Mengingat terbatasnya lahan pertanian, maka banyaknya tenaga kerja di sektor pertanian
mengandung implikasi rendahnya pendapatan. Masyarakat yang bekerja di sektor itu. Ini
bukan saja karena rendahnya produktivitas angkatan kerja yang bekerja di sektor pertanian
tersebut dan rendahnya nilai tukar (terms of trade) produk pertanian atas produk sektor
lainnya, melainkan juga karena banyaknya tenaga kerja di pertanian yang tidak bekerja penuh
atau setengah menganggur. Tenaga kerja yang setengah menganggur ini bekerja kurang dari
35 jam per minggu, yang tidak hanya terbatas di sektor pertanian melainkan juga pada sektor
sektor lainnya.
Data Sakernas tahun 1998 menunjukkan sebanyak 5,46 persen dari angkatan kerja kita
dikategorikan sebagai penganggur, sebanyak 7.47 persen di antaranya berpendidikan SLTP,
14,57 persen berpendidikan SLTA, 9,60 persen berpendidikan D-3, dan 12,21 persen adalah
sarjana perguruan tinggi. Angka-angka ini memberikan gambaran bahwa banyak penganggur
terdidik di tanah air yang tidak bekerja penuh (under unemployment) dan dapat diduga
hanyak pula di antaranya yang bekerja tidak sejalan dengan latar belakang pendidikan atau
keterampilan yang dimilikinya.
Namun demikian, kenaikun upah tersebut tidak berarti menempatkan kesejahteraan buruh
industri di Indonesia lebih baik dibandingkan kebanyakan negara Jainnya. Data yang
dipublikasikan Bussines Times menempatkan Indonesia pada tahun 1993 sebagai negara
yang upah buruh industrinya paling rendah dibandingkan 38 negara lainnya (US$ 0,28 per
jam).
Pemerintah Indonesia, akibat berbagai tekanan asing dan moral yang mengutamakan
kepentingan pribadi, mengambil berbagai kebijakan yang bermuara pada liberalisasi berbagai
sektor kehidupan. Meski demikian berbagai elemen masyarakat berusaha menentang
globalisasi. Para aktivis di kampus dan LSM senantiasa bergerak untuk menentang kebijakan
pemerintah yang mendorong terjadinya globalisasi ekonomi. Tetapi berbagai gerakan
menentang globalisasi tersebut masih bersifat sektoral seperti para mahasiswa yang menolak
liberalisasi pendidikan, para aktivis yang menolak liberalisasi bahan bakar minyak, pelayanan
kesehatan dan sebagainya. Belum ada sebuah gerakan yang bersatu untuk menolak kebijakan
yang memungkinkan terjadinya globalisasi ckonomi dalam segala bentuknya. Pemikiran anti
globalisasi di kalangan ilmuwan juga belum bergerak dengan maksimal. Belum banyak pakar
ekonomi Indonesia yang menentang globalisasi melalui argumentasi yang dapat meyakinkan
Masyarakat dan pengambil kebijakan. Akibatnya, pemikiran dan Gerakan anti globalisasi
yang mulai tumbuh di Indonesia belum mendapatkan perhatian yang memadai dari
Masyarakat dan pengambil kebijakan.