TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Umum
dengan
𝐴𝑟 = 𝐴𝑚 × 𝑇𝑐 (2.2)
𝑇𝑐 = 𝜁 × 𝑛 (2.3)
𝐴𝑚 = 2.5 × 𝐴𝑜 (2.4)
4
dimana:
n = Jumlah tingkat
Gempa arah vertikal juga diperhitungkan dengan mencari nilai faktor respon
gempa vertikal (Cv) dengan rumus:
𝐶𝑣 = Ψ × 𝐴0 × 𝐼 (2.5)
1. Geografis
Perencanaan beban gempa pada sebuah gedung tergantung dari lokasi
gedung tersebut dibangun. Hal ini disebabkan karena wilayah yang berbeda
memiliki percepatan batuan dasar yang berbeda pula.
2. Faktor keutamaan gedung
Faktor ini ditentukan berdasarkan jenis pemanfaatan gedung. Gedung
dengan kategori risiko I dan II memiliki faktor keutamaan gedung 1, untuk
kategori resiko III memiliki faktor 1.25, dan kategori resiko IV memiliki
faktor 1.5.
5
3. Kategori Desain Seismik
Pembagian kategori desain seismik dari rendah ke tinggi yaitu A, B, C, D,
E, dan F. Penentuan kategori ini dapat dilihat pada lampiran A Tabel A4.
4. Sistem penahan gaya seismik
Struktur dengan sistem penahan gaya seismik memiliki faktor reduksi
gempa atau koefisien modifikasi respon (R), faktor kuat lebih sistem (Ω 0),
dan faktor pembesaran defleksi (Cd) yang berbeda-beda sesuai dengan Tabel
A5 pada lampiran A.
6
3 Penentuan wilayah gempa Parameter spektrum respons
disesuaikan dengan lokasi/daerah percepatan pada periode pendek (SDS)
pada Peta Wilayah Gempa dan periode 1 detik (SD1) yang sesuai
Indonesia pada Pasal 4.7.1 SNI- dengan pengaruh klasifikasi situs,
1726-2002. Indonesia ditetapkan harus ditentukan dengan perumusan
terbagi dalam 6 wilayah gempa, berikut.
wilayah gempa 1 adalah wilayah 2
SDS = FaSs (2.6)
dengan kegempaan paling rendah 3
7
maksimum faktor tersebut (Rm) Faktor-faktor tersebut ditentukan
untuk beberapa sistem struktur berdasarkan sistem penahan gaya
diatur pada Tabel 3 SNI-1726- seismik struktur bangunan.
2002.
8
Terdapat berbagai macam metode perkuatan yang umum digunakan pada
struktur beton bertulang, antara lain penambahan dinding geser, breising, column
jacketing dan beam jacketing merupakan metode-metode perkuatan yang umumnya
diterapkan. Keefektifan dari beberapa metode perkuatan struktur dapat dilihat pada
Gambar 2.3
2.6 Breising
9
Gambar 2.4 Tipe breising
Sumber: FEMA 547 (2006)
10
diharapkan mampu berdeformasi inelastik yang besar tanpa terjadi kehilangan yang
signifikan pada kekuatan dan kekakuan struktur.
Pada sistem struktur SRBK, kategori struktur dibagi menjadi dua yaitu
sistem rangka breising konsentrik biasa (SRBKB), dan sistem rangka breising
konsentrik khusus (SRBKK). Perbedaan dari kedua sistem tersebut terletak pada
deformasi yang diharapkan. Pada SRBKB, diharapkan dapat mengalami deformasi
inelastik secara terbatas apabila dibebani oleh gaya-gaya yang berasal dari beban
gempa rencana. Sedangkan pada SRBKK struktur diharapkan dapat berdeformasi
inelastik cukup besar akibat gaya gempa rencana. SRBKK memiliki daktilitas yang
lebih tinggi dibandingkan SRBKB dan penurunan kekuatan lebih kecil pada saat
terjadi tekuk pada breising tekan (SNI-1726-2002).
11
2. Sebuah analisis dimana semua breising tarik di asumsikan untuk menahan
gaya yang sesuai dengan kekuatan yang diharapkan dan semua breising
tekan diasumsikan untuk menahan kekuatan pasca tekuk.
12
2.7.1 Ismail et al (2015)
13
Setelah pemodelan, selanjutnya dilakukan analisis struktur gedung yang
telah diperkuat dengan breising baja.
14
Simpangan maksimum yang terjadi pada struktur pun ikut berubah, dimana
simpangan maksimum gedung untuk arah x menurun sekitar 60% dan untuk arah y
sekitar 65%.
Struktur yang akan diuji merupakan hasil skala 1/2.5 dari struktur asli,
dimana panjang hasil skala 1,92 m, tinggi 1,26 m dengan ukuran pondasi panjang
0.8 m, lebar 0.3 m dan tinggi 0.3 m. Balok dan kolom yang diuji berdimensi 120 x
120 mm, breising 20 x 20 x 2 dengan kuat leleh sekitar 240 MPa dan kuat tekan
beton f’c 25 MPa. Untuk pendetailan sambungan breising digunakan plat gusset
dengan ukuran L 100 x 100 x 10 mm dan PL 100 x 100 x 8mm.
15
b
16
menyebabkan keretakan yang terjadi pada model uji tidak berada tepat di hubungan
tersebut. Interaksi antara rangka beton bertulang dan sistem breising memiliki
dampak positif terhadap perilaku struktur yang dimana meningkatkan kekuatan
ultimit struktur.
Peningkatan yang signifikan bisa dilihat gambar 2.6 untuk beban lateral
yang mampu diterima oleh rangka breising BF1 mencapai 60 kN dan rangka
momen hanya mampu menahan 13 kN. Sedangkan untuk rangka dengan plat buhul
mampu menahan sekitar 24 kN yang membuktikan adanya perkuatan yang
dihasilkan plat buhul.
17
beban gempa pada gedung tingkat tinggi. Bresing baja lebih ekonomis, mudah
dikerjakan dan fleksibel dalam desain kekuatan dan kekakuan. Ada banyak tipe
bresing yang bisa digunakan sebagai perkuatan. Oleh karena itu, perlu dilakukan
penelitian tentang tipe bresing yang paling efektif untuk digunakan.
Terdapat empat tipe bresing yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu
bresing diagonal, bresing X berpotongan, bresing K dan bresing X. Selain keempat
tipe bresing tersebut, analisis juga dilakukan terhadap struktur yang tidak diperkuat
dengan menggunakan bresing. Jadi dibuat lima model struktur bangunan bertingkat
4. Untuk bangunan bertingkat 8, 12 dan 16 dianalisis dalam zona gempa IV dan
diperkuat dengan bresing tipe X.
18
2.7.4 Massumi dan Tasnimi (2008)
Dalam penelitian ini dibuat dua rangka tanpa bresing dengan kode UBF11
dan UBF12 sebagai control specimen dan lima pendetailan koneksi antara rangka
dan bresing yang berbeda dengan kode BF11, BF12, BF21, BF22, BF23, dan BF31.
Untuk BF11 dan BF12 menggunakan baut dan nuts sebagai koneksi bresing pada
rangka batang. Pada BF11 koneksi baut tertancap pada kolom dan balok, sedangkan
pada BF21 hanya tertancap pada kolom. Pada BF21, BF22 dan BF23 koneksi
bresing pada rangka batang menggunakan jaket baja. Pada BF21 tidak ada
hubungan antara jaket baja dengan permukaan beton, sedangkan pada BF22 dan
BF23 digunakan perekat epoxy untuk menyatukan jaket baja kepermukaan kolom
beton dan bagian dari balok. Pada BF31 bresing telah ditetapkan pada pojok kolom
dan balok dengan pengelasan sebelum pengecoran.
Pada penelitian ini, kolom dibangun kaku di atas pondasi beton bertulang
dengan dimensi 800 x 300 mm. Skema tes seperti gambar di bawah.
Sampel diuji di bawah beban lateral yang berulang dan beban vertical
sebesar 18 kN. Dari lima tipe detail koneksi bresing X, dengan koneksi baut yang
19
terhubung dengan balok dan kolom (BF11) mampu meningkatkan kekakuan
rangka, sehingga dapat digunakan untuk bangunan rendah sampai sedang. Koneksi
baut hanya pada kolom (BF12) tidak cukup kuat dan mengalami kerusakan yang
sangat signifikan, meskipun dapat digunakan untuk langkah awal. BF21 tidak
direkomendasikan untuk diterapkan akrena detail dengan bentuk jaket baja tanpa
perekat epoxy menyebabkan slip pada sistem bresing. Untuk tipe BF22 dan BF23
yang direkatkan dengan perekat epoxy serta BF31 yang diletakkan pada beton
memiliki performance yang lebih baik dari rangka batang lainnya.
Penelitian tentang bresing baja internal pada rangka beton bertulang telah
dilakukan oleh Ghaffarzedeh dan Maheri (2009). Penelitian dilakukan pada
beberapa parameter respon seismik seperti uji pushover, uji siklik dan faktor
perilaku seismik, kemudian ditambah koneksi kuat lebih dan alat pelepas tekan.
Pada pengujian uji pushover dibuat 4 model yang diskala 1:3,2 yaitu 2
model tanpa bresing dan 2 model dengan bresing dengan semua unit rangka daktail.
Hasil dari pengujian pushover menunjukkan bahwa terjadi 3,5 kali peningkatan
untuk kapasitas beban lateral. Peningkatan juga terjadi pada kekakuan sampai
bresing tersebut mengalami kegagalan atau tekuk. Kekakuan juga ditunjukkan pada
kurva perpindahan. Penggunaan bresing mengakibatkan 5 kali peningkatan
kekakuan yang mengindikasi penyerapan energi yang besar. Untuk daktilitas, kuat
lebih dan faktor kinerja menunjukkan bahwa bresing lebih cocok untuk desain
berdasarkan kekuatan daripada desain daktail.
20
gempa. Detail penulangan untuk rangka momen yaitu 4M10 untuk balok dan 4M15
untuk kolom dengan sengkang 35 mm. Sedangkan bresing balok dan kolom
menggunakan 4M10 dengan sengkang 70 mm. Bresing dihubungkan ketulangan
dengan pelat gusset dengan ukuran 150x150x8 mm yang dihubungkan dengan baut.
Pada sistem bresing dibuat 2 jenis tipe bresing yaitu FX1 penampang sudut ganda
2L 25x25x32 mm dan FX2 penampang kanal C 3x35 mm.
21
kapasitas dari sistem bresing. Kemudian untuk mengetahui evaluasi dari kuat lebih
dibaut skala penih dari bresing X pada rangka beton bertulang. Model dianalisis
dengan The Open SEES (Open System for Earthquake Engginering Simulation)
dengan model validasi yang diambil dari tes siklik rangka momen dan rangka
bresing. Hasil analisis menunjukkan bahwa koneksi mengurangi panjang efektif
dari balok dan kolom rangka beton bertulang dan kekakuan dari rangka berkurang.
Alat pelepas tekan dipasang pada batang bresing untuk melepas gaya tekan.
Batang dibagi 2 bagain dan dilas diujung dengan pelat baja dari alat pelepas tekan.
Dibuat 2 benda uji dengan alat tersebut kemudian dibandingkan dengan 2 benda uji
tanpa bresing dan 2 benda uji dengan bresing X. Pengujian dilakukan dengan beban
yang sama dan berulang-ulang. Parameter gempa dievaluasi dari hasil tes termasuk
degradasi kekakuan, kapasitas kehilangan energi dan daktilitas.
22
Gambar 2.12 Detail dari Rangka Momen dan Rangka Breising
Sumber: Youssef et al. (2007)
Kedua model dibebani siklik sampai runtuh dan hubungan antara beban
dengan deformasi serta pola retak dicatat. Data pengujian disajikan pada tabel 2.3.
1. Rangka breising jauh lebih kuat dan kaku dibandingkan dengan rangka
momen dengan pendetailan khusus untuk seismik,
23
2. Rangka breising yang dirancang dengan faktor reduksi beban yang sama
dengan faktor reduksi untuk SRPMM,
3. Perencanaan rangka breising baja pada rangka breising bisa dilakukan
dengan cara konvensional tanpa pendetailan khusus.
FEMA 273 (1997) sebagai acuan klasik dalam perencanaan berbasis kinerja,
membuat model level kinerja struktur pasca gempa berikut: Operational (O), yaitu
tidak ada kerusakan berarti pada struktur dan non-struktrur (bangunan tetap
berfungsi); Immediate Occupancy (IO), yaitu tidak ada kerusakan yang berarti pada
struktur, dimana kekuatan dan kekakuannya kira-kira hampir sama dengan kondisi
24
sebelum gempa; Life-Safety (LS), yaitu terjadi kerusakan komponen struktur,
kekakuan berkurang, tetapi masih mempunyai ambang yang cukup terhadap
keruntuhan dan tidak menimbulkan korban jiwa. Komponen non-struktur masih ada
tetapi tidak berfungsi lagi dan baru dapat dipakai lagi jika sudah dilakukan
perbaikan; Collapse Prevention (CP), yaitu kerusakan yang berarti pada komponen
struktur dan non-struktur. Kekuatan struktur dan kekakuannya berkurang.
Kecelakaan akibat kejatuhan material bangunan yang rusak sangat mungkin terjadi.
25
2.9 Analisis Pushover Statik Nonlinier pada SAP2000
Analisis dilakukan dengan memberikan suatu pola beban lateral statik pada
struktur, yang kemudian secara bertahap ditingkatkan dengan faktor pengali sampai
satu target perpindahan lateral dari suatu titik acuan tercapai. Biasanya titik tersebut
adalah titik pada atap, atau lebih tepat lagi adalah pusat massa atap.
26
pushover tidak selalu mencapai kondisi plastik bergantung pada target tahan yang
ingin dicapai.
Dokumen ATC 40 dan FEMA 273 telah membuat prosedur dan kriteria
yang bisa diterima untuk analisis pushover. Dokumen ini mendefinisikan kriteria
deformasi yang digunakan dalam analisis pushover. Menurut FEMA 273 (1997)
kinerja struktur (primary, P dan secondary, S) dapat dijelaskan dengan Gambar
2.15. Lima titik yang diberi nama A, B, C, D dan E digunakan untuk mendefinisikan
perilaku deformasi selama pembebanan. Antara titik A dan B, struktur berdeformasi
elastis selama pembebanan. Pada titik B, sendi plastis pertama mulai terbentuk
begitu pula pada titik C dan D. Antara titik B dan C, struktur melewati batas elastis
dan mulai berdeformasi inelastis. Selama deformasi inelastis ini, ATC 40 dan
FEMA 273 mendefinisikan 3 kondisi struktur yakni I0 = Immediate Occupancy
(segera dapat dipakai), LS = Life Safety (keselamatan penghuni dapat terjamin), dan
CP = Collapse Prevention (terhindar dari keruntuhan total). Setelah berdeformasi
inelastis, struktur akan memasuki kondisi plastis (C-E) hingga mencapai
keruntuhan, yang selanjutnya digunakan dalam mengevaluasi kinerja masing-
masing struktur.
27
2.9.2 Sasaran Kinerja Analisis Statik Pushover
Sasaran kinerja terdiri dari kejadian gempa rencana yang ditentukan, dan
taraf kerusakan yang diijinkan atau level kinerja (performance level) dari bangunan
terhadap kejadian gempa tersebut. Mengacu pada FEMA-356 perencanaan berbasis
kinerja maka kategori level kinerja bengunan sebagai berikut.
a. Operational Level
Tidak terjadi kerusakan komponen baik struktural maupun non struktural.
Kemungkinan terjadi sedikit kerusakan utilitas dan beberapa sistem yang
tidak terlalu penting tidak berfungsi. Bangunan tidak menimbulkan risiko
terhadap keselamatan jiwa.
b. Immediate Occupancy
Pada level ini tidak terjadi kerusakan struktur dan dapat segera untuk
digunakan kembali sesuai fungsinya. Meskipun ada beberapa sistem non
struktural yang tidak berfungsi, walaupun dapat langsung digunakan
kembali tetapi akan memerlukan beberapa perbaikan utilitas sebelum
bangunan berfungsi dengan normal.
c. Life Safety
Pada level ini bangunan mengalami kerusakan yang ekstensif pada
komponen struktural maupun nonstruktural. Diperlukannya perbaikan
sebelum dapat digunakan kembali. Keselamatan penghuni gedung terjamin.
d. Collapse Prevention
Pada level ini bangunan menimbulkan bahaya yang signifikan terhadap
keselamatan jiwa akibat kegagalan komponen nonstruktural, namun karena
bangunannya masih tetap berdiri, sehingga kematian yang sia-sia harus
dihindari. Banyak bangunan pada level ini akan mengalami kerugian
ekonomi. Sedangkan titik kinerja (performance point) merupakan besarnya
perpindahan titik acuan pada saat mengalami gempa rencana.
28
2.9.3 Sendi Plastis
29