KEANEKARAGAMAN
HAYATI DI INDONESIA
CRISTOPER
NAINGGOLAN
KELAS X 1
A. Pengantar
Keanekaragaman hayati Indonesia menjadi perhatian global karena negara ini dikenal
sebagai salah satu pusat biodiversitas dunia. Faktor-faktor yang memengaruhi
keanekaragaman hayati mencakup berbagai aspek, mulai dari kondisi geografis hingga
perubahan iklim. Keunikan kehati Indonesia melibatkan sejumlah elemen yang menciptakan
ekosistem yang unik dan mendukung kelangsungan hidup berbagai spesies flora dan fauna.
Selain itu, iklim tropis Indonesia juga turut berkontribusi pada keanekaragaman hayati.
Curah hujan yang tinggi sepanjang tahun menciptakan lingkungan yang ideal bagi tumbuhan
dan hewan tropis untuk berkembang biak.
Peran relief geografis, seperti gunung, sungai, dan laut, juga menjadi faktor penentu.
Gunung-gunung tinggi dan sungai-sungai besar memberikan habitat yang beragam bagi
berbagai jenis makhluk hidup, sedangkan ekosistem terumbu karang di laut tropis
mendukung kehidupan bawah air yang kaya.
Sayangnya, faktor yang merusak kehati juga muncul. Deforestasi, yang disebabkan
oleh kegiatan pertanian, pembalakan liar, dan pertambangan, mengancam ekosistem dan
menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati.
Eksploitasi sumber daya alam juga menjadi faktor penting yang merusak kehati.
Penangkapan ikan berlebihan, illegal logging, dan pertambangan yang tidak berkelanjutan
dapat menyebabkan hilangnya habitat dan kepunahan spesies.
Peran manusia, melalui aktivitas seperti pembakaran hutan untuk membuka lahan
pertanian, ikut serta dalam kerusakan kehati. Perdagangan ilegal dan perburuan liar semakin
memperparah penurunan populasi beberapa spesies.
Peran pemerintah sangat penting dalam menjaga kehati. Kebijakan lingkungan yang
berkelanjutan dan penegakan hukum yang ketat dapat memberikan perlindungan terhadap
ekosistem yang rentan.
Tidak kalah pentingnya adalah peran aktif masyarakat, LSM, dan lembaga
internasional dalam mendukung upaya pelestarian. Kesadaran akan kebutuhan untuk
melindungi keanekaragaman hayati harus ditingkatkan melalui edukasi dan partisipasi
masyarakat.
PERSEBARANKEANEKARAGAMAN
HAYATI DI INDONESIA
Garis Wallace
Garis Wallace merupakan garis khayalan yang memisahkan dua wilayah biogeografis besar, yaitu
wilayah Oriental dan wilayah Australis. Garis ini diusulkan oleh ilmuwan alam Inggris, Alfred Russel
Wallace, yang memahami bahwa terdapat perbedaan signifikan dalam keanekaragaman hayati antara
bagian barat dan timur Indonesia. Wallace menyadari bahwa beberapa spesies fauna di bagian barat
garis ini sangat berbeda dengan spesies di bagian timur. Perbedaan ini mencakup perbedaan dalam
spesies mamalia, burung, dan reptil. Garis Wallace menjadi bukti penting dalam pemahaman tentang
biogeografi dan evolusi.
Garis Weber
Garis Weber, yang juga dikenal sebagai Isoseismal, adalah garis khayalan yang menghubungkan
semua titik yang mengalami intensitas gempa bumi yang sama selama suatu peristiwa gempa. Gagasan
ini pertama kali diperkenalkan oleh Carl Friedrich Gauss Weber, seismolog Jerman, pada abad ke-19.
Dengan membentuk garis ini, para seismolog dapat memvisualisasikan pola distribusi intensitas gempa
bumi di permukaan Bumi selama gempa tertentu. Ini membantu ilmuwan dan peneliti untuk memahami
lebih lanjut tentang sebaran gempa dan dampaknya pada berbagai wilayah, yang dapat menjadi dasar
penting dalam mitigasi risiko gempa bumi di masa depan.
Dalam Garis Wallace dan Weber terdapat Zona Zona yang menunjukan masing masing terdapat
flora dan fauna melalui zona yang terhubung dengan garis.
Kesimpulan
Keanekaragaman hayati di setiap zona—Asiatik, Peralihan, dan Australis—menawarkan
pemandangan yang memukau dan menggambarkan keterkaitan yang kompleks antara flora, fauna, dan
lingkungan alam setempat. Setiap zona memiliki ciri khasnya sendiri dalam menyajikan keindahan
keanekaragaman hayati, sementara juga dihadapkan pada tantangan dan ancaman yang perlu diatasi
melalui upaya pelestarian yang berkesinambungan.
Zona Asiatik:
Zona Asiatik, yang meliputi Asia Tenggara, merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang
sangat tinggi. Karakteristik utamanya adalah hutan hujan tropis yang melimpah, gunung berapi, dan
pulau-pulau yang beragam. Fauna di Zona Asiatik seringkali memiliki adaptasi khusus terhadap
lingkungan hutan tropis, dan sebagian besar termasuk dalam kelompok karnivora, menyesuaikan diri
dengan siklus makan dan hidup di hutan hujan yang lebat.
Harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae): Karnivora besar dengan garis-garis hitam yang mencolok.
Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus): Gajah yang lebih kecil dengan ukuran telinga yang
lebih kecil dan lebih bergelombang.
Orangutan (Pongo abelii): Primata besar yang hidup di pohon, memiliki lengan yang panjang, dan bulu
merah cokelat.
Rafflesia Arnoldii: Bunga terbesar di dunia, yang tumbuh di hutan hujan Sumatra dan Kalimantan.
Anggrek hitam (Coelogyne pandurata): Anggrek endemik Indonesia yang memiliki bunga berwarna
hitam unik.
Durian (Durio spp.): Buah tropis dengan duri dan aroma yang kuat.
Zona Peralihan:
Zona Peralihan, terutama kawasan Wallacea, menciptakan persilangan antara keanekaragaman hayati
Asia dan Australia. Karakteristiknya melibatkan pulau-pulau vulkanik, laut dalam, dan adaptasi unik
pada flora dan fauna sebagai hasil dari perubahan iklim dan topografi yang dinamis.
Kuskus (Phalangeridae): Mamalia pohon dengan ekor panjang yang banyak ditemui di Sulawesi.
Maleo (Macrocephalon maleo): Burung tanah besar dengan kemampuan bertelur di tanah di Sulawesi.
Contoh flora di Zona Peralihan:
Pohon Cendana (Santalum album): Pohon dengan serat harum yang digunakan untuk membuat minyak
atsiri.
Pohon kendi (Aquilaria spp.): Pohon yang menghasilkan kayu gaharu yang berharga.
Zona Australis:
Zona Australis, yang mencakup Australia dan pulau-pulau di sekitarnya, memiliki karakteristik unik
termasuk padang rumput luas, gurun, dan satwa liar yang sangat teradaptasi terhadap kondisi
lingkungan yang keras.
Kanguru (Macropodidae): Mamalia dengan tungkai belakang yang panjang, ekor kuat, dan kemampuan
melompat.
Emu (Dromaius novaehollandiae): Burung besar yang tidak bisa terbang dengan bulu cokelat dan kaki
panjang.
Koala (Phascolarctos cinereus): Marsupial yang hidup di pohon dan makan daun eukaliptus.
Eukaliptus (Eucalyptus): Pohon dengan daun hijau keabu-abuan dan kulit kayu yang tahan api.
Wattle (Acacia spp.): Tanaman semak dengan bunga berwarna cerah yang merupakan simbol nasional
Australia.
Setiap zona memiliki ciri khas sendiri dalam hal flora dan fauna, menciptakan keanekaragaman hayati
yang luar biasa dan mendalam di masing-masing ekosistemnya. Ini menjadi dasar penting dalam
pelestarian dan pemahaman global terhadap kekayaan alam yang dimiliki oleh setiap zona.
Pemanfaatan yang tidak berkelanjutan terhadap sumber daya alam seperti perikanan yang berlebihan,
pembuangan limbah industri, dan penggunaan pestisida secara berlebihan juga memberikan tekanan
yang signifikan terhadap ekosistem. Pengenalan spesies invasif, baik tanaman maupun hewan, juga
dapat menggeser keseimbangan ekosistem alami, mengancam spesies endemik.
Rehabilitasi Ekosistem:
Melakukan upaya rehabilitasi ekosistem yang rusak untuk mengembalikan fungsi ekologis dan
memulihkan keanekaragaman hayati.
Kolaborasi Internasional:
Berpartisipasi dalam kerjasama internasional untuk melibatkan negara-negara lain dalam upaya
pelestarian keanekaragaman hayati.
Pengembangan Teknologi:
Memanfaatkan teknologi untuk pemantauan dan pemetaan keanekaragaman hayati, serta identifikasi
potensi ancaman dengan lebih cepat.