adaptasi yang harus dijalani.
Tanggung jawab bertambah dengan hadirnya bayi yang baru lahir. Dorongan
serta perhatian anggota keluarga lainnya merupakan dukungan positif untuk ibu.
Dalam menjalani adaptasi setelah melahirkan, ibu akan mengalami fase-fase
sebagai berikut:
a. Fase Taking In
Fase taking in yaitu periode ketergantungan. Periode ini berlangsung dari hari
pertama sampai hari kedua setelah melahirkan. Pada fase ini, ibu sedang
berfokus terutama pada dirinya sendiri. Ibu akan berulang kali menceritakan
proses persalinan yang dialaminya dari awal sampai akhir. Ibu perlu bicara
tentang dirinya sendiri. Ketidaknyamanan fisik yang dialami ibu pada fase ini
seperti mules, nyeri pada jahitan, kurang tidur dan kelelahan merupakan
sesuatu yang tidak dihindari. Hal tersebut membuat ibu perlu cukup istirahat
untuk mencegah gangguan psikologis yang mungkin dialami, seperti mudah
tersinggung, menangis. Hal ini membuat ibu cenderung menjadi pasif
terhadap lingkungannya. Pada fase ini petugas kesehatan harus menggunakan
pendekatan yang empatik agar ibu dapat melewati fase ini dengan baik. Ibu
hanya ingin didengarkan dan diperhatikan. Kehadiran suami atau keluarga
sangat diperlukan pada fase ini. Petugas kesehatan dapat menganjurkan suami
dan keluarga untuk memberikan dukungan moril dan menyediakan waktu
untuk mendengarkan semua hal yang disampaikan agar ibu dapat melewati
fase ini dengan lancar.
Gangguan psikologis yang mungkin dirasakan ibu adalah :
1) Kekecewaan karena tidak mendapatkan apa yang dinginkan tentang
bayinya misal jenis kelamin tertentu, warna kulit, jenis rambut dan lain-
lain.
2) Ketidaknyamanan sebagai akibat dari perubahan fisik yang dialami ibu
misal rasa mules karena rahim berkontraksi untuk kembali pada keadaan
semula, payudara bengkak, nyeri luka jahitan.
3) Rasa bersalah karena belum bisa menyusui bayinya.
4) Suami atau keluarga yang mengkritik ibu tentang cara merawat bayi dan
cenderung melihat saja tanpa membantu. Ibu akan merasa tidak nyaman
karena sebenarnya hal tersebut bukan hanya tanggung jawab ibu semata.
16
Ibu dan ayah menghadapi sejumlah tugas yang terkait dengan penyesuaian dari
permusuhan antar saudara. Tugas-tugas tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:
D. Penatalaksanaan Medis
1. Pemeriksaan medis
Nilai hemoglobin dan hematokrit seringkali dibutuhkan pada hari pertama
pascapartum untuk mengkaji kehilangan darah pada saat melahirkan.
2. Terapi
a. Pemberian berbagai obat analgesik.
b. Kurangi tindakan yang menyebabkan ketidaknyamanan pasca partum lakukan
perawatan payudara dan rencanakan pemakaian kontrasepsi.
2. Klasifikasi
a. Sectio sesarea klasik
Insisi longitudinal di garis tengah dibuat dengan skalpel ke dalam dinding
anterior uterus dan dilebarkan ke atas serta ke bawah dengan gunting
18
berujung tumpul. Diperlukan luka insisi yang lebar karena bayi sering
dilahirkan dengan bokong dahulu. Janin serta plasenta dikeluarkan dan uterus
ditutup dengan jahitan tiga lapis. Pada masa modern ini hampir sudah tidak
dipertimbangkan lagi untuk mengerjakan sectio sesarea klasik. Satu-satunya
indikasi untuk prosedur segmen atas adalah kesulitan teknis dalam
menyingkapkan segmen bawah.
b. Sectio sesarea extraperitoneal
Pembedahan extraperitoneal dikerjakan untuk menghindari perlunya
histerektomi pada kasus-kasus yang mengalami infeksi luas dengan
mencegah peritonitis generalisata yang sering bersifat fatal. Ada beberapa
metode seksio sesarea extraperitoneal, seperti metode Waters, Latzko dan
Norton.
Teknik pada prosedur ini relatif sulit, sering tanpa sengaja masuk ke dalam
cavum peritonei, dan insidensi cedera vesica urinaria meningkat. Perawatan
prenatal yang lebih baik, penurunan insidensi kasus yang terlantar, dan
tesedianya darah serta antibiotik telah mengurangi perlunya teknik
extraperitoneal. Metode ini tidak boleh dibuang tetapi tetap disimpan sebagai
cadangan bagi kasus-kasus tertentu.
c. Histerektomi Sesarea
Pembedahan ini merupakan seksio sesarea yang dilanjutkan dengan
pengeluaran uterus. Kalau mungkin histerektomi harus dikerjakan lengkap
(histerektomi total). Akan tetapi, karena pembedahan subtotal lebih mudah
dan dapat dikerjakan lebih cepat, maka pembedahan subtotal menjadi
prosedur pilihan kalau terdapat perdarahan hebat dan pasiennya shock, atau
kalau pasien dalam keadaan jelek akibat sebab-sebab lain. Pada kasus-kasus
semacam ini, tujuan pembedahan adalah menyelesaikannya secepat mungkin.
3. Indikasi
a. Indikasi pada Ibu
Beberapa indikasi pada ibu yang dilakukan operasi seksio sesarea, antara lain:
1) Proses persalinan normal yang lama atau kegagalan proses persalinan
normal (dystosia)
2) Detak jantung janin melambat (fetal distress)
3) Komplikasi Pre-Eklamsia
19
4. Komplikasi
Komplikasi pada persalinan seksio sesarea, antara lain diuraikan di bawah ini :
a. Rasjidi (2009) menguraikan bahwa komplikasi utama persalinan seksio
sesarea adalah kerusakan organ-organ seperti vesika urinaria dan uterus saat
dilakukan operasi dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi,
perdarahan, infeksi dan tromboemboli. Kematian ibu lebih besar pada
persalinan seksio sesarea dbandingkan persalinan pervaginam.
b. Sementara itu, Aksu, Kucuk, Duzgun, (2011) menyatakan bahwa risiko
komplikasi akibat tindakan operasi sesarea adalah vena thrombosis, karena
berbagai faktor seperti trombophilia, American college of Obsetericians and
20
2. Etiologi
Penyebab pre-eklamsia ringan belum diketahui secara jelas. Penyakit ini
dianggap sebagai “maladaptation syndrome” akibat vasospasme general
dengan segala akibatnya. Teori yang terkenal sebagai penyebab preeklamsia
adalah teori iskemia plasenta. Akan tetapi, teori ini belum dapat menerangkan
semua hal yang berkaitan dengan pre-eklamsia. Teori yang diterima adalah
teori yang dapat menerangkan hal-hal berikut.
a. Mengapa frekuensi menjadi tinggi pada primigravida, kehamilan ganda,
hidramnion, dan molahidatidosa.
b. Mengapa frekuensi bertambah seiring dengan tuanya kehamilan,
umumnya pada triwulan III
c. Mengapa terjadi perbaikan keadaan penyakit, jika terjadi kematian janin
dalam kandungan
d. Penyebab timbulnya hipertensi, proteinuria, edema, dan konvulsi sampai
koma.
Dengan demikian, jelaslah bahwa bukan hanya satu faktor, melainkan banyak
faktor yang menyebabkan preeklamsia dan eklamsia. Faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya preeklamsia dan eklamsia adalah :
3. Patofisiologi
Banyak ahli saat ini menyarankan model dua-tahap yang terdiri atas triger
plasenta yang diikuti dengan respons sistemik maternal. Perbedaan pada
presentasi dan kemajuan pre-eklamsia dijelaskan sebagai akibat perbedaan
sifat respons maternal (Walker, 2000)
Dinyatakan bahwa triger plasenta merupakan satu kondisi iskemia absolut
atau relatif akibat :
22
d. Kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan oleh penimbunan air
yang berlebihan dalan ruang interstitial, belum diketahui sebabnya,
mungkin karena retensi air dan garam.
e. Proteiunuria dapat disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi
perubahan pada glomerulus.
4. Manifestasi Klinis
Gejala klinis pre-eklamsia ringan meliputi :
a. Hipertensi : sistolik / diastolik mencapai 140/90 mmHg
b. Proteinuria : secara kuantitatif lebih 0,3 gr/liter dalam 24 jam atau secara
kualitatif positif 2 (+2)
c. Edema pada pretibia, dinding abdomen, lumbosakral, wajah atau tangan.
d. Timbul salah satu atau lebih gejala atau tanda-tanda pre-eklamsia berat.
e. Kenaikan berat badan 1 kg atau lebih dalam 1 minggu.
6. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan rawat jalan pasien pre-eklamsia ringan :
1) Banyak istirahat (berbaring tidur/miring)
2) Diet : cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam
3) Sedativa ringan : tablet phenobarbital 3x30 mg atau diazepam 3x2 mg
per oral selama 7 hari
4) Roborantia
5) Kunjungan ulang setiap 1 minggu
6) Pemeriksaan laboratorium : hemoglobin, hematokrit, trombosit, urine
lengkap, asam urat darah, fungsi hati, fungsi ginjal.
b. Penatalaksanaan rawat tinggal pasien pre-eklamsia ringan berdasarkan
kriteria
1) Setelah 2 minggu pengobatan rawat jalan tidak menunjukkan adanya
perbaikan dari gejala-gejala pre-eklamsia seperti:
2) Kenaikan berat badan ibu 1 kg atau lebih per minggu selama 2 kali
berturut-turut (2 minggu)
26
Bila setelah 1 minggu perawatan di atas tidak ada perbaikan maka pre-
eklamsia ringan dianggap sebagai pre-eklamsia berat. Bila dalam
perawatan di rumah sakit sudah ada perbaikan sebelum 1 minggu dan
kehamilan masih preterm maka penderita tetap dirawat selama 2 hari lagi
baru dipulangkan. Perawatan lalu disesuaikan dengan perawatan rawat
jalan
c. Integritas ego
Dapat menunjukkan labilitas emosional, dari kegembiraan, sampai
ketakutan, marah, atau menarik diri. Klien/pasangan dapat memiliki
pertanyaan atau salah terima peran dalam pengalaman kelahiran.
Mungkin mengekspresikan ketidakmampuan untuk menghadapi situasi
baru.
d. Eliminasi
Kateter urinarius indwelling mungkin terpasang; urine jernih pucat.
Bising usus tidak ada, samar, atau jelas,
e. Makanan/cairan
Abdomen lunak dengan tidak ada distensi pada awal
f. Neurosensori
Kerusakan gerakan dan sensasi di bawah tingkat anestesia spinal epidural
g. Nyeri/ketidaknyamanan
Mungkin mengeluh ketidaknyamanan dari berbagai sumber; mis: trauma
bedah/insisi, nyeri penyerta, distensi kandung kemih/abdomen, efek-efek
anestesia. Mulut mungkin kering
h. Pernapasan
Bunyi paru jelas dan vesikular
i. Keamanan
Balutan abdomen dapat tampak sedikit noda atau kering dan utuh. Jalur
parenteral, bila digunakan, paten, dan sisi eritema, bengkak, dan nyeri
tekan.
j. Seksualitas
Fundus kontraksi kuat dan terletak di umbilikus. Aliran lokhia sedang dan
bebas bekuan berlebihan/banyak.
2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pada pengkajian, maka diagnosa keperawatan yang mungkin
ditemukan adalah :
a. Nyeri berhubungan dengan episiotomy, nyeri setelah melahirkan.
b. Gangguan proses laktasi berhubungan dengan tingkat pengetahuan ibu
dan pengalaman sebelumnya.
c. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan.
28
3. Intervensi Keperawatan
Adapun intervensi yang diperlukan sesuai dengan diagnosa keperawatan
diatas antara lain :
a. Nyeri berhubungan dengan luka episiotomy.
Tujuan : nyeri hilang atau minimal berkurang.
Kriteria hasil : skala nyeri berkurang, tanda-tanda vital dalam batas
normal, ekspresi wajah tampak rileks.
Perencanaan :
1) Kaji skala, lokasi, karakteristik, dan durasi nyeri.
Rasional : klien tidak secara verbal melaporkan skala, lokasi,
karakteristik, dan durasi nyeri.
2) Anjurkan istirahat selama fase akut.
Rasional : ketenangan dan istirahat dapat mencegah kelelahan dan
untuk mengurangi nyeri.
3) Berikan posisi yang nyaman seperti semi fowler.
Rasional : meningkatkan rasa nyaman dapat mengurangi nyeri.
4) Mengkaji tanda-tanda vital.
Rasional : mengetahui adanya peningkatan tekanan darah, suhu,
pernafasan, nadi pada ibu paska partum.
5) Ajarkan teknik relaksasi pada klien.
Rasional : merilekskan otot dan mengalihkan perhatian dari sensori
nyeri.
6) Atur posisi tidur klien sesuai dengan derajat kenyamanan klien.
Rasional : meningkatkan kenyamanan klien.
7) Anjurkan ambulasi dini dan latihan.
Rasional : meningkatkan sirkulasi dan aliran balik vena dari
ekstermitas bawah, menurunkan resiko pembentukan trombus.
8) Berikan lingkungan yang tenang: anjurkan istirahat diantara
pengkajian.
Rasional : ketenangan dan istirahat dapat mencegah kelelahan yang
berlebih.
9) Kaji adanya tremor pada kaki atau tubuh gementeran yang tidak
terkontrol.
30
6) Ubah posisi klien setiap 1-2 jam, bantu dalam latihan paru, ambulasi,
dan latihan kaki.
Rasional : membantu mencegah komplikasi bedah seperti feblitis atau
pneumonia, yang dapat terjadi bila tingkat ketidaknyamanan
mempengaruhi pengubahan/aktivitas normal klien.
7) Motivasi klien untuk sesegera mungkin melakukan latihan mobilisasi,
kemudian ditingkatkan secara bertahap.
Rasional : mobilisasi sedini mungkin dapat mempengaruhi status
kesehatan klien sehingga klien mampu melakukan perawatan dirinya
secara optimal
8) Berikan bantuan perawatan diri mandi/hygiene, makan.
Rasional : memenuhi kebutuhan perawatan diri klien
9) Berikan pilihan bila mungkin (misal, jadwal mandi, jarak selama
ambulasi)
Rasional : mengizinkan beberapa otonomi meskipun klien tergantung
pada bantuan profesional
10) Evaluasi rencana-rencana untuk bantuan dirumah selama periode
pemulihan paska partum
Rasional : membantu dirumah khususnya selama beberapa hari
pertama setelah pulang, adalah penting untuk membantu klien dan
keluarganya dalam pelaksanaan perawatan sesuai dengan kebutuhan
untuk klien dan bayi.
11) Berikan analgesik setiap 3-4 jam, sesuai kebutuhan
Rasional : menurunkan ketidaknyamanan, yang dapat mempengaruhi
kemampuan untuk melaksanakan perawatan diri.
12) Ubah jalur intra vena pada heparin bila tepat.
Rasional : memungkinkan gerakan tidak terbatas dari ekstremitas,
sehingga memungkinkan klien berfungsi lebih mandiri.
Intervensi :
1) Tentukan respon yang emosional klien atau pasangan terhadap
kelahiran seksio sesarea
Rasional : menentukan apabila pasangan mengalami reaksi emosi
negatif
2) Identifikasi perilaku positif selama proses prenatal dan antenatal
Rasional : respon berduka dapat berkurang bila ibu dan ayah mampu
berbagi pengalaman kelahiran
3) Tinjau ulang partisipasi klien/pasangan dan peran dalam pengalaman
kelahiran
Rasional : respon berduka dapat berkurang bila ibu dan ayah mampu
saling berbagi akan pengalaman kelahiran.
4) Tekankan kemiripan antara kelahiran sesaria dan vagina
Rasional : klien dapat mengubah persepsinya tentang pengalaman
kelahiran sesaria bagaimana persepsinya tentang kesehatannya atau
penyakitnya berdasarkan pada sikap profesional.
5) Sampaikan sikap positif terhadap kelahiran sesaria, dan atur
perawatan paskapartum sedekat mungkin pada perawatan yang
diberikan pada klien setelah kelahiran vagina.
Rasional : perawatan serupa menunjukkan pesan bahwa kelahiran
sesaria adalah pilihan yang dapat diterima disamping kelahiran
vagina.
6) Kolaborasi, rujuk klien/pasangan untuk konseling profesional bila
reaksi mal adaptif.
Rasional : klien yang tidak mampu mengatasi rasa berduka atau
perasaan negatif memerlukan bantuan profesional lebih lanjut.
4. Pelaksanaan Keperawatan
Pelaksanaan adalah tindakan yang dilakukan sesuai dengan perencanaan yang
dilakukan oleh perawat, klien itu sendiri atau dilakukan secara kerjasama,
dengan anggota tim kesehatan lainnya seperti dokter, bidan, ahli gizi dan
sebagainya dengan maksud untuk membantu klien mencapai tingkat
kesejahteraan yang optimal, setelah pelaksanaan dilakukan
pendokumentasian yang meliputi tindakan keperawatan yang sudah
dilakukan.
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan,
dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Tujuan evaluasi adalah untuk
melihat kemampuan klien untuk mencapai tujuan adapun proses evaluasi
terdiri dari dua tahap mengukur pencapaian tujuan klien, membandingkan
data yang telah dikumpulkan dengan tujuan dan pencapaian tujuan.
Ada 2 komponen untuk mengevaluasi kualitas tindakan keperawatan, yaitu :
a. Proses (formatif)
Fokus tipe evaluasi ini adalah aktivitas dari proses keperawatan dari hasil
kualitas pelayanan tindakan keperawatan. Evaluasi proses harus
dilakukan untuk membantu keefektifan terhadap tindakan.
b. Hasil (sumatif)
Fokus evaluasi hasil adalah perubahan perilaku atau status kesehatan
klien pada akhir tindakan keperawatan klien. Tipe evaluasi ini pada akhir
tindakan keperawatan secara paripurna. Sumatif evaluasi adalah objektif,
fleksibel, dan efisien. Adapun metode pelaksanaan evaluasi bisa menjadi
sumatif terdiri dari interview akhir pelayanan, pertemuan akhir pelayanan,
dan pertanyaan pada klien dan keluarga. Sumatif evaluasi bisa menjadi
metode dalam memonitor kualitas dan efisiensi tindakan yang telah
diberikan.
51
Discharge planning :