Anda di halaman 1dari 37

GANGGUAN MENTAL PASKA CEDERA KEPALA

Oleh :
JENS MALPAULION
20140811014084

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran


pada universitas cenderawasih

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2022
GANGGUAN MENTAL PASKA CEDERA KEPALA

Oleh :
JENS MALPAULION
20140811014084

SKRIPSI

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran


Pada universitas cenderawasih

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA
2022
GANGGUAN MENTAL PASKA CEDERA KEPALA

Oleh :
JENS MALPAULION
20140811014084

KARYA TULIS ILMIAH SARJANA

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran


Pada Universitas Cenderawasih

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing


Jayapura, Juni 2022

Dr.dr.Hendrikus Masang Ban Bolly, M.Si,SpBs, FICS,AIFO-K


Ketua Tim Pembimbing

Dr.Izak Yesaya Samay, M.Kes,Sp.Jp.Kj


Anggota Tim Pembimbing
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :


1. Karya tulis saya ini, adalah asli dan belum pernah di ajukan
untuk mendapatkan akademik ( sarajana ), baik dari Universitas
Cenderawasih maupun perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan masalah, dan riset
saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim
Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang
telah ditulis atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis
dengan jelas dicamtumkan sebagai acuan dalam naskah dengan
disebutkan pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila


dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidak benaran dalam
pernyataan ini , maka saya bersedia menerima sanksi akademik
berupa pencabutan gelar yang diperoleh karena karya ini, serta
sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di perguruan
tinggi

Jayapura, Juni 2022

JENS MALPAULION
20140811014084
KATA PENGANTAR

Puji dan sykur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan
karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah
yang berjudul “GANGGUAN MENTAL PASKA CEDERA
KEPALA”. Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah
untuk persyaratan guna memperoleh gelar sarjana kedokteran di
Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih Jayapura.
Dalam penyusunan penelitian ini, penulis juga menyadari bahwa
tanpa dukungan dan bimbingan di berbagai pihak, sangat sulit bagi
penulis untuk menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Oleh karena itu,
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada pihak yang telah membantu, memotivasi serta
memberi bimbingan dalam menyusun karya tulis ilmiah ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :
1. DR.Ir.Apolo Safanpo ST.,MT.,selaku Rektor Universitas
Cenderawasih.
2. dr. Trajanus Laurens Jembise,Sp.B selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Cenderawasih dan Para Pembantu
Dekan.
3. Dr.dr.Hendrikus M.B. Bolly, Sp. BS (K)., M.Si selaku dosen
pembimbing I yang dari awal membantu penulis dalam
pemilihan judul serta yang selalu meluangkan waktu dan dengan
kesabaran memberikan bimbingan, arahan, saran, dan kritikan
dalam penyusunan karya tulis ini.
4. dr. Izak Yesaya Samay, M.Kes, Sp. Jp. Kj. Selaku dosen
pembimbing II yang selalu meluangkan waktu dan dengan
kesabaran memberikan bimbingan, arahan, dan kritikan dalam
penyusunan karya tulis ini.
5. Panitia ujian KTI dan para dosen penguji atas segala kritikan dan
saran yang diberikan untuk penulisan karya ilmiah ini.
6. Para staf dan dosen Fakultas Kedokteran Universitas
Cenderawasih yang telah memberikan ilmu pengetahuan kepada
penulis selama masa pendidikan.
7. Kedua orang tua Bapak, Mama, Ade, tercinta yang selalu
mendoakan, mendukung, memberikan semangat dan nasehat
serta motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
karya tulis ilmiah ini.
8. Semua teman seperjuangan saya angkatan 13 (Bochdalek)
terutama sahabat-sahabat saya yang terkasih Nurhyati, Ekavita,
Benyamin, Febrian, Helgy, Abia, Cresella, Ocha, Andre, Lanny,
Irnha, Astin, Agung yang sudah membantu dan selalu
menyemangati serta menemani penulis dalam menyelesaikan
karya tulis ilmiah ini.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang turut
memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ini masih memiliki
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh Karena itu,
penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang membangun
demi perbaikan karya tulis ilmiah ini selanjutnya. Akhir kata,
penulis berharap agar kelak hasil dari penelitian ini dapat
menjadi sumber informasi yang dapat memberikan manfaat
kepada semua orang.
Jayapura, Juni 2022
Penulis
Abstark
Latar Belakang : Gangguan mental akibat cedera kepala merupakan
permasalah utama yang menyebabkan penurunan kemampuan
berkosentrasi, berfikir, lambat melakukan aktivitas sehari-hari dan
kerusakan kemampuan kognitif setelah mengalami cedera kepala.
Metode : Penelitian ini menggunakan jenis penelitian studi literature.
Literatur yang di skring menggunakan sumber Geoogle
Scholar/Cendekia, sepanjang tahun 2017-2021 dengan hasil akhir
jumlah literatur review sebanyak 4 literatur.
Hasil : Dari empat literatur yang digunakan, semua hasil menyatakan
dengan jelas bahwa ada pengaruh gangguan mental paska cedera
kepala.
Kesimpulan : Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara gangguan mental paska cedera kepala.

Kata Kunci : cedera kepala, gangguan mental.


Abstract
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
PERNYATAAN
KATA PENGANTAR
ABSTARK
ABSTRACT
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR SINGKATAN
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Peneltian
BAB II KERANGKA KONSEP,HIPOTESIS DAN METODE
PENELITIAN
2.1 Kerangka Konsep
2.2 Pertanyaan Penelitian
2.3 Hipotesis Penelitian
2.4 Metode Penelitian
2.4.1 Kata Kunci Pencarian Literatur
2.4.2 Penetapan basis data/ sumber literatur
2.5 Skiring literatur dan Sintesis Kualitatif
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1.1 Gangguan Mental
3.1.1 Defenisi
3.1.2 Jenis Gangguan Mental
3.1.3 Faktor Gangguan Mental
3.1.4 Diagnosis Gangguan Mental
3.2 Cedera Kepala
3.2.1 Defenisi
3.2.2 Etilogi
3.2.3 Klasifikasi
3.2.4 Patofisiologi
3.2.5 Komplikasi Cedera Kepala
3.2.6 Komponen Skala Koma Glasgow
3.2 Hasil
3.3 Pembahasan
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Hasil Literatur Review


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Konsep


Gambar 2.2 Alur Skrining Literatur
DAFTAR SINGKATAN

GCS : Glass Coma Scale


CKR : Cedera Kepala Ringan
CKS : Cedera Kepala Sedang
CKB : Cedera Kepala Berat
OCD : Obbsive Compulsive Disorder
WHO : World Healt Organization
DSM : Diagnostik and Statikal Manual of Mental
Disorders
PTSD : Trauma Brain Injury
PDSKJI : Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan
Jiwa Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan mental adalah penyakit-penyakit jiwa, yang menyebabkan


penderita tidak sanggup menilai dengan baik kenyataan, tidak dapat lagi
menguasai dirinya untuk mencegah menganggu orang lain atau
merusak/menyakiti dirinya sendiri (MIF Baihaqi dkk, 2007).
Sehat dan sakit merupakan kondisi biopsikososial yang menyatu dalam
kehidupan manusia. Pengenalan konsep sehat dan sakit, baik secara fisik
maupun psikis merupakan bagian dari pengenalan manusia terhadap kondisi
dirinya dan bagaimana penyesuaiannya dengan lingkungan sekitar.
Pemahaman akan mental yang sehat tak dapat lepas dari pemahaman mengenai
sehat dan sakit secara fisik. Berbagai penelitian telah mengungkapkan adanya
hubungan antara kesehatan fisik dan mental individu, dimana pada individu
dengan keluhan medis adanya masalah psikis hingga taraf gangguan mental.
Sebaliknya, individu dengan gangguan mental juga menunjukkan adanya
gangguan fungsi fisiknya (Kartika, 2012).
Menurut World Health Organization (WHO) masalah gangguan
kesehatan jiwa diseluruh dunia memang sudah menjadi suatu masalah yang
sangat serius, paling tidak ada satu dari 4 orang di dunia mengalami masalah
mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia mengalami
gangguan kesehatan jiwa, pada umumnya gangguan mental yang terjadi adalah
gangguan kecemasan dan gangguan depresi. Diperkirakan 4,4% dari populasi
global menderita gangguan depresi, dan 3,6% dari gangguan kecemasan.
Antara lain adalah bali sebanyak 11/1.000 penduduk. Kemudian urutan
kedua Daerah Istimewa Yogyakarta 10/1.000 penduduk, urutan ketiga NTB
10/1.000 penduduk. Aceh menempati posisi ke empat 9/1.000 penduduk, dan
Jawa Tengah menempati urutan ke lima 9/1.000 penduduk dan seluruh provinsi

1
di Indonesia, Prevalensi skizofrenia di Sumatra Utara adalah 6/1.000
penduduk.
Gangguan jiwa adalah sindrom perilaku seseorang yang secara khas
berkaitan dengan suatu gejala penderita atau hendaya (keterbatasan atau
ketidak mampuan) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari manusia,
yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik dan gangguan itu tidak hanya
terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga masyarakat (Maslim
2002, Marimis 2010).
Cukup banyak pasien yang menderita penurunan kemampuan
berkontrasi setelah mengalami cedera otak, atau pasien yang mudah marah dan
tersinggung setelah mengalami cedera otak, atau pasien yang mudah marah dan
tersinggung setelah mengalami radang otak, yang dipulangkan tanpa
mengidentifikasi kelainan ini. Keluhan seperti gangguan memori, kesulitan
berkonsentrasi, menurunnya perhatian terhadap kehidupan berkeluarga, atau
adanya keluhan fisik tanpa ditemukan etiologi organik.
Cedera kepala adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka kulit kepala, fraktur
tulang tengkorak, robekan selaput tengkorak, robekan selaput otak dan
kerusakan jaringan otak itu sendiri serta mengakibatkan gangguan neurogis
(Cheristina, 2018).
Cedera kepala merupakan kasus yang sering terjadi setiap harinya
bahkan, bisa dikatakan merupakan kasus yang hampir selalu di jumpai di Unit
Gawat Darurat setiap RS. Kasus cedera kepala dapat berbagai tingkatan
kegawatan, yaitu dari yang tidak bersifat gawat darurat, yang memiliki risiko
keselamatan yang serius, dan bahkan yang sifatnya sangat fatal. Istilah lain
yang kerap digunakan dalam literatur adalah traumatic brain injury (cedera
otak traumatik), yang umumnya didefinisikan sebagai kelainan, non
degeneratif dan non koegenitial yang terjadi pada otak, sebagai akibat adanya
kekuatan mekanik dari luar yang berisiko menyebabkan gangguan temporer
atau permanen dalam hal fungsi kognitif, fisik dan fungsi psikososial, dengan
disertai penurunan atau hilangnya kesadaran. Insiden cedera kepala
diperkirakan 200/100.000 penduduk. Hampir semua cedera terjadi diantara
remaja dan dewasa muda dengan puncak ke dua terjadi diantara orangtua.
Hampir 20% rawat inap RS karena cedera kepala adalah penderita dibawah usia
15 tahun dan laki-laki 2x lebih sering menderita cedera kepala dari pada
perempuan (Go Eddy,2008).
Beberapa artikel penelitian tentang epidemologi cedera kepala akan
banyak dilakukan di Eropa dan Amerika Utara. Di wilayah Asia sebagian besar
negara tidak memiliki data epidemologi cedera kepala, namun dalam beberapa
tahun terakhir jumlah studi tentang cedera kepala mulai meningkat (Li, Zhao
Yu, et al.,2016).
Secara global insiden cedera kepala meningkat dengan tajam karena
adanya peningkatan penggunaan kendaraan bermotor. Menurut WHO
memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu lintas akan menjadi
penyebab penyakit trauma ketiga terbanyak di dunia. Data insiden cedera
kepala di Eropa pada tahun 2015 adalah 500 per 100.00 populasi. Insiden
cedera kepala di Inggris pada tahun 2015 adalah 400 per 100.00 pasien per
tahun (Irawan, 2015).
Setiap tahun setidaknya 1,7 juta cedera kepala terjadi di Amerika Serikat
(disemua kelompok umur), dan penyebabnya sekitar sepertiga (30,5%) dan
semua kematian adalah cedera. Remaja yang lebih tua (usia 65 thn dan
seterusnya), dan lelaki disemua kelompok umur yang paling mungkin untuk
mengalami cedera kepala (American School Health Association, 2017).
Di negara berkembang seperti Indonesia kasus cedera kepala
diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah diatas, 10% penderita
meninggal sebelum tiba di RS. Dari pasien yang sampai ke rumah sakit 80%
dikelompokkan kedalam cedera kepala ringan, 10% termaksud cedera kepala
sedang, 10% lagi termasuk kedalam cedera kepala berat (Priguna, 2010).
Dampak yang ditimbulkan paska cedera kepala adalah dapat mengalami
kerusakan kemampuan kognitif yaitu berupa gangguan tingkah laku, tidak
dapat mengendalikan emosi, berkurangnya kemampuan untuk berfikir dan
kosentrasi serta mengalami gejala fisik meliputi gangguan tidur, lambat
melakukan aktifitas sehari-hari dan susah untuk berbicara (Dewi,2014).
Gangguan fungsi kognitif yang terjadi dalam jangka panjang dan tidak
dilakukan penanganan yang optimal maka dapat menyebabkan penurunan
kualitas hidup (Ginsbreg, 2005).
Ada beberapa mekanisme dimana depresi setelah cedera otak terjadi
seperti gangguan jalur neuroanatomical, perubahan neurokimia, faktor
psikologis dan social. Kerusakan pada lobus frontal dan temporoal dapat
menganggu sirkuit antara korteks prefrontal, amigdala, hippocampus, ganglia
basal, dan thalamus yang menyebabkan disfungsi emoisional (Norup &
Mortensen, 2015).
Variabel psikologis termaksud toleransi rendah terhadap frustasi, gangguan
kesadaran diri, harga diri rendah dan strategi koping yang buruk juga dapat
berkontribusi terhadap depresi (Osborn, Mathias, & Fairweater-Schmidt,2014).

1.2 Rumusan Masalah


a. Apakah cedera kepala dapat menyebabkan depresi atau gangguan mental?
b. Apa jenis gangguan mental paska cedera kepala?

1.3 Tujuan Penelitian


a. Untuk mengetahui dan memahami gangguan mental paska cedera kepala
b. Untuk mengetahui dan memahami jenis gangguan mental paska cedera
kepala

1.4 Manfaat Penulisan


a. Untuk menambah ilmu pengetahuan tentang gangguan mental paska cedera
kepala
b. Sebagai bahan bacaan dan referensi tambahan untuk peneliti dimasa
mendatang.
BAB II
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS DAN METODE PENELITIAN

2.1 Kerangka Konsep


Kerangka konsep merupakan abstraksi dari suatu realita agar dapat
dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan keterkaitan
antara variabel (baik variabel yang diteliti maupun tidak diteliti).
Kerangka konsep adalah formulasi dari kerangka teori atau teori-teori
yang mendukung penelitian. Kerangka konsep pada penelitian ini adalah
sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen


Cedera kepala : Gangguan mental :
Ringan Ringan
Sedang Sedang
Berat Berat

Gambaran 2.1 Kerangka Konsep

Keterangan :
:: : Variabel yang diteliti
: Variabel indenpenden dan dependen

2.2 Pertanyaan utama peneliti


a. Apakah cedera kepala dapat mengakibatkan depresi atau gangguan
mental?
b. Apa saja jenis gangguan mental ?
2.3. Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masal telah dinyatakan dalam bentuk kalimat
pernyataan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru
didasarkan pada teori relevan, belum didasarkan fakta-fakta empiris yang
diperoleh melalui pengumpulan data. Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
Cedera kepala dapat mengakibatkan depresi dan gangguan mental.

2.4 Metode pencarian literatur


2.4.1 Kata kunci pencarian literatur
Kata kunci : cedera kepala, gangguan mental.
Key words : head injury, mental disorders.
2.4.2 Penepatan basis data / sumber literatur utama
Sumber literatur yang digunakan adalah jurnal terakreditasi 2017-2021
(Geoogle Scholar/Geoogle Cendika). Pencarian dilakukan pada hari
selasa 5 Mei 2022, jam 22:16 WIT.
2.5 Skrining literatur dan sintesis kualitatif

Literatur yang didefinisikan melalui pencarian di


Indikasi Geoogle Scholar

(n=18.300)

Literatur yang dikeluarkan :


1. Literatur yang didefinisikan melalui
(n=15.800)
Screening judul dan tahun 2017-2021
2. Menggunakan filter tahun yang 1.Judul

tersedia di basis data Geoogle 2. Dari tahun 2017-2021


Scholar
3. Bukan dari tahun 2017-2021

Literatur yang dikeluarkan

Artikel full text dan (n= 262)


Kelayakan
dikaji kelayakannya
1. Tidak dapat diakses tanpa
(n=266) berbayar
2. Literatur riview
3. Tidak sesuai tema

Kriteria inklusi
Literatur memenuhi
Inklusi
kriteria inklusi 1. Full text
2. Penelitian yang menyajikan gangguan
(n=4)
mental paska cedera kepala

Gambar 2.2 Alur skrining literatur


BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Gangguan Mental


3.1.1 Definisi
Gangguan mental/gangguan jiwa adalah penyakit-penyakit jiwa
yang menyebabkan penderita tidak sanggup menilai dengan baik
kenyataan, tidak dapat lagi menguasai dirinya untuk mencegah
mengganggu orang lain atau merusak /menyakiti dirinya sendiri (Mif
Baihaqi, Sunardi dkk, 2007).
Gangguan jiwa atau mental illness adalah kesulitan yang harus
dihadapi seseorang karena hubungannya dengan orang lain, kesulitan
karena presepsinya tentang kehidupan dan sikapnya terhadap dirinya
sendiri. Gangguan jiwa adalah gangguan dalam cara berfikir (kognitif),
kemauan (volition), emosi (affective), dan tindakan (psychomotor).
Menurut World Health Organization (WHO), depresi adalah
salah satu gangguan mental yang sering terjadi diseluruh dunia dengan
lebih dari 300 juta orang dari segala usia dan presentasenya meningkat
18% antara 2005 hingga 2015 (Sudarminta, 2017). Prevalensi gangguan
pada populasi dunia adalah 3-8% dengan 50% kasus terjadi pada usia
produktif yaitu 20-50 tahun selain itu, WHO juga menyatakan bahwa
gangguan depresi berada pada urutan keempat penyakit di dunia.
Depresi adalah suatu keadaan jiwa dengan ciri sedih, merasa
sendirian, rendah hati, putus asa, biasanya disertai tanda-tanda retardasi
psikomotor atau kadang-kadang agitasi, dan menarik diri. Pada DSM-
IV depresi yang terjadi paska cedera kepala dimasukkan dalam golongan
mood disorder due to a general medical condition (Go Eddy, 2008).
Berdasarkan hasil riset Kesehatan Dasar [Riskesdas], 2013),
angka prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan
gejala depresi dan kecemasan adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun ke
atas, atau sekitar 14 juta orang.
Di Indonesia sendiri, depresi bukanlah penyakit mental langkah.
Menurut Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia
(PDSKJI) Eka Viora, prevalensi penderita depresi di Indonesia adalah
3,7% dari populasi, jadi sekitar 9 juta orang mengalami depresi pada
tahun 2017 (Sudarminta, 2017).
Gejala depresi pra-cedera mungkin menjadi faktor risiko untuk
kualitas hidup yang buruk terkait perilaku dan kesehatan mental (Kumar
et al.,2014).

3.1.2 Jenis gangguan mental


Jenis gangguan mental menurut Keliat, (2009) : gangguan mental
organik dan sistomatik, skizofrenia, gangguan skizotipal, gangguan
waham, gangguan suasana perasaan, gangguan kepribadian dan perilaku
dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik, gangguan kepribadian dan
perilaku masa dewasa, retardasi mental, gangguan perkembangan
emosional.

Jenis-jenis gangguan mental yaitu :


a. Gangguan mental organik
Merupakan gangguan mental yang psikotik atau non-psikotik
yang disebabkan oleh gangguan fungsi jaringan otak. Gangguan
fungsi otak ini dapat disebabkan oleh penyakit yang terutama
mengenai otak atau yang diluar otak. Bila bagian otak yang
terganggu itu luas, maka gangguan dasar mengenai fungsi mental
sama saja, tidak tergantung pada penyakit yang menyebabkan bila
hanya bagian luar otak dengan fungsi tertentu saja yang terganggu,
maka lokasi inilah yang menentukan gejala dan sindroma, bukan
penyakit yang menyebabkannya.
b. Depresi
Merupakan suatu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya,
termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor,
kosentrasi kelelahan, rasa putus asa dan tidak berdaya, serta gagasan
bunuh diri. Depresi juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk
gangguan mental pada alam perasaan yang ditandai dengan
kemurungan, keleluasaan, ketiadaan gairah hidup, perasaan tidak
berguna, putus asa dan lain sebagainya.
c. Kecemasan
Sebagai pengalaman psikis yang biasa dan wajar, yang pernah
dialami oleh setiap orang dalam rangka memacu individu untuk
mengatasi masalah yang dihadapi. Suatu keadaan seseorang merasa
khawatir dan takut sebagai bentuk reaksi dari ancaman yang tidak
spesifik. Penyebabnya maupun sumber biasanya tidak diketahui atau
tidak kenali. Intensitas kecemasan dibedakan dari kecemasan tingkat
ringan sampai tingkat berat.
Menurut Stuart & Sundeen (2008) mengidentifikasi tentang respon
kecemasan kedalam empat tingkatan yang meliputi kecemasan
ringan, sedang, berat, dan kecemasan panik.
d. Gangguan kepribadian
Klinik menunjukkan bahwa gejala-gelaja gangguan kepribadian
(psikopatia) dan gejala-gejala nerosa berbentuk hamper sama pada
orang-orang dengan intelegensi tinggi atau rendah.
Klasifikasi gangguan kepribadian : kepribadian paranoid, afektif atau
siklotemik, schizoid dan kepribadian anankastik atau obsesif-
komplusif.

3.1.3 Faktor Gangguan Mental


Gejala utama atau gejala yang paling menonjol pada gangguan
mental ada pada unsur jiwa, tetapi penyebab utamanya mungkin di
badan (somatogenik, dilingkungan sosial (sosiogenik), ataupun psikis
(psikogenik) (Maramis, 2010). Biasanya tidak terdapat penyebab
tunggal, akan tetapi ada beberapa penyebab sekaligus dari unsur itu yang
saling mempengaruhi atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbullah
gangguan jiwa/ gangguan mental.
Menurut Stuart & Sunden (2008) penyebab gangguan mental
dapat dibedakan :
a. Faktor biologis/jasmani
1. Keturunan
yaitu peran yang pasti dan penyebabnya belum jelas, mungkin
terbatas dalam mengakibatkan kepekaan untuk mengalami
gangguan mental akan tetapi hal tersebut sangat ditunjang
dengan faktor lingkungan kejiwaan yang tidak jelas.
2. Jasmaniah
beberapa peneliti berpendapat bentuk tubuh seseorang
berhubungan dengan gangguan jiwa tertentu. Misalnya yang
bertubuh gemuk/endoform cenderung menderita psikosa maniak
depresif, sedangkan yang kurus/ectoform cenderung menjadi
skizofrenia.
3. Temperamen
yaitu orang yang terlalu peka/sensitif biasanya mengalami
masalah mental dan ketegangan yang memiliki kecenderungan
mengalami gangguan mental.
4. Penyakit dan cedera tubuh
Penyakit-penyakit tertentu misalnya penyakit jantung, kanker,
dan sebagainya mungkin dapat mneyebabkan kesedihan dan
murung. Demikian pula cedera tertentu dapat menyebabkan
rendah diri.

b. Ansiesta dan ketakutan


Kekhwatiran pada sesuatu hal yang tidak jelas dan perasaan yang
tidak menentu akan sesuatu hal menyebabkan individu merasa
terancam, hingga terkadang mempresepsikan dirinya terancam.
c. Faktor psikologis
Berbagai macam pengalaman frustasi, kegagalan dan keberhasilan
yang dialami akan mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya.
Pemberian kasih sayang orang tua yang dingin, acuh tak acuh, kaku
dan keras akan menimbulkan rasa cemas dan tekanan serta memiliki
kepribadian yang bersifat menolak dan menentang terhadap
lingkungan.
d. Faktor sosio-kultural
Beberapa penyebab gangguan mental menurut Wahyu (2012).
Yaitu :
1. Penyebab yang pencetus (predisposing cause).
Ketegangan-ketegangan atau kejadian-kejadian traumatik yang
langsung dapat menyebabkan ganggu mental atau mencetuskan
ganggu mental.
2. Multiple cause
Serangkaian faktor penyebab yang kompleks serta saling
mempengaruhi. Dalam kenyataannya, suatu gangguan mental
jarang disebabkan oleh satu penyebab tunggal, bukan sebagai
hubungan akibat, melainkan saling mempengaruhi antara satu
faktor penyebab dengan penyebab lainnya.
3. Penyebab primer
Kondisi yang secara langsung menyebabkan terjadinya
gangguan mental, atau kondisi yang tanpa kehadirannya
gangguan mental dan tidak akan mucul.
4. Penyebab menguatkan (reinforcing cause)
Kondisi yang cenderung mempertahankan atau mempengaruhi
tingkah laku maladaptif yang terjadi.
5. Penyebab yang menyiapkan (precipitating cause).
Menyebabkan seseorang rentan terhadap salah satu bentuk
gangguan mental.
3.1.4 Diagnosis Gangguan Mental
F06.0 Halusionosis organik
F06.1 Gangguan katatonik organik
F06.2 Gangguan waham organik
F06.3 Gangguan suasana perasaan
F06.4 Gangguan anxeitas organik
F06.5 Gangguan disosiatif organik
F06.6 Gangguan astenik organik
F06.7 Gangguan kognitif ringan
F06.8 Gangguan mental lain YDK akibat
kerusakan dan disfungsi otak dan
penyakit fisik
F06.9 Gangguan mental YTT akibat
kerusakan dan disfungsi otak dan
penyakit fisik

3.2. Cedera Kepala


3.2.1 Defenisi
Cedera kepala merupakan suatu keadaan dimana bagian kepala
mengalami gangguan baik berupa fungsi dan strukturnya. Setelah
mengalami trauma tumpul atau penetrasi. Cedera kepala akan
menimbulkan kelainan struktural dan fungsional pada jaringan otak,
bahkan dapat menganggu kesadaran dan menimbulkan kerusakan pada
kepala bukan bersifat konginetal ataupun degeneratif akan tetapi
disebabkan oleh benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi dan
mengubah kesadaran serta menimbulkan kerusakan kemampuan
kognitif yang permanen (Sasmito, 2017).
Pada pasien paska cedera kepala akan mempunyai dampak
apraksia yaitu ketidak mampuan untuk melakukan tugas yang
memerlukan ingatan atau gerakan (Wijaya, 2013).
3.2.2 Etiologi
Faktor resiko penyebab cedera kepala adalah kurang berhati-hati
dalam berkendara, penyalahgunaan alcohol dan tidak menggunakan
sabuk pengaman saat mengemudi.
Penyebab cedera kepala ada 6 antara lain :
1. Cedera akibat kekerasan.
2. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan bermotor atau sepeda dan mobil.
3. Kecelakaan saat berolahraga.
4. Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya sebatas pada daerah dimana
dapat merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan dan biasanya lebih
berat sifatnya.
6. Benda tajam, kerusakan hanya terbatas pada daerah dimana merobek
otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam (Kristan, 2018).

3.2.3 Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok GCS yaitu :
1. Cedera kepala ringan (CKR)
Dengan GCS <13-15, tidak terdapat kelainan berdasarkan CT scan
otak, dan juga tidak memerlukan tindakan operasi.
2. Cedera kepala sedang (CKS)
Dengan GCS 9-13 tidak terdapat kelainan berdasarkan CT scan otak,
dan memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial.
3. Cedera kepala berat (CKB)
Bila dalam waktu lebih dari 48 jam setelah trauma, score GCS 3-8
(Judha & Nazwar, 2018).

3.2.4. Patofisiologi
Cedera memegang peran penting yang sangat besar dalam
menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu
trauma kepala. Aselerasi (percepatan)cedera terjadi jika benda yang
sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat
pukulan benda tumpul, atau karena terkena lemparan benda tumpul.
Deselerasi (perlambatan) cedera adalah bila kepala membentur
objek yang secara relatif tidak bergerak. Kedua kekuatan ini mungkin
terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa
kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara
kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan perubahan
posisi rotasi kepala, yang menyebabkan trauma dan robekan pada
substansi alba dan batang otak.
Ada beberapa mekanisme dimana cedera otak terjadi
mengakibatkan depresi seperti gangguan jalur neuroanatomical,
perubahan neurokimia, dan faktor psikososial. Kerusakan pada lobus
frontal dan temporal dapat menganggu sirkuit antara korteks prefrontal,
amigdala, hippocampus, ganglia basalis, dan thalamus yang
menyebabkan disfungsi emosional (Norup & Mortensen, 2015).
Variabel psikologis termasuk toleransi rendah terhadap frustasi,
gangguan kesadaran diri, harga diri dan strategi koping yang buruk
terhadap depresi (Osborn, Mathias & Fairweater-Schmidt, 2014).

3.2.5. Komplikasi Cedera Kepala


1. Kejang paska trauma
Kejang merupakan salah satu masalah yang dapat timbul
setelah terjadi trauma kepala. Kejang pada minggu pertama setelah
cedera kepala disebut kejang paska trauma dini. Sekitar 25% orang
yang mengalami kejang dalam satu bulan atau bertahun-tahun.
Kejang lebih dari tujuh hari setelah cedera otak disebut paska
trauma lambat sekitar 80% yang mengalami kejang paska trauma
akan mengalami kejang lain seperti epilepsi (Englander,Cifu &
Diaz arrastia, 2015).
Penyebab cedera kepala pada pasien dapat membantu dokter
mengetahui seberapa besar kemungkinan mengalami kejang.
Pendarahan antara otak dan tengkorak, yang disebut hematoma,
subdrual, juga bisa menyebabkan kejang.
2. Hidrosefalus
Gejala klinis hidrodefalus ditandai dengan muntah, nyeri
kepala, papil odema, demensia, ataksia dan gangguan miksi.
Berdasarkan sebuah penelitian dapat diidentifikasi empat faktor
utama yang terkait dengan hidrosefalus paska-trauma yaitu
pendarahan subdural interhemispheric (Nor,Rahman & Adnan,
2013).
3. Spastisitas
Setelah trauma kepala, onset spasitisitas berlangsung cepat,
dimulai sejak satu minggu setelah cedera. Spastisitas secara klinis
telah diidentifikasikan sebagai peningkatan resistensi perpanjangan
otot-otot skeletal yang meningkat pada gerakan pasif. Gejala
spastisitas meliputi peningkatan tonus otot (hipertonitas), kejang
otot, reflex tendon yang dalam, dan bentuk ekstremitas (Kobeissy,
2015).
4. Agitasi
Diantara komplikasi cedera kepala, agitasi merupakan
masalah perilaku yang sering dijumpai. Ketidakpercayaan, deficit
memori, dan disorientasi adalah kosenkuensi dari cedera kepala
yang dapat menyebabkan agitasi. Faktor resiko yang diduga untuk
agitasi mengikuti cedera kepala meliputi rangsangan lingkungan,
usia, nyeri, infeksi, pola tidur terganggu dan kerusakan lobus
frontal (Williamson,Frennette, Burry,et al.,2016).
5. Gangguan psikiatri
Gangguan psikiatri paska cedera kepala merupakan kejadian
yang sering, beberapa jenis gangguan psikiatri yang terjadi seperti
depresi, mania ObsessiveCompulsive (OCD), PostTraumatik Stress
Disorder (PTSD), psikosis, dan perubahan kepribadian. Insiden dan
prevalensi depresi paska cdera kepala secara berurutan sekitar 15,3-
33% dan 18,5-61%. Manik memiliki insiden 9% dan prevalensi
4,2%. Prevalensi OCD 1,6-15%. PTSD memiliki insidensi 11,3%
dan prevalensi 3-27,1%. Insidensi psikosis 0,1-9,8% dan prevalensi
0,7%. Perubahan kepribadian yang dapat terjadi yaitu apati pada
cedera kepala berat, efektif yang agresif (Schwarzbold, Diaz,
Martins, et al.,2008).

3.2.6. Komponen Skala Koma Glasgow


Jennet dan Teasdale memperkenalkan skala koma Glasgow
(GCS) untuk menetapkan secara obyektif derajat gangguan kesadaran,
skor GCS berasal dari observasi pembukaan mata, fungsi motor, dan
penampilan verbal dalam respon terhadap stimuli eksternal.
Skor GCS dapat digunakan untuk menilai status neurologis dan
derajat keparahan disfungsi otak termasuk cedera kepala (Mongan,
Soriano,Sloan,et all.,2015).

Membuka Mata (E) Skor

- Spontan 4
- Terhadap bicara 3
- Terhadap rangsangan nyeri 2
- Tidak ada reaksi 1
Respon Motorik (M) Skor

-Dapat mengikuti perintah 6


-Mengetahui lokasi nyeri 5
-Fleksi normal 4
-Fleksi abnormal (dekortifikasi) 3
-Ekstensi (deserebrasi) 2
-Tidak ada gerakan 1
Respon Verbal (V) Skor
-kata-kata bermakna 5
-kata-kata tidak bermakna 4
-Tidak tepat 3
-Mengerang 2
-Tidak ada jawaban 1

Bila kita gunakan skala Glasgow sebagai patokan untuk koma,


maka koma= tidak didapatkan respon membuka mata, bicara, dan
gerakan dengan jumlah nilai= 3.
3.2 Hasil
Tabel 3.1 Hasil literatur review
No Jurnal Judul Desain Jumlah Sampel Hasil
Penelitian Penelitian
1. Muhammad Depresi Literatur Jumlah Total Penelitian yang dilakukan
Abi Nubli, Pada Riview 774 Subjek Singh et al mendapatkan
2019 Penderita Terdiri 690 hasil periode dua tahun,
Cedera 774 orang direkrut dan
Kepala 690 selama selama satu
tahun untuk ditindak
lanjuti dan 38 orang
meninggal. Hanya 6%
dari kelompok yang
mangkir setelah satu
tahun. Prevelensi depresi
pada 10 minggu adalah
56,3% dan satu tahun
41,2%. Penilaian-
penilaian seperti etiologi,
isolasi sosial, usia,lama
tinggal dan komorditas
medis tidak terkait dengan
risiko depresi. Namun
hasil lainnya dalam
penelitian, seperti fungsi
psiko-sosial,keparahan
gejala,dan hasil
keseluruhan global
menunjukkan korelasi
yang sangat tinggi dengan
depresi.
2. Siska, Fungsi Deskriptif Jumlah 48 Hasil dari penelitian
Halmudin, kognitif pasien fungsi kognitif pada 48
2018 pasien pasien cedera kepala yang
diteliti terdapat sebanyak
cedera 26 pasien ( 54,2% ) yang
kepala berada pada kategori
probable gangguan
kognitif.
3. Vela Kualitas Deskriptif Jumlah sampel Dari hasil penelitian
Purnamasari, Hidup 6 didapatkan bahwa
2018 Pada setengah dari responden
Pasien memiliki kualitas hidup
Paska cukup baik yaitu 50% dan
Mengalami setengah dari responden
Cedera memiliki kualitas hidup
Kepala baik yaitu sebanyak 50%.
4. Dwi Astuti, Hubungan Deskriptif Jumlah sampel Berdasarkan penelitian
2019 Skor Analitik 32 yang dilakukan,
Glasgow didapatkan sebagian besar
Coma pasien cedera kepala
Scale memiliki skor GCS awal
Awal 8 yaitu sebanyak 23
Masuk pasien/ (65,5%) hal ini
Pasien sesuai dengan penelitian
Cedera yang dilakukan oleh
Kepala Lingsma et al (2014),
bahwa nilai GCS kurang
dari 11 dalam waktu 24
jam memiliki outcome
yang buruk. Selain itu,
dijelaskan bahwa
outcome secara progresif
akan menurun jika skor
GCS awal sudah rendah.
Penilaian skor GCS awal
pada pasien dalam kurun
3-6 bulan juga memilki
outcome yang buruk.
3.3 Pembahasan
Ada beberapa mekanisme dimana depresi setelah cedera otak terjadi
seperti gangguan jalur neuroanatomical, perubahan neurokimia, dan faktor
psikologis dan sosial. Kerusakan pada lobus frontal dan temporal dapat
menganggu sirkuit antara korteks prefrontal, amigdala, hippocampus, ganglia
basalis, dan thalamus yang menyebabkan disfungsi emosional (Norup &
Mortens, 2015).
Gejala depresi pra-cedera mungkin menjadi faktor resiko untuk
kualitas hidup yang buruk terkait perilaku dan kesehtan mental.

3.3.1. Depresi Pada Pasien Cedera Kepala


Berdasarkan tabel 3.3, pada penelitian Singh et all didapatkan
nilai rata-rata untuk cedera kepala adalah selama periode dua tahun ,
774 orang direkrut dan 690 orang selama satu tahun untuk tindak
lanjut dan 38 orang meninggal. Hanya 6% yang mangkir setelah
setahun. Prevalensi depresi pada sepuluh minggu adalah 56,3% dan
satu tahun 41,2%. Penilaian seperti etiologi, isolasi social,usia, lama
tinggal, dan komorbiditas medis tidak terkait dengan risiko depresi.
Namun hasil lainnya menunjukkan kolerasi yang sangat tinggi
dengan depresi.

3.4.2. Fungsi Kognitif Cedera Kepala


Berdasarkan tabel 3.3, membahas hasil penelitian bahwa dari
penilaian fungsi kognitif pada 48 pasien cedera kepala yang diteliti
terdapat 26 pasien (54,2% ) yang berada pada kategori probable
gangguan kognitif.

3.4.3. Kualitas Hidup Pasien Paska Cedera Kepala


Berdasarkan tabel 3.3 hasil dari penelitian Vela kualitas hidup
pasien paska cedera kepala adalah bahwa setengah dari responden
memiliki kualitas hidup cukup baik yaitu 50% dan setengah dari
responden memiliki kualitas hidup yang baik. Kualitas hidup pasien
paska cedera kepala baik buruknya tergantung perilaku dan kesehatan
mental.

3.4.4. Skor Glasgow Scale Awal Masuk Pasien Cedera Kepala


Berdasarkan tabel 3.3, hasil penelitian didapatkan sebagian
besar pasien cedera kepala memiliki skor GCS awal 8, yaitu sebanyak
23 pasien (65,5%). Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Lingsma et al (2014), bahwa nilai GCS kurang dari 11 dalam waktu
24 jam memiliki otcome yang buruk.
Berdasarkan keempat jurnal diatas maka disimpulkan bahwa
gangguan mental paska cedera kepala dilihat dari skor GCS awal
masuk dan gangguan mental akibat cedera kepala akan
mengakibatkan depresi, gangguan kognitif dan akan mempengaruhi
kualitas hidup paska cedera kepala.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dari keempat jurnal dapat diambil adalah :
1. Hasil menyatakan bahwa adanya hubungan depresi dengan cedera kepala.
2. Hasil menyatakan bahwa gangguan kognitif berhubungan dengan cedera
kepala
3. Hasil menyatakan bahwa kualitas hidup pasien paska cedera kepala saling
berhubungan.
4. Hasil menyatakan bahwa skor awal GCS dengan gangguan mental paska
cedera kepala berhubungan.

4.2. Saran
Berdasarkan penulisan study literatur yang telah dilakukan, dikaitkan
dengan tujuan dan manfaat penelitian yang telah diungkapkan sebelumnya,
maka penulis memberikan saran :
1. Bagi Institut
Diharapkan dapat menambah buku perpustakaan yang mendukung
pembelajaran mengenai gangguan mental akibat cedera kepala.
2. Bagi Masyarakat
Diharapkan untuk lebih berhati-hati saat bekerja dan mengendarai
kendaraan.

23
DAFTAR PUSTAKA
1.

Anda mungkin juga menyukai