Anda di halaman 1dari 27

PEDOMAN TENTANG OUTBREAK

UPTD PUSKESMAS PULOKULON II

DINAS KESEHATAN
PEMERINTAH KABUPATEN
GROBOGAN
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan hidayah-Nya,
kami dapat menyelesaikan Pedoman tentang outbreak UPTD Puskesmas Pulokulon II. Pedoman
ini kami susun sebagai salah satu upaya untuk memberikan acuan dan kemudahan dalam Pelayanan
kasus KLB atau outbreak di UPTD Puskesmas Pulokulon II.
Pembuktian pelaksanaan seluruh kegiatan pelayanan melalui dokumentasi dan penelusuran,
karena pada prinsipnya seluruh kegiatan harus tertulis dan apa yang tertulis harus dikerjakan
dengan sesuai. Pedoman ini berisi acuan yang dapat digunakan dalam pelayanan kasus KLB atau
outbreak di UPTD Puskesmas Pulokulon II.
Pada kesempatan ini perkenankan saya untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan
apresiasi kepada semua karyawan yang telah terlibat dalam proses penyusunan Pedoman
Pelayanan kasus KLB atau outbreak di UPTD Puskesmas Pulokulon II.
Semoga dengan digunakannya Pedoman Ini dapat mempermudah Petugas dalam
melaksanakan tindakan penanganan pelayanan kasus KLB atau outbreak di UPTD Puskesmas
Pulokulon II.

DAFTAR ISI
Halaman

HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
Bab I. Pendahuluan ............................................................................................. i
A. Difinisi ..................................................................................... 1
B. Tujuan Pedoman ............................................................................. 1
Bab II. RUANG LINGKUP.............................................................................. 2
Bab III. TATA LAKSANA....................................................……………......... 3
A. identifikasi outbreak......................................................................... 4
B.investigasi kasus............................................................................... 4
C. investigasi kasus.............................................................................. 4
D. mengkomunikasikan temuan................................................................ 5
E. mengevaluasi...................................................................................... 6
Bab.IV.LOGISTIK............................................................................................... 7
Bab.V.KESELAMATAN PASIEN...................................................................... 8
Bab.VI.KESELAMATAN KERJA....................................................................... 9
Bab.VII.PENGENDALIAN MUTU...................................................................... 20
Bab.VIII.PENUTUP............................................................................................... 27
28
BAB I
PENDAHULUAN

A. DEFINISI

Menurut WHO (World Health Organization), rumah sakit adalah


bagian integral dari suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi
menyediakan pelayanan paripurna (komprehensif), penyembuhan
penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif) kepada
masyarakat. Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi tenaga
kesehatan dan pusat penelitian medik. Berdasarkan undang – undang no.
44 tahun 2009 tentang rumah sakit, yang dimaksudkan dengan rumah
sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna dengan menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.

Penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan dari satu


orang ke orang lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penyakit menular ditandai dengan adanya pathogen penyakit yang hidup
dan dapat berpindah. Infeksi merupakan invasi tubuh oleh pathogen atau
mikroorganisme yang mampu menyebabkan sakit (Potter dan Perry,
2005).

Outbreak atau epidemic merupakan peningkatan melebihi level yang


didapatkan dari suatu penyakit dalam area geografik tertentu; terdapat
satu kasus penyakit dari sebelumnya tidak pernah ada. Endemi
merupakan level biasa (usual) suatu penyakit pada area geografis
tertentu(misalnya rumah sakit). Outbreak adalah peningkatan insidensi
kasus yang melebihi ekspektasi normal secara mendadak pada suatu
komunitas, di suatu tempat terbatas, misalnya desa, kecamatan, kota, atau
institusi yang tertutup (misalnya sekolah, tempat kerja, atau pesantren)
pada suatu periode waktu tertentu.
Di Indonesia telah dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor 382/Menkes/SK/III/2007 tentang Pelaksanaan Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit Petugas kesehatan harus
memahami, mematuhi dan menerapkan Kewaspadaan Isolasi yaitu
Kewaspadaan Standar dan Kewaspadaan Berdasarkan Transmisi. Jenis
kewaspadaan berdasar penularan transmisi yaitu: kontak, droplet,
airborne serta immuno compromised yaitu pasien dengan imunitas
rendah sehingga mudah tertular infeksi.

Pasien menular yang akan dirawat di ruang isolasi rumah sakit harus
sesuai kategori transmisi penularan penyakit dengan persyaratan ruang
isolasi sehingga dapat memutus siklus penularan penyakit dan
melindungi pasien, petugas kesehatan, pengunjung dan masyarakat
sekitar rumah sakit.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

a. Mengetahui penyebab outbreak


b. Menghentikan outbreak sekarang dan mencegah outbreak di
masa mendatang

2. Tujuan Khusus

a. Agen kausa outbreak

b. Cara transmisi

c. Sumber outbreak

d. Carrier

e. Populasi berisiko

f. Paparan yang menyebabkan penyakit (faktor risiko).


BAB II
RUANG LINGKUP

1. Panduan ini di buat sebagai acuan untuk semua pekerja yang berada
di lingkungan rumah sakit, terutama dunkungan dari pimpinan,
manajemen, dan merupakan suatu upaya kegiatan pencegahan dan
pengendalian infeksi rumah sakit
2. Pandaun ini dapat diterapkan kepada semua pekerja yang berada dilingkungan
rumah sakit

3. Panduan ini dapat berupa sosialisasi

BAB III
TATA LAKSANA

Langkah pencegahan kasus dan pengendalian outbreak dapat dimulai


sedini mungkin (do early) setelah tersedia informasi yang memadai. Bila
investigasi outbreak telah memberikan fakta yang jelas mendukung hipotesis
tentang kausa outbreak, sumber agen infeksi, dan cara transmisi yang
menyebabkan outbreak, maka upaya pengendalian dapat segera dimulai tanpa
perlu menunggu pengujian hipotesis oleh studi analitik yang lebih formal.

A. Identifikasi Outbreak
Outbreak adalah peningkatan kejadian kasus penyakit yang lebih banyak
daripada ekspektasi normal di di suatu area atau pada suatu kelompok tertentu,
selama suatu periode waktu tertentu. Informasi
tentang potensi outbreak biasanya datang dari sumber-sumber masyarakat,
yaitu laporan pasien (kasus indeks), keluarga pasien, kader kesehatan, atau
warga masyarakat. Tetapi informasi tentang potensi outbreak bisa juga
berasal dari petugas kesehatan, hasil analisis data surveilans, laporan
kematian, laporan hasil pemeriksaan laboratorium, atau media lokal
(suratkabar dan televisi).

B. Inventigasi Kasus

Difinisi Kasus

Peneliti melakukan verifikasi apakah kasus-kasus yang dilaporkan telah


didiagnosis dengan benar (valid). Peneliti outbreak mendefinisikan kasus
dengan menggunakan seperangkat kriteria sebagai berikut:

1. Kriteria klinis (gejala, tanda, onset);

2. Kriteria epidemiologis (karakteristik orang yang terkena, tempat dan waktu


terjadinya

outbreak);

3. Kriteria laboratorium (hasil kultur dan waktu pemeriksaan)

Dengan menggunakan definisi kasus, maka individu yang diduga mengalami


penyakit akan dimasukkan dalam salah satu klasifikasi
kasus. Berdasarkan tingkat ketidakpastian diagnosis, kasus dapat diklasifikasikan
menjadi:

1. Kasus suspek (suspected case, syndromic case)

2. Kasus mungkin (probable case, presumptive case)

Kasus pasti (confirmed case, definite case)

3. Klasifikasi Kasus
Kasus suspek (suspected case Tanda dan gejala klinis cocok dengan
, penyakit, terdapat

syndromis case) bukti epidemiologi, tetapi tidak terdapat


bukti
laboratorium yang menunjukkan tengah atau telah
terjadi infeksi (bukti laboratorium negatif, tidak
ada, atau belum
ada)
Kasus mungkin (probable case, Tanda dan gejala klinis cocok dengan
presumptive case)
penyakit, terdapat bukti epidemiologis, terdapat
bukti laboratorium yang mengarah tetapi belum
pasti, yang menunjukkan tengah atau telah terjadi
infeksi (misalnya,
bukti dari sebuah tes serologis tunggal)
Kasus pasti (confirmed case, Terdapat bukti pasti laboratorium (serologis,
definite case)
biokimia, bakteriologis, virologis,
parasitologis) bahwa
tengah atau telah terjadi infeksi, dengan atau
tanpa kehadiran tanda, gejala klinis, atau bukti
epidemiologis

Penemuan Kasus

Kasus pertama yang dilaporkan (kasus indeks) belum tentu sama dengan kasus
primer, yaitu kasus pertama dalam komunitas. Kasus
pertama yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan biasanya hanya
merupakan sebagian kecil dari seluruh jumlah kasus yang ada (“tip of the
iceberg”, puncak gunung es). Karena itu, setelah mendefinisikan kasus,
langkah investigasi selanjutnya adalah mencari kasus (case finding).

Tujuan penemuan kasus:

a. Mengetahui luas outbreak

b. Mengetahui populasi berisiko

c. Mengidentifikasi kasus sekunder (kemungkinan penyebaran dari orang ke orang)

d. Mengidentifikasi sumber-sumber infeksi

e. Mengidentifikasi kontak dengan kasus terinfeksi


C. Investigasi
Kasus
Wawancara
denganKasus
Tujuan wawancara dengan kasus dan nara sumber terkait kasus adalah untuk
menemukan kausa outbreak. Dengan menggunakan kuesioner dan formulir
baku, peneliti mengunjungi pasien (kasus), dokter, laboratorium, melakukan
wawancara dan dokumentasi untuk memperoleh informasi berikut:

a. Identitas diri (nama, alamat, nomer telepon jika ada)

b. Demografis (umur, seks, ras, pekerjaan)

c. Kemungkinan sumber, paparan, dan kausa

d. Faktor-faktor risiko

e. Gejala klinis (verifikasi berdasarkan definisi kasus, catat tanggal onset


gejala untuk membuat kurva epidemi, catat komplikasi dan kematian
akibat penyakit)
f. Pelapor (berguna untuk mencari informasi tambahan dan laporan balik
hasil investigasi). Pemeriksaan klinis ulang perlu dilakukan
terhadap kasus yang meragukan atau tidak didiagnosis dengan benar
(misalnya, karena kesalahan pemeriksaan laboratorium)

Prinsip intervensi untuk menghentikan outbreak sebagai berikut:

a. Mengeliminasi sumber patogen

b. Memblokade proses transmisi

c. Mengeliminasi kerentanan
Sedang eliminasi sumber patogen mencakup:

a. Eliminasi atau inaktivasi patogen

b. Pengendalian dan pengurangan sumber infeksi (source reduction)

c. Pengurangan kontak antara penjamu rentan dan orang atau


binatang terinfeksi (karantina kontak, isolasi kasus, dan
sebagainya)
d. Perubahan perilaku penjamu dan/ atau sumber (higiene perorangan,
memasa daging dengan benar, dan sebagainya);
e. Pengobatan kasus.

Prinsip intervensi untuk menghentikan outbreak sebagai berikut:

a. Mengeliminasi sumber patogen

b. Memblokade proses transmisi

c. Mengeliminasi
kerentanan Eliminasi
sumber patogen
mencakup:
a. Eliminasi atau inaktivasi patogen

b. Pengendalian dan pengurangan sumber infeksi (source reduction)

c. Pengurangan kontak antara penjamu rentan dan orang atau


binatang terinfeksi (karantina kontak, isolasi kasus, dan
sebagainya)
d. Perubahan perilaku penjamu dan/ atau sumber (higiene perorangan,
memasak daging dengan benar, dan sebagainya);
(5) Pengobatan kasus.

Melakukan Studi Analitik (jika perlu)


Dalam investigasi outbreak, tidak jarang peneliti dihadapkan kepada teka-teki
menyangkut sejumlah kandidat agen penyebab. Fakta yang diperoleh dari
investigasi kasus dan investigasi kausa kadang belum memadai untuk
mengungkapkan sumber dan kausa outbreak. Jika situasi itu yang terjadi,
maka peneliti perlu melakukan studi analitik yang lebih formal. Desain
yang digunakan lazimnya adalah studi kasus kontrol atau studi kohor
retrospektif. Seperti desain studi epidemiologi analitik lainnya, studi analitik
untuk investigasi outbreak mencakup :

a. Pertanyaan penelitian

b. Signifikansi penelitian

c. Desain studi

d. Subjek

e. Variabel-variabel

f. Pendekatan analisis data

g. Interpretasi dan kesimpulan.

D. Mengkomunikasikan Temuan

Temuan dan kesimpulan investigasi outbreak dikomunikasikan kepada


berbagai pihak pemangku kepentingan kesehatan masyarakat. Dengan tingkat
rincian yang bervariasi, pihak- pihak yang perlu diberitahu tentang hasil
penyelidikan outbreak mencakup pejabat kesehatan masyarakat setempat,
Direktur pembuat kebijakan dan pengambil keputusan kesehatan, petugas
fasilitas pelayanan kesehatan, pemberi informasi peningkatan kasus, keluarga
kasus, tokoh masyarakat, dan media. Penyajian hasil investigasi dilakukan
secara lisan maupun tertulis (laporan awal dan laporan akhir). Pejabat
dinas kesehatan yang berwewenang hendaknya hadir pada penyajian hasil
investigasi outbreak. Temuan-temuan disampaikan dengan bahasa yang jelas,
objektif dan ilmiah, dengan kesimpulan dan rekomendasi yang dapat
dipertanggungjawabkan.

E. Mengevaluasi dan Meneruskan Surveilans

Pada tahap akhir investigasi outbreak, Dinas Kesehatan Kota/


Kabupaten dan peneliti outbreak perlu melakukan evaluasi kritis untuk
mengidentifikasi berbagai kelemahan program maupun defisiensi
infrastruktur dalam sistem kesehatan. Evaluasi tersebut memungkinkan
dilakukannya perubahanperubahan yang lebih mendasar untuk memperkuat
upaya program, sistem kesehatan, termasuk surveilans itu sendiri. Investigasi
outbreak memungkinkan

identifikasi populasi - populasi yang terabaikan atau terpinggirkan, kegagalan


strategi intervensi, mutasi agen infeksi, ataupun peristiwaperistiwa yang
terjadi di luar kelaziman dalam program kesehatan. Evaluasi kritis terhadap
kejadian outbreak memberi kesempatan kepada penyelidik untuk
mempelajari kekurangan- kekurangan dalam investigasi outbreak yang telah
dilakukan, dan kelemahan-kelemahan dalam sistem kesehatan, untuk
diperbaiki secara sistematis di masa mendatang, sehingga dapat mencegah
terulangnya outbreak.

BAB IV
LOGISTIK

Untuk menunjang terselenggaranya pelayanan klinis yang bermutu, maka perlu


didukung oleh penyediaan logistik yang memadai dan optimal, melalui perencanaan yang
baik dan berdasarkan kebutuhan pasien dan usulan petugas yang menangani kasus KLB atau
outbreak atas dasar kebutuhan pasien dan demi kelancaran dari Penanganan kasus KLB
atau outbreak. Ketersediaan logistik harus dijamin kecukupannya dan pemeliharaan yang
sudah dianggarkan dan dijadwalkan.
Pengadaan alat dan bahan dalam pelaksanaan upaya klinis Puskesmas diselenggarakan sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
Dalam pengadaan logistik untuk penanganan kasus KLB atau outbreak. Petugas
melakukan usulan kepada programer penanganan kasus KLB atau outbreak untuk
disampaikan pada pimpinan Puskesmas dalam rangka mendapatkan persetujuan. Sumber
dana untuk pembelian logistik berasal dari BLUD Puskesmas Pulokulon II.
BAB V
KESELAMATAN PASIEN

Ada enam sasaran keselamatan pasien, yaitu:


1. Tidak terjadinya kesalahan identifikasi pasien
2. Komunikasi efektif
3. Tidak terjadinya kesalahan pemberian obat
4. Tidak terjadinya kesalahan prosedur tindakan medis dan keperawatan
5. Pengurangan terjadinya resiko infeksi di Puskesmas
6. Tidak Terjadinya pasien jatuh
Upaya Puskesmas untuk mencapai enam sasaran keselamatan pasien tersebut adalah :
1. Melakukan identifikasi pasien dengan benar
Indikator melakukan identifikasi pasien secara benar adalah:
a. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, seperti nama pasien dan
tanggal lahir pasien, tidak termasuk nomor dan lokasi kamar.
b. Pasien diidentifikasi sebelum melakukan pemberian obat atau tindakan
lainnya.
c. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah, dan specimen lain untuk
keperluan pemeriksaan.
d. Pasien diidentifikasi sebelum memberikan perawatan atau prosedur
lainnya.
Prosedur dalam identifikasi pasien :
1. Petugas Puskesmas mengidentifikasi pasien dilakukan mulai saat pasien mendaftar,
memperoleh pelayanan sampai pasien pulang terutama pasien anak dan bayi,
2. Petugas Puskesmas mengawali dengan memperkenalkan diri pada pasien,
3. Petugas Puskesmas menanyakan data pasien meliputi: nama lengkap pasien,
umur/tanggal lahir dan pernah di rawat di Puskesmas Pulokulon II untuk pencarian
nomor rekam medis yang lama (Jangan menyebutkan nama atau menanyakan
apakah nama pasien sudah benar, Sebaliknya, minta pasien untuk menyebutkan
namanya),
4. Setiap sebelum memberikan pelayanan pasien, petugas harus melakukan
identifikasi pasien,
5. Petugas Puskesmas menggunakan komunikasi aktif (berupa pertanyaan terbuka)
dalam mengidentifikasi pasien ,
6. Petugas Puskesmas memberikan pertanyaan terbuka menanyakan tanggal lahir
pasien/ umur ; “Kapan tanggal lahir/ umur Bapak / Ibu?”
7. Saat pasien menyebutkan tanggal lahirnya, Petugas Puskesmas mencocokkan
dengan KTP.
8. Petugas Puskesmas dapat melanjutkan pelayanan medis yang akan diberikannya
bila kedua identitas yang disebutkan pasien telah sesuai dengan yang tercantum
dalam gelang identitas,
9. Petugas Puskesmas melakukan konfirmasi dengan keluarga bila salah satu identitas
yang disebutkan pasien tidak sesuai dengan yang tercantum dalam gelang identitas,
10. Petugas Puskesmas menjelaskan kepada pasien mengenai pelayanan medis yang
akan diberikannya.
11. Pada kondisi pasien yang tidak dapat berkomunikasi mis pada pasien tidak sadar ,
tidak dapat berkomunikasi karena terhalang masalah bahasa dan tidak ada
penterjemah, karena usia (bayi), gangguan kognitif (dementia atau kelainan
mental), Identifikasi dilakukan dengan memeriksa Nama lengkap pasien dan
Identitas lain (seperti tanggal lahir, KTP),
12. Dalam mengidentifikasi bayi baru lahir petugas Puskesmas memberikan gelang
identitas bayi lahir dengan memberikan nama lengkap ibu (Contoh: By Ny. Ana
Suryana) dan nomor rekam medis ibu. Dalam waktu 24 jam pada gelang identitas
bayi ditambahkan nomor rekam medis bayi dan dibuatkan rekam medik baru dan
terpisah dari ibu,
13. Petugas Puskesmas memberikan gelang identitas sesuai waktu bayi lahir dengan
memberikan nama ibu dan nomor rekam medis ibu ditambah nomor urut kelahiran
(Contoh: By Ny. Ana Suryana 1, By. Ny Ana Suryana 2) untuk mengidentifikasi
bayi kembar baru lahir,
14. Koordinator ruang Persalinan melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan
identifikasi pasien di tiap-tiap unit masing-masing,

a) nting ke tempat sampah,


b) Bila pasien menolak pemasangan gelang identitas maka pasien harus
menandatangani formulir penolakan tindakan,
2. Meningkatkan komunikasi effektif
Prosedurnya adalah :
Metode Komunikasi Verbal
1. Petugas melaporkan kondisi pasien/ hasil test laboratorium yang kritis kepada
Dokter penaggungjawab menggunakan teknik Komunikasi SBAR (Situation -
Background – Assessment – Recommendation),
2. Dokter memberi instruksi verbal kepada maka Petugas,
3. Petugas menerapkan write down read back/ TBaK  Tulis Baca Kembali,
4. Petugas yang menerima instruksi per telepon/ lisan/ hasil test laboratorium yang
kritis menuliskan/ Tulis (write down) pesan yang disampaikan pengirim di catatan
terintegrasi,
5. Petugas yang menerima instruksi secara verbal / lisan bertanggung jawab untuk
mencatat instruksi tersebut pada lembar catatan terintegrasi di status rekam medis
pasien meliputi :
a. Tanggal dan jam pesan diterima.
b. Dosis yang akan diberikan dan waktu pemberian harus spesifik untuk
menghindari kesalahan penafsiran.
6. Petugas membacakan kembali /BaK (read back) kepada pengirim pesan per
telepon/ lisan untuk konfirmasi kebenaran pesan yang dituliskan, termasuk nama
pasien, tanggal lahir dan diagnosis.setelah dituliskan, pesan/ hasil test laboratorium
yang kritis ,
7. Petugas menulis nama dokter yang memberikan pesan,
8. Petugas menulis nama dan tanda tangan sebagai tanda yang menerima pesan,
9. Petugas memverifikasi dokter pengirim pesan dengan menandatangani catatan
pesan yang ditulis penerima pesan sebagai tanda persetujuan dalam waktu 1 x 24
jam.
Metode Komunikasi Tertulis:
10. Dokter menuliskan instruksi harus dilakukan secara lengkap dapat terbaca dengan
jelas agar sumber instruksi dapat dilacak bila diperlukan verifikasi,
11. Dokter menuliskan harus menuliskan nama lengkap dan tanda tangan penulis, serta
tanggal dan waktu penulisan instruksi setiap penulisan instruksi,
12. Dalam menuliskan instruksi dokter hendaknya menghindari penggunaan singkatan,
akronim, dan simbol yang berpotensi menimbulkan masalah dalam penulisan
instruksi dan dokumentasi medis (misalnya catatan lanjutan keperawatan,
anamnesis, pemeriksaan fisis, pengkajian awal keperawatan,),
13. Koordinator Ruang Persalinan melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan
komunikasi effektif di tiap-tiap unit masing-masing,
14. Koordinator Ruang Persalianan merencanakan tindak lanjut jika pelaksanaan tidak
sesuai dengan tujuan.

3. Penerapan 7 benar dalam menunjang medication safety

Prosedur

a. Benar Pasien:
1. Petugas menggunakan minimal 2 identitas pasien dalam
mengidentifikasi pasien,
2. Petugas mencocokkan obat yang akan diberikan dengan instruksi terapi tertulis,
3. Petugas menganamnesis riwayat alergi pasien,
4. Petugas menganamnesis kehamilan/ menyusui,
5. Petugas menganamnesis lengkap riwayat obat/ penggunaan obat saat ini dan
membuat daftar obat- obat tersebut,
6. Petugas membandingkan pemberian obat saat ini dengan daftar obat yang
digunakan pasien di rumah (termasuk kelalaian, duplikasi, penyesuaian,
kehilangan/ menghilangkan, interaksi, atau tambahan obat).
7. Petugas mengidentifikasi pasien yang akan mendapat obat dengan kewaspadaan
tinggi dilakukan oleh dua orang yang kompeten  double check.
b. Benar Obat
1. Petugas memberi label semua obat dan tempat obat (syringes, cangkir
obat, baskom obat), dan larutan lain.
2. Petugas menuliskan pada label nama obat, kekuatan, jumlah, kuantitas,
pengenceran dan volume, tanggal persiapan, tanggal kadaluarsa jika tidak
digunakan dalam 24 jam dan tanggal kadaluarsa jika kurang dari 24 jam.
3. Petugas melakukan verifikasi semua obat dan larutan minimal 2 orang
secara verbal dan visual jika orang yang menyiapkan obat bukan yang
memberikannya ke pasien,
4. Petugas melakukan pemberian label tiap obat atau larutan segera setelah
obat disiapkan jika tidak segera diberikan,
5. Petugas memberi label pada syringes setelah obat disiapkan/diisi
( jangan pada saat syringe masih kosong)
6. Petugas menyiapkan satu obat atau larutan pada satu saat. Beri label
hanya untuk satu obat atau larutan pada satu saat,
7. Petugas membuang segera setiap obat atau larutan yang tidak ada labelnya,
8. Saat pergantian tugas/ jaga, petugas mereview semua obat dan larutan oleh
petugas lama dan petugas baru secara bersama,
9. Petugas mengubah daftar obat/ kardeks jika terdapat perubahan obat,
10. Dua petugas yang berkompeten mengecek kebenaran jenis obat yang perlu
kewaspadaan tinggi ,
c. Benar Dosis
1. Dua orang yang berkompeten mengngecek dan menghitung (double cek)
jika ada untuk dosis/ volume obat, terutama yang memerlukan kewaspadaan
tinggi,
2. Petugas mengkonsultasikan dengan dokter yang menuliskan resep jika ragu,.
3. Petugas saat menyiapkan obat berkonsentrasi penuh untuk menghindari
gangguan.
d. Benar Waktu
1. Petugas memberikan obat dan menginformasikan sesuai waktu yang
ditentukan:
 sebelum makan, setelah makan, saat makan.
 Perhatikan waktu pemberian:
 3 x sehari  tiap 8 jam.
 2 x sehari  tiap 12 jam. Sehari sekali  tiap 24 jam. Selang sehari
 tiap 48 jam
2. Petugas memberikan obat dengan segera setelah diinstruksikan oleh dokter,
3. Petugas meneliti dengan benar bahwa obat belum memasuki masa
kadaluarsa.
e. Benar Cara/ Route Pemberian
1. Petugas memberikan obat sesuai dengan cara pemberian obat, bentuk dan
jenis obat :
 Slow-Release tidak boleh digerus
 Enteric coated tidak boleh digerus.
 Obat-obat yang akan diberikan per NGT sebaiknya adalah obat cair/ sirup,

2. Petugas dalam memberikan obat obat sedapat mungkin berjarak dan jadwal
pemberian obat dan nutrisi juga berjarak.
f. Benar Dokumentasi
1. Petugas mendokumentasikan setiap perubahan yang terjadi pada pasien setelah
mendapat obat,
2. Petugas langsung menuliskan bukti nama dan tanda tangan/ paraf setelah
memberikan obat pada dokumen rekam medik,
3. Petugas/ dokter menuliskan nama dan paraf jika ada perubahan jenis/ dosis/ jadwal/
cara pemberian obat
4. Dokter memberikan coretan dan terakhir garis( ujungnya) diberi paraf jika
penulisan resep salah,
Contoh:
Lasix tab, 1 x 40 mg Jcmd  Lasix inj, 1 x 40 mg iv.
5. Petugas mendokumentasikan respon pasien terhadap pengobatan: Efek Samping Obat
(ESO) dicatat dalam rekam medik & Form Pelaporan Insiden + Formulir Pelaporan
Efek Samping Obat
6. Petugas melaporkan Insiden dikirim ke Tim Keselamatan Pasien di Unit Pelayanan
Jaminan Mutu. Pelaporan Efek Samping Obat dikirim ke Komite Farmasi dan Terapi,
7. Petugas mendokumentasikan KNC terkait pengobatan, :
 Format Pelaporan Insiden ke Tim Keselamatan Pasien.
 Dokumentasikan Kejadian Tidak Diharapkan
 Format Pelaporan Insiden ke Tim Keselamatan Pasien.
g. Benar Informasi
1. Petugas mengkomunikasikan semua rencana tindakan/ pengobatan harus
dikomunikasikan pada pasien & atau keluarganya,
2. Petugas menjelaskan tujuan & cara mengkonsumsi obat yang benar,
3. Petugas menjelaskan efek samping yang mungkin timbul.
4. Petugas mengkomunikasikan rencana lama terapi pada pasien,

4. Pengkajian resep obat


Prosedur :
A. Pengkajian resep dari aspek administratif dan farmasetik :
1. Petugas memeriksa identitas pasien: nama pasien, nomor rekam medis,
penjamin, ruang rawat, berat badan (terutama pada pasien pediatri),
2. Petugas memeriksa kelengkapan resep: diagnosis, nama dokter yang merawat,
nama obat, bentuk sediaan obat, jumlah obat, dan aturan pakai,
3. Jika tertera pada aturan pakai “p.r.n” (“pro re nata” atau jika perlu), maka
petugas mengkonfirmasi ke dokter yang bersangkutan untuk mengetahui dosis
maksimal sehari sehingga etiket bisa dilengkapi dan diketahui jumlah obat
yang dibutuhkan,
4. Petugas memeriksa adanya masalah lain seperti masalah keuangan atau
kelengkapan persyaratan resep jaminan,
5. Petugas memeriksa adanya kesesuaian dengan pedoman pelayanan/peraturan
yang berlaku,

B. Pengkajian dari aspek klinik


1. Petugas memeriksa ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat, terutama
untuk pasien pediatri dan geriatric,
2. Petugas memeriksa adanya duplikasi obat,
3. Petugas memeriksa adanya alergi pada pasien disesuaikan dengan rekam medic,
4. Petugas memeriksa adanya interaksi obat,
5. Petugas memeriksa adanya kontraindikasi,
6. Petugas mengidentifikasi masalah-masalah yang berkaitan dengan resep/ instruksi
pengobatan,
C. Penanganan Resep yang Bermasalah
1. Apoteker/ asisten apoteker menghubungi dokter penulis resep/ perawat
sesuai dengan instruksi Kerja Penanganan Resep Tidak Jelas ,
2. Dokter / perawat mencoret tulisan yang tidak jelas tersebut dan menulis
perbaikan di atas coretan kemudian membubuhkan parafdan tidak boleh
menindih dengan tulisan yang baru,
3. Jika dokter tidak dapat datang untuk memperbaiki resep apoteker/asisten
apoteker/ perawat dapat mengubah resep dokter dengan memberi catatan
nama dokter dan waktu (tanggal dan jam) dilakukannya konfirmasi,
4. Jika dalam menulis resep dokter/ perawat terdapat lebih dari 2 (dua)
coretan maka harus diganti dengan lembar resep baru,
5. Jika dokter / perawat dalam menulis tanggal pada resep harus diganti
dengan resep baru.
6. Melakukan tindakan skin test sebelum memberikan injeksi antibiotik
Prosedur :
1) Dokter mencatat terapi obat injeksi di dalam rekam medis
2) Petugas selalu melakukan skin test dengan memasukkan obat yang akan diberikan
secara intra kutan
3) Petugas mengecek hasil test setelah 3-5 menit
4) Jika terdapat tanda – tanda alergi misal durasi membesar, kemerahan dan pasien
merasakan gatal disekeliling tempat suntikan, maka dinyatakan hasil skin test
positif
5) Jika tanda-tanda di atas tidak ada, maka dinyatakan negatif dan obat bisa
diberikan melalui intra vena.
6) Pengurangan Terjadinya Resiko Infeksi di Puskesmas
Penerapan cuci tangan dengan benar di setiap sebelum dan sesudah kontak dengan pasien
Indikator Usaha Menurunkan Infeksi Nosokomial:
a. Menggunakan panduan hand hygiene terbaru yang diakui umum.
b. Mengimplementasikan program kebersihan tangan yang efektif.
Semua petugas di rumah sakit termasuk dokter melakukan kebersihan tangan pada 5
MOMEN yang telah ditentukan, yakni:
 Sebelum kontak dengan pasien
 Sesudah kontak dengan pasien
 Sebelum tindakan asepsis
 Sesudah terkena cairan tubuh pasien
 Sesudah kontak dengan lingkungan sekitar pasien

Alat Pelindung Diri


Alat yang digunakan untuk melindungi petugas dari pajanan darah, cairan tubuh,
ekskreta, dan selaput lendir pasien seperti sarung tangan, masker, tutup kepala,
kacamata pelindung, apron/ jas, dan sepatu pelindung.
Ada 2 cara cuci tangan yaitu :
1. HANDWASH – dengan air mengalir, waktunya : 40 – 60 detik
2. HANDRUB – dengan gel berbasis alcohol, waktunya : 20 – 30 detik

Prosedur cuci tangan :


1. Semua petugas dan Mahasiswa harus melakukan kebersihan tangan sebelum
kontak dengan pasien,
2. Semua petugas dan Mahasiswa harus melakukan kebersihan tangan sebelum
melakukan tindakan aseptik,
3. Semua petugas dan Mahasiswa harus melakukan kebersihan tangan setelah
kontak dengan pasien,
4. Semua petugas dan Mahasiswa harus melakukan kebersihan tangan setelah
terpajan dengan cairan tubuh pasien,
5. Semua petugas dan Mahasiswa harus melakukan kebersihan tangan setelah kontak
dengan area sekitar pasien,
6. Keluarga, pegunjung, relawan dan individu yang berkunjung harus melakukan
kebersihan tangan sebelum makan, setelah makan, setelah dari kamar mandi,
setelah kontak dengan pasien, setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien,
7. Koordinator rawat inap mengecek ketersediaan adanya handrub , poster tentang
kebersihan tangan didinding setiap ruangan pasien,
8. Semua petugas dan Mahasiswa melepaskan perhiasan atau jam tangan saat
mencuci tangan,
9. Semua petugas dan mahas iswa harus memotong kuku jika kuku panjang,
10. Semua petugas dan mahasiswa Mencuci tangan dengan air yang mengalir
dibutuhkan waktu 40-60 detik dengan handrub cukup 20-30 detik,
11. Semua petugas dan mahasiswa melakukan kebersihan tangan dengan enam
langkah sesuai dengan langkah yang sudah ditetapkan.
BAB VI
KESELAMATAN
KERJA

Dengan meningkatnya pemanfaatan fasilitas pelayanan kesehatan oleh pasien dan


keluarga pasien maka tuntutan pengelolaan program Keselamatan Kerja di program outbreak
semakin tinggi, karena Sumber Daya Manusia (SDM) puskesmas, pengunjung/pengantar
pasien, pasien sekitar puskesmas ingin mendapatkan perlindungan dari gangguan kesehatan
dan kecelakaan kerja, baik sebagai dampak proses kegiatan pemberian pelayanan maupun
karena kondisi sarana dan prasarana yang ada di puskesmas yang tidak memenuhi standar.
Puskesmas sebagai institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karateristik
tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan
teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu
meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar
terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Dalam Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, khususnya pasal
165 :”Pengelola tempat kerja wajib melakukan segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya
pencegahan, peningkatan, pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja”. Berdasarkan pasal
di atas maka pengelola tempat kerja di puskesmas mempunyai kewajiban untuk menyehatkan
para tenaga kerjanya. Salah satunya adalah melalui upaya kesehatan kerja disamping
keselamatan kerja. Puskesmas harus menjamin kesehatan dan keselamatan baik terhadap
pasien, penyedia layanan atau pekerja maupun masyarakat sekitar dari berbagai potensi
bahaya di puskesmas.
Program keselamatan kerja di UGD merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan
mutu pelayanan puskesmas, khususnya dalam hal kesehatan dan keselamatan bagi SDM
puskesmas, pasien, pengunjung/pengantar pasien, masyarakat sekitar.
Tujuan
Terciptanya lingkungan kerja yang aman, sehat dan produktif untuk SDM puskesmas, aman
dan sehat bagi pasien, pengunjung/pengantar pasien, masyarakat dan lingkungan sekitar
sehingga proses pelayanan puskesmas berjalan baik dan lancar.

Aturan umum dalam tata tertib keselamatan kerja adalah sebagai berikut:
a. Mengenali semua jenis peralatan keselamatan kerja dan letaknya untuk
memudahkan pertolongan saat terjadi kecelakaan kerja,
b. Pakailah APD saat bekerja,
c. Orientasi pada petugas baru,
d. Melakukan audit permasalahan yang ada di UGD,
e. Harus mengetahui cara pemakaian alat darurat seperti pemadam kebakaran,
f. Harus mengetahui cara mencuci tangan dengan benar,
g. Buanglah sampah pada tempatnya,
h. Lakukan latihan keselamatan kerja secara periodik,
i. Dilarang merokok.
BAB VII
PENGENDALIAN MUTU

Pengendalian mutu (quality control) dalam manajemen mutu merupakan suatu sistem
kegiatan teknis yang bersifat rutin yang dirancang untuk mengukur dan menilai mutu
produk atau jasa yang diberikan kepada pelanggan. Pengendalian mutu pada pelayanan klinis
diperlukan agar produk layanan klinis terjaga kualitasnya sehingga memuaskan masyarakat
sebagai pelanggan.
Ishikawa (1995) menyatakan bahwa pengendalian mutu adalah pelaksanaan langkah-
langkah yang telah direncanakan secara terkendali agar semuanya berlangsung sebagaimana
mestinya, sehingga mutu produk yang direncanakan dapat tercapai dan terjamin. Dalam
pengertian Ishikawa tersirat pula bahwa pengendalian mutu itu dilakukan dengan orientasi
pada kepuasan konsumen. Dalam bahasa layanan kesehatan keseluruhan proses yang
diselenggarakan oleh puskesmas ditujukan pada pemenuhan kebutuhan masyarakat sebagai
konsumen.
Pada unit pelayanan Puskesmas Pulokulon II selalu dilakukan rapat intern setiap
bulan untuk membahas pelayanan yang sudah dilakukan dalam bulan tersebut. Jika ada
permasalahan diselesaikan dalam rapat intern rawat iinap untuk segera diputuskan rencana
tindak lanjutnya. Rencana tindak lanjut yang dirumuskan dikonsultasikan pada
penanaggungjawab program untuk disetujui oleh kepala Puskesmas Pulokulon II.

BAB VIII
PENUTUP

Penanggung jawab kejadian luar biasa (KLB ) di Puskesmas Pulokulon II adalah


Kepala Puskesmas Pulokulon II. Sedangkan penanggungjawab utama penyelenggaraan
seluruh upaya pembangunan kesehatan di wilayah Kabupaten
Grobogan adalah Dinas Kesehatan Kabupaten Grobogan. Puskesmas bertanggungjawab
hanya untuk sebagian upaya pembangunan kesehatan yang dibebankan oleh Dinas kesehatan
kabupaten Grobogan sesuai dengan kemampuannya. Tujuan pembangunan kesehatan yang
diselenggarakan oleh Puskesmas adalah mendukung tercapainya tujuan pembangunan
kesehatan nasional. Yakni meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat
bagi setiap orang yang bertempat tinggal di wilayah kerja Puskesmas, agar terwujud derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya.

Anda mungkin juga menyukai