Anda di halaman 1dari 3

Tuhan, bagaimana mungkin kamu menciptakan manusia sepertinya, sejenis manusia langkah

yang harusnya tidak kau berikan untuk manusia biasa sepertiku.

“Kita kepantai mana, kak” Tanyaku penasaran.

“Kamu duduk manis saja disitu, Ana. Aku akan membawamu ketempat yang paling indah, yang
belum pernah kamu bayangkan sebelumnya”

“Oke, Berangkat!” ucapku menirukan sebuah slogan dalam sinetron yang cukup terkenal baru-
baru ini.

***

Hampir dua jam di perjalanan, akhirnya kami sampai di sebuah pantai dengan pasir putih yang di
penuhi pohon kelapa. Kak Zayn meraih tanganku dan menggegamnya, dia menuntunku kesebuah
mobil kemping yang di sampingnya telah berdiri tenda kecil. Ada sebuah karpet yang diatasnya ada
berbagai macam cemilan ala kemping pada umumnya. Aku melihatnya yang sedang melihatku juga,
dia tersenyum kepadaku, senyuman yang sejak awal telah sering ku lihat.

Aku kembali memperhatikan berbagai cemilan yang ada di atas karpet itu, aku sedikit tertawa
saat melihat ada es cukur yang tak asing bagiku.

“Es cukur kang Mamang?” dia mengangguk.

“Kok bisa?”

“Emang apa yang Zayn nggak bisa?”

Benar, dia selalu punya segalanya, bahkan untuk hal-hal yang tak pernah ku bayangkan
sebelumnya.

“Kak, aku sebelumnya nggak pernah di ajak kamping seperti ini. Kakak adalah orang pertama”

“Kamu suka, Ana?”

“Suka sekali”

“Mulai saat ini, aku akan membuatmu melakukan banyak hal yang tidak pernah kamu lakukan
sebelumnya, Ana”

Bahkan sebelum mengatakan itu, kamu sudah melakukannya, kak. Kami bicara lalu tertawa.
Suasana pantai yang sepi dengan hanya terdengar suara ombak, seolah seperti sebuah musik
instrumen yang menemani sore itu.

Aku sesekali mengambil kesempatan untuk melihat wajahnya yang sedikit memerah karena
terkena matahari. Saat dia juga menatapku, aku memalingkan wajahku, menatap kepantai, lalu
kembali melihatnya saat dia berpaling. Apa artinya pemandangan di pantai ini jika tanpa kamu disana,
kak Zayn. Semua akan terlihat biasa saja.

“Kak, bagaimana kalau tadi aku bilang lebih suka ke gunung”

“Aku akan pindakan semua ini ke gunung, jika itu yang kamu mau, Ana” Menunjuk mobil
kemping dan segala yang ada disana.

“Memangnya bisa?”

“Ana, Kamu meragukanku sekarang?” Dia berdiri dan melangkah keluar tenda, menjadi lebih
dekat dengan air yang di bawah ombak ketepi pantai. Apa itu? dia mengambek, seorang Zayn yang
dingin, mengambek?

“Kak Zayn, marah?” Aku menyusulnya.

“Mana mungkin aku bisa marah ke kamu, Ana” dia menjawab tanpa melihat ke arahaku.

“Tapi kok mukanya nggak mau lihat aku gitu”

Dia membalikan wajahnya ke arahku, mendekatkannya tepat di depan wajahku yang


membuatnya terbungkuk karena aku lebih pendek darinya.

“Ana, aku akan terus melihat kearahmu, bahkan jika aku tidak bisa. Aku akan melakukukannya,
sampai akhir”

Kalimat itu membuatku lemas seketika, kaki ku seolah kehilangan tenaganya untuk menyokong
tubuhku. Aku mencoba menghindari tatapannya, mulai menahan nafas, berbalik ke arah yang lain
dan berjalan meninggalkannya.

“Wah, segaranya” kataku menghindari suasana kaku itu.

Dia menyusulku, berjalan di sampingku. Dari ekor mataku, aku bisa melihat dia sesekali melirik
ke arahku dengan senyum kecilnya, hal itu membuat hatiku semakin kacau.

“Mataharinya terbenam, kak” seruku saat melihat matahari perlaham menyembunyikan dirinya.

“Ini pertama kalinya aku lihat matahari terbenam sedekat ini, Kak”

Aku sibuk mengambil gambar pemandangan, matahari terbenam yang terlihat sangat dekat,
begitu indah dengan awan kemerahan di langit.

“Kamu senang, Ana?”

“Tentu saja, sangat senang”

“Aku ikut senang kalau begitu”


Lama kelamaan, udara mulai lebih dingin dari sebelumnya, angin bertiup lebih kencang dan
langit mulai berubah gelap. Kak Zayn lalu mengajakku kembali kemobil untuk membawaku pulang.

Samar ku rasakan seseorang mengelus kepalaku sambil menyebut namaku. Ternyata aku
tertidur, dan itu kak Zayn yang sedang membangunkanku karena sudah sampai rumah. Aku turun
dari mobilnya dan mulai menyaksikan dia pergi sampai tak terlihat oleh pandanganku.

Anda mungkin juga menyukai