Anda di halaman 1dari 15

Drive My Car 21-43

"Sejak kanak-kanak?"
"Eh, tentu aku punya sahabat masa kecil. Kami bermain bisbol bersama, pergi berenang
bersama, dan sebagainya. Tapi, setelah dewasa, aku tidak terlalu ingin punya teman. Terutama
setelah menikah."
"Karena ada istri, Pak Kafuku tidak lagi perlu teman, begitu maksudnya?"
"Barangkali. Karena kami kan teman baik."
"Umur berapa waktu Pak Kafuku menikah?"
"Umur tiga puluh. Kami berdua tampil di film yang sama, jadi saling kenal. Waktu itu ia menjadi
tokoh pembantu utama, sedangkan aku tokoh tambahan yang sepele."
Dalam keadaan macet itu mobil maju sedikit demi sedikit.
Seperti biasa, saat masuk ke Jalan Tol Metropolitan atap mobil di-tutup.
"Kamu tidak minum minuman keras sedikit pun?" tanya Ka-fuku untuk mengganti topik.
"Sepertinya badan saya tidak bisa menerima alkohol, jelas Misaki. "Ibu saya sering bikin masalah
gara-gara minuman keras, jadi mungkin hal itu berpengaruh juga."
"Ibumu masih bikin masalah sampai sekarang?"
Misaki menggeleng beberapa kali. "Ibu saya sudah meninggal.
Menyetir mobil dalam keadaan mabuk, salah pegang kemudi, mobilnya berputar-putar dan loncat
keluar dari jalan, akhirnya menabrak pohon. Hampir mati seketika. Waktu saya umur tujuh belas
tahun."
"Malang sekali," ucap Kafuku.
"Salahnya sendiri" kata Misaki begitu saja. "Hal semacam itu cepat atau lambat pasti terjadi.
Cuma soal waktu."
Hening beberapa saat.
"Kalau ayahmu?"
"Bahkan ada di mana pun saya tidak tahu. Ia meninggalkan rumah wa‹tu saya umur delapan
tahun, dan saya tidak pernah ketemu dengannya lagi sekali pun. Tak ada kabar pula. Gara-gara
itu, ibu saya selalu menyalahkan saya."
"Kenapa?"
"Saya kan anak tunggal. Seandainya saya ini anak perempuan yang lebih manis dan cantik, ayah
saya tidak akan meninggalkan rumah. Ibu saya selalu berkata begitu. Karena saya buruk rupa
sejak lahir, ayah saya mencampakkan kami, katanya."
"Kau tidak buruk rupa sama sekali," ujar Kafuku dengan suara tenang. "Ibumu hanya mau berpikir
begitu."
Sekali lagi Misaki mengangkat kedua bahunya sedikit. "Biasa-nya tidak terlalu parah, tapi sekali
minum ibu saya bersikeras mengulang cerita yang sama. Hal yang sama dikatakannya ber-ulang-
ulang. Saya sakit hati juga. Mungkin kedengaran kejam,
tapi jujur saja, waktu ibu saya mati, saya malah merasa lega."
Keheningan yang menyusulnya berlangsung lebih lama daripada tadi.
"Kau panya teman?" tanya Kafuku.
Misaki menggeleng. "Saya tidak punya teman."
"Кепара?"
la tidak menjawab pertanyaan itu. Ia menyipitkan matanya, hanya menatap arah depan lekat-
lekat.
Kafuku memejamkan mata untuk tidur sebentar; tapi ia tidak bisa tidur juga. Mobil mereka
berhenti lalu maju lagi, berhenti lalt maju lagi, dan berulang-ulang begitu. Dan Misaki mengganti
gigi dengan saksama setiap kali. Trailer di jalur sebelah kadang berada di depan can kadang
berada di belakang mobil mereka, bagai
bayang-bayang takdir raksasa.
"Terakhir kali aku berteman dengan seseorang hampir sepuluh tahun lalu," tutur Kafuku sambil
membuka matanya, menyerah untuk berusaha tidur. "Barangkali lebih tepat kalau kusebut orang
yang seperti teman. Ia enam atau tujuh tahun lebih muda dariku, orangnya lumayan baik juga. Ia
suka minum, aku juga ikut-ikutan, kami berbincang-bincang tentang berbagai hal
sambil minum."
Misaki mengangguk kecil, menunggu lanjutan ceritanya. Kafuku sempat ragu-ragu, namun
memberanikan diri untuk mengungkapkannya.
"Sebenarnya lelaki itu pernah tidur dengan istriku selama beberapa waktu. la tidak tahu bahwa
aku tahu akan hal itu."
Misaki tampaknya agak kesulitan mencerna isi cerita tersebut.
"Maksudnya, orang itu pernah berhubungan seks dengan istri Pak Kafuku?"
"Betul. Selama tiga atau empat bulan, ia beberapa kali berhubungan seks dengan istriku, kukira."
"Bagaimana Pak Kafuku bisa tahu?"
"Istriku tentu saja menyembunyikannya dariku, tapi aku tahu.
Kalau kuceritakan, akan jadi panjang. Tapi, tidak salah lagi. Itu bukan cuma prasangkaku."
Selama mobil berhenti, Misaki membetulkan posisi kaca spi-on dengan kedua tangannya.
"Kenyataan bahwa istri Pak Kafuku tidur dengan orang itu tidak menjadi hambatan bagi Pak
Kafuku
untuk berteman dengannya?"
"Malah sebaliknya, kata Kafuku. "Aku berteman dengan lelaki itu justru karena istriku pernah
tidur dengannya."
Misaki mengatupkan mulutnya. Ia menunggu penjelasan.
"Bagaimana sebaiknya kukatakan, ya.... Aku ingin memahaminya. Mengapa istriku tidur dengan
lelaki itu, mengapa la harus tidur dengan lelaki itu. Paling tidak, itulah motivasiku pertama-tama."
Misaki menarik napas dalam-dalam. Di balik jasnya dada-nya naik perlahan-lahan, lantas
tenggelam. "Tidakkah menyiksa perasaan Pak Kafuku? Minum bersama atau berbicara dengan
tenggelam. "Tidakkah menyiksa perasaan Pak Kafuku? Minum bersama atau berbicara dengan
orang yang ternyata pernah tidur dengan istri Pak Kafuku?"
"Bukannya tidak menyiksa," ujar Kafuku. "Tanpa sengaja aku memikirkan hal-hal yang tidak mau
kupikirkan. Aku ingat hal-hal yang tidak mau kuingat. Tapi aku berakting. Kan itu pekerjaanku."
"Menjadi manusia lain," tutur Misaki.
"Betul sekali."
"Lalu kembali menjadi diri sendiri."
"Betul sekali," kata Kafuku. "Mau tidak mau, akhirnya kem-bali ke diri yang semula. Tapi, ketika
kembali ke diri sendiri, posisi berdiri kita jadi berbeda daripada sebelumnya meski hanya sedikit.
Itulah aturannya. Tidak mungkin persis sama dengan keadaan sebelumnya."
Gerimis mulai turun dan Misaki menggerakkan wiper be-berapa kali. "Lalu, apakah Pak Kafuku
bisa memahaminya?
Kenapa istri Pak Kafuku tidur dengan orang itu?"
Kafuku menggeleng. "Tidak, aku tidak bisa memahaminya.
Kukira ada beberapa hal yang ia punya tapi aku tidak punya. Tepatnya pasti ada banyak hal
seperti itu, kukira. Tapi hal mana yang memikat perasaan istriku, tidak bisa kupahami sejauh itu.
Soal-nya kan perilaku kita tidak bisa ditunjuk secara pinpoint atau dengan eksak seperti itu.
Orang menjalin hubungan dengan orang lain, terutama dalam kasus laki-laki menjalin hubungan
dengan perempuan -bagaimana sebaiknya kusebut- biasanya didasarkan atas hal ihwal yang
lebih menyeluruh. Lebih ambigu, lebih egois, dan lebih memedihkan."
Misaki merenungkan soal itu selama beberapa saat. Kemudian ia berkata, "Tapi, walau tidak bisa
memahaminya, Pak Kafuku tetap berteman dengan orang itu?"
Sekali lagi Kafuku membuka topi bisbol lantas meletakkan-nya di atas pangkuan. Lalu ia
menggosok-gosok bagian puncak kepalanya dengan telapak tangan. "Sebaiknya bagaimana
kukatakan, ya? Sekali mulai berakting dengan sungguh-sungguh, sulit menemukan kesempatan
untuk berhenti. Seberat apa pun itu secara mental, arusnya tidak dapat dibendung sebelum
makna akting itu mewujudkan sesuatu yang semestinya. Sama seperti musik tidak bisa
menyambut penghabisan yang tepat sebelum mencapai akor tertentu.... Kau bisa mengerti apa
yang kukatakan?”.
Misaki mengambil sebatang rokok Marlboro dari kotaknya, lantas menyelipkannya di antara bibir,
tapi ia tidak menyulutnya.
Saat atap mobil ditutup, ia tidak pernah merokok. Hanya meng-apitnya di antara bibir.
"Saat itu orang tersebut juga mash tidur dengan istri Pak Kafuku?"
"Tidak, ia sudah tidak tidur dengan istriku, ujar Kafuku.
"Kalau sejauh itu, bagaimana kusebut, ya... jadinya terlalu dibuat-buat. Aku berteman dengannya
beberapa saat setelah istriku me-ninggal dunia."
"Apakah Pak Kafuku berteman sungguhan dengan orang itu?
Atau sekadar akting?"
Kafuku memikirkan hal itu.
"Dua-duanya. Batas antara kedua kondisi itu mulai samar hari demi hari. Soalnya, berakting
"Dua-duanya. Batas antara kedua kondisi itu mulai samar hari demi hari. Soalnya, berakting
dengan sungguh-sungguh berarti ya demikian itu."
Sejak pertama kali bertatap muka dengan lelaki itu, Kafuku bisa merasakan semacam perasaan
suka terhadapnya. Namanya Takatsuki, badannya tinggi dan parasnya rapi, pantas disebut aktor
ganteng. Usianya awal empat puluhan, tidak bisa dikatakan sangat pandai berakting. Bukan pula
aktor yang memiliki keunikan yang menonjol. Peran yang dimainkannya juga terbatas.
Biasanya peran tokoh laki-laki paruh baya yang tampak ramah dan menyegarkan. Orangnya
ramah dan selalu tersenyum, tapi terkadang menampakkan melankolia di wajah sampingnya. Ia
punya penggemar setia dari kalangan wanita berusia matang. Kafuku kebetulan bertemu
dengannya di ruang tunggu salah satu stasiun TV. Karena kematian istri Kafuku baru berselang
setengah tahun, Takatsuki menghampirinya untuk memperkenalkan diri dan mengucapkan turut
berduka cita atas kematian istrinya. Saya pernah bekerja sama sekali di suatu film dengan istri
Anda. Waktu itu saya sangat terbantu oleh mendiang. Demikian yang dituturkan oleh Takatsuki
dengan air muka yang takzim. Kafuku pun mengucapkan terima kash. Secara kronologis, setahu
Kafuku, Takatsuki menempati posisi terakhir dalam daftar laki-laki yang pernah menjalin
hubungan intim dengan istrinya. Tak lama setelah afair dengan Takatsuki berakhir, istrinya
memeriksakan diri ke rumah sakit dan didiagnosis terkena kanker rahim yang sudah cukup parah.
"Saya ingin minta suatu hal dengan semenamena ke Anda," cetus Kafuku setelah serangkaian
ramah-tamah formal berakhir.
"Hal apa?"
"Kalau tidak keberatan, bisakah Pak Takatsuki meluangkan waktu sebentar untuk saya? Saya
ingin berbincang-bincang untuk mengenang istri saya sambil minum. Istri saya sering bercerita
tentang Anda."
Tiba-tiba menerima capan demikian, Takatsuki tampak ter-kejut. Mungkin lebih tepat jika disebut
ia syok. Kedua alisnya yang rapi dikernyitkan sedikit, matanya menerawang penuh waspada ke
wajah Kafuku. Seakan-akan ia curiga tidakkah ada maksud tersembunyi di balik omongannya?
Namun maksud khusus apa pun tidak dapat terbaca di situ. Kafuku hanya menampakkan air
muka tenang, benar-benar air muka yang layak diperlihatkan oleh seorang laki-laki yang baru
saja ditinggal mati oleh istrinya setelah hidup bersama sekian lama. Ekspresi mukanya tampak
bagai permukaan air kolam sehabis riak menyebar.
"Saya hanya ingin mengobrol tentang istri saya dengan orang yang juga kenal dengannya"
tambah Kafuku. "Kalau diam di rumah sendirian, sejujurnya kadang-kadang saya merasa
kepayahan. Tapi saya tahu permintaan begini pasti mengganggu Pak Takatsuki."
Mendengar kata-kata itu, Takatsuki kelihatannya sedikit lega.
Sepertinya tak ada kecurigaan tentang hubungan gelap dengan istrinya.
"Tidak, sama sekali tidak mengganggu saya. Dengan senang hati saya akan meluangkan waktu.
Kalau Anda tidak keberatan dengan lawan bicara yang membosankan seperti saya. Sambil
berkata demikian, Takatsuki menyunggingkan senyum ringan di sudut bibirnya. Keriput lembut
muncul di samping ekor matanya.
muncul di samping ekor matanya.
Senyum yang cukup menawan. Seandainya aku seorang wanita paruh baya, pikir Kafuku, pasti
pipiku berona merah.
Takatsuki cepat-cepat memeriksa daftar jadwal di benaknya.
"Kalau besok malam, saya kira saya bisa bertemu dengan Pak Kafuku dengan santai. Bagaimana
dengan jadwal Pak Kafuku?" Saya juga ada waktu besok malam, balas Kafuku. Bagaimana-pun
juga perasaan lelaki ini sangat mudah terbaca, Kafuku diam-diam terheran. Jika ia menatap
kedua matanya lurus-lurus, bagian belakangnya bisa terlihat seolah tembus pandang. la tak
punya tabiat untuk berliku-liku, juga tak punya kecenderungan suka me-masang siasat licik.
Bukan tipe lelaki yang menggali lubang dalam di tengah malam dan menantikan seseorang lewat
dan terjebak.
Begitu pula mungkin ia tidak bisa menjadi aktor hebat.
"Di mana kita akan bertemu?" tanya Takatsuki.
"Saya serahkan pada Anda. Silakan tentukan, di mana saja saya akan datang ke sana," kata
Kafuku.
Takatsuki menyebutkan nama sebuah bar terkenal di Ginza.
Kalau pesan tempat duduk box di situ, kita bisa mengobrol de-ngan leluasa tanpa dikuping oleh
siapa pun, katanya. Kafuku tahu juga bar itu. Kemudian mereka berjabat tangan sebelum
berpisah.
Tangan Takatsuki empuk, jarinya ramping dan panjang. Telapak tangannya hangat, sepertinya
agak lembap oleh keringat. Barang-kali gara-gara tegang.
Setelah Takatsuki meninggalkannya, Kafuku duduk di kursi ruang tunggu, membuka telapak
tangannya yang habis berjabat tangan, lantas menatapnya dengan saksama. Di situ sentuhan
tangan Takatsuki membekas kental. Tangan itu, jari itu pernah mengelus tubuh telanjang istriku,
pikir Kafuku. Mengelusnya dari sudut ke sudut, perlahan-lahan. Kemudian ia memejamkan mata
dan menarik napas panjang dalam-dalam. Apa gerangan yang hendak kulakukan, pikirnya. Biar
bagaimanapun, ia tidak bisa tidak melakukan itu.
Sambil menyeruput wiski single malt dan duduk di box yang tenang di bar, Kafuku dapat
memahami satu hal. Bahwa Takatsuki ternyata masih tetap tertarik kuat pada istrinya sampai
sekarang. Kematian istri Kafuku, juga fakta bahwa tubuh fisiknya telah dibakar hingga
menjadi tulang dan abu, sepertinya belum ditelan dengan baik oleh Takatsuki. Perasaan Takatsuki
ini dapat dipahami juga oleh Kafuku. Sambil mengobrol dan mengenang istri Kafuku, sekali-sekali
mata Takatsuki nyaris berkaca-kaca. Melihat keadaannya itu, Kafuku hampir dibuat ingin
merangkul dan menghiburnya.
Lelali ini tidak bisa menyembunyikan perasaannya dengan baik.
Seandainya Kafuku sedikit memancingnya, bisa jadi ia mengakui segala-galanya.
Diterka dari cara bicara Takatsuki, dapat diperkirakan bahwa istri Kafukulah yang memutus
hubungan mereka. Mungkin ia me-negaskan kepada Takatsuki, "Lebih baik kita tidak bertemu
lagi." Dan, benar, ia tak mau bertemu lagi dengannya. Menjalin hubung-an selama beberapa
lagi." Dan, benar, ia tak mau bertemu lagi dengannya. Menjalin hubung-an selama beberapa
bulan, lalu memutus hubungan itu dengan tegas di sebuah titik waktu. Tidak pernah berbalik lagi.
Setahu Kafuku, itulah pola hubungan asmara gelap istrinya (apakah pantas disebut demikian?).
Namun Takatsuki rupanya belum siap berpisah dengan istri Kafuku segampang itu. Ia mungkin
menginginkan hubungan yang lebih permanen dengannya.
Ketika istri Kafuku dipindahkan ke fasilitas hospice di rumah sakit karena kanker yang dideritanya
sudah memasuki fase terminal, Takatsuki menghubunginya dan menyampaikan ke-inginan untuk
menjenguknya, tapi permintaan itu ditolak dengan tegas. Semenjak diopname, istrinya tidak mau
bertemu hampir dengan siapa pun. Selain dokter, perawat, dan staf rumah sakit, yang diizinkan
masuk ke kamar rawatnya hanyalah tiga orang, yaitu ibu dan adiknya serta Kafuku. Takatsuki
rupanya masih menyesal karena tidak bisa menjenguknya bahkan sekali. Takatsuki baru tahu
bahwa istri Kafuku menderita kanker beberapa minggu sebelum kematiannya. Kabar itu benar-
benar di luar dugaannya dan sampai sekarang tidak dapat ia terima dengan baik. Perasaannya itu
bisa dipahami juga oleh Kafuku. Namun, tentu saja perasaan mereka tidak bisa dikatakan persis
sama. Kafuku menyaksikan sosok istrinya yang kurus kering hari demi hari menjelang akhir
hayatnya, ia juga memungut tulang istrinya yang putih bersih di krematorium. Dengan kata lain ia
telah melalui tahap-tahap penerimaan kematiannya secara wajar. Ada tidaknya
pengalaman itu menyebabkan perbedaan yang amat besar di antara perasaan mereka.
Kelihatannya akulah yang menghibur lelaki ini, pikir Kafuku sambil bertukar cerita kenangan satu
sama lain. Seandainya istrinya menyaksikan adegan seperti ini, apa gerangan yang ia rasakan?
Memikirkan soal itu, Kafuku dibuat merasa takjub. Tetapi orang mati mungkin tidak memikirkan
apa pun, tidak merasakan apa pun. Itu, tentu sebatas pandangan Kafuku, merupakan salah satu
kelebihan orang mati.
Kafuku dapat memahami satu hal lagi. Bahwa Takatsuki cenderung minum minuman keras terlalu
banyak. Di dunia panggung Kafuku pernah melihat banyak sekali peminum (mengapa para aktor
sangat suka minum?). Dalam pandangan Kafuku, dilihat dari mana pun Takatsuki tidak bisa
digolongkan sebagai peminum yang sehat dan lazim. Menurut Kafuku, rata-rata ada dua
golongan peminum di dunia ini. Yang satu terdiri dari orang-orang yang harus minum demi
menambahkan sesuatu ke dalam dirinya, sedangkan yang lain terdiri dari orang-orang yang harus
minum demi menghilangkan sesuatu dari dalam dirinya. Dan cara minum Takatsuki jelas termasuk
golongan yang kedua.
Apa yang ingin dihilangkan oleh Takatsuki dari dalam diri-nya, Kafuku tidak bisa paham.
Barangkali sekadar kelemahan sifat atau luka hati yang pernah dialaminya pada masa lampau.
Atau barangkali masalah rumit yang sedang dihadapinya dalam kehidupan nyata. Bisa juga
campuran semua hal semacam itu. Apa pun itu, pokoknya ada sesuatu yang ingin ia lupakan dan
demi melupakan sesuatu itu atau demi mengurangi kesakitan yang ditimbulkannya, ia tidak bisa
tidak minum minuman keras. Selagi Kafuku minum segelas, Takatsuki menenggak minuman yang
sama dua setengah gelas. Cepat juga cara minumnya.
Atau ia minum cepat-cepat gara-gara ketegangan batin. Bagaimanapun juga ia sedang minum
sambil berhadapan empat mata dengan suami perempuan yang pernah ditidurinya secara
sembunyi-sembunyi. Malah aneh jika ia tidak merasa tegang. Tapi, mungkin tidak hanya itu
penyebabnya, pikir Kafuku. Barangkali lelaki semacam Takatsuki hanya bisa minum dengan cara
seperti itu.
Sembari memperhatikan kondisi kawan minumnya, Kafuku menjaga kecepatan minumnya dengan
hati-hati. Setelah menghabiskan beberapa gelas dan ketegangan kawannya tampak sedikit
kendur, Kafuku menanyainya apakah ia sudah menikah.
Sudah sepuluh tahun sejak ia menikah dan ia punya seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun,
jawab Takatsuki. Namun, karena suatu alasan, mereka tinggal secara terpisah sejak tahun lalu.
Kemungkinan besar mereka akan cerai dalam waktu dekat dan hak pengasuhan atas anak mereka
akan jadi masalah serius. Apa pun yang terjadi, ia ingin sekali menghindari situasi yang tidak me-
mungkinkannya untuk bertemu dengan anaknya sesuka hati.
Karena anak itu benar-benar penting baginya. la memperlihatkan foto anaknya. Seorang anak
laki-laki yang berparas cakap dan tampak kalem.
Sebagaimana kebanyakan peminum setengah pecandu, Takatsuki pun menjadi ringan lidah
setelah mengkonsumsi alkohol.
Bahkan hal-hal yang tidak semestinya dibicarakan pun diutara-kannya dengan antusias meski
tidak ditanya. Biasanya Kafuku menempatkan diri sebagai pendengar, mengiyakan dengan
hangat dan menghiburnya dengan kata-kata yang dipilih dengan hati-hati jika perlu. Dengan
demikian ia mengumpulkan informasi tentang lelaki itu sebanyak-banyaknya. Kafuku bersikap
seolah-olah dirinya benar-benar menyukai Takatsuki. Itu tidak sulit dilakukannya. Sebab, secara
pembawaan, Kafuku memang tahu cara mendengarkan cerita orang, lagi pula ia sungguh
menyukai Takatsuki. Ditambah lagi, ada kesamaan besar di antara mereka berdua. Sampai
sekarang mereka mash terpikat pada seorang perempuan cantik yang telah tiada. Meski
kedudukan mereka berbeda, keduanya belum bisa menutupi kehilangan itu. Karena itulah mereka
cocok untuk mengobrol dalam arti tertentu.
"Pak Takatsuki, kalau tidak keberatan, bisakah kita ketemu lagi di suatu tempat? Saya senang
bisa mengobrol dengan Anda.
Sudah sekian lama saya tidak merasa begini," tutur Kafuku sesaat sebelum berpisah. Tagihan di
bar itu sudah dibayar oleh Kafuku terlebih dulu. Bagaimanapun juga gagasan bahwa seseorang
harus membayar tagihan di situ rupanya sama sekali tidak timbul di benak Takatsuki. Alkohol
membuatnya melupakan berbagai hal.
Mungkin beberapa hal yang penting juga.
"Tentu saja," kata Takatsuki, ia mengangkat mukanya dari ge-las. "Saya juga ingin sekali bertemu
dengan Anda lagi. Berkat ber-bicara dengan Pak Kafuku, rasanya sesuatu yang tersangkut dalam
dada saya terurai sedikit."
"Sepertinya ini semacam takdir, bisa bertemu dengan Anda begini," ujar Kafuku.
"Mungkin mendiang istri sayalah yang mempertemukan kita."
Dalam arti tertentu, yang dikatakannya itu benar.
Mereka berdua saling bertukar nomor ponsel. Kemudian mereka berjabat tangan dan berpisah.
Dengan demikian mereka menjadi teman. Bisa disebut kawan minum yang cocok. Mereka saling
menghubungi untuk bertemu, minum di bar di sana sini, dan mengobrol tak tentu tentang ini itu.
Belum pernah sekali pun mereka makan bersama. Tempat yang mereka tuju selalu bar atau kedai
minum. Kafuku belum pernah melihat Takatsuki makan apa pun selain camilan ringan yang di-
santap bersama minuman keras. Jangan-jangan lelaki ini hampir tidak pernah makan masakan
lengkap, Kafuku bahkan berangan-angan begitu. Dan, kecuali terkadang minum bir, Takatsuki
belum pernah memesan minuman keras selain wiski. Single malt adalah kesukaannya.
Isi obrolan mereka beragam, namun selalu berakhir dengan cerita tentang mendiang istri Kafuku.
Ketika Kafuku menceritakan episode saat ia mash muda, Takatsuki memperhatikannya dengan air
muka sungguh-sungguh. Bagai orang yang mengumpulkan dan memelihara ingatan orang lain.
Kafuku pun mendapati diri-nya menikmati percakapan seperti itu.
Malam itu mereka minum di sebuah bar kecil di Aoyama. Bar yang tidak begitu menarik perhatian
orang, yang ada di ujung gang di belakang Museum Kesenian Nezu. Seorang laki-laki pendiam
berusia kurang lebih empat puluh tahun bekerja di situ sebagai bartender, seekor kucing abu-abu
yang kurus tidur melingkar di atas rak hias di salah satu sudut. Sepertinya kucing kampung yang
berkeliaran di sekitar dan suka singgah di bar itu. Piringan hitam jaz zaman dulu berputar di atas
turntable. Mereka menyukai sua-sana bar itu, sebelumnya pernah datang ke situ beberapa kali.
Bila mereka bertemu di bar itu, entah kenapa sering hujan turun. Hari itu juga gerimis turun
berintik-rintik.
"Ia adalah seorang wanita yang sungguh-sungguh menakjub-kan," tutur Takatsuki sambil
memandang kedua tangannya yang diletakkan di atas meja. Tangan yang indah untuk laki-laki
yang telah memasuki paruh baya. Tak ada keriput yang kelihatan jelas, kukunya pun dirawat
dengan saksama. "Bisa menjadi suami-istri dengan orang seperti itu dan hidup bersama, Pak
Kafuku pasti bahagia sekali."
"Tya, sih, kata Kafuku. "Benar apa yang Anda katakan. Mung kin aku bahagia. Tapi, justru karena
bahagia, adakalanya merasa sedih."
"Kenapa begitu?"
Kafuku mengangkat gelas yang berisi wiski on the rocks, lantas memutar es batu besar di
dalamnya.
"Suatu saat nanti mungkin
aku akan kehilangan dia. Hanya dengan membayangkan hal itu, dadaku terasa sakit."
"Aku bisa mengerti perasaan itu dengan baik," kata Takatsuki.
"Bagaimana?"
"Maksudku.." ujar Takatsuki, lantas mencari kata-kata yang tepat. "Kehilangan orang sekeren
dia"
"Maksudnya, secara umum?"
"Iya," balas Takatsuki. Laluia mengangguk beberapa kali seakan meyakinkan diri. "Memang aku
hanya bisa membayangkannya."
Kafuku menjaga kebisuannya selama beberapa saat. Ia mengulurkan keheningan itu sepanjang
mungkin sampai batas akhir.
Kemudian ia bercerita.
"Tapi akhirnya aku kehilangan dia. Kehilangan dia sedikit demi sedikit bahkan saat dia mash
hidup, dan akhirnya kehilangan segala-galanya. Seumpama sesuatu yang terus-menerus terkikis
oleh erosi hingga akhirnya semua terbawa ombak besar.... Bisa mengerti apa yang kukatakan?"
"Mengerti, kukira."
Tidak, kau tidak mengerti, kata Kafuku di dalam hati.
"Yang paling sulit bagiku daripada apa pun, ujar Kafuku, "adalah kenyataan bahwa aku
sebenarnya tidak pernah bisa memahaminya -atau setidaknya bagian yang barangkali penting
dalam dirinya. Dan, kini ia sudah tiada, mungkin tak kan kupahami selama-lamanya. Ibarat lemari
besi kecil keras yang ditenggelamkan ke dasar laut dalam. Berpikir begitu, dadaku terasa sesak."
Takatsuki menimbang-nimbang soal itu sebentar. Kemudian ia membuka mulutnya.
"Tapi, Pak Kafuku, apakah mungkin bagi kita untuk sepenuh-nya memahami seseorang?
Walaupun kita mencintai orang itu dalam-dalam?"
Kafuku mengutarakan, "Kami hidup bersama selama hampir dua puluh tahun. Dan kuanggap kami
adalah sepasang suami-istri yang punya hubungan erat sekaligus merupakan teman yang saling
percaya satu sama lain. Kami bisa saling berdiskusi tentang segala-galanya dengan jujur.
Setidanya begitulah anggapanku.
Tapi mungkin tidak demikian, ternyata. Bagaimana sebaiknya kukatakan, ya... barangkali ada
semacam titik buta fatal di dalam diriku."
"Titik buta, ucap Takatsuki.
"Sesuatu yang penting di dalam dirinya barangkali luput dari pengamatanku. Tidak, meskipun aku
melihatnya dengan mataku, sesungguhnya aku tidak bisa melihatnya, barangkali."
Takatsuki menggigit bibirnya selama beberapa saat. Kemudian ja meneguk habis wiski yang
tersisa di dalam gelasnya, lantas ia meminta segelas lagi kepada bartender.
"Aku mengerti perasaan itu," kata Takatsuki.
Kafuku menatap lekat kedua mata Takatsuki. Selama beberapa saat Takatsuki menerima
tatapannya, namun akhirnya ia mengalihkan pandangannya.
"Mengerti, bagaimana mungkin?" tanya Kafuku dengan tenang.
Bartender datang membawakan segelas wiski on the rocks yang baru, lalu mengganti tatakan
gelas berbahan kertas yang sudah lembap hingga mengembung dengan yang baru. Selama itu
mereka berdua menjaga kebisuan.
"Mengerti, bagaimana mungkin?" tanya Kafuku sekali lagi setelah bartender pergi.
Takatsuki termenung. Di dalam matanya ada sesuatu yang bergoyang kecil-kecil. Lelaki ini
sedang bimbang, terka Kafuku.
Ia sedang melawan dengan sengit keinginan untuk mengakui sesuatu di sini. Namun, akhirnya ia
berhasil meredakan goyangan di dalam dirinya itu dengan susah payah. Kemudian ia bertutur:
"Bukankah mustahil bagi kita untuk bisa mengerti sepenuhnya apa yang dipikirkan oleh kaum
perempuan? Begitulah maksudku.
Siapa pun wanita itu. Karena itu, kurasa titik buta itu tidak cuma dialami oleh Pak Kafuku secara
khusus atau semacamnya. Andal itu memang titik buta, bisa dikatakan kita semua hidup dengan
memikul titik buta yang serupa. Jadi, Pak Kafuku lebih baik jangan menyalahkan diri sendiri
seperti itu, kukira."
Kafuku menimbang-nimbang apa yang baru saja dikatakan oleh Takatsuki selama beberapa saat.
Kemudian ia berkata, "Tapi itu sekadar teori umum."
"Betul sekali, Takatsuki pun mengakuinya.
"Aku sedang mempersoalkan diriku dan mendiang istriku.
Tidak semestinya disimpulkan dengan teori umum begitu saja."
Takatsuki diam cukup lama. Lalu ia mengutarakan:
"Setahuku, istri Pak Kafuku adalah wanita yang benar-benar menakjubkan. Memang apa yang
saya ketahui tentang almarhumah bahkan tidak sampai seperseratus dari apa yang Pak Kafuku
ketahui. Walau begitu, aku tetap yakin akan hal itu. Biar bagaimanapun, Pak Kafuku harus
mensyukurinya karena sudah bisa hidup selama dua puluh tahun bersama orang yang
semenakjubkan itu. Kukira begitu dari lubuk hatiku. Tapi, sebaik apa pun saling memahami,
sedalam apa pun saling mencintai, orang tidak mungkin bisa menengok seluruh isi hati orang
lain. Kalau menginginkan sejauh itu, hanya membuat diri sendiri sedih. Tapi, kalau isi hati diri kita
sendiri, semakin keras berusaha, pasti semakin baik kita bisa menengoknya. Maka, yang harus
kita lakukan pada akhirnya adalah berkompromi dengan hati kita sendiri dengan baik dan jujur.
Bukankah begitu? Kalau benar-benar ingin melihat orang lain, kita harus menatap diri sendiri
sedalam mungkin, selurus mungkin. Itulah satu-satunya jalan. Kukira begitu."
Kata-kata itu rupanya timbul dari suatu bagian istimewa yang ada di kedalaman manusia yang
bernama Takatsuki. Meski hanya sejenak, pintu yang tersembunyi itu terbuka. Kata-katanya
bergema sebagai kata-kata yang tak terkabur sedikit pun, yang keluar dari lubuk hatinya. Paling
tidak, jelas itu bukan aktingnya.
Ia bukan lelaki yang bisa melakukan akting sepandai itu. Tanpa berkata apa pun Kafuku
menengok matanya dalam-dalam. Kali ini Takatsuki pun tidak mengalihkan pandangannya. Lama
mereka saling menatap mata lawannya lurus-lurus. Dan mereka menemukan kilau bagai bintang
nun jauh di dalam mata satu sama lain.
Saat berpisah, mereka berjabat tangan lagi. Mereka keluar dan mendapati hujan rintik-rintik
sedang turun. Setelah Takatsuki yang mengenakan jas hujan warna beige berjalan tanpa memakai
payung hingga menghilang di tengah hujan itu, Kafuku menatap telapak tangan kanannya
sebentar seperti biasa. Dan berpikir bahwa tangan itulah yang mengelus tubuh telanjang istrinya.
Tetapi, walaupun berpikir demikian, entah kenapa ia tidak merasa dadanya sesak pada hari itu.
Hanya ia membatin, bisa juga terjadi hal semacam itu. Mungkin, ada juga hal semacam itu.
Soalnya itu kan sekadar tubuh fisik, kata Kafuku kepada diri sendiri untuk meyakinkan. Sekadar
jasmani yang akhirnya menjadi tulang kecil dan abu. Pasti ada hal lain yang lebih penting.
Andai itu memang titik buta, bisa dikatakan kita semua hidup dengan memikul titik buta yang
serupa. Kata-kata itu tertinggal lama di telinga Kafuku.
"Lama berteman dengan orang itu?" tanya Misaki sambil menatap antrean mobil di depannya.
"Hampir setengah tahun aku berteman dengannya, kira-kira dua kali sebulan kami bikin janji
untuk bertemu di tempat minum dan minum bersama," kata Kafuku. "Setelah itu aku tidak
menemuinya lagi sekali pun. Walau ia meneleponku untuk mengajak minum, aku
mengabaikannya. Aku sendiri tidak menghubungi-
nya. Lama-lama ia pun tidak meneleponku lagi."
"Mungkin orang itu merasakan keganjilan, ya."
"Barangkali."
"Mungkin ia sakit hati."
"Bisa juga."
"Kenapa tiba-tiba berhenti menemuinya?"
"Karena aku tidak perlu lagi melakukan akting."
"Karena tidak perlu lagi melakukan akting, tidak perlu juga berteman dengan orang itu, begitu
maksudnya?"
"Itu salah satu alasannya," ujar Kafuku. "Tapi ada soal lain juga."
"Soal apa?"
Kafuku terdiam lama. Dengan tetap mengapit batang rokok yang tidak dinyalakan di antara
bibirnya, Misaki sekilas melirik wajah Kafuku.
"Kalau kau mau merokok, boleh," kata Kafuku.
"Heh?"
"Kau boleh menyulutnya."
"Tapi atapnya ditutup."
"Tidak apa-apa."
Misaki menurunkan kaca jendelanya, lantas menyulut Marlboro dengan pemantik api yang
tersedia di mobil. Lalu ia menarik asapnya dalam-dalam, menyipitkan matanya seolah menikmati
rasanya. Setelah menampung asapnya di dalam paru-paru sebentar, ia mengembuskannya
perlahan ke luar jendela.
"Rokok membahayakan nyawamu, ujar Kafuku.
"Kalau disimpulkan begitu, hidup itu sendiri juga mengancam nyawa," timpal Misaki.
Kafuku tertawa. "Boleh juga gagasan itu."
"Baru pertama kali saya melihat Pak Kafuku tertawa," kata Misaki.
Kalau dibilang demikian, memang benar, batin Kafuku. Barangkali sudah sekian lama sejak ia
terakhir kali tertawa, bukan dalam akting.
"Sejak lama aku mau mengatakannya," ujar Kafuku. "Kalau dilihat baik-baik, kau cukup manis.
Sama sekali tidak buruk rupa."
"Terima kasih. Saya sendiri tidak menganggap diri saya buruk rupa. Hanya kurang cakap. Sama
seperti Sonya."
Kafuku melihat Misaki, ia sedikit heran. "Kau membaca Paman Vanya."
"Karena mendengar dialog yang terpotong-potong secara acak setiap hari, saya ingin tahu
ceritanya seperti apa. Saya juga punya rasa ingin tahu," kata Misaki. "’Oh, sungguh malang. Aku
tak tahan. Mengapa aku terlahir tak cakap begini? Benar-benar
menjengkelkan.’ Drama yang menyedihkan, ya."
"Cerita yang tak punya harapan"
ujar Kafuku. "Oh, menyebalkan sekali. Tolonglah aku. Tak lama lagi aku berumur 47 tahun. Kalau
mati di usia 60, aku masih harus hidup selama 13 tahun. Terlalu panjang. Bagaimana aku bisa
melewatkan 13 tahun itu? Apa yang bisa kulakukan untuk menutup hari demi hari?'
Di masa itu orang biasanya mati sekitar umur 60 tahun. Paman Vanya barangkali masih
beruntung karena tidak lahir di zaman sekarang."
"Saya mencari tahu, ternyata Pak Kafuku dan ayah saya lahir pada tahun yang sama."
Kafuku tidak membalas soal itu. Dalam diam ia mengambil beberapa kaset tape lantas memeriksa
judul lagu yang dicantumkan di labelnya. Namun ia tidak jadi memutar musik. Misaki memegang
rokok yang menyala dengan tangan kirinya dan tangan-
nya itu diulurkan ke luar jendela. Hanya saat deretan mobil maju perlahan-lahan dan
mengharuskannya mengganti gigi, rokoknya diapit di bibir sebentar supaya kedua tangannya
dapat dipakai.
"Sebenarnya aku berpikir untuk menyiksa lelaki itu dengan suatu cara, tutur Kafuku seolah
mengaku. "Lelaki yang pernah tidur dengan istriku." Lalu kaset tape yang dipegangnya
dikembalikan ke tempat semula.
"Menyiksa?"
"Kurasa aku ingin membuatnya menderita. Pura-pura ber-teman supaya ia jadi lengah, lama-
kelamaan aku bisa menemukan semacam kelemahan fatal dalam dirinya dan memanfaatkannya
untuk menyakitinya."
Misaki mengernyitkan kedua alisnya, menimbang-nimbang makna kata-kata yang diucapkan
Kafuku.
"Kelemahan, seperti apa, misalnya?"
"Aku belum berpikir sampai sejauh itu. Tapi ia kan lelaki yang gampang lalai sekali mulai minum,
jadi aku pasti menemukan sesuatu dalam waktu lumayan singkat. Dengan memanfaatkan hal itu,
aku bisa bikin dia tersangkut skandal-yang mengakibatkan runtuhnya kepercayaan masyarakat
terhadap dirinya. Pasti tidak begitu sulit dilakukan. Seandainya rencana itu terwujud,
kemungkinan besar ia akan gagal mempertahankan hak asuh terhadap ananya dalam pengadilan
perceraian dan situasi itu pasti tak tertahankan baginya. Mungkin ia tak kan bisa bangkit
kembali."
"Gelap, ya."
"Iya, cerita yang gelap."
"Maksudnya, Pak Kafuku ingin balas dendam karena orang itu pernah tidur dengan istri Pak
Kafuku?"
"Agak beda dari balas dendam" kata Kafuku. "Tapi aku tak bisa melupakannya dengan cara apa
pun. Aku sudah berusaha sekeras mungkin untuk melupakannya. Tapi tak bisa. Pemandangan
istriku didekap oleh lengan laki-laki lain tak kunjung meninggal-kan benakku. Pemandangan itu
senantiasa timbul kembali.
Seperti arwah gentayangan yang menempel terus di sudut langit-Langit dan mengamatiku.
Kukira akan hilang setelah kematian istriku berlalu cukup lama. Tapi ternyata tidak menghilang.
Malah sensasi kehadirannya terasa makin kuat. Aku perlu meng-usirnya ke tempat lain. Untuk itu,
aku harus mengatasi semacam kemarahan di dalam diriku."
Mengapa aku bercerita soal begini kepada perempuan asal Kamijunitaki-cho, Hokkaido, ini yang
pantas disebut seusia dengan anakku, batin Kafuku. Namun, sekali mulai bercerita, ia mendapati
dirinya tak bisa berhenti.
"Karena itu, ingin menyiksa orang itu," kata anak perempuan itu.
"Iya."
"Tapi kenyataannya Pak Kafuku tidak melakukan apa-apa?"
"Tidak, aku tidak melakukan apa-apa," kata Kafuku.
Sepertinya Misaki sedikit lega dengan jawaban Kafuku. Di-embuskannya napas pendek, lantas
dijentiknya rokok yang masih menyala untuk dibuang ke luar jendela begitu saja. Mungkin
kelakuan itu lazim di Kamijunitaki-cho.
"Sulit dijelaskan dengan baik, tapi pada suatu saat tiba-tiba aku bisa bersikap masa bodoh
dengan berbagai hal. Seolah tahu-tahu terbebas dari kesurupan," tutur Kafuku. "Kemarahan pun
sudah tidak kurasakan. Atau mungkin juga itu sebenarnya bukan kemarahan melainkan sesuatu
yang lain."
"Tapi, biar bagaimanapun, begitulah yang terbaik buat Pak Kafuku, saya kira. Sebab, Pak Kafuku
tidak jadi menyakiti orang dalam bentuk apa pun."
"Aku setuju."
"Tetapi, kenapa istri Pak Kafuku berhubungan seks dengan orang itu, mengapa harus dengan
orang itu, Pak Kafuku tetap belum bisa mengerti?"
"Belum, kukira belum bisa kumengerti. Soal itu mash membekas dalam diriku dengan tanda
tanya. Lelaki itu seorang yang ramah dan tak punya niat buruk tersembunyi. Sepertinya ia
sungguh-sungguh mencintai istriku. Meniduri istriku bukan sekadar permainan baginya. Di dalam
lubuk hatinya ia benar-benar terpukul oleh kematian istriku. Dan penolakan istriku terhadap
keinginannya untuk menjenguk sebelum kematian tiba juga menyisakan luka di hatinya. Aku pun
tidak bisa tidak menyukai Orang itu, bahkan nyaris rela menjadi teman yang sesungguhnya."
Kafuku berhenti bercerita, lantas menelusuri arus hatinya. Dicarinya kata-kata yang sedekat
mungkin dengan kenyataan.
"Tapi, jujur saja, ia bukan orang yang hebat. Sifatnya mungkin bisa dikatakan baik. Ia ganteng,
senyumnya keren juga. Dan setidaknya ia bukan manusia yang sembrono. Tapi, ia juga bukan
manusia yang ingin kuhormati. Orangnya jujur, tapi kemanusiaannya kurang mendalam. Ia
memikul kelemahan, aktor kelas dua dalam profesinya. Sedangkan istriku adalah wanita yang
teguh dan memiliki kedalaman. Ia mampu memikirkan hal-hal dengan tenang dan saksama tanpa
buru-buru. Sekalipun demikian, kenapa ia tertarik pada lelaki yang tak punya keistimewaan apa
pun dan mau didekap olehnya? Soal itu masih tetap menusuk hatiku bagai duri."
"Dalam arti tertentu, soal itu terasa seperti penghinaan terhadap Pak Kafuku. Begitu
maksudnya?"
Kafuku berpikir sebentar, lalu mengaku dengan jujur. "Bisa juga begitu."
"Bukankah istri Pak Kafuku sebenarnya tidak tertarik pada orang itu?" kata Misaki dengan sangat
singkat. "Karena itulah ia tidur dengannya."
Seakan-akan melihat pemandangan nun jauh, Kafuku hanya memandang wajah samping Misaki.
Misaki menggerakkan wiper cepat-cepat beberapa kali untuk menyeka titik-titik air yang me-
ngenai kaca depan. Sepasang alat penyeka kaca yang masih baru menimbulkan keriut keras
bagai anak kembar yang mengeluh.
"Kaum perempuan bisa seperti itu," tambah Misaki.
Kata-kata apa pun tidak timbul di benak Kafuku. Maka ia menjaga kebungkaman.
"Itu bisa dikatakan semacam penyakit, Pak Kafuku. Tak ada gunanya kalaupun dipikir-pikir. Ayah
saya mencampakkan kami dan meninggalkan kami, ibu saya menyiksa saya dengan semena-
mena, semuanya gara-gara penyakit. Percuma kalau dipikir-pikir dengan otak. Tak ada jalan
selain menemukan cara menerimanya, menelannya, dan terus melanjutkan hidup."
"Dan kita semua berakting" kata Kafuku.
"Begitulah, saya kira. Kurang lebih."
Kafuku menenggelamkan badannya di jok yang dilapisi kulit, memejamkan mata untuk
memusatkan sarafnya, lalu berusaha merasakan kapan Misaki mengganti gigi. Tetapi tetap
mustahil.
Segalanya terlampau mulus dan penuh rahasia. Hanya suara putaran mesin yang sampai di
telinganya berubah halus. Ibarat kepak sayap serangga yang sedang melayang. Mendekat, lalu
menjauh.
Tidur sebentar, batin Kafuku. Tidur dalam-dalam selama beberapa saat, lalu bangun. Sepuluh
atau lima belas menit, paling selama itu. Kemudian ia tampil kembali di panggung untuk
berakting. Dibanjiri sorot lampu, mengucapkan dialog yang telah ditentukan. Menerima tepuk
tangan, lantas tirai diturunkan. Sesaat meninggalkan diri sendiri, lalu kembali pada diri sendiri.
Namun, tempat ia kembali tidak persis sama dengan tempatnya yang sebelumnya.
"Aku mau tidur sebentar" kata Kafuku.
Misaki tidak membalas. Tetap diam dan terus mengemudi.
Atas keheningan itu, Kafuku berterima kash kepadanya.

Anda mungkin juga menyukai