Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN
Islam adalah agama rahmatan lil‘alamin, yang didalamnya telah diatur berbagai
macam hukum agama, mulai dari persoalan sosial hingga spiritual yang mana persoalan
hukum yang berhubungan dengan perilaku manusia dibungkus dalam satu disiplin ilmu
yaitu ilmu fiqih yang mana ilmu fiqih tersebut menjadi peletak dasar syariat melalui
interpretasi al-qur’an dan as-sunnah oleh para ulama dan diimplementasikan menjadi
fatwa ulama. Fenomena ini dapat dilihat dengan jelas dari karya-karya para ulama salaf
yang didalamnya memuat hukum ibadah, mu’amalah, munakahat dan jinayat atau dalam
ilmu fiqih hal ini disebut dengan rub’ul ibadat, rub’ul mu’amalat, rub’ul munakahat dan
rub’ul jinayat yang tersusun secara sistematis.

Dalam rub’ul ibadat ada bab khusus yang menjelaskan tentang hukum darah
wanita yang hukumnya terbagi menjadi tiga yaitu haid, nifas dan istihadloh. Menurut
Ibnul Mahamily (1416 M: 88) ketiga hukum tersebut sangat berkaitan dengan prasyarat
ibadah, khususnya bagi kaum wanita, seperti ibadah sholat, puasa, thowaf (umrah dan
haji), pernikahan (wathi’, talak dan iddah) maupun perbudakan (istibra’ dan
baraaturrahim).

Agama adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena agama
tidak hanya berbicara tentang hubungan manusia dengan tuhan akan tetapi dengan
sesama manusia. Pada era modern ini banyak umat islam yang kurang bersemangat
dalam menghargai agama seperti kurangnya minat umat islam dalam belajar ilmu agama,
banyak diantara mereka yang belajar agama hanya di sekolah formal saja sehingga
wawasan mereka tentang ilmu agama sangatlah sempit. Mereka hanya mengetahui
bahwa mereka diwajibkan untuk sholat tapi mereka kurang faham dengan syarat-
syaratnya, rukun-rukunnya serta sesuatu yang membatalkan sholat, begitu juga puasa
dan haji.
Ada juga diantara mereka yang faham tentang syarat-syarat sholat, rukun-
rukunnya serta sesuatu yang membatalkan, akan tetapi pengetahuan mereka kurang luas
tentang perinciannya seperti hadats kecil, hadats besar, apa saja yang mewajibkan mandi
besar, apa saja syarat-syarat mandi besar dan bagaimana hukumnya ketika mereka
mengalami hadast seperti halnya haid, nifas dan istihadloh untuk perempuan.
Ada juga sebagian diantara wanita yang mengerti lebih dalam tentang hadats
kecil, hadats besar, apa saja yang mewajibkan mandi besar, akan tetapi ketika
mengeluarkan darah mereka masih bingung bagaimana hukumnya. Karena darah ini
hukumnya berdasarkan pada warna dan sifat darah yang keluar, waktu permulaan keluar
dan berhentinya, juga kebiasaan haid sebelumnya. Jadi hukumnya akan berubah sesuai
keadaan darah dan kebiasaan wanita, dan itu yang menjadikan hukum darah perlu waktu
yang lama untuk difahami.
Dari bertambahnya kualitas makanan terkadang ada anak perempuan yang
umurnya masih dibawah sembilan tahun sudah mengeluarkan darah, yang mana dalam
fiqih batasan perempuan haid jika sudah berumur sembilan tahun keatas secara taqriban.
Sedangkan dibawah dari itu, masih dihukumi istihadloh. Dan juga disebabkan KB
terkadang seorang perempuan mengeluarkan darah terus-menerus sampai berbulan-
bulan sehingga harus dikaji darah yang keluar tersebut masuk pada hukum istihadloh
yang keberapa dari macam-macam istihadloh yang tujuh dan bagaimana hukum sholat
dan puasanya apakah wajib diqodlo atau dilaksanakan secara ada’ (waktu itu juga).

Permasalahan yang umum juga yaitu wanita sudah belajar tentang haid akan
tetapi darah yang keluar terputus-putus, tidak ingat pada kebiasaan haid sebelumnya
sehingga darah sulit dihukumi dan berakhir mutahayyiroh.

Masalah haid, nifas dan istihadhah adalah masalah yang wajib diketahui oleh
setiap muslimah yang sudah baligh. Bahkan kewajiban itu tidak hanya dikhitabkan bagi
muslimah yang sudah baligh, seorang muslim yang sudah baligh dan muslimah yang
belum baligh juga diwajibkan mengetahui hukum ini dengan kewajiban fardhu kifayah
(Ad-Dhimyathi, 1997: 181). Bagi seorang muslim wajib mengajari istrinya masalah
agama, terlebih masalah hukum darah (haid, nifas dan istihadloh) yang berkaitan hampir
dengan semua ibadah yang dilaksanakan setiap hari. Jika seorang laki-laki yang sudah
beristri tidak mengetahui hukumnya, maka wajib baginya belajar untuk kemudian
diajarkan kepada istrinya. Jika tidak memungkinkan untuk belajar, maka suami wajib
mencarikan guru untuk mengajari istrinya atau mengidzinkan istrinya keluar rumah
untuk belajar tentang hukum tersebut yang mana hail ini sangat relevan dengan ayat al-
qur’an surat at-tahrim ayat enam "‫( "قوا انفسكم واهليكم نارا‬jagalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka).

Telah menjadi kodrat bagi setiap wanita dewasa yang normal bahwa mereka akan
mengalami siklus bulanan kewanitaan yang dikenal dengan istilah haid atau menstruasi.
Seperti yang difirmankan oleh allah dalam al-qur’an"‫( "ويسئلونك عن المحيض قل هو اذى‬dan
mereka menanyakan kepadamu (muhammad) tentang haid katakanlah “itu adalah
penyakit”) (QS: Al-Baqarah, 222). Dan juga telah disabdakan oleh Rosulullah SAW
dalam riwayat bukhori dan muslim. "‫( "هذا شيء كتبه هللا على بنات ادم رواه بخاري ومسلم‬ini adalah
sesuatu yang telah ditentukan oleh allah kepada prempuan-perempuan keturunan adam).

Siklus tersebut terjadi secara alami pada kehidupan wanita, yaitu keluarnya darah
dari kemaluan wanita dalam keadaan sehat, bukan karena penyakit maupun kehamilan
dan sudah dalam masanya haid yaitu umur 9 tahun secara taqriban (boleh kurang dari
umur sembilan tahun asalkan tidak melebihi enam belas hari dan enam belas malam)
(As-Syarbini, 1994: 278). Seorang perempuan bisa dihukumi haid jika memenuhi syarat-
syarat haid:

1. Darah yang keluar tidak kurang dari satu hari satu malam / dua puluh empat jam
(batas minimal haid).
2. Darah yang keluar tidak melebihi lima belas hari lima belas malam (batas maksimal
haid).
3. Suci yang memisah antara dua haid harus mencapai lima belas hari lima belas malam
(batas minimal suci diantara dua haid).

Jika tidak memenuhi syarat haid maka darahnya dihukumi istihadloh (An-Nawawi, 1991:
134).

Adapun darah yang keluar dari kemaluan wanita setelah melahirkan, darah ini
tentu saja paling mudah dikenali, karena penyebabnya sudah pasti, yaitu adanya proses
persalinan. Inilah yang dikenal dengan nifas. Seorang perempuan mengeluarkan darah
pasca kelahiran bisa dihukumi nifas jika memenuhi syarat-syarat nifas:

1. Antara kelahiran dan keluarnya darah tidak dihalangi suci lima belas hari lima belas
malam atau lebih.
2. Darah yang keluar tidak melebihi enam puluh hari atau malam (batas maksimal nifas).

Jika tidak memenuhi syarat yang pertama maka darah yang keluar dihukumi haid dan
jika tidak memenuhi syarat yang kedua maka dihukumi istihadloh (Al-Qulyubi, 1995:
124).

Satu lagi darah yang keluar dari tempat yang sama dengan keluarnya darah haid
dan darah nifas, tetapi waktu terjadinya adalah di luar waktu haid dan nifas. Darah yang
keluar di luar kebisaaan ini disebut dengan istihadhah (Ibnu Qosim, 2005: 60). Agar bisa
menghukumi darah apakah darah tersebut haid atau istihadloh / nifas atau istihadloh maka
terlebih dahulu harus mengetahui lima macam warana darah yang diurut dari yang paling
kuat (qowi) 1. Hitam 2. Merah 3. Kelabu 4. Kuning 5. Keruh. (hitam lebih kuat dari pada
merah, merah lebih kuat dari pada kelabu dan begitu seterusnya).

Macam-macam istihadloh ada tujuh:

1. ‫ مبتداءة مميزة‬adalah perempuan yang pertama kali mengalami haid dan bisa
membedakan darahnya antara darah qowi dan darah dloif. Hukumnya, jika darahnya
memenuhi syarat tamyiz (darah qowi tidak kurang dari dua puluh empat jam (minimal
masa haid) dan darah qowi tidak melebihi lima belas hari lima belas malammaksimal
masa haid)) maka haidnya dikembalikan pada darah qowi, jika tidak memenuhi syarat
tamyiz maka haidnya mengambil paling sedikitnya haid dan darah selebihnya
dihukumi istihadloh.
2. ‫ مبتداءة غير مميزة‬adalah perempuan yang pertama kali mengalami haid dan tidak bisa
membedakan darahnya antara darah qowi dan darah dloif. Hukumnya, mengambil
haid satu hari satu malam (minimal masa haid) atau mengambil hukum haid sesuai
dengan kebiasaan wanita lain pada masanya dan darah selebihnya dihukumi
istihadloh.
3. ‫ معتادة مميزة‬adalah perempuan yang sudah biasa mengalami haid dan bisa membedakan
darahnya antara darah qowi dan darah dloif. Hukumnya, jika darahnya memenuhi
syarat tamyiz (darah qowi tidak kurang dari dua puluh empat jam dan darah qowi
tidak melebihi lima belas hari lima belas malam) maka haidnya dikembalikan pada
darah qowi, jika tidak memenuhi syarat tamyiz maka haidnya mengambil kebiasaan
haid sebelumnya.
4. ‫ معتادة غير مميزة‬adalah perempuan yang sudah biasa mengalami haid dan tidak bisa
membedakan darahnya antara darah qowi dan darah dloif. Hukum haidnya disamakan
dengan kebiasaan haid sebelumnya jika ingat pada kebiasaan haid sebelumnya jika
tidak ingat pada kebiasaan haid sebelumnya maka dihukumi mutahayyiroh.
5. ‫ معتادة غير مميزة ذاكرة لعادتها قدراووقتا‬adalah perempuan yang sudah biasa mengalami haid,
tidak bisa membedakan darahnya antara darah qowi dan darah dloif dan lupa pada
perkiraan dan waktu haid sebelumnya. Hukumnya mutahayyiroh dalam sebagian
ibadah yaitu ibadah yang membutuhkan niat dihukumi seperti hukum orang suci
seperti tetap mempunyai kewajiban sholat, kewajiban puasa dan haramnya talak. Dan
dalam sebagian ibadah yang lain dihukumi seperti orang haid seperti haram
bersenggama, membaca al-qur’an diluar sholat. Mutahayyiroh mempunyai kewajiban
mandi besar setiap akan melaksanakan sholat jika lupa pada waktu berhentinya darah
pada haid sebelumnya. Jika ingat pada waktu berhentinya darah pada haid
sebelumnya maka cukup mandi besar pada waktu berhentinya darah pada haid
sebelumnya (As-Syafi’i, 1990: 86). Jika seorang perempuan mengalami istihadloh
mutahayyiroh pada bulan romadlon maka wajib berpuasa dua bulan (bulan ramadlan
dan bulan syawal) karena setiap bulan yang sah hanya hanya empat belas (14) hari
(diperkirakan haid lima belas hari lima belas malam dan keluar pada pertengahan hari)
jadi yang sah dua puluh delapan (28) hari dan masih belum sempurna tiga puluh (30)
hari. Untuk menyempurnakan tiga puluh (30) hari, berpuasa enam hari dibulan dzul
qo’dah didalam lingkungan delapan belas (18) hari tiga hari diawal dan tiga hari
diakhir dan yang sah dua hari karena tetap memperkirakan haid haid lima belas hari
lima belas malam dan keluar pada pertengahan hari (As-Syirazi 1983: 22).
6. ‫ معتادة غير مميزة ذاكرة لعادتها قدرا ال وقتا‬adalah perempuan yang sudah biasa mengalami
haid, tidak bisa membedakan darahnya antara darah qowi dan darah dloif dan lupa
pada perkiraan haid sebelumnya dan ingat waktu haid sebelumnya (ingat waktu
permulaan keluar darah atau ingat waktu berhentinya darah akan tetapi lupa jumlah
hari haid sebelumnya). Hukumnya, hari yang dalam perkiraannya diyakini haid
dihukumi haid, hari yang diyakini suci dihukumi istihadloh, hari yang dalam
perkiraannya ada kemungkinan haid dan suci dihukumi istihadloh dan hari yang ada
kemungkinan haid, suci dan berhentinya darah dihukumi mutahayyiroh.
7. ‫ معتادة غير مميزة ذاكرة لعادتها وقتا ال قدرا‬adalah perempuan yang sudah biasa mengalami
haid, tidak bisa membedakan darahnya antara darah qowi dan darah dloif dan lupa
pada perkiraan haid sebelumnya dan ingat waktu haid sebelumnya (ingat pada jumlah
hari keluar darah tapi lupa pada permulaan dan waktu berhentinya darah pada haid
sebelumnya). Hukumnya, hari yang dalam perkiraannya diyakini haid dihukumi haid,
hari yang diyakini suci dihukumi istihadloh, hari yang dalam perkiraannya ada
kemungkinan haid dan suci dihukumi istihadloh dan hari yang ada kemungkinan haid,
suci dan berhentinya darah dihukumi mutahayyiroh (Sulaiman, 1950: 137).

Istihadloh dalam nifas disamakan dengan istihadloh dalam haid dari segi
hukumnya (dikembalikan pada minimalnya, darah qowi, kebiasaan haid sebelumnya dan
kebiasaan wanita-wanita lainnya) (Al-Syirazi, 1983: 22).

Akan tetapi banyak muslim atau muslimah yang belum memahami hukum ini
dan mereka masih berpedoman pada pengertian yang instan seperti saat mengalami
istihadloh, kebanyakan dari mereka langsung menghukumi lima belas (15) hari haid dan
lima belas (15) hari istihadloh dan begitu seterusnya. Meskipun sebenarnya sudah
banyak kitab-kitab klasik dan kitab-kitab kontemporer yang telah membahas hal iini
secara rinci akan tetapi melihat fenomena sekarang ini yang tidak semua orang bisa
membaca dan memahami kalam arab. Maka dari itu saya tertarik untuk mengkaji,
mengetahui lebih dalam dan menyajikan secara lebih ringkas dengan menggunakan teks
Bahasa Indonesia terkait permasalahan ini, yang juga sesuai dengan prodi yang saya
tempuh dengan mengambil judul “Studi Fiqih Tentang Haid, Nifas Dan Istihadloh”.

Anda mungkin juga menyukai