Anda di halaman 1dari 7

TUGAS TUTORIAL ONLINE 3

MATA KULIAH :
PEREKONOMIAN INDONESIA
ESPA4314/115

OLEH :
NAMA : MOCH FREDI ARI SANDY
NIM : 048439747
TUGAS TUTORIAL KE-3
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN

Nama Mata Kuliah : Perekonomian Indonesia


Kode Mata Kuliah : ESPA4314
Jumlah sks : 3 SKS

Skor Sumber Tugas


No Tugas Tutorial
Maksimal Tutorial
1 Jelaskan kebijakan pemerintah untuk menanggulangi
kemiskinan melalui program Inpres desa tertinggal Modul 7 Kb 1
20
(IDT)? ESPA4314

2 Modul 7 Kb 2
Jelaskan permasalahan Pengangguran di Indonesia? 20 ESPA4314

3 20 Modul 8 Kb 1
Jelaskan fungsi utama desentralisasi fiskal dalam
ESPA 4314
pembangunan daerah?

4 Rendahnya anggaran dana yang dipergunakan untuk 20 Modul 8 Kb 2


meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan ESPA4314
mengakibatkan terjadinya penurunan kualitas sumber
daya manusia. Pendidikan yang buruk mengakibatkan
masalah pengangguran. Tentukanlah perihal kebijakan
anggaran pemerintah yang pro pembangunan manusia
menurut anda?

5 20 Modul 9 Kb 1
Jelaskan resistensi terhadap globalisasi ekonomi yang
ESPA 4314
merugikan ekonomi rakyat Indonesia?

JAWAB :
1). Percepatan pemerataan pembangunan dilakukan melalui pembangunan wilayah khusus yang
bertujuan untuk mengarahkan program ke sasaran dan tujuan program seperti yang dilakukan oleh
Departemen Dalam Negeri dan Bappenas mulai tahun 1989 dengan program Pengembangan
Kawasan Terpadu (PKT).
Mulai Repelita VI (PJP II) pemerintah Indonesia meluncurkan program khusus yaitu program IDT
(Inpres Desa Tertinggal). Program ini tidak saja melengkapi kebijakan yang telah ada, tetapi secara
khusus ditujukan untuk meningkatkan penanganan masalah kemiskinan secara berkelanjutan di
desa-desa miskin. Program IDT meliputi:
• komponen bantuan langsung sebesar Rp20 juta/desa tertinggal sebagai dana bergulir 3
tahun berturut-turut;
• bantuan pendampingan pokmas IDT oleh tenaga pendamping Sarjana Pendamping Purna
Waktu (SP2W); dan
• bantuan pembangunan sarana dan prasarana.
Dengan pertimbangan bahwa orang miskin tidak hanya tinggal di desa tertinggal, maka
diluncurkan pula program Takesra/Kukesra bagi penduduk miskin di desa/kelurahan yang tidak
"tertinggal". Program anti kemiskinan tersebut berhasil menurunkan jumlah penduduk miskin di
Indonesia yang pada tahun 1974 berjumlah 54,2 juta (40,1 persen) menjadi hanya 22,5 juta (11,3
persen). Ketika badai krisis ekonomi menerpa Indonesia, jumlah penduduk miskin mengalami
peningkatan yang sangat tajam. Pada tahun 1998 ada 79,4 juta (39,1 persen) penduduk Indonesia
jatuh miskin. Jumlah tersebut dibedakan menjadi dua yaitu penduduk miskin lama dan penduduk
miskin baru yang bersifat sementara (transient poverty) yaitu penduduk yang jatuh miskin akibat
krisis moneter. Diperkirakan 75 persen penduduk miskin tahun 1998 termasuk dalam jenis yang
kedua.
Untuk mengatasi masalah kemiskinan akibat krisis moneter tersebut, pemerintah mengeluarkan
program Jaring Pengaman Sosial (JPS). JPS adalah program jangka pendek untuk membantu
mereka yang hampir tenggelam karena krisis. Program JPS dibagi dalam 4 kelompok program,
yaitu Program JPS departemen teknis, Program JPS prioritas, Program JPS sektor-sektor
pembangunan, dan Program JPS monitoring. Pengalokasian dana program JPS menggunakan tiga
jalur seperti yang sudah biasa ditempuh program terdahulu yakni: 1) kebijakan pembangunan
sektoral, 2) kebijakan pembangunan regional; dan 3) kebijakan khusus.
Sumber referensi : ESPA4314/kebijakan pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan 7.13-7.15
2). Kemiskinan yang menjadi masalah nasional saat ini tidak bisa dilepaskan dari meningkatnya
jumlah pengangguran. Pada masa krisis ekonomi, bukan saja laju pertambahan angkatan kerja baru
tidak bisa diserap oleh pasar tenaga kerja di tanah air, melainkan juga terjadi banyak PHK di sektor
formal yang berakibat bertambahnya angkatan kerja yang menganggur, baik itu menganggur
penuh atau sama sekali tidak bekerja (open unemployment) maupun yang setengah menganggur
atau bekerja di bawah jam kerja normal (under employment). Dalam kondisi pasar kerja yang
seperti ini maka tenaga kerja tersebut banyak yang memasuki lapangan kerja di sektor informal,
termasuk di sektor pertanian yang pendapatannya relatif rendah, sehingga menambah pula
penduduk yang masuk kategori miskin. Menurut data terakhir yang dipublikasikan Departemen
Tenaga Kerja, terdapat 36 juta angkatan kerja yang menganggur dalam tahun 2005. Dalam angka
ini termasuk mereka yang tidak bekerja secara penuh atau mereka yang bekerja kurang dari 35 jam
per minggu.
Jumlah ini tentu merupakan jumlah yang sangat besar. Angka ini hampir sama dengan total
penduduk Provinsi Jawa Barat, dari bayi hingga yang sudah uzur. Atau jika dibandingkan dengan
penduduk Provinsi Aceh, angka pengangguran ini sudah 10 kali lipat dari penduduk Aceh, dan 12
kali lipat dari penduduk provinsi DTY. Bahkan jika dibandingkan dengan penduduk Australia
sekalipun, angka ini sudah hampir dua kali penduduk negara atau benua yang berada di sebelah
timur Indonesia tersebut.
Masalah pengangguran ini sebenarnya bukan masalah baru. Sejak masa sebelum krisis pun,
persoalan kesenjangan antara angkatan kerja dengan peluang kerja sudah terjadi. Hanya saja pada
masa krisis persoalannya bertambah pelik, karena pada saat yang sama terjadi kelesuan investasi
dan ekonomi secara keseluruhan. Rendahnya daya beli menimbulkan rendahnya permintaan, yang
berarti pula mengendurnya aktivitas produksi. Mengendurnya aktivitas ini bukan saja menjadikan
makin terbatasnya peluang kerja, melainkan juga memaksa banyak unit usaha untuk mengurangi
pekerjanya. Adanya ketidakstabilan politik dan keamanan telah pula mengendurkan minat
penanaman modal, yang pada akhirnya menurunkan gerak ekonomi dan penciptaan kesempatan
kerja. Inilah yang kita rasakan dewasa ini. Persoalan ini aganya terus akan dihadapi dalam
perekonomian Indonesia, hanya saja dengan kadar yang berbeda. Pengangguran memang tidak
bisa dihilangkan sama sekali. Dalam perekonomian yang sudah sangat mapan sekalipun
pengangguran tetap ada, yang dikenal dengan natural unemployment atau pengangguran alamiah.
Misalnya saja karena adanya keterampilan penganggur yang tidak sesuai (structural
unemployment), upah yang tidak cocok (tuntutan reservation wage), menanti sementara waktu
untuk bekerja (frictional unemployment), dan sebagainya. Masalahnya bagi kita adalah bahwa
pengurangan tingkat pengangguran (dan setengah menganggur) ini meliputi angka yang demikian
besar. Karena itu, menyerahkan sepenuhnya persoalan ini pada mekanisme pasar (bursa tenaga
kerja) tidak akan mampu menjawab persoalan tersebut. Perlu ada langkah-langkah yang khusus,
baik untuk menyelesaikan persoalan jangka pendek maupun jangka panjang, yang terkait dengan
penciptaan kesempatan kerja tersebut.
Sumber referensi : ESPA4314/Karakteristik Pengangguran 7.28-7.29
3). Dalam konteks otonomi dan desentralisasi fiskal, Mardiasmo (2001:1) secara spesifik
mengemukakan tiga misi utama dari kebijakan tersebut, yaitu: 1) meningkatkan kualitas dan
kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat, 2) menciptakan efisiensi dan efektivitas
pengelolaan sumber daya daerah, dan 3) memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat
untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.
Sedangkan Oates (World Bank, 2002:1) menyatakan argumen teoretik tentang pentingnya
desentralisasi fiskal adalah "each public service should be provided by the jurisdiction having
control over the minimum geographic area that would internalize benefits and cost of such
provision".
Secara umum, menurut Rao (2000: 78), desentralisasi pemerintahan dan fiskal didorong oleh
desakan untuk menyediakan pelayanan-pelayanan pemerintah yang lebih efisien dan aspiratif.
Namun demikian, dalam sistem perpajakan dan pengelolaan sumber di daerah sebagian mash
diatur dan ditangani di pusat, sumber dana dari pusat tetap penting untuk mendukung berbagai
kegiatan di daerah. Masalah transfer ini merupakan salah satu isu yang sangat penting dalam
pelaksanaan desentralisasi di Asia (Sato dan Shindi Yamashige, 2000: 83).
Menurut Sidik (1999:2), ada empat kriteria untuk menjamin sistem hubungan keuangan Pusat-
Daerah yang baik. Pertama, harus memberikan pembagian kewenangan yang rasional dari
berbagai tingkat pemerintahan mengenai penggalian sumber dana pemerintah dan keenangan
penggunaannya; kedua, menyajikan suatu bagian yang memadai dari sumber-sumber dana
masyarakat secara keseluruhan untuk membiayai pelaksanaan fungsi-fungsi penyediaan pelayanan
dan pembangunan yang diselenggarakan pemerintah daerah; ketiga, sejauh mungkin membagi
pengeluaran pemerintah secara adil di antara daerah-daerah, atau sekurang-kurangnya
memberikan prioritas pada pemerataan pelayanan kebutuhan dasar tertentu; dan keempat, pajak
dan retribusi yang dikenakan pemerintah daerah harus sejalan dengan distribusi yang adil atas
beban keseluruhan dari pengeluaran pemerintah dalam masyarakat.
Dengan demikian, desentralisasi fiskal dapat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemberdayaan daerah, peningkatan efisiensi
pengelolaan keuangan, meningkatkan akuntabilitas, efektivitas, dan efisiensi pemerintah daerah,
serta meningkatkan partisipasi masyarakat.
Sumber referensi : ESPA4314/desentralisasi fiskal dan pembangunan daerah 8.8-8.9
4). Kebijakan anggaran pemerintah yang pro pembangunan manusia dapat mencakup beberapa
aspek, seperti peningkatan alokasi anggaran untuk pendidikan dan kesehatan. Menurut data dari
Kementerian Keuangan, belanja pemerintah pusat merupakan instrumen kebijakan fiskal yang
strategis, dan alokasi anggaran belanja pemerintah pusat dapat mempengaruhi kualitas belanja dan
pengeluaran negara.
Dalam konteks ini, peningkatan alokasi anggaran untuk pendidikan dan kesehatan dapat
membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Misalnya, peningkatan belanja
pemerintah pusat dalam sektor kesehatan dapat mendukung upaya peningkatan kualitas layanan
kesehatan masyarakat, sementara peningkatan alokasi anggaran untuk pendidikan dapat membantu
meningkatkan akses dan mutu pendidikan. Sebagai contoh, DPR RI telah menyetujui besaran
belanja pemerintah pusat dalam APBN tahun 2024 yang mencapai Rp2.467.527,6 miliar, yang
mencakup alokasi untuk sektor kesehatan dan pendidikan. Selain itu, mekanisme penyusunan
anggaran yang berbasis kinerja juga dapat mendukung kebijakan anggaran pemerintah yang pro
pembangunan manusia. Sistem penganggaran berbasis kinerja dapat mendorong proses
penyusunan anggaran yang lebih efisien dan transparan, serta memungkinkan alokasi anggaran
yang lebih tepat sasaran.
Dengan demikian, kebijakan anggaran pemerintah yang pro pembangunan manusia dapat
mencakup peningkatan alokasi anggaran untuk pendidikan dan kesehatan, serta penerapan
mekanisme penganggaran berbasis kinerja untuk mendukung efisiensi dan efektivitas penggunaan
anggaran tersebut.
Sumber referensi : ESPA4314/pengukuran sumber daya manusia 8.24-8.27
5). Globalisasi ekonomi yang dianggap merugikan negara miskin dan berkembang tersebut
memicu berbagai gerakan untuk menentangnya. Pada penghujung tahun 1990-an gerakan
berlawanan arah dengan kecenderungan globalisasi justru yang menguat. Globalisasi digugat
banyak negara. Impian untuk percepatan pembangunan ekonomi dan penghapusan kemelaratan
ternyata tidak mewujud. Situasi yang ada justru melahirkan keadaan sebaliknya, di mana
ketimpangan antara negara kaya-miskin dinilai makin membesar. Perusahaan besar dan negara
kaya mengambil untung lebih besar dari globalisasi ekonomi tersebut. Diperkirakan 25 persen
perdagangan dunia berlangsung dalam perusahaan global atau intra-company trade. Porsi yang
sama juga terjadi antara negara maju yang tergabung dalam European Community (EC) dan
NAFTA. Hanya sebagian kecil dari perdagangan dunia ini yang bisa dinikmati negara-negara
berkembang. Hal yang sama juga terjadi dalam liberalisasi finansial, yang dikendalikan oleh
lembaga keuangan internasional yang dikomando negara-negara adikuasa ekonomi dan pemilik
modal di pasar uang dunia.
Secara teoretik memang perdagangan bebas dunia akan dapat mendorong terjadinya peningkatan
efisiensi melalui spesialisasi produk. Dalam perdagangan bebas dunia asumsi yang selalu
didengungkan adalah bahwa semua negara dan pelaku ekonomi akan diuntungkan dari adanya
keterbukaan ekonomi tersebut. Oleh karena itu, berbagai hambatan perdagangan, baik itu yang
berupa tarif yang tinggi (tarif barrier) maupun yang bukan tarif (non-tariff barrier) seperti quota,
larangan impor, lisensi, dan sebagainya harus diminimalkan atau dihilangkan.
Beberapa rekomendasi di atas menunjukkan bahwa upaya untuk mengendalikan dampak
globalisasi yang kini berjalan tidak sederhana. Hal ini terjadi karena upaya tersebut sama dengan
melawan kemapanan negara-negara maju yang sulit untuk mendukung aksi yang dapat
mengurangi keuntungannya dari pola hubungan ekonomi dunia yang ada saat ini. Oleh karena itu,
diperlukan gerakan membangun kesadaran dunia, seperti yang dilakukan FSD/WSF, yang selama
seminggu melakukan pertemuan, dan pada saat yang sama berhenti mengkonsumsi produk
globalisasi.
Globalisasi yang arahnya dianggap menguntungkan pemodal kuat sering disamakan dengan
kapitalisme global. Akibatnya muncul penolakan pada cara-cara kapitalis tersebut. Namun
demikian gerakan penolakan pada kapitalisme global ini tidak sepenuhnya homogen. Alex
Callinicos dalam bukunya "An Anti-Capitalist Manifesto" (2003) menyatakan bahwa gerakan
antikapitalis adalah jauh dari suatu gerakan yang secara ideologis homogen. Kelompok borjuis
anti-kapitalis dapat menerima pandangan neo-liberal bahwa kapitalisme menawarkan solusi pada
masalah kemanusiaan human kind), namun mengkritik paham tersebut untuk lebih responsif atas
kritik berkaitan dengan perwujudan masyarakat madani. Sementara itu gerakan global anti-
kapitalis menuntut pengembangan hubungan mikro di antara produsen dan konsumen yang dapat
mendukung keadilan sosial dan kemandirian ekonomi, karenanya pasar harus diarahkan untuk
tujuan tersebut. Sedangkan gerakan reformis anti kapitalis menuntut adanya pengaturan pada
kapitalisme seperti pasca perang dunia. Di sisi lain, gerakan sosialis anti kapitalis menyatakan
hanya satu alternatif bagi kapitalisme untuk konsisten dengan modernisasi, yakni ekonomi
perencanaan yang demokratis (democratically planned economy) Calinicos, 104-105).
Kekompakan negara-negara berkembang dalam forum WTO telah mengakibatkan gagalnya forum
tersebut untuk "didikte" negara maju, yang alokasi subsidi untuk petaninya jauh lebih besar dari
bantuan yang diberikan kepada negara-negara berkembang. Namun mash dipertanyakan apakah
pada masa yang akan datang, dengan kekuatan pengaruh negara-negara maju melalui bantuan
dananya, kekompakan negara berkembang ini bisa bertahan. Negara-negara maju, yang kuat
secara kapital dan sumber daya manusia, serta menguasai tekonologi yang berubah dengan cepat,
selalu diuntungkan. Ketika prinsip survival of the fittest (yang kuat akan bertahan), negara
adikuasa dengan mudah mengeksploitasi negara berkembang. Dan ketika prinsip bergeser menjadi
the survival of the fastest (yang cepat akan bertahan) negara maju tetap tidak bergeser menguasai
ekonomi global.
Sumber referensi : ESPA4314/resistensi terhadap globalisasi ekonomi 9.11-9.15

Anda mungkin juga menyukai