Anda di halaman 1dari 6

Membongkar Rahasia Bisnis Gereja

29 09 2010

29 Votes

kebaktian

Selama ini banyak kalangan beranggapan bahwa missi Kristenisasi yang dilakukan oleh
gereja semata bermotifkan agama. Tetapi sesungguhnya ada motif lain yang tak kalah kuat,
bisnis.

Bisnis apa yang paling menggiurkan saat ini?. Jawaban yang cukup nakal dikemukakan oleh
seorang blogger Kristen, Mang Ucup. Di dalam blognya ia menulis, “Bisnis properti sekarang
sudah tidak sehebat seperti dahulu lagi, oleh sebab itu banyak dari mereka yang berganti
haluan mengalih ke bisnis politik, nah apa salahnya kalau bisnis atau usaha Anda dialihkan
jurusannya ke bisnis rohani.”

Bisnis rohani yang ia maksud adalah mendirikan gereja. Bahkan dengan terang-terangan ia
menawarkannya sebagai jasa waralaba. “Untuk hal ini mang Ucup ingin menawarkan jasa
waralaba (franchise) untuk mendirikan Gereja ‘Angin Surga’,” begitulah tawarannya.

Di blog “Sabdaspace” bahkan ada seorang blogger yang menulis, “Salah satu resolusi tahun
baru yang saya buat di awal bulan Januari 2010 adalah membuka bisnis. Setelah saya
pikirkan selama beberapa bulan terakhir, saya memutuskan untuk membuka bisnis gereja di
tahun ini”.

Bukan tanpa perhitungan dan perencanaan matang, mereka bahkan sudah melakukan analisis
pasar dengan menggunakan teori Bauran Pemasaran (Marketing Mix). Analisa product
(produk), promotion (promosi), price (harga) dan place (tempat)-nya sudah mereka siapkan.
Dengan begitu mereka telah membuka peluang baru untuk menggabungkan antara bisnis dan
sisi rohani. “Secara bisnis kita untung banyak, dan bisa berlindung dibawah “payung” secara
rohani. Kesimpulannya, sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui”, ujarnya.

Franchise gereja ‘Angin Surga’ yang ditawarkan Mang Ucup diperkirakan akan menuai
keuntungan yang besar. Ia menjanjikan modal akan kembali dalam waktu 6 bulan. Bahkan
Lambok A. Sitorus (lihat http://www.cakka.web.id/blog/kisah-gereja-sebagai-trend-bisnis-
masa-kini), mencatat total keuntungan yang bisa diraup dari sekali ibadah adalah Rp. 18,5
juta. Dari mana uang sebesar itu diperoleh?.
Hitung-hitungannya begini. Modal awal yang diperlukan Rp. 16,5 juta. Rincian
pengeluarannya untuk sewa gedung 10 juta (lengkap dengan fasilitas musik), biaya
pembicara Rp. 500 ribu, tim musik, WL, singer dan tamborin Rp. 1 juta. Jika memakai 2 artis
maka pengeluarannya Rp. 2 juta. Keamanan (polisi) Rp. 1 juta, kartu undangan dan iklan Rp.
1 juta, makan makan Rp. 2 juta. Jadi total pengeluarannya Rp. 16, 5 juta.

Sementara estimasi pemasukannya dengan target jemaat yang hadir 1000 orang, akan
didapatkan kolekte Rp. 5 juta (@Rp. 5000), korban tantangan Rp. 20 juta, pengusaha dan
sponsor untuk investasi Rp. 10 juta. Total pemasukan akan didapatkan Rp. 35 juta. Jadi, total
keuntungan bila buka bisnis seperti ini untuk sekali ibadah adalah Rp. 18,5 juta. Jika sebulan
minimal dilakukan empat kali maka akan terkumpul keuntungan sebesar Rp. 74 juta. Belum
lagi jika benar-benar mendirikan bangunan gereja, dana dari kalangan pengusaha Kristen dan
luar negeri akan mengalir deras. “Kalau Protestan akan didanai para pengusahanya dan dari
lembaga khusus milik mereka, sementara Katolik akan dapat dana dari Vatikan”, jelas
mantan evangelis (penginjil) Bernadus Doni.

Menyuap Untuk Gereja

Cerita di atas bukanlah guyonan para blogger di dunia maya. Dalam praktiknya hal itu
memang benar-benar terjadi. Motif bisnis menjadi sangat dominan dalam pendirian sebuah
gereja baru. Hal ini diakui oleh Sekretaris Umum Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Pdt.
Gomar Gultom. Menurutnya banyak para pendeta mengelola gereja sebagai bisnis atau
perusahaan pribadi. Apalagi di Kristen Protestan dikenal adanya istilah denominasi. Seorang
diri berhak mendirikan gereja.

“Jika dia tidak cocok dengan gereja mereka bisa memecahkan diri dan mendirikan gereja
baru. Sebab kalau dilarang akan menyalahi ajaran Kristiani”, ungkap pendeta HKBP itu
dalam kesempatan dialog offair di sebuah stasiun televisi swasta nasional.

Tidak mengherankan jika pertumbuhan gereja di Indonesia bak jamur di musim hujan. Data
Kementerian Agama menyebutkan bahwa pertumbuhan gereja pasca adanya Peraturan
Bersama Menteri Agama dan Dalam Negeri (PBM) sebesar 138 persen. Sementara masjid
hanya 68 persen.

Untuk bisa mendirikan gereja yang sebanyak itu, memang segala hal mereka lakukan.
Manipulasi fakta, memalsu tanda tangan, bahkan menyuap pejabat dan masyarakat setempat.
Sekjen Dewan Masjid Indonesia (DMI) Natsir Zubaidi mempunyai pengalaman soal upaya
penyuapan pihak gereja ini. Dalam kasus pendirian sebuah lembaga Kristen di Ciledug,
Tangerang, pihak Kristen menawarkan kepadanya uang sebesar Rp. 500 hingga 750 juta.
Dalam kasus Bekasi, Natsir bahkan mensinyalir beberapa pihak di sana juga menerima suap
dari HKBP dalam jumlah ratusan juta rupiah.

Ketua Forum Umat Islam Mustika Jaya (FUIM) Sahid Tajudin membenarkan dugaan itu. Ia
mengakui pernah ditawari uang ratusan juta rupiah untuk menghentikan protes atas
pembangunan gereja HKBP di Ciketing. Tawaran itu ditolaknya.

Rupanya modus yang sama juga dilakukan di Ngrowo, Bojonegoro, Jawa Timur. Untuk
meloloskan pembangunan gereja Bethany di Jalan Sawunggaling, pihak gereja menyogok
warga di RT. 01 RW. 01 Kelurahan Ngrowo masing-masing Rp. 200 ribu. Ada 74 tanda
tangan yang dikumpulkan dari warga sekitar. Artinya mereka mengeluarkan dana Rp. 14,8
juta untuk memuluskan pendirian gereja itu.

Bisnis Katolik Vs Bisnis Protestan

Meski sama-sama Kristen, dalam masalah bisnis rupanya ada perbedaan yang cukup
signifikan antara Katolik dengan Protestan. Hal itu diungkap oleh F. Rahardi dalam bukunya
“Menguak Rahasia Bisnis Gereja”. Menurut Rahardi, orang Katolik tidak terlalu beruntung
dalam berbisnis. Sebab orang Katolik kalau berdoa dua telapak tangannya terkatup rapat dan
kepalanya menunduk. Doa dan nyanyiannya juga pelan-pelan.

Berbeda dengan orang Protestan. Jika berdoa telapak tangannya terentang dan menengadah,
siap menampung rezeki yang dijatuhkan Tuhan dari langit. “Mereka juga menyanyi dengan
sangat keras, sambil menangis-nangis, kadang bertepuk tangan, hingga doa mereka selalu
didengar Tuhan”, ungkap pria kelahiran Ambarawa itu.

Rahardi mencoba membuktikan tesisnya secara demografi. Ia katakan bahwa di belahan utara
benua Amerika yang Protestan, rakyatnya lebih makmur dibanding Amerika Latin yang
Katolik. Di Indonesia, NTT yang Katolik juga miskin. Manado lebih makmur ketimbang
Toraja, Ambon lebih makmur daripada Maluku Tenggara, sementara di Kulonprogo,
Yogyakarta masyarakatnya yang Katolik juga miskin. “Di mana-mana orang Protestan lebih
gesit dalam menangkap peluang bisnis. Sebab orang Protestan lebih sering protes”, jelas
Rahardi.

Awal majunya Protestan dalam berbisnis dimulai ketika Marthin Luther (1483-1546)
memisahkan diri dari Katolik dan mendirikan Protestan. Terobosan bisnis pertama kali yang
ia lakukan adalah mencetak Bible dalam bahasa Jerman secara massal. Untuk kurun waktu
itu, apa yang dilakukan oleh Martin adalah terobosan bisnis yang luar biasa radikal. Sebab
dalam tradisi Katolik, Bible hanya boleh ditulis dalam bahasa Latin dan yang berwenang
membacanya adalah Pendeta.

Selain memperjualbelikan Bible, Protestan juga membolehkan para pendetanya untuk


menikah dan berkeluarga. Karena di Protestan terdapat ratusan sekte-sekte kecil maka
pembisnisan gereja menjadi tak terhindarkan. “Karena berkeluarga, pendeta Protestan juga
terbebani memikirkan kebutuhan keluarga dan kurang berkonsentrasi pada umat”, katanya.

Ragam Bisnis Gereja

Mendirikan gereja ibarat memiliki holding company. Ada banyak lini bisnis yang bisa
digarap. Tinggal pandai-pandainya pihak gereja menangkap peluang itu. Dalam ritual misa,
sebenarnya terbuka peluang bisnis yang cukup besar.

Dalam ibadat misa mutlak diperlukan roti tak beragi yang disebut hosti. Hosti asli dalam
“perjamuan Terakhir” berupa adonan tepung gandum yang dibuat dengan lempengan selebar
20-30 cm, dengan ketebalan 2-3 cm yang dipanggang. Sementara anggur yang digunakan
adalah anggur merah (red wine). Hosti dan anggur ini harus diproduksi secara benar oleh
pihak yang berkompeten. Untuk gereja Katolik, jenisnya harus seragam.

Hosti banyak diproduksi oleh biara di Indonesia, sementara anggurnya harus diimpor dari
Australia. Di sana kebun anggur itu dimiliki oleh Ordo Jesuit. Maka tak pelak lagi kebutuhan
anggur misa di Indonesia dimonopoli oleh Jesuit. Jesuit adalah sekte terbesar di dunia.
Sementara di Indonesia mereka di urutan kedua. Sekte terbesar di Indonesia adalah Serikat
Sabda Allah (SVD).

Selain masalah hosti dan anggur, tempat misa juga bisa menjadi lahan bisnis. Seolah meniru
ibadah Sholat Jum’at bagi umat Islam, kalangan Nasrani juga berkreasi dengan membuat
Misa Jum’atan. Jika umat Islam mengadakan sholat Jum’at dan pengajian di perkantoran,
mereka tak mau kalah. Misa Jum’atan digelar juga di perkantoran, bahkan di hotel
berbintang. Untuk menarik minat jemaat dan menghasilkan keuntungan, panitia mengundang
para pengusaha kelas atas, artis dan tokoh-tokoh mereka. Dalam misa ini diadakan kolekte
(persembahan).

“Hasil uang kolekte misa hotel berbintang ini ternyata mampu menutup semua biaya dan
sisanya masih sangat besar”, ungkap Rahardi. Bahkan menurutnya, dalam perjalanan
selanjutnya panitia misa akhirnya memasang tarif. Untuk kalangan Protestan, kegiatan seperti
ini bahkan diselenggarakan secara massal di Senayan Jakarta. Untuk menarik massa, mereka
memberi embel-embel ‘penyembuhan’.

Ladang bisnis selanjutnya adalah akomodasi. Gereja biasanya membangun rumah, wisma,
panti asuhan dan asrama untuk segmen bisnis ini. Untuk memfasilitasi jemaat yang akan
melakukan retret (menyepi), di Kawasan Cisarua, Cipanas dan Lembang banyak dibangun
rumah retret. Di Jawa Tengah dibangun di daerah Bandungan, Yogyakarta di kawasan
Kaliurang dan Kota Batu untuk wilayah Jawa Timur. Ada juga rumah retret yang menyatu
dengan biara atau paroki, seperti Wisma KWI di Pondok Labu, Jakarta Selatan dan Wisma
Canossa di Pondok Aren, Bintaro, Tangerang.

Bisnis rumah retret ini mirip dengan bisnis hotel, dari kelas melati hingga bintang. Ada tarif
atau paket tertentu. Akomodasi yang standar bintang, tarifnya lebih dari Rp. 500 ribu/orang
per hari. Contohnya rumah retret Bukit Talita di Ciloto, Cianjur, Jawa Barat. Rumah retret ini
juga bisa dipakai untuk rapat, raker, munas dan berbagai pelatihan.

Dalam bidang pendidikan, gereja juga mengelola sekolah dari tingkat TK hingga perguruan
tinggi. Bahkan tidak sedikit sekolah Kristen dan Katolik yang menjadi favorit dan biayanya
sangat mahal. Di jalan Ir. H. Juanda Jakarta, berdiri kompleks sekolah Santa Maria yang
mengelola TK, SD, SMP dan SMK Pariwisata. Di tingkat perguruan tinggi, kampus-kampus
Katolik memebuat asosiasi yang disebut Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK).
Tercatat ada 15 Universitas Katolik yang bernaung dibawahnya.

Bisnis di bidang kesehatan juga tak kalah menggiurkan. Salah satunya adalah rumah duka.
Untuk kota-kota besar seperti Jakarta, profit bisnis ini sangatlah besar. Mulai dari
memandikan dan merawat jenazah, peti mati, karangan bunga, mobil jenazah, rumah duka,
hingga pemakaman, semua bisa diurus oleh lembaga bisnis ini. Jika jenazah itu dimakamkan
di luar kota, keuntungannya akan lebih besar lagi. Karena akan ada jasa transportasi. Jika
jenazah itu dikremasi, pundi keuntungan akan membesar lagi.

Ziarah ke Gua Maria (devosi) akan menjadi lahan bisnis selanjutnya. Maklum, hasrat umat
Katolik untuk berziarah sangatlah besar. Kegiatan devosi kepada Maria ini mencapai
puncaknya ketika Bernadette Soubirous, gadis 14 tahun, pada 1858 diberi penampakan Santa
Maria di gua Masabielle di Lourdes, Perancis Selatan, sebanyak 18 kali. Tahun 1917,
penampakan Maria diyakini terjadi di Lisabon, Portugal. Bagi Perancis, devosi mampu
mendatangkan devisa yang sangat besar. Kegiatan devosi dilakukan tiap bulan Mei dan
Oktober, dengan pertimbangan utamanya bisnis bukan teologis.

Sementara di Indonesia, devosi dilakukan di Sendangsono yang berada di pegunungan


Menoreh, Dusun Semanggung, Desa Banjaroya, Kecamatan Kalibawang, Kulonprogo,
Yogyakarta. Selain itu juga di Kerep, Ambarawa dan Puhsarang, Kediri, Jawa Timur.

Bidang pertanian dan perbengkelan juga menjadi bidang garapan bisnis gereja. Ada dua
lembaga Katolik yang terkait dengan bisnis pertanian organik. Serikat Paguyuban Tani dan
Nelayan – Hari pangan Sedunia (SPTN-HPS) yang berlokasi di Tegalgendu, Kotagede,
Yogyakarta dan Yayasan Bina Sarana Bhakti (YBSB) di Cisarua, Bogor. Kedua lembaga ini
berdiri sejak tahun 1980-an. YBSB aktif mempengaruhi petani sayuran di Puncak untuk
mengembangkan sayuran organik guna memasok hotel berbintang di Jakarta.

Keuskupan, Keuskupan agung, Tarekat, juga Paroki banyak mempunyai kebun dan unit
peternakan. Tarekat SVD di Flores mempunyai Kebun kelapa seluas 200 hektar di Pinggir
Pantai, di Jalan raya Maumere, Larantuka. Tarekat para rahib O.C.S.O di Rawaseneng,
Temanggung, Jawa Tengah mengelola kebun kopi robusta seluas 1500 hektar, peternakan
babi dan sapi perah.

Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) di Surakarta adalah lembaga pendidikan dan
perusahaan filing cabinet yang dipunyai gereja. Tahun 2003, ATMI membuka cabang di
Cikarang, Bekasi. Sementara Pendidikan Industri Kayu Atas (PIKA) di Semarang
mengadakan kegiatan pertukangan. Ordo Jesuit mempunyai Kursus Pertanian Taman Tani
(KPTT) di Salatiga. Tidak jauh dari sana, di Kota Ungaran ada lahan dengan kegiatan Aksi
Agraris Kanisius (AAK).

Kalangan gereja juga merambah bisnis media dan penerbitan. Ada tujuh penerbit milik gereja
yang bernaung dibawah sekretariat bersama (seksama), yakni Kanisius di Yogyakarta, Dioma
di Malang, Bina Tama di Surabaya, Nusa Indah di Ende, Bina Media di Medan, Obor dan
Hidup di Jakarta. Selain itu ada tiga penerbit lagi di luar itu, Ledalero di Maumere, Cipta
Loka Caraka di Jakarta dan Karmelit di Malang.

Bisnis terakhir adalah bisnis politik dan kekuasaan. Saat ini ada dua partai Kristen yang
cukup besar, Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) dan Partai Damai Sejahtera (PDS).
Melalui dua partai ini dan partai-partai sekuler lainnya, kepentingan Kristen di kancah politik
diperjuangkan. Salah satu hasilnya, hampir 30% gubernur di Indonesia dari kalangan
Kristen.

Korupsi di Gereja

Karena gereja mengelola asset yang sangat besar maka korupsi pun manjadi tidak terelakkan.
Kemana uang hasil korupsi itu?. Menurut F. Rahardi, uang hasil korupsi itu pertama tentu
untuk orangtua, saudara, keponakan dan sanak famili. Kedua, bisa saja untuk teman
selingkuhnya. Sebab perselingkuhan juga terjadi diantara anggota tarekat (pastor dan bruder
dengan suster) atau pastor dan bruder dengan wanita biasa. Di lingkungan gereja Bethany
misalnya, Pdt. Abraham Alex dituduh hanya jualan Firman Tuhan dan menarik dana dari
jemaat kaya.

Tentang skandal korupsi di gereja ini telah diulas oleh George Junus Aditjondro, melalui
bukunya “Gereja dan Penegakan HAM”. Beberapa skandal korupsi diulas dalam buku yang
diterbitkan oleh Penerbit Kanisius,Yogyakarta itu.

Kasus manipulasi bantuan Jema’at-Jema’at Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) untuk
para korban tsunami di Aceh dan Nias pada akhir 2005 adalah salah satu contohnya. Menurut
Investigasi BPKP GKST pada 12 Desember 2005, hasil sumbangan 61 jema’at GKST yang
diperuntukkan bagi para korban Tsunami dan Nias telah terkumpul sebanyak Rp 27.538.450.
Namun, pengelola gereja di bawah Majlis Sinode (MS) GKST di Tentena sebagai pihak yang
diserahi jema’at malahan tidak menggunakan amanah itu sebagaimana mestinya. Sejumlah
24,5 juta dari dana bantuan Jema’at “dipinjam” oleh MS GKST, sedangkan sisanya berada di
tangan Bagian Keuangan Badan Pekerja Sinode (BPS) GKST .

Menurut Junus, kasus yang sama juga dilakukan MS GKST terhadap bantuan untuk korban
bom di Pasar Tentena,yang berjumlah sebesar Rp 338 juta lebih. Dari jumlah bantuan itu,
hanya Rp 162 juta lebih yang dimanfaatkan untuk kepentingan para korban, tapi Rp 25 juta
lagi-lagi “dipinjam” oleh MS GKST. Bagi Junus, kebijakan seperti ini jelas tidak etis karena
“merampas” hak para korban bom di Pasar Tentena.

Kasus manipulasi bantuan jema’at yang cukup besar juga terjadi pada Yayasan Peduli Kasih
Hurian Kristen Batak Protestan (YPK HKBP) pada tahun 2007 yang lalu. Berdasarkan
analisis Junus, YPK HKBP telah menyalahgunakan dana bantuan Tsunami untuk ratusan
anggota Jema’at HKBP di Meulaboh, Aceh Barat sebesar satu milyar lebih atau tepatnya Rp
1.058.228.513. Dana itu berasal dari bantuan dermawan-dermawan di luar negeri serta
kolekte (persembahan) Jema’at-Jema’at HKBP se-indonesia yang total seluruhnya sebesar Rp
10.792.529.725 yang dihimpun oleh Yayasan Peduli Kasih HKBP sendiri. Fakta ini terkuak
dalam laporan hasil audit dana bantuan kemanusiaan untuk bencana alam Tsunami No.
12/BA/VIII/HKBP/2007 yang ditandatangani oleh Ketua Badan Audit HKBP, Djawakin
Sihotang, dan ditunjukkan kepada Majlis Pekerja Sinode (MPS) HKBP tertanggal 24 Agustus
2007.
Di Perancis, bahkan ada seorang pendeta Katolik yang ditangkap karena melakukan
penggelapan uang. Romo Antoine Videau telah menggelapkan uang sebesar Rp.
3.388.000.000 selama lebih dari dua puluh tahun dengan mencuri persembahan yang berada
di gereja dan menyewakan gereja serta perlengkapan gereja kepada orang lain. Hasil
penggelapan yang dia lakukan itu sudah menghasilkan sebuah mobil Ferrari yang
dikendarainya setiap kali bepergian, tinggal dengan seorang wanita simpanan dan terkenal
dengan sebutan ‘Playboy Padre’, dan mempunyai 28 akun bank.

Saat ini, Videau yang telah berumur 64 tahun tersebut juga sudah membeli berbagai vila.
Pendeta itu juga menyelewengkan 850 juta dari keuskupan setelah dia membuat surat wasiat
dari seorang pastor senior. Dia juga menghabiskan dana santunan gereja untuk
kesenangannya di Las Vegas.

Jelas sudah, bahwa misi Kristenisasi bukan sekedar menyebarkan agama Kristen dan
memurtadkan umat Islam, tetapi lebih dari itu ada kepentingan bisnis yang begitu menggoda.

Anda mungkin juga menyukai